Sabtu, 10 Desember 2011

[daarut-tauhiid] Mengapa Tak Ada Teroris Kristen di Ambon, Meski Pakai Bom & Senjata Api?

 

Mengapa Tak Ada Teroris Kristen di Ambon, Meski Pakai Bom & Senjata Api? Sejak
pembantaian umat Islam sat Idul Fitri tahun 1999 sampai hari ini Ambon
dikenal sebagai daerah yang rawan konflik bernuansa SARA. Meski sebenarnya
konflik antar kampung yang bukan didasari karena SARA juga sering terjadi,
misalnya pertikaian antara kampung Kristen dengan kampung Kristen.
Peristiwa yang terbaru terjadi pada akhir November lalu yaitu perang antar
kampung di Saparua, antara desa Porto dan desa Haria, keduanya desa
Kristen. Berita yang berhasil dihimpun oleh voa-islam.com, dalam perang
antar desa tersebut masyarakat menggunakan bom dan senjata api, sehingga
beberapa korban menderita luka tembak. Keadaan di Saparua kini perlahan
mulai kondusif.

Perang antar kampung yang sering terjadi di Maluku biasanya dipicu oleh
masalah sengketa perbatasan wilayah tanah adat, masalah anak muda atau
masalah lainnya yang tidak ada kaitannya dengan SARA.

Konflik yang bernuansa SARA di Maluku memang masih rentan terjadi karena
luka kerusuhan lama belum sepenuhnya sembuh. Sehingga sejak
ditandatanganinya perjanjian Malino sudah berkali-kali terjadi konflik
antara komunitas Islam dan Kristen yang memakan korban jiwa.

Langkah pemerintah yang seenaknya menerapkan Undang-Undang No 15 tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme semakin memperkeruh suasana.
Karena penerapannya sangat diskriminatif.

Rasa keadilan semakin jauh dari kaum muslimin, ketika puluhan kaum muslimin
dijebloskan ke dalam penjara dengan jeratan Undang-Undang No 15 tahun 2003
ini. Sementara tidak ada satu orang Kristen pun yang disebut teroris meski
melakukan tindakan teror menggunakan bom dan senjata api.

Pada bulan Maret 2007 terjadi ledakan bom di pelabuhan Ambon jalan Yos
Sudarso dan ledakan bom di Mardika. Dalam penyidikan selanjutnya Detasemen
88 Polda Maluku menangkap dua orang yang diduga sebagai pelakunya, yaitu
Betus Saiya dan Simon Saiya, keduanya Kristen. Ketika sampai di persidangan
sebelum proses persidangan selesai sampai pada tuntutan kedua terdakwa
dibebaskan dengan alasan jaksa tidak mampu mendatangkan saksi dan bukti
yang cukup untuk menjerat terdakwa.

Kasus terbaru adalah insiden berdarah yang menewaskan tujuh aktivis Muslim,
hampir seratusan umat Islam dan membakar satu kampung rumah Islam pada 11
September 2011 lalu. Data resmi Rumah Sakit Al-Fatah Ambon, dalam insiden
tersebut para perusuh Kristen juga memakai bom dan senjata api.

Bandingkan dengan kasus yang melibatkan kaum muslimin berikut ini:

1. Kasus penyerangan kampung Kristen Waimkana Buru Selatan.

Insiden pada bulan April 2004 dalam suasana konflik ini terjadi setelah
upacara Hari Ulang Tahun RMS tanggal 25 April 2004 yang berujung bentrok
antara warga muslim dan Kristen. Dalam peristiwa tersebut kampung muslim
Waringin habis dibakar salibis, 28 warga muslim tewas dan ratusan orang
lainnya terluka parah.

Dilatarbelakangi peristiwa tersebut, beberapa pemuda Muslim melakukan
pembalasan dengan menyerang kampung Kristen Waimkana. Di kemudian hari para
terduga pelaku penyerangan desa Waimkana ditangkap oleh polisi dari
Detasemen 88 Polda Maluku. Para terduga pelaku dijerat dengan undang-undang
no 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Tiga orang
dari terduga pelaku divonis hukuman seumur hidup dan seorang lagi divonis
hukuman 18 tahun.

2. Pelemparan granat di desa Kristen Lateri pada tahun 2005 sebagai aksi
pembalasan terhadap penyerangan rombongan Jama'ah haji di desa Kristen
Hative kecil oleh oknum polisi Kristen bernama Otnil Layaba alias Otis.
Densus 88 Polda Maluku menangkap 2 orang pemuda yang diduga pelaku. Dalam
persidangan Jaksa Penuntut Umum tidak bisa mendatangkan alat bukti dan
saksi yang memberatkan. Bahkan saksi korban dan visumnya juga tidak bisa
dihadirkan oleh Jaksa. Tapi Jaksa penuntut Umum menuntut terdakwa
masing-masing dengan hukuman 15 tahun penjara dan hakim menjatuhkan Vonis
kepada 2 orang terduga pelaku dengan vonis 12 tahun penjara dan 10 tahun
penjara.

3. Peristiwa penyerangan karaoke villa pada bulan April 2005 sebagai
pembalasan terhadap penyerangan rombongan jamaah haji di desa Kristen
Hative Kecil oleh oknum polisi Kristen bernama Otnil Layaba alias Otis.
Penyerangan menggunakan speedboat yang berpenumpang sekitar 10 orang. Tapi
Detasemen 88 Polda Maluku menangkap 20 orang lebih yang diduga pelaku dan
yang dianggap terlibat peristiwa tersebut. Semua pelaku dijerat dengan
undang-undang No 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana
terorisme dan mereka divonis antara 7 tahun sampai hukuman seumur hidup.
Sedangkan Otnil Layaba yang menjadi sebab peristiwa tersebut divonis 4
tahun penjara dan dijerat dengan KUHP biasa dan setelah bebas kembali
berdinas sebagai Polisi di Polres Ambon.

4. Pada tahun 2007 Detasemen 88 Polda Maluku menangkap 3 orang di tempat
yang berbeda. Mereka dituduh melakukan aksi teror pada tahun 2005 berupa
penyerangan desa Loki dan penyerangan terhadap kapal cepat Lay-lay 7.
Ketiganya Divonis seumur hidup, 15 tahun penjara dan 5 tahun penjara. Dalam
persidangan terduga pelaku Abu Dzar jaksa penuntut Umum tidak bisa
menghadirkan saksi yang memberatkan. Bahkan para saksi yang juga diduga
sebagai pelaku pada peristiwa-peristiwa yang dituduhkan kepada Abu Dzar
seluruhnya mengaku tidak mengenal Abu Dzar. Tapi anehnya jaksa malah
menuntut Abu Dzar dengan hukuman penjara seumur hidup dan hakim pun
menjatuhkan hukuman sama dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Ketika yang menjadi tersangka teror adalah dari pihak Islam maka aparat
hukum dari polisi, jaksa dan hakim di Maluku begitu mudah membuktikan
tindakan teror yang dituduhkan kepada tersangka. Bahkan hukuman yang
dijatuhkan pun lebih berat dari kasus-kasus terorisme kelas berat yang
melibatkan orang sekaliber Nurdin M Top atau dr Azhari.

Namun sebaliknya jika pelaku teror dari pihak Kristen, maka aparat penegak
hukum dari polisi, jaksa dan hakim di Ambon selalu kesulitan membuktikan
tindak teror yang dituduhkan. Bahkan tidak jarang kasus tersebut menguap
seperti kasus pelemparan granat di masjid Al-Fatah Ambon pada tahun 2007.
Atau pelakunya dibebaskan dengan alasan tidak cukup saksi dan bukti seperti
peledakan bom di pelabuhan Ambon dan bom di Mardika.

Atas dasar Apakah Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, sekitar 30 orang aktivis muslimin Ambon yang
divonis penjara, namun tidak ada satupun orang Kristen yang dikenakan
dengan Undang-undang tersebut. Apakah Undang-undang Nomor 15 tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah alat untuk memukul
kaum muslimin? [af/voa-islam.com]

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: