Selasa, 03 Juli 2012

[daarut-tauhiid] Tidak Menyerupai Orang Kafir

 

Tidak Menyerupai Orang Kafir

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah

Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam syariat bahwa tidak boleh bagi muslim atau muslimah untuk ber-tasyabbuh (meniru) orang kafir baik dalam perkara ibadah, hari raya atau tasyabbuh dalam pakaian yang menjadi ciri khas mereka. Larangan ber-tasyabbuh adalah kaidah yang agung dalam syariat Islam -namun ironisnya- saat ini banyak kaum muslimin telah keluar dari kaidah ini –termasuk juga di kalangan orang-orang yang berkepentingan terhadap perkara agama dan dakwah. Hal ini disebabkan karena kejahilan mereka terhadap agama, karena mereka mengikuti hawa nafsu, atau mereka hanyut dengan model-model masa kini serta taklid (mengikuti tanpa ilmu) kepada bangsa Eropa yang kafir. Sehingga keadaan ini termasuk menjadi penyebab kaum muslimin memiliki kedudukan yang rendah dan lemah serta berkuasanya orang asing terhadap mereka.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (Ar-Ra'd: 11)

Duhai, seandainya kaum muslimin mengetahui. Hendaknya diketahui, dalil–dalil atas benarnya kaidah penting ini banyak terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Jika dalil-dalil dalam Al-Qur'an bersifat umum, maka As-Sunnah menafsirkan dan menjelaskan ayat-ayat tersebut. Di antara dalil dari ayat Al-Qur'an adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Dan sesungguhnya telah kami berikan kepada Bani Israil Al-Kitab (Taurat) kekuasaan dan kenabian. Dan kami berikan kepada mereka rizki-rizki yang baik dan kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada masanya). Dan kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan (agama), maka mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan karena kedengkian yang ada di antara mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang mereka selalu berselisih kepadanya. Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui." (Al-Jatsiyah: 16-18)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang ayat ini dalam kitab Iqtidha hal. 8:
"Allah Subhanahu wa Ta'ala mengkhabarkan bahwa Dia memberikan nikmat kepada Bani Israil dengan nikmat dien dan dunia. Bani Israil berselisih setelah datangnya ilmu akibat kedengkian sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas syariat dari urusan agama itu dan Allah memerintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengikuti syariat tersebut. Serta Allah Subhanahu wa Ta'ala larang beliau untuk mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.

Masuk dalam pengertian (orang-orang yang tidak mengetahui) adalah semua orang yang menyelisihi syariat Rasul. Yang dimaksud dengan ahwa-ahum adalah segala sesuatu yang menjadikan mereka cenderung kepada nafsu dan segala macam kebiasaan mereka yang nampak berupa jalan hidup mereka, yang merupakan konsekuensi dari agama mereka yang batil. Mereka cenderung kepada itu semua.

Mencocoki mereka dalam hal ini berarti mengikuti hawa nafsu mereka. Karena inilah, orang-orang kafir sangat bergembira dengan perbuatan tasyabbuh (meniru) yang dilakukan kaum muslimin dalam sebagian perkara mereka. Bahkan orang-orang kafir pun suka untuk mengeluarkan dana besar untuk mendapatkan hasil ini. Seandainya perbuatan tersebut tidak dianggap mengikuti hawa nafsu mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa menyelisihi mereka dalam hal ini justru lebih mencegah terhadap perbuatan mengikuti hawa nafsu mereka dan lebih membantu untuk mendapatkan ridha Allah ketika meninggalkan perbuatan tasyabbuh ini. Dan bahwa perbuatan meniru orang kafir dalam hal itu mungkin menjadi jalan untuk meniru mereka dalam perkara yang lain. Sesungguhnya (sebagaimana penggambaran dalam sebuah hadits) barangsiapa yang menggembala di sekitar daerah larangan maka dikhawatirkan dia akan terjatuh ke dalamnya. Maka apapun dari dua keadaan itu, niscaya akan terwujud tasyabbuh itu
secara umum, walaupun keadaan yang pertama lebih jelas terlihat."

Dalam bab ini Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَالَّذِينَ ءَاتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَفْرَحُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمِنَ اْلأَحْزَابِ مَنْ يُنْكِرُ بَعْضَهُ قُلْ إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللهَ وَلاَ أُشْرِكَ بِهِ إِلَيْهِ أَدْعُو وَإِلَيْهِ مَآبِ وَكَذَلِكَ أَنْزَلْنَاهُ حُكْمًا عَرَبِيًّا وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوآءَهُمْ بَعْدَ مَا جآءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلاَ وَاقٍ

"Orang-orang yang kami berikan kitab kepada mereka bergembira dengan kitab yang diturunkan kepadamu dan di antara golongan-golongan (Yahudi dan Nashrani) yang bersekutu, ada yang mengingkari sebagiannya. Katakanlah: 'Sesungguhnya aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Dia'. Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Qur'an itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah." (Ar-Ra'd: 36-37)

Kata ganti 'mereka' (هُمْ) dalam kata hawa 'nafsu mereka' (أَهْوآءَهُمْ) kembali –wallahu a'lam– kepada yang disebutkan sebelumnya yaitu al-ahzab (kelompok-kelompok) yaitu orang-orang yang mengingkari sebagian Al-Kitab. Termasuk dalam pengertian ini adalah setiap orang yang mengingkari sesuatu dari Al Qur'an baik (dilakukan oleh) Yahudi atau Nashrani atau selain keduanya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu..." (Ar-Ra'd: 37)

Mengikuti kaum kafir dalam perkara yang dikhususkan bagi agama mereka atau mengikuti agama mereka, termasuk mengikuti hawa nafsu mereka. Bahkan bisa jadi akan menyebabkan mengikuti hawa nafsu mereka dalam perkara lain selain perkara agama.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلاَ يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ اْلأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

"Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun kepada mereka. Dan janganlah mereka seperti orang-orang sebelumnya telah diturunkan kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik." (Al-Hadid: 16)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Iqtidha hal. 43 tentang ayat ini:
"Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (وَلاَ يَكُونُوا) 'janganlah mereka menjadi' adalah larangan mutlak untuk menyerupai orang kafir dan dalam ayat ini secara khusus juga terdapat larangan untuk menyerupai kerasnya hati mereka. Sedangkan kerasnya hati adalah buah dari maksiat."

Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini (4/310):
"Karena inilah Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang kaum mukminin menyerupai orang kafir dalam satu perkara, baik dalam perkara-perkara pokok ataupun cabang."

Di antara larangan tasyabbuh adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) 'ra'ina', akan tetapi katakan 'undzurna' dan 'dengarlah'. Dan bagi orang-orang kafir terdapat siksa yang pedih." (Al-Baqarah: 104)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini (1/148):
"Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk meniru orang kafir dalam ucapan dan perbuatan mereka. Hal itu karena sesungguhnya orang Yahudi dahulu menggunakan kata-kata yang mengandung tauriyah (tipuan) karena mereka bermaksud untuk melecehkan. Semoga Allah melaknati mereka. Maka jika mereka ingin mengatakan 'dengarkan kami', mereka justru mengatakan ra'ina[2]. Mereka maksudkan makna ru'unah dengan makna dungu. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: 'Kami mendengar namun kami tidak menurutinya'. Dan (mereka mengatakan) pula: 'dengarlah', sedangkan kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan) rai'na dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: 'Kami mendengar dan patuh, dan dengarlah, dan perhatikan kami' tentulah itu lebih baik dan lebih tepat. Akan tetapi Allah mengutuk mereka karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis." (An-Nisa: 46)

Demikian pula terdapat hadits-hadits yang memuat berita tentang Yahudi bahwa jika memberi salam, mereka mengatakan As-samu 'alaikum, padahal As-samu berarti Al-Maut. Karena itulah kita diperintahkan untuk membalas (salam) mereka dengan perkataan 'alaikum.[1]. Doa kita ini dikabulkan atas mereka dan doa mereka atas kita tidak dikabulkan.

Maksudnya bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang kaum mukminin untuk menyerupai orang kafir dalam perkataan dan perbuatan.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata tentang ayat ini dalam hal. 22 yang ringkasnya:
"Qatadah dan selainnya berkata: Yahudi mengatakan perkataan ini kepada Nabi sebagai istihza (olok-olok). Maka Allah melarang kaum mukminin untuk mengucapkan perkataan seperti mereka."

Beliau rahimahullah juga mengatakan:
"Yahudi mengatakan kepada Nabi ra'ina sam'aka. Mereka (bermaksud) mengolok-olok dengan ucapan ini karena di kalangan Yahudi perkataan ini adalah sebuah kejelekan. Ini menjelaskan bahwa kata-kata ini dilarang bagi kaum muslimin untuk mengucapkannya karena orang Yahudi mengucapkannya, walaupun orang Yahudi bermaksud jelek dan kaum muslimin tidak bermaksud jelek. Karena dalam hal itu terdapat kesamaan terhadap orang kafir dan memberi jalan bagi mereka untuk mencapai tujuan mereka."

Dalam bab ini terdapat beberapa ayat lain, namun apa yang kami sebutkan telah mencukupi. Barangsiapa yang ingin mengetahui ayat-ayat itu silakan melihat kitab Iqtidha.

Dari ayat-ayat sebelumnya telah jelas bahwa meninggalkan jalan hidup orang kafir dan tidak meniru mereka dalam perbuatan, ucapan, dan hawa nafsu mereka merupakan maksud dan tujuan syariat ini. Maksud dan tujuan syariat itu terdapat di dalam Al-Qur'an Al-Karim dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan hal itu ssrta merincinya untuk umat ini. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hal itu juga dalam banyak perkara dari cabang syariat. Sehingga Yahudi yang tinggal di Madinah sangat mengetahui hal ini, bahkan mereka merasa bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menyelisihi mereka dalam segala urusan yang menjadi ciri khas mereka. Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu:

"Sesungguhnya pada Kaum Yahudi jika ada seorang wanita di antara mereka mengalami haidh, mereka tidak bersedia makan bersama wanita tersebut dan tidak berkumpul dengan wanita itu dalam rumah. Maka para shahabat bertanya kepada Nabi tentang hal ini, maka turunlah ayat Allah: "Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh. (Al-Baqarah: 222)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda menjawab pertanyaan para shahabat: "Berbuatlah segala sesuatu kecuali nikah (maksudnya jima', red)."

Kejadian ini sampai kepada orang-orang Yahudi, merekapun berkata: "Laki-laki ini tidak membiarkan satu perkara pun dari perkara kita kecuali dia (pasti) menyelisihi kita dalam hal itu."

Kemudian datanglah Usaid bin Hudhair dan 'Abbad bin Bisyr radhiallahu 'anhuma dan keduanya bertanya: "Ya Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wa sallam), sesungguhnya Yahudi berkata begini dan begitu. Tidakkah kita berjima' saja dengan para wanita (untuk menyelisihi Yahudi)?" Berubahlah wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga kami menyangka beliau marah kepada kedua shahabat itu sampai keduanya keluar (dari rumah Rasulullah). Kemudian kedua shahabat itu menerima hadiah berupa susu (yang ditujukan) kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian beliau menyusulkan hadiah tersebut kepada keduanya. Lantas Nabi memberi mereka berdua minum, maka (akhirnya) mereka berdua mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ternyata tidak marah kepada keduanya.[3]

Adapun dari As-Sunnah, maka nash-nash (dalil-dalil) tentang larangan tasyabbuh jumlahnya banyak, yang sangat baik untuk menguatkan kaidah yang lalu. Nash-nash dalam As-Sunnah ini tidak terbatas dalam satu bab saja dari sekian macam bab dalam syariat yang suci, misalnya shalat. Namun nash-nash ini juga mencakup juga hal selainnya, berupa perkara-perkara ibadah, adab, kemasyarakatan, dan adat. (Nash-nash dari As-Sunnah) ini adalah penjelas yang merinci keterangan global yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur'an yang telah lalu dan ayat yang semisalnya, sebagaimana telah diisyaratkan.

catatan kaki:
[1] Untuk memutlakkan jawaban seperti ini, masih perlu kajian lebih lanjut. Silakan lihat apa yang saya sebutkan dalam Ash-Shahihah, 2/324-330.
[2] Adapun makna ra'ina adalah orang yang jahat di antara kami.
[3] Dikeluarkan Al-Imam Muslim (1/169) dan Abu 'Awanah (1/311-322) dalam kitab Shahih keduanya. Al-Imam At-Tirmidzi berkata: "Hadits hasan shahih." Dan hadits ini juga diriwayatkan oleh selain mereka yang kami sebutkan (di atas), dan kami telah menjelaskannya dalam Shahih Sunan Abi Dawud (no. 250).
Syaikhul Islam dalam Iqtidha berkata: "Hadits ini menunjukkan banyaknya hal yang Allah syariatkan bagi Nabi-Nya untuk menyelisihi kaum Yahudi, bahkan dalam setiap perkara secara umum, hingga kaum Yahudi mengatakan: 'Laki-laki ini tidak menginginkan untuk membiarkan satu perkarapun dari perkara kita kecuali dia menyelisihi kita dalam perkara itu'.
Adapun hukum menyelisihi -sebagaimana yang akan dijelaskan- terkadang terjadi pada hukum asalnya dan terkadang dalam sifat hukumnya. Menjauhi wanita yang haidh (pada kaum Yahudi) tidak diselisihi kaum muslimin pada asal hukumnya. Namun kaum muslimin menyelisihi dalam sifatnya dari sisi bahwa Allah mensyariatkan mendekati wanita haidh selain dari tempat haidh (kemaluan). Maka ketika sebagian shahabat melampaui batas dalam menyelisihi (Yahudi) sampai meninggalkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala syariatkan, berubahlah wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Bab ini termasuk dalam perkara thaharah di mana kaum Yahudi mempunyai belenggu yang besar di dalamnya. Adapun kaum Nashrani telah membuat bid'ah dengan meninggalkan hukum thaharah ini seluruhnya sehingga mereka tidak menganggap najis sesuatu pun tanpa syariat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan petunjuk kepada umat yang pertengahan ini (umat Islam) dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala syariatkan bagi umat ini berupa hukum yang pertengahan dalam hal ini, meskipun apa yang dulu ada pada orang Yahudi juga disyariatkan (untuk mereka). Maka menjauhi hal yang tidak disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menjauhinya berarti mendekati (perbuatan) Yahudi, dan mengerjakan hal yang disyariatkan Allah untuk menjauhinya adalah mendekati (perbuatan) Nashara. Sedangkan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sumber: http://asysyariah.com/

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: