Sabtu, 20 Februari 2010

[daarut-tauhiid] JANGAN MERASA BENAR SENDIRI

 



Bismillaah

Assalamu'alaykum wa Rohmatulloohi wa Barokatuhu

JANGAN MERASA BENAR SENDIRI

Ditulis Oleh
Abu Yahya Badrussalam Lc

Banyak orang ketika anda tegur kesalahan yang ia lakukan berkilah
dengan mengatakan : "sudahlah, jangan merasa benar sendiri !"
sehingga menjadi pertanyaan pada benak banyak orang, apakah
perkataan tersebut berasal dari wahyu ataukah hanya sebatas kilah
yang tak beralaskan pada dalil ? Tentunya hal ini harus kita cermati
secara seksama dengan hati yang dingin apakah ada ayat atau hadits
atau pendapat para ulama yang mengatakan dengan perkataan tersebut.

Cobalah kita buka surat An-Nisaa : 59

"Artinya : Jika kamu berbeda pendapat tentang suatu perkara maka
kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rosul (assunnah) jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.."

Ayat ini dengan tegas mengatakan bahwa setiap perselisihan wajib
dikembalikan kepada Allah dan RosulNya, Allah tidak mengatakan :

"Jika kamu berselisih janganlah kamu merasa benar sendiri, atau
kembalikan pada pendapat masing-masing. Akan tetapi Allah menyuruh
untuk mengembalikannya kepada Al Qur'an dan sunnah, ini menunjukkan
bahwa yang benar hanyalah yang berdasarkan Al Qur'an dan sunnah"

Para sahabat senantiasa menyalahkan orang-orang yang mereka pandang
salah dan tidak pernah diantara mereka yang mengatakan, " jangan
merasa benar sendiri !"

Seperti dalam suatu kisah yang diriwayatkan oleh Al-Lalikai dalam
kitab Syarah I'tiqod Ahlissunnah dengan sanad yang shohih dan
Addarimi dalam sunannya bahwa Ibnu Mas'ud mendatangi suatu kaum yang
berdzikir berjama'ah dengan memakai kerikil dan berkata :"Celaka
kamu Umat Muhammad betapa cepatnya kebinasaan kalianĂ¢€¦.apakah kamu
merasa diatas millah Muhammad ataukah kamu hendak membuka pintu
kesesatan ? kemudian mereka berkata : "sesungguhnya kami
menginginkan kebaikan" . Beliau berkata : "Berapa banyak orang yang
menginginkan kebaikan tapi ia tidak mendapatkannya (karena caranya
salah, pen)". dalam kisah tersebut tidak dikatakan : jangan kamu
merasa benar sendiri.

Demikian pula para Tabi'in, disebutkan dalam kisah yang diriwayatkan
oleh Al Baihaqi dalam sunannya,Abdurrozaq , Ad Darimi dan Ibnu Nashr
bahwa Sa'id bin Musayyib melihat seorang laki-laki sholat setelah
terbit fajar lebih dari dua roka'at lalu Sa'id melarangnya,
kemudian orang itu berkata : " wahai Abu Muhammad, apakah Allah
akan mengadzab saya gara-gara sholat ? beliau menjawab "Tidak, tapi
Allah akan mengadzabmu karena menyalahi sunnah". Tidak pula
dikatakan padanya : jangan merasa benar sendiri.

Demikian pula Tabi'ut Tabi'in dan para ulama setelahnya. Senantiasa
mereka membantah pendapat yang mereka pandang lemah atau salah tapi
tidak ada satupun dari mreka yang mengatakan " jangan merasa benar
sendiri". Disebutkan dalam kisah yang shohih bahwa Imam Asy Syafi'i
mendebat Imam Ahmad dalam masalah hukum orang yang meninggalkan
sholat, dimana Imam Ahmad berpendapat bahwa orang yang meninggalkan
sholat kafir murtad dari agama Islam sedangkan Imam Asy Syafi'i
tidak mengkafirkannya, tapi Imam Asy Syafi'i tidak pernah
mengatakan : " jangan merasa benar sendiri" tapi yang dikatakan oleh
Imam Asy Syafi'i adalah : "Tidaklah aku berdialog dengan seorangpun
kecuali aku berkata : Ya Allah alirkanlah kebenaran pada lisan dan
hatinya, jika kebenaran itu bersamaku,ia mau mengikutiku dan jika
kebenaran itu ada padanya, aku akan mengikutinya" .

Mereka juga menulis kitab-kitab bantahan terhadap bid'ah dan
kesesatan, Imam Ahmad menulis kitab Arrodd alal Jahmiyyah (bantahan
terhadap Jahmiyyah), Abu Dawud punya kitab Arrodd 'alal qodariyyah
(bantahan terhadap Al Qodariyyah), Ad Darimi menulis kitab Roddu
Utsman Ad Darimi 'ala Bisyir Al Marisi Adl Dlooll (bantahan Utsman
Ad Darimi terhadap Bisyir Al Marisi yang sesat) dan banyak lagi
kitab-kitab bantahan lainnya. Tidak ada satupun diantara mereka yang
berkata : "jangan merasa benar sendiri". Coba anda renungkan
perkataan Abu Isma'il Abdullah bin Muhammad Al Anshori "Pedang
dihadapkan kepadaku sebanyak lima kali bukan untuk menyuruhku agar
keluar dari keyakinanku, akan tetapi dikatakan kepadaku : "Diamlah
dari orang yang menyelisihmu !! aku tetap menjawab "Aku tidak akan
pernah diam .."

Merasa benar adalah fitrah manusia, buktinya jika engkau bertanya
kepada orang yang mengatakan " Jangan merasa benar
sendiri" : "Apakah anda merasa benar dengan perkataan tersebut ?
tentu ia berkata : "Ya", Dia sendiri merasa benar sendiri dengan
pendapat tersebut lalu ia melarang orang lain merasa benar sendiri,
jelas ini kontradiktif yang fatal.

Meluruskan Pemahaman
Sebagian orang ada yang berdalil dengan sebuah kisah yang
diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim bahwa Nabi shalallahu 'alaihi
wa sallam bersabda : "Janganlah kamu sholat kecuali di Bani
Quroidzoh, kemudian ditengah jalan masuk waktu ashar, maka sebagian
mereka berkata "Kita sholat disana". Sebagian lagi berkata : "Kita
sholat dijalan, beliau tidak bermaksud demikian". Lalu disebutkan
hal itu kepada Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam tapi beliau tidak
mencela seorangpun dari mereka.

Al Hafidz ibnu Hajar dalam fathul Bari (7/409-410)
berkata, "Berdalil dengan kisah ini untuk mengatakan bahwa setiap
mujtahid itu benar adalah pendalilan yang tidak jelas, hadist ini
hanya menunjukkan bahwa beliau tidak mencela orang yang memberikan
kesungguhan untuk berijtihad". Hal ini menunjukkan kepada dua
perkara:

Pertama : Pendapat yang mengatakan bahwa setiap mujtahid itu benar
adalah pendapat yang bathil, karena Nabi shalallahu 'alaihi wa
sallam dalam hadist ijtihad (yaitu hadits: "Apabila Hakim berijtihad
kemudian benar maka ia mendapat dua pahala dan apabila salah maka ia
mendapatkan satu pahala"). Beliau shalallahu 'alaihi wa sallam hanya
menyebutkan benar atau salah tidak mengatakan bahwa dua-duanya
benar.

Kedua : Bahwa perkara ini khusus para mujtahid, adapun bila telah
nyata bahwa mujtahid itu salah dalam ijtihadnya maka haram kita
mengikuti kesalahannya tersebut.

Sebagian lagi ada yang berhujjah dengan hadits : "Perselisihan umatku
adalah rahmat".

Padahal hadist ini dinyatakan oleh para ahli hadits sebagai hadits
yang tidak ada asal usulnya. lihat silsilah dlo'ifah I/76-85) Ibni
Hazm berkata : " ini adalah perkataan yang sangat rusak, sebab jika
perselisihan itu rahmat berarti persatuannya adalah adzab, jelas ini
tidak akan di katakan oleh seorang muslimpun, karena tidak ada
kecuali berselisih atau bersatu " (Al Ihkamul fi ushulil fiqih
4/64).

Bahkan secara akalpun pernyataan bahwa ikhtilaf (perselisihan)
adalah rahmat adalah bathil, sebab kita semua tahu bahwa tujuan
musyawarah adalahlah untuk mencari mufakat, bila perselisihan itu
rahmat, maka seharusnya musyawarah tujuannya adalah supaya
berselisih karena ia adalah rahmat. Dan ini jelas batil bagi orang
yang berakal.

Sebagian lagi ada yang berkata :"Sudahlah selama itu masih di
perselisihkan oleh para ulama tidak perlu kita merasa benar sendiri,
sehingga perselisihan ulama dijadikan hujjah untuk membolehkan
pendapatnya, padahal Allah subhanahu wata'ala menyuruh kita untuk
mencari pendapat yang lebih dekata kepada Al Qur'an dan As sunnah.
Pendapat ini telah disanggah oleh para ulama di antaranya adalah
Imam Ibnu Abdil Barr, beliau berkata "Perselisihan ulama bukan
hujjah menurut seluruh para ulama yang kami ketahui" (Jami ul bayan
2/229)

Al Khaththabi berkata : "Ikhtilaf ulama bukan hujjah tapi
menjelaskan sunnah adalah hujjah dari zaman dahulu sampai sekarang".
(A'lamul Hadits 3/2092).

Ibnu Taimiyah berkata, "Tidak boleh seorang pun berhujjah dengan
pendapat seseorang dalam perkara yang masih di perselisihkan, karena
hujjah itu hanyalah nash,ijma dan dalil yang diambil dari keduanya,
bukan diambil dari pendapat ulama karena pendapat ulama dijadikan
hujjah bila sesuai dengan dalil syari'at dan tidak boleh dijadikan
hujjah untuk menolak dalil syari'at ". (Majmu fatawa 26/202-203).

Demikian pula para ulama ushul fiqih telah membahas suatu bab ilmu
ushul fiqih yang bernama bab Tarjih yaitu tata cara memilih pendapat
yang paling kuat,bila sebatas perselisihan ulama dapat dijadikan
alasan tentulah pembahasan maslah tarjih tidak akan ada manfaatnya.

Bahkan berhujjah dengan perselisihan para ulama pada zaman
sekarang di gunakan oleh aliran sesat yang bernama JIL (Jaringan
Islam Liberal) dimana mereka selalu membawakan pendapat ulama yang
sesuai dengan seleranya. Hal ini menunjukkan bahwa berhujjah dengan
perselisihan ulama adalah membuka pintu bagi orang-orang sesat untuk
berkilah dan membenarkan pendapatnya. Sungguh benar perkataan
seorang ulama salaf : " Barang siapa yang mencari-cari rukhsoh para
ulama ia akan menjadi zindiq".

Jadi merasa benar dengan pendapatnya yang jelas dalilnya lebih-lebih
bila didukung oleh ijma ulama adalah sebuah keharusan sedangkan
merasa benar dengan kesesatan adalah kesalahan fatal. Adapun dalam
perkara ijtihadi yang tidak ada dalilnya yang gamblang maka kita
ikuti yang paling kuat dalilnya tanpa menyesatkan yang lainnya.

Wallahu alam.

Rujukan
Zajrul Matahawin
Ilmu Ushul Bida',
Majmu Fatawa dll.

Diketik ulang dari Buletin At-Tauhid.

Walhamdulillaah

Wassalamu'alaykum wa Rohmatulloohi wa Barokatuhu

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: