Messages In This Digest (5 Messages)
- 1.
- Re: [Kelana] Menyapa Singapura => mbak indar From: Lia Octavia
- 2a.
- Re: [catatankaki] Kehilangan Pena From: ifan yudianto
- 2b.
- Re: [catatankaki] Kehilangan Pena From: ifan yudianto
- 3.
- [sharing] ROMANSA TIGA DASAWARSA From: lia indriati
- 4.
- [Ruang Baca] Cinta Rasul, Kok Gitu? From: Mimin
Messages
- 1.
-       Re: [Kelana] Menyapa Singapura => mbak indarPosted by: "Lia Octavia" liaoctavia@gmail.com octavialiaThu Jul 30, 2009 10:07 pm (PDT)
 hehehe... alhamdulillah...thanks ya.. 
 sudah dikirim ke milis tetangga juga, mbak indar ^_^
 
 iyah insya Allah oleh-oleh ceritanya akan menyusul... thanks ^_^
 
 salam
 lia
 2009/7/31 patisayang <patisayang@yahoo.com >
 
 >
 >
 > Wik, Mbak Lia, keren... kapan ya aku bisa jalan2 ke LN juga. Udah dikirim
 > ke milist tetangga Mbak?
 >
 > Kalau sempat, kami tunggu cerita selengkapnya ya. Thanks!
 >
 > salam,
 > Indar
 >
 >
 > --- In sekolah-kehidupan@yahoogroups. <sekolah-kehidupan%com 40yahoogroups. com>, 
 > galih@... wrote:
 > >
 > > Novi tunggu cerita apa nunggu oleh-olehnya....? 
 > > Hayo ngaku...?
 > >
 > > Mba Lia, kok aku baru tau yah kala dirimu ke Singapura??
 > > *WING*
 > >
 > >
 > >
 > >
 > >
 > > "novi_ningsih" <novi_ningsih@...> 
 > > Sent by: sekolah-kehidupan@yahoogroups. <sekolah-kehidupan%com 40yahoogroups. com> 
 > > 07/30/2009 10:39 AM
 > > Please respond to
 > > sekolah-kehidupan@yahoogroups. <sekolah-kehidupan%com 40yahoogroups. com> 
 > >
 > >
 > > To
 > > sekolah-kehidupan@yahoogroups. <sekolah-kehidupan%com 40yahoogroups. com> 
 > > cc
 > >
 > > Subject
 > > [sekolah-kehidupan] Re: [Kelana] Menyapa Singapura
 > >
 > >
 > >
 > >
 > >
 > >
 > >
 > >
 > >
 > >
 > > menyapamu mbak Lia :)
 > > tfs udah berbagi cerita perjalanannya
 > > aku masih menunggu cerita-cerita lainnya lagi :)
 > >
 > > pasti seru, ya, mbak :)
 > >
 > > salam
 > >
 > > Novi
 > >
 > > -- In sekolah-kehidupan@yahoogroups. <sekolah-kehidupan%com 40yahoogroups. com>, 
 > Lia Octavia <liaoctavia@> 
 > > wrote:
 > > >
 > > > *Menyapa Singapura*
 > > >
 > > > *Oleh Lia Octavia*
 > > >
 > > >
 > > >
 > > > Menyapamu Singapura, adalah rangkaian asa dan cinta yang
 > > > terserak di balik tiket sebuah penerbangan asing yang telah kudapatkan
 > > sejak
 >
 >
 >
 
- 2a.
-       Re: [catatankaki] Kehilangan PenaPosted by: "ifan yudianto" ifanxlv@yahoo.com ifanxlvThu Jul 30, 2009 11:30 pm (PDT)
 
 wah penanya tuh aku paksa tuk dihilangkan.. 
 he he
 thx komennya
 --- On Thu, 7/30/09, abdul azis <abdul_azis80@yahoo.com > wrote:
 
 From: abdul azis <abdul_azis80@yahoo.com >
 Subject: [sekolah-kehidupan] Re: [catatankaki] Kehilangan Pena
 To: sekolah-kehidupan@yahoogroups. com 
 Date: Thursday, July 30, 2009, 2:10 AM
 
 
 
 Sahabat...Hilang itu Biasa...
 Menghilangkan itu yang Nggak Biasa...
 
 Semua makhluk akan kehilangan banyak hal...
 Tinggal bagaimana sikap kita menyikapi kehilangan itu...
 
 Note : saya punya pena dua, mau dipinjamkan?
 
 ~seorang ayah~
 www.abdulazis. com
 
 --- In sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com, ifan yudianto <ifanxlv@... > wrote:
 >
 > Lantunan lagu terasa syahdu. Menemani sang pemilik jiwa pilu. Menenangkan semangat buta, mengakhiri pemberontakan kata.
 >
 > Demikianlah, aku tengah kehilangan pena, berupa raga tuk bergelut dengan rasa cinta akan sebuah cerita..
 >
 > Di tempatku terbaring, seakan jendela antar demensi terbentang, sampai bisa kulihat kalian menari-nari di atas awan. Menikmati keindahan ragam alam, melukis warna pelangi dan menggapai bintang dengan tinta di laut hitam
 > ..
 > ..
 > Tertegun aku hingga tak mampu berucap. Tentang kerinduan akan..
 > ..
 > ..sesuatu yang terpaksa dihilangkan!
 >
 
 
- 2b.
-       Re: [catatankaki] Kehilangan PenaPosted by: "ifan yudianto" ifanxlv@yahoo.com ifanxlvThu Jul 30, 2009 11:30 pm (PDT)
 thanksssssssss
 
 --- On Thu, 7/30/09, fil_ardy <fil_ardy@yahoo.com > wrote:
 
 From: fil_ardy <fil_ardy@yahoo.com >
 Subject: [sekolah-kehidupan] Re: [catatankaki] Kehilangan Pena
 To: sekolah-kehidupan@yahoogroups. com 
 Date: Thursday, July 30, 2009, 2:02 AM
 
 
 
 Ho oh, bagus2
 mendayu2 dan melanutkan jiwa
 cieeeeh :)
 
 Wah kalo agak panjang tulisannya
 akan lebih nyaman menikmatinya.
 Kalo pendek gini kan jadi ngegantung
 brow :)
 
 Well, ditunggu tulisan2 yang lainnya
 semoga pena yang hilang segera ditemukan
 
 DANI
 
 --- In sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com, ifan yudianto <ifanxlv@... > wrote:
 >
 > Lantunan lagu terasa syahdu. Menemani sang pemilik jiwa pilu. Menenangkan semangat buta, mengakhiri pemberontakan kata.
 >
 > Demikianlah, aku tengah kehilangan pena, berupa raga tuk bergelut dengan rasa cinta akan sebuah cerita..
 >
 > Di tempatku terbaring, seakan jendela antar demensi terbentang, sampai bisa kulihat kalian menari-nari di atas awan. Menikmati keindahan ragam alam, melukis warna pelangi dan menggapai bintang dengan tinta di laut hitam
 > ..
 > ..
 > Tertegun aku hingga tak mampu berucap. Tentang kerinduan akan..
 > ..
 > ..sesuatu yang terpaksa dihilangkan!
 >
 
 
- 3.
-       [sharing] ROMANSA TIGA DASAWARSAPosted by: "lia indriati" liaindriati@gmail.comFri Jul 31, 2009 2:00 am (PDT)
 Lia Indriati
 Ciomas Hills Kav. A 5 No. 47 Bogor
 www.tokobogor.com 
 
 *ROMANSA TIGA DASAWARSA
 **1<http://bundagaul.com/include/ >fckeditor/ editor/fckeditor .html?InstanceNa me=blogentry_ body&Toolbar= se_blog#sdfootno te1sym 
 **]*
 
 *Oleh: Lia Indriati
 **2<http://bundagaul.com/include/ >fckeditor/ editor/fckeditor .html?InstanceNa me=blogentry_ body&Toolbar= se_blog#sdfootno te2sym 
 *
 
 *Minggu, **1 Maret 2009*
 
 Tepat tiga puluh tahun silam, teras rumah mungil dimana sore ini aku duduk
 santai di kursi malas menjadi penanda tapak perjalanan dalam melabuhkan
 pengabdianku sebagai guru di Sukadana. Sebuah desa terpencil di Wilayah
 Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
 
 Tanpa terasa waktu bergulir demikian kencang. Tiga puluh tahun serasa baru
 kemarin dijalani. Menorehkan catatan pengalaman dalam lembar sejarah
 kehidupan. Menjadi mosaik indah yang senantiasa membayang. Selaksa suka dan
 duka silih berganti menghampiri. Semua terekam rapih dalam ingatan yang tak
 mungkin terhapus. Banyak yang membangkitkan kenangan gembira. Namun juga
 diantaranya mengungkit kembali nelangsa yang sekian lama mengendap dalam
 memori ingatan.
 
 Semuanya kini menjadi bayang-bayang kisah masa lalu yang menghantarkanku
 mengarungi semua tantangan, celaan, bahkan fitnah yang pernah mendera
 kehidupanku.
 
 Seolah semuanya kejadian baru kemarin dilewati. Semuanya masih terekam
 gamblang di pelupuk mata.
 
 * * * * *
 
 Sepatu hitam yang kukenakan mulai kusam makin terlihat lusuh. Sisa lumpur
 yang mengering menempel di bagian bawah. Setelah dipakai berjalan hampir
 satu jam lamanya. Kini aku berhenti di tubir sungai. Sementara di seberang
 nampak beberapa rumah. Sebuah desa yang menjadi tujuan akhir perjalananku
 menembus jalan setapak yang becek sisa hujan semalam.
 
 Desa di seberang sungai itu namanya Desa Salakaria, Kecamatan Rajadesa.
 Sebuah tempat yang sebentar lagi menjadi tempatku memulai peran baruku
 setelah lulus sekolah. Menjadi guru.
 
 Menjadi guru?
 
 Ya, menjadi guru!
 
 Di desa yang terpencil?
 
 Inilah yang tak terbayangkan sebelumnya!
 
 Tak pernah terlintas di benakku kalau aku akhirnya menjadi guru. Tak pernah
 terbersit dalam benakku menjadi guru. Karena impianku tentang masa depan
 adalah menjadi pegawai sebuah bank. Yang lebih menjanjikan. Makanya guru
 tidak masuk daftar dalam cita-citaku.
 
 Namun pada akhirnya aku terbentur kenyataan. Bahwa kondisi ekonomi orang
 tuaku tak memungkinkan aku untuk mengejar impianku. Bapakku hanyalah veteran
 tentara yang lantas bekerja menjadi sekretaris desa. Dengan kondisi ekonomi
 yang dikatakan jauh dari berada. Rasanya mustahil bagi orang tuaku untuk
 membiayaku sekolahku ditingkat lanjutan seperti yang kuimpikan.
 
 Apalagi aku terlahir dari keluarga besar. Nomer lima dari tujuh bersaudara.
 Dengan jumlah tanggungan sedemikian banyak, tentunya hidup kami yang sangat
 sederhana kian menerbitkan rasa nelangsa kalau harus menggantungkan harapan
 yang rasanya sangat *rekasa* untuk diraih.
 
 Akhirnya aku harus berdamai dengan kenyataan. Dengan sadar mengubur impian
 menjadi pegawai bank. Meski terasa pahit, aku memang harus memupus harapan
 untuk kuliah di jurusan perbankan.
 
 Apalagi kemampuan orang tuaku hanya sebatas membiayai pendidikan setahun
 tingkat diploma, atau D1 PGSLP (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama) di
 Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung (sekarang bernama Universitas
 Pendidikan Indonesia atau UPI).
 
 Rasanya membosankan belajar pada jurusan yang tak disukai. Bahkan tak
 dibayangkan sebelumnya. Namun aku juga tak ingin membuat kecewa orang tuaku
 yang telah membiayai dengan susah payah. Rasanya aku terpenjara dilema.
 
 Untuk menguatkan semangatku, berulangkali aku menanamkan keyakinan bahwa
 yang terlihat bagus belum tentu baik menurut Allah. Begitupun sebaliknya,
 setiap yang kita anggap jelek belum tentu buruk menurut pandangan Allah,
 bahkan bisa jadi di situlah keberkahan terlimpah. Asal kita menjalani dengan
 perasaan ikhlas. Sebuah petuah yang aku dapatkan dari nguru ngaji di surau
 sebelah rumahku.
 
 Setiap hari kupompakan pemahaman semacam itu agar semangatku menjalani masa
 pendidikan tidak luruh. Agar harapanku memperoleh kehidupan lebih baik
 ketimbang orang tuaku suatu saat menjadi kenyataan.
 
 Selalu kujaga semangatku. Agar harapanku tak punah.
 
 Karena harapan itulah satu-satunya yang aku punya.
 
 * * * * *
 
 Tahun 1978 aku merampungkan pendidikan DI. Setahun berikutnya, secarik
 SK (Surat
 Keputusan) sampai di tanganku. Surat penugasan sekaligus pengangkatan
 sebagai Pegawai Negeri Sipil sudah di tangan. Senang tentunya, karena
 berarti aku akan punya penghasilan sendiri.
 
 Namun sekali lagi tak terbayangkan kalau penempatanku di Salakaria. Tepatnya
 di SMP Negeri Salakaria. Sebuah sekolah yang berlokasi di desa terpencil.
 Sebuah tempat yang membutuhkan kerja keras untuk sampai di sana.
 Aksesibilitasnya seolah tak terjangkau. Jalanan terjal berbukit yang masih
 berbatu menghadangku.
 
 Ditambah kendaraan umum yang entah kapan bakal singgah di desa ini. Sarana
 jembatan yang melintasi sungai masih dalam tahap pembangunan. Sehingga aku
 harus menempuh jalan alternatif yang waktu tempuhnya dua kali lebih lama.
 Atau terpaksa harus menyeberangi sungai dengan menumpang rakit/getek untuk
 menyeberang.
 
 Mendapati tempat yang begitu rupa. Aku *shocked*. Hari-hari pertama adalah
 perjuangan yang sangat berat. Aku harus beradaptasi secepat mungkin. Tidak
 boleh tidak! Ibarat pertunjukan, *show must go on*. Aku harus tetap
 bertahan.
 
 Ternyata perjalanan menuju salakaria sangat melelahkan. Kalau tak boleh
 dibilang sangat berat! Setiap hari aku harus melakukan perjalanan pulang
 pergi Salakaria- kampungku di Werasari yang berjarak lebih dari 15 kilo.
 Dengan infrastruktur jalan yang kurang memadai dan sulitnya transportasi,
 akhirnya aku memilih untuk segera mencari tempat kost di sekitar sekolah.
 
 Dengan bantuan teman guru kutemukan juga tempat kos yang lumayan dekat
 dengan sekolah. Tak lebih dari 500 meter. Pemiliknya sepasang suami istri
 paruh baya. Mereka hanya tinggal berdua. Sementara keempat anaknya telah
 berkeluarga dan tinggal di luar kota. Bapak Sahim, begitulah orang biasa
 memanggilnya. Orangnya cukup dikenal bahkan disegani di Desa Salakaria.
 Mungkin karena itu pula rumah Bapak Sahim direkomendasikan cocok sebagai
 rumah kos. Paling tidak, aku bisa aman di sana. Dan sejak saat itulah aku
 merasa menjadi bagian dari keluarga Bapak Sahim.
 
 Rumah Bapak Sahim Dindingnya masih terbuat dari anyaman bambu. Kala itu,
 rumah itu tergolong besar. Di dalamnya terdapat 3 kamar tidur. Satu kamar
 tidur tamu yang menghadap langsung ruang tamu. Kemudian dua kamar tidur yang
 menghadap ruang keluarga merangkap ruang makan. Dari ruang keluarga menuju
 dapur, dipisahkan oleh pintu, karena dapur masih berlantai tanah dan tentu
 saja masih menggunakan tungku. Sehingga atap dapur sudah menghitam karena
 asap yang membumbung.
 
 Yang membuat aku tercengang. Rumah ini tak punya kamar mandi! Padahal
 fasilitas satu itu mutlak bagiku. Bagaimana tidak. Di tempatku, Werasari,
 air melimpah. Kamar mandi di dalam rumah. Sementara di sini, aku harus
 berjalan sejauh kurang lebih 100 meter, melewati kebun yang masih dirimbuni
 pepohonan, menjejaki jalan tanah yg curam, demi untuk memperoleh air. Ke
 sana aku harus beranjak. Ke sebuah sumur.
 
 Semakin terkaget-kaget manakala aku mulai tahu kehidupan bermasyarakat
 Salakaria yang akrab dengan suasana mistis. Misalnya banyak pemakaman
 dinaungi pepohonan besar menjadi tempat keramat yang seringkali dikunjungi
 orang di waktu-waktu tertentu. Mendatangi dukun dan membuat serangkaian
 sesaji seolah sebuah keharusan. Bila dilanggar maka dipercaya akan
 memunculkan bencana.
 
 Entah percaya atau tidak akan adanya Tuhan Yang Esa. Mereka seakan abai
 akan kodrat alam. Suara adzan hanya terdengar lamat dari kejauhan. Ritual
 shalat menjadi sesuatu hal yang aneh. Dan ketika bulan Ramadhan tiba, tak
 ada malu membungkus nalurinya. Mereka akan tetap berasyik masyuk dengan
 kudapan di mulutnya. Pekerjaan di sawah atau kebun menjadi kambing hitam
 untuk lepas dari kuwajiban menjalankan syariat.
 
 Jauh rupa dengan di Werasari, kampung halamanku yang begitu lekat dengan
 kegiatan keagamaan. Mesjid hampir ada di setiap sudut. Begitu pula
 Pesantren, senantiasa menghembuskan kedamaian kehidupan beragama bagi
 masyarakatnya.
 
 Yang kurasakan aneh waktu awal-awal menjadi guru adalah sambutan tak
 bersahabat justru dari guru perempuan. Bahkan cenderung sinis. Apalagi yang
 suaminya juga guru di sekolah ditempatku mulai mengajar. Aku yang begitu
 sensitif saat itu, luar biasa bingungnya. Tidak pernah tahu apa kesalahanku.
 Karena baru pun kaki kupijakkan di tanah baru. Tentu saja akan kuanut
 peribahasa *dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung*. Jadi aku merasa
 bahwa mereka tak berhak untuk memperlakukan aku sedemikian rupa.
 
 Belakangan aku mengetahui ternyata para teman guru wanita cemburu terhadap
 keberadaanku. Pengalaman serupa juga dialami oleh seorang guru perempuan
 lain. Yang entah bagaimana ceritanya. Ibu guru ini menjadi perbincangan yang
 tidak renyah terdengar.
 
 Bagiku ini sebuah ujian. Aku harus bisa membuktikan pada mereka bahwa aku
 seorang perempuan baik-baik, yang hanya punya niat pengabdian. Setiap
 langkah, ucap dan tindakan aku jaga sebaik mungkin. Aku tidak ingin
 kehadiranku menjadi benalu yang meresahkan. Aku ingin memercikan setitik
 embun di sekolah ini. Aku ingin bersahabat dengan mereka.
 
 Kondisi seperti itu, sempat membuatku tertekan. Tidak mudah untuk meyakinkan
 mereka bahwa aku tidak seperti yang mereka kira.
 
 Karena itu menunggu hari Sabtu merupakan penantian yang kurasakan terlalu
 lama. Ingin segera rasanya pulang kampung. Untuk lari dari tekanan pergaulan
 antar guru. Pulang kampung yang tidak seberapa jaraknya, rasanya seperti
 selesai berpetualang menjelajah rimba. Menghirup udara kampung halaman,
 apalagi bertemu dengan Ibu, Bapak dan saudara-saudaraku, rasanya keluar dari
 lubang jarum. Lega! Kutumpahkan semua keluh kesah. Tentang kondisi alamnya,
 tentang masyarakatnya, tentang teman-teman di sekolah. Tentu juga ketidak
 nyamanan tinggal di sana. Meski Werasari tidak bisa juga disebut kota, tapi
 jauh lebih baik dibanding Desa Salakaria. Setidaknya angkutan umum sudah
 mulai banyak. Sudah ada banyak Angdes (Angkutan Pedesaan).
 
 Aku selalu rindu dengan *murotal* yang suaranya hampir memenuhi setiap sudut
 rumah. Terang saja, di Werasari pesantren ada di banyak tempat. Pendidikan
 agama menjadi yang utama. Maka ketika aku mendapati desa tempatku mengabdi
 jauh dari tuntunan agama. Rasanya aku berada pada jaman kegelapan.
 
 Ibu yang selalu menjadi tumpahan tangisku. Di pangkuannya aku meratapi SK
 pengangkatanku. Sementara teman-teman seangkatan ditempatkan di kota, kenapa
 harus aku yang mendapatkan desa terpencil itu. Aku tidak yakin aku mampu
 mengemban tugas ini. Belum pun tahun berganti, sepertinya aku ingin menyerah
 saja.
 
 Tapi lagi-lagi Ibu yang selalu menguatkanku, bahwa Allah tidak semata-mata
 memberi sesuatu jika tidak ada kebaikan di dalamnya. Maka bersabarlah,
 berserah dan ikhlaskan setiap gerak langkah. Insyaallah suatu saat kamu akan
 menuai indahnya. Begitu selalu Ibu bilang. Hingga akhirnya aku merasa ringan
 tinggal di desa yang begitu asing. Dan seiring dengan berjalannya waktu,
 akupun dapat diterima dengan baik di lingkungan sekolah dan masyarakat.
 Alhamdulillah.
 
 * * * * *
 
 Seringkali usia adalah sumber ketakutan bagi perempuan. Aku mengalaminya.
 Tahun 1979 umurku genap 23, usia yang sudah lebih dari cukup untuk membina
 sebuah rumah tangga untuk ukuran masa itu. Entah kenapa ketika itu do'aku
 yang selalu kupanjatkan adalah memohon pada Tuhan untuk tidak dijodohkan
 dengan pemuda Desa Salakaria. Mengingat kehidupan beragama di sana masih
 terlalu sederhana. Tentu aku tidak ingin memiliki imam yang tidak mampu
 mengimami aku.
 
 Dalam setiap lantunan do'a, bayang-bayang memiliki suami dari desa itu
 selalu mengusikku. Ketakutanku semakin menguat tatkala kutahu betapa banyak
 sekali yang belum paham tentang akidah dan akhlaq. Kekhawatiranku
 berkepanjangan dan tak beralasan sebenarnya, karena saat itu aku sudah
 memiliki kekasih yang akan menjadi benteng pertahananku manakala ada pemuda
 yang mencoba mendekatiku.
 
 Namun Tuhan Maha Segala Tahu. Semakin ketakutanku meraja. Saat itulah
 ketakutanku seketika menjadi nyata. Tanpa kuduga, pinangan seorang lelaki
 sangat mengejutkan aku. Bagaimana tidak! Lelaki itu asli dari Desa Salakaria
 yang sebelumnya tak pernah kutahu keberadaannya dimana. Tiba-tiba dia hadir
 dan menyatakan keinginannya menikah denganku.
 
 Oh Tuhan Bukan ini do'a yang kuharap Engkau kabulkan. Aku berkeinginan
 sebaliknya. Aku ingin dipersunting kekasihku, bukan lelaki ini. Alih-alih
 kumenolak, aku malah dihadapkan pada pilihan yang sulit. Bukan segera
 kumenarik diri tapi kumerasa tak mampu untuk menjauh. Bukan perlahan
 kumantapkan hati untuk menikah dengan kekasihku, yang ada kebimbangan
 membimbingku untuk tak lekas mengambil keputusan.
 
 Bagaimana ini? Perasaanku tak berbentuk. Aku enggan tapi ada harap yang dia
 bentangkan untukku. Sebuah ketulusan. Hanya itu yang kutahu. Aku tak ingin,
 tapi ku tak berniat untuk berkata tidak. Orangtuaku lah yang akhirnya
 menjadi tempat curhatku. Tempat kubertanya kemana harus melangkahkan kaki.
 Kudengarkan pandangan-pandangan mereka. Satu hal yang hingga anak
 perempuanku menjatuhkan pilihannya, kalimat ini yang tertanam di pikiranku
 "seorang wanita lebih baik dicintai".
 
 Aku masih dalam ambang ragu. Bagaimana mungkin aku menikah dengan orang yang
 tidak aku cintai? Cukupkah dengan hanya dia mencintai aku? Aku belum
 menemukan jawabannya. Pun aku belum tahu bagaimana keseharian dia. Dia pergi
 dalam waktu yang lama. Dan datang dalam waktu yang sangat singkat. Kadang
 tak sempat bertegur sapa apalagi bercengkrama. Siapa sebenarnya dia?
 
 Hatiku bersahutan menjawab antara ya dan tidak. Kebimbanganku mencapai
 klimaks. Dalam keadaan tak jelas itu, hatiku condong untuk tidak menikah
 dengan kekasihku. Tanpa ingin kutahu penyebabnya, selesai sudah urusanku
 dengan dia.
 
 Tapi meski begitu tak lantas aku mantap untuk menjadi istri lelaki itu.
 Masih harus kulewati kotemplasi yang cukup lama, sehingga akhirnya aku
 memutuskan hal besar dalam hidupku.
 
 Jika kemudian aku menerima uluran cintanya, restu kedua orang tua yang
 menjadi pondasinya. Lainnya aku belum punya. Yang aku tahu, lelaki itu
 terlahir dari keluarga baik-baik. Keluarga yang harmonis, agamis, dan salah
 satu keluarga yang dihormati di Desa Salakaria. Aku memang belum tahu
 tentang keistiqomahan lelaki itu dalam menjalankan ibadah, tapi aku sangat
 mengenal kedua orangtuanya, terutama sang bapak yang kelak menjadi bapak
 mertuaku adalah sosok yang luar biasa. Ini juga yang menambah daftar tak ada
 alasan bagiku untuk meragukan sosok lelaki itu.
 
 Maka kubiarkan hatiku menyambut cintanya secara perlahan. Kunetralkan
 perasaanku untuk dapat melihat keseluruhan dalam diri lelaki itu secara
 objektif. Kukumpulkan testimoni yang ada walau tak banyak. Aku membuat
 analogi bahwa buah tak kan jatuh jauh dari pohonnya. Kuberharap dalam do'a
 agar lelaki itu sedikit banyak memiliki kepribadian seperti bapak. Tak
 kubiarkan perasaan takut mengelabuiku lagi.
 
 Lelaki itu hanyalah lelaki biasa, yang hanya memiliki cinta tanpa
 romantismenya. Bertubuh tinggi tegap, kontras sekali dengan tubuh mungilku
 yang hanya setinggi dadanya. Seorang Pegawai Negeri Sipil Departemen
 Kehutanan di Wonosobo Jawa Tengah. Itu artinya kami harus siap dengan *long
 distance relationship*. 
 
 Tak ada yang menyangka jika jodohku telah Tuhan sediakan di Desa Salakaria.
 Dan lebih tidak menyangka lagi tanpa harus berpayah menjemputnya. Aku datang
 di kediamannya, kala dia tak ada. Dan begitu dia tiba, diantara rasa kaget
 bahwa kamarnya ditempati orang asing, lelaki itu mungkin bersyukur karena
 ada semburat wajah bening menantinya.
 
 * * * * *
 
 Misteri jodoh sungguh sangat luar biasa. Tak bisa tertebak, tak dapat
 terbaca. Datangnya tanpa terduga. Manalah tahu jika Bapak dan Ibu kosku
 kelak menjadi mertuaku.
 
 Rumah kosku seperti sudah disediakan Tuhan untukku menemukan belahan jiwa.
 Dan sekarang, aku sangat mensyukuri itu. Lelah dan air mata terbayar sudah.
 
 Keyakinanku semakin nyata, manakala lelaki itu, dengan penuh keberanian dan
 rasa percaya diri, datang dan meminta aku untuk menjadi istrinya langsung
 pada orangtuaku. Satu lagi poin menjadi nilai tambah. Maka tak perlu waktu
 lama, masa perkenalanku dengannya hanya sekitar 4 bulan saja.
 
 4 April 1980, adalah hari yang sangat bersejarah bagiku. Hari itu adalah
 hari dimana aku resmi menjadi istri dari seorang lelaki yang kini menjadi
 ayah bagi kedua anakku. Sebuah perhelatan dilaksanakan. Konon ketika itu,
 pernikahanku cukup meriah. Seserahan dilakukan pada hari H. Rupa macam
 hantaran dibawa serta. Dari mulai kayu bakar, daun pisang, pisang satu
 tandan sampai kambing. Dari perlengkapan dapur sampai perlengkapan tidur tak
 ketinggalan. Belum iring-iringan keluarga, kerabat dan sahabat yang
 mengantar mempelai pria.
 
 Prosesi acara adat lengkap. Dari mulai *sungkem, huap lingkung*, sampai buka
 pintu. Semuanya telah disiapkan oleh panitia dari sekolahku. Senangnya,
 padahal baru 1 tahun aku mengabdi, teman-teman mau membantuku mempersiapkan
 segala sesuatunya, mulai dari menyediakan gamelan sampai pemandu acara.
 
 Mengenang masa indah itu, keharuan selalu saja menyapaku. Hari yang sangat
 istimewa. Aku mengira kebahagiaanku akan berawal dari saat itu tanpa harus
 kulewati terjalnya aral terlebih dahulu. Tapi Tuhan lebih menyayangiku. Aku
 ditempanya dalam lara. Digembleng lewat perih, dididik melalui resah dan
 dibimbing dalam gulana. Namun sedemikian rumitnya, aku temukan keberkahan di
 dalamnya.
 
 Wonosobo adalah tempat pertama kami menghabiskan waktu berdua. Tempat kami
 mereguk madu pernikahan. Indahnya tak terkatakan. Pilihanku semoga tidak
 salah. Andai saja aku bisa tahu kejadian setelahnya. Aku tidak akan pernah
 mau menjalani *long distance relationship*. Apalagi harus tinggal di rumah 
 mertua. Sungguh! Episode hidup yang terlampau berat kulewati.
 
 *Welcome to the real world*. Satu minggu bulan madu rasanya tak cukup
 memberiku bekal untuk masuk ke zona baru yang belum kukenali. Suka tidak
 suka, mau tidak mau, aku harus menjalaninya demi patuh pada titah suami.
 
 Pulang ke Desa Salakaria, aku tidak punya pilihan untuk tinggal selain tetap
 di rumah Bapak Sahim. Bukan lagi sebagai anak kos melainkan sebagai anak
 menantu. Posisi ini tidak menjadikan aku memiliki arti lebih bagi Ibu, yang
 notabene Ibu mertuaku. Jika sebagai anak kos aku begitu dihormati dan
 diperhatikan. Berbalik derajat selepas aku menikah dengan anak laki 
 lakinya.
 
 Hhhm sejujurnya sangat berat aku menceritakan ini semua. Ibarat mengorek
 luka menganga yang telah tersembuhkan oleh waktu. Perih kembali menyayat
 jika aku mengingatnya. Demi Tuhan, aku mencintai Ibu mertua hingga akhir
 hayatnya. Namun jika aku menuliskan kepedihan yang pernah aku rasakan,
 semata karena aku ingin berbagi, bahwa bagaimanapun keadaannya, ketulusan
 selalu memberi arti bagi setiap hati. Waktu selalu membuktikan kebaikan akan
 tetap tumbuh menyubur dan tak pernah mati.
 
 Setelah mengantarkan aku, suamiku kembali ke Wonosobo. Status baru sebagai
 istri mulai kusandang. Aku bertekad dalam hati untuk selalu dapat menjaga
 kehormatan diri dan suami. Modalku hanya kepercayaan untuk menjaga kasih
 diantara kami tetap bersemi.
 
 Keuangan yang belum stabil, membuatku harus pintar mengelolanya. Aku dan
 suami memang bekerja. Tapi berapalah gaji PNS golongan II pada masa itu.
 Kehidupan rumah tangga benar  benar kumulai dari angka nol. Dari tangga
 paling bawah. Merangkak dan tertatih. Berjalan pun sempoyongan.
 
 Tak mungkin kulupakan, bagaimana perihnya perasaan saat dengan terpaksa aku
 harus melepas cincin kawin untuk sekedar menutupi kebutuhan sehari-hari.
 Hingga detik ini ingatan itu begitu mengiris perasaanku. Nilai cincin itu
 tak tergantikan meski Alhamdulillah- kini aku mampu membeli perhiasan yang
 lebih mahal.
 
 ** * * * **
 
 Sejak awal aku tinggal di rumah Bapak dan Ibu, aku sudah merasa kerasan.
 Mereka sangat baik padaku. Maka idealnya tak akan ada masalah jika aku
 serumah dengan mereka. Bapak adalah seorang penyayang. Semuanya makin
 terpancar setelah aku menjadi mantunya. Apalagi aku mantu perempuan pertama
 dalam keluarganya.
 
 Namun dugaanku keliru. Rupanya Ibu mertua seperti tak mengharapkan aku
 menjadi menantunya. Sulit untuk menerka kenapa gerangan sikap Ibu begitu
 dinginnya terhadapku. Jika anaknya tak setuju menikah denganku, beliau tak
 akan memberi kami restu. Jika dia tidak menyukai aku. Tak ada pula alasan
 yang dapat kupahami.
 
 Sejak hari pertama suamiku kembali bertugas, aku mulai tidak nyaman di rumah
 yang satu tahun belakangan menjadi tempatku bernaung. Aku menjadi sangat
 asing di dalamnya terutama dengan perubahan sikap Ibu yang sama sekali tidak
 bersahabat. Pandangan sinis selalu saja menancap tajam di hatiku.
 
 Semoga Allah memuliakan beliau. Aku tidak bermaksud membuka aib. Dengan
 menulis ini, aku ingin dunia tahu, bahwa keengganan bisa menjadi kerelaan.
 Lawan tidak harus menjadi musuh. Dengan cinta, hati akan kembali pada
 hakikatnya. Yang belakangan berbuah kesadaran bahwa aku sangat beruntung
 dianugerahi mertua sedemikian rupa. Yang menyayangi aku dengan caranya yang
 unik.
 
 Belakangan aku tahu Ibu sangat mencintai aku. Dulu, aku tidak pernah tahu
 hati seperti apa yang dimiliki Ibu. Tidak ada damai yang ditawarkan
 kepadaku. Jika terpaksa- beliau bicara padaku, beliau akan mengatasnamakan
 suamiku. Kado  kado yang menumpuk saat pernikahan satu per satu beralih hak
 dengan dalih bahwa suamiku memintaku menyerahkannya pada Ibu. Tak harus
 kumenolak, jikapun meminta langsung, pasti akan kuberikan.
 
 Aku kesepian! Ibu yang mestinya bisa aku ajak bercengkerama, mengibarkan
 bendera perang padaku. Setiap langkah yang kudengar seperti bunyi godam yang
 menghentak hentak jantungku. Masuk keluar rumah meninggalkan bantingan pintu
 yang sangat keras. Braakk!!! Satu dua hari aku mencoba mengabaikan setiap
 perilaku yang Ibu tunjukkan padaku. Lama  lama aku merapuh.
 
 Tak ada teman untuk sekedar aku ajak *sharing*. Suamiku pulang hanya 1 atau
 2 bulan satu kali. Dan selama itu aku harus merasakannya sendiri. Bukan!
 Bukan untuk mengeluh andaipun suamiku ada di sisiku. Aku hanya ingin
 bercerita tentang keadaan di sekolah. Tingkah polah anak didikku.
 Keseharianku di rumah tanpa harus dia tahu seperti apa keadaan yang
 sebenarnya.
 
 Beruntung sebagian waktuku terpakai oleh tugasku mengajar. Berada di depan
 kelas, memberikan materi pelajaran, sedikit mengobati rasa resah yang selalu
 saja menguasaiku saat berada di rumah. Di sekolah, sejenak aku bisa
 menghirup udara kebebasan. Menemukan anak didikku segera paham dengan apa
 yang aku ajarkan, bahagia sekali rasanya. Inginku, aku tak hanya dapat
 memberi mereka teori, tapi lebih dari itu, akupun harus bisa mendidik mereka
 menjadi manusia yang berakhlak.
 
 Dalam hitungan bulan yang belum genap setengah tahun menapaki biduk rumah
 tangga. Ada sesuatu kurasakan dalam perutku. Seperti ada makhluk hidup
 bersemayam di sana. Dalam buncah harap, kabar bahagia itu datang. Aku
 dinyatakan positif hamil. Senyumku merekah. Ada asa menyeruak dalam kalbu
 semoga keadaan menjadi lebih baik. Seraya berharap bahwa ibu mertua akan
 menampakkan sisi keibuannya demi mendengar aku hamil.
 
 Lagi  lagi aku salah besar. Sikap Ibu mertua padaku tidaklah berubah, malah
 makin menjadi. Yang seharusnya aku berada pada zona nyaman yang sangat
 diperlukan seorang Ibu hamil, tidak aku temukan. Setiap hari yang aku
 rasakan adalah tekanan batin yang luar biasa. Sensitifitas yang meninggi
 karena hormon kehamilan membuat keadaanku begitu memprihatinkan. Wajah
 tirus, badan kurus. Air mata tak henti menganak sungai.
 
 Kalau saja aku pernah tahu bagaimana neraka, mungkin aku bisa menganalogikan
 yang aku alami seperti dalam neraka. Menatap wajah Ibu mertua yang seolah
 penuh kebencian menciutkan nyaliku. Mendengar suaranya yang seakan
 membentak, bergetar seluruh tubuhku. Terdengar langkah kakinya mendekat
 saja, seketika itu berhenti detak jantungku.
 
 Aku musuh bagi Ibu mertua. Tak ada yang boleh bersikap baik padaku. Tak
 boleh ada yang membelaku. Setiap kali ada keluargaku dari Werasari yang
 berkunjung, selalu saja beliau menunjukkan sikap tak ramah. Apalagi jika
 mereka membawakanku oleh  oleh, baik itu makanan ataupun barang.
 
 Dalam diam aku mencari jawab kenapa Ibu berbuat tak layak padaku. Aku
 temukan hipotesa sementara. Beliau sangat takut kehilangan kasih sayang
 suamiku. Suamiku adalah anak laki  laki pertamanya. Anak yang telah
 berpenghasilan tetap, dimana Ibu mertua yang selalu menjadi tujuan setiap
 kali suamiku mendapat upah dari hasil berpeluh lelah sebelum menikahi aku.
 
 Maka ketika anak laki  lakinya menikah, praktis dia memberikan nafkah
 padaku. Otomatis, yang didapat Ibu berkurang. Inilah yang memicu ketidak
 sukaan Ibu padaku. Rabb! Aku istri dari suamiku yang tidak akan pernah
 membiarkan dia berpaling dari Ibundanya. Bagaimanapun, seorang lelaki seumur
 hidupnya untuk Ibunya. Sementara perempuan, setelah menikah, pengabdiannya
 beralih untuk suaminya. Tentu saja sampai kapanpun aku tidak akan pernah
 membiarkan suamiku abai terhadap Ibunya.
 
 Satu  satunya teman yang setia menemaniku adalah majalah Ayahbunda yang
 selalu menjadi buah tangan dikala suamiku pulang mengunjungiku. Mencoba
 menempatkan kesakitanku di tumpukan paling bawah lapisan hati, aku berfokus
 diri untuk tetap menjaga janin yang ada dalam kandungan. Aku tidak ingin
 hanya gara  gara penderitaan Ibunya, janinku bermasalah. Aku tahu betul
 betapa sangat berpengaruh kondisi psikis Ibu terhadap kondisi janin.
 
 Kuperbanyak keilmuan tentang bayi dan seluk beluknya dengan membaca. Dengan
 begitu, nelangsaku tersembunyi. Tak ingin kemurunganku terbaca oleh
 siapapun. Akupun belajar menjadi sebenar  benar Muslim, bahwa kebahagiaan
 terpancar di wajahnya, sementara kesedihan tersimpan di hatinya. Tapi
 bagaimanapun kusimpan rapih segala kesedihan, lambat laun orang  orang di
 sekitarku mengetahuinya.
 
 Tak perlu kata kuumbar demi mencari belas kasihan. Tak mesti kuperlihatkan
 wajah bermuram durja, toh pada akhirnya banyak orang tahu, kalau aku
 menderita, berada di bawah tekanan Ibu mertuaku sendiri. Mereka
 menganalisis, memperhatikan situasi. Dan kesimpulanpun mereka dapatkan.
 
 Dengan tabiat yang selama ini, jauh sebelum aku masuk ke dalam keluarga
 suamiku, Ibu adalah sosok yang memiliki tingkat egoisme di atas rata  rata.
 Kata  katanya yang keluar tanpa reduksi seringkali membuat siapa saja
 jengah mendengarnya. Tak jarang orang dibuat menangis hanya karena hal
 sepele. Lidah tak bertulang. Luka badan karena sembilu, obat masih bisa
 didapat. Tapi luka hati karena kata. Kemana hendak obat dicari? Begitu
 pepatah bilang.
 
 Diantara marah yang kadang menguasai, aku maklum sepenuhnya dengan Ibu
 mertua yang semasa kecil dari keluarga berada. Kakek buyut suami adalah
 seorang pamong desa. Hal ini menjadikan Ibu mertua sosok yang manja padahal
 anak sulung. Keadaan tersebut tidak lantas membuat Ibu mertua ingin
 bersekolah. Lain halnya dengan adik  adiknya, Ibu tak sampai lulus Sekolah
 Pertama.
 
 Kekayaan tidak seiring dengan pola pikir yang terbuka. Inilah yang membuat
 Ibu egois. Tidak ingin direndahkan tetapi cenderung meremehkan orang lain.
 
 Diantara kekurangannya, Ibu adalah orang yang sangat baik. Memberi adalah
 hal yang selalu dilakukannya. Setiap kali Bapak gajian, atau Ibu dapat
 arisan atau anak  anakku dapat ranking di sekolahnya, lembaran rupiah tak
 sayang beliau hibahkan. Begitupun jika ada makanan. Tentu dibagikannya pada
 kami. Anak dan cucu yang rumahnya paling dekat.
 
 Kehamilanku semakin membesar. Permasalahan demi permasalahan kulewati dengan
 derai air mata. Waktu sepertinya melambat. Kadang terhenti dan segan untuk
 memulai berotasi. Aku tidak akan mungkin dapat melewati semua tanpa kasih
 sayang banyak orang. Ada suami yang begitu perhatian dan sangat mencintaiku,
 ada Bapak mertua yang kadang 'terkalahkan' karena kesabarannya. Ada adik
 laki  laki suamiku yang selalu membelaku.
 
 Pernah satu kali. Entah masalah apa, aku disalahkan Ibu mertua. Mendengar
 itu, adik iparku langsung pasang badan dengan terisak. Aku diterima di
 keluarga besar suami, dihargai, disayangi. Sampai saat ini hubunganku dengan
 mereka tak berbatas, begitu dekat. Inilah yang membuatku kuat didera. Tak
 apalah berkorban sedikit untuk sesuatu yang banyak.
 
 Bahkan ketika itu, aku selalu diwanti  wanti oleh aki. Aki dan Nini adalah
 orangtua Bapak. Betapa sayang mereka padaku. Sayang, kedekatanku dengan Aki
 hanya berlangsung sesaat. Saat si Sulung berumur 1 tahun, Aki berpulang.
 Meski hanya dalam waktu yang sangat pendek. Ada satu pesannya yang akan
 selalu kuingat sampai akhir hayat.
 
 "Neneng " . Begitu aku biasa dipanggil oleh mereka. "Omat! Sakumaha dibawa
 sangsara na ku Si
 Ujang3<http://bundagaul.com/include/ >,fckeditor/ editor/fckeditor .html?InstanceNa me=blogentry_ body&Toolbar= se_blog#sdfootno te3sym 
 ulah menta ditalak!!!"4<http://bundagaul.com/include/ >.fckeditor/ editor/fckeditor .html?InstanceNa me=blogentry_ body&Toolbar= se_blog#sdfootno te4sym 
 Demi mendengar itu aku hanya bisa mengangguk dalam isak. Aku bertekad dalam
 hati, untuk menjaga keutuhan rumah tangga, apapun yang terjadi.
 
 Kalimat aki yang selalu bisa menguatkanku hingga nanti. Setiap jengkal pilu
 kulalui, suami dan anak-anakku adalah yang utama.
 
 Bagaimana harus kubertahan di dalam rumah yang hanya berukuran 5 x 3 meter
 persegi ketika baru saja anak pertama kami lahir di tahun 1981. Ngontrak di
 sana, hingga satu tahun kemudian terpaksa aku dan suami harus tahu diri
 mengosongkannya karena yang punya rumah akan segera menikah dan menempati
 rumah tersebut. Miris sekali, di saat anak perempuanku lagi lucu-lucunya,
 kami harus berkutat mencari tempat tinggal yang nyaman untuk si kecil.
 
 Sampai akhirnya, sekitar tahun ke-3 pernikahan kami, Bapak mertua
 menghibahkan sepetak tanahnya untuk bisa kami bangun rumah. Beliau rupanya
 tidak tega melihat anak mantunya seperti kutu loncat. Terbangunlah rumah
 mungil nan sederhana. Dengan luas tidak lebih dari 7 x 5 meter persegi.
 Rumah semi permanent, yang dindingnya masih terbuat dari bilik bambu,
 meskipun sudah berlantai semen.
 
 Perlahan kehidupan cinta dan rumah tangga kami mulai tertata. Jarak yang
 memisahkan aku dan suami, tanpa ada teknologi yang bisa menghubungkan kami
 setiap saat seperti sekarang, tak lantas melunturkan kasih sayang diantara
 kami. Jujur terhadap diri sendiri adalah kuncinya. Tidak neko-neko dan
 percaya satu sama lain adalah pondasi yang memperkuat ikatan batin kami.
 
 Kejadian demi kejadian menjadi sebuah media terbaik yang Allah berikan pada
 kami sebagai penguat cinta. Tahun 1986, lahir anak kedua kami. 2 anak
 perempuan cantik. Mereka kembar dan lahir premature, baru masuk usia
 kandungan 8 bulan. Tetapi Allah lebih menyayangi mereka dan tentu saja kami,
 orang tuanya. Keduanya tidak bertahan, selang satu hari mereka kembali ke
 haribaan Tuhan. Jadilah setiap hari kami menguburkan anak tercinta.
 
 Masa berkabung buat keluarga kecil kami, terutama aku. Butuh waktu
 berbulan-bulan untuk pemulihan. Aku depresi. Belum pun luka melahirkan
 kering, aku harus dihadapkan pada kematian mereka. Aku selalu dilanda
 ketakutan dan kecemasan yang luar biasa, apalagi jika hari beranjak gelap.
 Dengan terpaksa untuk beberapa waktu aku dan anakku harus mengungsi di rumah
 mertuaku.
 
 Sedikit demi sedikit aku kembali kuat dan sadar sepenuhnya. Bahwasanya semua
 hal di dunia ini hanyalah sekedar titipan. Maka jika suatu saat Yang Maha
 Punya mengambilnya, mau tidak mau harus ikhlas. Akupun merelakannya, dengan
 do'a terpanjat, semoga kelak mereka akan menjemput kami, orang tuanya di
 pintu Syurga. Amin
 
 Akhir tahun 1988, Allah kembali mengamanahi aku dan suami seorang anak
 laki-laki yang rupawan. Dengan wajah bulat, kulit putih, mata yang besar
 ditambah dengan badan yang montok, merekahkan kebahagiaan kami. Allah telah
 mengganti yang hilang. Lengkap sudah, sepasang anak laki dan perempuan.
 
 Perkembangan motoriknya sangat bagus di awal. Berat badannya pun naik
 normal. Tidak ada yang aneh. Sampai pada suatu hari, aku menemukan keanehan
 pada gerak motoriknya. Usianya sudah 6 bulan. Tapi belum bisa loncat-loncat
 sebagaimana bayi seusianya. Tulang punggungnya masih sangat lemah, belum
 bisa berdiri tegak, digendong masih dalam posisi bayi 3 bulan.
 
 Berkali-kali dia harus mengalami semacam patah tulang karena kesalahan orang
 menggendongnya. Mereka mengira anakku normal seperti bayi seusianya. Berkali
  kali pula aku harus menyaksikan kegetiran ketika anakku harus diurut oleh
 tukang urut. Melihat kepalanya ditarik-tarik, dijulurkan sedemikian rupa,
 mendengarnya menangis *kejer*. Membuatku terisak.
 
 Aku hanya bisa tersenyum miris jika orang-orang menanyaiku anaknya umur
 berapa, sudah bisa apa. Sementara anakku baru bisa tersenyum dan
 nendang-nendang. Belum bisa tidur miring apalagi tengkurap. Rabb!!! Hadiah
 apa lagi yang Engkau berikan pada kami. Kekhawatiran mulai menguasaiku.
 Tangisku menemani hari-hariku kembali.
 
 Dokter anak kemudian menjadi tujuan kami. Berbagai macam obat dituliskannya
 di buku resep. Diagnosanya ada kelainan pada tulang punggungnya. Habis obat
 harus segera kembali dan akan dilakukan pengobatan selanjutnya.
 
 Entah berapa kali kami keluar masuk dokter anak tanpa ada perkembangan yang
 berarti. Berniat untuk mencari pengobatan alternatif, tapi tak juga kami
 temukan pengobatan alternatif seperti apa yang bisa menangani bayi sekecil
 itu.
 
 Do'a dan ikhtiar kami maksimalkan. Lebihnya kami hanya berharap pertolongan
 dari Sang Maha Kuasa. Cinta kami, orangtuanya, tak sedikitpun terkurangi
 karena kondisinya. Tibalah hari penuh Mukjizat itu. Saat itulah aku merasa
 Allah telah menurunkan Kekuasaannya pada kami. Selalu ada jalan keluar di
 saat kita tidak pernah berputus asa akan Rahmat Nya. Hari indah itu, setelah
 pemeriksaan rutin dari dokter anak, entah kenapa, aku dan suami menggunakan
 jasa delman untuk bisa sampai terminal.
 
 Pada saat itulah, Pak kusir bertanya pada kami, pulang dari mana. Anaknya
 sakit apa. Sampailah pada pernyataan yang bagi kami benar-benar sebuah
 pencerahan
 
 "*Pak, kebetulan, kakak saya diberi kelebihan bisa menangani masalah seperti
 yang anak Bapak alami. Siapa tahu Allah memberikan jalannya, Bapak dan Ibu
 bisa mencobanya ke sana".*
 
 Ada perasaan sejuk mengalir di pori-pori kami. Mungkin inilah saatnya.
 Dengan rasa haru, kami berterimakasih pada beliau yang bukan saja
 menginformasikan, melainkan mengantarkan kami hingga di tempat.
 
 Maha Besar Allah, 3 kali terapi ke sana, sudah mulai ada perkembangan
 berarti. Anakku mulai bisa tengkurap, kemudian duduk, merambat, dan
 Alhamdulillah di usia 18 bulan, dia bisa berjalan normal. Meski terlambat,
 setelahnya perkembangannnya menjadi begitu pesat. Kini dua puluh satu satu
 tahun sudah terlewati masa itu. Tak henti syukurku terucap, bila melihat
 anak laki-lakiku itu tumbuh menjadi pria dewasa yang sehat lahir batin.
 Alhamdulillah.
 
 * * * * *
 
 Tiga Dasarwasa sudah. Selama itu pula aku hanya bertemu suami hanya pada
 akhir pekan. Hanya sabtu minggu. Menjalani *long distance relationship*. 
 Bagai hidup seorang diri manakala suami sedang bertugas, berpikir menemukan
 solusi saat masalah datang, mengelola keuangan sedemikian rupa agar tidak
 besar pasak daripada tiang bukanlah hal yang mudah. Ada saja hal yang dapat
 menggoyahkan. Percikan dan letupan terjadi di sana sini. Namun kehadiran
 anak-anak selalu mempererat rasa yang ada.
 
 Tiga Dasawarsa mungkin sebuah rentang waktu yang tak bisa dibilang sebentar.
 Meski selama itu pula aku harus menanggung kenyataan bahwa aku sering merasa
 kesepian. Namun kesepian tak membuatku jatuh dalam kesunyian. Namun justru
 menempaku jadi sosok ibu yang bisa membimbing kedua anakku hingga dewasa.
 
 Kini si sulung telah menikah dan bersama suaminya menjemput impian masa
 depan mereka di lain kota. Anak kedua juga tak lagi di rumah karena harus
 mengejar ilmu di bangku kuliah di sebuah kota di Jawa Barat.
 
 Sejujurnya saat aku sendiri di teras seperti sore ini, ada perasaan takut.
 Jauh dari anak-anak. Sementara suami masih berdinas di luar kota. Meski
 sebentar lagi akan memasuki masa persiapan pensiun. Kesendirian ini
 mengingatkan bayangan tiga puluh tahun lampau. Bayangan perjuangan saat
 pertama kali menjejakkan kaki di desa ini kembali membayang.
 
 Namun aku segera tersadar, bahwa begitu banyak anugerah Tuhan yang aku
 terima selama tiga dasawarsa di desa ini. Aku bahagia menjadi seorang istri,
 seorang Ibu, seorang guru dan sebagai individu di tengah masyarakat.
 
 Aku bersyukur memiliki keluarga yang dilimpahi cinta. Kini apalagi yang
 dapat aku ingkari dari begitu banyak nikmat yang Tuhan berikan. Dalam setiap
 nafas adalah rasa syukur. Di beranda rumah ini, airmataku kembali menitik
 ketika mengingat setiap detail kisah lampau yang pernah aku lalui.
 
 Rumah ini dulu, tak pernah terbayang akan menjadi sebuah istana penyejuk
 hati. Tempat yang dulu hanya sebuah ruang. Sekarang menjadi graha yang
 sangat nyaman. Rumah yang dulu dihuni aku dan anak-anakku, kini aku ditemani
 suami yang telah memasuki masa pensiunnya. Sesekali rumah ini diramaikan
 dengan ocehan mungil jagoan kecil. Cucu pertamaku.
 
 Ya aku dan suamiku telah menjadi eyang sekarang.
 
 Lengkap sudah kebahagiaan yang aku rasakan. Tuhan memberiku aral,
 menghadiahiku rintang, dan mengujiku dengan berbagai hal indah. Sungguh
 terdapat hikmah dari setiap kejadian. Hidup hanya satu kali. Menikmatinya
 dengan penuh rasa syukur adalah anugrah tak ternilai. Betapa indah hidup ini
 jika selalu ikhlas menjalaninya.
 
 * * * * *
 
 *Epilog*
 
 Tiga dasawarsa sudah. Desa Salakaria telah berganti nama menjadi Sukadana.
 Kecamatan Rajadesa berubah menjadi kecamatan Sukadana seiring dengan proses
 pemekaran wilayah. Namun Sukadana tetap seperti Salakaria, sebuah desa yang
 tersembunyi. Tidak banyak yang mengetahui. Sukadana tetap sebuah desa sunyi
 yang menawarkan kedamaian.
 
 Di tikungan Desa Sukadana, tepatnya di dekat ujung persawahan desa,
 tersembul sebuah rumah yang nyaman. Dilengkapi dengan teras yang lumayan
 lega. Aku sering tetirah ke rumah ini. Bagiku rumah itu adalah rumah
 keduaku. Menjadi tempat membuang penatku saat keletihan mendera karena
 tenggelam dalam kesibukan kerja di Ibukota.
 
 Setiap sudut rumah ini mengingatkan aku akan kepingan-kepingan masa kecil
 yang ceria. Betapa aku dulu beranjak dewasa dibawah naungan rumah yang
 halaman depannya ditumbuhi pohon angsana itu.
 
 Suatu saat, pandangan mataku tertumbuk pada sebuah buku lusuh di sela kotak
 kayu penyimpanan di bagian belakang rumah. Mendadak timbul rasa
 keingintahuanku. Segera aku tarik buku bersampul biru yang telah berdebu
 itu.
 
 Ternyata adalah sebuah *diary. *Sebuah buku harian. Lembar demi lembar aku
 buka dan baca dengan seksama. Kisahnya sungguh menarik. Penuturannya runut
 sehingga alurnya tak membosankan. Mendorong minat untuk menuntaskan hingga
 tandas di halaman terakhir.
 
 Kisahnya sungguh menarik. Sekaligus mengharukan. Tentang romantika seorang
 guru perempuan. Yang harus membimbing kedua anaknya menuju gerbang
 kedewasaan. Sementara suaminya berdinas di luar kota yang hanya pulang
 selama dua hari di akhir pekan. Dan itu berlangsung hingga tiga puluh tahun!
 
 Ketika menutup buku harian itu, tertera sebuah nama: Olih Eliyani Permana
 
 Aku mengenal betul perempuan itu.
 
 Perempuan tengah baya yang dedikasinya tak perlu diragukan lagi.
 
 Seorang guru di sebuah desa terpencil.
 
 Yang mendidik anak-anaknya dengan kasih sayang yang tulus.
 
 ..................... ......... ......... ..... 
 
 ..................... . 
 
 Tak kuasa aku menahan linangan air mata dari sudut kelopak mataku.
 
 PEREMPUAN ITU ADALAH: IBUKU !
 
 * * * *
 
 1<http://bundagaul.com/include/ >Berdasarkanfckeditor/ editor/fckeditor .html?InstanceNa me=blogentry_ body&Toolbar= se_blog#sdfootno te1anc 
 kisah nyata Olih Eliyani Permana, seorang guru SMP N 1 Sukadana,
 Ciamis, Jawa Barat. Selama hampir 27 tahun, hanya bisa bertemu suami pada
 hari Sabtu dan Minggu karena lokasi tugas yang berjauhan. Ibu dua anak ini
 bisa dikatakan seorang diri membesarkan buah hatinya. Hingga anaknya
 beranjak dewasa. Yang satu telah meninggalkan rumah karena menikah dan
 satunya tinggal di luar kota begitu memasuki bangku kuliah.
 
 2<http://bundagaul.com/include/ >Penulisfckeditor/ editor/fckeditor .html?InstanceNa me=blogentry_ body&Toolbar= se_blog#sdfootno te2anc 
 bekerja sebagai GIS Remote Sensing Officer pada sebuah lembaga
 nirlaba berjaringan internasional di bilangan Kemang, Jakarta selatan.
 
 3<http://bundagaul.com/include/ >fckeditor/ editor/fckeditor .html?InstanceNa me=blogentry_ body&Toolbar= se_blog#sdfootno te3anc 
 *Panggilan suami dalam keluarga*
 
 4<http://bundagaul.com/include/ >fckeditor/ editor/fckeditor .html?InstanceNa me=blogentry_ body&Toolbar= se_blog#sdfootno te4anc 
 *Bagaimanapun Si Ujang membuat kamu sengsara, jangan pernah minta cerai*
 
- 4.
-       [Ruang Baca] Cinta Rasul, Kok Gitu?Posted by: "Mimin" minehaway@gmail.com mine_hawayFri Jul 31, 2009 2:10 am (PDT)
 Judul : Cinta Rasul, Kok Gitu..?
 Penulis : H.M. Subki Al-Bughury, S. Sos
 Penerbit : Al Mawardi Prima
 ISBN : 978-979-3862-53-8 
 
 Seringkali saya baca humor yang lucu tapi saru (jorok). Tapi tidak dalam
 buku "Cinta Rasul ko Gitu? buah karya Ust. Subkhi Al-Bughury, humornya segar
 dan beda tentunya. Karena kumpulan kisah ini penuh hikmah. Sebagai bukti
 sejarah dakwah melalui tulisan. Sangat menggelitik hingga membuat siapapun
 yang membacanya terkikik. Temenku baca jam 00.00 WIB tertawa sampai nggak
 berhenti-berhenti. Aku pun demikian, melahap lembar demi lembar bisa
 membantuku menghilangkan stress.
 Bahasa yang sederhana dan khas Betawi tapi bisa mengundang tawa.
 
 Dengan pemeran utama Si Jeding, pilihan nama yang unik untuk memerankan
 sebuah kisah. Kisah pertama berjudul "Cinta Rasul Kok Gitu", Ustadz Jeding
 melihat Bawul membaca shalawat sambil ngecak togel (toto gelap). Bawul
 telah mencampur adukkan kebenaran dengan kebathilan. Alasannya biar
 berkah, padahal seharusnya shalawat itu mencegahnya dari perbuatan judi.
 
 Kisah yang menurutku paling special yakni kisah No.06 berjudul "Salah
 Lullaby" halaman 29-32. Karena tokohnya ada yang bernama Mimin :D. Berikut
 petikan percakapan antara Si Jeding dengan istrinya.
 
 "Min, kata Ustadz Khairudin anak kita bandel mungkin lantaran kita salah *
 ngedidik* dia waktu masih kecil."
 "Salah ngedidik gimana , Bang?" Tanya Mimin, istrinya tak mengerti.
 "Kata Ustadz, waktu diindung-indung dulu, elu bacain selawat nggak?"
 "Nggak...saya cuman nyanyiin doan," jawab istrinya dengan rasa bersalah.
 "Nah itu dia! Terus, elu nyanyiin apaan?" Tanya Jeding penasaran.
 "Saya nyanyiin lagu dangdut," jawab istrinya.
 "Lagu dangdut? Lagu yang mana?" Jeding makin penasaran.
 "Yang begini nih, 'Mabok lagi ah' ah...mabok lagi ah'...," jawab istrinya
 sambil goyang pinggul.
 "Yaaah... pantes aja tuh anak mabok melulu!" Kata Jeding pasrah.
 
 Dan masih banyak kisah menggelitik lainnya. Seperti saat Si Jeding mengantar
 Ibunya pergi umrah. Baru sampai di Bombai, tapi Ibunya sudah ingin turun
 dari pesawat karena tidak betah. Di halaman ini saya temukan satu
 kekurangan. Judul kisahnya "Umi Mau Umrah Bukan Mau Maen Pelem", seharusnya
 Ummi bukan Umi. Karena Ummi berarti Ibu, sedangkan Umi berarti bodoh.
 Semoga ini bisa jadi koreksi untuk direvisi. Karena perbedaan artinya
 sangat jauh meskipun hanya beda satu huruf.
 
 Kisah yang membuat temanku tertawa tengah malam adalah kisah 22 "Imam Kok
 Bingung? Kisah ini mengingatkan dia pada engkong yang jadi imam di kampung.
 
 Tentunya bukan hanya hiburan yang terkandung dalam buku ini yang saya
 dapatkan tapi esensi dan ibroh (pelajaran) yang bisa dipetik dari setiap
 kisah.
 
 --
 http://minesweet.co.cc 
 YM : mine_haway
 
Need to Reply?
               Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.
MARKETPLACE
             
 Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Individual | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar