Kamis, 21 Februari 2013

[daarut-tauhiid] Kisah Hidup Seorang Muslim Di Bawah Penjajahan Penguasa Kristen Spanyol

Kisah Hidup Seorang Muslim Di Bawah Penjajahan Penguasa Kristen Spanyol


*Muslimdaily.net -* Sebuah nostalgia. Andalusia, suatu daerah di Spanyol
pernah cemerlang gemerlapan disinari oleh nur Islam. Pada saat itu
benar-benar tumbuh nilai-nilai budaya dan peradaban dunia insani. Andalusia
menjadi pusat sumber segala sumber ilmu pengetahuan. Filosof dan ilmuwan
silih berganti bermunculan mewarnai kesegaran nafas Islami. Ilmu, budaya,
dan iman tumbuh dalam simbiosa mutualistis (saling menghidupi dan saling
mengisi). Semua itu tumbuh segar dari keaslian akar Islam yang menyinari
Andalusia yang tercinta ini.

Akan tetapi apa lacur? Entah bagaimana ceritanya, umat Islam
berangsur-angsur meninggalkan prinsip-prinsip yang digariskan oleh
ketentuan Islam, dan mulai pudarlah sinar Islam sampai titik kulminasi yang
paling kritis. Hari demi hari umat Islam mulai meninggalkan Andalusia dan
tertinggal menjadi bulan-bulanan kebiadaban kaum kristiani yang ada di
Spanyol.

Situasi kehidupan umat Islam yang tertinggal makin hari makin tragis,
dikoyak-koyak oleh kekejaman kaum kristiani. Penguasa Kristen di Spanyol
muncul dalalm kekejaman dan kebengisan sepeti kesetanan. Setiap muslim
mulai orok sampai tua bangka dikejar, diteror, disiksa, dan dibunuh dengan
semena-mena tiada taranya. Diantara umat Islam yang dikepung oleh
kebengisan penguasa Kristen itu adalah satu rumah tangga yang terdiri dari
ayah, ibu dan anaknya laki-laki yang masih kecil. Si anak itu, yang
sekarang sudah menjadi ulama besar, sempat mengungkapkan tragedi yang
dialami oleh keluarga sebagai berikut :

Saat itu aku masih kecil, dan masuk sekolah Kristen. Tanpa kusadari, apa
yang kuperoleh dari sekolah kuceritakan kepada ayahku. Banyak ayat dari
kitab Injil aku hafal. Dengan bangga hal itu pun aku laporkan kepada ayah.
Setelah mendengar ini, tiba-tiba kulihat wajah ayahku menjadi pucat dan
sekujur badannya gemetar. Secepatnya ia meninggalkan aku menuju sebuah
kamar pribadinya yang terletak paling ujung. Ayah melarang keras siapa saja
memasuki kamar pribadinya itu. Mendekati saja tidak boleh. Termasuk ibu dan
aku sendiri. Jadi aku sendiri tidak tahu apa yang diperbuat ayah dikamarnya
itu. Agak lama ia membenamkan dirinya di dalam kamar. Beberapa jam kemudian
setelah keluar dari kamarnya, kulihat kedua matanya merah seperti menangis
sedu. Terhadap pertanyaankau, ia selalu mengelak. Sejak saat itu, ia suka
memandang aku agak lama dengan wajah sayu yang penuh duka, sambil
menggerakkan bibirnya seperti membaca sesuatu dengan suara halus. Kalau aku
mendekati untuk mendengar apa yang ia baca, secepatnya ia berpaling dan
pergi tanpa mengucap sedikit pun. Aku membaca sesuatu yang aneh di raut
wajah ayahku.

Setiap pagi saat aku hendak berangkat ke sekolah, ibuku seperti berat
melepaskan aku. Wajahnya begitu murung, dan sambil mencucurkan air mata
dipeluknya aku dan dicium berkali-kali.

Baru saja aku dilepas dan kakiku melangkah kecil, ditariknya kembali dan
dihujani peluk-cium lagi, sampai cucuran air matanya yang hangat membasahi
mukaku. Aneh bin ajaib. Aku heran tak habis-habisnya, dan tidak faham latar
belakang semua itu. Kalau aku pulang dr sekolah, ibuku menyambutku dengan
penuh mesra dan kerinduan, seolah-olah puluan tahun berpisah dengan
anaknya. Setiap otakku dipenuhi oleh teka-teki yang sukar dijawab.

Ditengah-tengah kelesuan keluarga, sejak itu sering kali kulihat kedua
orang tua suka duduk berduaan seperti menghindari aku. Mereka suka
berbicara perlahan dan berbisik, tapi bukan dengan bahasa spanyol. Aku
menjadi bingung dan resah. Bahasa mereka tak kukenal. Setiap kali aku
mendekati, mereka alihkan pembicaraannya dengan bahasa Spanyol. Dalam
hatiku timbul prasangka dan dugaan, jangan-jangan aku ini hanya anak angkat
dan bukan anak mereka sendiri. Hatiku kesal, wajahku murung tak pernah
cerah. Aku suka menyendiri di suatu pojok, dan sering pula mengangis
sendirian memikirkan semua teka-teki yang menyelimuti keluargaku ini. Semua
itu menimbulkan stigma (vlek) dalam hatiku. Mungkin itu disebut 'stress'
ataukah neurosa? Entahlah yang jelas, sejak itu terasa ada kelainan dalam
diriku, yang berbeda dari anak-anak sebaya denganku. Aku lebih suka
menyendiri, tidak ikut main-main dengan anak lainnya. Aku suka duduk
merenung sambil menutup wajahku dengan kedua tangan. Aku ingin rasanya
segera bisa menjawab teka-teki yang menyelimuti keluargaku. Pernah kualami,
tiba-tiba saja pak guru menegur dan menggiring aku ke gereja. Aku jadi
bengong.

Pada suatu hari ibuku melahrkan seorang bayi. Aku lari-lari memberitakan
kepada ayah. Ayahku tidak tampak gembira, walau yang lahir itu seorang bayi
laki-laki. Bahkan wajahnya terlihat sedih. Ketika ia melangkah hendak
mengabari rahib tentang kelahiran anaknya itu. Ia kembali membawa rahib ke
rumah dengan wajah merunduk ke bawah. Wajahnya diliputi putus asa
penyesalan.

Kian hari kulihat wajahnya makin muram dan sorot matanya makin redup
melayu. Hatiku makin tersayat pilu memikirkan penderitaan ayah ini. Aku
tidak tahu apa yang mesti kukerjakan. Begitu berjalan berhari-hari.

Datanglah malam hari paskah. Kota Granada tenggelam dalam kegemerlapan
cahaya lampu yang beraneka warna, seperti Jannah dengan bau minyak wangi
kasturinya. Gedung Alhambra gemerlapan memancarkan cahaya lampu
warna-warni. Tiang-tiang salib terpancang megah di setiap halaman.
Menara-menara nampak gemerlang mempesona oleh kedap-kedipnya lampu, dan
terlihat gagah menjulang tinggi mencakar langit.

Di tengah pesta malam yang gemerlapan itu, ayah membangunkanku. Seisi rumah
sedang tenggelam tidur nyenyak. Ayah menggiring aku ke kamar pribadinya
yang 'suci' itu. Hatiku berdebar-debar bercampur heran. Tapi aku bisa
menahan menutupi perasaan getir itu. Setelah kita berdua masuk, ayah
mengunci pintu rapat-rapat. Suasananya sangat gelap tanpa lampu, dan aku
tertegun dalam kegelap-gulitaan. Kemudian ayah menyalakan lampu kecil dan
kulihat sekeliling kamar itu kosong melompong. Tak ada satu pun benda yang
menarik untuk dilihat, kecuali selembar permadani yang terhampar, deretan
buku di atas rak dan sebuah pedang bergantung di dinding. Ayah menyuruh aku
dengan isyarat supaya aku duduk di permadani. Ia terpaku diam memusatkan
pandangannya yang tajam kepadaku. Ketajaman pandangannya menyebabkan
suasana kamar yang sunyi itu bertambah angker. Bulu romaku berdiri dan
angan-anganku itu terbang merana menembus kesunyian kamar itu tidak karuan
kemana arahnya. Aku tidak bisa membayangkan lagi apa yang kurasakan pada
saat itu. Tiba-tiba ayahku dengan penuh kasih sayang memegang tanganku.
Sambil meremas-remas jari-jari tanganku, terlontar deratan kata-kata dengan
suara yang lembut mengesankan:

"Wahai anakku, sekarang engkau sudah menginjak usia dewasa. Sudah 10 tahun
lebih umurmu. Engkau sudah mejadi seorang remaja. Sudah saatnya aku
mengungkap segala tabir rahasia yang kusimpan selama ini terhadapmu. hanya
satu pintaku, sanggupkah engkau merahasiakan rapat-rapat pesanku ini.
Engkau tidak boleh membocorkan pesanku ini, berarti engkau ekan melemparkan
tubuh ayahmu ke tangan algojo-algojo yang berada di inkuisisi."

Mendengar sebutan 'Inkuisisi' itu, bulu romaku berdiri dan sekujur badanku
gemetar ketakutan. Aku tahu benar praktek Inkuisisi itu, walau aku masih
kecil. Setiap hari aku berangkat ke sekolah, kulihat dengan mata kepalaku
sendiri sosok manusia yang bergantung di jalan-jalan raya, disalib, dibakar
hidup-hidup. Kaum wanita di gantung rambutnya, di sayat kulitnya sampai
berceceran semua isi perut, menyebarkan bau busuk menyengat di sekitar
tempat gantungan. Aku terdiam dan tidak kuasa menahan rasa ngeri yang
terbayang dalam benakku.

"Mengapa engkau diam tidak menjawab? Bisakah engkau menyimpan rahasia yang
hendak aku sampaikan kepadamu?" desak ayah.

Aku menjawab setengah gemetar, "bisa ayah."

"Rahasiakan walau terhadap ibumu sendiri dan terhadap sahabatmu yang dekat
sekalipun," tandasnya dengan penuh kesungguhan.

"Baik ayah, aku sanggup," jawabku meyakinkan.

Ayah terlihat bingar, dan sambil menarik tanganku ia berkata, "baiklah,
dekatkanlah dirimu kemari. Kau pasang telingamu lebar-lebar. Aku tidak
berani bicara keras, karena dinding-dinding ini punya telinga dan bisa
melaporkan aku ke Inkuisisi," ayah menandaskan itu sambil menunjuk ke empat
penjuru dinding.

Kemudian ia berdiri mengambil sebuah kitab dan disodorkan ke muka mataku.
"Tahukah engkau kitab ini, wahai anakku?" tanyannya.

"Tidak ayah," jawabku.

"Ini adalah kitabullah," ia menandaskan. "Kitabullah? maksud ayah kitab
suci yang diajarkan Isa anak Tuhan?" selaku dengan terheran-heran.

"Bukan," jawab ayah dengan gemetar, "ini adalah Al-Quran yang diturunkan
Allah Yang Maha Esa, Maha Perkasa dan Maha Kuat. Tiada Bandingannya, Tiada
Beranak dan Tiada pula Diperanakan, Tidak ada sesuatupun setara dengan Dia.
Kitab ini diturunkan kepada makhluknya termulia dan terunggul. Nabinya
yaitu Muhammad bin Abdillah."

Kubuka lebar-lebar mataku keheranan karena aku belum faham benar apa yang
dimaksud ayahku itu.

"Ini kitabnya Islam," jelasnya, "yaitu agama yang haq yang dibawa oleh
utusan Allah, Muhammad Rasulullah kepada seluruh umat manusia. Beliau
dilahirkan nun jauh di sana, melintas lautan dan beberapa negara. Di padang
pasir yang jauh, yang disebut kota Mekkah, di tengah umat yang tadinya
terbelakang dan bodoh, yang kemudian mendapat hidayah dari Allah menjadi
umat tauhid, dikaruniai Allah persatuan yang kokoh, ilmu pengetahuan yang
cemerlang, peradaban yang tinggi, mereka berhasil keluar membuka pintu
negara-negara di Timur dan Barat. Dan sampailah mereka ke negeri ini,
negeri Spanyol yang rajanya dhalim, pemerintahannya kejam sedang rakyatnya
teraniaya dan miskin, dalam kebodohan dan kemunduran. Akhirnya raja yang
dhalim itu terbunuh dan runtuhlah pemerintahan yang kejam itu. Setelah
Islam berkuasa di Spanyol, menyebarluaslah keadilan sosial, derajat, dan
martabat rakyatnya terangkat. Negara pun menjadi kuat. Islam menetap disini
800 tahun lamanya. Selama itu negeri ini menjadi negeri yang paling unggul
dan paling megah di dunia, dan kami ini wahai anakku adalah kaum muslimin
yang tersisa dan bersembunyi disini."

Mendengar uraian ayahku yang bersemangat itu, aku ternganga takjub
bercampur takut dan juga benci. Aku mencoba hencak berteriak, "apa ayah,
kitab kaum muslimin?"

Ayah segera menutup mulutku sambil berseloroh, "benar wahai anakku. Rahasia
ini lah yang kubungkus rapat bertahun-tahun, untuk kubuka kepadamu apabila
engkau sudah menginjak dewasa. Sesungguhnya kitalah pemilik negeri ini.
Kitalah yang membangun semua gedung dan bangunan yang kini beralih menjadi
milik lawan kita. Kitalah yang mendirikan menara-menata untuk
mengumandangkan adzan, dan kini telah diganti dengan suara lonceng gereja.
Masjid-masjid yang kita bangun sebagai tempat ibadah sholat yang dipimpin
oleh para imam yang membacakan kalam ilahi sekarang diubah menjadi gereja
yang dipimpin oleh para yang membaca Injil. Wahai anakku, kita kaum
muslimin telah meletakkan pada setiap sudut negeri Spanyol ini kenangan
indah yang mengesankan. Setiap jengkal tanahnya pernah dilalui para
mujahidin dan syuhada kita. Kitalah yang membangun semua kota, semua
jembatan, dan kita pula yang membuka jalan-jalan raya dan semua sarana
jalan di negeri ini. Kita pula yang membenahi semua irigasi pertanian,
menanam dan mengatur segala tanaman dan taman-tamannya. Dengarkan baik-baik
anakku. Sejak 40 tahun lalu raja kita Abu Abdillah yang kasihan itu telah
tertipu racun janji muluk dari Raja Spanyol. Raja Abu Abdillah sebagai raja
terakhir kaum muslimin di negeri ini tertipu menyerahkan kunci kota Granada
dengan perjanjian, bahwa raja yang sekarang ini akan memberi kebebasan
kepada umat Islam melakukan ibadahnya, serta menjaga segala pusaka dan
kuburan nenek moyang mereka. Raja Abu Abdillah mengasingkan diri ke Maroko
dan wafat di sana. Mereka ini telah menjanjikan kita kemerdekaan beragama,
keadilan, dan kebebasan. Akan tetapi setelah mereka berkasa, mereka
injak-injak semua perjanjian bersama itu. Mereka mendirikan Inkuisisi untuk
memaksa kita memeluk agama Kristen, melarang penggunaan bahasa kita, dan
mengkristenkan semua anak keturunan kita dengan paksa."

"Itulah sebabnya kita melakukan ibadah dengan sembunyi, membuat kita sedih
karena penghinaan mereka terhadap agama kita dan memurtadkan anak cucu
kita. Empat puluh tahun lamanya kita tersayat-sayat siksaan yang berat,
sambil menantikan hari kebebasan dari Allah. Kita tidak berputus-asa,
karena hal itu dilarang oleh agama kita, sebagai agama yang didasari
kekuatan, kesabaran dan perjuagan. Rahasia inilah wahai anakku yang harus
kau simpan. Ketahuilah, nasib ayahmu terletak di mulutmu. Jangan engkau
menyangka aku takut mati. Atau benci bertemu Tuhanku. Tetapi aku ingin
diberi kesempatan hidup sampai batas menyelesaikan tugasku. Mendidik engkau
tentang bahasa dan agamamu, demi menyelamatkan engkau dari kekufuran.
Sampai sekian dulu anakku, dan pergilah tidur."

Sejak saat itu, setiap aku melihat gedung Alhambra dan menara-menara kota
Granada, mataku terbelalak, tubuhku gemetar dan darahku mendidih. Lahir
kerinduan dan kesedihan, benci bercampur cinta. Benci, karena semua itu
sudah dikuasai oleh lawan agamaku. Cinta, karena semua itu dirintis,
dibangun dan diukir oleh pejuang-pejuang yang telah meninggalkan negeri
ini. Semua itu menggoncang-goncang nafsuku. Terkadang tanpa ku sadari aku
sudah di hadapan gedung Alhambra, sambil mencemooh dan bergumam, "Wahai
Alhambra, kini kasih sayang ku telah sirna. Lupakah engkau kepada mereka
yang membangun dan memperindah engkau?? Begitu juga kepada kawan
seperjuanganmu yang rela memperjuangkan hidupnya, mengucurkan darah dan air
matanya?? Masa bodokah engkau terhadap masa jaya dan kecintaan mereka
kepadamu?? Sudah lupakah engkau terhadap manusia-manusia mulia yang
berkeliaran di pelataranmu, suka bersandar di tiang-tiang bangunanmu dan
menyayangi engkau?? Engkau dijadikan lambang kejayaan, kebanggaan, dan
keindahan. Mereka adalah tokoh-tokoh terhormat, yang tiap ucapannya
didengar oleh dunia, dan tiap jasanya disambut hangat sepanjang masa. Sudah
jinakkah engkau kepada petualang-petualang jahanam itu?? Setelah sirna gema
suara adzan, sudah relakah engkau mendengar suara lonceng dan dipeluk oleh
para rahib yang menggantikan para imam??"

Setelah aku puas mencaci maki, Alhambra yang terkutuk itu, sadarlah aku,
jangan-jangan gumamku itu terdengar mata-mata inkuisisi. Aku cepat-cepat
pulang untuk menghafal bahasa Arab yang diajarkan ayahku. Aku sudah diajar
menulis bahasa Arab. Dan ayahku menandaskan, bahwa tulisan ini adalah milik
umat Islam. Setelah itu diajarkan aku mengenal Islam, cara berwudhu dan aku
mulai ikut sholat di belakang ayah di kamarnya yang sunyi-senyap itu.
Bagaimanapun rahasia ituku simpan rapat-rapat akhirnya terbongkar juga. Ibu
ku suka menguji aku, "Diajari apa engkau oleh ayahmu?"

"Aku tidak diajar apa-apa," jawabku.

"Aku mendengar engkau dididik sesuatu. Jangan engkau merahasiakan itu
kepadaku," desak ibuku. "Sungguh, ayah tidak mengajar apa-apa," jawabku
bohong. Pada akhirnya ibuku mengetahui juga.

Setelah aku menguasai bahasa Arab secukupnya, memahami al Quran dan
dasar-dasar kaidah Islam. Maka ayah memperkenalkan aku dengan salah seorang
sahabatnya seperjuangan. Kita bertiga sering mendirikan sholat bersama-sama
dan mengkaji al Quran. Sementara itu di luar dinding-dinding rumah tindakan
algojo Inkuisisi bertambah ganas terhadap sisa umat Islam di negeri itu.
Hampir setiap hari kita menyaksikan minimal tiga puluh orang banyaknya yang
disalib, dibakar hidup-hidup secara demonstratif di tempat-tempat terbuka.
Jumlahya menanjak sampai ratusan orang. Yang dianiaya dengan kejam, dicabut
kukunya hidup-hidup adapula yang dijejeli air lumpur sampi mati. Adapula
yang dibakar kakinya, perutnya jari-jari tangannya dipotong-potong,
kemudian dibakar dan dimasukkan ke mulut. Ada juga yang dicemeti sampai
babak belur badannya, kemudian dikompres dengan air asam garam. Kekejaman
yang memuncak, dan peristiwa itu berjalan sangat panjang pada suatu hari
ayahku berpesan:

"Wahai anakku, aku merasa bahwa ajalku sudah semakin dekat. Aku rela mati
syahid di tangan mereka, dan semoga Allah mengganjarku dengan jannah-Nya.
Dengan demikian aku meninggalkan dunia ini sebagai pemenang. Aku bersyukur,
bahwa bebanku yang berat melepaskan engkau dari kekufuran telah berhasil
dengan baik. Tongkat estafet itu sekarang telah berada di tanganmu. Kalau
aku tertimpa musibah, maka taatilah pamanmu ini. Jangan membantah
sedikitpun, ikuti dia kemana saja."

Beberapa hari telah berlalau sejak ayah menyampaikan pesannya itu. Pada
suatu malam, paman kawan ayahku itu datang menjemputku untuk melarikan diri
ke negeri Maroko. Aku bertanya kepadanya, "bagaiman ayah dan ibuku?"

Paman bahkan menghardik keras, "bukankah ayahmu sudah berpesan, supaya
engkau mentaati segala perintahku?"

Aku bungkam dan tak berkutik dan mengikutinya. Sesampai ditempat yang aman,
ia menepuk pundakku dengan penuh kasih sayang dan berkata, "tabahkan
hatimu, wahai anak sahabatku.. Kedua orang tuamu telah tercatat sebagai
mukminin syuhada di hadapan Allah, meskipun harus lewat pintu gerbang
Inkuisisi."

Beberapa puluh tahun kemudian, anak seorang mujahid yang dilarikan ke
Maroko itu tumbuh dan dibesarkan di Maroko. Dia kemudian menjadi seorang
ulama besar dan pengarang tenar bernama "*SIDI MUHAMMAD BIN ABDURRAFI` AL
ANDALUSI*".

*Disusun oleh Tim Redaktur Muslimdaily.net *

Dikutip dari buku tulisan DR. Jalal 'Alam, Syaikh Ali Thanthawy, dan Syaikh
Muhammad Namer Alkhatib. Dendam Barat & Yahudi Terhadap Islam. Solo:
Pustaka Mantiq

http://muslimdaily.net/artikel/studiislam/kisah-hidup-seorang-muslim-di-bawah-penjajahan-penguasa-kristen-spanyol.html


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: