Minggu, 28 Februari 2010

[daarut-tauhiid] UNTUK PARA WALI

 

----- Original Message -----
From: "Mailinglist Al-Sofwah" <ustadz@alsofwah.or.id>

Assalamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh

UNTUK PARA WALI

Dalam bangunan rumah tangga, wali mempunyai peranan strategis dan
kedudukan yang penting, di tangannyalah tali simpul akad pernikahan
yang menjadi gerbang bagi bangunan rumah tangga diikat. Benar,
tanpanya akad nikah tidak akan berlangsung, kalau tetap dipaksakan
untuk berlangsung, maka akad nikah tersebut tidak sah, karena menurut
pendapat yang rajih dalam masalah ini, wali merupakan salah satu
syarat sah pernikahan. Dan sebelum itu wali merupakan pembentuk bagi
salah satu pilar bangunan rumah tangga, yaitu mempelai wanita alias
istri. Dalam naungan wali, seorang gadis ditempa dan dididik untuk
-suatu saat kelak- memasuki gerbang pernikahan yang membawanya ke
dalam bangunan rumah tangga yang membawanya kepada kebahagiaan dan
ketenangan.

Karena wali adalah pemegang tali simpul akad pernikahan di samping
sebagai pendidik bagi mempelai wanita, maka di pundaknya tersemat
tanggung jawab besar yang wajib dia pikul dan tugas yang tidak ringan
yang harus dia emban.

Pertama, membentuk putrinya menjadi wanita shalihah

Hal ini sebagai wujud tanggung jawabnya sebagai pemimpin rumah tangga
dalam menjaga keluarga dari api neraka sebagaimana yang difirmankan
oleh Allah Subhanahu waTa'ala, "Wahai orang-orang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka."(QS.At-Tahrim: 6)

Dan sebagai pengamalan terhadap sabda Rasulullah shallallaahu
'laihiwasallam, "Setiap orang dari kalian adalah pemimpin dan setiap
orang akan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang
laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan dia bertanggung jawab
terhadap yang dipimpinnya." (HR. al-Bukhari dari Ibnu Umar
radiyallaahu 'anhu).

Dengan membentuk putrinya sebagai wanita shalihah, maka dia telah
mempermudah jalan bagi putrinya tersebut untuk menemukan jodoh yang
shalih sebagai modal dasar bagi bangunan rumah tangga yang bahagia,
karena yang baik berjodoh dengan yang baik, yang shalih bertemu dengan
yang shalih.

Kedua, menetapkan standar bagi calon menantu

Benar dan harus, wali mesti mempunyai kriteria standar bagi siapa yang
akan menjadi suami bagi putrinya, hal ini sebagai realisasi dari
tanggung jawabnya sebagai pemimpin, namun jangan mengira bahwa
kriteria standar dalam hal ini adalah ketampanan atau kedudukan atau
harta dari calon suami, sekali pun semua itu menjadi pertimbangan
utama bagi kebanyakan orang di zaman ini. Tidak, bukan semua itu, akan
tetapi kriteria standar di sini adalah kriteria yang ditetapkan oleh
teladan para wali yaitu Rasulullah shallallaahu 'laihiwasallam. Apa
kriteria itu?

Agama dan akhlak, hanya itu. Jika Anda sebagai wali didatangi oleh
seseorang yang berharap menikah dengan putri Anda dan Anda ridha
terhadap agama dan akhlaknya, kedua perkara ini telah memenuhi standar
Anda, maka tidak ada alasan bagi Anda untuk tidak menerimanya.

Petunjuk Rasulullah shallallaahu 'laihiwasallam kepada para wali,
"Jika kalian didatangi oleh orang yang telah kamu terima agama dan
akhlaknya maka nikahkanlah dia.." (HR. at-Tirmidzi).

Ketiga, mempermudah urusan menikah

Dengan tidak membebani calon menantunya melalui tuntutan-tuntutan
materi yang memberatkan. Menikah adalah ibadah, menikah bertujuan
menjaga anak-anak muda agar tidak terjerumus ke dalam dosa, maka sudah
sepatutnya jika para wali mempermudah urusannya dan meringankan
bebannya. Urusan yang sulit dan beban yang berat bisa menjadi
penghalang anak-anak muda untuk menikah dan selanjutnya mereka bisa
terjerat oleh jaring-jaring dosa yang di zaman ini tersebar di setiap
sudut kehidupan, plus bertambahnya gadis-gadis usia menikah yang
tertunda pernikahannya dan ujung-ujungnya bernasib menjadi perawan
tua.

Membebani calon menantu dengan tuntutan-tuntutan materi tidak ubahnya
menjadikan putri sendiri layaknya barang dagangan yang baru akan
dilepas dengan harga yang tinggi. Sebenarnya berapa pun materi yang
dituntut oleh seorang wali dari calon suami putrinya tidak sebanding
dan tidak sepadan. Siapa yang rela melepaskan kehormatannya hanya
dengan materi yang terhitung jumlahnya kalau bukan karena Allah Rabbul
'alamin mensyariatkannya?

Said bin al-Musayyib, sayyid para tabiiin, menorehkan contoh sebagai
wali dalam mempermudah urusan pernikahan, dia menikahkan putrinya
dengan seorang laki-laki tidak berharta hanya dengan mahar beberapa
dirham saja, padahal sebelumnya putrinya ini telah dilamar oleh
khalifah untuk putra mahkotanya, namun Said sebagai wali menolaknya.

Keempat, mencari orang shalih

Jodoh memang di tangan Allah Subhanahu waTa'ala, jika ia datang
sendiri dan sesuai dengan kriteria standar maka itulah yang
diharapkan, namun terkadang kehidupan tidak selalu seperti yang kita
harapkan, dalam kondisi ini bukan merupakan aib atau sesuatu yang
memalukan jika Anda sebagai wali berupaya mencarikan jodoh untuk putri
Anda dengan cara-cara yang ma'ruf tanpa merendahkan diri dan melanggar
tatanan syariat.

Benar, bukan aib dan tidak perlu malu dalam kebenaran dan tujuan
mulia, karena hal semacam ini telah dilakukan oleh seorang laki-laki
yang jauh lebih baik dan lebih bertakwa kepada Allah Subhanahu
waTa'ala daripada Anda, orang ketiga dalam umat ini setelah rasulnya
dan shiddiqnya, orang itu adalah Umar bin al-Khatthab radiyallaahu
'anhu.

Manakala sahabat Khunais bin Hadzafah suami Hafshah binti Umar bin
al-Khatthab wafat, Umar radiyallaahu 'anhu memutuskan untuk mencari
suami yang bisa melindungi dan menjaga putrinya. Pilihan Umar
radiyallaahu 'anhu jatuh pada Abu Bakar Ash-Shiddiq radiyallaahu
'anhu, karena dia mengenalnya sebagai laki-laki yang tenang dan penuh
perhitungan yang membuatnya layak untuk Hafshah Dia menemui Abu Bakar
radiyallaahu 'anhu, menyampaikan kepadanya keadaan putrinya yang
menjanda. Kemudian secara terbuka dia menawarkannya untuk menikahinya,
akan tetapi Abu Bakar tidak menjawab apa pun.

Umar bingung menghadapi sikap Abu Bakar. Dia pergi kepada Usman bin
Affan yang baru saja ditinggal wafat oleh istrinya Ruqayah binti
Rasulullah shallallaahu 'laihiwasallam. Umar radiyallaahu 'anhu
berbicara kepadanya dan menawarkan agar dia menikahi putrinya. Usman
radiyallaahu 'anhu meminta waktu kepada Umar radiyallaahu 'anhu.
Kemudian sesudah itu Usman radiyallaahu 'anhu menjawab, "Aku belum
ingin menikah hari ini." Sikap Abu Bakar dan Usman radiyallaahu
'anhuma menyesakkan dada Umar radiyallaahu 'anhu karena keduanya
adalah teman-teman yang tidak buta terhadap kedudukannya. Maka Umar
pergi kepada Rasulullah shallallaahu 'laihiwasallam mengadukan apa
yang dialaminya.

Nabi shallallaahu 'laihiwasallam tersenyum dan bersabda, "Hafshah akan
dinikahi oleh orang yang lebih baik dari Usman dan Usman akan menikah
dengan orang yang lebih baik dari Hafshah." Rasulullah shallallaahu
'laihiwasallam melamar Hafshah. Umar sangat berbahagia. Abu Bakar
datang memberi ucapan selamat kepada Umar seraya berkata, "Jangan
marah kepadaku, karena Rasulullah shallallaahu 'laihiwasallam telah
menyebut Hafshah dan tidak pantas bagiku membuka rahasia beliau.
Seandainya beliau tidak menikahinya , maka aku yang menikahinya."
(Oleh: Ust. Izzudin Karimi, Lc).

Wassalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakatuh
----------------------------------------------------------
dari: YAYASAN AL-SOFWA Jakarta

__._,_.___
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: