Jumat, 27 Februari 2009

[daarut-tauhiid] FYI: Trs: TAHU DAN BLENDER

TAHU DAN BLENDER

Oleh Musyaffa Ahmad Rahim, Lc

Sering kita mempertentangkan antara ta'shil (upaya kembali kepada
ashalah atau keorisinilan) dengan tathwir (upaya pengembangan). Seakan
dua kutub yang selalu berseberangan dan berlawanan. Hal ini terjadi
dalam segala hal: dalam masalah makanan, tempat tinggal, pakaian,
pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya.

Dalam tataran dakwah dan tarbiyah, pertentangan dua hal itu seringkali
juga terbawa. Bahkan terkadang membentuk arus yang saling berhadapan,
istilah arabnya wajhani mu-tadhaddzani (dua wajah yang saling berhadapan).

Repotnya lagi terkadang hal ini berdampak kepada munculnya dua kubu
yang tidak bertemu. Kubu pengusung panji ashalah dan kubu pendukung
panji tathawwur. Lebih berbahaya lagi kalau masing-masing kubu
membangun jaringan pengikut fanatik, dan masing-masing pihak mengkalim
bahwa dirinyalah yang berada dalam pihak kebenaran, sementara pihak
yang satunya telah berada pada kesalahan.

Pendukung panji ashalah mengatakan bahwa para pendukung tathawwur
adalah orang – orang yang telah inhiraf (menyimpang) dari al khat al
mustaqim (garis lurus dan istiqomah). Sehingga tidak layak mereka
membangun jaringan pengikut, pendukung, dan klaim tarbiyah dan dakwah.
Sementara kubu tathawwur mengatakan bahwa parang pengusung panji
ashalah adalah orang-orang yang jumud (kaku) dan tidak bisa
muwakabatuz-zaman (mengikuti perkembangan jaman), apalagi
men-saitharah-inya (menguasainya).

Kasus seperti ini telah benar-benar terjadi di salah satu negeri
muslim, dan bisa saja terjadi di negeri-negeri yang iannya, jika tidak
segera diambil langkah-langkah antisipasi baik dalam tataran
tashwwurat (persepsi), mafhum (konsepsi) dan khutuwat 'amaliyah
(langkah-langkah operasional).

Kalau begitu, bagaimana sebenarnya duduk perkaran, atau meminjam
istilah 'ulama' fiqh asbabul khilaf (penyebab perbedaannya)?

Jika kita telah mampu mendudukan dua tadi secara tepat, insyaallah wa
bi-idznihi, pertentangan seperti itu tidak akan terjadi. Atau minimal
kita bisa meminimalisir wilayah dan dampak-dampak negatifnya.

HUbungan antara ashalah dan tathawwur ibarat hubungan antara tahu dan
cara menyuguhkan tahu itu kepada konsumen.

Suatu kali saya bertemu dengan salah seorang ikhwah. Dia bercerita
bahwa baru saja ia mengkritik istrinya. "Mi, kenapa sih lauknya kita
dari hari ke hari tahu, temped an ini-ini saja?' kata seorang ikhwah
tadi kepada istrinya.

Mendapat kritikan tajam begini, sang istri pun tidak mau mengalah.
"Habis, uang belanja yang abi berikan cuman segini-gini saja, coba abi
kasih yang agak besaran dikit, kita bisa gonta-ganti menu". Jawaban
istri tidak akaalah serunya.

"Kalau begitu, gini aja deh Mi, boleh Ummi tetap konsisten dengan menu
yang hanya tempe tahu saja, karena memang hanya inilah –sampai saat
ini- kesanggupan abi, tapi kan bisa saja bentuknya, modelnya, cara
mengilahnya, dan menampilkannya dan semacamnya bisa ummi rubah!".

Mendengar tanggapan balik suaminya, sang istri mikir-mikir juga.
"betul juga kata suami", katanya dalam hati.

Sang suamipun segera pergi dari rumah utuk melakukan tugas ibadah
mu'amalahnya.

Sang istri yang rumah , pusing juga memikirkan bagaimana cara
menampilkan dan mengolah tempe tahu dalam format yang baru. Setelah
lama memeras otak, ketemu juga satu iede yang layak dicoba.

"Ini tahu bentuk aslinya segi empat, gimana kalau saya rubah agar
bentuknya menjadi bulat kayak telur", katanya dalam hati. "terus
gimana caranya ya?". " O ya, bisa saja tahu ini saya belender, lalu
saya campur dengan sedikit telur, lalu bentuknya saya rubah jadi bulat".

"OJ, kenapa tidak dicoba, biar suami tambah kesengsem sama yang
dirumah (maksudnya sama makanan dalam format baru ini. Tentunya sama
yang membuat juga, he he)", kata sang istri dalam hati.

Fikrah-pun segera berubah menjadi harakah, ambil tahu, ambil blender,
colokkan ke lisrik dan "weeeerrr, harakah pun beranjak ke tanfidz.

Siangnya, saat sang suami pulang untuk menyantap makan siang, iapun
senyum-senyum simpul mengacungkan jempol di hadapan sitrinya atas
fikrah-nya yang berilian dan yang tentunya telah beranjak kepada
harakah dan tanfidz, dengan husnul ada' kualitas pelaksanaan yang
prima). "Ini nih baru OK punya", katan sang suami kepada istri.

Gambaran cerita di atas menunjukkan bahwa ashalah sebenarnya
membutuhkan tathawwur agar mampu mengikuti perkembangan jaman, dan
tathawwur tidak boleh ngawur, akan tetapi harus berangkat dari ashalah
agar tetap berada pada ash-shirath al mustaqim.

Dengan contoh kasus tahu tadi, tahu dengan segala komponennya, bisa
kita anggap sebagai cermin ashalah, sedangkan cara mengolah, cara
menyuguhkan, bentuk dan sebagainya, bisa kita istilahkan sebagai
refleksi dari tathawwur.

"Sedikit ilmu bisa lebih baik dari banyak ibadah. Cukup bagi seorang
pengetahuan fiqihnya jika dia mampu beribadah kepada Allah (dengan
baik) dan cukup bodoh bila seorang merasa bangga (ujub) dengan
pendapatnya sendiri. (HR. Ath-Thabrani)"

Abu Raihana <nurtya@...>
nurdi_tf00
----------------------------------------------------------

__._,_.___
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Recent Activity
Visit Your Group
Y! Messenger

Want a quick chat?

Chat over IM with

group members.

10 Day Club

on Yahoo! Groups

Share the benefits

of a high fiber diet.

Check out the

Y! Groups blog

Stay up to speed

on all things Groups!

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: