Rabu, 24 April 2013

[daarut-tauhiid] Mari Mengenal Aceh (bagian 1)

 

*Assalamu 'alaikum wr. wb.*

* *

Beberapa waktu yang lalu saya tertarik membaca promosi Majalah Eramuslim
Digest Edisi Koleksi 9, bunyinya antara lain seperti ini :

*Tahukah Anda jika Aceh telah berdaulat sebagai satu negara jauh sebelum
Negara Kesatuan Republik Indonesia Lahir? *

Meniru gaya bahasa yang dipakai oleh Eramuslim Digest tersebut saya
tambahkan menjadi :

*Tahukah Anda bahwa Kesultanan Aceh Darussalam telah memiliki konstitusi
negara yang disebut Qanun Meukuta Alam yang bersumberkan dari Qur'an dan
hadits, yang sangat lengkap dan rinci? *

*Tahukah Anda apa yang akan dilakukan oleh Muslim Aceh terhadap orang yang
menghalangi penegakan syariat Islam?*

Semoga artikel ini bisa menyadarkan kita bahwa...Aceh duluuunya sekali
merupakan bagian dari sistem khilafah, dan masyarakatnya sudah biasa hidup
dibawah naungan syariat Islam. Sebagaimana yang biasa dikatakan oleh
generasi salaf yang sudah merasakan manisnya iman, bagaimana mungkin Aceh
meninggalkan syariat Islam yang bisa membawanya agar bisa merasakan
manisnya iman?

Kalau dalam artikel ini mengisahkan Aceh di abad-abad yang lalu, maka simak
juga artikel-artikel berikutnya tentang Aceh seperti "Harga Mahal Negara
Islam" yang settingnya di pra kemerdekaan NKRI dan "Wawancara Bersama Hasan
Tiro" pasca kemerdekaan Dan tentunya kurang afdol kalau kita tidak membahas
Aceh di zaman keemasan sang "Guru Bangsa?" yaitu sedikit mengenai Operasi
Jaring Merah atau biasa dikenal dengan Daerah Operasi Militer / DOM
(1989-1998). Al-Chaidar, putera Aceh yang menjadi peneliti sejarah tanah
kelahirannya, menyatakan, "Jika Kamboja di bawah rezim Pol Pot dikenal
memiliki *The Killing Fields* atau Ladang pembantaian, maka di Aceh dikenal
pula Bukit Tengkorak. Di Aceh, jumlah ladang pembantaian yang besar ada 35
titik, ini jauh lebih banyak ketimbang ladang pembantaian yang ada di
Kamboja." di milis ini. Insyaallah...

Selamat menyimak!

* *

*Kesultanan Aceh Darussalam dan Turki Utsmani*

Panta Rei Ouden Menei. Semuanya mengalir dan berputar. Demikian kata
Herakleitos. Hal ini merupakan *sunnatullah *kehidupan. Demikian pula
Sriwijaya. Kerajaan besar Budha yang berpusat di selatan Sumatera ini pada
akhir abad ke-14 M mulai memasuki masa suram. Invasi Majapahit (1377) atas
Sriwijaya mempercepat kematiannya. Satu persatu daerah-daerah kekuasaan
Sriwijaya mulai lepas dan menjadi daerah otonom atau bergabung dengan yang
lain. Raja, adipati, atau penguasa setempat yang telah memeluk Islam lalu
mendirikan kerajaan Islam kecil-kecil. Beberapa kerajaan Islam di Utara
Sumatera bergabung menjadi Kerajaan Aceh Darussalam.

Di Eropa, akibat Perang Salib yang berlarut dan persinggungannya dengan
para pedagang Islam, Eropa mulai bernafsu mencari emas, rempah-rempah,
kain, dan segala macam barang ke dunia lain yang selama ini belum pernah
dijangkaunya. Kaum *Frank-rb *mendengar adanya suatu dunia baru di selatan
yang sangat kaya.

Pada 1494 Paus Alexander VI memberikan mandat resmi gereja kepada Kerajaan
Katolik Portugis dan Spanyol. Mandat ini dikenal sebagai Perjanjian
Tordesillas [1] yang seenaknya membagi dua dunia selatan untuk dirampok
sekaligus target penyebaran salib, satu untuk Portugis dan yang lainnya
untuk Spanyol.

Menyaksikan Portugis dan Spanyol sukses merampok, bangsa-bangsa Eropa
lainnya tertarik untuk ikutan merampok. Perancis, Inggris, dan Jerman
kemudian juga mencoba untuk mengirimkan armadanya masing-masing untuk
menemukan dunia baru yang kaya-raya. Misi imperialisme Fropa ini sampai
sekarang kita kenal dengan sebutan "Tiga G": *Gold, Glory, *dan *Gospel. *Emas
yang melambangkan Eropa tengah mencari daerah kaya untuk dirampok, *Glory*dan
*Gospel *dinisbatkan untuk penyebaran dan kejayaan agama Kristen.

Jalan penuh darah ini diikuti dengan penyebaran salib. Sejarahwan Belanda
J. Wils mencatat jika pendirian pos-pos misionaris awal di Nusantara selalu
mengikuti gerak maju armada Portugis-Spanyol, "...pos-pos misi yang
pertama-tama di Indonesia secara praktis jatuh bersamaan dengan garis-garis
perantauan pencarian rempah-rempah dan 'barang-barang kolonial'. Dimulai
dari Malaka, yang ditaklukkan pada tahun 1511, perjalanan menuju ke Maluku
(Ambon, Ternate, Halmahera), dan dari situ selanjutnya ke* *Timor (1520),
Solor dan Flores, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (1544, 1563), dan
berakhir di paling Timur Pulau Jawa (1584-1599)." [2]

*Kesultanan Aceh Darussalam*

Peran Sriwijaya digantikan oleh Kesultanan Aceh Darussalam yang berasal
dari penggabungan kerajaan-kerajaan Islam kecil seperti Kerajaan Islam
Pereulak, Samudera Pase / Pasai, Benua, Lingga, Samainra, Jaya, dan
Darussalam. Ketika Portugis merebut Goa* *di India, lalu Malaka pun
akhirnya jatuh ke tangan Portugis, maka kerajaan-kerajaan Islam yang telah
berdiri di pesisir utara Sumatera seperti kerajaan Aceh, Daya, Pidie,
Pereulak (Perlak), Pase (Pasai), Teumieng, dan Aru dengan sendirinya merasa
terancam armada Salib Portugis.

A. Hasjmi mengutip M. Said *(Aceh Sepanjang Abad, ha1.92-93) *menulis,
"Untuk mencapai nafsu jahatnya, dari Malaka yang telah dirampoknya,
Portugis mengatur rencana perampokan tahap demi tahap. Langkah yang
diambilnya, yaitu mengirim kaki tangan--kaki tangan mereka ke daerah-daerah
pesisir utara Sumatera untuk menimbulkan kckacauan dan perpecahan dalam
negeri yang akan dirampoknya itu, kalau mungkin menimbulkan perang saudara,
seperti yang terjadi di Pase, sehingga ada pihak-pihak yang meminta bantuan
kepada mereka, hal mana menjadi alasan bagi mereka untuk melakukan
intervensi."[3]

Strategi licik Portugis ini dikemudian hari dicontoh Snouck Hurgronje.
Akibatnya, Portugis menjelang akhir abad ke 15 dan awal abad ke 16 telah
menguasai kerajaan Aru (Pulau Kampai), Pase, Pidie, dan Daya. Di wilayah
yang didudukinya, Portugis mendirikan kantor-kantor dagang dengan penjagaan
ketat sejumlah pasukan.

* *

Perkembangan yang kurang menguntungkan ini terus dipantau oleh Panglima
Perang Kerajaan Islam Aceh, Ali Mughayat Syah. Panglima Prang yang juga
putera mahkota Kerajaan Aceh ini yakin jika Portugis pasti akan menyerang
kerajaannya. Mughayat Syah memaparkan hal ini kepada Sultan Alaiddin Syamsu
Syah yang sudah uzur. Sultan sadar, untuk menghadapi Portugis, maka
Kerajaan Aceh harus dipimpin oleh seorang yang muda, cekatan, dan cakap.
Akhirnya Sultan Alaiddin Syamsu Syah segera melantik anaknya sebagai
penggantinya. Ali Mughayat Syah pun menjadi raja baru dengan gelar Sultan
Alaiddin Mughayat Syah.

Sultan yang baru ini memandang, untuk mengusir Portugis dari seluruh
daratan pantai utara Sumatera, dari Daya hingga ke Pulau Kampai, seluruh
kerajaan-kerajaan Islam yang kecil-kecil itu harus bersatu dalam kerajaan
yang besar dan kuat. Maka begitu jadi sultan, Alaiddin Mughayat segera
mengumumkan berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam yang wilayah kekuasaannya
meliputi Aru hingga ke Pancu di pantai utara, dan dari Daya hingga ke Barus
di pantai Barat dengan beribukota kerajaan di Banda Aceh Darussalam.
Padahal saat itu kerajaan-kerajaan Aru, Daya, Pase, Pidie, dan sebagainya
masih diperintah oleh raja-raja lokal. Lewat peperangan yang gigih akhirnya
laskar Islam ini berhasil menghalau Portugis bersama para sekutu lokalnya.

Berhasil mengusir Portugis, Sultan menciptakan bendera kerajaan Islam Aceh
Darussalam yang dinamakan *"Alam Zulfigar" *(Bendera Pedang) berwarna dasar
merah darah dengan bulan sabit dan bintang di tengah serta sebilah pedang
yang melintang di bawah berwarna putih. Merah putih. Sultan yang hebat ini
menemui Sang Khaliq pada 12 Dzulhijah 936 H (Sabtu, 6 Agustus 1530).

* *

*Bersatu Dengan Kekhalifahan Turki Utsmani*

Diikat kesatuan akidah yang kuat, Aceh Darusalam mengikatkan diri dengan
kekhalifahan Islam Turki Ustmaniyah. Sebuah arsip Utsmani berisi petisi
Sultan Alaiddin Riayat Syah kepada Sultan Sulayman Al-Qanuni, yang dibawa
Huseyn Effendi, membuktikan jika Aceh mengakui penguasa Utsmani di Turki
sebagai kekhalifahan Islam. Dokumen tersebut juga berisi laporan soal
armada Salib Portugis yang sering mengganggu dan merompak kapal pedagang
Muslim yang tengah berlayar di jalur pelayaran Turki-Aceh dan sebaliknya.
Portugis juga sering menghadang jamaah haji dari Aceh dan sekitarnya yang
hendak menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Sebab itu, Aceh mendesak Turki
Utsmaniyah mengirim armada perangnya untuk mengamankan jalur pelayaran
tersebut dari gangguan armada kafir *Farangi *(Portugis). [4]

Sultan Sulayman Al-Qanuni wafat pada 1566 M digantikan Sultan Selim II yang
segera memerintahkan armada perangnya untuk melakukan ekspedisi militer ke
Aceh. Sekitar bulan September 1567 M, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu
Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh membawa sejumlah ahli
senapan api, tentara, dan perlengkapan artileri. Pasukan ini oleh Sultan
diperintahkan berada di Aceh selama masih dibutuhkan oleh Sultan Aceh. [5]
Walau berangkat dalam jumlah amat besar, yang tiba di Aceh hanya
sebagiannya saja, karena di tengah perjalanan, sebagian armada Turki
dialihkan ke Yaman guna memadamkan pemberontakan yang berakhir pada 1571 M
[6]

Di Aceh, kehadiran armada Turki disambut meriah. Sultan Aceh
menganugerahkan Laksamana Kurtoglu Hizir Reis sebagai gubernur (wali)
Nanggroe Acch Darussalam, utusan resmi Sultan Selim II yang ditempatkan di
wilayah tersebut.[7] Pasukan Turki tiba di Aceh secara bergelombang
(1564-1577) berjumlah sekitar 500 orang, namun scluruhnya ahli dalam seni
bela diri dan mempergunakan senjata, seperti senjata api, penembak jitu,
dan mekanik. Dengan bantuan tentara Turki, Kesultanan Aceh menyerang
Portugis di pusatnya, Malaka. [8]

Agar aman dari gangguan perompak, Turki Ustmani juga mengizinkan
kapal-kapal Aceh mengibarkan bendera Turki Utsmani di kapalnya. Laksamana
Turki untuk wilayah Laut Merah, Selman Reis, dengan cermat terus memantau
tiap pergerakan armada perang Portugis di Samudera Hindia. Hasil
pantauannya itu dilaporkan Selman ke pusat pemerintahan kekhalifahan di
Istanbul, Turki. Salah satu bunyi laporan yang dikutip Saleh Obazan sebagai
berikut:

"(Portugis) juga menguasai pelabuhan (Pasai) di pulau besar yang disebut
Syamatirah (Sumatera)... Dikatakan, mereka mempunyai 200 orang kafir di
sana (Pasai). Dengan 200 orang kafir, mereka juga menguasai pelabuan Malaka
yang berhadapan dengan Sumatera.... Karena itu, ketika kapal-kapal kita
sudah siap dan, Insya Allah, bergerak melawan mereka, maka kehancuran total
mereka tidak akan terelakkan lagi, karena satu benteng tidak bisa menyokong
yang lain, dan mereka tidak dapat membentuk perlawanan yang bersatu."

Namun Portugis tetap sombong. Raja Portugis Emanuel I dengan angkuh
berkata, *"Sesungguhnya tujuan dari pencarian jalan laut ke India adalah
untuk menyebarkan agama Kristen, dan merampas kekayaan orang-orang Timur".*

*Futuhat Pedalaman Sumatera*

Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Qahhar dilantik pada 1537 M dan bertekad
untuk membebaskan pedalaman Sumatera dari kaum kafir. Dengan bantuan
pasukan Turki, Arab, Malabar, dan Abesinia, Aceh masuk ke pedalaman
Sumatera. Sekitar 160 mujahidin Turki dan 200 Mujahidin Malabar menjadi
tulang punggung pasukan. Mendez Pinto, pengamat perang antara pasukan Aceh
dengan Batak, melaporkan komandan pasukan seorang Turki bernama Hamid Khan,
keponakan Pasya Utsmani dari Kairo. Sejarahwan Universitas Kebangsaan
Malaysia, Lukman Thaib, memperkuat Pinto dan menyatakan ini merupakan
bentuk nyata *ukbuwah lslamiyab *antar umat Islam yang memungkinkan bagi
Turki melakukan serangan langsung terhadap tentara Salib di wilayah sekitar
Aceh. [10]

Turki Utsmani bahkan diizinkan membangun satu akademi militer, *'Askeri
Beytul Mukaddes" *yang di lidah orang Aceh menjadi *"Askar Baitul Makdis' *di
wilayah Aceh. Akademi pendidikan militer inilah yang kelak dikemudian hati
melahirkan banyak pahlawan Aceh yang memiliki keterampilan dan keuletan
tempur yang dalam sejarah perjuangan Indonesia dicatat dalam dalam goresan
tinta emas.[11]

Intelektual Aceh Nurudin Ar-Raniri dalam kitab monumentalnya berjudul *Bustanul
Salathin *meriwayatkan, Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Qahhar mengirim
utusan ke Istanbul untuk menghadap "Sultan Rum". Utusan ini bernama Huseyn
Effendi yang fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan
ibadah haji." Pada Juni 1562 M, utusan Aceh tersebut tiba di Istanbul untuk
meminta bantuan militer Utsmani guna menghalau Portugis. Di perjalanan,
Huseyn Effendi sempat dihadang armada Portugis. Setelah berhasil lolos, ia
pun sampai di Istanbul yang segera mengirimkan bala-bantuan yang
diperlukan, guna mendukung Kesultanan Aceh membangkitkan *izzahnya *sehingga
mampu membebaskan Aru dan Johor pada 1564 M.

Dalam peperangan di laut, armada perang Kesultanan Aceh terdiri dari kapal
perang kecil yang mampu bergerak dengan gesit dan juga kapal berukuran
besar. Sejarahwan Court menulis, kapal-kapal ini sangat besar, berukuran
500 sampai 2000 ton. Kapal--kapal besar dari Turki yang dilengkapi meriam
dan persenjataan lainnya dipergunakan Aceh untuk menyerang penjajah dari
Eropa yang ingin merampok wilayah-wilayah Muslim di seluruh Nusantara. Aceh
benar-benar tampil sebagai kekuatan maritim yang besar dan sangat ditakuti
Portugis di Nusantara karena mendapat bantuan penuh dari armada perang
Turki Utsmani dengan segenap peralatan perangnya.[13]

Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), di mana Kerajaan Aceh Darussalam
mencapai masa kegemilangan, juga pernah mengirimkan satu armada kecil,
terdiri dari tiga kapal, menuju Istanbul. Rombongan ini tiba di Istanbul
setelah berlayar selama 12,5 tahun lewat Tanjung Harapan. Ketika misi ini
kembali ke Aceh, mereka diberi bantuan sejumlah senjata, dua belas
penasehat militer Turki, dan sepucuk surat yang merupakan sikap resmi
Kekhalifahan Utsmaniyah yang menegaskan bahwa antara kedua negara tersebut
merupakan satu keluarga dalam Islam. Kedua belas pakar militer itu diterima
dengan penuh hormat dan diberi penghargaan sebagai pahlawan Kerajaan Islam
Aceh. Mereka tidak saja ahli dalam persenjataan, siasat, dan strategi
militer, tetapi juga pandai dalam bidang konstruksi bangunan sehingga
mereka bisa membantu Sultan Iskandar Muda dalam membangun benteng tangguh
di Banda Aceh dan istana kesultanan.

Dampak keberhasilan Khilafah Utsmaniyah menghadang armada Salib Portugis di
Samudera Hindia tersebut amatlah besar. Di antaranya mampu mempertahankan
tempat-tempat suci dan rute ibadah haji dari Asia Tenggara ke Mekkah;
memelihara kesinambungan pertukaran perniagaan antara India dengan pedagang
Eropa di pasar Aleppo, Kairo, dan Istambul; dan juga mengamankan jalur
perdagangan laut utama Asia Selatan, dari Afrika dan Jazirah Arab-India -
Selat Malaka - Jawa - dan ke Cina. Kesinambungan jalur-jalur perniagaan
antara India dan Nusantara dan Timur Jauh melalui Teluk Arab dan Laut Merah
juga aman dari gangguan[14]

* *

*Bukan Hanya Aceh*

Selain Aceh, sejumlah kesultanan di Nusantara juga telah bersekutu dengan
kekhalifahan Turki Utsmaniyah, seperti Kesultanan Buton, Sulawesi Selatan.
Salah satu Sultan Buton, Lakilaponto, dilantik menjadi `sultan' dengan
gelar *Qaim ad-Din *yang memiliki arti "penegak agama", yang dilantik
langsung oleh Syekh Abdul Wahid dari Mekkah. Sejak itu, Sultan Lakiponto
dikenal sebagai Sultan Marhum. Penggunaan gelar `sultan' ini terjadi
setelah diperoleh persetujuan dari Sultan Turki (ada juga yang menyebutkan
dari penguasa Mekkah).

Jika kita bisa menelusuri lebih dalam literatur klasik dari sumber-sumber
Islam, maka janganlah kaget bila kita akan menemukan bahwa banyak sekali
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara ini sesungguhnya merupakan bagian dari
kekhalifahan Islam di bawah Turki Utsmaniyah. Jadi bukan sekadar hubungan
diplomatik seperti yang ada di zaman sekarang, namun hubungan diplomatik
yang lebih didasari oleh kesamaan iman dan ukhuwah Islamiyah. Jika satu
negara Islam diserang, maka negara Islam lainnya akan membantu tanpa
pamrih, semata-mata karena kecintaan mereka pada saudara seimannya. Bukan
tidak mungkin, konsep "Ukhuwah Islamiyah" inilah yang kemudian diadopsi
oleh negara-negara Barat-Kristen *(Christendom) *di abad-20 ini dalam
bentuk kerjasama militer (NATO, *North Atlantic Treaty Organization), *dan
bentuk-bentuk kerjasama lainnya seperti Uni-Eropa, *Commonwealth, G-7, *dan
sebagainya.

* *

*Qanun Meukuta alam*

Salah satu keunggulan lain dari Kesultanan Aceh Darussalam adalah
konstitusi negara yang disebut *Qanun Meukuta Alam *yang bersumberkan dari
Qur'an dan hadits, yang sangat lengkap dan rinci. Kesultanan Brunei
Darussalam merupakan salah satu kesultanan yang mengadopsi hukum ini dari
Aceh.

Salah satu yang diatur adalah perayaan hari besar agama Islam. Di akhir
bulan Sya'ban, misalnya, ketika shalat tarawih akan diadakan untuk pertama
kalinva, maka di halaman Masjid Raya Baiturahman, raja memerintahkan agar
dipasang meriam 21 kali pada pukul lima lebih sedikit. Tiap 1 Syawal, pukul
lima pagi setelah sholat Subuh, juga dipasang meriam 21 kali sebagai tanda
Hari Raya Idul Fitri. Hari Raya Haji pun demikian. Setiap hari besar Islam,
kerajaan mengadakan acara yang semarak yang sering dikunjungi oleh
tamu-tamu agung dari negeri lain.

Kebesaran Aceh diakui dunia internasional. Wilfred Cantwell Smith dalam *Islam
in Modern History, *kelima besar Islam dunia saat itu adalah:

Kekhalifahan Turki Utsmaniyah di Asia Kecil yang berpusat di Istanbul,

Kerajaan Maroko di Afrika Utara yang berpusat di Rabat,

Kerajaan Isfahan di Timur Tengah yang berpusat di Persia,

Kerajaan Islam Mughol di anak benua India yang berpusat di Acra,

dan yang kelima adalah Kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara yang
berpusat di Banda Aceh.(rz)

* *

*(Footnotes)*

*1. Ahmed Mansyur Suryanegara, Ulama dan Perkembangan Islam di Nusantara,
Suara Hidayatullah, Juli, 2001.*

*2. J. Wils, artikel berjudul "Kegiatan Penyiaran Agama Katolik", salah
satu tulisan dalam buku "Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan"; Obor
Indonesia; Jakarta; cet 1; 1987,hal 356.*

*3. A. Hasjmi, 59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu, Bulan
Bintang, cet 1, 1977, hal 13-14.*

*4. Farooqi, "Protecting the Routhers to Mecca", hal. 215-216.*

*5*. *Metin Innegollu, 'The Early Turkish-Indonesian Relation," dalam Hasan
M. Ambary dan Bachtiar Aly (ed.), Aceh dalam Retrospeksi dan Refleksi
Budaya Nusantara, (Jakarta: Informasi Taman Iskandar Muda, tt), hal. 54.*

*6. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII", Edisi Revisi, Jkt 2004, h. 44*

*7. Metin Innegollu, ibid, hal. 54*

*8. Marwati Djuned Pusponegoro (eds.), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid
III (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hal 54.*

*9. Dr. Yusuf als-Tsaqall, Mawqif Uruba min ad-Daulat al-Utsmaniyyah, hal.
37*

*10. Lukman Thaib, 'Aceh Case: Possible Solution to Festering Conflict, "
Journal of Muslim Minorrity Affairs, Vol. 20, No. 1, tahun 2000 hal 106*

*11. Metin Inegollu, ibid, haL 53-55.*

*12. Ibid, hal. 53.*

*13. Marwati Djuned Puspo dan Nugroho Notosusanto, ibid, hal. 257*

*14. Ali Muhammad Ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah
(Terj.), Pustaka Al Kautsar, tahun 2003, hal. 258-259.*

*Sumber : eramuslim digest Edisi Koleksi 9 THE UNTOLD HISTORY : Konspirasi
Penggelapan Sejarah di Indonesia (Pra Islam hingga abad 19)*

Attachment(s) from wirawan

1 of 1 Photo(s)
[image: Bendera Kesultanan Aceh
s.jpg]<http://groups.yahoo.com/group/Tauziyah/attachments/folder/1483490474/item/2097927155/view>
Bendera Kesultanan Aceh
s.jpg<http://groups.yahoo.com/group/Tauziyah/attachments/folder/1483490474/item/2097927155/view>

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
MARKETPLACE


.

__,_._,___

Tidak ada komentar: