Sabtu, 20 April 2013

[daarut-tauhiid] 3 Bekal Mengasuh Anak

3 Bekal Mengasuh Anak

oleh Mohammad Fauzil Adhim

Apakah do'a-do'a kita telah cukup untuk mengantar anak-anak menuju masa
depan yang menenteramkan? Apakah nasehat-nasehat yang kita berikan telah
cukup untuk membawa mereka pada kehidupan yang mulia? Ataukah kita justru
merasa telah cukup memberi bekal kepada anak-anak kita dengan mengirim
mereka ke sekolah-sekolah terbaik dan fasilitas yang lengkap? Kita telah
merasa sempurna sebagai orangtua karena bekal ilmu telah melekat kuat dalam
diri kita.

Hari-hari ini, ada yang perlu kita renungkan. Betapa banyak ahli yang
'ibadah yang keturunannya jauh dari munajat kepada Allah 'Azza wa Jalla.
Tak ada anak yang mendo'akannya sesudah kematian datang. Begitu pula,
alangkah banyak orangtua yang nasehatnya diingat dan petuahnya
dinanti-nanti ribuan manusia. Tetapi sedikit sekali yang berbekas dalam
diri anak. Padahal tak ada niatannya untuk melalaikan anak sehingga lupa
memberi nasehat. Ia bahkan memenuhi setiap pertemuannya dengan anak dengan
nasehat-nasehat disebabkan sedikitnya waktu untuk bertemu. Tetapi justru
karena itulah, tak ada lagi kerinduan dalam diri anak. Sebab pertemuan tak
lagi indah. Nyaris tak ada bedanya bertemu orangtua dengan mendengar kaset
ceramah.

Lalu apakah yang sanggup menaklukkan hati anak sehingga kata-kata kita
selalu bertuah? Apakah kedalaman ilmu kita yang bisa membuat mereka hanyut
mendengar nasehat-nasehat kita? Ataukah besarnya wibawa kita yang akan
membuat mereka senantiasa terarah jalan hidupnya? Atau kehebatan kita dalam
ilmu komunikasi yang menyebabkan mereka selalu menerima ucapan-ucapan kita?
Sebab tidaklah kita berbicara kecuali secara terukur, baik pilihan kata
maupun ketepatan waktu dalam berbicara.

Ah, rasanya kita masih banyak menemukan paradoks yang susah untuk dibantah.
Ada orang-orang yang tampaknya kurang sekali kemampuannya dalam memilih
kata, tetapi anak-anaknya mendengarkan nasehatnya dengan segenap rasa
hormat. Ada orangtua yang tampak sekali betapa kurang ilmunya dalam
pengasuhan, tetapi ia mampu mengantarkan anak-anaknya menuju masa depan
yang terarah dan bahagia. Tak ada yang ia miliki selain pengharapan yang
besar kepada Allah 'Azza wa Jalla seraya harap-harap cemas dikarenakan
kurangnya ilmu yang ia miliki dalam mengasuh anak. Sebaliknya, ada orangtua
yang begitu yakinnya bisa mendidik anak secara sempurna. Tapi tak ada yang
bisa ia banggakan dari anak-anak itu di masa dewasa kecuali kenangan masa
kecilnya yang lucu menggemaskan.

Agaknya…, ada yang perlu kita tengok kembali dalam diri kita, sudahkah kita
memiliki bekal untuk mengasuh anak-anak itu menuju masa dewasa? Tanpa
menafikan bekal lain yang kita perlukan dalam mengasuh anak, terutama yang
berkait dengan ilmu, kita perlu merenungi sejenak firman Allah Ta'ala dalam
surat An-Nisa' ayat 9:

"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
di belakang mereka
anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar." (QS. An-Nisaa',
4: 9).

Mujahid menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan permintaan
Sa'ad bin Abi Waqash tatkala sedang sakit keras. Pada saat Rasulullah saw.
datang menjenguk, Sa'ad berkata, "Ya Rasulallah, aku tidak memiliki ahli
waris kecuali seorang anak perempuan. Apakah aku boleh menginfakkan dua
pertiga dari hartaku?"

Rasulullah saw. bersabda, "Tidak boleh."

"Separo, ya Rasul?"

"Tidak," jawab Rasul lagi.

"Jika sepertiga, ya Rasul?"

Rasul mengizinkan, "Ya, sepertiga juga sudah banyak." Rasulullah saw.
bersabda, "Lebih baik kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan
berkecukupan daripada dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang
lain." (HR. Bukhari dan Muslim).

Berpijak pada ayat ini, ada tiga pelajaran penting yang perlu kita catat.
Betapa pun inginnya kita membelanjakan sebagian besar harta kita untuk
kepentingan dakwah ilaLlah, ada yang harus kita perhatikan atas anak-anak
kita. Betapa pun besar keinginan kita untuk menghabiskan umur di
jalan dakwah, ada yang harus kita periksa terkait kesiapan anak-anak dan
keluarga kita. Sangat berbeda keluarga Umar bin Khaththab dan Abu Bakar
Ash-Shiddiq radhiyallahu anhuma dengan keluarga sebagian sahabat Nabi
lainnya. Umar bin Khaththab menyedekahkan separo dari hartanya,
sedangkan Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak meninggalkan untuk keluarganya
kecuali Allah dan Rasul-Nya. Abu Bakar menginfakkan seluruh hartanya. Dan
Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam mengizinkan sekaligus menyambut
baik amal shalih keduanya.

Lalu…, bagaimanakah dengan keluarga kita?

Kembali kepada pada perbincangan awal kita. Ada tiga bekal yang perlu kita
miliki dalam mengasuh anak-anak kita. Pertama, rasa takut terhadap masa
depan mereka. Berbekal rasa takut, kita siapkan mereka agar tidak menjadi
generasi yang lemah. Kita pantau perkembangan mereka kalau-kalau ada bagian
dari hidup mereka saat ini yang menjadi penyebab datangnya kesulitan di
masa mendatang. Berbekal rasa takut, kita berusaha dengan sungguh-sungguh
agar mereka memiliki bekal yang cukup untuk mengarungi kehidupan dengan
kepala tegak dan iman kokoh.

Sesungguhnya di antara penyebab kelalaian kita menjaga mereka adalah rasa
aman. Kita tidak mengkhawatiri mereka sedikit pun, sehingga mudah sekali
kita mengizinkan mereka untuk asyikmasyuk dengan TV atau hiburan lainnya.
Kita lupa bahwa hiburan sesungguhnya dibutuhkan oleh mereka yang telah
penat bekerja keras. Kita lupa bahwa hiburan hanyalah untuk menjaga agar
tidak mengalami kejenuhan.

Hari ini, banyak orang berhibur bahkan ketika belum mengerjakan sesuatu
yang produktif. Sama sekali!

Kedua, taqwa kepada Allah 'Azza wa Jalla. Andaikata tak ada bekal
pengetahuan yang kita miliki tentang bagaimana mengasuh anak-anak kita,
maka sungguh cukuplah ketaqwaan itu mengendalikan diri kita. Berbekal
taqwa, ucapan kita akan terkendali dan tindakan kita tidak melampaui
batas. Seorang yang pemarah dan mudah meledak emosinya, akan mudah luluh
kalau jika ia bertaqwa. Ia luluh bukan karena lemahnya hati, tetapi ia amat
takut kepada Allah Ta'ala. Ia menundukkan dirinya terhadap perintah Allah
dan rasul-Nya seraya menjaga dirinya agar tidak melanggar
laranganlarangan-Nya.

Ingin sekali saya berbincang tentang perkara taqwa, tetapi saya tidak
sanggup memberanikan diri karena saya melihat masih amat jauh diri saya
dari derajat taqwa. Karena itu, saya mencukupkan pembicaraan tentang taqwa
sampai di sini. Semoga Allah Ta'ala menolong kita dan memasukkan
kita beserta seluruh keturunan kita ke dalam golongan orang-orang yang
bertaqwa.

Allahumma amin.

Ketiga, berbicara dengan perkataan yang benar (qaulan sadidan). Boleh jadi
banyak kebiasaan yang masih mengenaskan dalam diri kita. Tetapi berbekal
taqwa, berbicara dengan perkataan yang benar (qaulan sadidan) akan
mendorong kita untuk terus berbenah. Sebaliknya, tanpa dilandasi
taqwa, berbicara dengan perkataan yang benar dapat menjadikan diri kita
terbiasa mendengar perkara yang buruk dan pada akhirnya membuat kita lebih
permisif terhadapnya. Kita lebih terbiasa terhadap hal-hal yang kurang
patut.

Karenanya, dua hal ini harus kita perjuangkan agar melekat dalam diri kita.
Dua perkara ini, taqwa dan berbicara dengan perkataan yang benar (qaulan
sadidan) kita upayakan agar semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Sekiranya keduanya ada dalam diri kita, maka Allah akan baguskan diri kita
dan amal-amal kita.

Allah Ta'ala berfirman,

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan
mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan
Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar." (QS.
Al-Ahzab, 33: 70-71).

Nah.

Masih banyak yang ingin saya tulis, tetapi tak ada lagi ruang untuk
berbincang di kesempatan ini. Semoga Allah 'Azza wa Jalla pertemukan kita
dalam kesempatan yang lebih lapang.
::Semoga yang sederhana bisa sekaligus menjadi penjelas tentang batas
maksimal sedekah yang diperkenankan, kecuali bagi mereka yang imannya dan
iman keluarganya sudah setingkat imannya Abu Bakar Ash-Shiddiq ra dan
keluarganya.

http://salinantulisanfauziladhim.blogspot.com/2012/03/3-bekal-mengasuh-anak.html


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: