Senin, 12 September 2011

[daarut-tauhiid] KETIKA DIGUGAT: "Berfikir keluar dari buku"

*KETIKA DIGUGAT*

SUATU ketika seorang mahasiswa tingkat undergraduate mengetuk ruang kerja
saya di Bevier Hall– University of Illinois, Amerika Serikat (AS).

Sebagai teaching assistant di kampus itu, saya bertugas menggantikan seorang
profesor yang mengajar mata kuliah consumer economics. Selain mengajar, saya
juga membuat sebagian soal ujian dan memeriksanya.

Dengan mimik penuh percaya diri, dia menyampaikan masalahnya. Dia menunjuk
lembar jawaban soal yang terdiri atas pilihan berganda (multiple choice)
yang baru saja dia terima.Nilai yang dia dapat tidak terlalu jelek,tetapi
dia kurang puas dan mengajak saya berdiskusi, khusus pada sebuah soal yang
dianggapnya terbuka untuk didiskusikan. Setelah membacanya kembali,
tiba-tiba saya tersadar, soalnya memang konyol sekali.

Pertanyaannya kurang lebih seperti ini. "Berapa lama rata-rata rumah tangga
menggunakan handuk mandi?" Tentu saja setiap orang punya jawaban yang
berbeda-beda. Namun karena mata kuliah ini didasarkan atas hasil riset, maka
mahasiswa harus menguasai dasardasar perilaku konsumen yang datanya
diperoleh secara riil dari riset. Jawabannya semua ada di buku teks. Jadi
kalau buku dibaca atau bahan kuliah dipelototi, pasti mereka mudah menemukan
jawabannya. Di buku teks jawaban tertulis, rata-rata rumah tangga
mengonsumsi handuk selama delapan tahun. Dia memilih jawaban dua tahun.Tentu
saja saya mencoretnya.

Bagi seorang guru, menemukan murid seperti ini mungkin biasa saja. Namun
cerita berikut ini mungkin dapat mengubah pandangan Anda tentang cara
mendidik atau bahkan membimbing orang lain, karyawan,atau bahkan diri
sendiri agar berhasil dalam hidup.

*Kekuatan Argumentasi*

Mahasiswa saya tadi mengajak saya berdiskusi, "Prof," ujarnya. "Jawaban ini
salah." Saya mengernyitkan dahi.Maklum, belum pernah saya mendengar seorang
mahasiswa di tingkat persiapan berani-beraninya menyalahkan soal, apalagi
menyalahkan isi buku. "Maksud saya, setelah saya tanya-tanya ke kiri-kanan,
tak ada orang yang menyimpan handuk mandi sampai 8 tahun,"lanjutnya.

"Jadi berapa tahun?" tanya saya. "Ya dua tahun.Ini jawaban saya
benar,"katanya lagi. Saya pun teringat dengan cara teman-teman saya sewaktu
kuliah dulu mengakali dosen yang "lemah". Dosen seperti itu biasanya gampang
diajak kompromi dan kalau kita pintar mengambil hatinya, angka bisa
berubah.Maka,di kepala saya,berkompromi bukanlah karakter saya. Berkompromi
sama dengan kelemahan, lembek, merendahkan martabat, plinplan. "Jadilah guru
yang teguh." Kalimat itu terus mengalir di hati saya. Kompromi itu jelek,
lemah, tidak konsisten, tidak berwibawa. "Ah, kamu ini cuma cari pembenaran
saja. Ini justifikasi namanya.Pokoknya jawaban Anda salah.

Apa Anda tidak baca buku. Coba buka halaman 40," ujar saya pada mahasiswa
tadi. "Betul,"katanya lagi. "Di buku memang tertulis begitu.Saya tahu." "Ah,
Anda tidak baca saja…," ujar saya lagi.

"Bukan, tetapi ini tidak masuk akal." Dia mencoba menjelaskan. Namun sebagai
orang Indonesia yang terbiasa dididik tanpa kompromi di sekolah, saya
mencoba untuk tidak mendengarkan argumentasinya. Saya khawatir wibawa saya
terganggu. Dosen kok didebat. Namun dia tetap menjelaskan panjang lebar
bahwa sekarang tidak ada lagi handuk yang seawet itu. Dua tahun sudah
rusak."Dulu sabunnya tidak sekuat yang sekarang, lagipula mana ada produsen
yang mau membuat handuk dengan material yang kuat dan harganya mahal?
Konsumen memilih yang terjangkau dan produsen memilih barang-barang yang
murah.Kalau cepat rusak tak apa-apa,setelah itu beli lagi,"katanya
bersemangat. Matanya berbinar menjelaskan gagasannya dan penuh harap saya
mau mengubah pendapat saya. Saya masih ingat dia menjelaskan tentang mesin
cuci yang dulu tidak dipakai rumah tangga sehingga tidak merusak material.
Lama kita berdebat dan sebenarnya saya suka mempunyai peserta didik yang
kritis seperti itu. Namun, sebagai guru dari Indonesia, saya tidak suka
ditawar-tawar.

Ini soal integritas. "Nope," jawab saya menolak permohonannya agar saya
mengoreksi nilainya. Dia pun keluar dengan kecewa. Saya berpikir, urusan pun
selesai. Namun, di luar dugaan, setengah jam kemudian dia kembali lagi. Kali
ini dia datang diantar profesor saya.Seperti tak ada masalah sama sekali
profesor itu datang dengan penuh senyum.

"Rhenald,"ujarnya. "I talk to this guy, and I like his idea." Sudah tahu
arahnya, saya pun segera menukas."Yes, he did talk to me, and indeed he was
wrong. He didn't give the right answer," ujar saya.

"Saya mengerti," jawab profesor itu,"Tapi perhatikan ini. Saya suka cara
berpikirnya. Dia memang memberi jawaban yang berbeda dengan buku, tetapi
argumentasinya kuat dan dia benar." Singkat cerita, profesor itu meminta
saya agar mendengarkannya dan memahami logika anak itu.

Kejadian itu sekali lagi telah membuka pikiran saya. Betapa memalukannya
otak reptil saya. Guru kok tertutup. Namun, saya beruntung segera menyadari
kesalahan saya. Saya belajar bahwa saya menganut nilai-nilai yang
salah.Tertutup, tak berkompromi, tegas, teguh, terlalu mengedepankan wibawa
hanyalah merupakan bentuk defensif saya sebagai guru yang sebenarnya hanya
perwujudan dari rasa takut yang berlebihan saja.

Takut dibilang lembek, kompromistis, mudah dirayu, tidak objektif,dan
sebagainya. Pendapat yang semula saya tentang kini harus saya terima dan
nilai anak itu saya koreksi. Bahkan seperti penjual kacang rebus yang suka
menambah kacang ke dalam bungkusan pelanggannya, saya pun memberikan bonus
angka kepadanya. Mendidik adalah lebih dari sekadar menjaga imej.

Mendidik adalah proses menjadikan orang lain seorang "master" dan bukan
menciptakan pengikut. Yang ingin kita lahirkan adalah manusia yang mampu
berpikir,terbuka terhadap logika. Bukan manusia-manusia dogmatik yang hanya
mengikuti maunya kita, menulis apa yang kita diktekan, berpendapat apa yang
menjadi pikiran kita, dan tak bisa menerima perbedaan pendapat. Malas
berpikir.

*Keluar dari Buku*

Kisah anak-anak yang tak mampu berpikir di luar buku teks sudah banyak kita
saksikan. Salah satu film yang paling saya suka dan selalu saya pakai untuk
mengajari dosen-dosen muda menjadi pendidik adalah potongan film yang
dibintangi Julia Roberts berjudul Monalisa Smile.

Dalam film itu dikisahkan kesulitan seorang guru yang mengajar karena setiap
kali dia menampilkan slide yang diambil dari buku, selalu disambar
murid-muridnya yang berebut menjelaskan.

Dia benar-benar bingung. Muridnya aktif-aktif dan pintar-pintar. Mereka
sudah membaca assignment sebelum pelajaran dimulai. Mereka benar-benar telah
mempersiapkan diri dengan baik sebelum masuk kelas dengan membaca, membuat
ringkasan, dan memiliki kepercayaan diri yang kuat dan aktif berbicara. Hari
pertama mengajar dia gagal total. Namun minggu berikutnya, setelah merenungi
dalam-dalam, dia mendapatkan ide.

Kali ini dia mengajak murid-muridnya keluar dari buku teks. Dia menunjukkan
slide yang sama sekali baru. Tak ada di buku dan bahan ajarannya sama sekali
baru.

"Coba lihatlah gambar ini. Apakah ini bagus?" Semua murid tertegun.

Gambar itu belum pernah mereka lihat dan tanpa referensi mereka tidak punya
acuan sama sekali. Padahal, selama ini mereka hanya mengikuti perintah buku.
Gambar itu bagus kalau kalimat di buku berkata gambar itu bagus. Sekarang
saat gambar itu tak ada penjelasannya, mereka pun tak berani berpendapat.
Mereka saling lihat kiri-kanan. Seorang yang mencoba menjawab kebingungan.
"Apakah ada gambar yang bagus?" "Siapa yang berhak mengatakannya?" "Sesuatu
yang bagus itu akan menjadi bagus tergantung siapa yang mengatakannya."
Mereka terbelah. Ibu guru pun menjelaskan wisdom-nya. "Look, kalian baru
saja keluar dari cara berpikir buku teks," ujarnya.

Dia mengajarkan perihal kehidupan, yaitu berani berpendapat dan membuat
keputusan pribadi. Apa yang dapat dipelajari dari film Monalisa Smile dan
kasus yang saya alami saat saya menjadi teaching assistant di University of
Illinois dan berhadapan dengan mahasiswa yang minta agar saya mengoreksi
jawaban soalnya 15 tahun yang lalu itu? Benar! Kita adalah manusia dan tugas
guru adalah mendidik manusia,memerdekakannya dari segala tekanan, dari
perilaku-perilaku buruk, dari pikiran-pikiran negatif, dari rasa sok
pintarnya yang sesungguhnya belum apa-apa, dari belenggu-belenggu dogma, dan
mengajaknya melihat keindahan dari apa yang diciptakan Tuhan.

Dari semua itu,yang terpenting adalah bagaimana kita hidup dengan otak yang
terbuka dan mengajarkan keterbukaan. Bukankah otak kita bekerjanya seperti
parasut, yang artinya dia baru bisa dipakai kalau dia mengembang dan
terbuka? Itulah yang saya ajukan selama ini kepada anak-anak didik saya dan
terbukti mereka mampu menjadi orang-orang yang hebat. Itu pula yang saya
sharing-kan kepada para guru dan dosen.

Sebagian orang cepat mengubah diri, tapi sebagian pendidik lain tidak peduli
dengan cara ini. Mereka tetap ingin mengajar dengan cara-cara dogmatik.
Ingin dipuja tanpa argumentasi,tak mau mendengarkan, takut dibilang lembek,
dan ingin diterima bak seorang ulama besar yang tak terbantahkan. Itulah
hidup, tak semua orang mau berubah. Namun Anda tak perlu cemas.

Orang-orang seperti itu sudah pernah menyurati saya dengan amarah
berlembar-lembar. Mereka menembaki saya dengan ratusan peluru. Di antara
surat-surat cinta mereka pun ada yang berisi ancaman, memperingatkan saya
dan mengusir dari keguruan ini. Namun saya berkeyakinan, seorang pendidik
sejati tak akan menyerah oleh ancaman-ancaman kosong. Dia tak berorientasi
pada persaingan, melainkan pada masa depan anak-anaknya.

*) *Rhenald Kasali*, Ketua Program MM UI


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: