Jumat, 02 Desember 2011

[daarut-tauhiid] MEMBERIKAN NASEHAT UNTUK PENGUASA

 

Saudaraku,…
Bukanlah sesuatu yang buruk jika Anda menjadi seorang penguasa. Bahkan
sebagian saudara kita banyak yang berhasrat besar menjadi seorang penguasa.
Sebagian besar tersebut mungkin saya sendiri, Anda, atau tetangga sebelah
rumah. Dan menjadi seseorang yang dipimpin seorang penguasa bukanlah sebuah
kehinaan.
 
Seorang penguasa dan rakyatnya adalah penumpang dalam sebuah kapal
kehidupan. Jikalau sang nahkoda telah salah arah, maka penumpang yang lain
berhak menegur atau memberikan nasehat kepada sang nahkoda. Seorang nahkoda
bagaimanapun juga hanyalah seorang manusia, yang terkadang berbuat salah. Jika
penumpang lain tidak memiliki keberanian untuk menunjukkan hal yang benar
kepada pemimpinnya, maka seluruh kapal akan menghadapi kehancuran yang sangat
menyakitkan. Dan hanya nahkoda yang bijak sajalah yang mampu mendengarkan
nasehat dari penumpang-penumpangnya.
 
Demikianlah Allah SWT dan kekasih-Nya Muhammad Saw telah meninggalkan jejak
kebaikan diantara makhluk-Nya. Saling berbuat kebaikan dan mengingatkan yang
lain terhadap kebaikan yang haq adalah kebiasaan seorang muslim, saudaraku.
Jika Anda adalah seorang rakyat yang dipimpin oleh penguasa yang menyeleweng
dari kebenaran, maka berikanlah nasehat yang baik kepada mereka. Memberikan
nasehat tidaklah sama dengan merendahkan derajatnya melalui cacian dan makian
yang kejam.
 
Mengatakan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng memang perlu
keberanian yang tinggi, sebab resikonya besar. Bisa-bisa akan kehilangan
kebebasan, mendekam dalam penjara, bahkan lebih jauh lagi dari itu, nyawa bisa
melayang. Karena itu, tidaklah mengherankan ketika pada suatu saat Rasulullah Muhammad
Saw ditanya oleh seorang sahabat perihal perjuangan apa yang paling utama, maka
Rasulullah Saw pun menjawab, "Mengatakan kebenaran kepada penguasa yang
menyeleweng."
 
Demikianlah sabda Rasulullah Muhammad Saw sebagaimana yang dikisahkan dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa'i, Abu Daud, dan Tirmidzi,
berdasarkan penuturan Abu Sa'id al-Khudry Radhiyallahu 'anhu, dan Abu Abdillah
Thariq bin Syihab al-Bajily al-Ahnasyi. Oleh sebab itu, sedikit sekali orang
yang berani melakukannya, yakni mengatakan kebenaran kepada penguasa yang
menyeleweng.
 
Di antara yang sedikit itu (orang yang pemberani) terdapatlah nama Thawus
al-Yamani. Ia adalah seorang tabi'in, yakni generasi yang hidup setelah para
sahabat Rasulullah Muhammad Saw, bertemu dengan mereka dan belajar dari mereka.
Dikisahkan, suatu ketika Hisyam bin Abdul Malik, seorang khalifah dari Bani
Umayyah, melakukan perjalanan ke Mekah guna melaksanakan ibadah haji. Di saat
itu beliau meminta agar dipertemukan dengan salah seorang sahabat Nabi Muhammad
Saw yang hidup. Namun sayang, ternyata ketika itu tak seorang pun sahabat
Rasulullah Saw yang masih hidup. Semua sudah wafat. Sebagai gantinya, beliau
pun meminta agar dipertemukan dengan seorang tabi'in.
 
Datanglah Thawus al-Yamani menghadap sebagai wakil dari para tabi'in.
Ketika menghadap, Thawus al-Yamani menanggalkan alas kakinya persis ketika akan
menginjak permadani yang dibentangkan di hadapan khalifah. Kemudia ia langsung
saja nyelonong masuk ke dalam tanpa mengucapkan salam perhormatan pada khalifah
yang tengah duduk menanti kedatangannya. Thawus al-Yamani hanya mengucapkan
salam biasa saja, "Assalamu'alaikum," langsung duduk di samping
khalifah seraya bertanya, "Bagaimanakah keadaanmu, wahai Hisyam?"
 
Melihat perilaku Thawus seperti itu, khalifah merasa tersinggung. Beliau
murka bukan main. Hampir saja beliau memerintahkan kepada para pengawalnya
untuk membunuh Thawus. Melihat gelagat yang demikian, buru-buru Thawus berkata,
"Ingat, Anda berada dalam wilayah haramullah dan haramurasulihi (tanah
suci Allah dan tanah suci Rasul-Nya). Karena itu, demi tempat yang mulia ini,
Anda tidak diperkenankan melakukan perbuatan buruk seperti itu!"

"Lalu apa maksudmu melakukakan semua ini?" tanya khalifah.

"Apa yang aku lakukan?" Thawus balik bertanya.

Dengan geram khalifah pun berkata, "Kamu tanggalkan alas kaki persis di
depan permadaniku. Kamu masuk tanpa mengucapkan salam penghormatan kepadaku
sebagai khalifah, dan juga tidak mencium tanganku. Lalu, kamu juga memanggilku
hanya dengan nama kecilku, tanpa gelar dan kun-yahku. Dan, sudah begitu, kamu
berani pula duduk di sampingku tanpa seizinku. Apakah semua itu bukan
penghinaan terhadapku?"

"Wahai Hisyam!" jawab Thawus, "Kutanggalkan alas kakiku karena
aku juga menanggalkannya lima kali sehari ketika aku menghadap Tuhanku, Allah
'Azza wa Jalla. Dia tidak marah, apalagi murka kepadaku lantaran itu."

"Aku tidak mencium tanganmu lantaran kudengar Amirul Mukminin Ali
Radhiyallahu 'anhu pernah berkata bahwa seorang tidak boleh mencium tangan
orang lain, kecuali tangan istrinya karena syahwat atau tangan anak-anaknya
karena kasih sayang."

"Aku tidak mengucapkan salam penghormatan dan tidak menyebutmu dengan
kata-kata amiirul mukminin lantaran tidak semua rela dengan kepemimpinanmu;
karenanya aku enggan untuk berbohong."

"Aku tidak memanggilmu dengan sebutan gelar kebesaran dan kun-yah lantaran
Allah memanggil para kekasih-Nya di dalam Alquran hanya dengan sebutan nama
semata, seperti ya Daud, ya Yahya, ya 'Isa; dan memanggil musuh-musuh-Nya
dengan sebutan kun-yah seperti Abu Lahab...."

"Aku duduk persis di sampingmu lantaran kudengar Amiirul Mukminin Ali ra
pernah berkata bila kamu ingin melihat calon penghuni neraka, maka lihatlah
orang yang duduk sementara orang di sekitarnya tegak berdiri."
 
Mendengar jawaban Thawus yang panjang lebar itu, dan juga kebenaran yang
terkandung di dalamnya, khalifah pun tafakkur karenanya. Lalu ia berkata,
"Benar sekali apa yang Anda katakan itu. Nah, sekarang berilah aku nasehat
sehubungan dengan kedudukan ini!"

"Kudengar Amiirul Mukminin Ali ra berkata dalam sebuah nasehatnya,"
jawab Thawus, "Sesungguhnya dalam api neraka itu ada ular-ular berbisa dan
kalajengking raksasa yang menyengat setiap pemimpin yang tidak adil terhadap
rakyatnya."
 
Mendengar jawaban dan nasehat Thawus seperti itu, khalifah hanya terdiam,
tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia menyadari bahwa menjadi seorang pemimpin
harus bersikap arif dan bijaksana serta tidak boleh meninggalkan nilai-nilai
keadilan bagi seluruh rakyatnya. Setelah berbincang-bincang beberapa lamanya
perihal masalah-masalah yang penting yang ditanyakan oleh khalifah, Thawus
al-Yamani pun meminta diri. Khalifah pun memperkenankannya dengan segala hormat
dan lega dengan nasehat-nasehatnya.
 
Saudaraku,..
Janganlah lemah kalau Anda hendak menegur penguasa yang menyeleweng, tapi
janganlah pula Anda merendahkan mereka dengan caci-maki yang kejam. Islam itu
baik dan penuh kasih sayang, maka sampaikanlah nasehat-nasehat dalam bingkai
kebaikan dan kasih sayang yang indah. Dan jangan takut jikakalau mereka akan
mencelakakan Anda karena nasehat tersebut. Jika iman Anda terhadap kekuasaan
Allah masih tertata dengan baik, sungguh Anda tak perlu khawatir terhadap
apapun yang akan terjadi dengan hidup Anda. Allah itu Maha Baik dan akan selalu
menjaga orang-orang yang baik dan mereka yang memiliki niat yang baik.

Artikel ini
ditulis oleh TRI AGUNG SETYAWAN dan dipersembahkan oleh http://souldiaryofislam.blogspot.com,
Media renungan-renungan hati tentang Islam dan kekuatan-kekuatan hebat yang
melingkupinya.

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: