Kompas - Minggu, 03 Juli 2005
Oleh: SAMUEL MULIA
Kalau sekarang saya percaya ada kata bernama maniak, maka saya adalah orang yang masuk ke dalam kategori itu.
Saya sangat menyukai barang- barang bermerek sejak lama, lebih spesifiknya lagi, saya adalah manusia yang sangat menyukai merek bernama Louis Vuitton. Label kondang yang telah saya kenal sejak lama, bahkan sejak dua puluh tahunan lalu, saat saya masih dengan rajinnya mengikuti "ceramah" dokter jaga di bangsal-bangsal rumah sakit setiap kali visite sebagai mahasiswa kedokteran. Tentu seperti anak baru gede lainnya di masa itu, maka Ayah sayalah yang pertamatama harus menanggung penderitaan pertama itu.
Dengan berjalannya waktu, seperti ketika setiap orang menabung hasil keringat mereka tiap bulannya, maka saya pun mulai "menabung", meski tabungan itu masuk ke rekening bernama Louis Vuitton. Pekerjaan saya yang memampukan saya melanglang dunia—bukan sebagai dokter—membuat tabungan saya bertambah di setiap butik Louis Vuitton yang saya jumpai nyaris di setiap pelosok kota besar dunia.
Apa akibat dari hasil kerajinan menabung ini? Sama seperti mereka yang memiliki tabungan berlipat ganda, maka saya pun memiliki tabungan yang sama saja. Barang yang berlipat ganda. Kalau saja sekali waktu Anda bepergian bersama saya, maka pertama-tama yang Anda akan lihat adalah kerepotan saya membawa beberapa koper berbeda dengan merek yang sama, mirip pemandangan pelajar berseragam sekolah.
Ada koper hard case untuk menyimpan semua pakaian-pakaian agar tidak kusut setiba saya di tempat tujuan. Ada koper soft luggage untuk menyimpan barang-barang belanjaan, masih ada tas tangan besar dua buah untuk pakaian kotor dan semua perlengkapan penampilan, yang tidak termasuk kategori sepatu. Dan tentu, masih ada tempat sepatu untuk empat pasang. Di dalam tas bahu, yang mirip tas seorang fotografer itu, Anda akan menjumpai tempat paspor, dompet, tempat kartu nama, dompet uang receh, dompet khusus kartu kredit saja, sampai dompet perlengkapan kamar mandi. Semuanya bermotif sama.
Tapi saya tak pernah berpikir panjang ketika saya membeli barang-barang itu. Saya membeli barang-barang secara eksesif sehingga orang berpikir saya begitu kayanya, dan saya menyukai anggapan orang itu. Barang-barang ini mampu mengangkat saya ke kelas gaya hidup yang awalnya tak pernah saya pikirkan. Padahal saya menabung dengan bersusah payah. Koper- koper Louis Vuitton yang besar dan berat itu memang ditujukan bagi mereka yang mempunyai gaya hidup super kaya, yang memiliki bedinde yang bisa mengangkut semua barang-barang itu. Sementara saya harus mengurus semua perlengkapan perang itu sendiri. Dengan bepergian menggunakan barang bermerek sebanyak itu, orang berpikir bahwa saya akan naik pesawat kelas utama atau paling tidak kelas bisnis, kenyataannya saya hanya sampai di kelas ekonomi dan kadang-kadang saja bisa naik kelas bisnis.
Hotel tempat saya menginap, juga hotel yang biasa-biasa saja, padahal dengan membawa koper-koper bermerek kondang itu, paling tidak saya diharapkan menginap di hotel berbintang lima atau enam, atau lebih dari itu. Belum lagi membayar tip untuk tenaga pengangkut barang setiap kali keluar masuk hotel atau lapangan terbang, membuat si penerima jasa itu berpikir bahwa saya adalah miliuner yang sedang bepergian. Apa akibat dari memiliki perangkat kemewahan ini? Saya mengeluarkan dana untuk keperluan-keperluan yang lebih tinggi. Saya lupa, saya bukan orang kaya yang mampu memiliki gaya hidup yang dicitrakan koper-koper mewah itu.
Maka sekarang kalau Anda berpikir ingin memiliki barang-barang itu, siapkan dulu uang dan gaya hidup Anda yang sesungguhnya. Perlu saya ulang lagi, yang sesungguhnya. Apa yang saya lakukan bukan sesungguhnya. Sesungguhnya saya bukan orang kaya. Titik. Nah, kalau kemudian Anda merasa tak mampu, jangan pernah coba-coba. Ia seperti narkoba yang menjerat hidup. Sedihnya, yang satu ini tak punya pusat rehabilitasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar