Minggu, 04 Mei 2008

File - [Artikel] Nama Besar ...

Nama Besar ...
Oleh: Samuel Mulia Penulis mode dan gaya hidup
KCM - Minggu, 24 September 2006 - 15:11 wib

Cita-cita saya banyak, termasuk punya nama besar dan kaya raya. Itu selalu saja masuk ke dalam daftar apa yang harus saya capai di dalam hidup saya.

Bahkan sejak kecil, sejak teman-teman masih main kelereng dan layangan, saya sudah berpikir kapan bisa punya nama besar dan mengudara seperti layang-layang.

Saya teringat waktu masih menjadi mahasiswa kedokteran. Kami baru saja meninggalkan bangsal penyakit dalam dan berjalan menuju ke tempat makan siang. Dalam perjalanan itu, saya bertanya kepada salah satu teman yang berjalan tepat di sisi kiri. Pertanyaan saya sangat mendasar, alasan apa yang membuat ia memutuskan menjadi dokter.

"Aku pengen kaya," jawabnya.

Saya tertawa terpingkal-pingkal --tentu di dalam hati. Di luar saya cuma manggut-manggut. Saya berpikir, waduh saya punya saingan yang ingin kaya juga. Bahkan untuk saya, punya nama besar masih perlu ditambah. Saya bukan mau menghakimi bila semua dokter memiliki pemikiran seperti kami.

Kalau sekarang banyak dokter superkaya, namanya besar dan kondang, serta susah setengah mati untuk mendapatkan janji bertemu, saya tak mengatakan mereka tidak mulia. Kalaupun ternyata ada yang tidak mulia, itu urusan para dokter dengan nuraninya sendiri, dan dengan sumpahnya yang dikatakan bukan kepada rektornya, tetapi kepada Tuhannya.

Wow atau tidak wow

Saya terinspirasi menulis soal nama besar ini gara-gara saya melihat wawancara di CNN mengenai isu model kurus kerempeng yang berat badannya di bawah normal dan dilarang melenggang kangkung di atas catwalk, terutama di negeri Spanyol dan Inggris.

Pembicaraan ngalor-ngidul itu berakhir dengan perkataan si model, yang kebetulan tidak kerempeng, bahwa ia senang sekali terpilih menjadi salah satu model peragaan busana Jean-Paul Gaultier.

Si pewawancara menimpali dengan komentar, "Wow... Gaultier?" Kekaguman si pewawancara itu membuat saya kemudian berpikir, mengapa ia begitu terpana dan mulutnya sampai menyuarakan kata wow?

Setelah lebih tenang, saya mengambil kesimpulan, ia sampai mampu berteriak itu tak lain hanya karena nama besar Gaultier. Nama yang besarlah yang akan dipakai sebagai standar seseorang itu wow atau tidak wow.

Nah, itulah dasarnya mengapa saya bercita-cita punya nama besar. Supaya banyak orang terkesima dan mem-wow-kan nama saya. "Wow… Samuel Mulia?" Enak bukan kedengarannya? Dibandingkan begini, "Ha… Samuel Mulia? ... Suteralah."

Saya bercita-cita sejak kecil punya nama besar. Mungkin karena pada dasarnya saya tak pernah dianggap penting dan pandai, karena memang sesungguhnya tak pandai. "Lo itu pandai, Darling," kata teman saya. "Pandai nyakitin orang, maksud gue," lanjutnya lagi.

Dalam perjalanan menjadi remaja dan kemudian dewasa, dengan melihat dan mengalami sendiri berbagai perlakuan diskriminatif, saya semakin yakin ingin mewujudkan cita-cita memiliki nama besar dan kalau bisa juga kaya atau kaya sekali.

Saya melihat kok banyak untungnya memiliki dua hal itu. Misalnya saja, minggu lalu saya ke gereja. Di depan pintu masuk yang sudah jelas-jelas dilarang parkir, ada mobil mewah yang saya tahu harganya di atas satu miliar terparkir menghalangi pintu masuk.

Mobil lain yang masuk ke dalam kategori ecek-ecek—maaf bagi para produsen mobil ecek-ecek—diharuskan memarkir kendaraannya di tepi jalan. Satpam dan tukang parkirnya saja menyerah tak berdaya dan mengizinkan pemilik mobil mewah itu melanggar aturan.

Pemilik mobilnya mungkin mau minta maaf di gereja karena parkir di depan pintu masuk yang terang-terangan dilarang. Atau ia mungkin tidak bermaksud melanggar, tetapi berkeinginan memperlihatkan kepada banyak orang bahwa Tuhan sudah begitu baik memberi kendaraan roda empat supermewah itu untuknya.

Modal awal: mulut besar

Kejadian seperti itu juga terjadi di hotel berbintang. Kendaraan roda empat yang bisa parkir di depan lobi adalah kendaraan roda empat yang termasuk dalam kategori mobil mewah atau supermewah. Semuanya dilakukan untuk membantu mendongkrak citra kelas atas hotel itu.

Padahal di Bangkok, saya menginap di hotel berbintang lima, tuktuk saja bisa masuk dan menurunkan penumpangnya tepat di depan mobil. Jadi, tuktuk dan mobil mewah punya hak yang sama di depan lobi. Tetapi…, itu di Bangkok.

Di suatu hari saya menghadiri rapat di gedung di Jalan MH Thamrin, Jakarta. Di dalam gedung, saya diperiksa seperti biasa, bahkan penggeledahnya pun sampai meminta saya menanggalkan jas yang saya kenakan.

Setelah saya tanggalkan, jas saya disentuh saja tidak, apalagi diperiksa. Tetapi, peraturan itu hanya berlaku untuk saya saja karena pada saat yang bersamaan seorang pebisnis kondang berada di depan saya dan si Mas Kondang itu tak mendapat perlakuan yang sama seperti apa yang saya alami. Padahal, si Mas Kondang memakai jas.

"Jas lo mereknya ecek-ecek kali, jadi petugasnya kerja lebih ketat. Makanya beli Hugo Boss dong ah…," kata teman saya.

"Mungkin ya bo, petugasnya pengen tahu merek jas gue," balas saya.

"Mungkin juga dia baca majalah lo, makanya dia tahu bedanya jas mahal sama jas ecek-ecek," jawabnya lagi.

Beberapa contoh di atas makin meyakinkan saya untuk mewujudkan cita-cita masa kecil itu dengan berbagai cara. Sayangnya, setelah semua usaha itu saya lakukan, sampai hari ini pun perlakuan istimewa itu tak kunjung datang. Saya frustrasi dan teman saya menghibur saya.

Katanya begini, "Lo itu enggak perlu nama besar, yang elo perlu itu mulut besar. Justru mulut besar merupakan modal pertama elo bisa punya nama besar."

Ia menambahkan lagi. "Buruan sana buat janji sama dokter bedah."

Saya balik bertanya, "Buat apa?"

Ia menjawab cepat, "Yaa… buat besarin mulut lo. Masak mau besarin payudara, sih."

Perlukah Punya Nama Besar?

1. "Peeerluuu bangget," kata beberapa teman dan termasuk saya dalam hati. Ketika saya menanyakan mengapa, jawabannya macam-macam.

"Senanglah, Mas. Seperti penyanyi-penyanyi kondang itu. Wah… ke mana-mana dilihat orang, dielu-elukan orang, fans-nya banyak. Kan senang punya banyak penggemar dan perlu banget gitu untuk disenangi semua orang," kata teman saya yang kecil mungil, yang cita-citanya memang jadi penyanyi.

Teman satu lagi berkomentar, "Perlu lagi. Dengan nama besar, kita jadi bisa mendapat fasilitas yang makin cihui, bo. Diskon makin banyak, diundang ke pesta-pesta, diwawancarai majalah dan teve, dikasih barang ini-itu. Lebih gampang buat nodongin orang-orang lain juga. Bukan maling, maksudnya, memudahkan meminta sumbangan gitu, loh."

2. "Gak peeerluuu and enggak penting," kata satu kelompok teman lain. Pertanyaan saya kepada mereka sama saja. Mengapa tidak perlu?

"Aduh repot. Nanti malah mancing petugas pajak. Kan nama besar belum tentu uangnya besar. Nanti orang pajak mikir, karena punya nama besar duitnya besar. Malaslah, bo."

Masih dalam satu kelompok yang sama, ada suara menyeletuk, "Enggak mau, punya nama besar tanggung jawabnya besar. Kalau 'jatuh' atau dijatuhkan bukan malah sakit, tetapi malunya itu." Ia masih menambahkan nasihatnya, "Apa sih susahnya jadi orang yang biasa-biasa saja?"

3. Dari dua komentar di atas, saya jadi bimbang, apakah saya masih mau tetap memperjuangkan cita-cita masa kecil itu atau tidak. Karena waktu kecil saya masih polos, masih mau ini dan itu. Lupa—bahkan tak pernah tahu—ada yang menghadang di depan mata bernama departemen pajak atau ada manusia yang ingin menjatuhkan.

Saat saya sedang bimbang, teman mengirimkan SMS begini. "Kalau mau dihormati di dunia, kita harus punya nama besar. Kalau mau masuk surga, kita harus seperti anak kecil yang tulus."

Bisa jadi maksud SMS teman saya adalah saya yang tua ini harus "menjadi" anak kecil lebih dahulu karena anak kecil dianggap tak punya pikiran neko-neko. Maka, setelah itu, setelah mampu tak punya pikiran neko-neko, saya baru mampu tulus membayar pajak dan tak perlu sampai harus menjatuhkan orang. ****

Tidak ada komentar: