assalaamu alaikum,
sedikit informasi dari milis tetangga tentang perhitungan kalender hijriah
yang vital bagi muslim.
semoga berkenan.
salam,
satriyo
--
Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang
now surely by Allah's remembrance are the hearts set at rest
>> al-Ra'd [13]: 28
---------- Forwarded message ----------
From: Ma'rufin Sudibyo <...>
Pada Kamis 15 Mei 2008 telah berlangsung Lokakarya Hisab Rukyat yang
diselenggarakan oleh Tim Hisab dan Rukyat Hilal serta Perhitungan Falakiyah
pada Kanwil Departemen Agama Jawa Tengah, dihadiri 35 Kepala Depag se-Jawa
Tengah, 35 pakar hisab rukyat utusan BHR Daerah/Kandepag se-Jawa Tengah,
perwakilan bupati/walikota dan undangan. Acara yang dibuka oleh Gubernur Ali
Muffiz berlangsung selama 6 jam dengan membahas persoalan jadwal shalat
tahunan, jadwal shalat abadi, jadwal imsakiyah Ramadhan 1429 H, hisab awal
Ramadhan dan Idul Fitri 1429 H sebagai panduan pelaksanaan rukyat mendatang,
mekanisme sidang itsbat di Depag Pusat serta persoalan arah kiblat.
1. Jadwal Shalat
Pada sesi penyusunan jadwal shalat, disajikan jadwal shalat tahunan dan
jadwal imsakiyah untuk titik acuan Masjid Agung Jawa Tengah di Semarang
sebagai contoh. Perhitungan dilakukan secara manual (tanpa software) dengan
sudut Matahari untuk tiap waktu shalat seperti yang telah biasa digunakan di
Indonesia. Pemakalah menyebut software falak yang ada (seperti Winhisab,
yang digunakan secara luas itu) belum memperhitungkan Dip (elevasi tempat
dihitung dari permukaan laut). Saya menanggapi dengan menyebut sejumlah
software astronomi kontemporer seperti Accurate Times maupun Salat Times
telah memperhitungkan Dip maupun refraksi atmosfer. Pada Accurate Times
(dari Moh. Odeh) dan Salat Times (dari Ali al-Hadad), selain Dip dan
refraksi atmosfer serta output jadwal shalat, bahkan juga disediakan input
sudut Matahari untuk waktu Isya dan Shubuh, meski default-nya (untuk Salat
Times) adalah nilai yang digunakan di Timur Tengah, yakni sudut Shubuh 13,5°
dan sudut Isya' 18°. Sayang keterbatasan waktu dan laptop membuat
software-software tersebut (yang sudah saya bawa dalam flashdisk) tidak bisa
didemonstrasikan pada kesempatan tersebut.
Pembahasan berlanjut pada konsep ihtiyaat, yang bisa bernilai 1 sampai 4
menit, namun pemakalah lebih menyarankan memilih 2 menit saja, meski apa
pertimbangannya tidak dipaparkan. Dalam tanggapan saya, sebaiknya pemilihan
ihtiyaat ini dikaitkan dengan lebar bujur wilayah yang hendak ditentukan
jadwal shalatnya sebagai time adjustment untuk satu wilayah politik yang
kecil seperti kabupaten/kotamadya
(dalam arah barat - timur) itu kan setara dengan selisih 1 menit. Namun
pemakalah menyebut bahwa ihtiyaat sebenarnya tidak hanya berkaian dengan
lebar bujur saja, namun juga dengan Dip. Disajikan contoh perhitungan untuk
Dip 0 m dpl dan Dip 200 m dpl dimana sunset-nya berselisih 1 menit.
Dari sini pembahasan beranjak ke titik acuan mana yang sebaiknya digunakan
untuk menyusun jadwal shalat tingkat propinsi, mengingat sebagai contoh Jawa
Tengah memiliki lebar bujur dan lintang yang besar. Meski dalam pemaparan
disajikan contoh dengan titik acuan Masjid Agung Jawa Tengah dan sudah
diberikan tabel penambahan/penguran
namun dalam dialog selanjutnya mengerucut untuk bagaimana tiap-tiap wilayah
(kabupaten/kotamady
berlaku untuk wilayah itu juga. Tim propinsi cukup memberikan panduan dalam
penyusunannya saja, misalnya sudut-sudut Matahari dan rumus-rumus yang
dipakai.
Jadwal imsakiyah juga menjadi titik perhatian. Contoh perhitungan yang
disajikan memperlihatkan waktu Shubuh dan sunrise yang berselisih 1 menit
lebih cepat untuk jadwal imsakiyah dibandingkan dengan jadwal shalat
tahunan. Mengingat rumus yang digunakan sama, demikian pula data2 Matahari
(deklinasi, RA, equation of time dll) dan metode ihtiyaat maka seharusnya
antara kedua jadwal itu memiliki output yang identik (sama persis).
Disinilah pentingnya untuk selalu melakukan check dan recheck terhadap
setiap hasil perhitungan, baik secara manual maupun komputerisasi.
2. Arah Kiblat
Sesi ini dibuka dengan pemaparan azimuth sumbu bangunan masjid-masjid
populer di tlatah Jawa Tengah dan DIY, yakni Masjid Menara Kudus (azimuth
295°), Masjid Gede Kotagede (azimuth 289°), Masjid Mantingan Jepara (azimuth
310°), Masjid Agung Jepara (azimuth 285°), Masjid Agung Tembayat Klaten
(azimuth 296°) dan Masjid Gede Surakarta (azimuth 280°). Sementara arah
kiblat untuk kawasan Indonesia dan lebih khusus lagi Jawa Tengah dan DIY
berada di azimuth 295°, sehingga hanya Masjid Menara Kudus yang tepat
posisinya sementara Masjid Agung Tembayat melenceng sedikit (1°).
Persoalan melencengnya sumbu bangunan masjid ini masih eksis hingga kini,
termasuk pada masjid-masjid yang dibangun di era modern, karena arah
kiblatnya sebagian masih ditentukan secara "titen". Kontraktor bangunan asal
Semarang misalnya menyebut ada 'konsensus' arah kiblat masjid-masjid di
Semarang adalah pada azimuth 284°, sementara yang sebenarnya pada azimuth
295° sehingga konsensus itu melenceng 11° ke selatan dari yang seharusnya.
Dipaparkan bahwa melencengnya arah kiblat sebesar 1° saja sama dengan kita
bergeser sejauh 111 km dari Ka'bah, alias sudah berada di luar kota Makkah.
Untuk itu perlu untuk mengukur ulang kembali sumbu bangunan masjid-masjid
terhadap arah kiblat (dalam bahasa pak Ali Muffiz disebut menyempurnakan
arah kiblat). Beragam metode disebut, mulai dari kompas, Matahari dan yang
termutakhir seperti GPS (global positioning systems) ataupun citra satelit
dalam spektrum visual seperti dari satelit QuickBird (Digital Globe) yang
inheren dalam Qibla Locator. Kompas memiliki keakuratan terendah, sehingga
lebih disarankan menggunakan Matahari maupun GPS. Jika menggunakan Matahari
ada metode Rashdul Qiblat, dan terutama rashdul qiblat istimewa pada tanggal
28 Mei pukul 16:18 WIB dan 16 Juli pukul 16:27 WIB dimana Matahari berada di
titik zenit Ka'bah dan pada saat itu bayang-bayang Matahari akan tepat
mengarah ke Ka'bah, tanopa perlu memperhitungkan letak lintang bujur tempat
yang akan dikalibrasi arah kiblatnya. Koordinat Ka'bah yang disarankan
adalah 21° 25' 25" LU 39° 49' 39" BT dan dalam pengukuran harus dilakukan
kalibrasi waktu terlebih dahulu (misalnya dengan Telkom 103).
Saya menanggapi persoalan rashdul qiblat istimewa ini, dimana karena
sejatinya Matahari bukanlah sumber cahaya titik (point source) seperti
bintang-bintang, namun berupa cakram bercahaya sangat kuat (disk source)
dengan apparent diameter 0,5° bila dilihat dari Bumi. Jika misalnya pusat
cakram Matahari ada di titik zenith Ka'bah pada jam x dan memperhitungkan
gerakan Matahari yang menempuh jarak 1° selama 4 menit, maka pada jam x - 1
menit tepi barat cakram Matahari sudah menyentuh titik zenith Ka'bah,
sementara pada jam x + 1 menit tepi timur cakram Matahari masih menyentuh
titik zenith Ka'bah. Dengan memperhitungkan hal ini, rashdul qiblat istimewa
itu sebenarnya terjadi pada 26 - 28 Mei 2008 pukul 16:18 WIB dan 15 - 17
Juli 2008 pukul 16:27 WIB. Konsekuensinya akurasi pengukuran arah kiblat
dengan cara ini pun berharga 0,5°.
Juga harus diperhitungkan bagaimana jika pada tanggal-tanggal itu cuaca
malah mendung (mengingat Indonesia dikelilingi badan air massif yang membuat
cuaca disini sangat chaotic oleh pengaruh El-Nino Southern Oscillation dan
Madden-Julian Oscillation)
metode Matahari yang lain misalnya metode transit Matahari dimana
bayang-bayang sinar Matahari tepat mengarah ke utara-selatan sejati. Mencari
waktu transit (jam t) kan relatif lebih mudah, hanya memperhitungkan bujur
lokasi, bujur acuan zona waktu setempat (untuk WIB pada bujur 105° BT) dan
equation of time (yang rumus pendekatannya juga ada dan simpel sebagaimana
dipaparkan Jean Meeus). Tentu saja dengan memperhitungkan apparent diameter
Matahari sebesar 0,5° maka transit terjadi sepanjang jam t ± 1 menit.
Masalah akurasi menjadi bahan perbincangan serius. Disajikan contoh
bagaimana Masjid Agung Pekalongan (yang dibangun di masa para wali) pernah
diukur sampai 3 kali (pada waktu yang berbeda) dan ketiganya memberikan
hasil yang berbeda-beda pula. Tidak dijelaskan apa metode yang digunakan.
Jika menggunakan kompas, baik kompas medan maupun kompas yang terinstall di
teodolit, perbedaan itu wajar saja mengingat arah jarum kompas yang mudah
dipengaruhi medan magnetik lokal. Namun jika menggunakan Matahari, maka
perbedaan hasil pengukuran itu tidaklah melebihi 0,5° (atau 00° 30').
Masalah batas akurasi pengukuran ini yang nampaknya belum banyak dipahami.
Pengukuran berbasis Matahari misalnya (yang disebut the most accurate method
oleh Dr. Khalid Shaukat dari Islamic Society of North America/ISNA)
ada anggapan luas bahwa akurasinya bisa dipertajam sampai orde detik busur,
sementara sejatinya dengan apparent diameter 0,5° maka akurasinya paling
banter juga hanya 0,5°. Memang dengan cara ini potensi melencengnya arah
kiblat masih ada, yakni maksimum 0,5°. Sebagai ilustrasi, jika kita
meletakkan paku pada jarak 20 m maka paku itu perlu digeser 17,5 cm untuk
memperlihatkan pergeseran 0,5 derajat. Kecil memang. Namun jika dikehendaki
akurasi ini harus dipertajam lagi, perlu diterapkan prinsip-prinsip
statistika pengukuran dengan tidak hanya mengandalkan satu metode dan satu
kesempatan saja.
Bagaimana relasi arah kiblat dengan tektonika setempat disuarakan utusan
Wonosobo. Sebagaimana diketahui Pulau Jawa berdiri di atas Lempeng Sunda dan
senantiasa didesak Lempeng Australia ke utara dengan kecepatan 6 cm/tahun.
Apakah ini berpengaruh? Dalam diskusi kecil di luar forum (setelah acara
selesai), saya memaparkan, katakanlah sebuah masjid telah berdiri 200 tahun
dan jika dianggap kerak bumi tempatnya berdiri senantiasa bergeser ke utara
dengan kecepatan 6 cm/tahun, maka ia hanya bergeser 1,2 m saja dari posisi
awal pembangunannya. Dengan jarak Makkah ke Jawa Tengah sebesar 8.320 km
(untuk titik acuan Masjid Agung Jawa Tengah), maka pergeseran 1,2 m itu
setara dengan 0,03 detik busur (atau 0° 0' 0,03"). Ini sangat kecil dan
tidak terbaca oleh instrumen pengukuran saat ini, terkecuali cGPS
(continuous GPS) sebagaimana yang dipasang tim Tectonic Observatory Caltech
dan Puslitbang Geoteknologi LIPI dalam jejaring SuGAR (Sumatran GPS Array)
guna mempelajari sifat gempa Sumatra dalam kampanye GPS-GPS (Global
Positioning Systems - Geodynamic Projects in Sumatra). Dan cGPS ini luar
biasa mahalnya. Sebagai ilustrasi pergeseran 0,03 detik busur ini, andaikata
kita memasang paku pada jarak 20 m di hadapan kita, maka paku itu hanya
digeser 0,003 mm saja. Sangat kecil dan undetectable.
Selain itu, interaksi antar lempeng pada zona subduksi di lepas pantai
selatan Jawa (alias di sepanjang patahan megathrust Sunda) tidaklah saling
lepas tetapi terkunci (locked). Ini bermakna gerak lempeng Australia
tertahan sepenuhnya di zona subduksi, sehingga terjadi penggelembungan
(uplift) di sini, ditandai dengan rendahnya frekuensi kegempaan disini
seperti ditunjukkan data USGS maupun BMG. So konsekuensinya daratan Pulau
Jawa tidak ikut bergerak.
3. Rukyat
Sesi ini berlangsung cepat karena waktunya dipadatkan. Pembahasan difokuskan
pada teknik pelaksanaan rukyatul hilaal dan sidang itsbat.
Dimulai dengan penjelasan apa itu rukyatul hilaal, yakni kegiatan/usaha
untuk melihat hilaal (bulan sabit terkecil) yang dilakukan sesaat setelah
terbenamnya Matahari untuk menentukan awal bulan (lunasi Hijriyyah).
Sehingga tujuan rukyat adalah mengobservasi muncul tidaknya busur cahaya
berbentuk lengkung/sabit itu, bukan untuk mendeteksi keseluruhan bentuk
Bulan yang berupa cakram berdiameter apparent 0,5°.
Dipaparkan juga persiapan yang perlu dilakukan, termasuk perlu disiapkannya
peta rukyat dan peralatan yang dibutuhkan, yang ditekankan pada gawang
rukyat dan teodolit. Kemudian ketika hasil rukyat positif (hilaal dipastikan
terlihat), barulah hakim agama/mahkamah syari'ah berperan dengan mencatat
identitas pelapor, mengitsbatkan laporan rukyat dan membuat berita acara.
Laporan hasil rukyat kemudian dikirimkan ke Depag Pusat dan menjadi materi
untuk sidang itsbat.
Sidang itsbat diselenggarakan di Depag dengan dipimpin oleh Menteri Agama
dan dihadiri oleh 100-an orang yang terdiri dari duta besar negara-negara
Islam, pejabat eselon I dan II Depag, anggota BHR Depag, MUI dan Ormas Islam
serta lembaga/instansi terkait. Materinya hanyalah penetapan awal bulan yang
didahului dengan presentasi/simulasi hisab awal bulan.
Sebagai penutup dari sesi ini, dipaparkan juga peta ketinggian Bulan untuk
penentuan awal Ramadhan dan Syawwal 1429 H.
Saya menanggapi dengan menyarankan perlunya kita menekankan adanya benda
langit terang (seperti Venus, Merkurius, Jupiter) yang mirip dengan hilaal
sehingga bisa dikacaukan sebagai hilaal. Terlebih jika kita tinjau dari
sudut pandang fisika optika, benda-benda langit tadi memiliki apparent
diameter sangat kecil (dalam orde beberapa detik busur saja) dibandingkan
Bulan (yang diameternya 0,5°) sehingga cahaya dari benda-benda langit tadi
memiliki intensitas ratusan kali lipat lebih besar dibanding intensitas
cahaya hilaal. Konsekuensinya benda-benda langit tadi justru lebih mudah
teramati dibandingkan hilaal, dan jika posisinya berdekatan, wah bisa
dianggap sebagai hilaal dong. So, saya menyarankan agar dalam menyiapkan
perhitungan (hisab) kita juga harus menghitung posisi benda-benda langit
tersebut, dan jika mereka pas berdekatan dengan hilaal, kita harus lebih
berhati-hati.
Saya juga menekankan perlunya dokumentasi akan hasil rukyat. Dokumentasi
yang lengkap (termasuk berita acara, alat yang digunakan, jumlah dan
identitas perukyat serta citra hilaal hasil bidikan dengan kamera) akan
menjadi bahan yang sangat baik untuk dikaji pada masa selanjutnya. Paling
tidak kita bisa menyusun sebuah kriteria yang saintifik, yang valid (sahih)
dan reliabel (bisa diulangi) sehingga hasil rukyat akan bisa dipercaya
secara kaidah ilmiah.
Catatan
Pada dasarnya tidak ada hal baru yang disampaikan dalam lokakarya ini.
Terutama dalam masalah rukyat hilaal, tidak tergali lebih dalam bagaimana
upaya penyatuan definisi/kriteria yang sedang berkembang di kalangan NU dan
Muhammadiyah yang telah berjalan dalam beberapa pertemuan.
Dalam diskusi kecil di luar forum memang sempat mencuat hal tersebut dan
diinformasikan bahwa Muhammadiyah (lewat Majelis Tarjih-nya) pada dasarnya
berharap ada kriteria yang saintifik, sementara di kalangan NU (lewat Lajnah
Falakiyah-nya) mulai bisa dipahami bahwa hilaal hanya bisa dilihat jika
elongasi Bulan melebihi limit Danjon (sepertinya pemahaman ini merupakan
hasil kerja keras sosialisasi pak Mutoha dkk). Sehingga kriteria MABIMS yang
sekarang digunakan (yakni tinggi Bulan minimum 2° dengan selisih altitude
Bulan - Matahari (aD) minimum 3° dan umur Bulan minimum saat ghurub 8 jam
dari konjungsi) nampaknya akan ditinggalkan. Kriteria MABIMS 2° ini sendiri
berpangkal dari hasil observasi penentuan awal Syawwal pada 29 Juni 1984,
dimana dinyatakan saat itu hilaal teramati dari tiga lokasi sekaligus yakni
Pare-Pare, Jakarta dan Pelabuhan Ratu. Namun simulasi komputer (lengkap
dengan analisis fotometri yang valid dan reliabel) untuk tanggal tersebut
menunjukkan sangat boleh jadi yang dianggap sebagai hilaal pada waktu itu
sejatinya adalah Merkurius.
Dalam lapangan rukyat hilaal, sejak 1977 telah berlangsung perkembangan yang
luar biasa dimana visibilitas (keterlihatan) hilaal didekati dari tiga aspek
sekaligus yang komprehensif : posisi Bulan - Matahari, dinamika atmosfer dan
alat optik yang digunakan (termasuk mata telanjang). Jika posisi Bulan -
Matahari bisa ditentukan dengan akurasi sangat tinggi (merujuk pada hisab
kontemporer, misalnya dari algoritma Jean Meeus VSOP87 yang direvisi dengan
algoritma Chapront ELP 2000/82 untuk teori gerak Bulan) hingga
ketidakpastiannya hanya 10 detik busur (0,0027°) maka dinamika atmosfer
relatif highly unpredictable. Sehingga visibilitas hilaal pun kemudian
menjadi sebuah persoalan statistik. Adanya garis batas penanggalan lunar
internasional (ILDL) yang sudah dikenal luas itu sebenarnya bukan garis
imajiner eksak seperti halnya meridian nol Greenwich, namun lebih berupa
garis dimana probabilitas visibilitas = 50 %, dan garis ini pun cukup lebar
yakni 22° (lebar ketidakpastian ILDL merujuk teori Schaefer).
Persoalannya, perkembangan yang luar biasa ini relatif belum diseminasikan
ke masyarakat luas dan masih terbatas di kalangan ilmiah. dalam diskusi
kecil di luar forum sempat mencuat bagaimana jika publikasi ilmiah pasca
1977 itu diterjemahkan, untuk kemudian diterbitkan dan dijadikan bahan
bacaan, bukan hanya dalam lingkup Badan Hisab dan Rukyat (BHR) di
Propinsi/Kabupaten saja, namun juga pada kurikulum prodi Falak fakultas
Syariah di IAIN/UIN/STAIN di Indonesia, juga pada prodi Fisika F-MIPA di
Indonesia.
salam
Ma'rufin
.
[Non-text portions of this message have been removed]
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
===================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
===================================================
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar