Rabu, 24 Februari 2010

[daarut-tauhiid] OOT: Rokok Adalah Penyumbang Kerugian Terbesar Negara, Bukan Penyumbang Devisa

 

JAKARTA (voa-islam.com) - Selama ini rokok dibilang
sebagai penyumbang devisa terbesar untuk negara padahal nyatanya rokok
justru menyumbang kerugian terbesar negara. Kerugian yang ditimbulkan
rokok bukan hanya masalah kesehatan saja tapi juga masalah moral dan
finansial.

Menurut data Depkes tahun 2004, total biaya konsumsi
atau pengeluaran untuk tembakau adalah Rp 127,4 triliun. Biaya itu
sudah termasuk biaya kesehatan, pengobatan dan kematian akibat
tembakau. Sementara itu penerimaan negara dari cukai tembakau adalah Rp
16,5 triliun.

"Artinya biaya pengeluaran untuk menangani masalah
kesehatan akibat rokok lebih besar 7,5 kali lipat daripada penerimaan
cukai rokok itu sendiri. Jadi sebenarnya kita ini sudah dibodohi, sudah
tahu rugi tapi tetap dipertahankan dan dikerjakan. Inilah cara berpikir
orang-orang tertentu yang bodoh," tutur kata Prof Farid A Moeloek,
Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau dalam acara Peningkatan
Cukai Rokok: Antara Kepentingan Ekonomi dan Kesehatan di Hotel Sahid
Jakarta, Rabu (17/2/2010).

...Artinya biaya pengeluaran untuk menangani masalah kesehatan
akibat rokok lebih besar 7,5 kali lipat daripada penerimaan cukai rokok
itu sendiri. Jadi sebenarnya kita ini sudah dibodohi...

Prof Farid mengatakan, rokok adalah pintu gerbang menuju
kemaksiatan, penurunan moral dan lost generation. "Tidak ada orang yang
minum alkohol, terkena HIV, atau memakai narkoba tanpa merokok terlebih
dahulu," kata Prof Farid yang juga mantan menteri kesehatan ini.

"Menurut
agama saja menghisap rokok adalah kegiatan yang mubazir atau makruh.
Memang dilema, di satu sisi negara butuh uang tapi di sisi lain banyak
yang dirugikan akibat rokok," tambahnya.

Dalam UU Kesehatan
No.36 Tahun 2009 disebutkan bahwa nikotin adalah zat aditif, sama
halnya dengan alkohol dan minuman keras. "Jadi rokok harusnya juga
diperlakukan sama dengan narkoba. Artinya kalau narkotik tidak
diiklankan, merokok juga harusnya tidak boleh. Masalah rokok juga harus
ditangani secara spesial," ujarnya.

Kenaikan cukai tembakau rokok sebesar 15 persen menurut Prof Farid dianggap tidak akan berpengaruh.
Pertama, karena rokok mengandung nikotin yang bersifat
candu, jadi bagaimanapun juga orang akan terus mencari dan mencari
rokok untuk memenuhi kebutuhannya.

Kedua, grafik elastisitas rokok bersifat inelastis, jadi kenaikan harga rokok tidak akan terlalu mengurangi konsumsi rokok.
Ketiga, pertambahan penduduk terus terjadi dan hal ini memungkinkan semakin banyak orang yang merokok.

Untuk
itu solusinya adalah, perlu regulasi atau Peraturan Pemerintah (PP)
khusus yang mengatur ketat penggunaan rokok. Sebenarnya sudah banyak UU
yang mengatur tentang rokok, misalnya UU Kesehatan No 36/2009, UU
Penyiaran No 33/1999, UU Perlindungan Anak No 23/2002, UU Psikotropika
No 5/1997 dan UU Cukai No 39/2007.

"Di situ ada aturannya
nikotin harus dibagaimanakan. Tapi karena UU itu berjalan
sendiri-sendiri maka tujuannya jadi tidak tercapai. Yang dibutuhkan
hanya harmonisasi UU," katanya.

Peningkatan cukai rokok juga
menurut Prof Farid harus didistribusikan pada kegiatan-kegiatan untuk
menangani sektor kesehatan. "Perokoklah yang membayar cukai tembakau
sehingga sudah semestinya dana cukai dikembalikan untuk memperbaiki
kesehatan masyarakat," ujarnya.

Akses email lebih cepat. Yahoo! menyarankan Anda meng-upgrade browser ke Internet Explorer 8 baru yang dioptimalkan untuk Yahoo! Dapatkan di sini!
http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: