assalaamu alaikum,
sebuah informasi berharga tentang penanggalan berbasis lunar/bulan yang
diadopsi Islam sebagai penanggalan 'resmi' yang patut kita pahami.
semoga bermanfaat.
salam,
satriyo
--
Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang
now surely by Allah's remembrance are the hearts set at rest
>> al-Ra'd [13]: 28
---------- Forwarded message ----------
From: Ma'rufin Sudibyo <marufins@yahoo.
Di antara peradaban yang memakai kalender lunar (baik yang lunar murni
maupun campuran seperti lunisolar), hanya Kalender Hijriyyah yang bersifat
observasional (pengamatan)
observasional namun belakangan (ada yang menyebut sejak masa Romawi Kuno)
sifat observasinya dihilangkan.
Secara saintifik diketahui dalam selang waktu antara dua konjungsi Bulan -
Matahari yang berurutan (yang umurnya 29,5 hari secara rata-rata), Bulan
dengan fase 90 % (alias separo) terjadi dua kali, demikian juga dengan Bulan
dalam fase 130 % (benjol). Jadi fase-fase Bulan selalu terjadi dua kali dan
berlangsung pada jam yang berlawanan, terkecuali pada fase 0 % (Bulan
mati/baru) dan fase 180 % (Bulan purnama) yang njomblo, tak ada pasangan
fasenya yang sama.
So, secara kasar, kita bisa mengatakan Kalender Hijriyyah murni bertumpu
pada perubahan fase Bulan tersebut. Jika saat maghrib Bulan berbentuk separo
(fase ~ 90 %) dengan ketinggian di sekitar zenith (bervariasi dari satu
lunasi ke lunasi lainnya), maka saat itu tanggal 6 atau 7. Jika saat maghrib
Bulan sudah benjol (fase ~ 130 %) dan sudah menempati langit timur (dengan
ketinggian 40 - 60°), maka saat itu tanggal 9 atau 10. Sebaliknya jika pada
saat sunrise Bulan masih benjol dan ada di langit barat (dengan ketinggian
40 - 60°), maka itu tanggal 19 atau 20. Dan bila Bulan masih separo
saat sunrise
dan berada di sekitar zenith, maka itu tanggal 22 atau 23. So, inilah maksud
observasional itu, tidak sekedar mengamati hilaal muda untuk menentukan awal
lunasi (baca : bulan Hijriyyah). Dan jika kita cermati, sifat observasional
ini dibangun agar setiap Muslim bisa menentukan perjalanan kalender dengan
mudah tanpa harus melalui perhitungan rumit.
Sekarang kita lihat hilaal muda. Bulan disebut hilaal muda (young
crescent/waxing) bila fasenya bernilai 0,4 - 1 % (juga bervariasi dari satu
lunasi ke lunasi lainnya) dan bisa mulai diamati (visibel) beberapa menit
setelah sunset (umumnya 20 menit pasca sunset) untuk kemudian menghilang
menjelang Bulan terbenam. Seperti halnya fase Bulan lainnya, hilaal muda
juga punya pasangan yang dinamakan hilaal tua (old crescent/waning) yang
hanya ada di kala fajar. Kebalikannya dari hilaal muda, hilaal tua muncul
saat Bulan terbit dan menghilang dalam beberapa menit sebelum
sunrise(umumnya 20 menit pula). Mungkin pak Pranoto berminat untuk
mengamati hilaal
tua untuk men-training diri sebelum bergerak mengamati hilaal muda ?
Secara syar'i hanya hilaal muda yang berguna untuk menentukan awal lunasi.
Namun secara saintifik baik hilaal muda maupun hilaal tua sama bergunanya
untuk membangun kriteria visibilitas yang tepercaya, seperti misalnya
kriteria Odeh. Dan kriteria visibilitas ini bermanfaat untuk memprediksi
kalender ke depan (baca : hisab). Kriteria visibilitas inilah titik temu
antara metode rukyat dan hisab. Bagaimana dengan kriteria MABIMS maupun
wujudul hilaal? Maaf seribu maaf, tanpa mengurangi hormat kepada yang
(masih) menggunakan, keduanya tidak bisa digolongkan ke dalam kriteria yang
tepercaya (valid dan reliabel), karena bias (untuk MABIMS) dan tidak pernah
bisa dibuktikan (untuk wujudul hilaal). Beruntung, di Indonesia, setahun
belakangan ini mulai tumbuh kesadaran untuk mengkaji kedua kriteria tersebut
dan merumuskan kembali kriteria visibilitas baru (yang berdasarkan data-data
pengamatan yang valid dan reliabel selama ini) yang menjembatani metode
hisab dan rukyat.
Kenapa hilaal muda dicari di akhir bulan (saya membacanya sebagai akhir
lunasi) yaitu pada tanggal 29 atau 30? Dan menurut pak Pranoto, ini pasti
salah (!). Maaf, dalam hemat saya, justru pak Pranoto yang belum lengkap
membaca sehingga mendapatkan makna yang salah pula.
Kita harus kembali pada definisi transisi lunasi Hijriyyah yaitu pada saat
sunset, dan jika diqiyaskan maka transisi hari Hijriyyah pun berlangsung
pada saat sunset (definisi yang menurut pak Pranoto salah juga). Jadi
patokannya waktu sunset. Dan hilaal muda, selalu baru bisa diamati (visibel)
setelah sunset, umumnya dalam waktu 20 menit pasca sunset meski ada juga
yang hanya beberapa menit pasca sunset. Tak ada hilaal yang teramati sebelum
sunset.
So ketika hilaal teramati, maka sejatinya tanggal 1 itu sudah berjalan sejak
sunset tadi. Dalam praktiknya, khususnya di Indonesia, memang dikedepankan
asas kehati-hatian dan check recheck lewat mekanisme sidang itsbat sehingga
pengumuman hilaal visibel (dari sejumlah titik) biasanya baru nongol di
media pada saat Isya', alias berselang 1 - 2 jam dari sunset. Meski hal ini
sama sekali tidak mengurangi arti bahwa tanggal 1 itu sudah berjalan sejak
sunset.
Lantas bagaimana dengan tanggal 29? Tanggal 29 hanya berperan sebagai warning
date saja bagi para perukyat, bahwa saatnya observasi/rukyat telah tiba.
Dalam konsepsi kalender Hijriyyah diketahui bahwa setiap lunasi Hijriyyah
pada dasarnya berumur 29 hari kecuali diistikmalkan. Disinilah pentingnya
tanggal 29, sehingga perukyat diharapkan sudah menyiapkan diri pada tanggal
ini terutama selepas 'Ashar. Namun praktik rukyat/observasi itu sendiri baru
dilaksanakan tepat ketika sunset tiba, dan kita tahu waktu sunset adalah
"waktu perbatasan". Pasca sunset, bisa saja lunasi Hijriyyah diistikmalkan
jadi 30 hari (jika hilaal muda tidak visibel) atau ditransisikan ke tanggal
1 (jika hilaal visibel). Sehingga tidak tepat jika dikatakan mencari hilaal
muda koq dilaksanakan pada tanggal 29, mengingat sejatinya rukyat baru bisa
dilaksanakan jika dan hanya jika sunset telah tiba.
Kita bisa bandingkan kondisi tersebut dengan misalnya jika pergantian
siang-malam dalam Al-Israa : 12 ditafsirkan sebagai definisi transisi hari
Hijriyyah pada sunrise. Memang menjelang sunrise ada hilaal tua. Namun jika
transisi hari dilakukan saat sunrise, akan terjadi tabrakan dengan konsep
syari'ah tentang puasa Ramadhan misalnya, yang dimulai sejak fajar shadiq
(munculnya cahaya fajar/twilight) hingga sunset. Apakah mau menggeser saja
definisi awal puasa ke saat sunrise? Ini tidak ada dasar hukumnya, dan jika
dilakukan justru membatalkan puasa (karena berarti pada waktu Shubuh masih
boleh makan/minum)
waktu fajar shadiq? Ini malahan melangkahi al-Israa : 12 tadi dan dalam
praktiknya jelas tidak mungkin mengingat pada saat fajar shadiq mulai
muncul, tidak ada fenomena yang bisa dikaitkan dengan Bulan.
Apakah pergantian lunasi dengan visibilitas hilaal muda berlaku untuk
seluruh zona waktu? Jawabannya iya, asalkan kita tidak terbelenggu pada
garis International Date Line (IDL) solar calendar yang ada di bujur 180°
itu. Seperti saya tulis sebelumnya, kalender Hijriyyah mengenal ILDL (garis
batas penanggalan lunar internasional) yang membagi Bumi menjadi dua lunasi
Hijriyyah yang berbeda. Garis ini umumnya berbentuk kerucut tumpul yang
sumbunya sejajar/sedikit miring terhadap garis2 lintang Bumi. Dan di ujung
kerucut tumpul inilah terletak first visibility area (FVA). Hanya daerah di
barat ILDL saja yang memiliki potensi visibelnya hilaal. Sementara di timur
ILDL, hilaal tidak akan visibel (dan jika ada klaim yang mengaku melihatnya,
justru klaim itu harus dipertanyakan dan boleh ditolak) terkecuali pada saat
sunset 24 jam berikutnya. Dan ILDL ini letaknya random, sering sekali
menerjang bujur 180°, selalu berubah-ubah untuk tiap lunasi dan tidak
misalnya berkumpul di dekat Makkah. So ini memang "menyebalkan" bagi
sebagian di kalangan kita yang beranggapan Makkah adalah center of calendar,
namun seperti itulah kenyataannya.
Kunci dari sistem kalender Hijriyyah ada pada definisi hilaal. Apa yang saya
sebutkan di atas tadi semuanya bertumpu pada definisi hilaal. Dan di sinilah
persoalan utamanya, belum ada kesepakatan di antara komunitas Muslim di
seluruh dunia tentang apa itu hilaal. Secara saintifik definisi itu sudah
ada, dan sudah terbukti applicable dalam menjalankan kalender (termasuk
membedakan mana yang kabisat dan mana yang basitah). Namun definisi sains
itu belum bisa diterima, oleh beragam faktor, seperti ada yang beranggapan
karena definisi hilaal saintifik itu dibangun dalam aras ilmu-ilmu barat
yang 'kafir', sehingga tidak boleh diterima untuk keperluan ibadah Muslim.
Namun beruntungnya, di Indonesia sudah mulai tumbuh kesadaran untuk
mengkaji ulang baik wujudul hilaal maupun MABIMS untuk merumuskan ulang
definisi hilaal yang bisa diterima di sini. Di sinilah pentingnya diseminasi
informasi seperti ini, termasuk dasar-dasar dari kalender Hijriyyah,
sehingga lebih dipahami duduk perkara sebenarnya dan tidak mencampuradukkan
antara kalender Hijriyyah dengan kalender lainnya seperti solar calendar.
salam
Ma'rufin
.
[Non-text portions of this message have been removed]
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
===================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
===================================================
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar