-------- Isi Pesan Asli --------
Dari: MR IMANUDIN <imanudin@yahoo.
Untuk: rhiza@unhas.
Judul: Re: [Itb75] Ada apa di balik Agenda minggu depan?
Tanggal: Mon, 16 Jun 2008 21:43:40 -0700 (PDT)
Ada hal yang bisa direnungkan.
PLURALISME, KEBEBASAN DAN PAHAM-PAHAM PARADOKS
Kalau kita mengamati sebuah karya seni lukis, bunga
misalnya, maka untuk menikmatinya harus dilihat dari
jarak yang tidak terlalu dekat sehingga detailnya
terabaikan. Kalau terlalu dekat maka tidak menarik
karena detailnya nampak jelas tidak ada. Untuk
menghargai karya seni ini tidak diperlukan intelektual
yang tinggi. Berbeda dengan bunga aslinya, semakin
detail semakin menarik. Dari mulai bentuk makronya,
kelopak bunga, benang sari, serbuk sari; kemudian
detailnya sampai ke tingkat jaringan, sel,
mitochondria, chromosom, gen, ribonucleic Acid, DNA,
protein, proses metabolisme dan seterusnya; semuanya
memerlukan intelektualitas yang tinggi untuk bisa
menghargainya. Seorang botanist akan mengalami
kesulitan untuk menerangkan bagaimana nutrisi/makanan
bisa sampai ke kepala putik pada lukisan bunga, karena
si pelukis tidak akan menggambarkan secara details
bagian-bagian mikroskopis dari bunga. Itulah
perbedaaan antara karya seni dan the real thing.
Hal seperti contoh bunga di atas berlaku untuk segala
aspek seperti prinsip hidup atau isme. Suatu isme bisa
berupa gagasan bisa juga hasil pengamatan yang
diformulasikan. Suatu isme yang masih berupa gagasan,
bisa terdengar indah, jika tidak ditest, atau tidak
diuji secara intelek. Pada tulisan berikut ini kita
akan membahas secara cerdas paham-paham yang sedang
populer di media massa, yaitu yang berkaitan dengan
kebebasan.
Berapa banyak orang yang mempunyai kecerdasan untuk
menyadari bahwa paham kebebasan adalah paham paradoks?
Perkiraan saya, tidak banyak. Paling tidak, opini yang
berhasil keluar ke media massa mencerminkan demikian.
Pada jaman modern ini, ujung tombak penganut
prinsip-prinsip yang bersifat paradoks biasanya
mempunyai latar belakang pendidikan ilmu politik,
sosial dan seni. Mereka ini adalah ampas yang tidak
lolos dari saringan masuk untuk jurusan kedokteran
atau teknik. Siswa yang pandai akan masuk ke jurusan
kedokteran dan teknik. Dan oxymoron, biasanya masuk ke
jurusan ilmu politik, sosial dan seni serta menjadi
pendukung paham kebebasan, women liberation, feminist,
pluralisme dan sejenisnya yang penuh dengan
prinsip-prinsip paradoks.
Kata oxymoron saya gunakan dalam artikel ini untuk
melengkapi pembahasan mengenai paradoks karena
oxymoron adalah paradoks. Oxymoron berasal dari kata
Yunani oxy = tajam, cerdas dan moron = tumpul, bebal.
Cerdas-bebal, tajam-tumpul, bukan kah itu paradoks.
Kata ini menggambarkan orang yang pandai berbicara
tetapi bebal. Mungkin lebih tepat kalau disebut
pseudooxy-moron. Tampak cerdas tapi bloon. Kita
gunakan oxymoron saja yang lebih umum untuk
menggantikan kata yang benar - pseudooxy-moron.
Saya yakin banyak diantara pembaca bukan terlahir
untuk menjadi oxymoron, tetapi karena pendidikan dan
lingkungan, maka anda menjadi oxymoron. Kalau anda
paham mengenai isi tulisan ini, berarti anda telah
meningkatkan intelektual anda dan tidak berhak
memperoleh gelar oxymoron lagi. Bahkan bisa
menggunakan kalimat: "prinsip anda mengandung
paradoks" sebagai ungkapan yang halus sarkastik untuk
menghina dan mengatakan bahwa "tingkat intelektual
anda sangat rendah". Selamat menikmati, semoga
nantinya anda lebih pandai.
Paradoks Orang Kreta dan Pyrrhonisme
Dengan ilmu logika banyak prinsip yang bisa
diidentifikasi sabagai paradoks atau self defeating
principles. Paradoks ini banyak ditemui dalam
kehidupan kita sehari-hari dipakai oleh orang yang
katanya terpelajar. Kita akan bahas hal ini. Tetapi
untuk membiasakan diri dengan ilmu logika dan sebelum
masuk ke menu utama, saya akan perkenalkan dengan dua
paradoks klasik yaitu Paradoks Orang Kreta dan
Pyrrhonisme, sebagai menu pembuka.
Diceritakan ada seorang Crete (pulau Kreta) bernama
Epimenides berkata: "Orang Crete selalu pembohong".
Ucapan ini adalah suatu kontradiksi yang akhirnya
membatalkan nilai kebenaran pernyataan itu. Kalau
Epimenides benar, maka dia bohong (berkata tidak
benar). Oleh sebab itu pernyataannya tidak pernah
benar dan tidak pernah mempunyai nilai kebenaran.
Ada lagi Pyrrhonisme. Pyrrhonisme adalah aliran
skeptis yang beragukan semua hal. "Di dunia ini tidak
ada yang pasti". Tentunya anda pernah mendengar
seseorang mengucapkan kalimat ini. Bahkan juga anda
sendiri. Untuk membuktikan bahwa pernyataan ini sebuah
paradoks, ajukan pertanyaan ini: "Apa kamu yakin?".
Lucu bukan, kalau ada pernyataan: "Saya yakin bahwa di
dunia ini tidak ada yang pasti". Perhatikan paradoks
yang ada pada kata yang ditebalkan. Seseorang yang
menjadikan keraguan pada semua hal di dalam hidup ini
sebagai prinsip hidupnya, maka ia juga meragukan
keraguannya sendiri.
Prinsip atau dalil semacam ini disebut paradoks atau
self defeating principle. Dan menurut ilmu logika,
prinsip seperti ini tidak punya nilai kebenaran. Dan
prinsip seperti ini mempunyai konflik internal.
Maksudnya, kalau kita menganut prinsip tersebut maka
kita juga menganut paham penghapusan prinsip tersebut.
Sejak lama banyak artikel-artikel di koran, atau
komentar di TV yang menggunakan prinsip yang
mengandung paradoks di dalam opini nara sumbernya.
Untuk membiasakan penggunaan logika, yang saya percaya
bahwa pembaca jarang menggunakannya, kita akan bahas
beberapa prinsip seperti ini sebelum menginjak pada
topik kebebasan seperti judul artikel ini.
Paradoks "Tidak ada yang tahu kebenaran hakiki,
kecuali Tuhan"
Tentu anda sering mendengar ucapan: "Tidak ada yang
tahu kebenaran hakiki, kecuali Tuhan". Ada beberapa
varian dari dalil paradoks ini, tetapi intinya sama,
misalnya: "Di dunia ini tidak ada yang absolut,
semuanya relatif." Dalil ini sering dimunculkan dalam
perdebatan tafsir firman Tuhan. Karena namanya tafsir,
opini pribadi, maka satu dengan yang lain bisa
berbeda. Pihak yang salah (ngawur tafsirnya) bukannya
mencari kebenaran, tetapi mencari dan meminta kompromi
dengan melontarkan dalil ini.
Prinsip ini masuk dalam kategori paradoks. Kita bisa
uji dengan menanyakan: "Apa benar bahwa hanya Tuhan
yang tahu kebenaran yang hakiki?".
Kalau jawabnya "ya" berarti orang tersebut tahu hakiki
kebenaran prinsip di atas atau dia adalah Tuhan. Jadi
jawab pertanyaan di atas harus "tidak". Artinya bahwa
prinsip itu salah. Dan "bukan hanya Tuhan yang tahu
hakiki kebenaran, tetapi juga manusia".
Paradoks "Agree to disagree"
Prinsip paradoks yang populer akhir-akhir ini: "Agree
to disagree". Prinsip ini juga digunakan pihak yang
salah untuk mencari kompromi, bukan mencari kebenaran.
Saya sempat mendengar ucapan Adnan Buyung Nasution di
Metro TV beberapa waktu dalam rangka wawancara membela
Ahmadiyah dua tahun lalu. Pewawancaranya, penyiar TV
cantik Sandrina Malakiano. Pada akhir acara, bang
Buyung menganjurkan (kepada kelompok yang
berseberangan dengan Ahmadiyah) untuk "agree to
disagree". Dan Sandrina mendukungnya.
Prinsip ini juga sifatnya paradoks. Kalau waktu itu
mbak Sandrina menanyakan pada bang Buyung: "Anda dan
Ahmadiyah seharusnya agree dong dengan disagreement
MUI, FPI dan kelompok yang berseberangan dengan
Ahmadiyah lainnya. Jangan mereka yang harus mengikuti
anda dan Ahmadiyah"; kalau bang Buyung dan Ahmadiyah
mengikuti "agree to MUI disagreement" maka MUI dan
kelompok yang berseberangan dengan Ahmadiyah tidak
perlu bergeming dari posisi mereka. Bingung ya?
Problemnya Ahmadiyah dan bang Buyung tidak mau agree
dengan disagreement dari MUI dan FPI.
Paradoks "Dilarang melarang" - berilah orang lain
kebebasan
Dalil "jangan melarang" sering digunakan untuk membuka
jalan untuk perbuatan yang tidak disukai oleh kelompok
yang berseberangan. Dalihnya adalah kebebasan,
liberalisme. Pada dasarnya prinsip ini juga paradoks.
Kata JANGAN dan TIDAK BOLEH adalah kata melarang. Jadi
kalau anda tanyakan:"Apakah anda tadi melarang?".
Atau: "Lho kok anda melarang saya untuk melarang". Nah
dia akan bingung. "Jangan melarang" adalah larangan
juga. Bingung 'kan? Memang self defeating principles
membuat penggunanya bingung seperti orang tersesat.
Paradoks Pluralisme
Paradoks Pluralisme mengatakan bahwa "Semua
agama/aliran pada hakekatnya sama". Ini prinsip yang
sering ditonjolkan JIL (Jemaah Islam Liberal), AKKBB
(Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan) bersama penganut pluralisme lainnya. Ada
satu hal yang mereka lupa, yaitu: aliran yang memusuhi
dan mau membasmi mereka, seperti FPI (Front Pembela
Islam) juga seharusnya diperlakukan sama dan merupakan
bagian masyarakat pluralis.
Aliran pluralisme sebenarnya menghendaki tatanan
masyarakat yang tidak plural. Saya akan tunjukkan
dengan pertanyaan ini. Mana bisa disebut (lebih)
plural, lebih banyak keaneka-ragamnya?
1. masyarakat yang hanya mengakomodasi aliran
pluralisme.
2. masyarakat yang mengakomodasi aliral pluralisme,
aliran pembasmi pluralisme, aliran membenci
pluralisme, aliran yang bertentangan dengan
pluralisme.
Kalau anda cukup waras, maka jawabannya adalah
masyarakat yang terakhir. Apakah yang mengaku aliran
pluralisme sesungguhnya menganut paham ini? Kalau
benar maka mereka akan hancur karena mereka
mengakomodasi lawannya yang boleh jadi termasuk yang
brutal dan kejam. Oleh sebab itu paham pluralisme
disebut paham paradoks.
Paradoks Kebebasan
Setelah pembaca terbiasa dengan sebagian ilmu logika,
terutama paradoks, kita akan masuk ke menu utamanya.
Sengaja saya sajikan menu pembuka karena perdebatan
dengan logika biasanya pendek saja. Satu-dua kalimat
cukup. Itu yang disebut perdebatan yang elegant, yang
tidak perlu argumen berlembar-lembar untuk membuat
orang mengerti.
Adakah kebebasan itu? Suatu pertanyaan valid bagi
mereka yang mencari prinsip kebebasan. Secara logika,
jawabnya ialah: "Tidak ada". Kebebasan itu adalah
gagasan yang pada hakikinya tidak ada. Buktinya:
Mari kita berasumsi bahwa perinsip berikut ini bisa
dijadikan sebagai prinsip dalam kehidupan: "Manusia
mempunyai kebebasan untuk berbuat menurut
kehendaknya"
Konsekwensi logisnya ialah: "Siapa saja bebas
menghapuskan prinsip kebebasan tersebut".
Lihat, hanya perlu 1 kalimat untuk membuktikan point
utamanya bahwa kebebasan tidak ada dan paham kebebasan
adalah paradoks. Sangat elegan. Habis sudah
pembicaraan kita.
Untuk memperpanjang cerita ini, saya mau mengakomodasi
hal-hal sampingan yang non-issue, supaya pembaca tidak
kecewa. Yang non-issue adalah saya harus menyediakan
isme alternatif. Secara alamiah, pilihan itu sudah
ada, yaitu paham keterbatasan, "siapa saja di dalam
masyarakat harus dibatasi prilakunya". Apakah ruang
geraknya cukup luas atau sempit, itu urusan lain.
Pertanyaan berikutnya ialah: siapa yang berhak
menentukan batas-batas, apa yang boleh dan yang tidak
boleh? Pemerintah? Saya? Anda?
Kalau orang Betawi akan menjawab: "Emang lu siapa? Sok
tahu dan sok ngatur-ngatur"
alamiah manusia enggan tunduk kepada entity yang
derajadnya sama; sama-sama manusia. Pemerintah tidak
lebih pandai dan lebih tahu dari kita, karena elemen
mereka juga sama seperti kita, yaitu manusia. Alam
mengarahkan kita hanya ke satu pilihan, yaitu kepada
sang Pemaksa. Prima kausa (sang Pencipta, the ultimate
creator), juga sang Pemaksa mempunyai aturan untuk
membatasi ruang gerak manusia. Setiap perbuatan, ada
akibatnya. Ada hukuman bagi yang melanggar dan ada
imbalan bagi yang tetap pada koridor moral dan prilaku
yang ditetapkan oleh alam (baca: Tuhan). Ini adalah
premis, asumsi dasar, yang mau-tidak mau harus
digunakan oleh manusia dan masyarakat.
Pelanggaran atau invasi, agresi, bisa dari individu ke
individu lain, individu ke masyarakat, masyarakat ke
individu. Jenisnya bisa agresi/invasi fisik dan
agresi/invasi non fisik. Kelompok Ahmadiah telah
melakukan agresi non-fisik kepada kelompok Islam
tradisionil dengan mengaku bagian dari Islam dan
mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Jadi jangan
salahkan kalau ada kelompok Islam tradisionil
membalasnya secara fisik. Dewi Persik menggunakan baju
dengan dada tersembul menantang (agresi non fisik) di
tempat publik, jangan salahkan kalau ada yang
terangsang dan mencoleknya.
Porno-aksi bukan freedom of expression yang tanpa
konsekwensi. Mungkin kata yang lebih tepat adalah:
freedom of expression sesungguhnya tidak bebas
menerima konsekwensinya. Saya pernah melihat seekor
kuda betina yang sedang birahi. Tidak jauh dari situ
ada kuda jantan yang di kandangkan. Kuda jantan
tersebut mengamuk, menendang-nendang kandangnya,
sampai dia dilepaskan. Ketika dilepaskan dia langsung
nyosor ke betina yang sedang birahi itu. Tahukah anda
bagaimana melewati anjing penjaga jantan yang galak
sekali? Dengan kain yang dibasahi oleh kencing anjing
betina yang sedang birahi. Lemparkan saja kain itu.
Anjing jantan itu akan sibuk dengan kain basah itu
sementara anda bisa melewatinya dengan aman. Inti
cerita; seksualitas adalah hal yang secara naluri
sulit dikontrol ketika rangsangan sudah timbul. Bagi
manusia, rangsangan itu bukan bermula dari bau saja
tetapi jaga pandangan (juga pendengaran) dan
khayalannya. Haruskah kita salahkan orang yang
melakukan agresi fisik (dengan mencolek) Dewi Persik
karena terangsang oleh cara berpakaian Dewi Persik?
Mana yang sebab dan mana yang konsekwensi?
Kebebasan berbicara, freedom of speech, termasuk
mempromosikan kebohongan. Orang yang tidak bersalah
bisa dihukum mati karena kesaksian palsu. Banyak orang
yang mati karena kebohongan George Bush dan Tony
B-lair mengenai senjata pemusnah massanya Saddam
Hussein. Bagaimana speech yang berisi kebencian dan
agitasi untuk menghancurkan penganut aliran freedon of
speech itu sendiri. Self defeating principle bukan?
Itukah jalan yang benar?
Banyak slogan kebebasan-kebebasan lainnya, kebebasan
beragama, kebebasan berusaha, kebebasan berbicara dan
lain lain. Manusia tidak mungkin bebas bertindak.
Secara fisik manusia tidak bisa melompat sampai ke
bulan, bukan? Andaikata yang dimaksud adalah kebebasan
sebatas (hmm... paradoks) kemampuan fisiknyapun tidak
bisa lepas dari konsekwensinya. Itulah alam. Jangan
lupa, karya seni tidak seindah barang aslinya - the
real thing. Para oxymoron tidak akan bisa
memperdayakan anda jika anda cukup jeli waras dan
berakal.
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
===================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
===================================================
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar