----- Original Message -----
 From: "Mailinglist Al-Sofwah" <ustadz@alsofwah.
 
 Assalamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh
 
 UNTUK PARA WALI
 
 Dalam bangunan rumah tangga, wali mempunyai peranan strategis dan
 kedudukan yang penting, di tangannyalah tali simpul akad pernikahan
 yang menjadi gerbang bagi bangunan rumah tangga diikat. Benar,
 tanpanya akad nikah tidak akan berlangsung, kalau tetap dipaksakan
 untuk berlangsung, maka akad nikah tersebut tidak sah, karena menurut
 pendapat yang rajih dalam masalah ini, wali merupakan salah satu
 syarat sah pernikahan. Dan sebelum itu wali merupakan pembentuk bagi
 salah satu pilar bangunan rumah tangga, yaitu mempelai wanita alias
 istri. Dalam naungan wali, seorang gadis ditempa dan dididik untuk
 -suatu saat kelak- memasuki gerbang pernikahan yang membawanya ke
 dalam bangunan rumah tangga yang membawanya kepada kebahagiaan dan
 ketenangan.
 
 Karena wali adalah pemegang tali simpul akad pernikahan di samping
 sebagai pendidik bagi mempelai wanita, maka di pundaknya tersemat
 tanggung jawab besar yang wajib dia pikul dan tugas yang tidak ringan
 yang harus dia emban.
 
 Pertama, membentuk putrinya menjadi wanita shalihah
 
 Hal ini sebagai wujud tanggung jawabnya sebagai pemimpin rumah tangga
 dalam menjaga keluarga dari api neraka sebagaimana yang difirmankan
 oleh Allah Subhanahu waTa'ala, "Wahai orang-orang beriman, peliharalah
 dirimu dan keluargamu dari api neraka."(QS.
 
 Dan sebagai pengamalan terhadap sabda Rasulullah shallallaahu
 'laihiwasallam, "Setiap orang dari kalian adalah pemimpin dan setiap
 orang akan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang
 laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan dia bertanggung jawab
 terhadap yang dipimpinnya.
 radiyallaahu 'anhu).
 
 Dengan membentuk putrinya sebagai wanita shalihah, maka dia telah
 mempermudah jalan bagi putrinya tersebut untuk menemukan jodoh yang
 shalih sebagai modal dasar bagi bangunan rumah tangga yang bahagia,
 karena yang baik berjodoh dengan yang baik, yang shalih bertemu dengan
 yang shalih.
 
 Kedua, menetapkan standar bagi calon menantu
 
 Benar dan harus, wali mesti mempunyai kriteria standar bagi siapa yang
 akan menjadi suami bagi putrinya, hal ini sebagai realisasi dari
 tanggung jawabnya sebagai pemimpin, namun jangan mengira bahwa
 kriteria standar dalam hal ini adalah ketampanan atau kedudukan atau
 harta dari calon suami, sekali pun semua itu menjadi pertimbangan
 utama bagi kebanyakan orang di zaman ini. Tidak, bukan semua itu, akan
 tetapi kriteria standar di sini adalah kriteria yang ditetapkan oleh
 teladan para wali yaitu Rasulullah shallallaahu 'laihiwasallam. Apa
 kriteria itu?
 
 Agama dan akhlak, hanya itu. Jika Anda sebagai wali didatangi oleh
 seseorang yang berharap menikah dengan putri Anda dan Anda ridha
 terhadap agama dan akhlaknya, kedua perkara ini telah memenuhi standar
 Anda, maka tidak ada alasan bagi Anda untuk tidak menerimanya.
 
 Petunjuk Rasulullah shallallaahu 'laihiwasallam kepada para wali,
 "Jika kalian didatangi oleh orang yang telah kamu terima agama dan
 akhlaknya maka nikahkanlah dia.." (HR. at-Tirmidzi)
 
 Ketiga, mempermudah urusan menikah
 
 Dengan tidak membebani calon menantunya melalui tuntutan-tuntutan
 materi yang memberatkan. Menikah adalah ibadah, menikah bertujuan
 menjaga anak-anak muda agar tidak terjerumus ke dalam dosa, maka sudah
 sepatutnya jika para wali mempermudah urusannya dan meringankan
 bebannya. Urusan yang sulit dan beban yang berat bisa menjadi
 penghalang anak-anak muda untuk menikah dan selanjutnya mereka bisa
 terjerat oleh jaring-jaring dosa yang di zaman ini tersebar di setiap
 sudut kehidupan, plus bertambahnya gadis-gadis usia menikah yang
 tertunda pernikahannya dan ujung-ujungnya bernasib menjadi perawan
 tua.
 
 Membebani calon menantu dengan tuntutan-tuntutan materi tidak ubahnya
 menjadikan putri sendiri layaknya barang dagangan yang baru akan
 dilepas dengan harga yang tinggi. Sebenarnya berapa pun materi yang
 dituntut oleh seorang wali dari calon suami putrinya tidak sebanding
 dan tidak sepadan. Siapa yang rela melepaskan kehormatannya hanya
 dengan materi yang terhitung jumlahnya kalau bukan karena Allah Rabbul
 'alamin mensyariatkannya?
 
 Said bin al-Musayyib, sayyid para tabiiin, menorehkan contoh sebagai
 wali dalam mempermudah urusan pernikahan, dia menikahkan putrinya
 dengan seorang laki-laki tidak berharta hanya dengan mahar beberapa
 dirham saja, padahal sebelumnya putrinya ini telah dilamar oleh
 khalifah untuk putra mahkotanya, namun Said sebagai wali menolaknya.
 
 Keempat, mencari orang shalih
 
 Jodoh memang di tangan Allah Subhanahu waTa'ala, jika ia datang
 sendiri dan sesuai dengan kriteria standar maka itulah yang
 diharapkan, namun terkadang kehidupan tidak selalu seperti yang kita
 harapkan, dalam kondisi ini bukan merupakan aib atau sesuatu yang
 memalukan jika Anda sebagai wali berupaya mencarikan jodoh untuk putri
 Anda dengan cara-cara yang ma'ruf tanpa merendahkan diri dan melanggar
 tatanan syariat.
 
 Benar, bukan aib dan tidak perlu malu dalam kebenaran dan tujuan
 mulia, karena hal semacam ini telah dilakukan oleh seorang laki-laki
 yang jauh lebih baik dan lebih bertakwa kepada Allah Subhanahu
 waTa'ala daripada Anda, orang ketiga dalam umat ini setelah rasulnya
 dan shiddiqnya, orang itu adalah Umar bin al-Khatthab radiyallaahu
 'anhu.
 
 Manakala sahabat Khunais bin Hadzafah suami Hafshah binti Umar bin
 al-Khatthab wafat, Umar radiyallaahu 'anhu memutuskan untuk mencari
 suami yang bisa melindungi dan menjaga putrinya. Pilihan Umar
 radiyallaahu 'anhu jatuh pada Abu Bakar Ash-Shiddiq radiyallaahu
 'anhu, karena dia mengenalnya sebagai laki-laki yang tenang dan penuh
 perhitungan yang membuatnya layak untuk Hafshah Dia menemui Abu Bakar
 radiyallaahu 'anhu, menyampaikan kepadanya keadaan putrinya yang
 menjanda. Kemudian secara terbuka dia menawarkannya untuk menikahinya,
 akan tetapi Abu Bakar tidak menjawab apa pun.
 
 Umar bingung menghadapi sikap Abu Bakar. Dia pergi kepada Usman bin
 Affan yang baru saja ditinggal wafat oleh istrinya Ruqayah binti
 Rasulullah shallallaahu 'laihiwasallam. Umar radiyallaahu 'anhu
 berbicara kepadanya dan menawarkan agar dia menikahi putrinya. Usman
 radiyallaahu 'anhu meminta waktu kepada Umar radiyallaahu 'anhu.
 Kemudian sesudah itu Usman radiyallaahu 'anhu menjawab, "Aku belum
 ingin menikah hari ini." Sikap Abu Bakar dan Usman radiyallaahu
 'anhuma menyesakkan dada Umar radiyallaahu 'anhu karena keduanya
 adalah teman-teman yang tidak buta terhadap kedudukannya. Maka Umar
 pergi kepada Rasulullah shallallaahu 'laihiwasallam mengadukan apa
 yang dialaminya.
 
 Nabi shallallaahu 'laihiwasallam tersenyum dan bersabda, "Hafshah akan
 dinikahi oleh orang yang lebih baik dari Usman dan Usman akan menikah
 dengan orang yang lebih baik dari Hafshah." Rasulullah shallallaahu
 'laihiwasallam melamar Hafshah. Umar sangat berbahagia. Abu Bakar
 datang memberi ucapan selamat kepada Umar seraya berkata, "Jangan
 marah kepadaku, karena Rasulullah shallallaahu 'laihiwasallam telah
 menyebut Hafshah dan tidak pantas bagiku membuka rahasia beliau.
 Seandainya beliau tidak menikahinya , maka aku yang menikahinya.
 (Oleh: Ust. Izzudin Karimi, Lc).
 
 Wassalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakatuh
 ------------
 dari: YAYASAN AL-SOFWA Jakarta
 
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================

 
