Rabu, 24 November 2010

[daarut-tauhiid] Menumbuhkan Semangat Menuntut Ilmu pada Muslimah

Menumbuhkan Semangat Menuntut Ilmu pada Muslimah

Sesungguhnya, dalam menjalani berbagai perannya, peran wanita dapat
dipetakan menjadi tiga peran penting yaitu sebagai sebagai pribadi muslimah,
sebagai istri, dan sebagai ibu. Pada masing-masing peran, dibutuhkan ilmu
yang dapat menjaganya dari berbagai bentuk penyimpangan. Berikut penjelasan
ketiga hal tersebut:

1. Sebagai pribadi muslimah

Seorang muslimah akan selalu terikat dengan berbagai aturan agama yang
menyangkut dirinya sebagai seorang yang beragama Islam seperti kewajiban
untuk merealisasikan rukun iman dan rukun Islam serta aturan lain yang
merupakan konsekuensi dari kedua hal tersebut ataupun kewajiban yang terkait
dengan kedudukannya sebagai seorang wanita seperti larangan dan kewajiban
pada masa haid, kewajiban menutup aurot, dan sebagainya. Seluruh hal
tersebut memerlukan ilmu sehingga kewajiban menuntut ilmu juga dibebankan
kepda kaum wanita sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
berikut,

"Mencari ilmu itu merupakan kewajiban bagi seorang muslim." (Hadits shahih
riwayat Ibnu Adi dan Baihaqi dari Anas radhiyallahu 'anhu )

Al Hafizh Al Sahawi rahimahullah berkata, "Sebagian penulis menambahkan
kata-kata muslimatin pada akhir hadits. Kata-kata ini tidak pernah
disebutkan satu kali pun dalam berbagai sanad hadits tersebut, sekalipun
secara makna memang benar."

Bertolak dari hal ini Ibnu Hazm rahimahullah berkomentar, "Menjadi kewajiban
bagi wanita untuk pergi dalam rangka mendalami ilmu agama sebagaimana hal
ini menjadi kewajiban bagi kaum laki-laki. Setiap wanita diwajibkan untuk
mengetahui ketentuan-ketentuan agama berkenaan dengan permasalahan bersuci,
shalat, puasa dan makanan, minuman, serta pakaian yang dihalalkan dan yang
diharamkan sebagaimana kaum laki-laki, tanpa ada perbedaan sedikitpun di
antara keduanya. Mereka juga harus mempelajari berbagai tutur kata dan sikap
yang benar baik dengan belajar sendiri maupun dengan diperkenankan untuk
bertemu seseorang yang dapat mengajarinya. Menjadi kewajiban para penguasa
untuk mengharuskan rakyatnya agar menjalankan kewajiban ini".

(Al Ihkam fii Ushulil Ahkam 1/413 dalam Para Ulama Wanita Pengukir Sejarah,
hlm. 7).

Al Hafizh Ibnul Jauzi rahimahullah juga berkata, "Sering aku menganjurkan
kepada manusia agar mereka menuntut ilmu syar'i karena ilmu laksana cahaya
yang menyinari. Menurutku kaum wanita lebih dianjurkan dibanding kaum
laki-laki karena jauhnya mereka dari ilmu agama dan hawa nafsu begitu
mengakar dalam diri mereka. Kita lihat seorang putri yang tumbuh besar tidak
mengerti cara bersuci dari haid, tidak bisa membaca Al Qur'an dengan baik
dan tidak mengerti rukun-rukun Islam atau kewajiban istri terhadap suami.
Akhirnya mereka mengambil harta suami tanpa izinnya, menipu suami dengan
anggapan boleh demi keharmonisan rumah tangga serta musibah-musibah
lainnya." (Ahkamun Nisa' hlm. 6 dalam Majalah Al Furqon edisi 11 tahun VII).

2. Sebagai istri

Seorang istri memiliki kewajiban untuk menaati suaminya dalam hal-hal yang
bukan merupakan kemaksiatan terhadap Allah. Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda,

"Tidak (boleh) taat (terhadap perintah) yang di dalamnya terdapat maksiat
kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan." (HR. Bukhari
dan Muslim)

Maka tidaklah seorang istri dapat mengetahui apakah suatu urusan merupakan
kemaksiatan atau bukan kecuali dengan ilmu syar'i. Selain itu, di akhir
zaman ini, ketika keburukan banyak bertebaran di muka bumi yang membuat
banyak orang hanyut dalam lumpur dosa, maka seorang istri yang sholihah
harus membekali dengan ilmu syar'i agar dapat menjaga keistiqomahan dirinya
dan suaminya serta keluarganya. Dengan nasihat yang baik dan kelemahlembutan
yang dimiliki seorang wanita, seorang suami akan mampu menemukan ketenangan
dan kekuatan yang akan menjaga dirinya dan keluarganya dari
perbuatan-perbuatan dosa misalnya berbuat syirik dan bid'ah, berzina,
mencari nafkah yang haram, mengambil riba, dan perkara-perkara maksiat
lainnya. Karena agama adalah nasihat sebagaimana sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam,

"Agama adalah nasiha.t" (HR. Muslim)

Nasihat akan lebih dapat diterima oleh hati manusia jika diiringi dengan
sikap lemah lembut. Allah Ta'ala berfirman dalam rangka memberi perintah
kepada Nabi Musa 'alaihissalam dan saudaranya (Harun) ketika berdakwah
kepada Fir'aun,

* "Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui
batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah
lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut."* *(Qs. Thaahaa : 43-44)*

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda dalam sebuah hadits
yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari 'Aisyah
radhiyallahu 'anha,

"Wahai 'Aisyah, tidaklah kelembutan terdapat pada sesuatu melainkan ia akan
menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu melainkan akan
memburukkannya."

3. Sebagai ibu

Sebuah syair Arab mengungkapkan hal berikut,

"Seorang ibu tak ubahnya bagai sekolah. Bila kita mempersiapkan sekolah itu
secara baik, berarti kita telah mempersiapkan suatu bangsa dengan generasi
emas."

Beban perbaikan dan pembentukan masyarakat yang Islami juga menjadi tanggung
jawab wanita. Hal ini dikarenakan jumlah wanita yang lebih banyak dari
laki-laki dan seorang anak tumbuh dari bimbingan seorang wanita. Maka, tidak
bisa tidak seorang wanita harus membekali dirinya dengan ilmu syar'i
khususnya mengenai pendidikan anak karena pendidikan anak menjadi tugas
utama yang dibebankan kepada kaum wanita. Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah
berkata, "Hendaknya seorang wanita membaguskan pendidikan anak-anaknya
karena anak-anaknya adalah generasi penerus di masa yang akan datang. Dan
yang mereka contoh pertama kali adalah para ibu. Jika seorang ibu mempunyai
akhlak, ibadah, dan pergaulan yang bagus, mereka akan tumbuh terdidik di
tangan seorang ibu yang bagus. Anak-anaknya ini akan mempunyai pengaruh
positif dalam masyarakat. Oleh karena itu, wajib bagi para wanita yang
mempunyai anak untuk memperhatikan anak-anaknya, bersungguh-sungguh dalam
mendidik mereka, memohon pertolongan jika suatu saat tidak mampu memperbaiki
anaknya baik lewat bantuan bapak atau jika tidak ada bapaknya lewat bantuan
saudara-saudaranya atau pamannya dan sebagainya". (Daurul Mar'ah fi Ishlah
Al Mujtama' hlm. 25-26 dalam Majalah Al Furqon edisi 12 tahun VIII)

Seorang ibu yang cerdas dan shalihah tentu saja akan melahirkan keturunan
yang cerdas dan sholih pula, bi idzinillah. Lihatlah hal itu dalam diri
seorang shahabiyah yang mulia, Ummu Sulaim radhiyallahu 'anha, ibunda Anas
bin Malik radhiyallahu 'anhu yang merupakan pembantu setia Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam. Selain cerdas, ia juga penyabar dan
pemberani. Ketiga sifat mulia inilah yang menurun kepada Anas dan mewarnai
perangainya di kemudian hari. (Ibunda Para Ulama, hlm.25)

Dengan kecerdasannya, ia 'hanya' meminta sebuah mahar yang ringan diucapkan
namun terasa berat konsekuensinya, yaitu keislaman Abu Thalhah radhiyallahu
'anhu yang meminangnya saat itu. Dengan kesabarannya pula, ia mampu
menyimpan rapat-rapat kesedihannya karena kematian putranya demi menenangkan
suaminya.

Potret Semangat Para Salafush Shalih dalam Menuntut Ilmu

Demikian pentingnya peran para wanita. Dalam setiap lini kehidupannya, pasti
membutuhkan ilmu syar'i. Hal ini pula yang dimengerti betul oleh para
shahabiyah pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga
mereka meminta waktu khusus pada beliau untuk mengkaji masalah-masalah
agama.

Dari Abu Sa'id Al Khudriy radhiyallahu 'anhu, ia mengatakan bahwa ada
seorang wanita menghadap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata,
"Wahai Rasulullah, kaum laki-laki telah memborong waktumu. Oleh karenanya
peruntukkanlah untuk kami sebuah waktu khusus yang engkau tetapkan sendiri.
Pada waktu itu kami akan mendatangimu lalu engkau ajarkan kepada kami ilmu
yang telah Allah ajarkan kepadamu."

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lantas bersabda, "Berkumpullah
kalian pada hari ini dan ini di tempat ini." Kaum wanita pun berkumpul,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lalu mendatangi mereka dan
mengajari mereka ilmu yang telah Allah ajarkan kepada beliau shallallahu
'alaihi wa sallam." (HR. Bukhari dan Muslim)

Semangat kaum wanita muslimah dalam mencari ilmu telah mencapai puncaknya
hingga mereka menuntut adanya majelis ilmu yang khusus diperuntukkan untuk
mengajari mereka. Padahal sebenarnya mereka telah mendengarkan kajian
Rasulullah di masjid serta nasihat-nasihat beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam.

Demikian juga keadaan para wanita Anshar pada masa Nabi shallallahu'alaihi
wa sallam. Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata, "Sebaik-baik wanita
adalah wanita dari kaum Anshar. Rasa malu tidak menghalangi diri mereka
untuk mendalami ilmu agama."

(HR. Muslim)

Kita jumpai pula bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sangat
menganjurkan kaum wanita untuk menghadiri berbagai majelis ilmu guna
menambah bekal keilmuan mereka.

Dari Ummu 'Athiyah al Anshariyyah ia berkata, "Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam telah memerintahkan kami untuk menghadiri sholat hari raya
'Idul Fithri dan hari raya 'Idul Adha, baik awatiq (gadis yang sudah baligh
atau hampir baligh), maupun wanita-wanita yang sedang haid dan juga
gadis-gadis pingitan. Adapun wanita yang sedang haid, mereka hendaknya tidak
berada di tempat shalat. Saat itu mereka menyaksikan kebaikan dan doa yang
dipanjatkan oleh kaum muslimin. Ummu Athiyah berkata, "Wahai Rasulullah,
salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?" Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, "Hendaknya muslimah yang lain meminjami jilbab
untuknya." (HR. Bukhari dan Muslim) (Para Ulama Wanita Pengukir Sejarah,
hlm. 8-10)

Sejarah telah mencatat, ulama tidak hanya berasal dari kalangan laki-laki
saja. Ada banyak ulama wanita yang masyhur dan bahkan menjadi rujukan bagi
ulama dari kalangan laki-laki. Lihat saja 'Aisyah radhiyallahu 'anha, wanita
cerdas yang namanya akan terus dibaca oleh kaum muslimin dalam banyak hadits
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. 'Aisyah pula yang merupakan sebaik-baik
teladan para wanita dalam menuntut ilmu, baik itu ilmu agama maupun ilmu
umum. Az Zuhri mengatakan, "Andai ilmu 'Aisyah radhiyallahu 'anha itu
dikumpulkan lalu dibandingkan dengan ilmu seluruh wanita, niscaya ilmu yang
dimiliki oleh 'Aisyah radhiyallahu 'anha itu lebih unggul". (Al Haitsami
berkata dalam al Majma' (9/243), "Hadits ini diriwayatkan oleh Ath Thabarani
sedangkan rawi-rawinya adalah orang yang bisa dipercaya." Hadits ini juga
diriwayatkan oleh Al Hakim 4/139. Lihat: Para Ulama Wanita Pengukir Sejarah,
hlm. 20)

Begitu juga dengan masa setelah para shahabat (yaitu masa tabi'in, tabi'ut
tabi'in, dan seterusnya). Setiap zaman selalu menorehkan tinta emas
nama-nama para ulama wanita hingga masa sekarang ini. Di antara mereka,
adalah putri-putri ulama besar di jamannya. Sebut saja putri Sa'id bin
Musayyib (tabi'in), putri Imam Malik, Ummu 'Abdillah binti Syaikh Muqbil bin
Hadi, dan lainnya.

Apakah ilmu yang mereka dapatkan itu merupakan ilmu warisan dari ayah-ayah
mereka yang seorang ulama? Jawabannya, tentu tidak. Ilmu bukanlah harta
benda yang dapat diwariskan begitu saja.

Alangkah bagusnya apa yang diceritakan oleh Al Farwi, "Kami pernah duduk di
majelis Imam Malik. Pada saat itu putra beliau keluar masuk majelis dan
tidak mau duduk untuk belajar. Maka Imam Malik menghadap kami seraya
berkata, "Masih ada yang meringankan bebanku yaitu bahwa masalah ilmu ini
tidak bisa diwariskan."

(Majalah al Furqon edisi 12 tahun VI)

Tentu saja ilmu yang mereka dapatkan tidak datang begitu saja. Ada usaha dan
pengorbanan yang besar untuk meraihnya. Mari kita simak kegigihan para salaf
dahulu dalam menuntut ilmu.

Hasan Al Bashri berkata, "Apabila engkau mendapati seseorang yang
mengalahkanmu dalam urusan dunia, maka kalahkanlah dia dalam urusan
akhirat."

Imam Ahmad berwasiat kepada putranya, "Aku telah menginfakkan diriku untuk
perjuangan". Ketika Imam Ahmad ditanya kapan seseorang dapat beristirahat?
Maka beliau menjawab, "Ketika pertama kali menginjakkan kakinya di surga."

Imam Adz Dzahabi rahimahullah berkata, "Dahulu generasi salaf menuntut ilmu
karena Allah, maka mereka pun menjadi terhormat dan menjadi para imam
panutan. Kemudian datanglah suatu kaum yang menuntut ilmu yang pada mulanya
bukan karena Allah dan berhasil memperolehnya. Namun kembali kepada jalan
yang lurus dan mengintrospeksi dirinya sendiri dan akhirnya ilmu itu sendiri
yang mendorong dirinya menuju keikhlasan di tengah jalan. Sebagaimana
dinyatakan oleh Mujahid dan lainnya, "Dahulu kami menuntut ilmu tanpa niat
yang tinggi. Namun, kemudian Allah menganugerahi niat tersebut sesudah itu."
Sebagian ulama menyatakan, "Kami hendak menuntut ilmu untuk selain Allah.
Namun ternyata ia hanya bisa dilakukan karena Allah".

(Panduan Akhlak Salaf , hlm. 7)

Para salaf yang lain juga benar-benar bersemangat memperhatikan permasalahan
niat ini. Sufyan Ats Tsauri berkata, "Saya tidak pernah mengobati sesuatu
melebihi terapiku terhadap niat."

Tidak hanya hati saja yang mereka jaga kesungguhan dan ketulusannya ketika
menuntut ilmu, tubuh mereka pun ditempa sedemikian rupa sehingga menjadi
raga yang kuat menghadapi rintangan dalam perjalanan menuntut ilmunya.
Perhatikanlah kisah Hajjaj bin Sya'ir ini, "Ibuku pernah menyiapkan untukku
seratus roti kering dan aku menaruhnya di dalam tas. Beliau mengutusku ke
Syubbanih (salah seorang ahli hadits) di Madain. Aku tinggal di sana selama
seratus hari. Setiap hari aku membawa seratus roti dan mencelupkannya ke
sungai Dajlah kemudian aku memakannya. Setelah roti habis aku kembali ke
ibuku." (102 Kiat Agar Semangat Belajar Agama Membara, hlm. 274).

Penutup

Mungkin saja kita tidak bisa setara dengan para salafush sholih dalam
semangat mereka menuntut ilmu. Akan tetapi, segala upaya harus kita kerahkan
agar semangat menuntut ilmu itu selalu terhujam kuat di dalam hati kita.

Allah berfirman,

* "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu."*

*(Qs. At Taghaabun : 16)*

Maka tidak ada lagi alasan "Saya cuma ibu rumah tangga" atau "Saya sudah
jadi seorang istri" atau "Saya tinggal di tempat yang jauh dari majelis
ilmu" untuk menghindari kewajiban menuntut ilmu. Dengan berkembangnya
teknologi di masa sekarang ini –misalnya internet, radio, rekaman kajian
(kaset, CD, VCD, DVD), buku-buku Islam, dan majalah Islami- cukup memudahkan
kita para wanita untuk tetap dapat menuntut ilmu tanpa harus datang dan
duduk langsung dalam sebuah majelis ilmu jika keadaan memang tidak
memungkinkan.

Semoga dengan sedikit pemaparan di atas, semangat para wanita untuk menuntut
ilmu dapat tumbuh subur, sehingga dengan ijin Allah Ta'ala kita dapat
songsong kembali kejayaan umat Islam di atas manhaj salafush sholih.

Wallahu Ta'ala A'lam.

Penulis: Ummu Nabiilah Siwi Nur Danayanti

Muroja'ah: Ust. Aris Munandar

*Referensi:*

Abdul Azis bin Nashir Al Jalil, Panduan Akhlaq Salaf (Terjemahan dari Aina
Nahnu min Akhlaqis Salaf), At Tibyan, Solo.

Abu Anisah bin Luqman al Atsari, Tugas Mulia Seorang Ibu, Majalah Al Furqon
edisi 12 tahun VIII.

Abu Maryam Fathi Sayyid, Para Ulama Wanita Pengukir Sejarah (Terjemahan dari
Shafahat Musriqah min Sirah al 'Alimat al Muslimat), Samodra Ilmu,
Yogyakarta.

Abul Qa'qa' Muhammad bin Shalih Alu 'Abdillah, 102 Kiat Agar Semangat
Belajar Agama Membara (Terjemahan dari Kaifa Tatahammas fi Thalabil 'Ilmi
Syar'i Aktsar min 100 Thariqatan lit Tahammus li Thalabil 'Ilmi Syar'i),
Elba, Surabaya.

Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As Sidawi, 10 Faidah Seputar Dunia Wanita,
Majalah Al Furqon edisi 11 tahun VII.

Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Wanita-wanita Pengukir Sejarah
Islamiah, Majalah Al Furqon edisi 12 tahun VI.

Sufyan bin Fuad Baswedan, Ibunda Para Ulama, Wafa Press, Klaten.


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: