Minggu, 26 Juli 2009

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2739

Messages In This Digest (11 Messages)

Messages

1.

[catatan kaki] ada yang tau kenapa ?

Posted by: "lygianostalina" lygianostalina@yahoo.com   lygianostalina

Sat Jul 25, 2009 3:00 pm (PDT)



semula, alamat email yang saya pakai di milis eSKa adalah tazpooh_cute@yahoo.com, namun kemudian kemarin sesudah milad, saya ganti alamat emailnya menjadi lygianostalina@yahoo.com

tapi aneh bin ajaib, alamat email memang berganti. milis pun hanya bisa dibuka melalui alamat email baru, hanya yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa semua postingan para sahabat eska terkirimnya ke email lama tazpooh_cute ? hehehehe..padahal di edit membership sudah saya ganti semua data, tanpa terkecuali. nah lho..ada yang tahu kenapa ? syukur2 ada yang bisa bantu ?

jadi selama ini, kalau saya mau liat kiriman email dari milis, saya mesti buka email tazpooh. tapi kalau mau posting atau komen atau buka yahoogroupnya, mesti lewat ID lygianostalina.

hatur nuhuuun,,

Lygia Nostalina, S.H
tabloid Alhikmah
www.alhikmahonline.com
http://pecintahujan.multiply.com
lygianostalina@yahoo.com ( fb & ym )

2a.

Re: [Milad SK ke-3] Cerita di balik kehadiranku...

Posted by: "lygianostalina" lygianostalina@yahoo.com   lygianostalina

Sat Jul 25, 2009 3:01 pm (PDT)



amiiin...

salam cinta,

Gia

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "hariyanty thahir" <anty_th@...> wrote:
>
> Sederhana namun indah ^_^
>
> Diriku suka sekali dengan kalimat
> "Allah mengetahui apa yang baik buatmu walau tak sesuai dengan keinginanmu"
> (sok kasi nasehat mode on ... hehehe)
>
> Smoga Allah segera menunjukkan maksud di balik kegagalan itu ya mas
> ^_^
>
> Salam
> anty
>

3a.

Re: Haloo semua....lam kenal

Posted by: "lygianostalina" lygianostalina@yahoo.com   lygianostalina

Sat Jul 25, 2009 3:01 pm (PDT)



waalaikumussalam wr wb

halow mukti ...selamat datang di SK ( waduh..jadi penerima tamu gini ya..tuan rumahnya mana ? hehehehehe )

akhirnya nambah lagi eSKaers bandung...

salam ,

Lygia Nostalina, S.H
Tabloid Alhikmah
www.alhikmahonline.com
http://pecintahujan.multiply.com
lygianostalina@yahoo.com ( fb & ym )

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "mm_hamb" <mm_hamb@...> wrote:
>
> Assalamu'alaikum
>
> Perkenalkan sy Mukti Hambali, 30 th tinggal di Bandung. bingung mau nulis apa lagi ya????...
>

4.

AYAHKU SUPER HERO

Posted by: "uncle vant" vant4249@gmail.com

Sat Jul 25, 2009 3:04 pm (PDT)




Ayahku adalah super hero bagiku. Aku sangat bangga padanya. Ia adalah
sosok ideal seorang laki-laki perkasa. Badannya tinggi besar, berotot
seperti Steven Seagal aktor Hollywood itu. Dada bidang penuh bulu. Suara
bariton berwibawa mirip Sukarno. Ia pun profil ayah dan suami idaman.
Tegas, perhatian, penuh cinta, baik, penyayang. Meski sedikit pendiam.

Tidak karena itu saja aku menganggapnya super hero. Tapi juga karena
pekerjaannya. Ia adalah seorang anggota pemadam kebakaran.
Sejak kecil aku sering diajak ke tempatnya bekerja. Maksudnya, ke tempat
pangkalan mobil pemadam kebakaran. Bukan ke lokasi kejadian kebakaran.
Di sana dengan semangat empat lima aku naik ke mobil itu. Tangan
mungilku berpegangan pada besi di mobil berwarna merah pekat itu sambil
membayangkan menjadi ayahku. Menjadi seorang super hero. Begitulah
kegiatanku ketika diajak ke tempat kerjanya.

Aku tidak pernah diajaknya ke tempat kejadian kebakaran. Tapi aku pernah
sekali melihatnya bertugas memadamkan api. Hal itu terjadi tidak dengan
sengaja. Itulah kali pertama sekaligus terakhir aku melihatnya bertugas.

Kejadian itu terjadi ketika usia sekolah, tepatnya ketika SMU. Waktu
itu, waktu bubaran sekolah, ketika hendak pulang ke rumah, aku melihat
kepulan asap hitam membubung ke jejaring terik langit siang. Aku bersama
beberapa rekanku bergegas ke sana. Ke lokasi kebakaran yang berjarak
hanya sekitar 500 meter dari sekolahku. Aku terkesima. Aku terpana. Aku
melihat api berkobar buas di rumah bertingkat tiga milik Juragan Hasan.
Dan merembet ke sebuah warung milik Pak Asnawi.

Ketika aku sampai, masyarakat sedang berusaha memadamkan api memakai
alat sederhana. Seadanya. Sepuluh menit kemudian, ayahku datang dengan
beberapa unit mobil pemadam kebakaran. Ia bersama rekannya langsung
bekerja. Menyiapkan beberapa peralatan. Hilir mudik di sekitar mobil.
Hingga mengulur selang mendekati wisma pemilik puluhan rumah sarang
burung walet itu. Mereka pun berjuang keras. Dengan memakai helm dan
jaket anti apinya mereka bekerja sigap. Menyemprotkan air untuk
memadamkan api yang sedang murka itu.

Aku terdiam. Aku terharu. Dari kejauhan aku memandang kagum pada mereka,
pada ayahku. Hari itu aku menyaksikan secara langsung ayahku yang
bekerja bak pahlawan itu. Ia benar-benar super hero.

Ketika sedang berusaha keras memadamkan api itu kami dikejutkan dengan
teriakan dari balkon kamar atas lantai tiga. Seorang gadis anak Juragan
Hasan yang masih teman sekolahku, bahkan idola pada jejaka bau kencur
SMU-ku muncul menggapai-gapaikan tangan kepada kami di bawah. Tangan
satunya menutupi hidung dengan kain.

Melihat itu isteri Juragan Hasan yang berhasil menyelamatkan diri,
histeris. Sangkanya Callista, begitulah nama gadis itu, tidak ada di
rumah. Ia tidak tahu bahwa anaknya telah pulang sekolah. Callista pun
langsung tidur di kamarnya. Dan kemudian begitulah kejadiannya.
Perempuan cantik itu kini terjebak. Ia tidak dapat menyelamatkan diri
dari kobaran api yang mengepung, mengurung.

Isteri Juragan Hasan kembali berteriak-teriak. Ia bahkan mendekati
rumahnya yang sedang terbakar itu. Ia hendak menolong puterinya. Tapi
dicegah oleh beberapa tetangga. Mereka memeganginya hingga perempuan
yang telah udzur itu pingsan.

Di saat seperti itu ayahku menjadi superman, super hero. Dengan sangat
berani ia memasuki rumah yang sedang berkobar dicumbui api dengan kasar.
Tak dipedulikannya jilatan api binal yang dapat mematangkan daging
binaraganya dalam sekejap. Ia terus berjuang. Masuk ke dalam rumah. Naik
ke lantai tiga. Dan masuk ke dalam kamar gadis idaman banyak lelaki itu.

Tak dinyana ayahku berhasil menyelamatkan Callista yang telah pingsan
karena terlalu banyak mengisap asap pekat. Ayahku sigap melewati plafon
terbakar yang berjatuhan. Ia berhasil menghindari ledakan gas yang
menggelegar. Callista selamat. Ia hanya menderita luka kecil. Meski
begitu ia tetap dilarikan ke rumah sakit karena asap beracun memenuhi
paru-parunya.

Ayahku? Ia memang super hero. Ia tetap tegar. Ia hanya memerlukan
beberapa menit untuk berisitirahat. Memulihkan kondisinya. Setelah itu
ia kembali bekerja. Memadamkan amuk acak api. Dan tidak berapa lama,
bersama timnya, ia dapat melokalisasi api hingga tidak dapat merembet ke
rumah lain di pemukiman padat penduduk itu. Bahkan satu jam kemudian api
itu telah musnah dalam tangan super hero-ku.

Sejak kejadian itu Juragan Hasan menjadi sahabat baik keluarga kami.
Malah ia mengundang kami sekeluarga ke rumah mewah miliknya di kampung
sebelah. Hal itu merupakan ungkapan rasa terima kasih karena anak mereka
terselamatkan.

Tidak berlebihan memang hal itu dilakukan oleh Juragan Hasan. Ayahku
memang super hero. Ia telah menyelamatkan anak yang hampir 20 tahun
diimpikan oleh keluarga itu. Bahkan saking inginnya mempunyai keturunan
Juragan Hasan pun melakukan poligami. Ia menikah kembali dengan seorang
gadis berusia 19 ketika usianya menyentuh angka 50. Tapi tetap mereka
tidak dikaruniai anak. Hingga datanglah gelegar keajaiban. Isteri
pertamanya, meski usianya telah meniti tangga 41 tahun, mengandung.
Ranjang kehidupan dalam perutnya mulai menimang janin.

Beberapa bulan kemudian orok itu pun lahir. Dialah Callista, anak
satu-satunya keluarga itu. Hari bahagia itu, hari lahirnya Callista
tidak mereka lewatkan. Katanya, kata orang-orang, sehari setelah
kelahiran Callista, Juragan Hasan yang terkenal pelit itu mengadakan
pesta dengan mengundang seluruh penduduk kampung hingga tiga hari tiga
malam.

"Kami mengucapkan terima kasih karena Bapak telah menyelamatkan permata
hati kami satu-satunya," ucap tuan rumah ketika kami diundang ke
rumahnya. Kami duduk di ruang tamu yang luas nan mewah itu. Ayahku duduk
sendirian di hadapan Juragan Hasan dan isteri keduanya. Sedang aku duduk
di samping ibuku dan berhadapan langsung dengan isteri pertama Juragan
Hasan dan Callista yang lengannya masih diperban. Aku mengutil secuil
upil pandang padanya. Ia menunduk malu.

"Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih. Kalau tidak ada Bapak, entah
apa yang akan terjadi dengan anak kami," lanjut Juragan Hasan.
Begitulah ucapannya ketika sedang bersuka. Kata-kata manis mengalir dari
mulutnya. Tapi ayahku dengan bijak mengatakan bahwa itu adalah tugasnya.
Tidak perlu berterima kasih berlebihan. Tugasnya sama seperti seorang
guru yang melaksanakan pengajaran dan pendidikan dengan baik. Sama
dengan anggota TNI yang melaksanakan tugasnya di medan juang.

"Cuma ada beda sedikit dengan anggota TNI itu," kata ayahku tenang.

"Apa?" tanya Juragan Hasan.

"Bedanya kalau anggota TNI jika gugur di medan perang memiliki potensi
dimakamkan di taman makam pahlawan. Kalau saya tidak mungkin. Tidak
mungkin dimakamkan di sana kalau saya gugur ketika mengerjakan tugas."

Kami yang hadir tersenyum. Baru aku sadari ternyata ayahku yang pendiam
itu pikirannya jernih juga. Dan aku membenarkan ucapannya. Memang
seorang prajurit yang gugur ketika latihan pun bisa dimakamkan di taman
makam pahlawan. Beberapa kali aku melihat ada anggota TNI yang meninggal
ketika pesawatnya jatuh hanya karena cuaca buruk tapi bisa dimakamkan di
sana.

Pikiranku langsung berkelana liar ketika mereka asyik berbincang itu.
Pertanyaan kritis keluar dari benak kalbuku. Apakah seorang perawat yang
meninggal karena tenggelam di laut ketika akan melayani masyarakat di
pulau terpencil bisa dimakamkan di taman makam pahlawan? Bisakah seorang
guru yang meninggal ketika sedang mengajar karena sekolahnya rubuh
akibat gempa juga bisa dimakamkan di sana? Aku tidak yakin.

Ah, kalau teringat akan hal itu taman makam pahlawan itu akan berubah
menjadi kuburan anggota TNI dan Polri saja, pikirku. Ya, seperti itulah
yang terjadi.

Acara yang menyenangkan itu terus berlanjut. Setelah beramah tamah, kami
diajak ke ruang makan. Opor ayam, kambing guling, dan beberapa jenis
makanan lain yang aku tidak tahu namanya terhidang di meja makan. Buah
apel dan anggur segar tidak lupa telah menunggu kami. Aku termangu
melihat makanan sebanyak itu.
Kami langsung dipersilahkan menyantap makanan yang telah membuat
usus-usus menggeliat. Aku melirik-lirik kecil kepada Callista yang duduk
di hadapanku. Ia makan dengan tenang.

Beberapa saat kemudian, hape jadul ayahku berdering. Ia minta maaf
dengan sopan kepada tuan rumah lantas menerima telepon itu.

"Maaf, tampaknya saya tidak bisa melanjutkan acara ini. Ada rumah yang
terbakar di pemukiman padat penduduk. Saya harus menjalankan tugas,"
izinnya pada Juragan Hasan.

Pengusaha sarang burung walet itu memandang ayahku dengan perasaan kecewa.

"Kambing gulingnya?" tangannya menunjuk kambing guling itu.

"Bukan menampik rezeki, tapi saya harus menjalankan tugas. Anggaplah
isteri dan anak saya ini sebagai representasi diri saya. Satu suapan
bagi mereka, dua suapan bagi saya. Saya harus berangkat kerja. Permisi."

Juragan Hasan terdiam. Ia hanya bisa memandangi ayahku yang kukuh itu.

"Dan doakan jika kami gugur ketika menjalankan tugas, memadamkan api
itu, mudah-mudahan dapat dimakamkan di taman makam pahlawan," gurau
ayahku sambil tersenyum.

Ia pun berangkat dengan sepeda motor bututnya.

"Pribadi yang luar biasa. Profesional, bersahaja, tidak kenal takut,
cerdas juga," puji Callista.

Setelah perjamuan itu keluarga kami makin dekat. Malah selepas SMU aku
dikuliahkan oleh Juragan Hasan. Bersamaan dengan Callista di sebuah
institut negeri di Bogor. Masyarakat menganggap hal ini adalah
keajaiban. Ayahku kembali menjadi super hero. Ia telah mengubah sifat
jelek keluarga itu. Sejak awal Juragan Hasan memang dikenal sebagai
pribadi pelit. Sangat tidak empatik terhadap tetangga. Malah beberapa
temanku sering diusir ketika mengunjungi anak gadisnya itu. Juragan
Hasan hanya ramah kepada Anton yang selalu bergonta ganti mobil ketika
datang berkunjung. Hari ini ia memakai Roll Royce, esoknya Ferari,
esoknya lagi BMW, esok esoknya lagi Cheeroke.

Juragan Hasan tidak pernah peduli dengan perangai buruk anak petinggi
kejaksaan itu. Malah ia juga tidak peduli anak gadisnya tidak suka
dengan Anton.
Itu dulu. Kini kalau kami berkunjung, akan dijamu dengan hidangan
keramahan yang tidak dapat dilukiskan oleh jutaan kata. Membuat kami
betah berlama-lama di sana. Bisa disebut kebakaran yang menghanguskan
asetnya senilai hampir satu milyar itu telah meluluhkan hati keras
mereka. Juragan Hasan pun sangat terkesan dengan pribadi ayahku. Ia
pernah berkunjung ke rumah sederhana kami. Ketika itu ia terpana
menyaksikan gubuk yang hanya mempunyai dua kamar tidur sempit, dapur,
ruang tamu dan kamar mandi kecil. Barang berharga milik kami adalah satu
unit komputer lawas yang membutuhkan waktu lama untuk start up,
berrak-rak buku yang membuat sempit ruang tamu, sepeda motor butut yang
tidak diminati maling, dan sebuah mesin jahit mainan ibuku untuk mencari
tambahan uang dapur. Itu saja. Tidak lebih. Televisi? Kami tidak punya.
Mobil? Apalagi.

Rumah kami bahkan lebih sederhana dibandingkan rumah waletnya yang
bertembok beton dan menghabiskan budget ratusan juta rupiah dalam
pembangunannya.
Kehidupan kami telah mengubah total pandangan hidup Juragan Hasan.
Kesederhanaan kami menjadi super hero bagi tabiat buruknya. Hal itu
telah mengalahkan sifat yang telah melekat hingga berkarat dalam benak
keluarga itu. Kini Juragan Hasan telah berubah. Ia menjadi sangat ramah,
baik, dermawan dan menjadi donatur tetap sebuah panti sosial.

Dan dengan perubahan itu persaingan mendekati Callista makin sengit dan
sangat masuk akal. Dulu hanya jejaka yang membawa kendaraan roda empat
saja yang dapat melenggang ke rumah itu. Kini siapapun tidak hanya dapat
berharap dan menatap saja. Tidak hanya berkulum lamun saja. Kini kami
diterima dengan tangan terbuka!

Begitulah, bujangan-bujangan kesepian seantero kota kami berjuang
mendekati Callista. Tidak! Tidak hanya perjaka saja. Duda kere pun
diterima oleh Juragan Hasan. Memang keluarga itu telah benar-benar
berubah 180 derajat. Tidak peduli siapapun orangnya, bagaimanapun
rupanya, apapun status sosialnya, akan diterima dengan baik. Asalkan
Callista menerimanya. Sekarang yang dipentingkan oleh Juragan Hasan
adalah kebahagiaan anak gadisnya.

Dan posisiku membuat iri kompetitor lain. Aku dapat leluasa keluar masuk
rumah itu. Aku telah sangat dekat dengan mereka. Aku satu-satunya anak
adam yang dapat mengantar jemput dari dan ke perkuliahan. Aku mendapat
banyak kesempatan untuk mendekati Callista. Untuk hal ini aku harus
mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada ayahku. Karena sekali lagi,
ia telah menjadi super hero. Ia telah menjadi pemulus jalan bagi hasrat
purbaku.

Akhirnya, siapakah yang mendapatkan anugerah itu? Siapakah yang dapat
menyunting gadis baik nan cantik itu? Ah, kalian tentu sudah dapat
menebaknya dari awal.

"Masih teringat dengan ibumu?" tanya Callista ketika aku memeluk sebuah
album suatu sore di kamar tamu rumahku.

Aku hanya bisa tersenyum sebagai jawabnya. Callista pun berlalu menuju
kamar mandi. Memang, aku masih teringat pada ibuku yang meninggal empat
bulan lalu. Bertepatan dengan acara wisuda kami. Ibuku yang sederhana
tapi perkasa itu tidak dapat melihat anak semata wayangnya meraih gelar
summa cum laude, memakai toga dan sekarang bekerja di perusahaan
multinasional. Tidak itu saja. Kini aku sedang melanjutkan S2 di kampus
terkenal di Depok. Perempuan luar biasa yang tidak dapat menuliskan
sendiri namanya itu telah meninggalkanku dalam curah hujan kebahagian.
Gebyur air rahmat kehidupan. Dan aku tidak akan pernah melupakannya.
Tidak akan pernah!

Callista kembali dari kamar mandi. Badannya ditutupi mantel sutra
berwarna biru muda. Rambutnya yang basah dibungkus handuk kecil.

"Jangan dipikirkan. Ikhlaskan saja. Doakan ia agar tenang di sisi-Nya,"
ujarnya tersenyum sambil masuk ke kamar ayahku.

Ya, ia telah menikah dengan ayahku kemarin siang. Callista lebih
memilihnya karena terkesan dengan kepribadian ayahku sejak peristiwa
kebakaran itu. Dan kembali ayahku telah membuktikan bahwa ia benar-benar
super hero. Sanggup mengalahkan lawan-lawannya. Termasuk aku!

[ditulis ketika aku melihat para anggota pemadam kebakaran...
bagaimana kehidupan mereka ya?]


5.

TELEPON SELULER SABIRIN

Posted by: "uncle vant" vant4249@gmail.com

Sat Jul 25, 2009 3:04 pm (PDT)



*
*

Angkot berwarna hijau itu menepi. Setelah benar-benar berhenti, Sabirin
yang tadi menyetop, langsung masuk ke dalam. Duduk di dekat pintu.
Angkutan itu tidak banyak penumpang. Baru berisi tiga orang. Satu yang
di bangku pendek, di pojok. Ia seorang pria tua berseragam coklat. Dan
dua di bangku panjang. Seorang ibu berkebaya yang duduk di hadapan
lelaki itu dan seorang abang (anak baru matang) bercelana selutut serta
kaos ketat tipis.

Tak lama kemudian angkot itu melaju. Pelan. Menyalip sebuah becak yang
digenjot oleh seorang bapak tua. Dan terus membelah jalan raya yang
masih berembun.

Para penumpang berbincang dalam kebisuannya. Mereka terus berbicara
melalui kesunyian di pagi yang menggigil, hingga sebuah dering
mengagetkan komunikasi mereka yang tidak terucapkan itu. Sebilah suara
disertai sepenggal cahaya yang berpendar berwarna-warni dari ponsel yang
tergantung di leher perawan muda yang udelnya beberapa kali beradu
pandang dengan mata perjaka Sabirin.

Perempuan cantik itu mengambilnya. Setelah memijit sebuah tombol, ia
mendekatkannya ke telinga.

"Halo, Jack, gue lagi di jalan. Lo terus aja ke rumah Vina. Nanti gue
nyusul. Lo tunggu di sana. Bukan lagi. Bukan Jalan Cemara, tapi Jalan
Udang. Yang di Jalan Cemara itu sedang direnov. Elo langsung aja. Jangan
nunggu Arya. Dia itu /boolshit/ tau. Yup betul. Yoe, /muahhh/," ucapnya
dengan semangat.

Setelah ngobrol beberapa lama dengan bahasa gaulnya, ABG itu
cengar-cengir sambil memijit beberapa tombol lagi. Ia memainkan
jempolnya di atas /keypad /telepon seluler itu. Sekarang ia sedang
membuat sebuah sandek.

Sabirin yang duduk berhadapan dengan sang ABG, memperhatikan dengan
penuh rasa ingin tahu benda yang dipegang oleh gadis yang udel bodongnya
malu-malu mengintip dari balik kaosnya. Dan Sabirin melihat sebuah
ponsel mungil terbaru. Berlayar warna. Deringnya? /Polyphonic/ tentu
saja seperti yang tadi ia dengar.

"Kapan ya saya punya telepon seluler seperti itu," batinnya.

Sebuah keinginan yang sangat wajar. Bahkan bagi Sabirin yang hanya kuli
kasar. Apalagi akhir-akhir ini Sabirin melihat beberapa temannya telah
memilikinya pula meski tidak /gres/. Kebanyakan barang /second/.

"Ya, tak apalah. Daripada nggak punya," kata seorang temannya.

"Tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada yang /gres/ yang /second /pun pake
aja. Daripada elo," timpal yang lain.

Jadilah mereka meledek Sabirin. Mereka mengatakan tidak gaullah, ponsel
itu untuk gengsilah dan beberapa -lah yang lain.

Tapi Sabirin pernah gantian meledek mereka. Ia membalikkan keadaan.
Sabirin pernah menanyakan beberapa fungsi dari /feature /dari ponsel
mereka. Dan kebanyakan tidak tahu, tidak mengerti. Mereka hanya
menggunakannya untuk SMS dan telepon saja. Yang lebih menggelikan malah
ada yang tidak tahu kepanjangan dari SMS itu.

Tapi kesabaran manusia ternyata ada juga batasnya. Begitupun dengan
Sabirin. Karena sering dipanas-panasi ia pun ingin memilikinya. Mulailah
ia menabung. Ia menyisihkan sebagian penghasilannya dari bekerja
serabutan dan kerja kasar itu. Berhari, berminggu, bahkan berbulan. Ia
terus menabung agar keinginannya segera tercapai. Hingga terkumpullah
sejumlah rupiah di kantongnya. Ia pun mendatangi sebuah /counter/ milik
seorang teman. Ia berharap mendapatkan sebuah telepon seluler dengan
"harga teman".

Beberapa lama ia di counter itu. Ia memilih satu unit setelah pilih
sana, lihat sini, pelotot yang ini, dan mencoba yang itu. Tawar menawar
pun terjadi antara Sabirin dengan temannya. Tapi ternyata tak mudah
untuk membeli dengan harga murah meski penjualnya merupakan teman
sendiri. Pikiran temannya telah dicekoki oleh prinsip untung rugi. Tapi
tak apalah kata Sabirin yang sabar itu. Namanya saja jual beli, pikirnya.

Ia pun membayar telepon seluler itu sambil berijab qabul, "Saya terima
telepon selulernya dengan harga tiga ratus lima puluh ribu rupiah dengan
perincian jumlah uang seratus ribu sebanyak satu lembar. Lima puluh ribu
satu lembar. Dua puluh ribu dua lembar. Lima ribu sebanyak lima lembar.
Seribu sebanyak seratus tiga puluh lima lembar dibayar tunai."

"Sah?" tanya Sabirin lagi kepada salah seorang pengunjung counter hape
itu. Pengunjung dan temannya itu terbengong sambil menerima uang
pembayaran itu.

Sabirin keluar dari /counter/ sambil tersenyum simpul. Ia sekarang
memiliki barang yang didambakannya. Meski hanya sebuah telepon seluler
/second/ dengan bentuk segede batu bata. Bukan ponsel mungil terbaru
seperti milik anak baru matang yang ditemuinya di angkot beberapa waktu
lalu.

Dan bentuk ponsel yang segede batu bata itu kembali menjadi bahan
gunjingan teman-temannya.

"Untuk melempar anjing. Pasti /klenger/," ejek seorang kawan.

"Untuk ganjal ban," yang lain menambahi.

Dan banyak lagi ejekan yang ditujukan pada Sabirin. Tapi Sabirin
tetaplah Sabirin. Ia selalu sabar dalam menyikapi kehidupan ini. Apalagi
menghadapi cemoohan yang tidak bermutu itu. Malah ia berkilah, "Dulu
saya punya ponsel mungil. Tapi sungguh /nyesel /punya ponsel mini
seperti itu. Soalnya ketika jatuh tidak kedengaran. Hilang deh! Makanya
sekarang saya beli yang segede batu bata. Agar ketika jatuh terdengar
keras. Ya, minimal menimbulkan gempa lokal lah. Jadi ketahuan 'kan kalau
terjatuh."

Ia tetap pede sambil cengar-cengir.

Tidak hanya menjadi bahan ejekan, telepon seluler itu pernah juga
membawa musibah bagi Sabirin. Waktu itu ia sedang menelepon seorang
teman di depan para mahasiswa pro demokrasi yang sedang berkumpul. Ia
asyik menelepon tanpa menghiraukan sekeliling. Tiba-tiba beberapa orang
mendekatinya. Ada yang mendorong, memaki, bahkan ada yang memukulnya.
Para aktivis yang sedang kalap itu menganggap Sabirin seorang intel.
Mereka mengira ponsel Sabirin yang segede batu bata itu adalah sebuah
/handy talky/. Belum lagi penampilan Sabirin yang mendukung sebagai
intel. Badannya kekar karena pekerja keras. Berjaket kulit. Ditambah
ketika itu, ia memakai wig untuk menutupi kepalanya yang agak botak di
depan mirip Zidane.

Tapi Sabirin tetaplah Sabirin yang selalu sabar. Meskipun bibirnya pecah
karena dipukul para mahasiswa, ia tetap sabar dan memaafkan kelakuan
mereka. Dan ternyata selain sabar ia juga pemaaf. Ia selalu memaafkan
kesalahan orang lain terhadapnya. Terlebih (tentu saja) kesalahan yang
diperbuat oleh dirinya sendiri. Sebuah kesalahan yang membuatnya malu
setengah mati. Seperti waktu itu. Ia dihubungi oleh bosnya, pemilik
sebuah rumah yang sedang direnovasi. Sabirin bekerja padanya sebagai
tukang angkut batu kali. Ia ditelepon pagi-pagi sekali. Kira-kira pukul
enam pagi ketika dirinya masih dipeluk mimpi. Dan dering itu mengagetkan
dirinya yang masih mengantuk. Tangannya yang kasar meraba-raba "batu
bata" itu. Ia menyentuhnya. Memijit sebuah /keypad/.

"Kamu cepat datang! Barang-barang sudah siap," perintah bosnya.

Sabirin pun dengan sangat terpaksa bangkit dari tidurnya dan menuju ke
kamar mandi. Memakai pakaian. Lantas membawa tas ransel yang disimpan di
pojok kamar.

"Waduh sudah terlambat lima menit," gumamnya ketika melihat jam dinding.

Ia pun mengambil ponsel kesayangannya yang tersimpan di dekat atas meja.
Setelah mengunci rumah ia berangkat ke rumah bosnya dengan menggunakan
angkot. Selama dalam perjalanan pikirannya masih melayang pada bintang
pujaannya (karena sama-sama botak di depan) Zinedane Zidane yang
"menanduk" Materazzi dini hari tadi. Bintang kesayangannya itu pun
keluar lapangan pertandingan karena diberi kartu merah. Dan Perancis pun
kalah di tangan Italia pada partai final Piala Dunia. Uang seratus lima
puluh ribu pun melayang dari dompetnya karena kalah taruhan. Ia
menyesalinya. Zidane itu. Uang itu. Pertandingan itu.

Ketika melamun itulah tiba-tiba terdengar bunyi telepon seluler
berdering. Sebuah bunyi yang sangat indah bagi Sabirin yang tengah
berduka karena idolanya harus mengakhiri karir sepakbolanya dengan cara
yang sangat tragis. Ia pun mengambil telepon seluler di saku bajunya.
Dengan setengah mengantuk, karena begadang sampai pukul lima pagi, ia
mendekatkan benda yang ada dalam genggamannya ke telinganya.

"Halo," katanya setelah memijit sebuah tombol. Tapi tidak terdengar
jawaban dari ujung sana.

"Halo," ia berkata lagi dengan agak keras.

Tapi, tetap tak ada jawaban. Sabirin agak kesal. Ia segera melihat benda
yang ada ditangannya. Tapi ia tidak melihat telepon seluler di
tangannya. Ia melihat /remote control/ teve. Dan suara dering telepon
itu masih terdengar dari telepon seluler milik seorang laki-laki yang
duduk setengah mengantuk di samping Sabirin.

[ketika ponsel makin menjamur...
ketika masyarakat perancis*) makin egois dan asyik dengan dirinya
sendiri...
apalagi ketika si berry yang hitam makin membanjiri kotaku....]

*) perancis = peranakan cisaat....

6a.

Re: [Catcil] Misteri Pesan Terakhir

Posted by: "novi_ningsih" novi_ningsih@yahoo.com   novi_ningsih

Sat Jul 25, 2009 3:10 pm (PDT)



Mendung, gerimis, terus hujan, deh, hehe...

Sukses deh tulisannya bikin nangis (cengeng.mode.on) sampai-sampai akhirnya aku bagu tulisan ini ke teman-teman pas pengajian...

jadi, mengingatkan kembali apa pesan terakhir bapak sebelum meninggal... koma dari pukul 3 sore sampai sekitar pukul 12 malam... tanpa kata-kata...

Tapi, seperti halnya mas nursalam, kemudian aku menemukan banyak pesan lain selama kurun waktu 5 tahun kematian beliau...

Ingin menuliskan, nanti, deh...
insya Allah

TFS, yo... :)

SEMANGAAAAAAAAAAAT :)

*gerimisnya ga boleh lama-lama, saatnya semangat :)

semangat pagiiiiiiiiiiii

salam

Novi

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Nursalam AR <nursalam.ar@...> wrote:
>
> *Misteri Pesan Terakhir*
>
> *Oleh Nursalam AR*
>
>
>
> Setiap Jumat kadangkala ada perasaan perih menyusup hatiku. Beratus Jumat
> sebelumnya pada September 2006, ayahku, yang aku memanggilnya *aba'*, wafat
> selepas sakit panas dua hari. Pada malam Kamis sebelum kematian, di tengah
> malam, ketika panasnya memuncak dan ia mendadak gagu, *aba'* menarik-narik
> tanganku dan menunjuk-nunjuk ke suatu arah. Mulutnya menceracau tak jelas.
> Seakan ia hendak mengatakan sesuatu.
>
>
>
> Aku yang saat itu sama sekali tak peka justru menenangkannya dan kembali
> mengompresnya agar ia kembali tidur. Namun matanya seakan hendak bercerita.
> Barangkali karena lelah dengan puteranya yang tak kunjung ngeh, ia tertidur.
> Esoknya, panas tubuhnya turun. Ia hanya masih lemas dan berbaring seharian.
> Juga tak berbicara seharian. Ucapannya kembali jelas. Naas, aku lupa
> menanyakan apa yang hendak ia katakan semalam. Hingga aku kembali teringat
> saat selepas Magrib esok Jumatnya dokter klinik dengan wajah sedih
> mengatakan kepada kami sekeluarga,"Maaf, Pak, sudah tidak ada."
>
>
>
> Ya Allah, *aba'*, apa *sih* pesan terakhirmu itu? Saat itu aku baru sadar
> sesadar-sadarnya bahwa barangkali di malam Kamis itulah semestinya pesan
> terakhir *aba'* hendak diucapkan.
>
>
>
> Sembilan tahun sebelumnya, 1997, ketika ibuku meninggal dunia, rasanya tak
> ada pesan terakhir secara verbal yang ia ucapkan. Ibu, yang periang dan
> selalu optimis, memang sudah terbaring sakit sejak dua bulan sebelumnya.
> Kanker ginjal akibat pengapuran. Menurut diagnosis dokter, saluran darah ibu
> di sekitar bagian bawah tubuhnya tersumbat pengapuran akibat trauma tumpul
> di bagian tunggirnya. Belakangan, setelah dibawa berobat kemana-mana, ibu
> baru cerita bahwa sekitar dua bulan sebelum ia sakit, ia pernah terjatuh di
> kamar mandi. Namun, dasar ibu, ia tak pernah bercerita sebelumnya kepada *
> aba'* dan kami, putera-puterinya. Sikapnya yang pantang mengeluh dan selalu
> optimis memang tak bertepi. Rasanya ia memang jodoh sejati yang melengkapi *
> aba'* yang argumentatif dan pemikir namun, karena perfeksionis, kerap
> pesimis.
>
>
>
> Serangkaian dengan misteri pesan terakhir *aba'*, aku juga kerap
> bertanya-tanya dalam hati,"Apa ya pesan terakhir ibu?" Misteri pesan
> terakhir kedua orang tuaku sama menyesakkan dengan kenyataan bahwa aku hanya
> punya satu lembar foto yang ada *aba'* dan ibu. Hanya itu saja. Yang lain
> ludas ditelan banjir besar tahun 2007. Seperti kata orang bijak, tak punya
> kenangan sama saja tak punya akar sejarah.
>
>
>
> Yuni, sang mantu *aba'* dan ibu, pun baru tahu tampang kedua orang tuaku
> justru setelah kami menikah. Dan entah apa pula pertanyaan Alham jika kelak
> ia tahu bahwa ia hanya punya satu nenek tanpa seorang pun kakek. Ayah Yuni,
> yakni bapak mertua, wafat hanya berselang tiga jam setelah kematian
> *aba'*di tempat yang jauh berseberangan pulau. Lagi-lagi sebuah
> misteri Ilahi.
>
>
>
> Tapi aku rasanya sudah punya rancangan jawaban jika kelak Alham sudah dewasa
> untuk bertanya,"Persisnya seperti apa sih tampang kakek, *Abi*?"
>
>
>
> Foto *aba'* dan ibu yang tersisa selembar itu seukuran kartu pos dan tidak
> terlalu jelas karena diambil saat foto keluarga bersama waktu pernikahan
> abang keduaku pada 1997. Tiga bulan sebelum kematian ibu, dan tiga bulan
> saat kakak iparku mengandung cucu pertama ibu. Ironis memang karena
> bertahun-tahun lamanya ibu mendambakan punya cucu kendati ia tak pernah
> sekalipun mendesak-desak anak-anaknya untuk segera menikah. Ialah orang
> pertama yang mengajariku dan memberiku teladan soal kebebasan berpendapat
> dan berpikir kritis.
>
>
>
> Nah, kepada Alham yang sekarang baru berusia delapan bulan, aku, Insya
> Allah, akan mengajaknya bercermin dan mengatakan kepadanya,"Alham mau tahu
> muka Kakek Rahman seperti apa? Nih dia!" Akan aku tunjuk wajah Alham di
> cermin. Ya, wajah Alham memang mirip dengan wajah *aba'*. Terutama hidung
> mancung dan alis lebat khasnya. Sementara bulu mata lentik dan bibir merah
> mungil tipisnya warisan dari sang nenek, ibuku.
>
>
>
> Kembali ke soal pesan terakhir, hanya kakak sulungku, Bang Didin yang dengan
> jelas mengucapkan pesan terakhir. Yang sayangnya tidak aku dengar langsung
> dari lisannya tapi dari pengakuan abang keduaku yang saat itu hendak
> mengantarnya ke rumah sakit.
>
>
>
> Sama seperti *aba'* yang sakit panas mendadak kemudian wafat, Bang Didin
> juga demikian. Selepas ia lembur habis-habisan sebagai staf inti sebuah
> bimbingan belajar Islam – yang kini sangat terkemuka – yang masih baru
> dirintisnya bersama teman-teman kuliahnya, Bang Didin sakit panas dan demam
> tinggi. Keesokan harinya ketika pagi-pagi ia meminta dipanggilkan taksi
> untuk ke rumah sakit, Allah memanggilnya, pada tahun 1993, dalam kondisi
> duduk di sofa sambil tersenyum. Padahal baru saja taksi yang dibawa abang
> keduaku tiba. Abang keduaku, Kak Satiri, beruntung masih mendapati Bang
> Didin mengucapkan pesan terakhirnya.
>
>
>
> "Apa pesan terakhir Abang?" desakku ketika Kak Satiri mengutarakan
> detik-detik terakhir kakak kesayanganku itu. Saat itu aku masih kelas satu
> SMA dan sedang ada jadwal kursus bahasa Inggris.
>
>
>
> "Jangan jadi bebek."
>
>
>
> "Maksudnya?"
>
>
>
> "Nggak tahu. Cuma itu," jawab Kak Satiri. Memang cuma sesingkat itu namun
> tiga kata itu terus terngiang di telingaku. Tak ada penjelasan detil apa
> maksudnya karena selepas berucap itu Bang Didin menghembuskan nafas
> terakhir. Kami sekeluarga pun tak lagi membahas.
>
>
>
> Tapi bagiku, yang adik terdekat dengan Bang Didin karena faktor kegemaran
> membaca dan menulis yang sama di mana ia merupakan mentor menulisku sejak
> aku kelas tiga SD, tiga kata tersebut bagai kunci yang harus dicarikan
> jawabannya. Seperti misteri-misteri dalam novel *The Da Vinci Code*. Hingga
> sekitar 2004 atau 2005 (jika ingatanku tak bermasalah), aku menemukan
> jawabannya ketika menemukan buku *Jangan Jadi Bebek*-nya Oleh Solihin. Dua
> belas tahun aku butuhkan untuk menemukan makna pesan terakhir sang mentorku
> itu. Dengan latarbelakang Bang Didin yang aktivis dakwah kampus UI era
> 1980-an dan mantan wartawan, aku tahu betul bahwa pesan `jangan jadi
> bebek'-nya simetris dengan apa yang ia ajarkan kepadaku selama tahun-tahun
> hidupnya.
>
>
>
> "Jangan ikut-ikutan gaya menulis orang lain!" Itu salah satu pesannya
> sebagai mentor menulis. Saat itu ia bagai Sean Connery yang sedang mengajari
> tentor kulit hitamnya belajar menulis dalam film *Finding Forrester*.
>
>
>
> "Jadilah ikan di lautan. Sekelilingnya asin tapi ia tidak asin," itu
> pesannya yang lain sebagai guru ngajiku. Belakangan aku mengetahui bahwa
> pesannya itu disarikan dari ungkapan bahasa Arab, *yakhtalitun wa lakin
> yatamayyazun*. Bercampurlah tetapi jangan melebur dalam pergaulan sesama
> manusia. Tetap punya prinsip dengan tidak meninggalkan keakraban sebagai
> sesama anggota masyarakat yang hidup bersama-sama. Perkataan itu diungkapkan
> Syaikh Sayyid Quthb, seorang sastrawan dan pemikir Mesir, yang syahid di
> tiang gantungan rezim Gamal Abdul Nasser -- serupa rezim Soeharto jaman
> Orde Baru -- karena dianggap musuh negara dengan tulisan-tulisannya yang
> kritis dan independen, tidak membebek atau membeo, terhadap dominasi
> kebijakan negara yang lalim.
>
>
>
> Berhasil mengungkap misteri pesan terakhir Bang Didin, bagiku, rasanya sama
> gembiranya seperti saat aku berhasil lolos ujian masuk perguruan tinggi
> negeri – waktu itu namanya UMPTN – di Universitas Indonesia (UI) pada 1996.
> Bagai kegembiraan seseorang yang merindukan miliknya yang lama hilang dan
> kembali menemukannya pada saat yang tepat.
>
>
>
> Ya, saat yang tepat. Pada saat yang tepat, ketika aku sudah terbebas dari
> depresi pascakematian ibu dan sudah ikhlas menerima wafatnya *aba'* serta
> tak lagi meratapi kehilangan Bang Didin, seiring asam-garam-pahit-manis
> kehidupan yang disesap, aku kini insyaf bahwa pesan terakhir tak mesti
> selalu berupa ucapan verbal atau lisan. Adalah sebuah kisah sufi yang
> menyentakkanku.
>
>
>
> Alkisah, seorang sufi dalam doa-doanya khusyuk panjangnya di sepertiga malam
> memohon kepada Allah agar jelang kematiannya kelak ia diberikan tanda-tanda
> agar ia dapat mempersiapkan kematiannya dengan sebaik-baiknya.
>
>
>
> Tahun-tahun berlalu dan sang sufi tak kunjung mendapat tanda-tanda dari
> Allah kapan kematiannya akan tiba.
>
>
>
> Hingga suatu ketika datang malaikat maut hendak menjemput nyawa sang sufi.
>
>
>
> Ketika sang sufi protes mengapa ia tak diberikan tanda- tanda terlebih
> dahulu, apa kata sang malaikat maut?
>
>
>
> "Bukankah uban-uban di kepalamu sudah merupakan tanda?"
>
>
>
> Sang sufi tersentak sadar.
>
>
>
> "Bukankah tulang-tulang rentamu juga merupakan tanda?"
>
>
>
> Sang sufi kian terhenyak.
>
>
>
> "Bukankah kematian orang-orang di sekitarmu sudah cukup sebagai tanda-tanda
> bagimu?"
>
>
>
> Sang sufi akhirnya menangis dan bersujud kepada Allah. Ia memohon ampun
> kepada Allah atas prasangka buruknya kepada sang Khalik. Di akhir kisah,
> diceritakan kematian sang sufi yang *husnul khotimah*, tenang dan ikhlas.
>
>
>
> Ya, segenap tanda-tanda yang disebutkan sang maalaikat maut juga merupakan
> pesan terakhir bagi kita, para calon penghuni liang kubur yang juga akan
> bernasib seperti sang sufi. Mati.
>
>
>
> Dengan hikmah kisah sufi tersebut, aku me-*rewind *kenangan akhir bersama
> orang-orang terkasihku. Konon, termaktub dalam sebuah kitab, setahun sebelum
> kematian seseorang, Allah sudah memberikan tanda-tanda yang khusus.
>
>
>
> Bagiku, setelah tercerahkan, rasanya benderang sudah apa pesan terakhir
> kedua orangtuaku. Sebulan sebelum ibu jatuh sakit, ia kerap bilang ingin
> jalan-jalan ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Saat itu kami
> menertawakan dan mengira ia bercanda seperti pembawaannya yang biasa.
> Beberapa kali permintaan itu ia ulang. Barangkali maknanya ia ingin kami
> yang saat itu sudah sibuk dengan kesibukan masing-masing agar tetap menjaga
> kebersamaan dan silaturahim.
>
>
>
> Sementara *aba'* beberapa bulan sebelum kematian sering bilang ingin ketemu
> dengan Muthi, salah satu cucunya, yang tinggal berjauhan. Memang ada
> persoalan keluarga yang cukup parah dengan orangtua Muthi hingga jarak yang
> jauh bertambah jauh dengan jauhnya kedekatan hati. Pada akhirnya Muthi
> memang hadir – bahkan ia dan ibunya yang sempat bermasalah dengan
> *aba'*menjadi orang-orang yang menyaksikan detik kematian
> *aba'* – ketika *aba'* tak lagi mampu menggendongnya atau mengajaknya
> berkeliling kampung dengan skuternya.
>
>
>
> Ah, kematian memang selalu saja menjadi pelajaran. Meski pahit. Dan
> sayangnya tak selalu pesan terakhir orang yang meninggal dunia langsung kita
> sadari dan pahami di detik yang bersamaan. Barangkali itulah salah satu
> misteri dan kekuasaan Allah, sang pencipta dan penguasa semesta.
>
>
>
> *Wallahu a'lam bisshawwab.*
>
>
>
> *Pengadegan, 24 Juli 2009*
>
> * *
>
>
> --
> "Open up your mind and fly!"
>
> Nursalam AR
> Penerjemah, Penulis & Editor
> 0813-10040723
> 021-92727391
> www.nursalam.multiply.com
> www.facebook.com/nursalam.ar
>

7a.

Re: Kala aku terhempas dari sebuah komunitas....

Posted by: "novi_ningsih" novi_ningsih@yahoo.com   novi_ningsih

Sat Jul 25, 2009 3:12 pm (PDT)



bunda ammy apa kabar? :)

kalau inget bunda ammy, jadi ingat, aku dapat kado celengan kura-kura pas milad ke-2 di situgintung...

Moga, someday bisa ketemuan lagi, ya, bun...
dulu kan pas kopdar Bandung kita juga ketemuan, bun, terus pas milad ke-2... kapan lagi ya, bun...

semangat bun :)

salam

Novi

-- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, ammy ramdhania <ammy_ram@...> wrote:
>
> Aku baca satu persatu postingan semua teman-teman...
> ada yang kukenal ada yang tidak..
> Kagum dengan semangat mereka
> Bangga dengan komunitas itu yang semakin mengkristal
> diam-diam di lubuk hati ini ada rasa yang menyakitkan
> perih...
>
> aku iri membayangkan keceriaan mereka
> aku rindu pada derai tawa mereka
> aku butuh pelukan hangat meeka
> aku masih ingin bersma mereka
>
> adakah mereka masih mengingatku
> adakah mereka mengenaliku?
>
> Aku sudah terlalu lama mengepompongkan diri
> menenggelamkan diri dalam dunia lain
> karena aku dihadapkan  pada realitas kehidupan
> aktifitas yang semakin berjibun dan tuntutan lain yang semakin sulit ditolelir
>
> dan akhirnya aku harus rela mengorbankan aktifitasku di komunitas ini
> terhempas semakin jauh 
> Padahal komunitas ini  sangat aku banggakan
> sangat aku cintai, karena aku nyaman di dalamnya
> yang membesarkan aku dengan sejuta kenangan manis
>
> kenangan itu akan tetap ada 
> terjaga rapi di sini
> berbaris di benakku raut-raut wajah mereka yang sangat aku cintai...
>
> aku tak rela semua hilang begitu saja
> aku ingin kembali
> tapi aku tak punya lagi energi tersisa
> tak mampu lagi mengimbangi gerak energiknya yang nyaris tak ada hentinya...
> aku semakin tak berdaya
>
> AMMY
> pelita.....belum padam
> tapi sulit membara/// 
>
>
> Lebih aman saat online. Upgrade ke Internet Explorer 8 baru dan lebih cepat yang dioptimalkan untuk Yahoo! agar Anda merasa lebih aman. Gratis. Dapatkan IE8 di sini!
> http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer/
>

8a.

Re: [catatankaki] Pengalaman Milad SK dibukukan?

Posted by: "wiwiek sulistyowati" winiez15@yahoo.com   winiez15

Sat Jul 25, 2009 6:39 pm (PDT)



setuju, jadi satu buku aja (pengalaman dan ngaku eska) ntar judul bukunya "Warna Warni Milad Eska ke-3 "   hehehhe
 
Wiwiek

--- On Fri, 7/24/09, novi_ningsih <novi_ningsih@yahoo.com> wrote:

From: novi_ningsih <novi_ningsih@yahoo.com>
Subject: [sekolah-kehidupan] Re: [catatankaki] Pengalaman Milad SK dibukukan?
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Date: Friday, July 24, 2009, 11:12 PM

 

-

mungkin, kang Dani :)
sekalian, tulisan ngaku eska juga....

-- In sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com, Kang Dani <fil_ardy@.. .> wrote:
>
> Mungkinkah sahabat?
>
> Sebagai prasasti bahwa kita pernah bersama?
>
>
>
>
> Dani Ardiansyah
> www.sekolah- kehidupan. com
> www.catatankecil. multiply. com
>

9.

PRIA BERKACAMATA SUKA BERKACA DEPAN KACA

Posted by: "uncle vant" vant4249@gmail.com

Sat Jul 25, 2009 6:39 pm (PDT)



* *

Komar memperhatikan lelaki yang sedari tadi mematung di depan cermin. Ia
menggeleng-gelengkan kepala. Sudah hampir tiga puluh menit lelaki itu
mematut diri di sana.

"Kenapa sih?" tanya Komar.

Lelaki itu tidak menjawab. Ia hanya menoleh. Tersenyum genit. Kemudian
kembali menghadapkan badannya ke depan cermin.

"Nggak bosen apa ngeliatain diri sendiri kayak gitu?"

Lelaki itu kembali tidak menjawab. Ia terus saja memperhatikan dirinya
dalam kaca itu seolah tidak akan bertemu lagi untuk selama-lamanya.

"Dasar sableng! Narsis!" umpat Komar sambil keluar dari rumah kontrakan
mereka.

Lelaki itu hanya menoleh ke arah hilangnya Komar. Tapi hanya sebentar.
Kembali ia memperhatikan bayangan dirinya yang tercipta di sana. Ia
memperhatikan wajah kecilnya yang bersih. Hidung besar. Bibir kecil.
Dagu belah. Rambut yang hitam dan berdiri seperti duri landak. Telinga
besar. Hingga alis yang lebat. Dan dua bola mata kecil yang dihiasi
sepasang kaca yang batangnya diselipkan di atas telinga.

Komar masuk kembali ke rumah itu. Tangannya menjinjing satu buah kantong
plastik. Tampaknya ia baru pulang berbelanja di warung depan rumah
kontrakan mereka. tapi ketika melihat temannya masih berada di depan
cermin itu, ia kembali bersuara, "Ya, ampun dari tadi masih juga
seperti itu! Nggak bosen? Wajah jelekmu tidak akan pernah berubah hanya
dengan dipandangi!"

"Aku cakep tidak pakai kacamata ini?"

Komar hanya mengangkat pundak. Ia geleng-geleng kepala.

"Sableng!" umpatnya sambil menuju dapur.

***

"Wajar saja," kata Imron yang dimintai pendapatnya oleh Komar. Kepada
Imron, Komar menceritakan kelakuan sahabat mereka yang aneh itu.

"Wajar bagaimana?"

"Ya, wajar. Ia mengagumi dirinya."

"Kalau menurutku tidak wajar. Soalnya berjam-jam."

"Setiap orang pasti mencintai dirinya."

"Tapi berlebihan."

Mereka terdiam.

"Kenapa sih sampai seperti itu ya?" gumam Komar setelah beberapa saat
mereka terdiam.

"Tidak mungkin selamanya ia akan seperti itu. Kita lihat saja nanti?"

Mereka berdua kembali mwengunci rapat mulut mereka. Pikiran
masing-masing menembus ruang-ruang yang belum pernah mereka bayangkan.
Berkelana kemana ia suka. Tidak dapat dikendalikan. Dan pikiran-pikiran
itu menjelma menjadi sosok monster yang menakutkan. Mereka miris.
Apakah temannya itu akan mati seperti dalam mitos dari Yunani itu? Mati
karena sibuk mengagumi dirinya sendirinya?

Pikiran-pikiran buruk itu terus berkelebatan. Dan gelumbang kekhawatiran
itu sedemikian deras ketika teman laki-lakinya itu terus mengagumi
dirinya. Meski tidak sampai lupa minum, makan atau pun kegiatan
sehari-hari lainnya, tetap saja hal itu membuatnya kelihatan dungu.
Ketika hendak berangkat ke kantor, ia akan menghabiskan waktu hingga dua
jam di depan cermin. Di kantor pun ia sering keluar masuk toilet untuk
sekadar mengagumi dirinya. Yang paling memuakkan acara sosialisasi yang
sering mereka bertiga lakukan di mall atau kafe menjadi sedikit
terhambat. Ketika dekat dengan kaca, teman mereka itu akan langsung
menghadapkan badannya. Ia akan menggeser-geserkan badan, berpose
sedemikian rupa, tak peduli dengan pengunjung mall.

Dan itu membuat Imron dan Komar malu luar biasa.

"Makin aneh saja kelakuannya," ujar Komar.

"Ya, keterlaluan," imbuh Imron.

"Sejak kapan sih kelakuannya menjadi seperti itu?"

"Ya, sejak aku ceritakan tempo hari itu."

"Nggak, maksudku, apa yang memicunya melakukan hal itu. Tidak mungkin
'kan suatu hal terjadi tanpa sebab musababnya?"

Komar terdiam mendengar perkataan Imron. Ia membenarkan ucapan
sahabatnya itu. Tidak mungkin suatu hal terjadi jika tanpa ada sebabnya.
Tidak mungkin ada asap jika tanpa ada api.

Komar terus merenungkan hal itu. Kejadian apa yang dialami oleh
sahabatnya itu hingga kelakuannya seperti itu. Ia terus
mengingat-ingatnya hingga kemudian ia bergumam.

"Apakah bukan karena kacamata?"

"Apa? Kacamata?"

"Ya, kacamata. Sejak ia mengenakan kacamata ia berubah."

Imron terkekeh ketika Komar mengutarakan hal itu. Ia memegangi perutnya
yang buncit.

"Tidak mungkin."

"Tidak mungkin? Lantas?"

Gumaman mereka terhenti ketika satu mobil bak terbuka menurunkan
beberapa cermin. Dua orang laki-laki yang turun dari mobil itu lantas
menurunkan cermin-cermin itu.

"Disimpan di sini saja?" tanya salah seorang dari mereka pada Imron.

"Siapa?" tanya Imron tidak mengerti.

"Ini pesanan dari…"

Ucapan pekerja itu tidak tuntas. Sebuah motor berhenti di depan mereka.
Temannya, si narsis itu, membuka helm.

"Ya, masukkan saja ke dalam. Langsung pasang," perintahnya.

Imron dan Komar hanya terdiam. Kembali ia geleng-geleng kepala ketika
melihat rumah kost itu dipasangi cermin. Setiap sudut rumah. Depan
rumah, dapur, kamar mandi. Semuanya. Tidak terkecuali langit-langit.

"Tidak bisa begini," Komar marah ketika langit-langit itu juga dipasangi
cermin.

"Tidak bisa kenapa? Bagus 'kan? Kita dapat melihat diri kita di mana pun
kita berada. Kita bisa mengagumi diri kita kapan pun, sepuasnya."

"Tapi tidak bisa seperti ini. Mengagumi boleh saja tapi jangan keterlaluan."

"Keterlaluan bagaimana? Ini masih wajar. Inginku semua sudut kota
dipasangi cermin. Inginku seluruh penjuru dunia berubah menjadi cermin."

Komar kembali diam. Ia tidak bisa berbuat banyak. Ia adalah orang yang
selalu mengalah dari temannya yang mau menang sendiri dan keras kepala
itu. Akhirnya Komar memutuskan untuk pindah rumah kost.

"Yo, wis itu lebih baik," ujarnya singkat.

Komar membereskan barang-barang miliknya. Ia pindah ke rumah kontrakan
sebelah yang kebetulan sedang kosong.

Kini lelaki itu bebas mengagumi diri, berpose, mematut-matut diri,
sampai puas. Ketika makan pun sesekali ia melirik ke cermin mengepung
setiap inchi ruangan dalam rumah kontrakan itu. Ia dapat melakukan semua
itu sepuasnya. Tidak ada yang melecehkan ataupun yang merasa terganggu.

Tapi sebagai seorang sahabat, Komar terus memikirkan kenapa ia seperti
itu. Ia kembali mengajak Imron untuk mendiskusikan hal itu.

"Kita harus hentikan kelakuan gilanya itu."

"Sudahlah itu pilihannya. Kita hanya bisa diam."

"Diam? Diam katamu. Melihat kelakuannya yang sinting itu kamu katakan
kita harus diam."

"Apa lagi? Harus bagaimana lagi?"

"Kita harus bantu dia dong. Kita 'kan satu kampung, satu sekolah, satu
kuliah, hingga satu tempat kerja. Kita telah lama bersahabat. Masa
ketika ia punya masalah seperti itu kita hanya diam?

"Itu sudah pilihannya."

"Pilihan yang salah. Kita yang normal harus memberitahunya."

"Caranya?"

***

Komar dan Imron menuju ke rumah kontrakan yang hanya berjarak 50 meter
dari kontrakan mereka. Di sana mereka melihat lelaki itu mematung di
depan cermin. Mematut-matut diri seperti kebiasaannya.

Mereka memperhatikannya dengan tatapan iba. Sekarang setiap sudut rumah
itu telah dipenuhi dengan cermin. Bahkan yang membuat mereka
geleng-geleng kepala adalah lantai rumah itu pun telah dilapisi cermin.
Betul-betul edan!

Lelaki itu tidak sadar ada yang memperhatikan. Ia terus saja mengagumi
bayangan dirinya. Ia berpose sedemikian rupa hingga ia melihat dua
bayangan selain dirinya di cermin itu. Ia menoleh. Ia tersenyum kepada
Imron dan Komar.

"Kenapa diam saja? Mari masuk," ajaknya.

Komar dan Imron saling berpandangan. Mereka pun akhirnya masuk ke dalam
rumah yang kelihatan sangat luas karena cahaya yang terpantul dari
cermin. Mereka juga bisa melihat bayangan mereka yang sangat banyak
dalam cermin-cermin itu.

Imron dan Komar mengutarakan apa yang ada dalam pikiran mereka. Lelaki
itu mendengarkan apa yang dikatakannya. Ia memperhatikan dengan seksama.
Tapi segurat senyum simpatik hadir di wajahnya ketika mereka berdua
selesai mengutarakan tujuan mereka.

"Oh, begitu," ujarnya singkat. "Kalian menganggapku gila?"

"Tidak, bukan seperti itu," ujar Komar. Tapi ucapannya dipotong oleh Imron.

"Ya, gila. Satu cermin itu normal. Tiga cermin obsesif kompulsif, tapi
jika seluruh ruangan telah dilapisi cermin apalagi jika bukan gila namanya."

"Aku makan, minum, bekerja seperti biasa. Aku juga bisa memenuhi
kebutuhan hidupku seperti biasa. Apa itu dinamakan gila?"

Komar dan Imron diam. Bahunya merunduk.

"Aku beribadah seperti biasa, mandi, bergaul semuanya seperti biasa,
normal."

"Tapi…"

"Ya, tapi aku kini sangat mengagumi diriku sendiri."

"Tapi berjam-jam itu tidak normal."

"Normal jika kamu memakai ini."

Lelaki itu mecopot kacamatanya. Ia menyodorkannya kepada Imron.

"Pakailah!"

"Apa?"

"Pakai ini. Rasakan apa yang kamu alami."

Imron terdiam.

"Ayolah pakai!"

Dengan ragu Imron mengenakan kacamata pemberian lelaki temannya itu. Ia
mengerjapkan matanya. Dan ketika itu pula ia merasakan syaraf-syaraf
matanya seperti dimasuki gelombang-gelombang aneh. Berkelebatan,
mendengung-dengung menuju otaknya. Ia pun mengarahkan matanya pada
cermin. Ia tersenyum. Ia bangkit dengan sigap.

Ketika akan bangkit itulah bumi bergetar. Setiap sambungan kayu di rumah
kontrakan itu berkeretak. Gempa bumi menggoncang keras. Dan
cermin-cermin yang terpasang di setiap sudut rumah itu pecah. Tidak
terkecuali yang berada di langit-langit rumah. Pecahan-pecahan cermin
itu pun meluncur ke bawah!

[Ditulis ketika aku melihat bayangan lelaki kurus di sebuah cermin
melalui lensa kacamataku.
Dari sana aku mulai menyukai cermin.
Bukan karena aku narsis, Kawan.
Tapi cermin mengajarkanku kejujuran.
Ketika aku memakai koko biru, cermin itu menampilkan hal serupa.
Ketika aku tersenyum, ia pun sama.
Tapi sayang, ketika aku berteriak...?]

10.

(Inspirasi) Bersatu dengan Cinta

Posted by: "Jenny Jusuf" j3nnyjusuf@yahoo.com   j3nnyjusuf

Sun Jul 26, 2009 2:39 am (PDT)



Seumur hidup, entah sudah berapa ratus kali saya menyanyikan lagu
Indonesia Raya. Minimal setiap Senin pagi di lapangan sekolah, sambil
mendongakkan kepala tinggi-tinggi dan menghormat bendera. Tidak jarang,
saya menyanyikannya dengan tergesa-gesa karena berharap upacara cepat
selesai. Karena pengibaran bendera selalu dilakukan di akhir upacara,
sering pula saya berharap bapak pembina mendadak sakit perut, supaya
saya tidak perlu berlama-lama berdiri dan terjemur matahari.

Seperti itulah saya memandang Indonesia Raya.

Sebagai manusia yang mendahulukan Twitter daripada sarapan (I know, agak sakit memang :-D), hal pertama yang saya lakukan begitu mata membuka adalah menyambar ponsel untuk mengecek update status terbaru teman-teman. Seperti ketabrak gajah rasanya ketika pagi itu saya membaca sejumlah entri di halaman Twitter saya yang mengumumkan ledakan bom di Ritz Carlton dan J.W. Marriott.

Saya
menyalakan televisi. Semua saluran seakan adu balap menayangkan berita
terbaru dari lokasi kejadian, disertai rekaman video amatiran yang
diambil sesaat setelah ledakan terjadi. Amatiran dalam arti
sebenar-benarnya. Tidak jelas dan lebih menunjukkan indikasi gempa bumi
daripada sisa ledakan. Cukup lama saya menonton. Setelah beranjak dari
televisi, saya menghabiskan sisa hari itu di depan komputer. Kendati
otak sudah luber oleh berita yang menyesakkan, tak urung saya tetap
menjelajah jagat maya untuk mengumpulkan serpihan-serpihan informasi.

Reaksi
emosi yang pertama kali timbul adalah amarah. Saya merasakan kebencian
teramat-sangat pada sekelompok orang dungu yang berada di balik
peristiwa pengeboman. Mereka yang cukup biadab untuk meledakkan bom di
tempat umum dan menghilangkan nyawa orang-orang tidak berdosa. Mereka
yang cukup keji untuk merancangkan semua rencana itu dan
melaksanakannya. Saya mengutuk dan memaki. Melampiaskannya dengan
kata-kata paling kasar yang saya ketahui.

What you resist, persists.
Itu prinsip emas yang selalu saya amini. Karenanya, saya tidak menahan
diri untuk meluapkan emosi. Puas memaki-maki melalui status Facebook
dan Twitter, saya mengambil waktu sejenak untuk menarik nafas dan
menyegarkan diri dengan air putih. Tidak lama berselang, muncullah
lapisan perasaan berikutnya. Perasaan itu bernama takut.

Saya
begitu mencemaskan keselamatan orang-orang yang saya sayangi, meski
kecil kemungkinan mereka menjadi korban ledakan. Saya tidak bisa
menerima rasa takut yang mendadak membuncah, rasa aman yang tiba-tiba
lenyap, dan kekhawatiran yang tahu-tahu mendera. Tubuh-tubuh berlumuran
darah yang saya saksikan akan mengisi benak saya dalam waktu lama.
Ledakan bom telah memberi peringatan yang tak terelakkan akan bahaya
dan maut yang bisa menjemput sewaktu-waktu. Tempat-tempat umum tidak
lagi nyaman untuk didatangi sambil berlenggang-kangkung tanpa sedikit
terbersit rasa was-was atau khawatir.

Beberapa saat setelah
takut dan cemas mereda, muncul perasaan berikutnya. Sedih. Saya terpaku
di depan komputer dengan mata berkaca. Keinginan untuk memaki tidak
lagi ada. Rasa gentar perlahan sirna. Yang tersisa hanya luka yang
mendalam. Sesuatu seperti terenggut dari jiwa saya, meninggalkan lubang
hitam yang menganga.

Merasa tidak lagi kuat dijejali tambahan
informasi, menjelang petang saya mematikan komputer dan menjauhkan diri
dari televisi. Kawan-kawan saya berkumpul di ruang tamu untuk
mendengarkan siaran berita, namun saya mengurung diri di kamar. Sesaat,
saya merasa lega dan aman dalam kandang kecil saya.

Tidak lama
kemudian, muncul lapisan rasa berikutnya yang tidak saya sangka-sangka.
Lapisan itu bernama cinta. Dan saya terkejut sendiri karena setelah
melalui berbagai spektrum emosi yang tidak menyenangkan, perasaan ini
begitu murni, hangat, dan menenteramkan. Barangkali sebagian orang akan
mencap saya berlebihan, namun ketika perasaan ini hadir, saya bahkan
tidak mampu lagi merasa benci kepada para pelaku pengeboman.
Seakan-akan semua kemarahan yang mencengkeram saya siang itu luntur
begitu saja. Seakan-akan segala takut dan sedih terhapus begitu saja –
hanya menyisakan kasih yang menghangatkan hati.

Seumur hidup,
entah sudah berapa kali saya menyanyikan lagu Indonesia Raya. Mengulang
lirik yang sudah terhafal mati di kepala dan bernyanyi tanpa merasa
perlu menelaah maknanya – semua demi kewajiban rutin setiap Senin pagi
di lapangan sekolah. Malam itu, sendirian di atas tempat tidur, saya
kembali menyenandungkan Indonesia Raya. Tanpa iringan musik. Tanpa
menghormat bendera. Tanpa peduli tempo.

Hiduplah tanahku
Hiduplah negeriku
Bangsaku
Rakyatku semuanya

Perlahan, mata saya membasah.

Saat
itulah saya tahu, betapa saya mencintai negeri ini. Bumi di mana kedua
kaki saya berpijak. Udara yang melewati paru-paru saya setiap hari.
Tanah yang menghidupi saya sejak lahir hingga detik ini. Tanah
Indonesia. Namun saya telah begitu terbiasa, hingga ingatan akannya tak
pernah lagi mampir di benak. Atau hati.

17 Juli 2009 adalah momen dimana saya menyadari, cinta itu ada.

Paragraf berikut saya ambil dari artikel yang ditulis Goenawan Mohamad, tiga hari setelah peristiwa ledakan.

Kematian
dan luka-luka itu mengerikan, tapi saya dengarkan percakapan, saya baca
pesan di HP, dan saya mungkin bisa mengatakan bahwa kita marah, sedih,
dan menangis karena tiba-tiba kita menyadari, betapa terkait kita
dengan sebuah tanah air: sebuah negeri yang selama ini seakan-akan bisa
diabaikan, atau hanya disebut dalam paspor—sebuah Indonesia yang
seakan-akan selamanya akan di sana dan utuh tapi kini
terancam—Indonesia yang dulu mungkin hanya menempel direkatkan ke
kepala karena pelajaran kewarganegaraan di sekolah, karena pidato di
televisi.

Beliau benar.

Peristiwa ini telah
merenggut nyawa orang-orang yang tidak berdosa dan meluluhlantakkan
begitu banyak jiwa. Namun peristiwa yang sama juga menyadarkan kita
akan satu hal: betapa kita mencintai sesuatu yang telah begitu lama
terabaikan. Betapa hati kita sesungguhnya terpaut pada sesuatu yang
bahkan tak sempat kita ingat-ingat. Kita mencintainya namun tak lagi
menghargainya, karena kita menganggapnya akan selalu ada. Dan ketika ia
terguncang, dunia kecil kita ikut tergempa.

Hanya dalam tempo beberapa jam, #indonesiaunite menduduki peringkat teratas Trending Topics di situs pertemanan Twitter. Headline berita di seluruh dunia –mulai dari CNN hingga Al Jazeera—
menyajikan topik yang sama. Simpati dan belasungkawa berdatangan dari
segala penjuru dunia. Beberapa orang bahkan berinisiatif mengibarkan
sang Saka di rumah dan kendaraan masing-masing.

Bom tersebut
telah mengakibatkan kehancuran besar, dan pada saat yang sama
meledakkan hati jutaan orang di Bumi Pertiwi untuk menyatukan kekuatan
dan merangsek bangkit – menolak terkapar kalah. Sekali lagi mata dunia
tertuju kepada kita; kali ini bukan karena tragedi kemanusiaan atau
bencana alam, melainkan karena persatuan yang digalang bersama.

Malam
itu, di tengah rasa bangga yang berkecamuk ketika menyaksikan
#indonesiaunite merambati Trending Topics hingga berhasil bertengger di
puncak, saya berdoa, yang memotori kita untuk bergandeng tangan dan
menggalang persatuan adalah cinta. Bukan kemarahan. Bukan kebencian.
Bukan dendam. Bukan sesuatu yang akan melahirkan kekerasan berikutnya.
Saya berdoa, rantai kekerasan itu berhenti sampai di sini. Saya berdoa,
bangsa ini akan sekali lagi bangkit dan bergerak bersama, kali ini
dengan cinta.

Tidak ada sesuatu di dunia ini yang permanen.
Teror takkan tinggal tetap, kedamaian pun bisa diguncang. Mungkin ini
saat yang tepat untuk merenung dan menyadari bahwa segala sesuatu yang
kita genggam saat ini bisa terlepas. Apa yang pernah kita miliki suatu
saat bisa diambil. Mungkin ini waktu yang tepat untuk mulai belajar
bersyukur dan menghargai sebentuk anugerah yang masih dipercayakan
kepada kita hingga detik ini: tanah air dan bangsa bernama Indonesia.

Dalam
dunia yang kian sesak dan pengap, di tengah perputaran roda kehidupan
yang memaksa kita untuk terus bergerak secepat-cepatnya, cinta bisa
menjadi sesuatu yang terlampau absurd untuk
digaungkan. Sekalipun ada, dengan cepat ia terlibas oleh ambisi dan
egoisme. Kita tak pernah jemu menyuarakan cinta, namun hati kecil kita
tahu, pada esensinya yang paling sejati, cinta telah lama terhimpit dan
tertindas. Kita punya begitu banyak 'baju' berlabel cinta yang setiap
hari kita pakai dan tunjukkan kepada dunia, namun cinta itu sendiri
nyaris tak pernah tersentuh.

Malam ini, sebelum mempublikasikan
#indonesiaunite untuk kesekian kalinya di halaman Twitter, saya
menyempatkan diri untuk berkaca dan bertanya: apa yang sesungguhnya
mendorong saya untuk mengetikkan sebaris kata itu? #indonesiaunite bisa
datang dan berlalu, apa yang saya tulis bisa tergusur, namun yang
melatari lahirnya sebaris kata itu dalam hati saya akan tinggal jauh
lebih lama dari kalimat-kalimat yang pernah saya ciptakan.

Malam ini, sepenuh hati saya berdoa, dunia akan melihat bangkitnya sebuah bangsa yang bersatu karena cinta.

Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

*   *   *

ROCK Your Life! - Jenny Jusuf - http://jennyjusuf.blogspot.com

11.

FW: [sekolah-kehidupan] [catatan kaki] ada yang tau kenapa ?

Posted by: "jun an nizami" tinta_mirah@yahoo.co.id   ujangjiung

Sun Jul 26, 2009 2:40 am (PDT)




Ceu Gya,mungkin Bu Yahoo sedang masak,jadi lieur. Cobi tanya sama Pak Yahoo..heuheuheu

----- Original Message -----
Subject: [sekolah-kehidupan] [catatan kaki] ada yang tau kenapa ?
Date: Sat, 25 Jul 2009 8:04:19
From: lygianostalina <lygianostalina@yahoo.com>
To: <sekolah-kehidupan@yahoogroups.com>

semula, alamat email yang saya pakai di milis eSKa adalah tazpooh_cute@yahoo.com, namun kemudian kemarin sesudah milad, saya ganti alamat emailnya menjadi lygianostalina@yahoo.com

tapi aneh bin ajaib, alamat email memang berganti. milis pun hanya bisa dibuka melalui alamat email baru, hanya yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa semua postingan para sahabat eska terkirimnya ke email lama tazpooh_cute ? hehehehe..padahal di edit membership sudah saya ganti semua data, tanpa terkecuali. nah lho..ada yang tahu kenapa ? syukur2 ada yang bisa bantu ?

jadi selama ini, kalau saya mau liat kiriman email dari milis, saya mesti buka email tazpooh. tapi kalau mau posting atau komen atau buka yahoogroupnya, mesti lewat ID lygianostalina.

hatur nuhuuun,,

Lygia Nostalina, S.H
tabloid Alhikmah
www.alhikmahonline.com
http://pecintahujan.multiply.com
lygianostalina@yahoo.com ( fb & ym )

------------------------------------

Yahoo! Groups Links

Mencari semua teman di Yahoo! Messenger? Undang teman dari Hotmail, Gmail ke Yahoo! Messenger dengan mudah sekarang! http://id.messenger.yahoo.com/invite/

Recent Activity
Visit Your Group
Drive Traffic

Sponsored Search

can help increase

your site traffic.

Dog Zone

on Yahoo! Groups

Join a Group

all about dogs.

Yahoo! Groups

Weight Management Challenge

Join others who

are losing pounds.

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: