Minggu, 29 Juni 2008

[daarut-tauhiid] Parabola Doa

Syadziliyah
 
Diriku adalah orang awam yang tidak banyak tahu tentang Islam, bukan juga seorang yang banyak ibadah, bahkan diriku adalah seorang yang masih sering terseret oleh hawa nafsuku. Belajarku tentang Islam hanyalah dari sepanjang jalan yang kulalui selama ini, tidak pernah secara khusus, detail ataupun secara terstruktur. Tetapi satu hal yang sangat-sangat kusyukuri adalah bahwa aku menemukan tarekat / thoriqoh ini, ya... tarekat Syadziliyah / thoriqoh Syadziliyah. Lebih bersyukur lagi bahwa diriku tidak usah mencari lagi sumber dari thoriqoh ini sebagaimana mugkin orang lain yang harus mengalami perjalanan panjang dalam mencari sumber thoriqoh ini, sumber yang jernih dan dapat menjernihkan qalbuku. Sumber itu adalah mursyid kamil dan mukammil dari pondok PETA Tulungagung yang kebarokahannya senantiasa dapat kurasakan. Mulai dari Syaikh Mustaqim bin Husein, Syaikh Abdul Jalil Mustaqim dan yang sekarang Syaikhina wa Mursyiduna wa Murrobi Ruhina Sholahuddin
Abdul Jalil Mustaqim.
 
Diriku bukan juga seorang yang paham tentang seluk beluk tasawuf, detil-detil sufi dan pernak-pernik thoriqoh, tetapi memang bahwa IHSAN sebagai inti dari ajaran / agama Islam tidaklah cukup hanya diwacanakan atau diretorikakan belaka tanpa dijalani. Tasawuf sebagai ilmunya Ihsan tidaklah cukup hanya dengan dipelajari, direnungkan, diresapkan dan diterapkan tanpa disertai amaliah thoriqoh karena hanya bagaikan seorang yang belajar ilmu pertanian tanpa pernah menanam secara nyata apalagi memetik hasilnya, tentu saja tidak mungkin. Bahkan ada kemungkinan, banyak tidak mengertinya tentang apa yang dipelajari di tasawuf bila tanpa disertai amaliyah thoriqoh.
 
Yang kutahu dan selama ini kurasakan bahwa thoriqoh Syadziliyah khususnya dari Pondok PETA Tulungagung adalah suatu thoriqoh yang sama sekali tidak membebani pengamalnya, bahkan bisa dikatakan amalan rutin hariaannya ringan, kalau dilaksanakan minimalnya paling hanya memakan waktu tiga puluh menit sampai empat puluh lima menit saja sehari (he... he... ini sih tipe minimalis, koyo aku). Diawali dengan membaca Al Fatihah lillahi ta'ala, syahadat seratus kali, takbir seratus kali, kemudian hadhoroh fatihah sesuai yang ditentukan, istighfar seratus kali, sholawat syadziliyah seratus kali, tahlil seratus kali, doa dan dilanjutkan hizb bahar. Hal yang ringan itu sering kali terasa sangat berat jika hawa nafsu sudah beraksi dengan rasa malas, capek, ngantuk, bosan serta seribu alasan lain untuk tidak mengamalkannya. Tentu saja dalam hal ini memang perlu terus latihan dan terus perbaikan. Di sinilah arti pentingnya jama'ah, sehingga ada yang menyemangati dan
saling berbagi dan bisa saling belajar dari yang lain. Karena itu kesempatan untuk khususiyah atau pun pengajian sangat penting sekali artinya, disamping menjalin komunikasi antar jama'ah.
 
Alhamdulillah walaupun diriku merupakan tipe minimalis dalam ibadah tetapi barokah dan manfaat dari thoriqoh Syadziliyah yang kulakoni senantiasa dapat kurasakan. Tentu saja hal ini sama sekali tidak bisa terlepas dari barakah doa seorang mursyid yang kamil dan mukammil yang selalu membimbing secara ruhani, karena bila seorang mursyid tidak dalam kualifikasi kamil mukammil, tentu saja hal tersebut tidak mungkin terjadi. Bahkan barakah dan manfaat itu tidak saja untuk diriku sendiri tetapi alhamdulillah juga terpancar dan dapat dirasakan untuk keluarga dan teman/sahabat yang sering berhubungan denganku. Bagaimana pun situasi dan kondisi yang ada, insya Allah selamat. Mau kesasar seperti apa pun, rasanya ada yang menarik dan meletakkan kembali ke rel yang semestinya.
 
Memang untuk mendapat keridhoan Allah dan untuk mengenal Allah dengan sebenar-benarnya yang bukan hanya dalam tataran intelektual (ilmul yaqin) saja melainkan sampai 'ainul yaqin bahkan haqqul yaqin itu perlu perjuangan yang tiada pernah berhenti. Tetapi dengan mengamalkan thoriqoh yang bersumber dari mursyid yang kamil dan mukammil, insya Allah perjuangan itu akan tertata dengan baik, terarah dengan pasti dan terlindungi dari segala tipu daya yang menyertai perjuangan itu. Peliknya ilmu tasawuf jika dipelajari setelah mengamalkan amaliyah thoriqoh, insya Allah akan lebih mudah dipahami dan memang insya Allah nantinya akan mengerti dengan sendirinya. Pemahaman-pemahaman baru dengan sendirinya akan bermunculan, semakin lama semakin dalam dan begitu seterusnya.
 
Satu hal yang mendasar yang selalu diajarkan dan harus terus menerus dilatih adalah dzikir dalam hati : ALLAH... ALLAH..., karena memang sebenarnya hanya Allah yang ada, dariNya kita berasal dan kepadaNya kita akan kembali. ALLAH saja titik.
 
Kusadari bahwa diriku masih dalam taraf belajar dan berlatih apalagi masih minimal baik dalam kualitas maupun kuantitas ibadahku, walaupun demikian barakah dan manfaat dari ngelakoni thoriqoh Syadziliyah ini yang bisa kurasakan salah satunya adalah dorongan dari dalam hati untuk terus menerus memaknai kembali apa pun yang kualami dalam kehidupan sehari-hari. Pemaknaan yang berujung pada satu kesimpulan bahwa ternyata memang Allah selalu hadir dalam keseharian hidupku, hanya buramnya hatiku saja yang sering menyebabkan diriku belum bisa secara langsung merasakan kehadiranNya. Pemaknaan itu juga bisa berarti ngeh terhadap apa yang pernah kupelajari tetapi pada saat itu aku belum memahaminya, sering dalam hati berkata, "Oh... ternyata ini to yang dimaksud��. Pemaknaan itu berarti juga suatu koreksi terhadap kesadaran hatiku dalam menyikapi sesuatu, misalnya dulu sering heran pada diriku sendiri yang merasa masih minimalis dalam ibadah tetapi kok anugerah
Allah rasanya tidak sebanding dengan ibadahku, eh... ternyata sikap heranku itu sesuatu yang salah karena anugerah itu hak prerogratifnya Allah sama sekali tidak tergatung oleh amaliyahku dan juga kalau diriku masih heran itu salah satu tanda kalau aku masih bergantung dari amaliyahku sendiri dan seterusnya, panjang pembahasannya. Pemaknaan-pemaknaan itu beberapa di antaranya yang sering kutuliskan yang sebenarnya sebagai sarana berkaca diri menandai titik-titik yang sudah pernah kulalui, karena itu sering kubaca ulang tulisanku sebagai sarana refreshing mental agar tetap SEMANGAT, terus BERJUANG dan BERLATIH jadi orang baik.
 
Dari Laku dan Sikap Hati Murid Syadziliyah pondok PETA Tulungagung ternyata intinya diajarkan dan dilatih untuk selalu memiliki kepasrahan total kepada Allah dalam arti bahwa hati isinya hanyalah Allah dan selalu menjaga adab kepada Allah baik dalam ibadah vertikal maupun ibadah horisontal yaitu dengan selalu berhusnudzhon dan mencintai Allah dan Rasul-Nya yang merupakan masa depan kita sehingga tidak ada rasa takut, sedih dan khawatir karena dibalik segala sesuatu hanya Allah semata, juga tidak boleh ada penyesalan atas apa pun yang telah terjadi di masa lampau yang hanya akan membelenggu kerja keras ikhtiar kita dalam memenuhi tanggung jawab sosial kemasyarakatan kita.
 
Di pondok PETA ada satu tulisan yang ditempel di dinding : YEN KEPINGIN NOTO ATI, TOTONEN... SANDAL, BAQIYAK, SEPATUMU DISIK, IKI CONTONE. Kelihatannya sepele bahwa kita diajarkan untuk menata alas kaki kita secara rapi, tetapi hal tersebut sungguh dalam dan luas dalam aplikasinya. Bagaimana bisa menata hati yang dimensinya tidak kelihatan kalau menata hal-hal yang kasat mata di sekitar kita saja tidak bisa, mungkin itu salah satu maknanya. KERAPIAN dan KEBERSIHAN itu kata kuncinya, satu hal yang harus diperhatikan oleh seorang murid Syadziliyah, dimulai dari hal-hal yang sering dianggap sepele seperti kerapian rambut, pakaian, meja kerja, ruang kerja dan sebagainya.
 
Yang kutahu, kalau tidak salah Syaikh Abdul Jalil Mustaqim pernah dawuh, ��Simpanlah Allah-mu seperti menyimpan cacat-cacat dirimu��. Dawuh tersebut rasanya berkaitan erat dengan dawuh Beliau yang lain bahwa menjadi orang thoriqoh itu di rumah saja. Dalam pemahamanku, berarti murid Syadziliyah diajarkan untuk memposisikan amaliyah thoriqohnya sebagai ibadah vertikal yang sangat personal, sehingga dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hal tersebut sebisa mungkin tidak tampak, harus biasa-biasa saja sebagaimana orang-orang yang lain. Penampilan pun harus biasa-biasa saja sesuai profesi masing-masing yang penting rapi dan bersih, tidak berlebihan seperti misalnya selalu bersurban, menggenggam tasbih, berdahi hitam atau yang lainnya. Hal ini kulihat sendiri, salah satunya ketika ada acara mantenan adiknya syaikhina di Tulungagung, Syaikhina Sholahuddin memakai stelan jas warna keunguan, bersepatu vantaufel mengkilat, tampak sangat ganteng dan rapi, jauh
sekali dari sosok kiai-kiai atau bahkan wali sebagaimana yang divisualkan di sinetron yang terlalu mengada-ada. Thoriqoh Syadziliyah memang sangat personal, mungkin karena saking personalnya itulah sehingga banyak kyai-kyai besar yang tidak pernah membuka diri bahwa beliau-beliau itu murid Syadziliyah bahkan keluarga dan para santrinya tidak tahu. Di antara para kyai besar yang menjadi murid thoriqoh Syadzilyah adalah Hadratusy Syaikh Hasyim Asyari, Syaikh Wahab Hasbullah, Kyai Dzajuli Ploso, Kyai Zainudin Mojosari, Kyai Soleh Langitan, Kyai Ma'shum Lasem dan Syaikh Kholil Bangkalan.
 
Satu hal lagi yang kuanggap penting untuk diketahui, bahwa setelah menjadi murid Syadziliyah PETA Tulungagung seluruh amalan khusus di luar yang diberikan oleh Mursyid atau yang ditunjuk oleh Beliau harus dihentikan. Apalagi yang sebelumya punya ilmu kesaktian, ilmu hikmah atau pun yang lain harus dilepaskan karena tidak ada barokah manfaatnya dalam skala dunia akhirat. Thoriqoh Syadziliyah lebih agung dari itu semua. Apa sih yang bisa melebihi keridhoan Allah ?
Ya... mungkin itulah beberapa yang bisa kutulis sekedar untuk berbagai pengalaman.
 
 
 
 
Parabola Doa
 
Teringat aku akan kisah dari ibuku, bahwa para leluhurku kebanyakan adalah ahli tirakat dalam artian biasa dalam hal lelaku cegah dahar lawan guling (puasa dengan segala jenisnya dan memperbanyak tidak tidur), suatu displin spiritual dalam mengolah rasa dan menempa jiwa untuk memperoleh kasampurnan menjadi manusia utama yang mumpuni lahir batin sesuai dengan jamannya ketika itu, manusia utama yang memahami kesejatian dirinya dan kesejatian tuhannya.
 
Salah satunya adalah generasi ketiga di atasku yaitu eyang kakungku yang pada jamannya di daerahnya dikenal sebagai orang yang lurus sikap hidupnya, dukdeng / sakti mandraguna, mandi sabdanya / ampuh perkataannya, tempat berkeluh kesah masyarakat sekitarnya dengan berbagai persoalan hidupnya, sekaligus sebagai tempat berlindung para pejuang kemerdekaan di kala itu. Beliau adalah seorang mantri alas / mantri hutan yang bertugas menjaga hutan dari jarahan para blandong / pencuri kayu yang hanya memikirkan diri mereka sendiri tanpa berpikir tentang kelestarian hutan. Sebungkus uang yang nilainya ketika itu sangat banyak pun tidak bisa mengubah pendiriannya, bahkan dia yang berusaha menyuap diwejang semalam suntuk tanpa bisa bergerak sedikit pun bahkan menggigil takut karena merasa tulang belulangnya lepas dari tubuhnya. Bandingkan dengan masa kini dimana penjarahan kayu di hutan-hutan Indonesia sudah dalam taraf yang sangat mudharat, yang dilakukan dengan
peralatan yang lengakap, secara sistematis, terencana dan terorganisir bahkan meliputi aparat yang seharusnya berwenang memberantas praktek ilegal tersebut.
 
Satu hal yang pasti, dari berbagai ilmu jaya kawijayan / kesaktian yang tersimpan dalam dirinya, sudah dilepaskan beberapa tahun sebelum Beliau meninggal. Beliau mengatakan bahwa seluruh ilmu yang pernah dikuasainya sudah dilepaskan karena di antara anak keturunannya tidak ada yang kuat untuk meneruskannya, melakukan tirakat sebagaimana Beliau dulu bertirakat. Hanya satu ilmu yang tersisa yaitu ilmu keselamatan untuk anak cucu. Demikian juga dengan para leluhur yang sebelumnya, biasanya laku tirakatnya juga dimohonkan untuk keselamatan seluruh anak keturunannya, biarlah mereka yang hidup tirakat dan anak keturunannya yang memetik buahnya. Dari sinilah timbul satu hikmah yang bisa kupetik, yaitu bahwa kehidupanku saat ini tidak bisa lepas dari kehidupan para leluhurku di masa yang lampau dan kehidupan anak keturunanku kelak sampai akhir jaman juga tidak bisa lepas dari kehidupanku saat ini, dalam arti bahwa ada mata rantai yang menghubungkan antara satu
generasi ke generasi yang berikutnya yaitu yang utama adalah doa.
 
Dengan laku tirakat, para leluhur mengubah kejasmaniahan mereka menjadi energi ruhani yang dimuati oleh doa, doa keselamatan, yang kemudian energi ruhaniah ini dipancarkan pada frekuensi yang khas yang terus menerus menyebar ke semesta sebagaimana yang diniatkan. Maka, agar dapat terhubung dengan frekuensi yang khas tersebut dan agar daya tangkap sinyalnya bagus, ya syaratnya harus memasang antena parabola yang sesuai yaitu dengan mengirimkan doa kepada para leluhur tersebut sekaligus mengikuti tujuan dari laku tirakat yang mereka lakukan yaitu pengendalian diri, pengendalian nafsu untuk mengenal tuhan yang sejati. Bila frekuensi sudah sama maka dengan sendirinya energi ruhaniah di balik frekuensi yang terpancar tersebut akan mengalir dalam kehidupanku dan selanjutnya akan mewujud menjadi materi dalam keseharianku. Proses inilah yang harus aku teruskan juga untuk anak keturunanku, agar doaku juga bisa mencahayai mereka. Makanya kalau berdoa tidak lepas
juga mendoakan seluruh anak keturunanku sampai akhir jaman kelak sebagaimana yang diajarkan oleh Syekh Abdul Jalil Mustaqim semoga selalu diberikan oleh Allah : tetapnya iman, terangnya hati keselamatan hidup dunia akhirat, ampunan-Nya serta keridhoan-Nya dan smoga selalu dijadikan hamba Allah yang sholih-sholihah yang manfaat dunia-akhirat. Aamiin.
 
Tetapi.... ada tetapinya nih, sehebat apa pun tirakat dan doa yang dipancarkan oleh para leluhurku, tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan doa Rasulillah Muhammad yang sudah terpancar 15 abad yang lalu untuk kita umatnya bahkan untuk semesta. Sampai menjelang meninggalnya pun yang disebut-sebut dan yang diingat oleh Rasulullah adalah kita umatnya, bagaimana kita sepeninggal Beliau. Maka agar kita bisa terhubung dengan frekuensi doa Rasulillah Muhammad caranya adalah dengan mengikuti apa yang sudah diajarkan oleh Rasulullah sejak 15 abad yang lalu. Salah satunya adalah dengan bersholawat. Bersholawat berarti menunjukkan bahwa kita umat Muhammad dengan demikian bersholawat sama artinya kita memasang antena parabola yang bisa menangkap frekuensi doa Rasulullah yang nantinya pada hari kiamat akan berwujud sebagai syafaat.
 
Lebih khusus, lebih cepat dan lebih presisi lagi kalau antena parabola itu berbentuk dzikir, dzikir khusus yang mempunyai mata rantai pengajaran yang hakiki yang bersambung terus menerus dari Rasulillah Muhammad sampai dengan seorang mursyid yang kami dan mukammil di zaman ini. Dzikir itulah dzikir thoreqoh/tarekat yang akan membawa kita kepada inti dari ajaran Rasulullah yaitu Ihsan. Bukankah syafaat Rasulullah Muhammad juga akan lebih cepat sampai kepada kita melalui mata rantai silsilah thoriqoh/tarekat yang hakiki ?
 
Semoga bermanfaat.

Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
===================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
===================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
===================================================
MARKETPLACE

Attention, Yahoo! Groups users! Sign up now for a one-month free trial from Blockbuster. Limited time offer.
Recent Activity
Visit Your Group
Need traffic?

Drive customers

With search ads

on Yahoo!

Yahoo! Groups

Lawn & Garden

ideas and tips

for a green thumb.

Moderator Central

Get answers to

your questions about

running Y! Groups.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: