Senin, 11 Februari 2013

[daarut-tauhiid] Mengadakan Pengajian di Malam Tahun Baru Masehi

 

Mengadakan Pengajian di Malam Tahun Baru Masehi

Wed, 26 Dec 2012 07:01
- 907
Assalamu'alaikum ustadz
Pada pergantian tahun masehi kemarin banyak acara dengan format
pengajian, tabligh akbar dan dzikir akbar. Yang saya tahu perayaan tahun baru masehi itu berasal dari orang -orang kristen, lalu bila kita ikut
merayakannya bukankah kita termasuk menyerupai suatu kaum.
Nah, tapi sekarang orang Islam banyak yamg merayakan tahun baru
dengan mengadakan amalan Islami, apakah itu masih termasuk menyerupai
suatu kaum, dan bagaimana hukumnya?
Wassalam

Jawaban :
Assalamu 'aaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Pertanyaan Anda ini memang seringkali menjadi sumber perbedaan pendapat
di kalangan umat Islam sendiri. Pasalnya bersumber dari kata 'perayaan'
itu sendiri. Apa sih sebenarnyayang dimaksud dengan 'merayakan hari
besar'? Apa batasannya dan apa kriterianya?
Para ulama dengan berbagai latar belakang kehidupan, tentunya punya
niat baik, yaitu sebisa mungkin berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa,
agar umat tidak terperosok ke jurang kemungkaran.
Salah satu bentuk polemik tentang masalah perayaan itu adalah
ditetapkannya hari libur atau tanggal merah di hari-hari raya agama
lain. Yang jadi perdebatan, apakah bila kita meliburkan kegiatan sekolah atau kantor pada tanggal 25 Desember itu, kita sudah dianggap ikut
merayakannya?
Sebagian berpendapat bahwa kalau cuma libur tidak bisa dikatakan sebagai ikut merayakan, lha wong pemerintah memang meliburkan, ya kita ikut libur saja. Tapi niat di dalam hati sama sekali tidak untuk merayakannya.
Namun yang lain menolak, kalau pada tanggal 25 Desember itu umat
Islam pakai acara ikut-ikutan libur, suka tidak suka, sama saja mereka
termasuk ikut merayakan hari raya agama lain. Maka sebagian madrasah dan pesantren memutuskan bahwa pada tanggal itu tidak libur. Pelajaran
tetap berlangsung seperti biasa.
Sekarang begitu juga, ketika pada tanggal 1 Januari ditetapkan oleh
Pemerintah sebagai hari libur nasional, muncul juga perbedaan pendapat.
Bolehkah umat Islam ikut libur di tahun baru? Apakah kalau ikut libur
berarti termasuk ikut merayakan hari besar agama lain?
Lalu muncul lagi alternatif, dari pada libur diisi dengan
acarahura-hura, mengapa tidak diisi saja dengan kegiatan keagamaan yang
bermanfaat, seperti melakukan pengajian, dzikir atau bahkan qiyamullail. Anggap saja memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Dan hasilnya sudah bisa diduga dengan pasti, yaitu akan ada kalangan
yang menolak mentah-mentah kebolehannya. Mereka mengatakan bahwa
pengajian, dzikir atau qiyamullail di malam tahun baru adalah bid'ah
yang diada-adakan, tidak ada contoh dari sunnah Rasulullah SAW.
Bahkan ada yang lebih ektrem sampai mengatakan kalau malam tahun baru kita mengadakan pengajian, dzikir, atau qiyamullail, bukan sekedar
bid'ah tetapi sudah sesat dan masuk neraka. Wah...
Jadi semua itu nanti akan kembali kepada paradigma kita dalam memandang, apakah kita akan menjadi orang yang sangat mutasyaddid, mutadhayyiq, ketat dan terlalu waspada? Ataukah kita akan menjadi mutasahil, muwassi', longgar dan tidak terlalu meributkan?
Kedua aliran ini akan terus ada sepanjang zaman, sebagaimana dahulu di masa shahabat kita juga mengenal dua karakter ini. Yang mutasyaddid diwakili oleh Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu dan beberapa shahabat lain, sedang yang muwassa' diwakili oleh Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu dan lainnya.
Adakah Jalan Tengah?
Insya Allah ada jalan tengah yang sekiranya bisa kita pertimbangkan.
Misalnya, kalau dasarnya memang tidak ada budaya atau kebiasaan untuk
bertahun baru dengan kegiatan semacam pengajian dan sejenisnya,
sebaiknya memang tidak usah digagas sejak dari semula. Biar tidak
menjadi bid'ah baru.
Akan tetapi kalau kita berada pada masyarakat yang sudah harga mati
untuk merayakan tahun baru, suka tidak suka tetap harus ada kegiatan,
mungkin akan lain lagi ceritanya. Tugas kita saat itu mungkin boleh saja sedikit berdiplomasi. Misalnya, tidak ada salahnya kalau kita
mengusulkan agar acaranya dibuat yang positif seperti pengajian atau
apapun yang bernilai positif, bukan sekedar pesta atau hura-hura.
Dari pada kegiatannya dangdutan, begadang semalam suntuk atau konser
musik, kan lebih baik kalau digelar saja dalam bentuk pengajian.
Anggaplah sebagai proses menuju kepada pemahaman Islam yang lebih baik
nantinya, tetapi dengan cara perlahan-lahan.
Kalau kita tidak bisa menghilangkan budaya yang sudah terlanjur
mengakar dengan sekali tebang, maka setidaknya arahnya yang dibenarkan
secara perlahan-lahan. Kira-kira ide dasarnya demikian.
Tetapi yang kami sebut sebagai jalan tengah ini bukan berarti harga
mati. Ini cuma sebuah pandangan, yang mungkin benar dan mungkin juga
tidak. Namanya saja sekedar pendapat. Tetap saja menyisakan ruang untuk
berbeda pendapat. Dan mungkin suatu ketika kami koreksi ulang.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'aaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc

Rumah Fiqih Indonesia

http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1199766720&=mengadakan-pengajian-di-malam-tahun-baru-masehi.htm

 
Wassalamu'alaikum
Jagalah Hati Selalu
Wisnu

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: