Jumat, 16 September 2011

[daarut-tauhiid] Jusman Dalle - Kebangkitan Islam dari Indonesia - detikNews

Minggu, 11/09/2011 19:02 WIB

*Geopolitik Global dan AS Satu Dekade Pasca 9/11 *

*Jusman Dalle* - detikNews


*Jakarta *- Ada perbedaan secara signifikan pada peringatan satu dekade
peristiwa 9/11 (baca: nine eleven) di Amerika Serikat (AS) kali ini, yaitu
Osama bin Laden telah tewas.

Kita ketahui bahwa bencana 9/11 sepulu tahun silam, menjadi gerbang awal
babak baru bagi politik luar negeri AS, yaitu menggalang kekuatan dalam
rangka war on terror (perang melawan teror).

Sebagai pimpinan Al Qaeda dan orang yang diklaim oleh AS mengarsiteki
serangan yang meruntuhkan dua menara kembar World Trade Centre (WTC) dan
jantung pertahanan-keamanan AS di Pentagon pada 11 September 2001, tewasnya
Osama bin Laden merupakan hadiah terbesar bagi Paman Sam dan dunia.
Khususnya dalam agenda perang melawan terorisme.

Empat bulan lalu, tewasnya Osama bin Laden diumumkan langsung oleh Presiden
Barack Husein Obama pada Ahad (1/5/2011). Osama tewas setelah diberondong
oleh serangan SEAL Team 6 (ST6), yaitu pasukan elit kontra teroris yang
anggotanya disaring dari pasukan elit angkatan laut AS (Navy) SEAL.

Tokoh yang oleh sebagian besar umat Islam tersebut sebagai simbol perlawanan
terhadap hegemoni Barat tersebut, diserbu di kediamannya di sebuah mansion
di pinggiran kota Abbottabad, 50 km (30 mil) barat laut ibu kota Pakistan,
Islamabad.

Pertanyaan masyarakat dunia yang turut merasakan dampak perang melawan
terorisme tersebut, setelah Osama tewas berakhirkan agenda AS dalam perang
melawan terorisme yang selama ini dijadikan alasan menginvasi dan
mengintervensi sejumlah negara, termasuk intervensi terhadap Indonesia?
Bagaimana geopolitik global di masa mendatang dalam kaitannya dengan war on
terror ini.

Tentu terlalu simplistis jika secara spontan kita menjawab "iya" atau
"tidak", mengingat perang melawan terorisme berhasil menciptakan multiple
effect. Desain propaganda media Barat yang disetting oleh kepentingan AS,
menjadikan terorisme sebagai momok bagi penduduk bumi.

Bahwa kini dunia dihantui oleh terorisme yang tidak ada matinya, dan bahkan
semakin menggurita. Pintu fobia ini menjadi panggung indah bagi AS untuk
melancarkan berbagai agenda war on terrornya.

Pada kesempatan ini, penulis akan mengulas lebih jauh dampak politik
peristiwa teror paling mematikan (menewaskan tidak kurang dari 3000 orang)
sepanjang sejarah AS.

Belum termasuk yang tewas akibat perang yang digelar AS dan sekutunya dalam
pengejaran terhadap Osama bin Laden dan Al Qaeda, tak terhitung lagi
jumlahnya. Sepuluh tahun terakhir, bagi AS sebagai pioner, motor dan
panglima war on terror, peristiwa 9/11 memberi keuntungan politik.

Akhirnya war on terror bukan saja berakibat terhadap renggang atau bahkan
retaknya relasi Islam (yang distigmatisasi menjadi ideologi katalis teror)
dan Barat (berkat penggiringan opini publik, seolah menjadi korban). Akan
tetapi, lebih jauh telah menciptakan efek pada perkembangan politik, sosial
dan ekonomi global.

Pertama, yaitu terbangunnya aliansi politik baru yang dikomandoi AS. Agenda
war on terror berhasil merekatkan AS dengan sekutu-sekutunya dari lintas
bangsa dan benua.

Khususnya bagi sesama negara Barat dan negara-negara Arab (yang kaya akan
minyak) yang masuk dalam shaf perang tersebut. Hal ini memungkinkan AS
memberi pengaruh lebih jauh pada kebijakan-kebijakan politik dalam dan luar
negeri negara sekutunya, termasuk memobilisasi sumberdaya modal dan militer
dalam memuluskan agenda war on terror.

Kedua, beberapa negara yang selama ini menjadi ancaman bagi pengaruh AS
dapat direduksi atau bahkan dimatikan. Sebutlah misalnya Irak Pra Invasi
2003 yang menjadi salah satu rival AS dan sekutunya di kawasan Timur Tengah.

Namun setelah George W. Bush mengomandoi perang yang digelar sejak 9 April
2003, karena menuduh rezim Saddam Husein mengembangkan senjata pemusnah
massal yang menjadi teror terhadap keamanan dunia khususnya di kawasan Timur
Tengah (walau kemudian tidak terbukti), Irak menjadi lemah (kalau tidak mau
dikatakan hancur) akibat terfragmentasi oleh perang saudara antar suku
karena desain kepentingan politik.

Bahkan Fakta politik di Irak tersebut tidak hanya memberi manfaat politik
bagi AS akan tetapi manfaat ekonomi. Khususnya dalam proyek-proyek recovery
infrastruktur pasca perang dan pengelolaan minyak Irak sebagai penghasil
minyak tersbesar ke-2 di dunia setelah Arab Saudi.

Di Timur Tengah pasca Irak dihancurkan, Arab Saudi tampil sebagai anak emas
AS. Rezim Saud bahkan menyiapkan pangkalan militer bagi AS yang menjadi
pusat kontrol untuk kawasan Timur Tengah. Berbagai kemitraan dibangun oleh
kedua negara baik ekonomi, maupun militer.

Di Asia Tengah, Afganistan yang sedari awal diidentifikasi sebagai tempat
pelarian Osama bin Laden dan menjadi pusat komando jaringan Al Qaeda, AS dan
sekutunya berhasil menempatkan militer dan menggelar mesin perangnya di
kawasan. Di bawah komando Fakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), bersama
Pakistan, negara kayak minyak tersebut porak poranda akibat perang.

Akan tetapi, nahas karena AS dan sekutunya sebagaimana di Irak justru
terjebak hingga mengerahkan sumberdaya militer dan modal yang tidak sedikit.
Sebagaimana dilansir oleh Reuters (10/9/2011) hasil perhitungan dari Brown
University di AS memperkirakan di tiga negara tersebut As merugi hingga 4,4
trilun dollar atau sepertiga dari nilai beban utang AS saat ini sebesar 14,7
triliun dollar.

Tak sampai di situ, mitra politik AS juga rekat meluas hingga ke Asia Timur
yaitu Jepang, Asia tenggara yaitu Singapura dan juga Australia di benua
Australia.

Akhirnya secara geopolitik, AS sukses menghegemoni dunia tapi dengan harga
yang mahal karena setiap negara sekutu tersebut harus dikucuri dana untuk
melancarkan agenda war on terror nya.

Bahkan Indonesia yang menjadi mitra strategis kedua di Asia Tenggara setelah
Singapura, untuk pembentukan pasukan elit anti teror Polri atau Detasemen
Khusus (Densus) 88, pada tahun 2002 Washington merogoh kocek sebesar 16 juta
dollar sebagaimana dilansir Human Rights Watch. Ini baru untuk satu negara,
yaitu Indonesia.

Bagaimana dengan negara lain? Sejumlah data menunjukkan jika setiap tahun
dana untuk perang war on terror terus mengalami peningkatan.

Tahun 2007 Paman Sam merogoh kocek sebesar 93 miliar dollar, tahun
berikutnya 2008, bertambah menjadi 141 miliar dollar untuk seluruh
sekutunya. Padahal saat itu, krisis telah memporak porandakan ekonomi Paman
Sam. Tak heran jika krisis ekonomi AS terus berlanjut. Apalagi di Libya, AS
berperan sentral dalam mendanai "perang" melawan rezim Muammar Qadhdhafi.

Tak dapat dipungkiri bahwa kucuran danalah yang selama ini memuluskan
langkah AS dalam membangun kekuatan politik (sekutu) dengan berbagai negara
lintas benua untuk agenda war on terorror.

Tapi kini AS tengah menderita dan ngos-ngosan akibat defisit anggaran karena
besarnya beban utang. Bahkan saat ini rasio utang AS terhadap produk
domestik bruto (PDB) lebih dari 100 persen. Tahun 2010 lalu, total utang AS
yaitu U$ 14,58 triliun, sementara PDB tahun anggaran yang sama hanya U$
14,53 triliun.

Karena dengan besarnya utang tersebut, maka porsi pembayaran utang dalam
APBN akan menyandera kebijakan anggaran negara untuk diprioritaskan melayani
kreditor asing dan para investor pemilik surat berharga negara.

Pada sisi efektifitasnya, secara internal, beban pembayaran utang akan
menjadi pemicu terjadinya kontraksi belanja sosial, merosotnya kesejahteraan
rakyat, dan melebarnya kesenjangan.

Beban pembayaran utang telah mengurangi kemampuan negara untuk menstimulus
perekonomian dengan dukungan pendanaan bagi pembangunan. Besarnya beban
pembayaran utang setiap tahun mengakibatkan berkurangnya alokasi anggaran
pembangunan dan pengurangan subsidi bagi rakyat yang menjadi tanggung jawab
negara.

Adalah tindakan bodoh jika AS terus menumpuk utang untuk politik luar
negerinya sementara krisis di dalam negeri menimbulkan gejolak politik dan
rentan instabilitas. Dengan memangkas atau bahkan menghentikan kucuran dana
bagi sekutunya, maka pengaruh politik AS akan berkurang.

Akhirnya krisis ekonomi AS yang turut dipengaruhi oleh agenda war on terror
pasca 9/11 ini, menjadi babak baru dalam pergeseran geoekonomi dan
geopolitik yang siap di-takeover oleh sejumlah negara emerging market,
khususnya yang tergabung di dalam BRIC (Brazil, Rusia, India dan China).

Adalah sunnatullah dan fitrah peradaban jika suatu peradaban (hegemoni :
dalam kasus Amerika) layu, maka peradaban lain akan muncul. Tegantung siapa
yang paling siap.

*Penulis adalah Analis Ekonomi Politik SERUM Institute dan Pengurus Pusat
KAMMI dan Telah menulis ratusan artikel yang dipublikasikan oleh media massa
nasional –cetak & online- seperti Media Indonesia, Koran Tempo, Harian
Republika, Detik.com, OkeZone.com, dll
*

*Jusman Dalle*
*Jl. Urip Sumoharjo Km. 05 Makassar*
*jusmandalle@rocketmail.com*
*085299430323*

*(wwn/wwn)*

http://www.detiknews.com/read/2011/09/11/190228/1719857/471/geopolitik-global-dan-as-satu-dekade-pasca-9-11?nd992203605

Selasa, 13/09/2011 12:53 WIB

*Kepemimpinan Memposisikan Indonesia *

*Jusman Dalle* - detikNews


*Jakarta *- (Bagian Terakhir Catatan Satu Dekade Pasca Tragedi 9/11)

Pasca tragedi 9/11 yang memantik pertanyaan dan rasa penasaran tentang
Islam, di Barat terjadi gelombang yang berbeda, yaitu deklinasi
spiritualitas dan moralitas.

Pertemuan dua arus ini, yaitu pencarian spiritual Barat dan berseminya Islam
menimbulkan gelombang Islamisasi. Islam menjadi agama yang berkembang sangat
pesat. Akan tetapi dibalik perkembangan tersebut, secara global masih banyak
tersimpan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh kaum Muslimin.

John L. Esposito, guru besar dan direktur Centre for Muslim-Christian
Understanding di Georgetown University, Washington DC. Tokoh yang sering
membuat Barat meradang akibat pandangan objektif dan emphaty terhadap Islam,
di dalam bukunya "The Future of Islam" (Oxford: OUP, 2010) mengidentifikasi
beberapa masalah yang di hadapi Islam di masa mendatang.

Pertama, Esposito melihat meningkatnya ultrakonservatisme Islam, yang
terutama diwakili Wahabisme. Meski gerakan Wahabiyah sekarang tidak selalu
menampilkan kekerasan, namun faham ini cukup membuat Islam hadir sebagai
agama yang segala tidak boleh: 'ini tidak boleh, itu tidak boleh'.

Kedua, di dalam tubuh umat Islam masih ada disapritas (kesenjangan) yang
besar dalam hal pembaharuan Islam. Gerakan purifiksi Islam selalu
konfrontatif dengan gerakan pembaharuan yang tak jarang mencederai dan
melemahkan umat Islam sendiri. Perbedaan-perbedaan yang tajam dalam tafsir
keagamaan ini, kian sulit terselesaikan.

Bagi Duo Islamis-Indonesianis berkewarganegaraan Australia Greg Fealy dan
Anthony Bubalo, di dalam bukunya Joining the Caravan ?: The Middle East,
Islamism and Indonesia (2007), titik sentral diskursus pembaruan dalam Islam
terletak pada dua hal yaitu pemurnian Islam yang berarti merujuk kepada
generasi awal Islam (shalafush shalilh) yang hidup dalam suasana murni
bersih dari pengaruh tradisi jahiliyah.

Akan tetapi konsekwensinya adalah Islam harus membuat jarak dengan realitas
budaya lokal. Bagi negara-negara yang masih memelihara dan kental dengan
budaya lokal.

Pilihan kedua pembaruan ini ialah lebih menitikberatkan kepada melakukan
interpretasi baru terhadap ajaran Islam dengan memanfaatkan potensi
rasionalitas sebagaimana dalam pengalaman barat.

Akan tetapi bedanya, barat melakukan pembaruan dengan membelakangi sama
sekali doktrin teologia kekristenan, sementara masyarakat muslim menerima
secara absolut kebenaran wahyu (qoth'i tsubut) namun melakukan penafsiran
baru sesuai dengan perkembangan moderen.

Secara struktural, kelompok inilah yang biasanya tampil transformatif pada
wilayah lebih formal. Misalnya dengan masuk dalam pusaran kekuasaan melalui
kontestasi demokrasi dengan mendirikan partai politik Islam.

Walaupun oleh beberapa kelompok, demokrasi dianggap haram. Akomodasi
terhadap demorkasi bisa kita lihat pada gerakan politik Islam seperti AKP di
Turki, An Nahdah di Tunisia, Ikhwanul Muslimin di Mesir dan PKS di
Indonesia.

*Peluang Indonesia*

Berbeda dengan Umat Islam yang harus menjawab sejumlah tantangan pasca
tragedi 9/11, kini Barat (khususnya AS) justru harus menanggung resiko.
Bahwa mesin perang yang digelar selama sepuluh tahun telah menyedot anggaran
tak sedikit, sehingga berakibat pada goncangnya perekonomian negara tersebut
akibat utang untuk menggelontorkan biaya perang di sejumah negara Muslim.

Laporan terakhir yang dilansir oleh Reuters menunjukkan jika saat ini uang
AS telah melampaui produk domestik beruto (PDB) AS, yaitu tahun 2010 lalu,
total utang AS sebesar U$ 14,58 triliun, sementara PDB tahun yang sama hanya
U$ 14,53 triliun.

Sepanjang sejarah petualangan perang AS, perang pasca 9/11 merupakan perang
perang pertama yang keseluruhan biayanya didanai dari utang. Mengingat
rentang waktu perang yang begitu lama dan dilakukan di banyak negara, maka
tak heran jika biaya perang terus membengkak. Beban utang pun melampaui PDB
AS, padahal sebelum penrang, negara tersebut surplus fiskal 2 persen.

Kondisi ini menjadi ancaman bagi terjadinya resesi atas ekonomi AS karena
beban utang yang menyedot anggaran besar mengharuskan pemerintah mengurangi
porsi pada stimulus ekonomi.

Akibatnya terjadi efek domino. Ekonomi akan melambat, atau bahkan –mungkin-
bisa tumbuh negatif, pengangguran pun akan semakin membengkak dari angka 9,1
persen saat ini. Pengangguran tersebut hanya akan menjadi masalah sosial
bagi AS.

Sebagai negara yang berkontribusi bagi 40 persen perputaran ekonomi dunia,
permasalahan AS ini tak pelak menjadi ancaman bagi ekonomi global.
Tanda-tanda itu mulai nampak pada negara-negara yang selama ini ekonominya
bergantung pada AS. Sebutlah misalnya negara-negara di Eropa dan Amerika
seperti Inggris, Prancis, Kanada, Jerman dan Yunani yang mengalami
perlambatan pertumbuhan ekonomi hingga pada tahap krisis.

Ledakan kerusuhan di Tottenham, London Utara yang merupakan wilayah dimana
terdapat sejumlah besar kelompok minoritas etnis dengan tingkat pengangguran
yang tertinggi di kota itu, tidak lepas dari kesenjangan sosial akibat
permasalahan ekonomi.

"Sesungguhnya bagi orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti
mendapat kehinaan sebagaimana kehinaan yang telah didapat oleh orang-orang
sebelum mereka. Dan sungguh kami telah menurunkan bukti-bukti yang nyata.
Dan bagi orang-orang yang mengingkarinya akan mendapat adzab" (QS Al
Mujadalah [58] : 5)

Sebagai negara dengan potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam yang
melimpah, deklinasi di Barat menjadi gerbang bagi Indonesia (jika disertai
dengan kesiapan) untuk menjadi ikon baru dalam percaturan global.

Hanya saja, sering terjadinya gejolak politik dan hukum di negeri ini selalu
berpengaruh negatif akibat tersedotnya energi pemerintah mengatasi
masalah-masalah pragmatis tersebut.

Jika ingin tampil seperti negara-negara emerging market yang tergabung dalam
BIRCS (Brazil, India, Rusia, China, Saouth Africa), yang diprediksi menjadi
pusat kekuatan ekonomi-politik global di masa depan, maka pemimpin di negeri
ini, mensyarat utamakan kekuatan kepemimpinan yang mampu meredam sekaligus
mengelola dan mentransformasi dinamika sosial, ekonomi, politik dan hukum
menjadi energi positif.

Selain kepemimpinan, kedewasaan dan sikap bijaksana seluruh elemen bangsa
dalam menyikapi setiap dinamika kebangsaan, juga menjadi urgen untuk kita
hadirkan. Sebagai negara yang mayoritas berpenduduk muslim, keterlatihan
dari dinamika keagamaan yang sering terjadi, setidaknya menjadi modal awal
Indonesia.

Dengan demikian, optimisme bahwa Indonesia akan menjadi pioner kebangkitan
Islam dari Timur, akan menjadi kenyataan. Jayalah Indonesia!

**Penulis adalah Analis Ekonomi Politik SERUM Institute dan Pengurus Pusat
KAMMI (Follow Twitter @Jusmandalle)*


*Jusman Dalle*
*Jl. Urip Sumoharjo Km. 05 Makassar*
*jusmandalle@rocketmail.com*
*085299430323*

*(wwn/wwn)*

http://www.detiknews.com/read/2011/09/13/125350/1721124/471/kepemimpinan-memposisikan-indonesia


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: