Kompas - Minggu, 23 April 2006
Munculnya nama-nama yang distingtif, atau berbeda dari nama yang lazim digunakan, menurut antropolog Dr Lono Lastoro Simatupang merupakan penunjuk adanya kesadaran individual yang semakin tinggi di kalangan orangtua. Kondisi sosiokultural berubah dan kelaziman pun dilanggar.
Ia memberi contoh kelaziman nama dengan unsur depan Su seperti Suwarto atau Supriyono mulai jarang digunakan pada anak-anak yang lahir belakangan ini.
"Individu harus punya identitas yang berbeda dari yang lain. Tidak ada lagi Su-su," kata Lono, staf pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu.
Masalah nama adalah persoalan generasi. Generasi demi generasi muncul. Seiring dengan itu terjadi perubahan kondisi sosiokultural. Mobilitas penduduk makin tinggi. Tingkat pendidikan dan pergaulan sosial semakin berkembang. Itu semua berpengaruh pada pemberian nama.
Pandangan soal kabotan jeneng atau keberatan nama sudah menipis. Dalam pandangan itu, sebuah nama dianggap mengemban semacam misi. "Berat" misi tergantung pada apa yang terkandung di dalam sebuah nama. Beberapa keluarga muda masih bertoleransi kepada orangtua mereka yang masih menganut "faham" kabotan jeneng itu.
Suwarto, misalnya, semula akan menamai anaknya dengan Sadham. Nama itu dianggap berat lalu diganti Adam. Begitu juga Supriyono, pernah terpikir untuk menggunakan nama Segoro atau samudra. Akan tetapi, menurut orangtuanya, nama itu terlalu berat, lalu diganti.
"Praktik pemberian nama itu menunjukkan urusan kultural yang semakin longgar. Dalam nama, orang tidak lagi diidentifikasikan berdasarkan latar daerah atau etnis," kata Lono.
Status sosial
Dia juga menengarai, dalam pemberian nama, ada kecenderungan sebagian orang untuk menghilangkan jejak status sosial. "Dengan nama, orang berpeluang untuk masuk ke status sosial lebih tinggi," ucapnya.
Dalam nama-nama "baru" itu, Lono juga melihat adanya pergeseran orientasi ke arah aristokratisme. Orientasi tersebut termanifestasikan dalam nama yang unsurnya diambil dari bahasa Sanskerta seperti Paramita, Raditya, dan sejenisnya.
Ada pula orientasi ke arah nama asing yang ke-"belanda-belanda"-an. Pada nama tertentu, harapan yang terkandung dalam nama tidak lagi muncul.
"Yang terjadi lebih ke arah figur-figur tertentu seperti Napoleon, Washington. Kadang acuannya bukan pada sifat figur tersebut, tetapi lebih pada kata itu sendiri," kata Lono.
Akan tetapi, ada pula nama yang berorientasi pada figur, dan berharap ada semangat dari nama tersebut. Audelta Elviezon, misalnya, memberi nama anaknya Shaquille Avicenna Verca, dengan harapan daya juang atlet basket Shaquille O'Neal juga dimiliki anaknya.
Perubahan orientasi itulah yang menggeser nama-nama lokal, atau nama-nama yang pernah sangat lazim digunakan. "Makna dari nama cenderung menyempit. Pada nama, tak lagi digantungkan harapan. Orang memberi nama lebih untuk mengejar keindahan bunyi," kata Lono.
Karena makna dan harapan terpinggirkan, maka ubo rampe atau elemen-elemen ritual pendukung peresmian juga tidak perlu lagi. Tradisi bubur merah-putih sudah tak lagi perlu diadakan untuk mengumumkan nama.
Boleh jadi, ini refleksi perubahan pola konsumsi. Bukankah ulang tahun anak balita tak lagi berupa berbagi makanan di kampung-kampung, tetapi di rumah makan cepat saji di mal, bahkan di hotel berbintang lima? (XAR/CP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar