Kamis, 25 Februari 2010

[daarut-tauhiid] Bila Hati Bercahaya

 

Bila Hati Bercahaya
Sumber: Aa Gym

=============

Adakah di antara
kita yang merasa mencapai sukses hidup karena telah berhasil meraih
segalanya: harta, gelar, pangkat, jabatan, dan kedudukan yang telah
menggenggam seluruh isi dunia ini? Marilah kita kaji ulang, seberapa
besar sebenarnya nilai dari apa apa yang telah kita raih selama ini.

Di
sebuah harian pernah diberitakan tentang penemuan baru berupa teropong
yang diberi nama telescope Hubble. Dengan teropong ini, berhasil
ditemukan sebanyak lima
milyar gugusan galaksi. Padahal yang telah kita ketahui selama ini
adalah suatu gugusan bernama galaksi bimasakti, yang di dalamnya
terdapat planet-planet yang membuat takjub siapa pun yang mencoba
bersungguh-sungguh mempelajarinya. Matahari saja merupakan salah satu
planet yang sangat kecil, yang berada dalam gugusan galaksi di dalam
tata surya kita. Nah, apalagi planet bumi ini sendiri yang besarnya
hanya satu noktah. Sungguh tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan lima milyar gugusan
galaksi tersebut. Sungguh alangkah dahsyatnya.

Sayangnya,
seringkali orang yang merasa telah berhasil meraih segala apa pun yang
dirindukannya di bumi ini—dan dengan demikian merasa telah sukses—suka
tergelincir hanya mempergauli dunianya saja. Akibatnya, keberadaannya
membuat ia bangga dan pongah, tetapi ketiadaannya serta merta membuat
lahir batinnya sengsara dan tersiksa. Manakala berhasil mencapai apa
yang diinginkannya, ia merasa semua itu hasil usaha dan kerja kerasnya
semata. Sedangkan ketika gagal
mendapatkannya, ia pun serta merta merasa diri sial. Bahkan tidak jarang kesialannya itu ditimpakan atau
dicarikan kambing hitamnya pada orang lain.

Orang
semacam ini tentu telah lupa bahwa apa pun yang diinginkannya dan
diusahakan oleh manusia sangat tergantung pada izin Allah Azza wa
Jalla. Mati-matian ia berjuang mengejar apa-apa yang dinginkannya,
pasti tak akan dapat dicapai tanpa izin-Nya. Laa haula walaa quwwata
illaabillaah! Begitulah kalau orang hanya bergaul dengan dunia
yang ternyata tidak ada apa-apanya ini.

Padahal,
seharusnya kita bergaul hanya dengan Allah Azza wa Jalla, Zat yang Maha
Menguasai jagat raya, sehingga hati kita tidak akan pernah galau oleh
dunia yang kecil mungil ini. Laa
khaufun alaihim walaa hum yahjanuun!
Sama sekali tidak ada kecemasan dalam menghadapi urusan apa pun di
dunia ini. Semuanya tidak lain karena hati selalu sibuk dengan Dia, Zat
Pemilik Alam Semesta yang begitu hebat dan dahsyat.

Sikap inilah sesungguhnya yang harus senantiasa
kita latih dalam mempergauli kehidupan di dunia ini. Tubuh
lekat dengan dunia, tetapi jangan biarkan hati turut lekat dengannya.
Ada dan tiadanya segala perkara dunia ini di sisi kita jangan
sekali-kali membuat hati goyah karena toh sama pahalanya di
sisi Allah. Sekali hati ini lekat dengan dunia, maka adanya akan
membuat bangga, sedangkan tiadanya akan membuat kita terluka. Ini
berarti kita akan sengsara karenanya, karena ada dan tiada itu akan
terus menerus terjadi.

Betapa tidak! Tabiat dunia itu senantisa
dipergilirkan. Datang, tertahan, diambil. Mudah, susah.
Sehat, sakit. Dipuji, dicaci. Dihormati, direndahkan. Semuanya terjadi
silih berganti. Nah, kalau hati kita hanya akrab dengan
kejadian-kejadian seperti itu tanpa akrab dengan Zat pemilik
kejadiannya, maka letihlah hidup kita.

Lain
halnya kalau hati kita selalu bersama Allah. Perubahan apa saja dalam
episode kehidupan dunia tidak akan ada satu pun yang merugikan kita.
Artinya, memang kita harus terus menerus meningkatkan mutu pengenalan
kita kepada Allah Azza wa Jalla.

Di
antara yang penting utnuk diperhatikan sekiranya ingin dicintai Allah
adalah kita harus zuhud terhadap dunia ini. Rasulullah saw pernah
bersabda, "Barangsiapa yang zuhud terhadap dunia, niscaya Allah
mencintainya, dan barangsiapa yang zuhud terhadap apa yang ada di
tangan manusia, niscaya manusia mencintainya."

Zuhud
terhadap dunia bukan berarti tidak mempunyai hal-hal yang bersifat
duniawi, melainkan kita lebih yakin dengan apa yang ada di sisi Allah
daripada apa yang ada di tangan kita. Bagi orang-orang yang zuhud
terhadap dunia, sebanyak apa pun yang dimiliki sama sekali tidak akan
membuat hati merasa tenteram karena ketenteraman itu hanyalah apa-apa
yang ada di sisi Allah.

Rasulullah SAW bersabda, "Melakukan
zuhud dalam kehidupan di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal
dan bukan pula memboroskan kekayaan. Zuhud terhadap kehidupan dunia itu
ialah tidak menganggap apa yang ada pada dirimu lebih pasti daripada
apa yang ada pada Allah." (HR Ahmad, Mauqufan)

Andaikata
kita merasa lebih tenteram dengan sejumlah tabungan di bank, maka
berarti kita belum zuhud. Seberapa besar pun uang tabungan kita,
seharusnya kita lebih merasa tenteram dengan jaminan Allah. Ini
dikarenakan apa pun yang kita miliki belum tentu menjadi rezeki kalau
tidak ada izin Allah.

Sekiranya
kita memiliki orangtua atau sahabat yang memiliki kedudukan tertentu,
hendaknya kita tidak sampai merasa tenteram dengan jaminan mereka atau
siapa pun. Karena, semua itu tidak akan
datang kepada kita, kecuali dengan izin Allah.

Orang
yang zuhud terhadap dunia melihat apa pun yang dimilikinya tidak
menjadi jaminan. Ia lebih suka dengan jaminan Allah karena walaupun
tidak tampak dan tidak tertulis, tetapi
Dia Maha Tahu akan segala
kebutuhan kita. Jangan ukur kemuliaan seseorang dengan adanya dunia
digenggamannya. Sebaliknya jangan pula meremehkan seseorang karena ia
tidak memiliki apa-apa. Kalau kita tidak menghormati seseorang karena
ia tidak memiliki apa-apa. Kalau kita menghormati seseorang karena
kedudukan dan kekayaannya. Kalau meremehkan seseorang karena ia papa
dan jelata, maka ini berarti kita sudah mulai cinta dunia. Akibatnya
akan susah hati ini bercahaya di sisi Allah.

Mengapa
demikian? Karena, hati kita akan dihinggapi sifat sombong dan takabur
dengan selalu mudah membeda-bedakan teman atau seseorang yang datang
kepada kita. Padahal siapa tahu Allah mendatangkan seseorang yang
sederhana itu sebagai isyarat bahwa Dia akan menurunkan pertolongan-Nya
kepada kita.

Hendaknya
dari sekarang mulai diubah sistem kalkulasi kita atas
keuntungan-keuntungan. Ketika hendak membeli suatu barang dan kita tahu
harga barang tersebut di supermarket lebih murah ketimbang membelinya
pada seorang ibu tua yang berjualan dengan bakul sederhananya, sehingga
kita merasa perlu untuk menawarnya dengan harga serendah mungkin, maka
mulailah merasa beruntung jika kita menguntungkan ibu tua berimbang
kita mendapatkan untung darinya. Artinya, pilihan membeli tentu akan
lebih baik jatuh padanya dan dengan harga yang ditawarkannya daripada
membelinya ke supermarket.
Walhasil, keuntungan bagi kita justru ketika
kita bisa memberikan sesuatu kepada orang lain.

Lain
halnya dengan keuntungan diuniawi. Keuntungan semacam ini baru terasa
ketika mendapatkan sesuatu dari orang lain. Sedangkan arti keuntungan
bagi kita adalah ketika bisa memberi lebih daripada yang diberikan oleh
orang lain. Jelas, akan sangat lain nilai
kepuasan batinnya juga.

Bagi
orang-orang yang cinta dunia, tampak sekali bahwa keuntungan bagi
dirinya adalah ketika ia dihormati, disegani, dipuji, dan dimuliakan. Akan
tetapi, bagi orang-orang yang sangat merindukan kedudukan di sisi
Allah, justru kelezatan menikmati keuntungan itu ketika berhasil dengan
ikhlas menghargai, memuliakan, dan menolong orang lain. Cukup
ini saja! Perkara berterima kasih atau tidak, itu samasekali bukan
urusan kita. Dapatnya kita menghargai, memuliakan, dan menolong orang
lain pun sudah merupakan keberuntungan yang sangat luar biasa.

Sungguh
sangat lain bagi ahli dunia, yang segalanya serba kalkulasi, balas
membalas, serta ada imbalan atau tidak ada imbalan. Karenanya, tidak
usah heran kalau para ahli dunia itu akan banyak letih karena
hari-harinya selalu penuh dengan tuntutan dan penghargaan, pujian, dan
lain sebagainya, dari orang lain. Terkadang untuk mendapatkan semua itu
ia merekayasa perkataan, penampilan, dan banyak hal demi untuk meraih
penghargaan.

Bagi
ahli zuhud tidaklah demikian. Yang penting kita buat tatanan kehidupan
ini seproporsional mungkin, dengan menghargai, memuliakan, dan membantu
orang lain tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Inilah
keuntungan-keuntungan bagi ahli-ahli zuhud. Lebih merasa aman dan
menyukai apa-apa yang terbaik di sisi Allah daripada apa yang
didapatkan dari selain Dia.

Walhasil,
siapa pun yang merindukan hatinya bercahaya karena senantiasa dicahayai
oleh nuur dari sisi Allah, hendaknya ia berjuang sekuat-kuatnya untuk
mengubah diri, mengubah sikap hidup, menjadi orang yang tidak cinta
dunia, sehingga jadilah ia ahli zuhud.

"Adakalanya
nuur Illahi itu turun kepadamu," tulis Syaikh Ibnu Atho'illah dalam
kitabnya, Al Hikam, "tetapi ternyata hatimu penuh dengan keduniaan,
sehingga kembalilah nuur itu ke tempatnya semula. Oleh sebab itu,
kosongkanlah hatimu dari segala sesuatu selain Allah, niscaya Allah
akan memenuhinya dengan ma'rifat dan rahasia-rahasia."

Subhanallaah,
sungguh akan merasakan hakikat kelezatan hidup di dunia ini, yang
sangat luar biasa, siapa pun yang hatinya telah dipenuhi dengan cahaya
dari sisi Allah Azza wa Jalla. "Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing
(seorang hamba) kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki ..." (QS
An-Nuur [24]: 35)

====sumber:cyberMQ.com
Jadikanlah Sabar dan Shalat Sebagai Penolongmu. Dan Sesungguhnya Yang Demikian itu Sungguh Berat, Kecuali Bagi Orang-Orang yang Khusyu [ Al Baqarah : 45 ]

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: