Rabu, 21 Mei 2008

[daarut-tauhiid] Fwd: "Insya Allah Indonesia Bisa....."

Bismillahirrahmanirrahim

*Insya Allah Indonesia Bisa........*

Oleh: Fauzi Nugroho

Selama dua jam pemirsa TV disuguhi tontonan langsung peringatan "Hari
Kebangkitan Nasional". Peringatan yang bertema "Indonesia Bisa", menjadi
momen menghidupkan kembali semangat kebangsaan setelah seratus tahun
berlalu. Di tengah kontroversi seputar tanggal peringatan, dan seabreg
permasalah yang merundung bangsa. Acara kolosal yang dikemas dalam paduan
tari, suara serta atraksi lainnya cukup menggelorakan spirit kebangsaan.
Seakan seluruh elemen bangsa menuju titik yang satu, yaitu Nasionalisme.
Stadion Gelora Bung Karno menjadi saksi munculnya kesadaran anak negeri
untuk bangkit dari keterpuruan yang melanda pertiwi.

Betapa tidak!. Di tengah isu kenaikan harga BBM yang mengundang aksi
demonstrasi masa di sana-sini. Kekhawatiran banyak pihak akan susulan
kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Penolakan sebagian daerah atas rencana
pemerintah mengalokasikan subsidi BBM dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai
(BLT). Kegagalan Tim Piala Thomas dan Uber Cup memboyong kembali lambang
supremasi Bulutangkis dunia. Menipisnya kebanggaan sebagai anak negeri, dan
melunturnya rasa senasib sepenanggungan. Serta masalah-masalah lain yang
kini melilit negeri. Namun malam itu, Merah Putih sempat bersemayam di dada
kita, dan menimbulkan kecintaan terhadap negeri.

*Founding Fathers* telah sepakat bahwa perbedaan yang dimiliki bangsa ini
adalah sebuah keniscayaan, dan hal itu adalah rahmat untuk bangsa ini.
Sehingga ia tidak bisa dihilangkan begitu saja dan menjadikannya satu warna.
Kebhinekaan itulah yang membuat negara ada seperti sekarang ini,
keragamannya membentang dari ujung Sabang hingga Marauke. Baik dalam hal
budaya, agama, suku, maupun adat istiadat. Sebagai seorang beriman,
perbedaan adalah bukti atau tanda kekuasaan Sang Pencipta, "*Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah .....berlain-lainan bahasamu dan warna
kulitmu.*" (QS. Ar Ruum, 30:22).

Perbedaan memang dikehendaki oleh Allah SWT, dan tidak mungkin dunia ini,
khususnya Indonesia hanya satu warna. Para pendiri negeri telah menyadari
hal itu, oleh karenanya konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
adalah harga mati, tidak bisa diganggu gugat. Semua menyepakati pemikiran
pendahulu bangsa itu, bukan malah mempermasalahkannya. Bhineka Tunggal Ika,
itulah semboyan yang terus digaungkan sebagai perekat perbedaan-perbedaan
yang ada, yang dengannya kita bahu membahu untuk kemakmuran dan
kesejahteraan bangsa.

Namun setelah selama seabad lamanya, tampaknya rakyat kita belum bisa
dikatakan mandiri dalam arti merdeka sesungguhnya. Kendati kemerdekaan telah
diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta hampir 63 tahun lalu. Namun
senyatanya modal tersebut belum mampu mengantarkan bangsa ini pada cita-cita
para pendahulu. Cukup banyak kita saksikan polah dan tingkah anak negeri
yang tidak sejalan dengan cita-cita luhur mereka. Sehingga pada momen
kebangkitan ini, kita yang sebangsa dan setanah air diingatkan kembali untuk
bangkit.

Menukil ucapan Bung Deddy Mizwar pada iklan layanan masyarakat dikatakan
bahwa Bangkit adalah: Susah, susah melihat orang lain susah; Senang, senang
melihat orang lain senang; Takut, takut melakukan korupsi dan makan sesuatu
yang bukan haknya; Mencuri, mencuri perhatian dunia dengan prestasi; Malu,
malu menjadi benalu, menjadi beban orang lain; dan seterusnya. Ucapan diatas
seakan mengandung pesan bahwa karena bangsa ini telah lama terjajah, maka
mental bangsa terjajah belum hilang sama sekali. Bahkan sebaliknya, bagi si
kuat walaupun sebangsa namun bisa berlaku layaknya penjajah sang penindas.
Ia mengikuti cara-cara imperialis, atau menjadi agen kepentingan mereka.

Ditengarahi saat ini, perilaku sebagian kalangan elit bangsa ini rasa
nasionalismenya sudah luntur. Mereka layaknya kacang yang lupa kulitnya.
Membuat kebijakan publik, tetapi justru merugikan rakyat. Memiliki jabatan
bukan diamanatkan untuk kemakmuran tetapi malah korupsi. Punya kepintaran
bukan untuk bangsanya, tapi untuk "meminteri" rakyatnya. Lebih celaka lagi,
rasa nasionalisme itu justru telah memudar pada berbagai lapisan masyarakat.
Hedonisme dan takut miskin atau tidak bisa makan telah menghinggapi sebagian
dari mereka, nasionalisme dibuang jauh-jauh. Jual pulau jika hal itu
menguntungkan secara ekonomis, kenapa tidak?!.

Logika ekonomi senyatanya telah mengalahkan rasa nasionalisme. Padahal saat
ini para imperialis justru menjajah bangsa ini melalui wilayah ekonomi,
budaya, dan lainnya bukan lagi teritorial. Jika ada suatu perusahaan diambil
alih pihak asing misalnya, lalu setelahnya berakibat PHK dan menjadikan
bekas pegawainya menganggur. Kontrol lokal terhadap perusahaan berpindah,
karena saham mayoritas dimiliki asing. Apakah hal ini masih bisa dikatakan
sadar untuk bangkit?. Senyatanya banyak kita saksikan peristiwa yang tanpa
disadari sebenarnya menggadaikan kedaulatan negeri.

Contoh kasus, baru-baru ini saudara saya yang tinggal di Lampung,
tanah-tanah milik mereka ditawar untuk dibeli oleh calon investor warga
Jerman. Hampir separuh desa, tanah sawah maupun ladang mereka diminati asing
untuk dijadikan areal perkebunan kelapa sawit. Pertanyaan saya kepada
saudara saya itu adalah, "Jika dijual, lalu Bu Lek (Bibi) dan Pak Lek
(Paman) mau kerja apa?". Mereka diam, lalu saya tanya lagi, "Sawah dan
ladang itu kan sumber mata pencaharian Pak dan Bu Lek, mau jadi buruh di
ladang kelapa sawit?". Merekapun terdiam tak bisa menjawab. Lalu saya
katakan, "Coba dihitung, hasil panen dengan jika menjadi buruh". Setelah
hitung-hitungan kasar, mereka mengatakan bahwa masih untung jika memiliki
sawah dan ladang sendiri. Akhirnya merekapun urung menjual walaupun pihak
pemerintah daerah telah berupaya untuk menyakinkannya.

Banyak orang yang kadang tergiur dengan jumlah uang yang diterima saat itu,
karena besar menurut anggapannya. Tidak sedikit mereka yang akhirnya
menggadaikan miliknya untuk asing hanya karena pertimbangan ekonomis. Rasa
nasionalisme biasanya baru bangkit bila muncul kasus tertentu, misalnya
sengketa Blok Ambalat dan klaim negeri Malaysia terhadap lagu Rasa Sayange
serta Reog Ponorogo. Namun setelahnya memudar kembali. Secara fisik memang
kita tidak punya musuh bersama (penjajah), namun saat ini kita dapat
merasakan bahwa penjajah itu sebenarnya sedang disekitar kita, musuh itu
bernama kemiskinan – penjajahan ekonomi, korupsi, infiltrasi budaya,
ketidakadilan, dan sebagainya.

Momentum 100 tahun ini merupakan kesempatan bagi segenap elemen bangsa,
untuk memikirkan, mengevaluasi, dan bertindak sesuai perannya agar bangsa
Indonesia bisa bangkit. Membangun dengan kekuatan bangsa sendiri, bahu
membahu, tidak saling meyalahkan, merasa paling bisa, dan seterusnya. Hal
terpenting adalah bahwa kiprah itu harus dimulai dari diri sendiri,
mempertanyakan dan mengevaluasi diri. Apakah kontribusi yang telah kita
berikan untuk negeri ini?. Apakah kita telah mengimani dan mengamalkan
firman-Nya (QS. Ar Ra'd, 13:11) yang berbunyi, "*Sesungguhnya Allah tidak
mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada
diri mereka sendiri.*"?. Kebangkitan tidak mungkin terwujud hanya dengan
retorika, ia membutuhkan kerja keras, dan keseriusan melaksanakannya. Namun
saya optimis bahwa bangsa ini bisa bangkit, dan bisa menjadi bangsa yang
besar walaupun mungkin saya tidak mengalaminya. Semoga momen ini menjadi
pertanda yang baik bagi negeri ini, untuk mengamalkan ajaran-Nya sesuai
kesanggupan dan kemampuan masing-masing. Mudah-mudahan Allah SWT menguatkan
tekad kita untuk mewujudkannya. Amien (fn).

[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

===================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
===================================================
website:

http://dtjakarta.or.id/
===================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:

http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:

http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join

(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
mailto:daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
mailto:daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:

http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: