Selasa, 17 Februari 2009

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2529

sekolah-kehidupan

Messages In This Digest (25 Messages)

1.
[OOT] PRESS RELEASE MILAD FLP KE-12 "UNTUK PALESTINA YANG TERLUKA" - From: Lia Octavia
2a.
Re: (Ruang Tamu) salam kenal... From: yessy sytadewi
3a.
Re: [keluarga] Belajar Menjadi Ayah From: yessy sytadewi
3b.
Re: [keluarga] Belajar Menjadi Ayah From: Nursalam AR
4a.
[Ruang Baca] Ulysses Moore, Pintu Waktu From: Rini Agus Hadiyono
5.
[Ruang Baca] Ulysses Moore, Peta yang Hilang From: Rini Agus Hadiyono
6.
[CATATAN KAKI] Sederhana Seperti Apa? From: Anwar Holid
7a.
(Teka) Terimakasih Nak! From: sismanto
7b.
Re: (Teka) Terimakasih Nak! From: Loiy Anni
7c.
Re: (Teka) Terimakasih Nak! From: sismanto
8.
(Ruang Baca) Sangatta, Sangat Banyak Cerita From: sismanto
9a.
Re: [Ruang Keluarga] Kalung Untuk Ibu From: Bu CaturCatriks
9b.
Re: [Ruang Keluarga] Kalung Untuk Ibu From: Jojo_Wahyudi@manulife.com
10a.
[Catcil] Perpisahan Lajang Dengan Segala Sunyi -2 From: Kang Dani
10b.
Re: [Catcil] Perpisahan Lajang Dengan Segala Sunyi -2 From: Loiy Anni
11.
(Maklumat) (OOT) BEDAH FILM : PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN From: margo widilaksono
12a.
[Inspirasi] Guru Yang Sempurna From: muhamad agus syafii
12b.
Re: [Inspirasi] Guru Yang Sempurna From: Loiy Anni
13a.
[Rampai] Sketsa Burung From: Epri Saqib
13b.
Re: [Rampai] Sketsa Burung From: Loiy Anni
14.
[ETALASE] Sibuk Mengejar Kekayaan Justru Tak Pernah Kaya, Tanya Kena From: rusdin visioner
15.
(Inspirasi) Rahasia Guru Kehidupan From: muhamad agus syafii
16.
(no subject) From: Arrizki Abidin
17.
(CERPEN) O JUK WE From: Arrizki Abidin
18.
(Catcil) Sisi Lain Jepang : Sampah From: febty febriani

Messages

1.

[OOT] PRESS RELEASE MILAD FLP KE-12 "UNTUK PALESTINA YANG TERLUKA" -

Posted by: "Lia Octavia" liaoctavia@gmail.com   octavialia

Mon Feb 16, 2009 6:44 am (PST)

*PRESS RELEASE*

*MILAD FORUM LINGKAR PENA (FLP) KE-12*
*"UNTUK PALESTINA YANG TERLUKA"*
**
*AHAD, 22 FEBRUARI 2009*
**
*MP BOOK POINT, Jl. Puri Mutiara No. 72, Jakarta Selatan*
**__________________________________________________________

Apakah Forum Lingkar Pena itu? Sebuah 'Pabrik Penulis Cerita' (Koran Tempo)

Forum Lingkar Pena sangat fenomenal. FLP adalah hadiah Tuhan untuk Indonesia
(Taufiq Ismail)

Dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya, jumlah penulis
di Indonesia—sebagaimana jumlah pertumbuhan penduduknya–sangat besar. Pada
dekade terakhir Indonesia diramaikan oleh munculnya penulis muda berusia di
bawah 30 tahun serta maraknya pertumbuhan kantong-kantong sastra di Jakarta
dan di banyak kota besar lainnya.

Salah satu yang dianggap fenomenal adalah munculnya Forum Lingkar Pena
(FLP), tahun 1997. Dalam waktu yang relatif singkat, organisasi yang
memiliki cabang di hampir 30 propinsi dan di mancanegara ini telah
beranggotakan lebih dari 5000 orang, hampir 70% anggotanya adalah perempuan.
Dari jumlah ini, lebih dari 500 diantaranya menulis secara aktif di berbagai
media, yang berusaha membina lebih dari 4500 anggota FLP lainnya untuk
menjadi penulis pula.

Selama dua belas tahun keberadaannya, organisasi penulis ini telah
menerbitkan lebih dari 500 buku yang sebagian besar terdiri dari karya
sastra serius, fiksi remaja dan cerita anak. Tidak ada orang atau lembaga
yang mensponsori FLP. Kemandirian ini memungkinkan FLP menulis sesuai kata
hati. Koran Tempo, salah satu media paling berwibawa di Indonesia, menyebut
FLP sebagai sebuah 'Pabrik Penulis Cerita'!

Milad FLP yang ke-12 kali ini diperingati bukan dengan pemotongan kue ulang
tahun, tumpengan, atau pun kemeriahan sebuah pesta. Melainkan dengan
kepedulian bagi Palestina yang terluka, terlebih setelah agresi militer
Israel ke Jalur Gaza selama 22 hari sejak Desember 2008 lalu yang telah
menghancurkan dan merusak hampir seluruh infrastruktur di kota yang dihuni
oleh bangsa Palestina. Bukan hanya itu, darah para pejuang dan rakyat
Palestina menggenang di jalan-jalan dan gang-gang kota yang semula dipenuhi
oleh denyut nadi kehidupan. Teror dan bau kematian mengapung di udara,
menyisakan bukan hanya lebih dari seribu rakyat Palestina yang meninggal dan
ratusan ribu yang terluka, melainkan juga bencana dan luka yang mendalam
bagi rakyat Palestina yang masih bertahan hidup.

Dunia menangis. Seluruh umat manusia di muka bumi ini yang masih memiliki
hati nurani terhadap sesama melakukan apa saja yang bisa mereka lakukan
untuk membantu Palestina, terlebih politik kolektif yang dilakukan oleh PBB
dan para pemimpin negara-negara di dunia gagal menghentikan agresi brutal
Israel. Berbagai doa dipanjatkan, demonstrasi, orasi, serta donasi dan
bantuan kemanusiaan melalui berbagai lembaga kemanusiaan terus berdatangan
dari segala penjuru.

Demikian pun halnya manusia berjiwa sastra dan seni. Para seniman pencipta
lagu menciptakan lagu khusus untuk Palestina untuk menggalang dana seperti
Michael Heart dengan lagu "We Will Not Go Down" dan Yusuf Islam dengan
lagunya "The Day The World Get". Para jurnalis dan penulis mengungkapkan
kepedihan dan kepedulian mereka terhadap apa yang terjadi terhadap Palestina
dengan tulisan-tulisan mereka melalui berbagai esai, opini, reportase,
puisi, cerpen, dan lainnya.

Forum Lingkar Pena, sebagai komunitas penulis terbesar yang anggotanya
tersebar di seluruh Nusantara dan di berbagai negara, dalam rangka
memperingati milad-nya yang ke-12, juga turut berduka dan menyatakan
kepeduliannya bagi Palestina melalui sastra dan seni. Bahwa melalui pena
yang kami genggam dan darah seni yang mengalir dalam tubuh kami, inilah yang
dapat kami lakukan bagi saudara-saudara kami di Jalur Gaza. Seluruh dana
yang digalang pada peringatan milad FLP yang ke-12 ini didedikasikan bagi
Palestina.

*MILAD FLP KE-12 "UNTUK PALESTINA YANG TERLUKA" insya Allah akan diadakan
pada:*

* *

*Hari / tanggal : Ahad / 22 Februari 2009*

*Tempat : MP Book Point*

* Jl. Puri Mutiara No. 72*

* Jeruk Purut, Jakarta Selatan*

* *

*Waktu dan jadwal acara:*

*1) PEMUTARAN FILM-FILM PALESTINA *

* Waktu: pukul 10.00 – 20.35 WIB*

*Rundown acara:*

*Pukul 10.00-10.30: Pendaftaran dan Pembukaan*

*Pukul 10.30-12.00: A Wedding in Ramallah *

*(Sherine Salama, 2002, Australia, 90 Menit, dokumenter)*

* *

*Pukul 13.00-15.00: Promises *

*(Carlos Bolado, B.Z. Goldberg, Justine Shapiro, 2001, Prancis, 106 menit)*

* *

*Pukul 16.00-17.35: Mur/The Wall *

*(Simone Bitton, 2004, Prancis, 95 menit, Dokumenter)*

* *

*Pukul 19.00-20.35: Yadfon Elahiyyah/ Divine Intervention *

*(Elia Suleiman, 2002, Palestina, 92 menit)*

* *

*Acara gratis dan terbuka untuk umum, namun akan ada kotak amal untuk
sumbangan sukarela bagi rakyat Palestina. Tempat terbatas.*

* *

*Dress code: hitam-hitam*

* *

* *

* *

* *

* *

*2) ORASI, LELANG AMAL, DAN PENTAS SENI UNTUK PALESTINA YANG TERLUKA*

* *

* Waktu: pukul 16.00 – 20.00 WIB*

* *

*Rundown acara:*

* *

*ORASI TENTANG PALESTINA (Irfan Hidayatullah, Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia,
Yudistira Massardi*)*

* *

*LELANG AMAL BARANG-BARANG ARTIS/PENULIS TERKENAL/TOKOH MASYARAKAT (dipandu
oleh Asma Nadia dan Boim Lebon)*

* *

*PENTAS SENI (Musikalisasi puisi oleh Ki Amuk-Firman Venayaksa dkk, Lagu dan
nyanyian oleh Ekky Malaky, Penbacaan puisi Komunitas Puisi FLP, Monolog oleh
FLP Ciputat)*

* *

*Semua acara gratis dan terbuka untuk umum, namun akan ada kotak amal untuk
sumbangan sukarela bagi rakyat Palestina. Tempat terbatas.*

* *

*Dress code: hitam-hitam*

* *

* *

*Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:*

* *

*Lia Octavia (08128146426), Wiwiek Sulistyowati (08128747415), Ekky Malaky
(08129557443), Rahmadiyanti (081218088018), Koko Nata (081367675459), RW
Dodo (081585857114), Erawati Taufan (08129591063), Denny Prabowo
(08999910037), Lina Marlina (08567930160)*

* *

*http://forumlingkarpena.multiply.com*

*www.forumlingkarpena.net*

* *

Semoga sastra dan seni turut menjadi salah satu warna pelangi yang kembali
tergurat di langit Gaza yang sebelumnya telah menghitam oleh peluru dan
mesiu serta hujan tangis air mata yang menderas menyiram bumi Palestina.
Sastra dan seni bagi Palestina yang terluka.
* *
**
*Acara ini didukung oleh:*
*Forum Lingkar Pena*
*MP Book Point*
*Lingkar Pena Publishing House*
*Zikrul Hakim*
*Komunitas Sekolah-kehidupan.com*
*Penerbit Erlangga*
*Ras FM*
*Pro 2 FM*
**
**

Catatan: *) dalam konfirmasi

* *
2a.

Re: (Ruang Tamu) salam kenal...

Posted by: "yessy sytadewi" rangga_woeni@yahoo.com   rangga_woeni

Mon Feb 16, 2009 7:48 am (PST)

salam kenal jga Tia, aku juga anak baru nih.. masih kinyis-kinyis.. dari Solo, panggil aku Yessy yah, dan semua yang ada di EsKa

--- On Mon, 2/16/09, www.ysummer_shine89 <www.ysummer_shine89@yahoo.com> wrote:

From: www.ysummer_shine89 <www.ysummer_shine89@yahoo.com>
Subject: [sekolah-kehidupan] Re: (Ruang Tamu) salam kenal...
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Date: Monday, February 16, 2009, 8:31 AM

Assalamu'alaikum. ..
salam kenal...mari berteman!!
maaf...diriku ikutan nimbrung...panggil diriku dengan nama tia, dari jogja

semoga harimu menyenangkan. ..^_^

wasalam..

3a.

Re: [keluarga] Belajar Menjadi Ayah

Posted by: "yessy sytadewi" rangga_woeni@yahoo.com   rangga_woeni

Mon Feb 16, 2009 7:50 am (PST)

Salam kenal untuk Mas Nursalam..
meski terlambat, kebetulan saya adalah salah seorang dari sekian pendatang baru di eska.. saya mau ngucapin selamat berbahagia mendapat 'intan kehidupan'. saya sebut intan, karena seorang anak adalah karunia tak terhingga yang diberikan pada kita.. dari anak kita semakin dilapangkan rizki, meski setiap rizki pada setiap anak pasti berbeda.. itu kata orang tua saya dan kata suami saya.. hehehe.. karena kebetulan ketika anak pertama saya lahir, bisa dibilang 'gratis' karena dapat sumbangan kiri kanan..alhamdulillaahh..( kebetulan suami saya berprofesi sebagai wartawan-tahu kan seberapa besar gajinya? ) tapi sebesar atau sekecil apapun memang sangat indah ketika mensyukuri nikmat Allah.. ya kan..? tetap semangat buat Mas Nursalam dan semuanya.
 
untuk teman-teman ESKA salam kenal dari saya.. btw jujur aja, setelah nggak ngantor lagi saya jadi gaptek.. mau posting salah kamar melulu.. hehehe..malu-maluin moyang dah!

--- On Sun, 2/15/09, Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com> wrote:

From: Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com>
Subject: Re: [sekolah-kehidupan] Re: [keluarga] Belajar Menjadi Ayah
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Cc: magnifico_99@yahoo.co.id
Date: Sunday, February 15, 2009, 7:07 PM

Insya Allah,amin:) . Dukungan moril dari para sahabat seperti Kang Budi Magni seperti ini, salah satunya, yang membuat saya tegar (seperti Rosa),hehe... .

Thx for reading!

Tabik,

Nursalam AR

On Sat, Feb 14, 2009 at 6:25 AM, magnifico_99 <magnifico_99@ yahoo.co. id> wrote:

Subhanalloh. ..
yang tabah ya kang,
perjuanganya luar biasa

--- In sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com, Nursalam AR
<nursalam.ar@...> wrote:
>
> *Belajar Menjadi Ayah*

>
> *Oleh Nursalam AR*
>
>
>
> *"Bakat terbentuk dalam kesunyian, watak terpupuk dalam riak besar
> kehidupan." (Goethe)*
>
> Menjadi ayah, bagiku, adalah kegembiraan dan juga salah satu riak besar
> kehidupan. Kegembiraan akan datangnya sang buah cinta dan darah daging
> adalah hal wajar. Namun pada saat yang sama riak besar kehidupan mungkin
> tidak selalu menyertai perjuangan setiap calon ayah. Buatku ini
sebuah ujian
> kehidupan untuk menggembleng watak. Barangkali aku patut bersyukur
> semestinya. Karena sepertinya, setelah sepekan pertama menjadi ayah,
Allah
> memberikan gelombang riak besar jelang kelahiran bayiku sebagai
ujian agar
> kuat bertahan dalam gelombang-gelombang besar berikutnya. *Pre-test*,
> barangkali maksud-Nya demikian.
>
> Jelang kelahiran bayiku, permohonan kasbon sebulan gaji ditolak *boss*.
> Padahal sudah sejak sebulan sebelumnya ia sudah mengulur-ulur dengan
> berbagai alasan seperti kondisi keuangan kantor yang tidak
memungkinkan dll
> – kendati aku tahu betul kegemarannya *dugem* yang menghabiskan jutaan
> rupiah tiap malam. Tapi saat kedatanganku ke ruangannya terakhir
kali itu,
> sang *boss* mungkin tidak menyadari bahwa – sedetik setelah
penolakannya –
> aku akan mengambil keputusan keluar dari kantor (pada saat yang tepat).
> Kembali menjadi "orang bebas" seperti tiga tahun sebelumnya.
>
> Menjelang pernikahanku setahun lalu pada 2007, demi memenuhi
keinginan ibu
> mertua, aku memang bekerja kantoran. Masih sebagai penerjemah *legal
English
> * (dokumen hukum dan bisnis) di agensi atau biro penerjemahan. Ini juga
> berpindah-pindah. Dari agensi penerjemahan di Jakarta Timur aku hanya
> bertahan lima bulan. Ada persoalan ketidakberesan gaji dan perlakuan
yang
> tidak manusiawi. Setelah pindah ke biro yang lain – yang ini karena
sang *
> boss* adalah sahabat lamaku dan ada beberapa kompromi termasuk gaji,
di mana
> aku lebih mengalah, dibuat – aku juga tak bertahan lama.
>
> Per Desember 2008 aku resmi berhenti bekerja kantoran. Membuka
bisnis agensi
> penerjemahan sendiri. Meski, dilihat dari kesiapan infrastruktur dan
modal,
> lebih cocok untuk disebut "penerjemah *freelance*". Bayangkan saja
kantor
> agensi penerjemahan tanpa fasilitas printer, koneksi internet,
faksimili dan
> sambungan telepon rumah. Ruangannya pun menyatu dengan sebuah kamar
– yang
> aku, istri dan anakku tempati – yang menumpang pada rumah ibu mertuaku.
> Lebih persis lagi, kantorku adalah seperangkat komputer – yang,
> alhamdulillah, sudah lunas -- kreditan. *That's it!*
>
> Gila! Mungkin ada yang menyebut demikian. Termasuk beberapa kawan dan
> kerabat yang menyayangkan mengapa aku berhenti bekerja justru di
saat baru
> memiliki anak. Sementara istriku juga sudah berhenti bekerja sejak
> mengandung dua bulan. Tapi aku yakin Allah Maha Pemurah. Bagi
manusia, tanpa
> pandang kualitas ibadah atau agamanya, pasti ada rejeki
masing-masing asal
> berani menjemput. Termasuk, yang aku yakini juga, ada bagian rejeki yang
> sudah dicatatkan-Nya di *lauhul Mahfuz* di atas sana untuk anakku
yang kini
> sedang lucu-lucunya di usianya yang tiga bulan.
>
> Ya, aku sedang belajar menjadi ayah. Pelajaran pertama yang kucatat,
saat
> permohonan kasbonku ditolak *boss* yang notabene sahabat sendiri,
adalah *hanya
> Allah yang sesungguhnya dan selayaknya menjadi tempat bergantung*.
Sedekat
> apapun manusia, mereka punya keterbatasan dan tak bisa selalu
diharapkan.
>
> Ketika kasbon ditolak sementara dokter sudah menvonis istriku harus
> dioperasi caesar beberapa pekan lagi, datang tawaran dua order besar
– yang
> terbilang jarang aku dapat--kepadaku. Aku ajukan kesanggupan dan minta
> klien-klienku tersebut setor uang muka (DP, *down payment*) terlebih
dulu.
> Kendati itu harus aku tebus dengan bekerja dobel keras karena selepas *
> ngantor* aku harus begadang hingga dini hari untuk menyelesaikan
kedua order
> tersebut hingga sebulan lebih. Tapi dengan itulah aku dapat
mencukupi biaya
> operasi caesar istriku. Alhamdulillah, anakku lahir dengan selamat.
> Laki-laki. Muhammad Alham Navid namanya.
>
> Empat puluh hari pertama bagi seorang ayah baru sepertiku sungguh tak
> terlupakan. Sementara berjuang bermalam-malam menyelesaikan dua order
> terjemahan tersebut, aku juga harus membantu istriku mengganti popok
bayi
> atau menidurkannya. Frekuensi menyusui dan buang air (kecil dan
besar) bayi
> dalam 40 hari pertama sungguh dahsyat. Rata-rata nyaris seperempat jam
> sekali. Alhasil, meski sudah dibantu ibu mertua dalam merawat bayi
kami, aku
> ambruk dan sempat jatuh sakit. Cukup parah hingga seminggu tidak
*ngantor*.
> Dan aku pikir itulah saat yang tepat untuk *resign*, berhenti bekerja.
> Setelah agak membaik, aku pamit baik-baik dari kantor.
>
> Rasanya sudah cukup aku memperkaya sahabatku itu -- hingga tubuhku
bobrok
> -- yang tak peduli dengan kondisiku yang notabene pegawainya sendiri. Di
> kantorku tersebut hanya ada dua orang tenaga penerjemah termasuk aku.
> Sehingga aku tahu betul – semestinya – posisi tawar kami. Namun
hidup memang
> keras. Dan barangkali itu yang harus dijalani.
>
> Aku bukan *super daddy*, ayah super dan juga tak ingin menjadi
seperti itu.
> Aku hanya ingin jadi ayah yang baik, yang mampu memberikan kehidupan dan
> penghidupan yang layak bagi anaknya. Jalan terbaik, yang ada di
pikiranku
> saat itu, adalah mencoba mandiri, berusaha sendiri. Jatuh bangun,
aku pikir
> sudah biasa, niscaya akan mendewasakanku.
>
> Tak urung aku *shock* juga ketika riak-riak besar yang lain
menghantam. Dua
> klienku yang sebelumnya itu -- ketika pekerjaan sudah aku serahkan
-- lari
> dengan meninggalkan sisa tagihan tak terbayar. Jumlahnya mencapai enam
> setengah juta rupiah. Lebih terpukul lagi ketika, saat malam
berhujan lebat
> dan dingin menyengat, dada kiriku nyeri dan aku terbatuk-batuk hebat di
> kamar mandi. Ketika aku meludah, ludahku merah seperti bekas ludah
nenekku
> dahulu yang suka makan sirih. Merah darah. Berkali-kali aku meludah, hal
> yang sama berulang. Juga di hari-hari berikutnya. *Ya Allah, cobaan
apalagi
> ini?*
>
> Bukan itu saja. Sebagian kawan tak percaya waktu aku bilang hidup
satu atap
> bersama mertua tidaklah mudah. Mereka mengajukan argumentasi soal
> penghematan biaya hidup dan kemudahan saat mengurus anak yang masih
bayi.
> Aku tertawa. Aku dan kawan-kawan itu tak punya definisi yang sama soal
> "tinggal di wisma mertua indah". Setiap definisi, seumum apapun
cakupannya,
> tentu tak sanggup mencakup sesuatu yang di luar kelaziman. Nah,
itulah yang
> aku jalani. Buktinya barangkali bisa ditanyakan pada mas kawin
pernikahan
> kami yang rajin "disekolahkan" di pegadaian. Barangkali saat ini mereka
> sudah pintar mengajari kami – aku dan istriku – soal perjuangan hidup..
>
> Aku selalu menghibur istriku, setelah sholat malam dan diberbagai
> kesempatan, bahwa roda senantiasa akan berputar asalkan kita tak
kenal lelah
> untuk memutarnya. Sebagai ayah, aku belajar mempersiapkan mental
baja agar
> anakku nanti tak lemah. Sepeninggalku, jika sampai waktuku, aku tak
ingin
> meninggalkan keturunan yang lemah, yang hanya bergantung pada orangtua
> bahkan hingga mereka dewasa dan saatnya menikah. Bukankah anak singa
takkan
> lahir dari seekor kambing?
>
> Sesungguhnya penghiburan terutama bagi kami – yang penat dengan jungkir
> balik kehidupan terutama pasca aku berhenti *ngantor* – adalah sang
putera
> tersayang, Alham. Beratnya yang kini mencapai lima kilo lebih dengan
pipi
> gembul dan perawakan jangkung membuatnya tampak lebih besar dari
bayi-bayi
> seusianya. Ocehannya yang banyak, terutama selepas disusui, kerap
membuatku
> sadar bahwa banyak hal yang patut disyukuri ketimbang disesali dalam
hidup
> ini. Termasuk tawaran pemberian kereta dorong bayi – yang menurut
kami cukup
> mahal – dari seorang sahabat, yang sayangnya tak jua datang. Yah,
apapun,
> aku hargai niat baiknya.
>
> *"Mencintai seseorang akan membuatmu berani, dan dicintai seseorang akan
> membuatmu kuat,"* demikian kata Lao Tze, sang filsuf dari Tiongkok
kuno. Itu
> pelajaran kedua bagiku sebagai ayah. Berani berhutang, bentuk
praktisnya.
>
> Saat orderan terjemahan sepi, sementara aku mengisi waktu dengan menulis
> untuk koran, dan kami berhari-hari bertahan hidup dengan mie instan plus
> telur dan tak jarang hanya nasi goreng tanpa lauk – tanpa mertua dan
kakak
> ipar tahu – aku tak tega membiarkan anakku yang masih menyusui hanya
dapat
> asupan ASI yang alakadarnya. Selain menerjemahkan dan menulis,
aktivitasku
> sebagai *trainer* penulisan untuk anak-anak *dhuafa* sama sekali – dan
> memang bukan tujuan – tidak dapat diandalkan untuk tambahan pendapatan.
> Solusi kuno yang termudah, sejak awal peradaban manusia, untuk
kekurangan
> pendapatan adalah berhutang meski salah satu hadis Rasullulah mengatakan
> bahwa itu sebagian dari tanda-tanda kehinaan.
>
> Mata anakku yang bening dan besar saat menatapku, kerapkali saat aku
gendong
> untuk menidurkan atau membuatnya bersendawa, seakan bertanya
kepadaku,"Abi
> ngutang lagi ya?"
>
> "Iya nih," jawabku dengan mimik dibuat lucu untuk mencandainya.
Biasanya ia
> yang murah senyum akan tertawa terkekeh-kekeh. Terlebih lagi jika
aku dengan
> gokil menirukan gaya tangannya yang khas seperti gaya orang menyetir
mobil
> atau seperti gaya Superman terbang – dengan satu tangan teracung
lurus ke
> depan.
>
> "Nanti Alham sekolah yang tinggi ya. Biar jadi orang kuat," pesanku.
Entah
> mengerti atau tidak, ia tersenyum lebar. Tampak lucu menggemaskan dengan
> penampakan gusi kosong dan binaran mata kelerengnya. Semoga saja harapan
> ayahnya ini terpatri di alam bawah sadarnya kelak saat dewasa.
>
> Ya, menjadi orang kuat – dalam pengertian fisik, keimanan, ilmu,
finansial
> dan kedudukan – adalah syarat seorang pejuang, nama "Alham" adalah salah
> satu nama penulis-pejuang yang aku kagumi, dalam apapun bentuk
perjuangan
> yang ditekuninya.
>
> Jika ada tangga menuju kesuksesan di masa depan yang harus didaki
anakku ini
> maka aku rela jadi anak tangga terbawah untuk ia pijak menuju pijakan
> berikutnya. Ketika banyak orang maupun tetangga memuji-mujinya
sebagai anak
> yang "pintar" atau "responsif", aku termimpi-mimpi Alham berkuliah
di luar
> negeri. *Ah, mimpi yang indah*. Sayang aku lekas terbangun di dini
hari itu.
> Entahlah apakah ini juga obsesi masa laluku yang tak sampai ketika
seorang
> dosen menawariku beasiswa S-2 ke Jerman bahkan ketika aku masih di
semester
> lima. Sayang S-1 pun tak mampu aku tamatkan. Kekurangan biaya,
alasannya.
> Klise memang.
>
> Belajar menjadi ayah memang perlu waktu panjang. Aku rasa aku masih
di tahap
> teramat dini di usia anakku belumlah genap setahun. Namun pelajaran
ketiga
> yang utama yang aku dapatkan di tiga bulan menjadi ayah adalah:
*jika ada
> kemauan pasti ada jalan*. Dengan kondisi menjadi ayah dan suami
> berpenghasilan tak menentu yang pernah tertipu orang, terlilit
hutang dan
> kehabisan tabungan – yang merupakan ujian Allah agar emas terpisah dari
> loyang – aku belajar mengendalikan emosi, lebih menghargai istri dan
belajar
> mensyukuri yang ada serta lebih gesit mengejar peluang.
>
> Di titik inilah aku merasakan dengan makna sejati-jatinya bahwa
pernikahan –
> termasuk keberadaan anak --mendewasakan orang. Saat beberapa teman
lajang
> curhat kepadaku tentang susahnya hidup melajang dan mereka
berangan-angan
> tentang (melulu) indahnya pernikahan, aku tersenyum. Aku hanya
berdoa semoga
> kelak, dengan harapan semuluk itu, mereka tidak menyesal menikah. Karena
> sebenarnya ungkapan lama "sengsara membawa nikmat" dari Sutan Sati –
penulis
> Melayu angkatan Balai Pustaka – dalam konteks pernikahan dapat
> terbolak-balik letaknya. Dan cinta tak selalu semakna dengan bisikan
mesra
> atau tatapan sayang. Cinta sejati lebih merupakan perjuangan yang
tak jarang
> berlumur peluh dan air mata.
>
>
>
> *Jakarta, 14 Februari 2009*
>
> * *
>
>
> --
> -"Let's dream together!"
> Nursalam AR
> Translator, Writer & Writing Trainer
> 0813-10040723
> E-mail: salam.translator@ ...

> YM ID: nursalam_ar
> http://nursalam. multiply. com
>

--
-"Let's dream together!"
Nursalam AR
Translator, Writer & Writing Trainer
0813-10040723
E-mail: salam.translator@ gmail.com
YM ID: nursalam_ar
http://nursalam. multiply. com

3b.

Re: [keluarga] Belajar Menjadi Ayah

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Mon Feb 16, 2009 8:45 pm (PST)

Salam kenal juga, Mbak:).

Makasih berbagi ceritanya ya... Insya Allah, semakin menguatkan:).

Salam untuk keluarga.

Tabik,

Nursalam AR

On Mon, Feb 16, 2009 at 8:25 PM, yessy sytadewi <rangga_woeni@yahoo.com>wrote:

> Salam kenal untuk Mas Nursalam..
> meski terlambat, kebetulan saya adalah salah seorang dari sekian pendatang
> baru di eska.. saya mau ngucapin selamat berbahagia mendapat 'intan
> kehidupan'. saya sebut intan, karena seorang anak adalah karunia tak
> terhingga yang diberikan pada kita.. dari anak kita semakin dilapangkan
> rizki, meski setiap rizki pada setiap anak pasti berbeda.. itu kata orang
> tua saya dan kata suami saya.. hehehe.. karena kebetulan ketika anak pertama
> saya lahir, bisa dibilang 'gratis' karena dapat sumbangan kiri
> kanan..alhamdulillaahh..( kebetulan suami saya berprofesi sebagai
> wartawan-tahu kan seberapa besar gajinya? ) tapi sebesar atau sekecil apapun
> memang sangat indah ketika mensyukuri nikmat Allah.. ya kan..? tetap
> semangat buat Mas Nursalam dan semuanya.
>
> untuk teman-teman ESKA salam kenal dari saya.. btw jujur aja, setelah nggak
> ngantor lagi saya jadi gaptek.. mau posting salah kamar melulu..
> hehehe..malu-maluin moyang dah!
>
> --- On *Sun, 2/15/09, Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com>* wrote:
>
> From: Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com>
> Subject: Re: [sekolah-kehidupan] Re: [keluarga] Belajar Menjadi Ayah
> To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
> Cc: magnifico_99@yahoo.co.id
> Date: Sunday, February 15, 2009, 7:07 PM
>
> Insya Allah,amin:) . Dukungan moril dari para sahabat seperti Kang Budi
> Magni seperti ini, salah satunya, yang membuat saya tegar (seperti
> Rosa),hehe.. .
>
> Thx for reading!
>
> Tabik,
>
> Nursalam AR
>
> On Sat, Feb 14, 2009 at 6:25 AM, magnifico_99 <magnifico_99@ yahoo.co. id<magnifico_99@yahoo.co.id>
> > wrote:
>
>> Subhanalloh. ..
>> yang tabah ya kang,
>> perjuanganya luar biasa
>>
>> --- In sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com<sekolah-kehidupan%40yahoogroups.com>,
>> Nursalam AR
>> <nursalam.ar@...> wrote:
>> >
>> > *Belajar Menjadi Ayah*
>>
>> >
>> > *Oleh Nursalam AR*
>> >
>> >
>> >
>> > *"Bakat terbentuk dalam kesunyian, watak terpupuk dalam riak besar
>> > kehidupan." (Goethe)*
>> >
>> > Menjadi ayah, bagiku, adalah kegembiraan dan juga salah satu riak besar
>> > kehidupan. Kegembiraan akan datangnya sang buah cinta dan darah daging
>> > adalah hal wajar. Namun pada saat yang sama riak besar kehidupan mungkin
>> > tidak selalu menyertai perjuangan setiap calon ayah. Buatku ini
>> sebuah ujian
>> > kehidupan untuk menggembleng watak. Barangkali aku patut bersyukur
>> > semestinya. Karena sepertinya, setelah sepekan pertama menjadi ayah,
>> Allah
>> > memberikan gelombang riak besar jelang kelahiran bayiku sebagai
>> ujian agar
>> > kuat bertahan dalam gelombang-gelombang besar berikutnya. *Pre-test*,
>> > barangkali maksud-Nya demikian.
>> >
>> > Jelang kelahiran bayiku, permohonan kasbon sebulan gaji ditolak *boss*.
>> > Padahal sudah sejak sebulan sebelumnya ia sudah mengulur-ulur dengan
>> > berbagai alasan seperti kondisi keuangan kantor yang tidak
>> memungkinkan dll
>> > – kendati aku tahu betul kegemarannya *dugem* yang menghabiskan jutaan
>> > rupiah tiap malam. Tapi saat kedatanganku ke ruangannya terakhir
>> kali itu,
>> > sang *boss* mungkin tidak menyadari bahwa – sedetik setelah
>> penolakannya –
>> > aku akan mengambil keputusan keluar dari kantor (pada saat yang tepat).
>> > Kembali menjadi "orang bebas" seperti tiga tahun sebelumnya.
>> >
>> > Menjelang pernikahanku setahun lalu pada 2007, demi memenuhi
>> keinginan ibu
>> > mertua, aku memang bekerja kantoran. Masih sebagai penerjemah *legal
>> English
>> > * (dokumen hukum dan bisnis) di agensi atau biro penerjemahan. Ini juga
>> > berpindah-pindah. Dari agensi penerjemahan di Jakarta Timur aku hanya
>> > bertahan lima bulan. Ada persoalan ketidakberesan gaji dan perlakuan
>> yang
>> > tidak manusiawi. Setelah pindah ke biro yang lain – yang ini karena
>> sang *
>> > boss* adalah sahabat lamaku dan ada beberapa kompromi termasuk gaji,
>> di mana
>> > aku lebih mengalah, dibuat – aku juga tak bertahan lama.
>> >
>> > Per Desember 2008 aku resmi berhenti bekerja kantoran. Membuka
>> bisnis agensi
>> > penerjemahan sendiri. Meski, dilihat dari kesiapan infrastruktur dan
>> modal,
>> > lebih cocok untuk disebut "penerjemah *freelance*". Bayangkan saja
>> kantor
>> > agensi penerjemahan tanpa fasilitas printer, koneksi internet,
>> faksimili dan
>> > sambungan telepon rumah. Ruangannya pun menyatu dengan sebuah kamar
>> – yang
>> > aku, istri dan anakku tempati – yang menumpang pada rumah ibu mertuaku.
>> > Lebih persis lagi, kantorku adalah seperangkat komputer – yang,
>> > alhamdulillah, sudah lunas -- kreditan. *That's it!*
>> >
>> > Gila! Mungkin ada yang menyebut demikian. Termasuk beberapa kawan dan
>> > kerabat yang menyayangkan mengapa aku berhenti bekerja justru di
>> saat baru
>> > memiliki anak. Sementara istriku juga sudah berhenti bekerja sejak
>> > mengandung dua bulan. Tapi aku yakin Allah Maha Pemurah. Bagi
>> manusia, tanpa
>> > pandang kualitas ibadah atau agamanya, pasti ada rejeki
>> masing-masing asal
>> > berani menjemput. Termasuk, yang aku yakini juga, ada bagian rejeki yang
>> > sudah dicatatkan-Nya di *lauhul Mahfuz* di atas sana untuk anakku
>> yang kini
>> > sedang lucu-lucunya di usianya yang tiga bulan.
>> >
>> > Ya, aku sedang belajar menjadi ayah. Pelajaran pertama yang kucatat,
>> saat
>> > permohonan kasbonku ditolak *boss* yang notabene sahabat sendiri,
>> adalah *hanya
>> > Allah yang sesungguhnya dan selayaknya menjadi tempat bergantung*.
>> Sedekat
>> > apapun manusia, mereka punya keterbatasan dan tak bisa selalu
>> diharapkan.
>> >
>> > Ketika kasbon ditolak sementara dokter sudah menvonis istriku harus
>> > dioperasi caesar beberapa pekan lagi, datang tawaran dua order besar
>> – yang
>> > terbilang jarang aku dapat--kepadaku. Aku ajukan kesanggupan dan minta
>> > klien-klienku tersebut setor uang muka (DP, *down payment*) terlebih
>> dulu.
>> > Kendati itu harus aku tebus dengan bekerja dobel keras karena selepas *
>> > ngantor* aku harus begadang hingga dini hari untuk menyelesaikan
>> kedua order
>> > tersebut hingga sebulan lebih. Tapi dengan itulah aku dapat
>> mencukupi biaya
>> > operasi caesar istriku. Alhamdulillah, anakku lahir dengan selamat.
>> > Laki-laki. Muhammad Alham Navid namanya.
>> >
>> > Empat puluh hari pertama bagi seorang ayah baru sepertiku sungguh tak
>> > terlupakan. Sementara berjuang bermalam-malam menyelesaikan dua order
>> > terjemahan tersebut, aku juga harus membantu istriku mengganti popok
>> bayi
>> > atau menidurkannya. Frekuensi menyusui dan buang air (kecil dan
>> besar) bayi
>> > dalam 40 hari pertama sungguh dahsyat. Rata-rata nyaris seperempat jam
>> > sekali. Alhasil, meski sudah dibantu ibu mertua dalam merawat bayi
>> kami, aku
>> > ambruk dan sempat jatuh sakit. Cukup parah hingga seminggu tidak
>> *ngantor*.
>> > Dan aku pikir itulah saat yang tepat untuk *resign*, berhenti bekerja.
>> > Setelah agak membaik, aku pamit baik-baik dari kantor.
>> >
>> > Rasanya sudah cukup aku memperkaya sahabatku itu -- hingga tubuhku
>> bobrok
>> > -- yang tak peduli dengan kondisiku yang notabene pegawainya sendiri. Di
>> > kantorku tersebut hanya ada dua orang tenaga penerjemah termasuk aku.
>> > Sehingga aku tahu betul – semestinya – posisi tawar kami. Namun
>> hidup memang
>> > keras. Dan barangkali itu yang harus dijalani.
>> >
>> > Aku bukan *super daddy*, ayah super dan juga tak ingin menjadi
>> seperti itu.
>> > Aku hanya ingin jadi ayah yang baik, yang mampu memberikan kehidupan dan
>> > penghidupan yang layak bagi anaknya. Jalan terbaik, yang ada di
>> pikiranku
>> > saat itu, adalah mencoba mandiri, berusaha sendiri. Jatuh bangun,
>> aku pikir
>> > sudah biasa, niscaya akan mendewasakanku.
>> >
>> > Tak urung aku *shock* juga ketika riak-riak besar yang lain
>> menghantam. Dua
>> > klienku yang sebelumnya itu -- ketika pekerjaan sudah aku serahkan
>> -- lari
>> > dengan meninggalkan sisa tagihan tak terbayar. Jumlahnya mencapai enam
>> > setengah juta rupiah. Lebih terpukul lagi ketika, saat malam
>> berhujan lebat
>> > dan dingin menyengat, dada kiriku nyeri dan aku terbatuk-batuk hebat di
>> > kamar mandi. Ketika aku meludah, ludahku merah seperti bekas ludah
>> nenekku
>> > dahulu yang suka makan sirih. Merah darah. Berkali-kali aku meludah, hal
>> > yang sama berulang. Juga di hari-hari berikutnya. *Ya Allah, cobaan
>> apalagi
>> > ini?*
>> >
>> > Bukan itu saja. Sebagian kawan tak percaya waktu aku bilang hidup
>> satu atap
>> > bersama mertua tidaklah mudah. Mereka mengajukan argumentasi soal
>> > penghematan biaya hidup dan kemudahan saat mengurus anak yang masih
>> bayi.
>> > Aku tertawa. Aku dan kawan-kawan itu tak punya definisi yang sama soal
>> > "tinggal di wisma mertua indah". Setiap definisi, seumum apapun
>> cakupannya,
>> > tentu tak sanggup mencakup sesuatu yang di luar kelaziman. Nah,
>> itulah yang
>> > aku jalani. Buktinya barangkali bisa ditanyakan pada mas kawin
>> pernikahan
>> > kami yang rajin "disekolahkan" di pegadaian. Barangkali saat ini mereka
>> > sudah pintar mengajari kami – aku dan istriku – soal perjuangan hidup.
>> >
>> > Aku selalu menghibur istriku, setelah sholat malam dan diberbagai
>> > kesempatan, bahwa roda senantiasa akan berputar asalkan kita tak
>> kenal lelah
>> > untuk memutarnya. Sebagai ayah, aku belajar mempersiapkan mental
>> baja agar
>> > anakku nanti tak lemah. Sepeninggalku, jika sampai waktuku, aku tak
>> ingin
>> > meninggalkan keturunan yang lemah, yang hanya bergantung pada orangtua
>> > bahkan hingga mereka dewasa dan saatnya menikah. Bukankah anak singa
>> takkan
>> > lahir dari seekor kambing?
>> >
>> > Sesungguhnya penghiburan terutama bagi kami – yang penat dengan jungkir
>> > balik kehidupan terutama pasca aku berhenti *ngantor* – adalah sang
>> putera
>> > tersayang, Alham. Beratnya yang kini mencapai lima kilo lebih dengan
>> pipi
>> > gembul dan perawakan jangkung membuatnya tampak lebih besar dari
>> bayi-bayi
>> > seusianya. Ocehannya yang banyak, terutama selepas disusui, kerap
>> membuatku
>> > sadar bahwa banyak hal yang patut disyukuri ketimbang disesali dalam
>> hidup
>> > ini. Termasuk tawaran pemberian kereta dorong bayi – yang menurut
>> kami cukup
>> > mahal – dari seorang sahabat, yang sayangnya tak jua datang. Yah,
>> apapun,
>> > aku hargai niat baiknya.
>> >
>> > *"Mencintai seseorang akan membuatmu berani, dan dicintai seseorang akan
>> > membuatmu kuat,"* demikian kata Lao Tze, sang filsuf dari Tiongkok
>> kuno. Itu
>> > pelajaran kedua bagiku sebagai ayah. Berani berhutang, bentuk
>> praktisnya..
>> >
>> > Saat orderan terjemahan sepi, sementara aku mengisi waktu dengan menulis
>> > untuk koran, dan kami berhari-hari bertahan hidup dengan mie instan plus
>> > telur dan tak jarang hanya nasi goreng tanpa lauk – tanpa mertua dan
>> kakak
>> > ipar tahu – aku tak tega membiarkan anakku yang masih menyusui hanya
>> dapat
>> > asupan ASI yang alakadarnya. Selain menerjemahkan dan menulis,
>> aktivitasku
>> > sebagai *trainer* penulisan untuk anak-anak *dhuafa* sama sekali – dan
>> > memang bukan tujuan – tidak dapat diandalkan untuk tambahan pendapatan.
>> > Solusi kuno yang termudah, sejak awal peradaban manusia, untuk
>> kekurangan
>> > pendapatan adalah berhutang meski salah satu hadis Rasullulah mengatakan
>> > bahwa itu sebagian dari tanda-tanda kehinaan.
>> >
>> > Mata anakku yang bening dan besar saat menatapku, kerapkali saat aku
>> gendong
>> > untuk menidurkan atau membuatnya bersendawa, seakan bertanya
>> kepadaku,"Abi
>> > ngutang lagi ya?"
>> >
>> > "Iya nih," jawabku dengan mimik dibuat lucu untuk mencandainya.
>> Biasanya ia
>> > yang murah senyum akan tertawa terkekeh-kekeh. Terlebih lagi jika
>> aku dengan
>> > gokil menirukan gaya tangannya yang khas seperti gaya orang menyetir
>> mobil
>> > atau seperti gaya Superman terbang – dengan satu tangan teracung
>> lurus ke
>> > depan.
>> >
>> > "Nanti Alham sekolah yang tinggi ya. Biar jadi orang kuat," pesanku.
>> Entah
>> > mengerti atau tidak, ia tersenyum lebar. Tampak lucu menggemaskan dengan
>> > penampakan gusi kosong dan binaran mata kelerengnya. Semoga saja harapan
>> > ayahnya ini terpatri di alam bawah sadarnya kelak saat dewasa.
>> >
>> > Ya, menjadi orang kuat – dalam pengertian fisik, keimanan, ilmu,
>> finansial
>> > dan kedudukan – adalah syarat seorang pejuang, nama "Alham" adalah salah
>> > satu nama penulis-pejuang yang aku kagumi, dalam apapun bentuk
>> perjuangan
>> > yang ditekuninya.
>> >
>> > Jika ada tangga menuju kesuksesan di masa depan yang harus didaki
>> anakku ini
>> > maka aku rela jadi anak tangga terbawah untuk ia pijak menuju pijakan
>> > berikutnya. Ketika banyak orang maupun tetangga memuji-mujinya
>> sebagai anak
>> > yang "pintar" atau "responsif", aku termimpi-mimpi Alham berkuliah
>> di luar
>> > negeri. *Ah, mimpi yang indah*. Sayang aku lekas terbangun di dini
>> hari itu.
>> > Entahlah apakah ini juga obsesi masa laluku yang tak sampai ketika
>> seorang
>> > dosen menawariku beasiswa S-2 ke Jerman bahkan ketika aku masih di
>> semester
>> > lima. Sayang S-1 pun tak mampu aku tamatkan. Kekurangan biaya,
>> alasannya.
>> > Klise memang.
>> >
>> > Belajar menjadi ayah memang perlu waktu panjang. Aku rasa aku masih
>> di tahap
>> > teramat dini di usia anakku belumlah genap setahun. Namun pelajaran
>> ketiga
>> > yang utama yang aku dapatkan di tiga bulan menjadi ayah adalah:
>> *jika ada
>> > kemauan pasti ada jalan*. Dengan kondisi menjadi ayah dan suami
>> > berpenghasilan tak menentu yang pernah tertipu orang, terlilit
>> hutang dan
>> > kehabisan tabungan – yang merupakan ujian Allah agar emas terpisah dari
>> > loyang – aku belajar mengendalikan emosi, lebih menghargai istri dan
>> belajar
>> > mensyukuri yang ada serta lebih gesit mengejar peluang.
>> >
>> > Di titik inilah aku merasakan dengan makna sejati-jatinya bahwa
>> pernikahan –
>> > termasuk keberadaan anak --mendewasakan orang. Saat beberapa teman
>> lajang
>> > curhat kepadaku tentang susahnya hidup melajang dan mereka
>> berangan-angan
>> > tentang (melulu) indahnya pernikahan, aku tersenyum. Aku hanya
>> berdoa semoga
>> > kelak, dengan harapan semuluk itu, mereka tidak menyesal menikah. Karena
>> > sebenarnya ungkapan lama "sengsara membawa nikmat" dari Sutan Sati –
>> penulis
>> > Melayu angkatan Balai Pustaka – dalam konteks pernikahan dapat
>> > terbolak-balik letaknya. Dan cinta tak selalu semakna dengan bisikan
>> mesra
>> > atau tatapan sayang. Cinta sejati lebih merupakan perjuangan yang
>> tak jarang
>> > berlumur peluh dan air mata.
>> >
>> >
>> >
>> > *Jakarta, 14 Februari 2009*
>> >
>> > * *
>> >
>> >
>> > --
>> > -"Let's dream together!"
>> > Nursalam AR
>> > Translator, Writer & Writing Trainer
>> > 0813-10040723
>> > E-mail: salam.translator@ ...
>> > YM ID: nursalam_ar
>> > http://nursalam. multiply. com <http://nursalam.multiply.com/>
>> >
>>
>>
>
>
> --
> -"Let's dream together!"
> Nursalam AR
> Translator, Writer & Writing Trainer
> 0813-10040723
> E-mail: salam.translator@ gmail.com <salam.translator@gmail.com>
> YM ID: nursalam_ar
> http://nursalam. multiply. com <http://nursalam.multiply.com/>
>
>
>
>

--
-"Let's dream together!"
Nursalam AR
Translator, Writer & Writing Trainer
0813-10040723
E-mail: salam.translator@gmail.com
YM ID: nursalam_ar
http://nursalam.multiply.com
4a.

[Ruang Baca] Ulysses Moore, Pintu Waktu

Posted by: "Rini Agus Hadiyono" rinurbad@yahoo.com   rinurbad

Mon Feb 16, 2009 3:44 pm (PST)

Judul asli: Ulysses Moore La Porta Del Tempo

Penulis: Pierdomenico Baccalario

Penerjemah: Damaring Tyas Wulandari, S.Si.

Ilustrator: Iacopo Bruno

Penerbit: Erlangga for Kids

Tebal: 222 halaman Hardcover

Cetakan: I, September 2006

Skor: 8

Argo Manor bertutur:

Aku berada di Kilmore Cove, agak terpencil dari rumah lainnya.
Mendiang pemilikku, Ulysses Moore, mengizinkan Nestor pelayannya
menyewakanku pada orang lain. Dengan syarat keluarga
beranggotakan minimal dua orang anak.

Tuan dan Nyonya Covenant terpesona pada penampilan fisikku,
menganggap aku merupakan tempat yang cocok untuk anak kembar
mereka: Julia dan Jason. Julia yang menyukai keriuhan kota besar,
toh tak dapat menampik kemenarikanku walau ia kerap tak
sependapat dengan Jason yang dianggapnya berkhayal.

Jason bocah yang peka, berminat pada hantu dan sejenisnya. Ia
menduga ada hal serupa di dalamku. Namun seperti dugaan Nestor,
anak-anak akan bersenang-senang. Anak-anak akan berpetualang.
Tak menghiraukan cerita misterius tentang tuanku yang tak pernah
menginjak tanah di luar selama empat puluh tahun. Bahkan mereka
terpikat oleh kisah itu. Oleh kematian istrinya yang tiba-tiba. Oleh
suasana mencekam di sini. Oleh pintu yang selalu mengundang untuk
dibuka, dan pasti akan ditemukan bagaimana pun rapatnya.

Bagaimana kau tak akan terpesona pada kisahku, Sobat Petualang?
Aku dituliskan dalam sebuah buku yang kokoh, dengan huruf tak
menyiksa mata, nyaman dilalap paragraf demi paragraf. Memang ada
kekurangan di sana-sini, misalnya terjemahan 'teman-teman' yang
lebih cocok jika dibiarkan apa adanya (Guys, agaknya itu istilah
sebenarnya).

Ilustrasi di halaman-halaman yang memajang ceritaku bukan semata
ornamen. Pernahkah kau lihat goresan yang begitu menyerupai
coretan tangan? Sketsa hitam putih yang tampak nyata? Wajah-wajah
yang dibingkai kartu pos dan tulisan sambung di dekatnya?

Kau akan berkenalan juga dengan Rick. Julia dan Jason berada di sini
tanpa pemimpin, karena Nestor sudah tua dan orangtua mereka harus
pergi untuk sementara waktu. Rick sudah lama ingin tahu apa yang
ada di setiap sudutku. Kau akan lihat kecerdasannya kala bersentuhan
dengan buku.

Tidakkah kau ingin menyertai mereka memecahkan sebuah rahasia?
Tidakkah kau ingin menengok beberapa halaman sebuah kamus tua?
Tidakkah kau ingin tahu mengapa seorang wanita bernama Oblivia
menghendaki aku dengan begitu ngototnya?

5.

[Ruang Baca] Ulysses Moore, Peta yang Hilang

Posted by: "Rini Agus Hadiyono" rinurbad@yahoo.com   rinurbad

Mon Feb 16, 2009 3:47 pm (PST)

Judul asli: Ulysses Moore La Bottega delle Mappe Dimenticate

Penulis: Pierdomenico Baccalario

Ilustrasi: Iacopo Bruno

Penerjemah: Barokah Ruziati

Penerbit: Erlangga for Kids

Tebal: 261 halaman, Hardcover

Cetakan: I, September 2006

Skor: 8

Penampilan fisik

Ilustrasi di sampul depan menyiratkan ketegangan dan petualangan
yang lebih kental dibanding buku pertamanya, karena sekarang sudah
benar-benar berlangsung. Ilustrasi dalam tidak sebanyak dulu, 'hanya'
di awal setiap bab tapi tetap memancing rasa ingin tahu.

Cerita

Di permulaan, sempat bingung dan mencoba mencocokkan dengan
akhir buku pertama. Ada kesan Jason, Rick, dan Julia sudah berada di
suatu tempat di Mesir, namun tiba-tiba Julia terlempar kembali ke
Argo Manor. Meski sempat bertanya-tanya, saya menyimpulkan bahwa
ini teknik penulis agar terbagi dua sub plot yang mengasyikkan bila
diselang-seling. Julia dan Nestor di rumah menghadapi Manfred,
sedangkan Jason dan Rick di Mesir menghadapi Oblivia Newton. Saya
menyukai dialog-dialog Oblivia yang mempertegas karakter
antagonisnya.

Setting

Petualangan di sini lebih kental. Lokasi di Mesir kuno, kalimat-kalimat
ganjil yang diucapkan Rick dan Jason yang kerap membuat bingung
Manor -teman baru mereka- terutama ketika mereka berada di kuil
Rumah Kehidupan. Yang paling mendebarkan, saat mereka bertiga
berada dalam gua penuh ular. Ular berjatuhan, pluk, pluk, pluk (Salut
pada penerjemahnya karena dapat meresapi bagian ini dengan baik).

Karakter

Saya tertarik pada Pustakawan Agung, ayah Manor, dan ingin tahu
lebih jauh mengenainya (mungkin di buku ketiga?). Profesinya
mengundang rasa penasaran, berikut aturan-aturan di tempatnya
bekerja. Manor, gadis kecil yang 'menggantikan' Julia bersama Jason
dan Rick dengan kebiasaannya berdoa. Mannon, mantan Penyusun
Indeks yang tak ragu menyatakan dirinya lebih menyukai uang
daripada anak-anak asing yang baru dikenalnya dan tidak gentar
menghadapi Talos si buaya. Seperti biasa karakter muncul satu demi
satu sehingga tidak jlimet, nama yang dipilih pun singkat-singkat saja.

Konflik

Semua teka-teki di buku pertama mulai mendapat jawaban, meski
masih samar-samar. Agaknya penulis sengaja menyingkap 'kabut' ini
perlahan saja agar irama yang mencekam tetap terjaga. Misalnya,
sosok Ulysses Moore yang tetap misterius (dan makin membuat saya
tertarik).

Alih bahasa

Tak perlu berpanjang kata, bintang tiga. Beberapa kalimat yang saya
sukai:

Hati percaya apa yang ingin dia percaya (hal. 156)

..tak ada manusia yang bisa mengakui rahasia kegelapan hatinya
sendiri." (hal. 157)

6.

[CATATAN KAKI] Sederhana Seperti Apa?

Posted by: "Anwar Holid" wartax@yahoo.com   wartax

Mon Feb 16, 2009 4:00 pm (PST)

[HALAMAN GANJIL]

Sederhana Seperti Apa?
----------------------
--Anwar Holid

Sederhana itu tricky.
--Budi Warsito

Ada dua buku yang secara khusus membicarakan sederhana. Pertama ialah The 7 Laws of Happiness (Arvan Pradiansyah) dan Simplify Your Working Life (Fergus O'Connell). Kedua orang itu menggunakan sederhana sebagai hukum, bahkan merupakan ajaran moral yang sepatutnya dipatuhi, karena dari sanalah hakikat masalah bisa dilihat. Ibaratnya, sederhana adalah atom, inti sesuatu--minus penemuan bahwa atom pun ternyata masih punya unsur lagi.

Arvan Pradiansyah dengan tegas menyatakan bahwa sederhana ialah kemampuan menemukan inti masalah; sementara Fergus O'Connell--terutama dalam konteks kerja dan karir--menekankan bahwa yang pertama-tama harus dilakukan untuk bekerja cerdas ialah orang harus menemukan cara kerja paling sederhana. Menurut Tujuh Hukum Bahagia Arvan, sederhana merupakan poin ketiga rahasia mencapai hidup bahagia. Penulis lain, Jack Foster dalam buku Ideaship juga mengamini pendirian seperti itu, baik dalam konteks karir maupun kepuasan pribadi.

Di dunia seni, ada aliran kubisme dan abstrak ekspresionisme yang sangat menjunjung luhur-luhur makna sederhana. Bagi penganutnya, alam ini bisa diabstraksi menjadi garis, bujur sangkar, lingkaran, segi tiga, dan bentuk-bentuk dasar lain, sehingga itulah yang mereka geluti. Bila kita perhatikan dari lukisan Pablo Picasso atau Piet Mondrian, bentuk-bentuk dasar itu begitu dominan, meski setelah jadi, di tangan mereka lukisan itu menjadi sesuatu yang kompleks, harmonis, sekaligus kabur dan penuh luapan perasaan.

Di dunia arsitektur (Ludwig Mies van der Rohe) dan sastra (Robert Browning) sama-sama punya adagium yang membuat mereka begitu terkemuka, yaitu: Less is more (sedikit itu lebih bagus.) Di ranah ekonomi juga begitu; E. F. Schumacher (1911 - 1977), pemikir ekonomi Inggris kelahiran Jerman, sangat sering dikutip pemikir ekonomi Indonesia karena menulis buku dengan judul sangat provokatif: Small is Beautiful (kecil itu indah.)

Di dunia gerakan, filsafat, apalagi agama, begitu banyak orang yang mati-matian menekankan pentingnya sederhana. Perhatikan gerakan sederhana dan damai yang dilakukan Gandhi, Martin Luther King, Jr., Mandela, Aung San Suu Kyi, juga Lech Walesa. Jangan lupa juga dengan tokoh bersahaja yang datang lebih dulu: Henry David Thoreau, Isa Al-Masih, Francis Assisi, dan lain-lain. Orang Muslim biasanya suka mengagung-agungkan kesederhanaan pahlawan mereka--antara lain Muhammd Saw, Ali bin Abi Thalib, Imam Khomeini, dan sekarang Ahmed Dinejad--sebagai orang yang betul-betul sederhana.

Sekarang, anggaplah kita beriktikad kuat mau melakukan hal serupa karena kita sudah lama terpesona oleh kesederhanaan. Apa yang seharusnya kita lakukan?

Pertama-tama, mungkin kita langsung berpendapat bahwa sederhana berbeda dengan miskin. Baiklah, saya setuju. Semua orang yang paling kaya pun konon bisa sederhana--katakanlah seperti Warren Buffett. Boleh jadi pendapat kita tentang sederhana sebenarnya menunjukkan bahwa kita keberatan dengan hidup sederhana versi Isa Al-masih dan Gandhi. Kita ingin sederhana versi Buffett atau Bill Gates. Kita ingin sederhana yang kaya, bukan sederhana yang kere. Kita ingin meneladani sederhana yang mungkin lebih tepat dan kontekstual dengan dunia kini yang berkembang karena kapitalisme dan diikuti budaya konsumerisme.

Jadi, silakan definisikan sederhana Anda masing-masing, biar nanti kita bisa melanjutkan diskusi.

Saya sendiri masih sulit mendefinisikan dengan persis sederhana yang ideal. Meski saya beriktikad sederhana, toh saya gagal berhenti mengumpulkan banyak barang yang boleh jadi tak saya butuhkan. Saya punya masih puluhan kaset, CD, bahkan ribuan buku, belasan potong baju dan celana. Dari sisi itu saja, saya jelas tidak sederhana, alias berlebihan. Untuk apa saya punya puluhan kaset, bila sebenarnya saya tidak menyetel kaset itu tiap saat? Untuk apa saya punya belasan potong baju dan celana, padahal kita bisa cukup punya 2 potong baju dan celana? Yaitu satu dipakai dan satunya lagi jadi cadangan? Kenapa harus punya cadangan belasan potong?

Dalam beberapa hal barangkali saya boleh dibilang sederhana. Misalnya, saya punya satu istri. Itu masih cukup. Kacamata saya juga cuma satu. HP saya satu, begitu juga dengan rumah, televisi, rapido, earphone, dan kulkas. Dulu saya punya cd player dan walkman; tapi sekarang sudah dijual. Dulu saya hanya punya satu flash disk; tapi akhirnya dihadiahi 2 flash disk oleh dua institusi, kini saya jadi punya tiga.

Karena tidak punya mobil, motor dan ipod; bolehkah saya mengklaim diri saya sederhana? Mungkin Anda langsung protes, eits, tunggu dulu.

Ternyata dengan contoh saya saja, sungguh sulit menyatakan dan melakoni hidup sederhana. Bila saya bersikeras mengatakan hidup sederhana dengan makan di warteg murahan, mungkin orang-orang akan tertawa sinis. Itu bukan sederhana, itu pelit dan cari penyakit. Perhatikan dong bahan makanannya, cara memasaknya, zat-zat yang digunakannya, kualitas bumbu yang mereka cecerkan. Alih-alih sederhana, kamu akan lebih cepat mati dan penyakitan.

Setahu saya, orang sederhana nggak takut mati.

Bila tiba waktunya--entah karena sudah waktunya atau karena jotosan preman--orang pasti melepas nyawa.

Kini ibu-ibu pada ramai menggunakan bahan makanan organik, yang menurut saya harganya lebih mahal. Kalau saya bilang, sederhana saja, pilihlah yang lebih murah, mereka akan berkata sengit: "Yang organik itu lebih sehat, akan bikin kita lebih panjang umur, tambah fit, mencegah penyakit, dan segudang khasiat lain." Segera saya bingung, bukankah yang sederhana itu lebih baik? Kalau kamu ditakdirkan sehat dan panjang umur, mungkin dengan makan akar-akaran dari hutan juga kamu tetap sehat wal afiat.

Kegagalan melaksanakan hidup sederhana membuat saya berani menyatakan bahwa saya mengidap penyakit bernama: Didera Serba Kekurangan (DSK), dan entah bagaimana cara menyembuhkan atau menerapinya. Saya bahkan menganggap gejala penyakit ini malah harus dimaklumi alih-alih diperiksa. Buktinya ialah bahwa saya ternyata lebih bersemangat mengejar kekurangan tersebut, alih-alih mengurangi kebutuhan atau meminimalkan maupun terus-terus berperilaku dan memilih hidup bersahaja.

Katakanlah saya ingin merayakan satu dekade pernikahan dan ingin melangsungkannya dengan sederhana; apa yang seharusnya saya lakukan? Merayakan syukuran sendiri, dengan doa, atau memilih mengajak anak-istri ke warteg paling murahan di dekat rumah, atau ke restoran eksklusif yang hanya dikunjungi bila keuangan kita berlebihan atau pikiran sedang nggak waras? Semua jawaban tampak salah.

Semua orang saya yakin akan bilang, "Sederhana itu tidak berarti kamu harus merayakan hari pernikahan di warteg. Pilihan di restoran steak terkemuka malah lebih baik, karena itu hari istimewa kamu! Kalau kamu merayakan di warteg, ketahuan betapa pelit kamu pada keluarga!" Entah kenapa jawaban itu membuat saya merasa gagal jadi orang sederhana. Saya pikir, apa bedanya makan di warteg dan restoran, kalau kita bisa merasakan nikmat dan kenyang dengan kualitas setara? Orang-orang yang tahu apa arti bahan makanan bagi tubuh dan selera jelas menolak jawaban ini.

Iktikad hidup sederhana makin tambah runyam, mendapat tantangan dan ledekan karena kita kini mengenal hasrat bernama konsumerisme. Baru-baru ini saya sekeluarga membela terus-menerus belanja di satu pasar swalayan karena bila belanja dengan nilai tertentu akan mendapat satu kupon yang setelah berjumlah 45 lembar bisa ditukar dengan boneka anjing atau kucing. Bayangkan! Hancur sudah niat sederhana saya karena menuruti iming-iming konsumerisme. Saya membelanjakan uang bukan demi kebutuhan yang benar-benar sulit dihindari, melainkan karena ada pamrih lain di sana. Ternyata cukup mudah menipu keinginan massa. Kelakuan saya itu persis Ilalang (anak saya) yang selalu mengambil snack atau barang lain disertai hadiah di dalamnya.

Karena sederhana beda-beda bentuknya, kita akhirnya bingung akan memilih model mana atau akan membentuk sendiri citra sederhana seperti apa; dan akibatnya sederhana itu makin jauh dari diri kita, makin sulit diikuti, dan perlahan-lahan gantinya kita dipeluk makin erat oleh kebutuhan yang makin banyak dan menumpuk. Kata Arvan, kita makin kerepotan oleh hal remeh-temeh, tetek-bengek, trivia, alih-alih mencari yang hakikat. Persoalannya, bagaimana kita bisa menemukan yang hakikat bila kita kehilangan tujuan dan persoalan yang sebenarnya? Lama-lama sederhana menjadi sesuatu yang eksotik; ia indah, ideal, tapi terlalu jauh dan sukar untuk diraih dan dilaksanakan. Kenapa? Karena kita menganggap sederhana itu terlalu jauh dan sulit berkompromi dengan sebagian besar aspek hidup kita.

Akibatnya bisa diduga: gerakan hidup sederhana yang sejati kehilangan penganut, atau pelakunya terlalu sederhana untuk jadi orang terkemuka dan jadi panutan. Orang-orang yang boleh jadi sudah cukup kaya--katakanlah saya--masih saja mengeluh kekurangan, berkampanye hidup sederhana tetapi sulit membedakan mana hawa nafsu dan mana memenuhi kebutuhan paling dasar. Habis dia ketakutan bahwa hidup sederhana akan menghalanginya bisa menikmati espresso dan kopi Aroma.

Sederhana mungkin makin sulit berkenan di hati kita semua, apalagi sekarang orang senantiasa menargetkan segala hal serba luar biasa, grandiose, harus semakin hebat. Cobalah kalau perusahaan tempat Anda menargetkan misi makin sederhana dan bos Anda meminta capaian lebih sederhana; mungkin Anda akan segera merasa masuk tempat ibadah, tempat para penceramah tiap Jumat atau Minggu meminta orang hidup tambah sederhana, jangan sampai terlena dunia, bersedekah lebih banyak--biar amplop yang dia terima tambah tebal. (Aih, Wartax, kayaknya kamu mudah berburuk sangka!)

Ternyata sederhana beda-beda bentuknya, walaupun hakikatnya boleh jadi sama. Cerita-cerita hikmah tentang sederhana bisa berwujud sesuatu yang mengejutkan kita. Orang silakan saja bilang tentang gaya hidup sederhana namun toh itu tak menghalanginya menyelenggarakan perkawinan anaknya dengan biaya milyaran rupiah. Dengan begitu, sederhana seorang pejabat tinggi negara jelas beda dengan sederhana seorang pekerja out source; meskipun mereka sama-sama bisa berangkat kerja dengan sepeda atau jalan kaki. Baiklah, asal hakikatnya mereka temukan bersama.

Kalau Anda membuka pintu rumah saya dan mendapati ruang tamu kami melompong tanpa meja-kursi--diganti hanya hamparan karpet abjad--mungkin Anda akan terkesan betapa sederhana rumah kami, sampai beberapa tamu terus-terusan berdiri karena merasa bingung harus duduk bagaimana. Boleh jadi kami sedang mempraktikkan less is more atau mode interior dengan furnitur minimalis; meski kenyataannya kami masih saja gagal mencari perabot yang pas, baik dengan bujet maupun kecilnya ruangan. Bandingkan bila Anda masuk ke Rumah Buku, tempat di sana terdapat sejumlah rak yang asli hanya berupa tumpukan batu-bata mengapit bilah papan (contoh gambar ada di halaman situs mereka), tanpa plesteran. Sangat sederhana dan alamiah.

Lantas bandingkan dengan mode interior minimalis yang mungkin jadi pilihan kantor Anda atau rumah kenalan Anda, yang malah memancarkan sifat mewah, mahal, elegan namun tak terjangkau oleh orang dengan penghasilan sederhana. Anda masih mau bersikukuh bahwa itu semua benar-benar bentuk hidup sederhana? Ayolah, Anda harus berani bilang bahwa itu sudah melewati kodrat kesederhanaan, itu sudah berlebihan. Itu adalah bentuk "usaha keras agar sederhana" yang hasilnya justru luapan kemewahan berbalut pemborosan.

Begitu dengan para politisi kita yang sedang kampanye ingin terpilih jadi anggota DPR-RI/D maupun pemimpin pemerintahan. Bagaimana cara kita--orang-orang yang terkadang terlampau sengit memandang politik--meminta agar sederhana di tengah tuntutan belanja kampanye yang begitu mahal? Bagaimana memberi esensi sederhana pada mereka? Kalau esensi menjadi politisi ialah bernegosiasi dengan orang jahat, memelihara perdamaian; maukah mereka mengalihkan dana kampanye yang jelas nggak tersalurkan pada orang miskin dan papa, untuk kesejahteraan sosial bersama-sama? Mari kita tantang mereka: Maukah kamu membagikan dana kampanye itu buat membangun fasilitas umum, membersihkan poster-poster dan spanduk vandal yang mereka pasang sendiri, yang mengotori tempat di mana-mana dan jadi sampah?

Akhirnya kita capek diskusi tentang sederhana, sebab munculnya malah debat seperti apa sederhana itu. Kita menyaksikan menemukan atau merumuskan sederhana ternyata persoalan besar; padahal boleh jadi kita tahu persis arti sederhana dalam persoalan ini. Kita cukup yakin bahwa sederhana bisa meningkatkan kualitas hidup, mengantarkan kita pada sesuatu yang lebih hakiki. Bahkan cukup yakin, siapa tahu sederhana mampu menghapus perbedaan yang terlalu mencolok antara orang kaya dan miskin, gaji yang begitu besar dan orang ngos-ngosan. Mungkin sederhana bisa menghilangkan rumah mewah, apartemen eksklusif, hotel berbintang sekaligus menghilangkan kawasan kumuh, slum, miskin, kotor, dan menjijikkan. Mungkin sederhana bisa mengurungkan niat orang bikin vila di pinggir pantai atau ujung tebing gunung perawan, dan mengalihkannya bagi gelandangan. Kalau sistem ekonomi kita sederhana, tentu perusahaan raksasa tak perlu menjalankan CSR, sebab mereka sudah bisa dengan
waras membagi penghasilan kepada kaum miskin.

Hidup sederhana menghasilkan orang seperti Muhammad Yunus, film Not One Less, lagu Yellow, lukisan abstrak ekspresionisme, orang yang memilih sendal jepit. Bahkan mungkin, teknologi canggih yang kita gunakan muncul dari ide sederhana. Bahkan lahir puisi karya Sapardi Djoko Damono dengan bait pertama sangat kuat: "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana."

Sederhana itu sublim.

Kalau begitu, memang tugas kita harus menemukan sederhana sendiri-sendiri, yakni sederhana yang polos,  meskipun boleh jadi tricky.[]

Anwar Holid, trying hard to be simple. Dia eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

7a.

(Teka) Terimakasih Nak!

Posted by: "sismanto" siril_wafa@yahoo.co.id   siril_wafa

Mon Feb 16, 2009 4:02 pm (PST)


Terimakasih Nak!

~ Sismanto ~

Email: sirilwafa at gmail dot com <mailto:sirilwafa@gmail.com>

Di sekolah tempat saya bekerja ditempatkan empat orang PBU yang
masing-masing mengurusi bagiannya masing-masing. Ada yang bertugas di
lantai satu, ada yang bertugas di lantai dua, ada yang bertugas di
halaman dan sekitar, dan ada pula satu orang PBU perempuan yang bertugas
mengurusi masalah dapur dan terkadang juga membantu PBU yang lain di
kelas maupun tempat-tempat yang diiminta oleh koordinatornya.

Kegiatan operasional sekolah semakin ringan saja bila saya mengingat
jasa para PBU - salah satu kontraktor yang mengurusi kebersihan
sekolah. Tugas mereka adalah membersihkan semua bagian sekolah. Bila
saya harus mempoto copy soal maupun Lembar Kerja Siswa (LKS) yang biasa
kami sebut dengan worksheet saya bisa meminta para PBU yang mengurusi
bagian ini. Meski saya usahakan mengerjakan sendiri tanpa bantuan PBU.

Seperti biasa bila waktu istirahat, saya selalu menyempatkan diri berada
di pos penjagaan Satpam yang terletak di bagian gerbang depan. Di
samping berbicara panjang lebar dengan Pak Satpam saya juga menyempatkan
diri mengawasi anak didik - anak didik saya yang bermain dengan asyiknya
di halaman sekolah. Anak-anak ketika istirahat sedang asyik-asyiknya
bermain bola di halaman sekolah di dekat tempat saya berada di pos
satpam. Tepatnya di bagian belakang pos satpam dan di depan sekolah
itulah terletak halaman sekolah kami.

Bila waktu istirahat, biasanya halaman sekolah ini selalu ramai dipadati
anak-anak yang sedang bermain. Kebetulan waktu istirahat itu anak-anak
sedang bermain sepak bola. Begitu asyiknya mereka main sepak bola, bola
yang digunakan anak-anak keluar dari pagar pembatas sekolah. Anak-anak
tidak berani mengambil bola tersebut secara di depan pos jaga ada saya
dan satpam yang kebetulan memang mengawasi anak-anak yang sedang
bermain.

Melihat kejadian itu, saya masih saja diam di tempat duduk tidak
mengambilkan bola yang terlempar keluar pagar. Saya masih menunggu
reaksi apa yang akan dilakukan oleh anak didik saya untuk mengambil bola
itu bila di luar pagar ada seorang PBU paruh baya yang sedang melakukan
tugasnya, asyik memotong rumput dan tidak begitu menghiraukan apa yang
dikerjakan oleh anak didik saya.

Tanpa saya sadari anak-anak sudah berteriak minta bapak paruh baya yang
sedang memotong rumput tadi untuk mengambilkan bola yang keluar pagar.
Saya masih tetap bergeming dari tempat duduk semula.

"Pak . . .pak... bola pak"

Hampir semua anak didik saya berteriak ke bapak tadi untuk mengambilkan
bola. Sementara bapak itu masih asyik memotong rumput di tempatnya yang
tidak jauh dari bola yang jatuh.

"Pak . . .pak.... ambilkan bola pak" teriak anak-anak yang masih
menunggu reaksi bapak pemotong rumput untuk mengambilkan bola. Bapak itu
lantas mengambilkan bola untuk dilempar kembali ke halaman sekolah. Saya
masih duduk di pos jaga satpam sambil berdoa dalam hati, "Ya Allah,
mudah-mudahan anak didik saya setelah menerima bola dari bapak tadi
mengucapkan terima kasih".

Ternyata, do'a yang saya panjatkan dlaam hati dalam-dalam tidak
terkabul. Dari kesekian anak yang bermain sepak bola di halaman sekolah
itu tidak ada yang mengucapkan terimakasih kepada bapak yang
mengambilkan bolanya. "Ya Allah, begitukah anak didik saya. Tidak
mau mengucapkan terimakasih kepada orang yang menolongnya. Meski itu
hanya mengambilkan bola?". Saya masih tidak percaya dengan doa
saya..

Tidak kurang dari dua puluh anak yang bermain sepak bola itu tidak ada
yang mengucapkan terima kasih kepada bapak yang mengambilkan bolanya.
Saya langsung pesimis dengan doaku, mengapa anak-anak tidak
berterimakasih kepada orang yang menolongnya? Dan belum berhenti rasa
pesimis saya, salah seorang anak didik saya yang juga bermain bola di
lapangan memberikan ucapan termakasih kepada bapak yang memotong rumput.

"Terimakasih ya Allah", ternyata salah satu dari kesekian anak
didik saya ada yang mengucapkan terimakasih pada PBU – bapak yang
meotong rumpat (salah satu kontraktor yang mengurusi kebersihan
sekolah). Terimakasih nak, dari kesekian banyak anak didikku engkaulah
yang memberikan senyum kecil di hari itu.

Sangatta, 16 Pebruari 2009

Sismanto

"Jadilah guru sendiri, sebelum menjadi guru orang lain:"

http://mkpd.wordpress.com <http://mkpd.wordpress.com/>

7b.

Re: (Teka) Terimakasih Nak!

Posted by: "Loiy Anni" loiyloi@yahoo.com   loiyloi

Mon Feb 16, 2009 8:40 pm (PST)

Nice story P' Sis..

Aku juga punya pengalaman yang kurang lebih sama, bedanya pelakunya adalah mahasiswa yang notabene udah dianggap dewasa.
Kemaren ketika ke kampus untuk ngumpulin Jawaban UAS, aku bertemu dengan beberapa kawan. Pas lagi asyik ngobrol, datang kawan yang lain, tergopoh-gopoh sambil menanyakan tempat untuk binding spiral terdekat dr kampus. Setelah kami kasih tau alternatif terdekat, dia kemudian bilang "Ada yang mau nganter aku gak..??"
Saat itu aku sendiri lumayan kaget dengan kalimat kawan tersebut. Kawan yang satunya menjawab dengan ketus "Gak ada".
Namun ada kawan lainnya yang baik hati nganter kawan tersebut.
Yang bikin aku kaget, kok kalimatnya dengan ada kalimat "magic word" minta tolong.

Jadi mungkin hal-hal seperti itu merupakan kebiasaan yang di bawa/dilihat dari rumah (didikan dari rumah). Anak-anak akan tumbuh dan belajar hidup dari contoh orang tuanya. Meskipun guru di sekolah memberi contoh dan mendidik secara baik, kalau tidak didukung didikan dari rumah, rasanya hasilnyapun tidak akan maksimal.

Salam
-loiy-

________________________________
From: sismanto <siril_wafa@yahoo.co.id>
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Sent: Tuesday, February 17, 2009 7:02:12
Subject: [sekolah-kehidupan] (Teka) Terimakasih Nak!

Terimakasih Nak!
~ Sismanto ~
Email: sirilwafa at gmail dot com



Get your new Email address!
Grab the Email name you&#39;ve always wanted before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/
7c.

Re: (Teka) Terimakasih Nak!

Posted by: "sismanto" siril_wafa@yahoo.co.id   siril_wafa

Mon Feb 16, 2009 9:10 pm (PST)

Thanks for sharing nya ibu, memang kebiasaan kecil ini kalau tidak
segera diubah akan semakin banyak cerita yang sama.
anak didik saya masih SD ibu, makanya harus segera diingatkan,
takutnya bila dewasa nanti akan seperti mahasiswa sekarang yang
banyak ulahnya dan lupa akan kata "terima kasih" pada orang yang
menolong meskipun itu pertolongan kecil.
ditunggu ceritanya ya bu . . .

Salam,
Sis

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Loiy Anni <loiyloi@...>
wrote:
>
> Nice story P' Sis..
>

8.

(Ruang Baca) Sangatta, Sangat Banyak Cerita

Posted by: "sismanto" siril_wafa@yahoo.co.id   siril_wafa

Mon Feb 16, 2009 4:05 pm (PST)


Judul : Sangatta, Sangat Banyak Cerita

Penulis : FLP Sangatta

Halaman : 108 hlm + iv
Penerbit : Indie FLP Sangatta

Kota Terbit : Sangatta
tahun Terbit : Pebruari, 2009

Beberapa waktu yang lalu saya sempat menuliskan mimpi tentang Kota
Sangata di sebuah buku antologi yang garis besarnya ketidaktahuan saya
akan kondisi Sangatta. Sangata, kota kecil yang diapit dua Taman
Nasional Kutai (TNK) dan Taman Nasional Muara Wahau. Kota dengan tambang
batu bara terbesar yang dikelola PT. Kaltim Prima Coal (KPC). Sangata
merupakan salah satu kota yang ada di Propinsi Kalimantan Timur. Kota
ini dikenal dengan julukan kota tambang. Bila di Sangata lama awalnya
ada tambang minyak, di Sangata baru ada tambang batu bara yang sudah
dieksplorasi dan dieksploitasi sejak tahun 1987.

Menurut catatan Wikipidia, Sangata merupakan sebuah kota kecil yang
dijadikan ibu kota kabupaten kutai timur, yang merupakan salah satu
wilayah hasil pemekaran dari kabupaten kutai yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 47 tahun 1999, tentang pemekaran wilayah provinsi
dan kabupaten. diresmikan oleh menteri dalam negeri pada tanggal 28
oktober 1999 dengan luas wilayah 35.747,50 km², kutai timur terletak
di wilayah khatulistiwa dengan koordinat diantara
115°56'26"-118°58'19" bt dan 1°17'1" ls-1°52'39" lu. Kutai
Timur memiliki keadaan topografi yang bervariasi, mulai dari daerah
dataran seluas 536.200 ha, lereng bergelombang (1,42 juta ha), hingga
pegunungan (1,6 juta ha), tersimpan potensi batu bara 5,35 miliar ton.

Sebagai kota tambang batu bara, batu bara di Sangata muncul ke permukaan
bumi dan bahkan membentuk bukit-bukit batu bara yang tinggal dipoles
sedikit lalu tinggal mengeruk batu baranya. Para karyawan yang bekerja
di pertambangan batu bara Sangata bekerja 8 jam dengan dibagi menjadi 3
shift. Lama kerja yang seperti ini sesuai dengan aturan Undang-Undang
Ketenagakerjaan, 3 dikalikan 8 jadi 24 jam, genap sehari semalam
eksploitasi tambang itu tidak berhenti, sungguh pemandangan yang
lagi-lagi paradoks. Yang lebih parah lagi, jam kerja ada yang 12 jam dan
hanya menggunakan 2 shift. Saya juga menemui pemandangan yang sama
ketika melakukan perjalanan ke arah Batu Putih - Tanjung Bara (10 km
dari pusat kota). Kompleks pemukiman bagi kalangan elit, borjuis, dan
eklusif yang bekerja di salah satu perusahaan terkenal di Kota ini.
Perbukitan menjadi gundul akibat proses penambangan yang dilakukan 24
jam nonstop.

Beberapa hari kemudian, ada secercah harapan akan pertanyaan itu ketika
saya bertemu dengan seorang penulis di Kota Sangata ini. Dia sedikit
banyak memberikan gambaran mimpi saya tentang Sangatta. Nampaknya,
mimpiku ini butuh seorang penafsir mimpi seperti tafsir mimpinya Nabi
Yusuf ketika di penjara. Yusuf bisa memahami dan mengartikulasikan
setiap mimpi sesorang menjadi sebuah kenyataan, saya butuh tafsir mimpi
seperti yang ada dalam kitab "Ta'birur Ru'ya". Sehingga,
tiap-tiap jengkal mimpiku ini menjadi kenyataan.

Kini bertambah pengetahuan saya tentang Sangata, bertambah lagi satu
bacaan yang saya baca di Sangata dengan diterbitkannya buku kumpulan
Antologi FLP Sangatta "Sangatta, Sangat Banyak Cerita".
Sehingga, bertambah pula kepahaman saya akan mimpi yang sedang saya
rajut di sangata. Saya hanya membutuhkan waktu kurang lebih dua jam
mulai dari kata pengantar sampai dengan terakhir untuk membaca buku ini.
Secara ketebalan buku dan gaya penulisannya yang memang sederhana
sehingga mudah dicerna sebagai menu bacaan. Beberapa kalimat sering saya
lompati karena gaya bercerita yang datar dan monoton, tapi secara
keseluruhan gaya berceritanya enak dibaca.

Kumpulan antologi buku ini sangat membantu bagi para pendatang baru yang
ingin bermukim di Sangata atau hanya sekedar ingin tahu tentang apa dan
bagaimana Sangatta? Tidak kurang dari sembilan belas penulis yang
berkontribusi dan punya andil besar dalam penyusunan buku ini. Dari
kesembilan belas penulis itu ada pula yang berasal dari siswa sekolah
menengah pertama (SLTP), Sekolah menengah lanjutan (SMA) dan beberapa
lainnya kebanyakan adalah ibu rumah tangga.

Dan bila dibaca dengan seksama, maka banyak keceriaan yang saya dapat
dari buku ini. Terkadang saya tersenyum kecil atau terkadang
mengernyitkan alis saya tanda setuju atas tulisan yang disampaikan oleh
para penulis meskipun dengan gaya penulisan yang sederhana. Misalnya
kegelian saya temukan pada tulisan "Mitos Sangata" tulisan arif
Wibowo, selama membaca karya sastra yang diterbitkan para penulis FLP
saya belum pernah menjumpai model tulisan seperti ini. Dan saya memang
tersenyum geli bagaimana bisa tulisan yang berbau mitologi masuk dalam
tulisan FLP, atau memang saya yang salah dalam menangkap maknanya?
Biasanya FLP tidak menerima tulisan-tulisan yang berbau tahyul maupun
klenik namun sisi gagasan tulisan yang disampaikan mengalir dan enak
dibaca (hal. 56-58).

Ada juga yang membuat saya tertarik untuk membaca setiap jengkal kata
demi kata tulisan "Monster Sangata" tulisan dari Mardiyanto
Alif. Sebelum membaca buku ini saya selalu bertanya-tanya apakah benar
di Sangatta ada "monster"? dalam tulisan itu Arif menceritakan
tentang monster sangata-seekor buaya jantan yang panjangnya kurang
lebih tujuh meter lebih besar dari buaya pada umumnya. Monster sangata
ini pernah menggegerkan warga Sangata karena buaya ini memakan salah
seorang siswa sekolah menengah pertama yang kebetulan berekreasi di
daerah Kenyamukan - 7 km sebelah timur arah Kota Sangata. Sekarang,
buaya ini dimuseumkan di "Museum Kayu" di Tenggarong Ibu Kota
Kutai Kertanegara.

Sebagaimana tertulis dalam cover belakang buku ini, Sangata merupakan
kota yang unik, sehingga memberikan hasrat keingintahuaan bagi setiap
orang yang ingin mengenalnya. Insting ingin tahu selalu bergerak namun
banyak mimpi yang terajut dalam dinamikanya. Mimpi milik setiap orang
yang ada di kota ini, mimpi yang begitu sederhana karena memang setiap
impian bukan tidak mungkin untuk diwujudkan. Bagaimanapun juga, Sangatta
mempunyai sesuatu yang tidak ada di tempat lain.

Secara umum gaya penulisan dalam antologi ini datar, terkesan
deskriptif, dan kurang inspiratif. Tapi ada beberapa tulisan yang sangat
inspiratif seperti tulisannya Junius Andarias K.W. yang berjudul
"Kotaku, Kota Sangata" meski penulisnya masih Sekolah Menengah
Atas (SMKN Sangata) tapi tulisannya inspiratif, berbobot, dan sarat
makna. Ada juga tulisan serupa yang ditulis Yunny Touresia "dan, di
Sangata Juga", saya beberapa kali membaca karya penulis satu ini,
dan saya semakin terpana dengan tulisannya. Tulisan berikutnya yang
membuat saya terispirasi adalah "Sangatta bagi Seorang
Laki-Laki" tulisan dari Rien Hanafiah, Ketua FLP Cabang sangata ini
menuliskan dengan lembut dan halus untaian kata-katanya. "Kutemukan
Cinta di sangata" tulisan dari Hikmah agak berbeda dengan
tulisan-tulisan yang lain, dia mengangkat tema perkenalan cintanya di
sangata sehingga menemukan pendamping hidupnya. Terakhir adalah
"Geliat di kampung kajang" tulisan dari DH. Devita.

Buku ini akan menarik bila dikaji dengan pendekatan sosiologi sastra
yang secara setting dan lokasi diangkat khusus tentang dinamika Sangata.
Pesan moral yang saya tangkap dalam buku ini pada dasarnya selalu
berkaitan dengan kehidupan serta tindak tanduk manusia-dalam hal ini.
Dan memang dalam suatu nilai karya sastra sebagai hasil cipta seorang
penulis secara langsung atau tidak langsung di dalam isi karya sastra
tersebut terdapat nilai-nilai moral baik secara tersurat maupun
tersirat. dan saya mendapatkan banyak pesan moral maupun cerita yang
benar-benar terjadi dan ada di Sangata yang tidak saya temukan di kota
lain.

Bagi saya, ada satu kekurangan dalam buku ini, yakni terletak pada
covernya. Bila memandang sekilas, buku ini seperti buku tulis anak
sekolah dasar yang kebanyakan gambar (poto). Namun demikian, tidak
mengurangi keceriaan cerita yang ada di dalamnya tentang Sangata.
Selamat membaca dan selamat berinaugurasi FLP Cabang Sangatta pada hari
Minggu, 22 Pebruari 2009!

Sangatta, 16 Pebruari 2009

Sismanto

http://mkpd.wordpress.com <http://mkpd.wordpress.com/>

9a.

Re: [Ruang Keluarga] Kalung Untuk Ibu

Posted by: "Bu CaturCatriks" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Mon Feb 16, 2009 5:07 pm (PST)

waalaikumsalam mas

duh, terharu sekali membacanya...
mau nangis..
dulu ponakanku, farhan juga mau kasi kado utk temenku, citra
dia bikin kapal2an kertas pake kertas bekas dgn tulisan "buat tante
cittar" (waktu bikin ini, ahan belum pintar baca dan mengeja)
but still,
itu adl kapal2an terindah yg pernah kulihat..
thanks for writing this beautiful story..

salam,

-retno-

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Jojo_Wahyudi@... wrote:
>
> Assalaamualaikum Wr Wb
> Mudah2an kejadian setahun lalu ini
> bisa membawa hikmah untuk kami sekeluarga
> Amien
>
> Wassalaamualaikum Wr Wb
>
> ___________________________________
>
> Kalung Untuk Ibu
>
> Oleh Jojo Wahyudi
>
>
> Siang itu Senin, 11 Pebruari 2008 HPku bergetar. Kulihat nomornya.
> Dari telepon di rumah ternyata. Di seberang sana terdengar suara
renyah putri pertamaku Zalfa Humaira, 7 tahun. "Kakak" begitu
panggilan akrab kami sekeluarga untuknya.
>
> "Assalaamualaikum Ayah, Kakak ingin bicara dengan Ayah. Tapi
sebentar ya, Kakak naik ke atas duluâ" katanya setengah berbisik,
seolah takut suaranya di dengar orang di sekelilingnya.
>
> "Ayah ingat tidak, kalau besok Ibu ulang tahun ?" katanya kemudian,
> nampaknya dia sudah berada di kamar atas.
>
> "Oh iya, Ayah kok sampai lupa ya, terima kasih ya Kak, sekarang Ayah
jadi inga". aku benar-benar lupa besok adalah ulang tahun istriku.
>
> "Nah bagaimana kalau kita buat kejutan untuk Ibu besok Yah." katanya
> semangat tetapi tetap berbisik.
>
> "Maksud kakak ?"
> "Kita belikan Ibu sesuatu. Nanti Ayah pulang kerja cari ya hadiahnya ".
>
> "Oke deh Kak, nanti sepulang dari kantor Ayah usahakan cari ya"lanjutku
> seraya melanjutkan kerjaku di depan komputer kantor.
>
> "angan sampai lupa ya Yah “ katanya mengakhiri percakapan kami.
>
> Hari itu aku benar-benar tidak bisa santai, pun saat istirahat
tengah hari.
> Banyak pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Belum lagi permintaan
> support dari departemen lain yang datang bertubi-tubi. Hingga menjelang
> maghrib aku belum bisa beranjak dari depan komputer. Saat Adzan Maghrib
> berkumandang, mataku masih nanar memandangi layar monitor. Baru
pukul 18.36
> WIB aku melaksanakan kewajibanku pada Sang Khalik.
> Hingga larut malam, aku masih berkutat dengan perangkat elektronik yang
> membuat mataku ber-air. Ide-ide di kepala yang diharapkan terus
mengalir,
> semakin sulit keluar karena fisikku yang semakin lelah. Pukul 20.15
> terpaksa kuhentikan kegiatan, karena ide sudah tidak lagi bisa keluar,
> ditambah kekhawatiranku tertinggal KRL terakhir menuju Bogor.
> Bergegas kumatikan komputer dan segera beranjak dari kursi menuju
lift ke
> lantai dasar.
> Setengah berlari aku menaiki anak tangga stasiun Cikini yang
berjarak hanya
> sepuluh meter dari gerbang kantorku. Setelah sepuluh menit menunggu,
> transportasi rakyat yang cukup vital itupun muncul. Berdesakan aku
> menyeruak masuk di kerumunan penumpang yang berjubal dan basah oleh
> keringat beraneka aroma.
> Satu jam kemudian besi tua dengan seribu jasa itupun memasuki stasiun
> Bojong Gede, aku segera melompat turun dan mengambil motor di tempat
> penitipan. Dengan gas penuh kupacu roda dua itu agar bisa segera tiba di
> rumah, baru terasa kalau cacing-cacing di perut mulai meronta-ronta
meminta
> jatahnya.
> Sepiring nasi dan lauknya serta segelas teh manis hangat, mampu
mengantarku
> ke alam mimpi hingga Adzan Subuh tak lagi bisa terdengar. Tepat 05.15
> guncangan tangan istriku membuyarkan mimpi lelapku. Bergegas
kulaksanakan
> kewajiban dengan terburu-buru.
> Sekelebat kulihat putri pertamaku melongok dari balik pintu. Setelah
> "salam" kupanggil dia, kuraih dan kududukan di antara sila-ku.
>
> "Ada apa Kak ?" kulihat mimik wajahnya seolah ingin mengatakan sesuatu
> "Sudah dibungkus belum hadiah untuk Ibu, Yah ?" bisiknya ketelingaku,
> khawatir Ibunya mendengar.
>
> "MasyaAllah, kenapa Ayah jadi pelupa seperti ini ya Kak......" kataku
> sambil meletakan telapak tangan di kening.
>
> "Jadi Ayah belum beli kado ulang tahun untuk Ibu?" terlihat
kekecewaan di
> wajahnya.
>
> "Maafkan Ayah ya Kak. Ayah benar-benar lupa. Tadi malam banyak sekali
> kerjaan yang harus diselesaikan di kantor" kataku mencoba menerangkan.
>
> Akhirnya pagi itu, hanya ucapan selamat ulang tahun ala kadarnya
dari kami
> untuk Ibu dari anak-anakku. Dengan kekecewaan yang masih tampak, Zalfa
> mencium tangan lalu pipi Ibunya, disusul adiknya Zulfa yang tampak
ceria.
> Istriku tersenyum membalas ucapan mereka. Terakhir aku yang mengucapkan
> selamat sambil mencium keningnya.
>
> Seperti biasa, aku berangkat pukul 06.30 menuju stasiun kereta.
> Puteri ke-duaku Zulfa yang masih TK, berangkat pukul 08.00 dengan
diantar
> jemputan, sedangkan kakaknya, minggu ini mendapat giliran masuk sekolah
> siang.
>
> "Ibu, boleh tidak Kakak minta uang ?" cerita Istriku mengenai permintaan
> Zalfa yang sebetulnya jarang sekali terjadi. Kami memang membiasakan
> anak-anak untuk tidak meminta uang pada orang tuanya. Untuk bekal ke
> sekolah biasanya Istriku membawakan roti atau makanan kecil lainnya,
> kecuali memang tidak ada persediaan bekal sama sekali untuk di bawa ke
> sekolah, baru Istriku memasukan lima ratus atau seribu rupiah ke
dalam tas
> sekolah Zalfa agar bisa dibelikan makanan ringan di sekolahnya.
>
> " Uang untuk apa Kak ?"tanya Istriku
>
> "Ya untuk jajan di sekolah Bu " katanya.
>
> Sekali-kali bolehlah mengabulkan permintaan uang jajan, pikir Istriku
> seraya memberikan pecahan dua ribu rupiah ke genggamannya. Cukup ceria
> Zalfa berangkat ke sekolah, melupakan kekecewaannya pagi tadi.
> Tengah hari, setiba dari sekolah, putri pertamaku itu langsung berlari
> menemui Ibunya.
>
> "Ibu, coba tutup mata Ibu" katanya meminta Ibunya menutup mata.
>
> "Ada apa Kak ?" Istriku bertanya sambil menyusui Zaidan putra
ke-tiga kami
> yang baru berusia tiga bulan.
>
> "Pokoknya tutup dulu mata Ibu "œ rengeknya, Istriku menuruti kemauannya
> seraya menutup mata.
>
> "Sekarang buka mata Ibu"tangan mungilnya menggenggam sesuatu terbungkus
> plastik bening.
> "Ini kado ulang tahun untuk Ibu dari Kakak Zalfa, Kakak Zulfa, Dede
Zaidan
> dan Ayah"katanya seraya menyodorkan plastik itu ke tangan Ibunya.
>
> "Apa ini Kak ?"tanya Istriku setengah kaget.
>
> “ Coba Ibu buka saja plastiknya “ katanya tersenyum.
>
> Istriku membuka bungkus plastik yang disodorkannya, sebuah kalung
acesoris
> anak-anak ada di dalamnya. Walau hanya terbuat dari timah pyuter biasa,
> tapi bentuknya sangatlah indah, dengan liontinnya yang berbentuk hati.
> Terharu dan bahagia Istriku menerima pemberian itu, tak kurang
terharu dan
> malu aku saat diceritakan kisah ini.
>
> Anak sulung kami, yang belum tahu mengenai "kebudayaan barat" tentang
> ungkapan kasih sayang yang keliru, dengan kemurnian rasa sayangnya yang
> tulus telah melunasi ke-alpha-anku. Dibelanjakan uang jajannya yang
tidak
> seberapa untuk sebuah kado terindah dalam hidup Istriku, yang bisa jadi
> belum pernah aku lakukan selama hampir sepuluh tahun kami
berumah-tangga.
>
> Ya Allah, terima kasih Kau telah menitipkan "bidadari" kecil ke
dalam hidup
> kami, yang dengan sayangnya yang tulus telah mengingatkanku akan
sebentuk
> perhatian kecil yang akan mempunyai arti sangat besar untuk hidup kami
> selanjutnya.
>
> (Bojong Depok Baru, 12 Pebruari 08)
>

9b.

Re: [Ruang Keluarga] Kalung Untuk Ibu

Posted by: "Jojo_Wahyudi@manulife.com" Jojo_Wahyudi@manulife.com

Mon Feb 16, 2009 6:09 pm (PST)

Terima kasih juga untuk Mba Retno, untuk sharingnya
memang mbak, kadang kita yg tua lupa dengan hal-hal kecil
yang bisa jadi akan mempunyai efek/dampak yg sangat besar.
Sering kali kita diingatkan oleh Allah dgn belajar dari yang lebih muda,
bahkan anak kita sendiri.
Saya sering sekali mendapat pelajaran itu.
Ada juga pelajaran dari anakku Zalfa ini, yg sempat saya tuliskan dan
sempat juga muncul di Eramuslim.com
mungkin mbak pernah membaca kisah saya: "Beningnya Hati" di Eramuslim kira2
pertengahan tahun lalu,
itu juga merupakan pelajaran dari Allah yang saya dapat melalui putri
pertama saya, Zalfa.

Jazakumullah Khairan Katsira

salam,

Jojo Wahyudi

10a.

[Catcil] Perpisahan Lajang Dengan Segala Sunyi -2

Posted by: "Kang Dani" fil_ardy@yahoo.com   fil_ardy

Mon Feb 16, 2009 5:23 pm (PST)

Perpisahan Lajang Dengan Segala Sunyi -2
(Memoar Menjelang Pernikahan)
~DA~

Setelah sekian lama tidak pernah lagi mengunjungi kota ini, Saya kembali hadir, dalam sebuah suasana yang lebih indah daripada suasana yang pernah saya bayangkan sejak dulu tentang Bandung. Dalam sebuah kebahagiaan yang bahkan hingga kini masih saja membuat saya tersenyum.

Kesejukan tentang kota dengan berbagai eksotisme ini memang memiliki arti yang lebih. Tidak hanya sebatas ketertarikan biasa, tapi lebih dari itu. Resonansi cinta itu bahkan sudah mengalun sejak dulu, jauh sebelum saya menayadari satu hal: Bahwa jodohku berada di suatu tempat yang bisa dimana saja.

Begitu juga dengan perasaan aneh ini, perasaan bahwa akan ada sesuatu yang besar, yang akan terjadi pada saya berkaitan dengan kota ini. Entah apa. Hingga saat itu, saat ketika kuputuskan untuk mengucapkan janji itu, janji setia tentang hidup  yang akan saya jalani dengan segala sisa waktu, bersama seseorang yang ternyata selama ini menunggu saya di kota ini, kota yang selalu saja berselimut kabut. Bandung. Kulangkahkan kaki dengan keyakinan penuh, bahwa di depan, tidak hanya kabut yang akan menyelimuti kota ini. Tapi juga cinta.

Pernikahan adalah sebuah perjanjian suci yang menjadikan Allah SWT sebagai pemersatunya.Dan tidak ada yang melebihi ikatan ini. Dan inilah puncak segala kenikmatan cinta itu, dimana kedua orang yang saling mencintai memilih untuk hidup bersama dan berjanji untuk saling mengasihi dan berbagi hidup baik suka maupun duka.

Ternyata, di kota Bandunglah saya menemukan jodoh yang selama ini saya cari. Dalam sebuah perjalanan tanpa rencana yang sempurna. Meski sua pertama itu berjalan biasa saja, ternyata pertemuan itulah yang mengawali pertemuan kami selanjutnya. Tidak ingin terlarut terlalu lama dalam perasaan gundah karena cinta, kami memutuskan untuk menikah, dengan segala kondisi yang seadanya, persiapan yang minim dan banyak kekurangan lainnya.

Malam sebelum hari pernikahan, saya sibuk membantu mengatur persiapan. Meski renncana ini sudah dipersiapkan sesederhanamungkin, tetap saja menguras stamina setiap orang termasuk saya, si calon pengantin.

Tidur sedapatnya, mata saya yang masih lengket dibangunkan suara adzan subuh. Aah, bisakah kita undur pernikahan ini? Setidaknya hingga sore, biar saya tuntaskan dulu sisa kantuk ini. Batin saya. Tapi, saya punya rencana hebat pagi ini, rencana yang sudah saya siapkan sejak lama, rencana terakhir saya sebagai seorang lajang.

Ya, saya akan mendaki bukit, dimana saya bisa berinteraksi dengan pagi dan segala tentang pagi dengan utuh, dimana saya bisa menatap matahari yang muncul malu-malu dengan sempurna, dan tentu saja ini adalah pertemuan terakhir saya dengan pagi, dengan matahari, sebagai seorang lajang. Karena beberapa saat lagi, saya akan menjadi seorang suami. (Bersambung)

Dani Ardiansyah
www.sekolah-kehidupan.com
www.catatankecil.multiply.com

10b.

Re: [Catcil] Perpisahan Lajang Dengan Segala Sunyi -2

Posted by: "Loiy Anni" loiyloi@yahoo.com   loiyloi

Mon Feb 16, 2009 8:15 pm (PST)

Bandung Lautan Cinta nih ya ceritanya :D
Berarti yuk kapan2 kita menjelajah Bandung
Itung2 menyusuri sepanjang jalan kenangan.
Biar Nibras ntar sama aku :D

Aku juga merasakan jatuh cinta di Bandung, tapi sama Bandungnya sih.
Sama Bogor juga dink :D hehehe

-loiy-

________________________________
From: Kang Dani <fil_ardy@yahoo.com>
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Sent: Tuesday, February 17, 2009 8:23:05
Subject: [sekolah-kehidupan] [Catcil] Perpisahan Lajang Dengan Segala Sunyi -2

New Email addresses available on Yahoo!
Get the Email name you&#39;ve always wanted on the new @ymail and @rocketmail.
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/
11.

(Maklumat) (OOT) BEDAH FILM : PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN

Posted by: "margo widilaksono" magrounj@yahoo.com   magrounj

Mon Feb 16, 2009 6:18 pm (PST)

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakaatuh

Remaja Islam Sunda Kelapa (RISKA)

Mengundang sahabat2 skalian dalam acara :

KAJIAN FIQH WANITA
(BEDAH FILM "PEREMPUAN BERKALUNG SURBAN)

Hari/Tanggal : Ahad, 22 Februari 2009

Waktu : Pukul 09.30 - 12.30 WIB

Pembicara : Ust. H. Drs. Aminuddin Yakub, MA
(Sekretaris Komisi Fatwa MUI)

Tempat : Ruang Bundar
Masjid Agung Sunda Kelapa
Jl. Taman Sunda Kelapa No.16 Menteng - Jakarta Pusat

Untuk informasi lebih lanjut, bisa menghubungi :
Heriyadi : 0856-7319973
Citra : 021-92726869
Ricky : 081-7149460

Acara ini GRATIS dan
TEBUKA UNTUK UMUM

Jadi, kita tunggu yah kehadirannya,,
ajak teman dan sahabat2nya,,,

Wassalamu'alaykum Warahmatullah Wabarakaatuh

Acara Ini diselenggarakan oleh :

DEPARTEMEN SLTNI
(STUDI LANJUTAN TERPADU NILAI ISLAM)

Salam Hangat dari Menteng,
Remaja Islam Sunda Kelapa - RISKA , remaja islam yang punya gaya TM
Sekretariat:
Jl. Taman Sunda Kelapa #16, Menteng, Jakarta Pusat 10310
telp. 021 3190 5839
fax. 021 3989 9710
email: remajaislamsundakelapa[at]gmail.com
website: www.riskaonline.org
SMS Center : 0899 8947 348
YM ID : remajaislamsundakelapa
Skype ID : remajaislamsundakelapa

12a.

[Inspirasi] Guru Yang Sempurna

Posted by: "muhamad agus syafii" agussyafii@yahoo.com   agussyafii

Mon Feb 16, 2009 7:13 pm (PST)

Guru Yang Sempurna

By: agussyafii

Satu hari saya berkunjung ke rumah teman. Teman itu bertutur bahwa ayahnya telah tiada. Sewaktu ayahnya sedang sakit keras, semua anak-anaknya berkumpul menangisi ayahnya yang sedang sakit keras itu, karena melihat tangisan itu sang ayah menghiburnya agar anak-anaknya jangan menangis lagi.  

"Sebaiknya kalian jangan menangis lagi. Ikhlaskan saja ayah untuk kembali kepadaNya.."kata sang ayah.

"Maaf ayah, kami menangis karena diri sendiri. Kami bukan hanya kehilangan ayah namun juga kehilangan sosok guru dan teladan buat kami.." kata anak-anaknya.

"Itu juga tidak perlu, karena kalian akan mendapatkan guru yang lebih sempurna sebagai penggantiku.."Jawab ayahnya.

"siapakah dia, ayah? Katakanlah sekarang, kami berjanji akan mencari guru itu sampai ketemu.."desak anak-anaknya.

"Dia adalah guru yang tak pernah mati." Tutur sang ayah sambil memejamkan mata untuk yang terakhir kalinya. Teman itu bercerita tentang pesan terakhir yang begitu indah dari seorang ayah yang mencintai anak-anaknya, agar mendapatkan guru yang sempurna dan yang kekal abadi. Dialah Sang Maha Sempurna.

--
"Orang-orang  yang  beriman dan jiwa mereka menjadi tenteram
karena  mengingat  Allah.  Memang  hanya  dengan   mengingat
Allahlah jiwa menjadi tenteram" (QS Al-Ra'd [13]: 28).

Wassalam,
Agussyafii

--
Tulisan ini dibuat dalam rangka kampanye Program Pendidikan "Anak-anak Insan Mulia (Amalia)"  Program Pendidikan anak-anak dengan kasih sayang, silahkan kirimkan dukungan dan komentar anda di 087 8777 12 431 atau di http://agussyafii.blogspot.com

12b.

Re: [Inspirasi] Guru Yang Sempurna

Posted by: "Loiy Anni" loiyloi@yahoo.com   loiyloi

Mon Feb 16, 2009 7:58 pm (PST)

Nice story.
Singkat tapi masuk ke pesannya
Semoga kelak aku juga bisa menjadi Guru yang terbaik buat anak-anakku :)

salam kenal,
loiy

________________________________
From: muhamad agus syafii <agussyafii@yahoo.com>
To: agussyafii@yahoo.com
Sent: Tuesday, February 17, 2009 10:06:49
Subject: [sekolah-kehidupan] [Inspirasi] Guru Yang Sempurna

Guru Yang Sempurna

By: agussyafii

Satu hari saya berkunjung ke rumah teman. Teman itu bertutur bahwa ayahnya telah tiada. Sewaktu ayahnya sedang sakit keras, semua anak-anaknya berkumpul menangisi ayahnya yang sedang sakit keras itu, karena melihat tangisan itu sang ayah menghiburnya agar anak-anaknya jangan menangis lagi.

“Sebaiknya kalian jangan menangis lagi. Ikhlaskan saja ayah untuk kembali kepadaNya..”kata sang ayah.

“Maaf ayah, kami menangis karena diri sendiri. Kami bukan hanya kehilangan ayah namun juga kehilangan sosok guru dan teladan buat kami..” kata anak-anaknya.

“Itu juga tidak perlu, karena kalian akan mendapatkan guru yang lebih sempurna sebagai penggantiku. .”Jawab ayahnya.

“siapakah dia, ayah? Katakanlah sekarang, kami berjanji akan mencari guru itu sampai ketemu..”desak anak-anaknya.

“Dia adalah guru yang tak pernah mati.” Tutur sang ayah sambil memejamkan mata untuk yang terakhir kalinya. Teman itu bercerita tentang pesan terakhir yang begitu indah dari seorang ayah yang mencintai anak-anaknya, agar mendapatkan guru yang sempurna dan yang kekal abadi. Dialah Sang Maha Sempurna.

--
"Orang-orang yang beriman dan jiwa mereka menjadi tenteram
karena mengingat Allah. Memang hanya dengan mengingat
Allahlah jiwa menjadi tenteram" (QS Al-Ra'd [13]: 28).

Wassalam,
Agussyafii

--
Tulisan ini dibuat dalam rangka kampanye Program Pendidikan "Anak-anak Insan Mulia (Amalia)" Program Pendidikan anak-anak dengan kasih sayang, silahkan kirimkan dukungan dan komentar anda di 087 8777 12 431 atau di http://agussyafii. blogspot. com

New Email names for you!
Get the Email name you&#39;ve always wanted on the new @ymail and @rocketmail.
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/
13a.

[Rampai] Sketsa Burung

Posted by: "Epri Saqib" epri_tsi@yahoo.com   epri_tsi

Mon Feb 16, 2009 7:25 pm (PST)

Sketsa Burung

: Anya & Mikael

Hari ini 2 burung merpati terbang jauh
meninggalkan jendela sarang mereka
yang penuh lamunan, penuh helaan

si jantan membawa ranting kering 
yang sudah disulapnya jadi pensil
dan si betina membawa pelepah kayu
yang disulapnya menjadi sehelai kecil kertas putih
seperti sepenuh putih di tubuhnya

di udara mereka menyatukan bekal
bertukar katakata, airmata
percik api dan serpihan namanama
lalu sesekali mantra itu turun menjadi tetestetes
di tempat aku suka melamun di tepi jendela kamarku
yang jauh di hadang lautan, hutan dan gununggunung

sayapku sedikit basah
dan sore ini aku sedang tak ingin terbang
selain menikmati kepul kopi dan ribuan sketsasketsa
kematian, kotakota yang ranum, dan bunga matahari
yang berjatuhan satusatu dari langit

Epri Tsaqib
Kuala Lumpur, 1 Februari 2009

Sedikit kado pernikahan sederhana untuk kalian
semoga berbahagia & sukses selalu

http://epriabdurrahman.multiply.com/journal/item/203

Pic taken from : www.cn1.kaboodle.com ; Judul Flying bird with hanging leaves
13b.

Re: [Rampai] Sketsa Burung

Posted by: "Loiy Anni" loiyloi@yahoo.com   loiyloi

Mon Feb 16, 2009 7:53 pm (PST)

Karya yang bagus
Tapi kalo boleh tau, "aku" disini di ilustrasikan sebagai burung juga atau gimaya ya..??
Kalo aku nangkepnya, "aku" disini seseoarng yang sedang mengamati kedua burung merpati yang sedang terbang di tepi jendela sambil menikmati secangkir kopi dan menikmati pemandangan. Tapi kok jadinya punya sayap ya..?? hehehe

After all.. it's a very touching poem.

Maaf kalo salah arti dan makna.
Mas / Kang / Bang Epri tidak sedang bersedih kan..??

Salam kenal,
-loiy-

________________________________
From: Epri Saqib <epri_tsi@yahoo.com>
To: apresiasi-sastra@yahoogroups.com
Sent: Tuesday, February 17, 2009 10:10:33
Subject: [sekolah-kehidupan] [Rampai] Sketsa Burung

Sketsa Burung

: Anya & Mikael

Hari ini 2 burung merpati terbang jauh
meninggalkan jendela sarang mereka
yang penuh lamunan, penuh helaan

si jantan membawa ranting kering
yang sudah disulapnya jadi pensil
dan si betina membawa pelepah kayu
yang disulapnya menjadi sehelai kecil kertas putih
seperti sepenuh putih di tubuhnya

di udara mereka menyatukan bekal
bertukar katakata, airmata
percik api dan serpihan namanama
lalu sesekali mantra itu turun menjadi tetestetes
di tempat aku suka melamun di tepi jendela kamarku
yang jauh di hadang lautan, hutan dan gununggunung

sayapku sedikit basah
dan sore ini aku sedang tak ingin terbang
selain menikmati kepul kopi dan ribuan sketsasketsa
kematian, kotakota yang ranum, dan bunga matahari
yang berjatuhan satusatu dari langit

Epri Tsaqib
Kuala Lumpur, 1 Februari 2009

Sedikit kado pernikahan sederhana untuk kalian

semoga berbahagia & sukses selalu

http://epriabdurrah man.multiply. com/journal/ item/203
Pic taken from : www.cn1.kaboodle. com ; Judul Flying bird with hanging leaves

New Email names for you!
Get the Email name you&#39;ve always wanted on the new @ymail and @rocketmail.
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/
14.

[ETALASE] Sibuk Mengejar Kekayaan Justru Tak Pernah Kaya, Tanya Kena

Posted by: "rusdin visioner" rusdin_kutubuku@yahoo.com   rusdin_kutubuku

Mon Feb 16, 2009 7:33 pm (PST)



Sibuk Mengejar Kekayaan Justru Tak Pernah Kaya, Tanya
Kenapa?

http://rusdin.wordpress.com, penulis dan pengusaha

Apakah ANDA sudah membanting tulang mengejar kelimpahan
harta, tapi tak kunjung memperoleh kekayaan? ANDA sudah bersusah payah, bahkan
bekerja keras, lebih keras dari teman ANDA, tapi ANDA tak jua menemukan
kekayaan? Kalau sudah begini siapakah yang salah. ANDA-kah? Pekerjaan ANDA?
Atau…

          Saya
tahu, banyak orang sibuk sebanding dengan uang yang mereka dapatkan. Itu
wajar-wajar saja. Saya juga tahu banyak diantara orang-orang sibuk mengejar
harta, bekerja lembur, dan lebih keras tapi uang mereka ya itu, itu saja. Tak
mengalami perubahan besar-besaran. Sekali lagi ANDA perlu bertanya: ada apa diri ANDA.

          Salah
satu penyebabnya, jangan-jangan selama ini ANDA hanya mengANDAlkan kekuatan ANDA
dalam berusaha. ANDA lebih percaya kemampuan ANDA. ANDA yakin kalau ANDA punya
skil, punya semangat luar biasa, punya jaringan luas, ANDA akan cepat kaya dan
bahagia. Belum tentu. Banyak orang punya kemampuan memadai, punya skil, punya
jaringan luas, pekerja keras tapi tak jua memperoleh kekakayaan. Hidup tetap
saja terhimpit rasa kemiskinan. Sekali lagi ANDA perlu bertanya ada apa dengan
kesibukkan diri ANDA?

          Oleh
sebab itu, mulai detik ini ANDA harus pintar-pintar menciptakan faktor kali
dalam usaha ANDA. Apa itu faktor kali? Faktor kali itu adalah bantuan yang tak
terduga, pertolongan yang luar biasa, yang membuat ANDA tercengang. Sudah
banyak yang membuktikan betapa dahsyatnya faktor kali ini. Kabar baiknya,
faktor kali inilah yang Rasulullah dan para sahabatnya selalu mempraktikkannya.
Dengan mempraktikkan faktor kali ini justru mempercepat sahabat-sahabat
Rasulullah menjadi kaya raya dan bahagia.

          Faktor
kali itu tak lain adalah amalan-amalan sunah yang mampu mendatangkan berkah
dari Allah Swt. Salah satunya yaitu shalat Dhuha. Sudah banyak orang jaman
sekarang melakukan amalan ini dan mendapatkan berbagai kemudahan dari
Allah.  Apakah semudah itu? Oh tentu
tidak, ANDA pun harus memiliki spirit Dhuha (lihat buku 9 Keajaiban Sunah
Rasullah halaman 32-37).  Spirit Dhuha
itu telah dipraktikkan oleh Mas Gimin sehingga ia  dimudahkan rezekinya (lihat buku 9 Keajaiban
Sunah Rasulullah: Rahasia Tercepat Menjadi Kaya dan Bahagia, Rusdin S. Rauf,
halaman 27-31)

          Apakah
hanya sebatas shalat Dhuha? Tidak! Ada 8 amalan efektif lainnya yang menjadi
faktor kali untuk kekayaan, kebahagiaan, dan kesehatan ANDA. Silahkan ANDA
mencobanya. Lupakan cara kaya dengan amalan-malan tak jelas, lakukan
amalan-amalan yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw. Selain kekayaan di
dunia, ANDA pun memperoleh pahala karena meneladani Rasulullah. Maka kekayaan ANDA
semakin berlipat-lipat. Amin.

                  

 

15.

(Inspirasi) Rahasia Guru Kehidupan

Posted by: "muhamad agus syafii" agussyafii@yahoo.com   agussyafii

Mon Feb 16, 2009 9:05 pm (PST)



Rahasia Guru Kehidupan

By: agussyafii

Tidak jarang seorang guru digugat muridnya, dikritisi, dimaki bahkan juga dibenci karena suatu masalah yang belum benar-benar dipahami oleh sang murid, yang belum benar-benar dipahami itu adalah bahwa guru kehidupan bukan hanya sesuatu yang baik saja, namun juga sesuatu yang buruk. Orang sering menjadi marah, sakit hati bahkan membenci seumur hidupnya disaat  bertemu dengan keburukan.

Pada satu hari seorang kakak diprotes oleh Idin, "Kakak selalu mengajarkan pada saya tentang kebaikan, tapi mengapa membuat semua tercerai berai?"

"O..itulah rahasia kita dalam belajar din…" jawab sang kakak, sementara Idin masih dengan wajah marahnya. "Saya bahkan sampai sekarang masih sakit hati pada Kakak." Kata Idin.

"Din, bukan hanya kebaikan saja yang menjadi guru, sesuatu yang buruk itupun juga guru kehidupan buat kita. Kenapa mesti sakit hati din? Bukankah dirimu seharusnya berterima kasih pada keburukan itu?  Karena dengan keburukan itu kita diajarkan bersabar. " Jawab sang kakak itu dengan tersenyum.

Selama satu bulan Idin dan kakaknya tidak pernah bertemu karena kesibukannya masing-masing sampai suatu ketika sang kakak mendapatkan sms dari Idin, "Kak, apa kabar? Idin kangen nih.."

 
Wassalam,
agussyafii

--
Tulisan ini dibuat dalam rangka kampanye Program Pendidikan "Anak-anak Insan Mulia (Amalia)"  Program Pendidikan anak-anak dengan kasih sayang, silahkan kirimkan dukungan dan komentar anda di 087 8777 12 431 atau di http://agussyafii.blogspot.com

 

 

16.

(no subject)

Posted by: "Arrizki Abidin" arrizki_abidin@yahoo.com   arrizki_abidin

Mon Feb 16, 2009 9:15 pm (PST)

O JUK WE
by : Riz-Q
 
 
O JUK WE. Entah kenapa namanya seperti itu. Mungkin dahulu kala kampus yang memiliki dua gedung itu, satu gedung pendek yang memanjang datar dari timur ke barat dimana terdapat dua lantai saja dan satu gedung lagi berdiri tegak dengan enam lantai didalamnya, dibangun dan diprakarsai oleh orang cina atau paling jelek perkiraanku saat itu, dibangun oleh orang yang memiliki darah dari bangsa cina. Tak terlalu mewah memang, tapi mau bagaimana lagi, aku tak lolos untuk masuk ke universitas negeri yang kuinginkan. Sedang universitas swasta yang kupilih pun hanya menyodorkan jurusan yang tak jelas masa depannya, yaitu M.A.T.E.M.A.T.I.K.A.  Setidaknya itulah pandangan polosku mengenai jurusan tersebut. Padahal jika kupikir-pikir saat ini, bangsaku sudah bisa meraih emas pada Olimpiade Matematika. Jelas sudah masa depan mereka akan sangat cemerlang. Pemerintah takkan pernah ragu menudukung perjuangan muda-mudinya yang mengharumkan nama bangsa. Jika perlu,
fasilitas yang layak akan mereka sediakan bagi sang pengharum negeri.
Kalau mau tahu kenapa aku disodorkan jurusan matematika, jawabannya sederhana saja, lagi-lagi aku tak lolos untuk bisa mengambil jurusan yang kuinginkan demi masa depanku. Teknik Kimia. Ya…itu dia jurusannya. Cukup simple kenapa aku tertarik pada bidang itu. Aku mempunyai hobi untuk coba-coba. Kali saja ada hasilnya jika aku berhasil mencampurkan bahan kimia berwarna biru dengan yang berwarna kuning. Lalu menambahkan setetes cairan berwarna merah pada campuran tersebut. Dan kemudian mengocoknya dengan sendok laboratorium. Tak lupa ditambahkan beberapa benda padat yang berjumlah ribuan dalam bentuk mikro yang sangat mudah larut dalam cairan. Soal hasilnya? jangan tanya. Paling tidak pasti ada sesuatu yang baru tercipta sekalipun itu hanya kegagalan saja.
Setelah aku mengetahui bahwa aku tak bisa mendapatkan jurusan idamanku, pihak kampus kemudian siap menampungku dengan tawaran jurusan lain yang katanya cocok untukku. Cocok atau karena peminat jurusan tersebut sedikit, sehingga perlu adanya tambahan mahasiswa agar kelas tersebut dapat berjalan? Atau….karena aku adalah salah satu dari sekian banyak pelamar yang dapat dijadikan ladang emas bagi pihak kampus? Wallahualam. 
Akhirnya aku memilih untuk mencari saja kampus yang dapat menerimaku. Karena perasaanku sudah pudar, rasanya tak perlu mencari ilmu dari sekolah yang jauh. Cukup yang dekat saja dengan kos-kosanku. Kali-kali saja aku merasa suntuk dan bosan, gampang, langkahkan saja kaki ini pulang. Masuk kamar, lempar tas, nyalakan CD yang berisikan lagu-lagu bertempo cepat dengan volume yang mendekati maksimum, dan rebahkan badan tepat diatas kasur empuk. Pejamkan mata, hingga, finally, TIDURLAH YANG PULAS!
Bisa ditebak, pilihan jatuh pada kampus bernama aneh itu. Siapa yang tidak heran mendengar namanya. Andai saja aku tahu artinya pasti ada makna spesial didalam nama itu. Tiga kata yang selalu membuatku tergelitik. Bahkan aku tidak berani menuliskan namanya dalam SMS pada ibuku.
Ass bu, milka sdh d trima d kampus yg sesuai dgn keinginan milka. spt yg ibu tau, milka ga lolos k negri tp d sini da swasta yg bagus koq bu, unggulan malah. Nanti klo mau k sini ksh kbr ya bu. Slm bwt ayah. Segitu dl ya bu. Wass.
Cukup panjang sms ini. Mudah-mudahan ibu tidak menanyakan nama kampusnya. Bisa-bisa disuruh pulang. Niatku untuk jauh dari orangtua harus dimuluskan demi kemandirianku sendiri. Lebih tepatnya, demi kebebasan yang tentunya ingin aku dapatkan. Terlebih aku sudah kuliah dan akan menjadi mahasiswa. Just grow up! Tentunya harus bisa masak, mencuci, dan menyeterika baju sendiri. Dan yang paling utama tentunya bisa survive menjalani kehidupan. Aku jadi teringat nasihat ayah ketika akan meninggalakan rumah.
"Tidak usah jadi laki-laki jika tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri." ujarnya seraya menepuk pundakku.
Entah darimana ia dapatkan kata-kata itu. Koq, sepertinya aku pernah mendengarnya. Tapi memang begitulah ayah. Selalu saja ada masukan-masukan positif. Padahal orangnya pemalu dan pendiam. Temannya tidak terlalu banyak. Pengalaman hidupnya pun tidak ada yang menarik. Tapi kata-katanya bisa merusak segala sifat anak mudaku yang masih doyan coba sana-sini. Satu lagi perintahnya yang selalu kuingat. Setiap azan magrib berkumandang ditelevisi, ia langsung menyuruhku shalat. Sebagai pegawai negeri, ayah memang tidak berada dirumah dari pagi hingga sore. Praktis hanya ketika waktu magrib, isya, dan subuh saja ia mengingatkanku tentang yang lima waktu. Selebihnya, zuhur dan ashar, ia serahkan sepenuhnya pada Allah SWT untuk mengawasiku.
Berbeda lagi dengan ibu, rasa takutnya yang luar biasa menjadikanku hanya mempunyai sedikit ruang bebas. Tak mau anaknya celaka adalah satu prinsip yang kutahu pasti ia pegang teguh sampai akhir hayatnya kelak. Anak tunggal, anak yang istimewa, sekaligus dimanja. Akibatnya, berbohong menjadi habit bagiku untuk dapat lolos dari ibu dan melakukan hal-hal gila, ciri khas anak muda. Tak baik memang, tapi apa mau dikata, niatku baik. Aku hanya tidak mau ia banyak pikiran. Begitulah induk manusia yang akan baru berhenti menjaga buah hatinya ketika ajal telah menjemput dirinya, berbeda dengan induk hewan yang akan meninggalkan anaknya ketika sudah dewasa. Tapi kebiasaan berbohong ini harus segera kuhilangkan. Allah SWT menciptakan suatu kesulitan pasti disertai dengan cara halal dan haram untuk mengatasinya. Tinggal bagaimana kita memilih. Yang jelas, keduanya pasti ada balasannya. Baik dan buruk itu dua hal yang sangat bertolakbelakang, tapi selalu dibuat
berbeda tipis oleh manusianya.
*****
Hari pertama aku masuk kelas, luar biasa, tak ada yang menarik. Membosankan. Dari mulai zaman taman kanak-kanak sampai kuliah pun acaranya sama. P.E.R.K.E.N.A.L.A.N D.I.R.I. Sang dosen mengajak para mahasiswa dan mahasiswinya untuk berdiri satu persatu ditempat saat nama mereka dipanggil oleh absenan yang sudah disediakan oleh pihak administrasi kampus. Believe it or not, para dosen melakukan hal yang sama di minggu pertama perkuliahan. "Maha dahsyat" mereka. Tak terpikirkan secuil pun olehku tindakan mereka ini. Tuhan memberikan kesulitan lagi. Sebuah rutinitas yang memjemukan. Andai saja cara halal lebih mudah diputar diotakku pastilah cara haram tidak akan kulakukan. Apalagi yang terpikirkan jika bukan B.O.L.O.Z di hari pertama, minggu kedua perkuliahan.
Tidak pernah sebelumnya aku bolos. Tidak sewaktu di TK, SD, maupun SLTP. Sekali pernah aku lakukan di masa-masa yang kebanyakan orang bilang sebagai masa pubertas, SMU. Itupun dilakukan bersama-sama dengan teman satu kelas. Tapi itu hanya sebagai bentuk protes karena sering sekali guru-guru kehilangan jam mengajarnya tanpa alasan yang jelas. Jika dilaporkan ke ruang guru, tidak ada yang mau menggantikan. Paling hanya dikatakan untuk menunggu sampai ada guru pengganti yang akan masuk kelas. Tapi, setelah menunggu cukup lama, only God knows why. 
Tempat yang pasti kupakai untuk relaksasi karena membolos yaitu kosan. Tempat yang paling tepat untuk berkumpul bersama dengan yang lain. Dalam satu kosan ini terdiri dari enam penghuni. Pino, Roma, Bedus, Rey, Iron, dan tentunya aku sendiri, Milka. Bendol sering bermain ketempat kosan ku.
Bendol adalah teman pertama yang kukenal dikampus. Jika melihatnya, tak ada alasan lain bagiku untuk tidak berniat bertukar nama dengannya. Bentuk wajahnya yang membuatku memandangnya cukup lama adalah kesan yang tak mungkin hilang. Bahkan salah seorang mahasiswa yang sempat berpapasan dengannya, nyeletuk, menyebutnya dengan sebutan DOUBLE DRAGON. Tapi Bendol sangat cuek. Sudah terbiasa kali dia diejek demikian. Wajah lonjongnya yang melebar memang membuatnya terlihat cukup beda dari yang lain plus brewok yang menghiasi seluruh bibir, pipi, dan bagian dagu kebelakang. Cukup lebat untuk ukuran seoarang anak berusia 18 tahun. Belum lagi rambut keritingnya yang berjambul, bertumpuk dibagian depan kepalanya. Tubuhnya gemuk tapi tidak berotot. Lemak semua. Aku satu barisan dengannya saat hendak mengembalikan formulir pendaftaran mahasisiwa baru.
"Maaf, mas. Silakan ditinggal saja formulirnya. Tidak perlu ditunggu. Yang mengantri masih banyak. Lembar birunya bawa saja ke bank dibagian basement, sebelah gedung baru." ucap wanita berparas manis yang bertindak sebagai pihak administrasi. Rupa-rupanya ia seorang mahasiswi yang bekerja juga di kampus ini. Karena keterbatasan biaya, ia dipersilakan untuk tetap berkuliah dengan syarat membantu pihak kampus untuk urusan administrasi. Namanya Husna. Angkatan 2001.
"Ooo, iya ya. Terus balik lagi kesini gak, mba?" tanya Bendol sembari tersenyum lebar.
"Tidak perlu." jawab Husna singkat.
Belum puas memandangi Husna, dia tetap saja tidak keluar dari barisan. "Boleh tahu nama mba? Siapa tahu nanti saya kebingungan ngurusin pembayarannya."
"Dasar bodoh, jelas-jelas tertulis pada papan nama dihadapannya. ADMINISTRATOR : HUSNA. Konyol si naga kembar ini. Cara berkenalan yang aneh. Makan apa dia pagi ini?" seruku dalam hati.
"Sekali lagi maaf, mas. Silakan keluar dari barisan dan menuju ke bank. Masih banyak yang mengantri." pinta Husna. Kali ini nadanya sedikit tegas. Bendol pun berlalu. Giliranku. Tidak lama, hanya butuh beberapa menit saja. Kemudian aku menuju ke bank seperti yang dikatakan oleh Husna. Disanalah lagi-lagi aku bertemu Bendol.
"Busyet daaah…." sebutku dalam hati.
Bendol sedang berusaha menggoda teller yang putih bersih itu.
"Assalamu'alaikum, kamu yang tadi 'kan? Belum beres juga mas?" tanyaku sembari melakukan pembayaran dengan teller yang satunya lagi.
"Wa'alaikumsalam, belum. Sepertinya proses saya memakan waktu yang cukup lama." jawab Bendol.
"Kenapa?" tanyaku timbul lagi. Dugaan sementara, ia sendirilah yang menghambat prosesnya.
"Saya mau sekalian nabung, terus bikin ATM. Tadi saya buka surat yang berisi nomor PIN. Tapi dibagian terakhir dari surat tertulis…HANCURKAN JIKA SUDAH DIBUKA...kenapa si Mba nya tidak bilang saja langsung nomor PIN-nya, 'kan jadi lebih cepat prosesnya. Gak perlu pakai surat segala. Repot." selorohnya dengan santai.
Kalaupun harus dipikirkan sampai matipun jawabannya sudah jelas. Hanya kebodohan yang teramat jenius yang sanggup menelan mentah-mentah argumen Bendol.
"Ayo, sudah siang. Makan yuk!" ajakku. Kedua tangan kami pun berjabatan dan saling memperkenalkan satu sama lain. Anak yang aneh. Tidak suka berpikir panjang. Mudah saja berucap. Lebih tepatnya polos.
*****
Saleh Wahab, saat ini sedang didepan mahasiswa-mahasiswinya untuk memulai pelajaran hari ini. Kali ini dia akan membahas timbulnya pengarang-pengarang muda pada masa tekanan kekuasaan Jepang. Banyak tokoh yang diangkat dalam wacananya. Usmar Ismail, Rosihan Anwar, Amal Hamzah, Nursjamsu, Maria Amin, hingga yang paling fenomenal, Chairil Anwar.
Ia mengatakan, "Buah karya Chairil Anwar adalah perwujudan individu Chairil. Ia tak memperdulikan bentuk yang lazim, bentuk yang disukai masyarakat. Chairil Anwar yakin dalam curahannya, bahwa meski orang tak dapat memahami curahannya, ia tahu dan merasa pergolakan yang terjadi dalam jiwa raganya. Bagi Chairil "AKU" yang terutama."
Tidak tahu kenapa aku bisa terdampar sampai ke jurusan Sastra Indonesia. Yang jelas, kepenatanku karena tidak bisa masuk jurusan yang kuinginkan menyebabkan asa di kalbuku sempat terputus. Sempat terpikir dua kali. Aku menolak mentah-mentah jurusan matematika karena tidak ada masa depannya, tapi akhirnya aku memilih jurusan yang sebenarnya tak jauh berbeda mengenai masa depan. Tapi siapa sangka. Justru jurusan inilah yang menghidupkan aku kembali. Banyak hal tersembunyi dibalik setiap kata yang tersusun menjadi suatu kalimat indah yang sering disebut sebagai sebuah karya sastra. Disinilah aku menemukan berbagai rangkaian kata mutiara yang selalu bisa membakar semangatku lagi. Jiwa tempur yang sempat redup, berkobar lagi. Menyala-nyala. Kecil tak apa, asalkan kutumpahkan minyak berupa kata-kata mutiara, nyalanya pasti akan semakin besar. Dalam lamunanku, aku yang duduk dikursi paling belakang, sudut sebelah kanan, bersandar pada tembok putih
kekuning-kuningan, secara tak sadar telah menciptakan puisi pertamaku yang kuberi judul "ASA".
Gelap tiap gerak langkah
Hambatan selalu ada
Bagai cahaya bening menyapa
Hadirnya tenangkan jiwa
 
Kelam diantara terang melanda
Ragapun semakin lelah
Bagai sang peri datang menjelma
Hadirnya tenangkan jiwa
 
Bagai pelita malam
Menerangi jalan
Buka pikiran, hati
Seluruh...
Bahkan seluruh jiwa
 
Ah, tangan kananku memutar-mutarkan pulpen bertinta hitam, sedang tangan kiriku bergerak sendiri menikmati alunan puisi karangan pribadi. Melayang-layang keatas bagai seorang dirigen memandu orkesnya untuk memainkan nada. Melantun begitu indah. Dan….
"Milka! coba bacakan puisi AKU! hayatilah sesuai keadaan hatimu saat ini…." perintah Pak Saleh.
"Tat….tapi, pak."
"Tapi apa? Kau yang mengacungkan jarimu sendiri. Bersediakah kau membacanya didepan teman-temanmu?"
Kupalingkan mataku kesana kemari. Memandangi wajah-wajah tak berdosa melihat padaku. Seraya ingin menerkam, mereka keluarkan senyuman dengan taring yang mengkilap diantara sisi-sisi bibirnya. Tahukah siapa yang paling seram senyumannya? Bendol. Seakan-akan giginya terdiri dari gigi taring semua. Ada apa ini? Aku dibodohi perasaanku sendiri. Baiklah. Lihat saja, guys.
Aku melangkah kedepan kelas. Pak Saleh menyodorkanku sajak AKU karya Chairil Anwar. Kupegang buku sajak sang penyair fenomenal itu dengan kesepuluh jariku. Bergetar, tapi nanti akan hilang jika sudah berjalan beberapa menit. Harus kucoba.
AKU….karya Chairil Anwar
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
 
Tak perlu sedu sedan itu
 
Getaran pada tanganku mulai lenyap perlahan. Rasa nyaman mulai kudapatkan. Suara cekakak-cekikik hanya terdengar diawal. Sekarang, mereka dihadapanku hanya melihat dengan pandangan kaku. Entah ikut menghayati atau terkagum padaku.
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
 
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
 
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
 
Dan aku lebih tidak peduli
 
Dengan gagah aku angkat tangan kananku. Kepalannya kujulangkan keatas. Bola mata kubuka lebar-lebar mengarah kepada para "penonton". Nada suara pun kutegaskan untuk sisa satu kalimat terakhir. Bagai petir disiang bolong aku berkata…
 
AKU MAU HIDUP SERIBU TAHUN LAGKkhhh….cckkck…uhukuhukkk…
 
Sial, tercekik aku. Mataku berair. Nadaku tak sampai setinggi yang kukira. Malu aku. Apa kata mereka nanti? Bibir mereka sudah mulai tersenyum. Sepertinya taring-taring akan menjumpai aku lagi. Dan kemudian, Pak Saleh yang memulai. Beberapa detik berselang mereka mengikuti. PRAKKK….PROKKKK….PRAKKKK…bunyi yang bagaikan paduan suara itu menggema dihadapanku. Bunyi yang berasal dari benturan-benturan telapak tangan. Tak ada taring. Gigi seri semua. Bendol-lah yang paling bersemangat. Sampai berdiri ia. Aku hanya bisa tersenyum, tersipu, sekaligus bangga pada diriku sendiri.
*****
 
Jam 9 pagi. Dalam gedung berlantai enam. Perpustakaan yang berada dilantai dua, masih kosong. Bisa keliling-keliling. Ruangannya cukup luas. Terdiri dari ribuan buku untuk berbagai ilmu. Ketika awal masuk, setelah melewati penjaga perpustakaan tentunya, pandangan kita langsung ditawarkan dengan dua buah pintu. Masuk pintu pertama yang berada di sebelah kiri hadapan kita, tumpukan-tumpukan majalah baik dalam maupun luar negeri berada didalam "kantung" besi besar terlihat amat mencolok. Tumpukannya tampak tidak beraturan. Terkesan dibiarkan acak-acakan, seperti kumpulan baju dan celana yang dijual murah, yang sering kita temukan diberbagai pusat perbelanjaan. Tentunya siapapun berhak mengambil, membaca, dan menaruhnya kembali sesuka hati mereka kedalam kantung besi. Lebih kedalam lagi kita bisa menemukan barisan meja kayu panjang yang sengaja disiapkan bagi pembaca. Tak hanya itu, menempel pada dinding-dindingnya, terdapat jejeran meja-meja kayu yang
bersekat layaknya di warung internet yang memberikan privasi bagi pembaca yang tidak ingin bergabung dengan pembaca lainnya. Tidak lupa, para pembaca dapat menikamati fasilitas HOTSPOT. Jalan terus mendalami ruangan ini, disudut kiri dan kanan terdapat dua buah komputer lengkap dengan PC-nya. Fasilitas yang ditawarkan dari komputer ini adalah bagaimana menemukan buku-buku yang akan kita cari dan sudah berapa banyak buku yang sama dipinjam. Karena hanya ada dua, maka para pembaca biasanya akan mengantri. Atau memakai fasilitas yang sama, yang berada didalam pintu kedua.
Masuk pintu kedua, terdapat dua bagian rak-rak buku dikiri dan dikanan hadapan kita. Rak-rak buku berdiri rapi dan setiap buku tersusun sesuai dengan kode yang diurutkan sesuai bidang mata pelajarannya. Diantara kedua rak buku tersebut terdapat jalan yang tidak terlalu lebar, yang memudahkan kita untuk mencari rak yang menyediakan buku yang sedang kita cari. Jadi, tidak perlu kita terjun kedalam rak-rak buku yang tidak sesuai dengan apa yang kita butuhkan untuk sekedar mencari satu buku saja. Tidak seperti pada pintu pertama, dua buah komputer yang berfungsi sama dengan yang didalam pintu pertama, terdapat diawal kita memasuki pintu kedua. Hal ini tentunya memudahkan para pembaca untuk mencari jenis buku yang diinginkan sebelum masuk, berjalan, dan terjebak diantara rimba buku. Para pembaca juga suka berada menempel pada dinding-dinding ditepi rak untuk duduk, bersender, dan membaca. Hal ini sebenarnya dilarang, tapi para pembaca tidak memperdulikannya.
Biasanya mereka malas untuk keluar dan pindah ke pintu pertama. Belum lagi didalam pintu pertama selalu tersedia kursi berpenduduk yang bisa berjam-jam dihuni oleh yang haknya.
Pernah kejadian suatu waktu seorang mahasiswa semester sebelas, Jalu namanya, harus beradu mulut dengan penjaga perpustakaan, Yuli. Kebetulan yang bertugas untuk menjaga perpustakaan adalah seorang mahasiswi semester akhir, delapan, yang sedang bergantian sesuai dengan shiftnya. Halnya sepele. Jalu berpendapat bahwa dia tidak bisa mendapatkan tempat duduk diruang sebelah.
"Ruang sebelah sudah terisi penuh!" ucap Jalu
"Tapi disini gak boleh baca sambil duduk, kalau mau berdiri saja seperti yang lain!" balas Yuli.
"Saya lelah! Capek! Memangnya kenapa?" lanjut Jalu
"Kalau begitu silakan pinjam bukunya dan baca saja diluar sambil duduk-duduk. Kalau perlu sambil makan bakso juga gak dilarang." timpal Yuli, "jelas-jelas sudah terpampang, DILARANG MEMBACA SAMBIL DUDUK, masih juga dilanggar."
Jalu terdiam. Memang pada dasarnya dia yang salah. Tulisan sebesar itu dan ditempel hampir diseluruh ruang ini tidak mungkin tidak terlihat olehnya. Jalu pun menjatuhkan bukunya dan berjalan keluar.
"Tidak sopan!" cetus Yuli.
"Biar!" jawab Jalu.
Esoknya, Jalu kembali buat ulah. Kali ini Yuli yang terhenyak dengan sikap Jalu. Terdiam dan hanya bisa menggerutu.
"Kenap…?" cetus Yuli belum selesai.       
"Apanya yang kenapa, hah?" balas Jalu menyambung ucapan Yuli yang dipotongnya, "masa' jongkok saja tidak boleh. Gak dilarang 'kan?"
Yuli hanya menggerutu dan menggerutu. Berselang kemudian Jalu berganti posisi. Kali ini dia membaca sambil terlentang sesaat kemudian telungkup sambil mengangkat kedua kakinya. Yang melihat hanya tertawa. Kejadianpun berulang untuk beberapa hari. Yuli pun tidak bisa berbuat apa-apa. Pernah ia mengadu pada pihak kampus tapi pihak kampus hanya berjanji akan mengubah peraturannya. Nyatanya, tak ada yang berubah secuil katapun. Bahkan stikernya masih menempel kuat. Sejak saat itu, perang dingin dimulai. Jalu selalu berbuat hal yang sama. Entah apa tujuannya. Ada yang bilang Jalu hanya sekedar mencari perhatian Yuli. Yuli berusaha untuk cuek walaupun hatinya pasti membara merah yang tak kunjung padam.
"Oi, lihat nih! Gue lagi pakai gaya doggi. Hehee.." ejek Jalu.
Dan….luaaaaaaaarrrrrrrrr biasaaaaaaaaaaaaa…siapa yang sangka hasil permusuhan kedua anak manusia tersebut berbuah manis. Jalu dan Yuli bersatu menjadi sepasang kekasih. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari usaha masing-masing temannya yang selalu memanas-manasi keduanya untuk "jadian". Mungkin dengan jadian keduanya akan berdamai. Benar juga, hati Jalu melunak tatkala tidak sengaja melihat Yuli menangis dipangkuan temannya. Jalu pun dengan jantan meminta maaf. Yuli? Seakan padam bara merah dihatinya, pesona kejantanan Jalu memudarkan seluruh resah gundah gulananya. Keduanya pun berteman akrab hingga Jalu menunjukan kejantanannnya kembali dengan "nembak" Yuli. So Sweet, So Romantic. Allah SWT memang Maha Pengatur. Permusuhan bisa diubah dengan mudah layaknya membalikan telapak tangan, bahkan lebih mudah dari itu, untuk menjadi sebuah kisah kasih percintaan yang patut dinovelkan dan difilmkan. Pasti akan menjadi Best Seller untuk novelnya dan
akan menjadi Best Movie di Piala Oscar jika difilmkan. Berlebihan bukan?
Setelah kecocokan itu dipuaskan, hasilnya pun jelas. Dewi Fortuna memang terus berpihak pada Jalu. Dengan mudah ia mendapatkan pekerjaan sebagai back office di bank swasta setelah lulus kuliah. Lamaran nikahpun ia tujukan untuk Yuli. Dan hasilnya, DITOLAK!!!
"Nikah itu tidak hanya berdasarkan cinta, mas. Tapi juga harus satu iman." begitulah ucapan terakhir Yuli yang menyudahi segalanya. Pas sekali jika diiringi dengan soundtrack mengapa ini yang terjadi by Tere.
Tak ada lagi cinta buta. Kini semua terang. Allah SWT kembali berkeputusan dengan Maha Kuasanya. Siapa yang tahu jodoh kita? Kita hanya diperintahkan untuk berikhtiar dan bertawakal. Bukan menentukan hasil yang jelas-jelas bukan hak kita.
*****
Diujung rak yang berisikan buku-buku sastra. Seorang ciptaan Tuhan yang Maha Indah berdiri dengan tinggi tubuh hampir 173 cm. Berkulit kuning langsat. Berhidung sangat mancung. Jelas sekali hasil dari perkawinan campur. Rambutnya berwarna coklat kehitaman, panjang, dan distel sesuai dengan bentuk wajahnya yang lonjong dengan dagu yang amat tajam, meruncing kebawah. Terlihat kurus dibagian wajah karena tidak ada lemak sedikitpun dipipinya. Tiap helai rambut bagian depan hingga bagian sisinya diikat kebelakang, sedang bagian belakangnya dibiarkan memanjang melebihi pundak, hingga menyentuh bagian punggungnya. Mirip sekali dengan bintang Hollywood, Jennifer Garner. Tidak hanya wajah saja yang serasi dengan rambutnya, pakaiannya begitu sopan dan terlihat elegan. Baju berkerah putih dilapisi sweater berwarna hijau ARMY diluarnya, dipadu bawahan celana jeans yang terlihat sedikit ketat dibagian, maaf, bokong. Pergelangan tangan kanannya dihiasi jam mungil
berwarna emas. Kedua tangannya sedang berada diatas dengan memegang sebuah buku yang dibacanya dengan serius. Tidak peduli siapa yang melewatinya. Fokusnya, pandangannya, bahkan pikirannya seolah-olah ia curahkan pada buku berwarna biru muda yang ditengahnya terdapat gambar wajah seorang laki-laki yang tak lagi muda.
Seketika, aku yang terlanjur terpana ketika melewati gang kecil diantara rak-rak buku, langsung mendekatinya. Kemudian aku mencoba untuk mencari buku disekitarnya dengan mengirimkan lirik mataku mengarah kepada buku tersebut, yang kemudian kuketahui bahwa buku itu berisikan sajak-sajak Sitor Situmorang, Paris La Nuit. Tidak pernah sekalipun aku melihatnya di jurusanku, bahkan di Fakultas Seni dan Bahasa sekalipun. Siapa dia? Setelah sebelumnya sempat kulihat ia terus membuka lembar demi lembar halaman buku dan membacanya secara sekilas, kini ia terhenti di salah satu halamannya. Halaman yang nampaknya telah mencuri perhatiannya. Mataku pun ikut begerak kekiri dan kekanan berkali-kali, membaca sajak tersebut dalam hati. Dan wanita itu tak sadar sedang berbagi baca denganku.
Ziarah di Makam Allama Mohammad Iqbal
Hai, Sufi yang manunggal
di ketinggianmu kekal ! Dengarlah !
masa kini menuntut lagi kesaksian !
 
Di langit Pakistan biru cerah
kudengar gema bening puisi
dalam kaligrafi imanmu
tertatah di pualam putih tirus
 
Sejak tirakatmu di Masjid Biru Samarkand,
di cemerlangnya Alhambra, Granada-Spanyol,
kuikuti kembara jiwamu
sampai kini di bayang kubah Masjid Babshahi,
sisa kejayaan Mogal –
di sini di depan nisanmu,
 
di negeri merdeka
buah hatimu.
 
Penziarah muda dari desa
di sampingku berdoa. Khusuknya
mengajak aku
sujud di hadapan wajahmu.
 
"Indah sekali. Tapi secara keseluruhan saya tidak terlalu mengerti isinya." cetusku seketika padanya. Ia pun tersadar dan menoleh. Tatapan kedua matanya menunjukan betapa terkejutnya ia telah menyadari ada aku didekatnya. Cukup lama kami berpandangan sebelum kubuka dengan salam.
"Assalamu'alaikum," sapaku ramah.
"Wa'alaikumsalam," balasnya santun.
Ternyata ia beragama Islam. Jarang sekali ada wanita non muslim yang mau menjawab sapa seperti itu. Di masa sekarang ini siapa yang tidak tahu jawaban dari Assalamu'alaikum, sekalipun itu non muslim. Sejauh ini kurasa tebakanku tepat. Agak ragu tetap, mengingat dia hasil perkawinan campur.
"Maaf mengganggu." sambungku lagi. Kini pandangannya mulai melunak. Matanya sangat ramah. Sembari tersenyum ia bertanya, "Tak apa, anda suka puisi juga?"
"Anda?" tanyaku dalam hati, "baku sekali."
"Ya, saya dari jurusan sastra. Tentu saya suka." tegasku padanya.
Senyumannya terus bergulir seiring berjalannya waktu. Tak sadar, akhirnya kamipun berbincang-bincang ditepi rak buku-buku sastra. Rasa canggung sama sekali tidak terlihat dalam dirinya. Jelas ia tipe anak yang mudah bergaul, easy going. Sesekali ia usapkan keningnya untuk meminggirkan helaian-helaian tipis rambutnya yang mulai terlepas dari ikatannya.
Siapa yang sangka ternyata dia keturunan Rusia. Tepatnya Jawa-Rusia. Ayahnya Jawa, Ibunya Rusia. Pantas cantik sekali. Wanita Rusia memang selalu terlihat mempesona. Untuk ukuran negara-negara Eropa, bisa dikatakan Rusialah yang memegang tampuk kecantikan kaum hawa.
Dia bercerita bahwa ayahnya adalah seorang sastrawan yang sering berpergian keluar negeri untuk mencari petualangan dan menuangkannya dalam bentuk tulisan-tulisan di sebuah buku kecil yang selalu dibawanya kemana-mana, hingga akhirnya perjalanan mencari inti kehidupan itu terhenti pada kecantikan seorang wanita Rusia. Didalam buku itulah tertuang pemikiran sang ayah yang diuraikan dalam bentuk cerita pendek, atau yang lebih kita kenal dengan cerpen, dan ratusan puisi. Ayahnya merupakan seseorang yang paling dicari dinegaranya. Hal ini disebabkan karena tulisan-tulisannya yang berbau politis. Sekarang ayahnya sedang berkelana jauh menghindari datangnya tangkapan sang penjemput murka. Murka politik padanya. Lalu bagaimana dengan ibunya? Saat ini ia tinggal bersama pamannya dari keluarga sang ibu yang ia bawa ke negara asal ayahnya. Ibunya telah meninggal belasan tahun yang lalu akibat penggeledahan oleh kaum politisi. Lagi-lagi kekuatan seorang perempuan
menjadi pelindung bagi laki-laki. Begitu kuatnya seorang perempuan hingga rela mati demi kecintaan pada suaminya. Negara adalah hal kesekian bagi ibunya. Ayah dan agamanya-lah yang utama saat itu. Ke-Islaman yang ditanamkan sang ayah pada ibunya benar-benar terpatri mati dalam hati sanubari perempuan yang telah menularkan kecantikannya pada putri satu-satunya.
Ibunya, yang saat itu sedang mengandung sang adik tercinta, tujuh bulan tepatnya, tewas setelah gagal menarik pelatuk senapannya yang dimiliki sang kakek sebagai seorang pemburu. Senapan kuno itu tidak mudah mengeluarkan peluru jika tidak diperlakukan dengan benar. Tidak ada perawatan pada senjata yang telah membunuh banyak hewan liar setelah sang kakek berhenti memburu karena sebuah penyakit yang menyebabkan kinerja fungsi syaraf otaknya menurun, biasa disebut dengan Alzheimer. Ketegangan suasana pada saat itu memaksa sang ibu harus gigit jari ketika pelatuk tak mau berkerja. Dan….DOORRR…DOORR…DOORRR…sang politisi menghamburkan tiga peluru. Satu dikepala sang ibu, satu lagi mengenai dada kirinya, dan yang terakhir mengenai perut buncitnya. Adiknya pun ikut tewas dalam kandungan karena darah tak berhenti mengalir dari tubuh ibunya. Tak ada pertolongan saat itu. Mereka sekeluarga bertempat tinggal jauh dari pusat keramaian.
"Pada saat itu aku masih disekolah, sedangkan ayah, menurut cerita nenek, terpaksa kabur karena dipaksa oleh ibu." ceritanya. Cukup aneh, dengan mudah ia menceritakan peristiwa mengerikan tersebut padaku. Bertemu saja baru sekarang. Sifatnya sungguh terbuka sekali.
"Nenek akhirnya meninggal setahun setelah kematian ibu. Biasa lanjut usia. Tak ada sakit jelasnya." sambungnya.
Bagiku, cara dia bercerita sungguh diluar dugaan. Tak ada raut sedih padanya. Pengalaman ini bisa jadi hal terpahit yang pernah dialaminya. Hanya kepribadian tangguh yang dapat menanggung kepedihan semacam itu. Sejak saat itu aku mulai menaruh simpati sekaligus salut padanya.
"Kakekmu?" tanyaku.
"Dia bunuh diri setelah tahu nenek meninggal. Nenek adalah satu-satunya orang yang dia ingat setelah terkena penyakit Alzheimer." lanjutnya.
"Hehee..Sudahlah, oiya aku Kiva." ujarnya sembari tersenyum kembali.
Kiva. Nama yang cantik sekali, secantik orangnya. Benar juga, lama ia bercerita, terlupa sebuah perkenalan nama yang seharusnya lazim dilakukan.
"Milka." balasku.      
Ceritanya sungguh menarik. Entah kenapa harus dipotong. Masih banyak hal yang ingin aku gali darinya, tentang kehidupannya, keberadaannya, dan keinginannya saat ini. Pastilah ada mimpi-mimpi layaknya setiap manusia yang dikaruniai hati, yang membuatnya tetap tegar seperti sekarang. Maha Suci Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dalam otot terkecilnya, yaitu hati. Entah terbuat dari apa hatinya. Allah SWT menciptakannya tentu tanpa sepengetahuannya. Andaikan terbuat dari baja, pastilah sudah tertembus dengan beban sebesar itu. Ya Allah, siapakah wanita ini?
*****
"Kiri, bang!" pintaku.
Cerah. Sore begitu indah. Langit benar-benar mempesona. Malukah ia pada pujianku hingga wajahnya mulai memerah? Kapas-kapas putih bertebaran diangkasa. Ada yang terpisah. Ada yang bertumpuk. Ada membentuk wajah manusia. Ini bukan khayalan. Begitu nyata wajah itu. Entah wajah siapa yang tersenyum diatas. Andai bisa mampir sejenak, akan kuucapkan salam padanya. Bertamu. Nikmati hidangan wangi langit merah. Kenyangkan rasa kagum dengan berzikir.
"Pancaran pemandangan yang cantik jatuhlah kedunia biar mereka terus mengagungkan Allah SWT beserta Asma-Nya." lisanku berkata dihati. Jika ini langit terendah, bagaimana dengan langit ketujuh tempat Rasulullah SAW menerima perintah untuk mengerjakan yang lima waktu?  
Burung-burung bergerumun mengitari merahnya lukisan Sang Maha Pencipta. Tak lupa matahari mengintip dibalik kapas putih yang paling besar. Terangnya hendak meredup. Kapas putih disebelahnya telah tertabrak burung besi besar. Tapi ia tak mengurungkan niatnya untuk sempatkan melihatku berlari-lari. Melangkah demi masaku. Belum lagi angin yang mengurai rambut setengah gondrongku, membelai tubuh setengah gemukku, dan mengantarkan tiap langkah kakiku pada setengah mimpiku. Belum sempurna karena belum terbangun. Tidak harus tersadar sekarang. Jika nanti terpuaskan aku olehnya, Subhanallah, jaga aku dari lupanya diriku pada-Mu karena terlalu cinta pada mimpiku. Dan terima kasihku pada-Mu yang masih mengizinkan aku bergerilya melawan aura mudaku dalam kehidupan.
Lariku tergesa-gesa. Tidak peduli kenapa mereka melihatku. Menyempil cepat disela-sela mereka. Melisankan kata maaf bagi mereka yang terletup amarahnya karena terserempet olehku. Bergegas dengan senyum mengembang adalah wajahku hari ini. Kiva, kecantikan dan kekuatan hatinya sudah membakar rasa inginku menggetarkan dunia. Menggoyang-goyangkan hingga melambai-lambaikan dunia pada langit. Dunia juga berseri pada-Mu Tuhan. Goncangan-Mu terlalu dahsyat. Teguran-Mu terlalu berarti. Bisakah aku mewakili yang lain untuk berucap satu kalimat saja? Maafkan kami yang terus berdosa.
Aku dan mereka, kali ini akan bertasbih pada-Mu. Dirumah-Mu. Kami tidak tahu bagaimana surga-Mu, tapi kami percaya. Kami tidak tahu bagaimana neraka-Mu, tapi kami percaya. Kami tidak tahu bentuk pahala, tapi kami percaya. Kami tidak tahu bentuk dosa, tapi kami percaya. Kami tidak tahu dimana Kau berada, tapi kami percaya. Kami sembah yang kami percaya.
"Assalamu'alaikum" salamku pada semua.
"Wa'alaikum salam" jawab semua.
Mereka begitu rapih. Menawan. Cerah sekali wajah-wajah mereka secerah wajah langit diluar sana. Tak kuduga pancaran pemandangan cantik dari langit tadi benar-benar sampai kedunia, pada mereka yang tidak pernah lupa oleh siapa mereka tercipta. Indahnya kebersamaan dalam kesucian. Kesatuan dalam kedamaian dan ketenteraman.
Allaahu Akbar    Allaahu Akbar
Allaahu Akbar   Allaahu Akbar
 
Asyhaduallailaahaillallaahu
Asyhaduallailaahaillallaahu
 
Asyhaduannamuhammadarrasuulullaahu
            Asyhaduannamuhammadarrasuulullaahu
 
Haialashshalaah
            Haialashshalaah
 
Hai'alallfalaah
            Hai'alallfalaah
 
Allaahu Akbar    Allaahu Akbar
 
Laailaahaillallaahu
 
Merdu sekali azan sang Mu'adzin. Maghrib sudah datang saatnya. Berjejerlah kami dalam masjid. Ustadz Nasrudin, selaku imam, sibuk mengatur shaf makmum-makmumnya.
"Kerapihan shaf adalah bagian dari kesempurnaan dalam shalat berjama'ah." ucapnya lembut pada kami.
"Ashshalatujami'ahrahimakumullahu." ajak sang imam.
"Ashshlatulailahaillallahu." balas kami.
ALLAAHU AKBAR.
Takbirpun berkumandang memenuhi seisi rumah-Mu ya Allah. Suara Imam Nasrudin menggempur hati kami yang masih ternoda dengan bercak hitam. Setelahnya nanti berjama'ah, kami akan membaca kitab-Mu. Berdialog tentang ajaran-Mu. Berbagi kisah dari sisi agama-Mu. Langit, Dunia, dan Rumah-Mu penuhi aku dari lelah kosongnya dahaga imanku. Karena aku tak mau kehilangan satu detikpun dekat dengan-Mu saat ini, atau nanti, hingga aku bertemu dengan-Mu. Kecantikan bidadari dunia, Kiva,  telah Kau tunjukan padaku hari ini. Begitu juga pesona langit dan ramahnya dunia. Singgah di Rumah-Mu adalah yang teristimewa. Undang aku lagi untuk bertamu ya Allah karena hanya saat menghadap-Mu-lah aura mudaku luluh.
"See you again on campus Kiva. Nice to meet you," ucapku dalam hati sembari memejamkan mata berharap khusyuk berjama'ah.
***TAMAT***

17.

(CERPEN) O JUK WE

Posted by: "Arrizki Abidin" arrizki_abidin@yahoo.com   arrizki_abidin

Mon Feb 16, 2009 9:17 pm (PST)


O JUK WE
by : Riz-Q
 
 
O JUK WE. Entah kenapa namanya seperti itu. Mungkin dahulu kala kampus yang memiliki dua gedung itu, satu gedung pendek yang memanjang datar dari timur ke barat dimana terdapat dua lantai saja dan satu gedung lagi berdiri tegak dengan enam lantai didalamnya, dibangun dan diprakarsai oleh orang cina atau paling jelek perkiraanku saat itu, dibangun oleh orang yang memiliki darah dari bangsa cina. Tak terlalu mewah memang, tapi mau bagaimana lagi, aku tak lolos untuk masuk ke universitas negeri yang kuinginkan. Sedang universitas swasta yang kupilih pun hanya menyodorkan jurusan yang tak jelas masa depannya, yaitu M.A.T.E.M.A.T.I.K.A.  Setidaknya itulah pandangan polosku mengenai jurusan tersebut. Padahal jika kupikir-pikir saat ini, bangsaku sudah bisa meraih emas pada Olimpiade Matematika. Jelas sudah masa depan mereka akan sangat cemerlang. Pemerintah takkan pernah ragu menudukung perjuangan muda-mudinya yang mengharumkan nama bangsa. Jika perlu,
fasilitas yang layak akan mereka sediakan bagi sang pengharum negeri.
Kalau mau tahu kenapa aku disodorkan jurusan matematika, jawabannya sederhana saja, lagi-lagi aku tak lolos untuk bisa mengambil jurusan yang kuinginkan demi masa depanku. Teknik Kimia. Ya…itu dia jurusannya. Cukup simple kenapa aku tertarik pada bidang itu. Aku mempunyai hobi untuk coba-coba. Kali saja ada hasilnya jika aku berhasil mencampurkan bahan kimia berwarna biru dengan yang berwarna kuning. Lalu menambahkan setetes cairan berwarna merah pada campuran tersebut. Dan kemudian mengocoknya dengan sendok laboratorium. Tak lupa ditambahkan beberapa benda padat yang berjumlah ribuan dalam bentuk mikro yang sangat mudah larut dalam cairan. Soal hasilnya? jangan tanya. Paling tidak pasti ada sesuatu yang baru tercipta sekalipun itu hanya kegagalan saja.
Setelah aku mengetahui bahwa aku tak bisa mendapatkan jurusan idamanku, pihak kampus kemudian siap menampungku dengan tawaran jurusan lain yang katanya cocok untukku. Cocok atau karena peminat jurusan tersebut sedikit, sehingga perlu adanya tambahan mahasiswa agar kelas tersebut dapat berjalan? Atau….karena aku adalah salah satu dari sekian banyak pelamar yang dapat dijadikan ladang emas bagi pihak kampus? Wallahualam. 
Akhirnya aku memilih untuk mencari saja kampus yang dapat menerimaku. Karena perasaanku sudah pudar, rasanya tak perlu mencari ilmu dari sekolah yang jauh. Cukup yang dekat saja dengan kos-kosanku. Kali-kali saja aku merasa suntuk dan bosan, gampang, langkahkan saja kaki ini pulang. Masuk kamar, lempar tas, nyalakan CD yang berisikan lagu-lagu bertempo cepat dengan volume yang mendekati maksimum, dan rebahkan badan tepat diatas kasur empuk. Pejamkan mata, hingga, finally, TIDURLAH YANG PULAS!
Bisa ditebak, pilihan jatuh pada kampus bernama aneh itu. Siapa yang tidak heran mendengar namanya. Andai saja aku tahu artinya pasti ada makna spesial didalam nama itu. Tiga kata yang selalu membuatku tergelitik. Bahkan aku tidak berani menuliskan namanya dalam SMS pada ibuku.
Ass bu, milka sdh d trima d kampus yg sesuai dgn keinginan milka. spt yg ibu tau, milka ga lolos k negri tp d sini da swasta yg bagus koq bu, unggulan malah. Nanti klo mau k sini ksh kbr ya bu. Slm bwt ayah. Segitu dl ya bu. Wass.
Cukup panjang sms ini. Mudah-mudahan ibu tidak menanyakan nama kampusnya. Bisa-bisa disuruh pulang. Niatku untuk jauh dari orangtua harus dimuluskan demi kemandirianku sendiri. Lebih tepatnya, demi kebebasan yang tentunya ingin aku dapatkan. Terlebih aku sudah kuliah dan akan menjadi mahasiswa. Just grow up! Tentunya harus bisa masak, mencuci, dan menyeterika baju sendiri. Dan yang paling utama tentunya bisa survive menjalani kehidupan. Aku jadi teringat nasihat ayah ketika akan meninggalakan rumah.
"Tidak usah jadi laki-laki jika tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri." ujarnya seraya menepuk pundakku.
Entah darimana ia dapatkan kata-kata itu. Koq, sepertinya aku pernah mendengarnya. Tapi memang begitulah ayah. Selalu saja ada masukan-masukan positif. Padahal orangnya pemalu dan pendiam. Temannya tidak terlalu banyak. Pengalaman hidupnya pun tidak ada yang menarik. Tapi kata-katanya bisa merusak segala sifat anak mudaku yang masih doyan coba sana-sini. Satu lagi perintahnya yang selalu kuingat. Setiap azan magrib berkumandang ditelevisi, ia langsung menyuruhku shalat. Sebagai pegawai negeri, ayah memang tidak berada dirumah dari pagi hingga sore. Praktis hanya ketika waktu magrib, isya, dan subuh saja ia mengingatkanku tentang yang lima waktu. Selebihnya, zuhur dan ashar, ia serahkan sepenuhnya pada Allah SWT untuk mengawasiku.
Berbeda lagi dengan ibu, rasa takutnya yang luar biasa menjadikanku hanya mempunyai sedikit ruang bebas. Tak mau anaknya celaka adalah satu prinsip yang kutahu pasti ia pegang teguh sampai akhir hayatnya kelak. Anak tunggal, anak yang istimewa, sekaligus dimanja. Akibatnya, berbohong menjadi habit bagiku untuk dapat lolos dari ibu dan melakukan hal-hal gila, ciri khas anak muda. Tak baik memang, tapi apa mau dikata, niatku baik. Aku hanya tidak mau ia banyak pikiran. Begitulah induk manusia yang akan baru berhenti menjaga buah hatinya ketika ajal telah menjemput dirinya, berbeda dengan induk hewan yang akan meninggalkan anaknya ketika sudah dewasa. Tapi kebiasaan berbohong ini harus segera kuhilangkan. Allah SWT menciptakan suatu kesulitan pasti disertai dengan cara halal dan haram untuk mengatasinya. Tinggal bagaimana kita memilih. Yang jelas, keduanya pasti ada balasannya. Baik dan buruk itu dua hal yang sangat bertolakbelakang, tapi selalu dibuat
berbeda tipis oleh manusianya.
*****
Hari pertama aku masuk kelas, luar biasa, tak ada yang menarik. Membosankan. Dari mulai zaman taman kanak-kanak sampai kuliah pun acaranya sama. P.E.R.K.E.N.A.L.A.N D.I.R.I. Sang dosen mengajak para mahasiswa dan mahasiswinya untuk berdiri satu persatu ditempat saat nama mereka dipanggil oleh absenan yang sudah disediakan oleh pihak administrasi kampus. Believe it or not, para dosen melakukan hal yang sama di minggu pertama perkuliahan. "Maha dahsyat" mereka. Tak terpikirkan secuil pun olehku tindakan mereka ini. Tuhan memberikan kesulitan lagi. Sebuah rutinitas yang memjemukan. Andai saja cara halal lebih mudah diputar diotakku pastilah cara haram tidak akan kulakukan. Apalagi yang terpikirkan jika bukan B.O.L.O.Z di hari pertama, minggu kedua perkuliahan.
Tidak pernah sebelumnya aku bolos. Tidak sewaktu di TK, SD, maupun SLTP. Sekali pernah aku lakukan di masa-masa yang kebanyakan orang bilang sebagai masa pubertas, SMU. Itupun dilakukan bersama-sama dengan teman satu kelas. Tapi itu hanya sebagai bentuk protes karena sering sekali guru-guru kehilangan jam mengajarnya tanpa alasan yang jelas. Jika dilaporkan ke ruang guru, tidak ada yang mau menggantikan. Paling hanya dikatakan untuk menunggu sampai ada guru pengganti yang akan masuk kelas. Tapi, setelah menunggu cukup lama, only God knows why. 
Tempat yang pasti kupakai untuk relaksasi karena membolos yaitu kosan. Tempat yang paling tepat untuk berkumpul bersama dengan yang lain. Dalam satu kosan ini terdiri dari enam penghuni. Pino, Roma, Bedus, Rey, Iron, dan tentunya aku sendiri, Milka. Bendol sering bermain ketempat kosan ku.
Bendol adalah teman pertama yang kukenal dikampus. Jika melihatnya, tak ada alasan lain bagiku untuk tidak berniat bertukar nama dengannya. Bentuk wajahnya yang membuatku memandangnya cukup lama adalah kesan yang tak mungkin hilang. Bahkan salah seorang mahasiswa yang sempat berpapasan dengannya, nyeletuk, menyebutnya dengan sebutan DOUBLE DRAGON. Tapi Bendol sangat cuek. Sudah terbiasa kali dia diejek demikian. Wajah lonjongnya yang melebar memang membuatnya terlihat cukup beda dari yang lain plus brewok yang menghiasi seluruh bibir, pipi, dan bagian dagu kebelakang. Cukup lebat untuk ukuran seoarang anak berusia 18 tahun. Belum lagi rambut keritingnya yang berjambul, bertumpuk dibagian depan kepalanya. Tubuhnya gemuk tapi tidak berotot. Lemak semua. Aku satu barisan dengannya saat hendak mengembalikan formulir pendaftaran mahasisiwa baru.
"Maaf, mas. Silakan ditinggal saja formulirnya. Tidak perlu ditunggu. Yang mengantri masih banyak. Lembar birunya bawa saja ke bank dibagian basement, sebelah gedung baru." ucap wanita berparas manis yang bertindak sebagai pihak administrasi. Rupa-rupanya ia seorang mahasiswi yang bekerja juga di kampus ini. Karena keterbatasan biaya, ia dipersilakan untuk tetap berkuliah dengan syarat membantu pihak kampus untuk urusan administrasi. Namanya Husna. Angkatan 2001.
"Ooo, iya ya. Terus balik lagi kesini gak, mba?" tanya Bendol sembari tersenyum lebar.
"Tidak perlu." jawab Husna singkat.
Belum puas memandangi Husna, dia tetap saja tidak keluar dari barisan. "Boleh tahu nama mba? Siapa tahu nanti saya kebingungan ngurusin pembayarannya."
"Dasar bodoh, jelas-jelas tertulis pada papan nama dihadapannya. ADMINISTRATOR : HUSNA. Konyol si naga kembar ini. Cara berkenalan yang aneh. Makan apa dia pagi ini?" seruku dalam hati.
"Sekali lagi maaf, mas. Silakan keluar dari barisan dan menuju ke bank. Masih banyak yang mengantri." pinta Husna. Kali ini nadanya sedikit tegas. Bendol pun berlalu. Giliranku. Tidak lama, hanya butuh beberapa menit saja. Kemudian aku menuju ke bank seperti yang dikatakan oleh Husna. Disanalah lagi-lagi aku bertemu Bendol.
"Busyet daaah…." sebutku dalam hati.
Bendol sedang berusaha menggoda teller yang putih bersih itu.
"Assalamu'alaikum, kamu yang tadi 'kan? Belum beres juga mas?" tanyaku sembari melakukan pembayaran dengan teller yang satunya lagi.
"Wa'alaikumsalam, belum. Sepertinya proses saya memakan waktu yang cukup lama." jawab Bendol.
"Kenapa?" tanyaku timbul lagi. Dugaan sementara, ia sendirilah yang menghambat prosesnya.
"Saya mau sekalian nabung, terus bikin ATM. Tadi saya buka surat yang berisi nomor PIN. Tapi dibagian terakhir dari surat tertulis…HANCURKAN JIKA SUDAH DIBUKA...kenapa si Mba nya tidak bilang saja langsung nomor PIN-nya, 'kan jadi lebih cepat prosesnya. Gak perlu pakai surat segala. Repot." selorohnya dengan santai.
Kalaupun harus dipikirkan sampai matipun jawabannya sudah jelas. Hanya kebodohan yang teramat jenius yang sanggup menelan mentah-mentah argumen Bendol.
"Ayo, sudah siang. Makan yuk!" ajakku. Kedua tangan kami pun berjabatan dan saling memperkenalkan satu sama lain. Anak yang aneh. Tidak suka berpikir panjang. Mudah saja berucap. Lebih tepatnya polos.
*****
Saleh Wahab, saat ini sedang didepan mahasiswa-mahasiswinya untuk memulai pelajaran hari ini. Kali ini dia akan membahas timbulnya pengarang-pengarang muda pada masa tekanan kekuasaan Jepang. Banyak tokoh yang diangkat dalam wacananya. Usmar Ismail, Rosihan Anwar, Amal Hamzah, Nursjamsu, Maria Amin, hingga yang paling fenomenal, Chairil Anwar.
Ia mengatakan, "Buah karya Chairil Anwar adalah perwujudan individu Chairil. Ia tak memperdulikan bentuk yang lazim, bentuk yang disukai masyarakat. Chairil Anwar yakin dalam curahannya, bahwa meski orang tak dapat memahami curahannya, ia tahu dan merasa pergolakan yang terjadi dalam jiwa raganya. Bagi Chairil "AKU" yang terutama."
Tidak tahu kenapa aku bisa terdampar sampai ke jurusan Sastra Indonesia. Yang jelas, kepenatanku karena tidak bisa masuk jurusan yang kuinginkan menyebabkan asa di kalbuku sempat terputus. Sempat terpikir dua kali. Aku menolak mentah-mentah jurusan matematika karena tidak ada masa depannya, tapi akhirnya aku memilih jurusan yang sebenarnya tak jauh berbeda mengenai masa depan. Tapi siapa sangka. Justru jurusan inilah yang menghidupkan aku kembali. Banyak hal tersembunyi dibalik setiap kata yang tersusun menjadi suatu kalimat indah yang sering disebut sebagai sebuah karya sastra. Disinilah aku menemukan berbagai rangkaian kata mutiara yang selalu bisa membakar semangatku lagi. Jiwa tempur yang sempat redup, berkobar lagi. Menyala-nyala. Kecil tak apa, asalkan kutumpahkan minyak berupa kata-kata mutiara, nyalanya pasti akan semakin besar. Dalam lamunanku, aku yang duduk dikursi paling belakang, sudut sebelah kanan, bersandar pada tembok putih
kekuning-kuningan, secara tak sadar telah menciptakan puisi pertamaku yang kuberi judul "ASA".
Gelap tiap gerak langkah
Hambatan selalu ada
Bagai cahaya bening menyapa
Hadirnya tenangkan jiwa
 
Kelam diantara terang melanda
Ragapun semakin lelah
Bagai sang peri datang menjelma
Hadirnya tenangkan jiwa
 
Bagai pelita malam
Menerangi jalan
Buka pikiran, hati
Seluruh...
Bahkan seluruh jiwa
 
Ah, tangan kananku memutar-mutarkan pulpen bertinta hitam, sedang tangan kiriku bergerak sendiri menikmati alunan puisi karangan pribadi. Melayang-layang keatas bagai seorang dirigen memandu orkesnya untuk memainkan nada. Melantun begitu indah. Dan….
"Milka! coba bacakan puisi AKU! hayatilah sesuai keadaan hatimu saat ini…." perintah Pak Saleh.
"Tat….tapi, pak."
"Tapi apa? Kau yang mengacungkan jarimu sendiri. Bersediakah kau membacanya didepan teman-temanmu?"
Kupalingkan mataku kesana kemari. Memandangi wajah-wajah tak berdosa melihat padaku. Seraya ingin menerkam, mereka keluarkan senyuman dengan taring yang mengkilap diantara sisi-sisi bibirnya. Tahukah siapa yang paling seram senyumannya? Bendol. Seakan-akan giginya terdiri dari gigi taring semua. Ada apa ini? Aku dibodohi perasaanku sendiri. Baiklah. Lihat saja, guys.
Aku melangkah kedepan kelas. Pak Saleh menyodorkanku sajak AKU karya Chairil Anwar. Kupegang buku sajak sang penyair fenomenal itu dengan kesepuluh jariku. Bergetar, tapi nanti akan hilang jika sudah berjalan beberapa menit. Harus kucoba.
AKU….karya Chairil Anwar
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
 
Tak perlu sedu sedan itu
 
Getaran pada tanganku mulai lenyap perlahan. Rasa nyaman mulai kudapatkan. Suara cekakak-cekikik hanya terdengar diawal. Sekarang, mereka dihadapanku hanya melihat dengan pandangan kaku. Entah ikut menghayati atau terkagum padaku.
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
 
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
 
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
 
Dan aku lebih tidak peduli
 
Dengan gagah aku angkat tangan kananku. Kepalannya kujulangkan keatas. Bola mata kubuka lebar-lebar mengarah kepada para "penonton". Nada suara pun kutegaskan untuk sisa satu kalimat terakhir. Bagai petir disiang bolong aku berkata…
 
AKU MAU HIDUP SERIBU TAHUN LAGKkhhh….cckkck…uhukuhukkk…
 
Sial, tercekik aku. Mataku berair. Nadaku tak sampai setinggi yang kukira. Malu aku. Apa kata mereka nanti? Bibir mereka sudah mulai tersenyum. Sepertinya taring-taring akan menjumpai aku lagi. Dan kemudian, Pak Saleh yang memulai. Beberapa detik berselang mereka mengikuti. PRAKKK….PROKKKK….PRAKKKK…bunyi yang bagaikan paduan suara itu menggema dihadapanku. Bunyi yang berasal dari benturan-benturan telapak tangan. Tak ada taring. Gigi seri semua. Bendol-lah yang paling bersemangat. Sampai berdiri ia. Aku hanya bisa tersenyum, tersipu, sekaligus bangga pada diriku sendiri.
*****
 
Jam 9 pagi. Dalam gedung berlantai enam. Perpustakaan yang berada dilantai dua, masih kosong. Bisa keliling-keliling. Ruangannya cukup luas. Terdiri dari ribuan buku untuk berbagai ilmu. Ketika awal masuk, setelah melewati penjaga perpustakaan tentunya, pandangan kita langsung ditawarkan dengan dua buah pintu. Masuk pintu pertama yang berada di sebelah kiri hadapan kita, tumpukan-tumpukan majalah baik dalam maupun luar negeri berada didalam "kantung" besi besar terlihat amat mencolok. Tumpukannya tampak tidak beraturan. Terkesan dibiarkan acak-acakan, seperti kumpulan baju dan celana yang dijual murah, yang sering kita temukan diberbagai pusat perbelanjaan. Tentunya siapapun berhak mengambil, membaca, dan menaruhnya kembali sesuka hati mereka kedalam kantung besi. Lebih kedalam lagi kita bisa menemukan barisan meja kayu panjang yang sengaja disiapkan bagi pembaca. Tak hanya itu, menempel pada dinding-dindingnya, terdapat jejeran meja-meja kayu yang
bersekat layaknya di warung internet yang memberikan privasi bagi pembaca yang tidak ingin bergabung dengan pembaca lainnya. Tidak lupa, para pembaca dapat menikamati fasilitas HOTSPOT. Jalan terus mendalami ruangan ini, disudut kiri dan kanan terdapat dua buah komputer lengkap dengan PC-nya. Fasilitas yang ditawarkan dari komputer ini adalah bagaimana menemukan buku-buku yang akan kita cari dan sudah berapa banyak buku yang sama dipinjam. Karena hanya ada dua, maka para pembaca biasanya akan mengantri. Atau memakai fasilitas yang sama, yang berada didalam pintu kedua.
Masuk pintu kedua, terdapat dua bagian rak-rak buku dikiri dan dikanan hadapan kita. Rak-rak buku berdiri rapi dan setiap buku tersusun sesuai dengan kode yang diurutkan sesuai bidang mata pelajarannya. Diantara kedua rak buku tersebut terdapat jalan yang tidak terlalu lebar, yang memudahkan kita untuk mencari rak yang menyediakan buku yang sedang kita cari. Jadi, tidak perlu kita terjun kedalam rak-rak buku yang tidak sesuai dengan apa yang kita butuhkan untuk sekedar mencari satu buku saja. Tidak seperti pada pintu pertama, dua buah komputer yang berfungsi sama dengan yang didalam pintu pertama, terdapat diawal kita memasuki pintu kedua. Hal ini tentunya memudahkan para pembaca untuk mencari jenis buku yang diinginkan sebelum masuk, berjalan, dan terjebak diantara rimba buku. Para pembaca juga suka berada menempel pada dinding-dinding ditepi rak untuk duduk, bersender, dan membaca. Hal ini sebenarnya dilarang, tapi para pembaca tidak memperdulikannya.
Biasanya mereka malas untuk keluar dan pindah ke pintu pertama. Belum lagi didalam pintu pertama selalu tersedia kursi berpenduduk yang bisa berjam-jam dihuni oleh yang haknya.
Pernah kejadian suatu waktu seorang mahasiswa semester sebelas, Jalu namanya, harus beradu mulut dengan penjaga perpustakaan, Yuli. Kebetulan yang bertugas untuk menjaga perpustakaan adalah seorang mahasiswi semester akhir, delapan, yang sedang bergantian sesuai dengan shiftnya. Halnya sepele. Jalu berpendapat bahwa dia tidak bisa mendapatkan tempat duduk diruang sebelah.
"Ruang sebelah sudah terisi penuh!" ucap Jalu
"Tapi disini gak boleh baca sambil duduk, kalau mau berdiri saja seperti yang lain!" balas Yuli.
"Saya lelah! Capek! Memangnya kenapa?" lanjut Jalu
"Kalau begitu silakan pinjam bukunya dan baca saja diluar sambil duduk-duduk. Kalau perlu sambil makan bakso juga gak dilarang." timpal Yuli, "jelas-jelas sudah terpampang, DILARANG MEMBACA SAMBIL DUDUK, masih juga dilanggar."
Jalu terdiam. Memang pada dasarnya dia yang salah. Tulisan sebesar itu dan ditempel hampir diseluruh ruang ini tidak mungkin tidak terlihat olehnya. Jalu pun menjatuhkan bukunya dan berjalan keluar.
"Tidak sopan!" cetus Yuli.
"Biar!" jawab Jalu.
Esoknya, Jalu kembali buat ulah. Kali ini Yuli yang terhenyak dengan sikap Jalu. Terdiam dan hanya bisa menggerutu.
"Kenap…?" cetus Yuli belum selesai.       
"Apanya yang kenapa, hah?" balas Jalu menyambung ucapan Yuli yang dipotongnya, "masa' jongkok saja tidak boleh. Gak dilarang 'kan?"
Yuli hanya menggerutu dan menggerutu. Berselang kemudian Jalu berganti posisi. Kali ini dia membaca sambil terlentang sesaat kemudian telungkup sambil mengangkat kedua kakinya. Yang melihat hanya tertawa. Kejadianpun berulang untuk beberapa hari. Yuli pun tidak bisa berbuat apa-apa. Pernah ia mengadu pada pihak kampus tapi pihak kampus hanya berjanji akan mengubah peraturannya. Nyatanya, tak ada yang berubah secuil katapun. Bahkan stikernya masih menempel kuat. Sejak saat itu, perang dingin dimulai. Jalu selalu berbuat hal yang sama. Entah apa tujuannya. Ada yang bilang Jalu hanya sekedar mencari perhatian Yuli. Yuli berusaha untuk cuek walaupun hatinya pasti membara merah yang tak kunjung padam.
"Oi, lihat nih! Gue lagi pakai gaya doggi. Hehee.." ejek Jalu.
Dan….luaaaaaaaarrrrrrrrr biasaaaaaaaaaaaaa…siapa yang sangka hasil permusuhan kedua anak manusia tersebut berbuah manis. Jalu dan Yuli bersatu menjadi sepasang kekasih. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari usaha masing-masing temannya yang selalu memanas-manasi keduanya untuk "jadian". Mungkin dengan jadian keduanya akan berdamai. Benar juga, hati Jalu melunak tatkala tidak sengaja melihat Yuli menangis dipangkuan temannya. Jalu pun dengan jantan meminta maaf. Yuli? Seakan padam bara merah dihatinya, pesona kejantanan Jalu memudarkan seluruh resah gundah gulananya. Keduanya pun berteman akrab hingga Jalu menunjukan kejantanannnya kembali dengan "nembak" Yuli. So Sweet, So Romantic. Allah SWT memang Maha Pengatur. Permusuhan bisa diubah dengan mudah layaknya membalikan telapak tangan, bahkan lebih mudah dari itu, untuk menjadi sebuah kisah kasih percintaan yang patut dinovelkan dan difilmkan. Pasti akan menjadi Best Seller untuk novelnya dan
akan menjadi Best Movie di Piala Oscar jika difilmkan. Berlebihan bukan?
Setelah kecocokan itu dipuaskan, hasilnya pun jelas. Dewi Fortuna memang terus berpihak pada Jalu. Dengan mudah ia mendapatkan pekerjaan sebagai back office di bank swasta setelah lulus kuliah. Lamaran nikahpun ia tujukan untuk Yuli. Dan hasilnya, DITOLAK!!!
"Nikah itu tidak hanya berdasarkan cinta, mas. Tapi juga harus satu iman." begitulah ucapan terakhir Yuli yang menyudahi segalanya. Pas sekali jika diiringi dengan soundtrack mengapa ini yang terjadi by Tere.
Tak ada lagi cinta buta. Kini semua terang. Allah SWT kembali berkeputusan dengan Maha Kuasanya. Siapa yang tahu jodoh kita? Kita hanya diperintahkan untuk berikhtiar dan bertawakal. Bukan menentukan hasil yang jelas-jelas bukan hak kita.
*****
Diujung rak yang berisikan buku-buku sastra. Seorang ciptaan Tuhan yang Maha Indah berdiri dengan tinggi tubuh hampir 173 cm. Berkulit kuning langsat. Berhidung sangat mancung. Jelas sekali hasil dari perkawinan campur. Rambutnya berwarna coklat kehitaman, panjang, dan distel sesuai dengan bentuk wajahnya yang lonjong dengan dagu yang amat tajam, meruncing kebawah. Terlihat kurus dibagian wajah karena tidak ada lemak sedikitpun dipipinya. Tiap helai rambut bagian depan hingga bagian sisinya diikat kebelakang, sedang bagian belakangnya dibiarkan memanjang melebihi pundak, hingga menyentuh bagian punggungnya. Mirip sekali dengan bintang Hollywood, Jennifer Garner. Tidak hanya wajah saja yang serasi dengan rambutnya, pakaiannya begitu sopan dan terlihat elegan. Baju berkerah putih dilapisi sweater berwarna hijau ARMY diluarnya, dipadu bawahan celana jeans yang terlihat sedikit ketat dibagian, maaf, bokong. Pergelangan tangan kanannya dihiasi jam mungil
berwarna emas. Kedua tangannya sedang berada diatas dengan memegang sebuah buku yang dibacanya dengan serius. Tidak peduli siapa yang melewatinya. Fokusnya, pandangannya, bahkan pikirannya seolah-olah ia curahkan pada buku berwarna biru muda yang ditengahnya terdapat gambar wajah seorang laki-laki yang tak lagi muda.
Seketika, aku yang terlanjur terpana ketika melewati gang kecil diantara rak-rak buku, langsung mendekatinya. Kemudian aku mencoba untuk mencari buku disekitarnya dengan mengirimkan lirik mataku mengarah kepada buku tersebut, yang kemudian kuketahui bahwa buku itu berisikan sajak-sajak Sitor Situmorang, Paris La Nuit. Tidak pernah sekalipun aku melihatnya di jurusanku, bahkan di Fakultas Seni dan Bahasa sekalipun. Siapa dia? Setelah sebelumnya sempat kulihat ia terus membuka lembar demi lembar halaman buku dan membacanya secara sekilas, kini ia terhenti di salah satu halamannya. Halaman yang nampaknya telah mencuri perhatiannya. Mataku pun ikut begerak kekiri dan kekanan berkali-kali, membaca sajak tersebut dalam hati. Dan wanita itu tak sadar sedang berbagi baca denganku.
Ziarah di Makam Allama Mohammad Iqbal
Hai, Sufi yang manunggal
di ketinggianmu kekal ! Dengarlah !
masa kini menuntut lagi kesaksian !
 
Di langit Pakistan biru cerah
kudengar gema bening puisi
dalam kaligrafi imanmu
tertatah di pualam putih tirus
 
Sejak tirakatmu di Masjid Biru Samarkand,
di cemerlangnya Alhambra, Granada-Spanyol,
kuikuti kembara jiwamu
sampai kini di bayang kubah Masjid Babshahi,
sisa kejayaan Mogal –
di sini di depan nisanmu,
 
di negeri merdeka
buah hatimu.
 
Penziarah muda dari desa
di sampingku berdoa. Khusuknya
mengajak aku
sujud di hadapan wajahmu.
 
"Indah sekali. Tapi secara keseluruhan saya tidak terlalu mengerti isinya." cetusku seketika padanya. Ia pun tersadar dan menoleh. Tatapan kedua matanya menunjukan betapa terkejutnya ia telah menyadari ada aku didekatnya. Cukup lama kami berpandangan sebelum kubuka dengan salam.
"Assalamu'alaikum," sapaku ramah.
"Wa'alaikumsalam," balasnya santun.
Ternyata ia beragama Islam. Jarang sekali ada wanita non muslim yang mau menjawab sapa seperti itu. Di masa sekarang ini siapa yang tidak tahu jawaban dari Assalamu'alaikum, sekalipun itu non muslim. Sejauh ini kurasa tebakanku tepat. Agak ragu tetap, mengingat dia hasil perkawinan campur.
"Maaf mengganggu." sambungku lagi. Kini pandangannya mulai melunak. Matanya sangat ramah. Sembari tersenyum ia bertanya, "Tak apa, anda suka puisi juga?"
"Anda?" tanyaku dalam hati, "baku sekali."
"Ya, saya dari jurusan sastra. Tentu saya suka." tegasku padanya.
Senyumannya terus bergulir seiring berjalannya waktu. Tak sadar, akhirnya kamipun berbincang-bincang ditepi rak buku-buku sastra. Rasa canggung sama sekali tidak terlihat dalam dirinya. Jelas ia tipe anak yang mudah bergaul, easy going. Sesekali ia usapkan keningnya untuk meminggirkan helaian-helaian tipis rambutnya yang mulai terlepas dari ikatannya.
Siapa yang sangka ternyata dia keturunan Rusia. Tepatnya Jawa-Rusia. Ayahnya Jawa, Ibunya Rusia. Pantas cantik sekali. Wanita Rusia memang selalu terlihat mempesona. Untuk ukuran negara-negara Eropa, bisa dikatakan Rusialah yang memegang tampuk kecantikan kaum hawa.
Dia bercerita bahwa ayahnya adalah seorang sastrawan yang sering berpergian keluar negeri untuk mencari petualangan dan menuangkannya dalam bentuk tulisan-tulisan di sebuah buku kecil yang selalu dibawanya kemana-mana, hingga akhirnya perjalanan mencari inti kehidupan itu terhenti pada kecantikan seorang wanita Rusia. Didalam buku itulah tertuang pemikiran sang ayah yang diuraikan dalam bentuk cerita pendek, atau yang lebih kita kenal dengan cerpen, dan ratusan puisi. Ayahnya merupakan seseorang yang paling dicari dinegaranya. Hal ini disebabkan karena tulisan-tulisannya yang berbau politis. Sekarang ayahnya sedang berkelana jauh menghindari datangnya tangkapan sang penjemput murka. Murka politik padanya. Lalu bagaimana dengan ibunya? Saat ini ia tinggal bersama pamannya dari keluarga sang ibu yang ia bawa ke negara asal ayahnya. Ibunya telah meninggal belasan tahun yang lalu akibat penggeledahan oleh kaum politisi. Lagi-lagi kekuatan seorang perempuan
menjadi pelindung bagi laki-laki. Begitu kuatnya seorang perempuan hingga rela mati demi kecintaan pada suaminya. Negara adalah hal kesekian bagi ibunya. Ayah dan agamanya-lah yang utama saat itu. Ke-Islaman yang ditanamkan sang ayah pada ibunya benar-benar terpatri mati dalam hati sanubari perempuan yang telah menularkan kecantikannya pada putri satu-satunya.
Ibunya, yang saat itu sedang mengandung sang adik tercinta, tujuh bulan tepatnya, tewas setelah gagal menarik pelatuk senapannya yang dimiliki sang kakek sebagai seorang pemburu. Senapan kuno itu tidak mudah mengeluarkan peluru jika tidak diperlakukan dengan benar. Tidak ada perawatan pada senjata yang telah membunuh banyak hewan liar setelah sang kakek berhenti memburu karena sebuah penyakit yang menyebabkan kinerja fungsi syaraf otaknya menurun, biasa disebut dengan Alzheimer. Ketegangan suasana pada saat itu memaksa sang ibu harus gigit jari ketika pelatuk tak mau berkerja. Dan….DOORRR…DOORR…DOORRR…sang politisi menghamburkan tiga peluru. Satu dikepala sang ibu, satu lagi mengenai dada kirinya, dan yang terakhir mengenai perut buncitnya. Adiknya pun ikut tewas dalam kandungan karena darah tak berhenti mengalir dari tubuh ibunya. Tak ada pertolongan saat itu. Mereka sekeluarga bertempat tinggal jauh dari pusat keramaian.
"Pada saat itu aku masih disekolah, sedangkan ayah, menurut cerita nenek, terpaksa kabur karena dipaksa oleh ibu." ceritanya. Cukup aneh, dengan mudah ia menceritakan peristiwa mengerikan tersebut padaku. Bertemu saja baru sekarang. Sifatnya sungguh terbuka sekali.
"Nenek akhirnya meninggal setahun setelah kematian ibu. Biasa lanjut usia. Tak ada sakit jelasnya." sambungnya.
Bagiku, cara dia bercerita sungguh diluar dugaan. Tak ada raut sedih padanya. Pengalaman ini bisa jadi hal terpahit yang pernah dialaminya. Hanya kepribadian tangguh yang dapat menanggung kepedihan semacam itu. Sejak saat itu aku mulai menaruh simpati sekaligus salut padanya.
"Kakekmu?" tanyaku.
"Dia bunuh diri setelah tahu nenek meninggal. Nenek adalah satu-satunya orang yang dia ingat setelah terkena penyakit Alzheimer." lanjutnya.
"Hehee..Sudahlah, oiya aku Kiva." ujarnya sembari tersenyum kembali.
Kiva. Nama yang cantik sekali, secantik orangnya. Benar juga, lama ia bercerita, terlupa sebuah perkenalan nama yang seharusnya lazim dilakukan.
"Milka." balasku.      
Ceritanya sungguh menarik. Entah kenapa harus dipotong. Masih banyak hal yang ingin aku gali darinya, tentang kehidupannya, keberadaannya, dan keinginannya saat ini. Pastilah ada mimpi-mimpi layaknya setiap manusia yang dikaruniai hati, yang membuatnya tetap tegar seperti sekarang. Maha Suci Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dalam otot terkecilnya, yaitu hati. Entah terbuat dari apa hatinya. Allah SWT menciptakannya tentu tanpa sepengetahuannya. Andaikan terbuat dari baja, pastilah sudah tertembus dengan beban sebesar itu. Ya Allah, siapakah wanita ini?
*****
"Kiri, bang!" pintaku.
Cerah. Sore begitu indah. Langit benar-benar mempesona. Malukah ia pada pujianku hingga wajahnya mulai memerah? Kapas-kapas putih bertebaran diangkasa. Ada yang terpisah. Ada yang bertumpuk. Ada membentuk wajah manusia. Ini bukan khayalan. Begitu nyata wajah itu. Entah wajah siapa yang tersenyum diatas. Andai bisa mampir sejenak, akan kuucapkan salam padanya. Bertamu. Nikmati hidangan wangi langit merah. Kenyangkan rasa kagum dengan berzikir.
"Pancaran pemandangan yang cantik jatuhlah kedunia biar mereka terus mengagungkan Allah SWT beserta Asma-Nya." lisanku berkata dihati. Jika ini langit terendah, bagaimana dengan langit ketujuh tempat Rasulullah SAW menerima perintah untuk mengerjakan yang lima waktu?  
Burung-burung bergerumun mengitari merahnya lukisan Sang Maha Pencipta. Tak lupa matahari mengintip dibalik kapas putih yang paling besar. Terangnya hendak meredup. Kapas putih disebelahnya telah tertabrak burung besi besar. Tapi ia tak mengurungkan niatnya untuk sempatkan melihatku berlari-lari. Melangkah demi masaku. Belum lagi angin yang mengurai rambut setengah gondrongku, membelai tubuh setengah gemukku, dan mengantarkan tiap langkah kakiku pada setengah mimpiku. Belum sempurna karena belum terbangun. Tidak harus tersadar sekarang. Jika nanti terpuaskan aku olehnya, Subhanallah, jaga aku dari lupanya diriku pada-Mu karena terlalu cinta pada mimpiku. Dan terima kasihku pada-Mu yang masih mengizinkan aku bergerilya melawan aura mudaku dalam kehidupan.
Lariku tergesa-gesa. Tidak peduli kenapa mereka melihatku. Menyempil cepat disela-sela mereka. Melisankan kata maaf bagi mereka yang terletup amarahnya karena terserempet olehku. Bergegas dengan senyum mengembang adalah wajahku hari ini. Kiva, kecantikan dan kekuatan hatinya sudah membakar rasa inginku menggetarkan dunia. Menggoyang-goyangkan hingga melambai-lambaikan dunia pada langit. Dunia juga berseri pada-Mu Tuhan. Goncangan-Mu terlalu dahsyat. Teguran-Mu terlalu berarti. Bisakah aku mewakili yang lain untuk berucap satu kalimat saja? Maafkan kami yang terus berdosa.
Aku dan mereka, kali ini akan bertasbih pada-Mu. Dirumah-Mu. Kami tidak tahu bagaimana surga-Mu, tapi kami percaya. Kami tidak tahu bagaimana neraka-Mu, tapi kami percaya. Kami tidak tahu bentuk pahala, tapi kami percaya. Kami tidak tahu bentuk dosa, tapi kami percaya. Kami tidak tahu dimana Kau berada, tapi kami percaya. Kami sembah yang kami percaya.
"Assalamu'alaikum" salamku pada semua.
"Wa'alaikum salam" jawab semua.
Mereka begitu rapih. Menawan. Cerah sekali wajah-wajah mereka secerah wajah langit diluar sana. Tak kuduga pancaran pemandangan cantik dari langit tadi benar-benar sampai kedunia, pada mereka yang tidak pernah lupa oleh siapa mereka tercipta. Indahnya kebersamaan dalam kesucian. Kesatuan dalam kedamaian dan ketenteraman.
Allaahu Akbar    Allaahu Akbar
Allaahu Akbar   Allaahu Akbar
 
Asyhaduallailaahaillallaahu
Asyhaduallailaahaillallaahu
 
Asyhaduannamuhammadarrasuulullaahu
            Asyhaduannamuhammadarrasuulullaahu
 
Haialashshalaah
            Haialashshalaah
 
Hai'alallfalaah
            Hai'alallfalaah
 
Allaahu Akbar    Allaahu Akbar
 
Laailaahaillallaahu
 
Merdu sekali azan sang Mu'adzin. Maghrib sudah datang saatnya. Berjejerlah kami dalam masjid. Ustadz Nasrudin, selaku imam, sibuk mengatur shaf makmum-makmumnya.
"Kerapihan shaf adalah bagian dari kesempurnaan dalam shalat berjama'ah." ucapnya lembut pada kami.
"Ashshalatujami'ahrahimakumullahu." ajak sang imam.
"Ashshlatulailahaillallahu." balas kami.
ALLAAHU AKBAR.
Takbirpun berkumandang memenuhi seisi rumah-Mu ya Allah. Suara Imam Nasrudin menggempur hati kami yang masih ternoda dengan bercak hitam. Setelahnya nanti berjama'ah, kami akan membaca kitab-Mu. Berdialog tentang ajaran-Mu. Berbagi kisah dari sisi agama-Mu. Langit, Dunia, dan Rumah-Mu penuhi aku dari lelah kosongnya dahaga imanku. Karena aku tak mau kehilangan satu detikpun dekat dengan-Mu saat ini, atau nanti, hingga aku bertemu dengan-Mu. Kecantikan bidadari dunia, Kiva,  telah Kau tunjukan padaku hari ini. Begitu juga pesona langit dan ramahnya dunia. Singgah di Rumah-Mu adalah yang teristimewa. Undang aku lagi untuk bertamu ya Allah karena hanya saat menghadap-Mu-lah aura mudaku luluh.
"See you again on campus Kiva. Nice to meet you," ucapku dalam hati sembari memejamkan mata berharap khusyuk berjama'ah.
***TAMAT***

18.

(Catcil) Sisi Lain Jepang : Sampah

Posted by: "febty febriani" inga_fety@yahoo.com   inga_fety

Mon Feb 16, 2009 9:40 pm (PST)


Hari ini, menjelang siang,
senseiku merapikan beberapa kertas yang tidak dipakai, dibantu
seorang mahasiswa Yonensei. Sebenarnya sejak beberapa hari yang lalu,
dengan dibantu asistennya, beliau merapikan file-filenya yang tidak
terpakai lagi. Sehabiss sholat di gedung tetangga, memasuki ruangan
mahasiswa, aku heran, hampir seluruh mahasiswa sensei yang datang
hari itu berkumpul di meja besar, tempat biasanya mahasiswa
konsultasi dengan sensei. Tidak biasanya, lab rame. Biasanya, rame
oleh suara tuts-tuts keyboard yang ditekan oleh masing-masing
pemiliknya.

Beberapa menit kemudian,
asisten senseiku memanggil beberapa orang. Dan semuanya bergerak,
seperti dikomando. Aku yang tidak mengerti apa-apa, heran aja, kok
pada keluar semua. Kulangkahkan juga kaki menuju luar. Bertemu dengan
senseiku di dedan pintu, akupun bertanya. Dan beliaupun menjelaskan,
kalau mereka akan membuang sampah. Hmm, walaupun aku tidak diajak,
akhirnya akupun menuruti langkah-langkah mereka menuju ke tempat
sampah.

Tahukah
kalian apa yang dibuang? Keyboard yang tidak terpakai, hardisk yang
sudah rusak, PC komputer yang sudah tua dan tidak terpakai, beberapa
jilid buku, beberapa potong kardus, dan berlembar-lembar kertas yang
tidak digunakan lagi. Menuju ke tempat sampah di belakang gedung,
beberapa mahasiswa juga membawa barang-barang elektronik lama. Ada
televisi besar, kulkas ukuran kecil, printer yang gede, dan masih
banyak lagi. Mungkin mau di daur ulang kali yah

Di Jepang, barang-barang
yang akan dibuang dipisah dulu berdasarkan kategori yang telah
ditentukan dan mesti dibuang pada hari yang telah ditentukan. Di
Inage, misalnya, tempat asramaku berada. Barang-barang yang bisa di
daur ulang, misalnya botol, dibuang pada hari kamis, sekali seminggu.
Hari pembuangan sampah-sampah yang mengandung racun dan benda-benda
yang mudah terbakar, misalnya perabotan rumah tangga dan
barang-barang elektronik ukuran kecil adalah hari Sabtu, pada minggu
kedua dan keempat. Sampah-samapah yang mudah terbakar, misalnya
sampah dari sisa-sisa dapur, dibuang tiga kali seminggu yaitu pada
hari Senin, Rabu, dan Jumat. Untuk perabotan-perabotan yang ukurannya
besar, pembuangannya mesti berkoordinasi dengan kantor yang berwenag,
di Jepang disebut the Sanitation Office dan hanya bisa dibuang
sebulan sekali.

Repot yah kelihatannya?
Menurutku, iya Untunglah, karena masih tinggal di asrama kampus yang katanya
bertaraf international, di lingkungan asrama disediakan tempat khusus
untuk meletakkan sampah. Jadi, kadang setiap hari bisa membuang
sampah jenis apapun. Ukurannya cukup gede, sekitar 5 meter x 3 meter,
dan dibuat bangunan permanen. Semua jenis sampah ada di tempat itu.
Setiap pagi, aku melihat seorang kakek dan seorang nenek yang memilah
-milah sampah yang mesti dibuang hari itu. Dan kalau aku berangkat ke
kampus sekitar pukul setengah 10, mesti ucapan ohayou gozaimasu
menyapaku yang akan mengayuh sepeda menuju kampus.

Tapi, sebenarnya, ada sisi
menarik lainnya dengan adanya hari pembuangan sampah. Ini menurutku.
Tidak ada tempat sampah khusus di Jepang. Kadang sampah hanya
diletakkan di sisi jalan, lalu ditutupi dengan penutup. Tapi, jangan
bayangkan akan ada sisa-sisa yang berserakan yah. Setelah sampah
diangkut, semuanya akan kembali bersih. Yang menarik adalah
memperhatikan setiap hari bergantinya jenis-jenis sampah yang
diletakkan di sisi jalan menuju kekampusku. Kadang setumpuk buku,
kadang sampah rumah tangga, ada juga televisi, micro wave aku juga
pernah melihat, atau botol-botol minuman dan baju-baju yang menurutku
masih sangat layak pakai. Biasanya malam hari menjelang pulang ke
arama, sampah-sampah itu akan memenuhi sisi jalan. Dan pagi harinya,
ketika menuju ke kampus lagi, sampah-sampah itu sudah tidak ada lagi.

Nah, kadang beberapa
sampah itu, terutama barang elektronik, masih bisa digunakan. Temanku
ada yang mendapatkan CD/DVD Player dari tempat sampah. Ada juga yang
pernah mendapatkan pemanas air atau rice cooker di tempat sampah.
Atau televisi. Juga karpet. Di awal-awal musim dingin, beberapa
teman-teman bahkan mendapatkan jaket tebal dan sweater hangat dari
tempat sampah. Kadang barang-barang itu diletakkan di tempat yang
sengaja bisa dilihat, mungkin dengan maksud supaya dipungut. Atau
kadang dengan alasan ingin ganti model, maka barang-barang lama di
buang, padahal barang-barang tersebut belum rusak. Oh yah,
rumah-rumah di Jepang ukurannya sangat kecil, jadi menyimpan
barang-barang yang tidak dipakai bukanlah sebuah kebijakan hampir
seluruh penghuni rumah di Jepang. Aku sendiri pernah mendapatkan jam
yang terbuat dari kayu dan masih bagus. Juga sebuah jaket hangat

Mendapatkan barang-barang
tersebut kadang jadi anugerah. Tidak perlu membeli barang-barang yang
dibutuhkan dan kadang harganya melangit. Wong, nanti ketika pulang ke
tanah air, barang-barang tersebut tidak akan dibuang juga ke tempat
sampah. Atau diwariskan ke teman-teman lain yang masih tinggal di
Jepang, jika masih layak pakai.
~ http://ingafety.wordpress.com ~

Recent Activity
Visit Your Group
Sitebuilder

Build a web site

quickly & easily

with Sitebuilder.

Y! Messenger

Want a quick chat?

Chat over IM with

group members.

Yahoo! Groups

Stay healthy

and discover other

people who can help.

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: