Senin, 19 September 2011

[daarut-tauhiid] ‘Adikku, Kita Sekarang Yatim Piatu...’

 

'Adikku, Kita Sekarang Yatim Piatu...'
 
Namaku Vivi. Aku anak pertama
dari dua bersaudara. Aku punya seorang adik laki-laki yang lucu. Ia masih
balita dan belum bisa apa-apa. Jadi, aku yang harus mengurusnya.
 
Aku adalah seorang siswi kelas
satu SD. Aku tak punya orang tua lagi. Ayahku meninggal pada bulan Desember
tahun lalu, karena sakit ginjal. Belum lama setelah kepergian ayah, penyakit
paru-paru yang diderita oleh ibu kambuh. Mungkinkah ibu merasa tertekan dengan
keadaan ini, sehingga penyakitnya kambuh lagi? Aku tak terlalu tahu. Yang
jelas, setelah kejadian itu hidupku sepertinya berubah.
 
Selama ini kami sekeluarga
tinggal di rumah nenek. Nenekku biasa berjualan pakaian bekas di pasar. Jarak
yang cukup jauh beliau tempuh dengan sepeda setiap hari. Usia yang mulai menua
tak pernah menjadi penghalang untuknya. Tapi semenjak ibu sakit, nenek tidak
lagi berjualan. Nenek mengurus ibu yang sakit, sementara aku yang harus
mengurus adikku. Begitu pula ketika ibu harus dirawat di Rumah Sakit. Seluruh
perhatiannya terfokus pada perawatan ibu. Aku sudah terbiasa mengurus diri
sendiri dan adikku.
 
Hingga... suatu hari ibu
meninggalkan kami semua. Aku belum paham benar harus bagaimana. Aku tak tahu
apa yang harus kulakukan, maka aku hanya diam saja. Aku bahkan tak tahu apakah
harus menangisi kepergian ibu atau pura-pura tak tahu. Aku bingung. Semuanya
berubah terlalu cepat. Aku semakin bingung, sementara adikku yang kuasuh masih
asyik berceloteh sambil memandangi para pelayat satu-persatu dengan tatapan tak
mengerti. 'Adikku, kita sekarang yatim piatu..,' bisik hatiku. Tapi memangnya
kenapa, apa dunia akan berubah jika kami jadi yatim piatu? Entahlah. Aku tak
mungkin bertanya pada nenek yang kelihatannya masih terpukul. Aku juga tak
mungkin berdiskusi dengan adikku yang belum mengerti apa-apa. Aku.. harus
bagaimana?
 
Hari telah berganti. Nenek tak
lagi berjualan pakaian bekas di pasar. Sepeninggal ibu, harus ada orang yang
menjaga adikku. Aku sendiri harus sekolah. Nenek tak bisa meninggalkan cucunya
di rumah sendiri, juga tak mungkin tega membawanya ke pasar. Keadaan ekonomi
kami semakin memburuk.
 
Suatu hari, nenek mengatakan
bahwa beliau tak bisa menghidupiku dan membiayai sekolahku lagi. Nenek hanya
mampu mengurus adikku. Saudara-saudara ibu belum bisa membantu karena mereka
sendiri juga masih kekurangan. Sedangkan saudara-saudara ayahku, tak ada yang
tahu keberadaannya. Kami sudah lama kehilangan komunikasi dengan mereka, bahkan
sejak ayahku masih hidup.
 
Berbagai pertimbangan telah
dipikirkan. Maka suatu hari, nenek menitipkanku di sebuah panti asuhan. Sejak
saat itu aku tinggal di sana,
di tempat yang sangat asing dan berbeda. Aku berusaha beradaptasi. Aku yang
terbiasa hidup bebas kini harus terikat dengan banyak aturan. Selama tinggal di
panti, aku selalu teringat pada nenek dan adikku. Aku harus terpisah dengan
mereka... Tapi rupanya nenek sering datang menjengukku. Bahkan, sepertinya di
panti itu aku adalah anak yang paling sering mendapat kunjungan. Aku senang
sekali karena nenek selalu datang menemuiku.
Suatu hari, aku berpikir untuk
pulang dan tinggal di rumah saja. Aku ingin dekat dengan nenek dan adikku. Aku
juga ingin sekali sekolah di sekolahku yang dulu. Kemudian aku nekat kabur dari
panti. Aku sadar bahwa rumah nenek sangat jauh, apalagi aku pulang dengan
berjalan kaki. Tapi aku yakin akan bisa sampai di rumah. Aku percaya bisa
menemukannya. Aku terus menyusuri pinggiran jalan aspal, tak peduli terik
matahari yang memanggang kulitku.
 
Sekarang aku tinggal dengan
sebuah keluarga yang tempatnya tak jauh dari rumah nenek. Hanya bebeda RT saja.
Di keluarga itu, aku diperlakukan seperti anak sendiri. Kasih sayang dari orang
tua bisa kudapatkan di sana.
Aku kembali menimba ilmu dari sekolahku yang lama. Pihak sekolah rupanya empati
pada keadaanku, sehingga permohonan kepindahanku bebas administrasi.
 
Aku juga bisa bertemu dengan
nenek dan adikku kapanpun aku mau. Karena jarak yang dekat, aku bisa berjalan
kaki ke rumah. Dan itu kulakukan setiap hari. Sepulang sekolah, tiap siang hari
aku ke rumah nenek. Aku mengurus adikku sementara nenek sibuk dengan pekerjaan
rumah tangga. Tiap sore, orang tua angkatku dat ng menjemputku untuk pulang
bersama ke rumah mereka. Hingga saat ini, seperti itulah rutinitasku.
 
Nenek pernah berkata bahwa beliau
akan mempertahankan adikku selama beliau masih mampu mengurunya. Kini adikku
adalah satu-satunya semangat hidup untuk nenek. Tapi beliau juga tak tahu
sampai kapan sanggup mengurus adikku. Entahlah, aku belum mengerti tentang apa
yang dipikirkannya. Mungkin nanti kalau aku sudah besar, aku akan tahu.
Kupandangi adikku yang sibuk bermain dengan sepotong roti di tangannya. Suatu
saat ketika ia sudah besar, pasti ia akan bertanya tentang banyak hal. Juga
tentang sejarah kehidupan kami, kehidupan dua bocah yatim piatu yang belum mengerti
apa-apa.
 

Sumber : http://lmimadiun.blogspot.com/2011/09/adikku-kita-sekarang-yatim-piatu.html  

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: