Senin, 15 Agustus 2011

[daarut-tauhiid] FIQIH SHAUM BAGI MUSLIMAH

 

Muqoddimah

Dalam surat Al-Baqoroh : 183, Allah SWT memerintahkan umat Islam
melaksanakan shiyam, untuk mencapai derajat taqwa. Perintah ini adalah umum,
baik untuk pria maupun wanita. Tetapi dalam perincian pelaksanaan shiyam,
ada beberapa hukum khusus bagi wanita. Hal ini terjadi karena perbedaan
fithrah yang ada pada wanita yang tidak dimiliki oleh pria. Dalam kajian
ini- insya Allah- akan dibahas hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita
secara khusus.

Panduan Umum

1.. Wanita sebagaimana pria disyari'atkan memanfaatkan bulan suci ini
untuk hal-hal yang bermanfaat, dan memperbanyak menggunakan waktu untuk
beribadah. Seperti memperbanyak bacaan Al-Qur'an, dzikir, do'a, shodaqoh dan
lain sebagainya, karena pada bulan ini amal sholeh dilipatgandakan
pahalanya.

2.. Mengajarkan kepada anak-anaknya akan nilai bulan Ramadhan bagi umat
Islam, dan membiasakan mereka berpuasa secara bertahap (tadarruj), serta
menerangkan hukum-hukum puasa yang bisa mereka cerna sesuai dengan tingkat
kefahaman yang mereka miliki.

3.. Tidak mengabiskan waktu hanya di dapur, dengan membuat berbagai
variasi makanan untuk berbuka. Memang wanita perlu menyiapkan makanan,
tetapi jangan sampai hal itu menguras seluruh waktunya, karena ia juga
dituntut untuk mengisi waktunya dengan beribadah dan bertaqorrub kepada
Allah.

4.. Melaksanakan shalat pada waktunya (awal waktu) III. Hukum Berpuasa
bagi Muslimah Berdasarkan umumnya firman Allah SWT (QS. Al-Baqoroh: 183)
serta hadits Rasulullah SAW (HR.Bukhori & Muslim), maka para ulama'
ber-ijma' bahwa hukum puasa bagi muslimah adalah wajib, apabila memenuhi
syarat-syarat; antara lain: Islam, akil baligh, muqim, dan tidak ada hal-hal
yang menghalangi untuk berpuasa.

Wanita Shalat Tarawih, I'tikaf dan Lailat al Qodr

Wanita diperbolehkan untuk melaksanakan shalat tarawih di masjid jika aman
dari fitnah. Rasulullah SAW bersabda: " Janganlah kalian melarang wanita
untuk mengunjungi masjid-masjid Allah " (HR. Bukhori). Prilaku ini juga
dalakukan oleh para salafush shaleh. Namun demikian, wanita diharuskan untuk
berhijab (memakai busana muslimah), tidak mengeraskan suaranya, tidak
menampakkan perhiasan- perhiasannya, tidak memakai angi-wangian, dan keluar
dengan izin (ridlo) suami atau orang tua. Shof wanita berada dibelakang shof
pria, dan sebaik-baik shof wanita adalah shof yang di belakang (HR. Muslim).

Tetapi jika ia ke masjid hanya untuk shalat, tidak untuk yang lainnya,
seperti mendengarkan pengajian, mendengarkan bacaan Al-Qur'an (yang
dialunkan dengan baik), maka shalat di rumahnya adalah lebih afdlol. Wanita
juga diperbolehkan melakukan i'tikaf baik di masjid rumahnya maupun di
masjid yang lain bila tidak menimbulkan fitnah, dan dengan mendapatkan izin
suami, dan sebaiknya masjid yang dipakai i'tikaf menempel atau sangat
berdekatan dengan rumahnya serta terdapat fasilitas khusus bagi wanita.
Disamping itu wanita juga di perbolehkan menggapai 'lailat al qodr',
sebagaimana hal tersebut dicontohkan Rasulullah SAW dengan sebagian isteri
beliau. (Lebih lanjut lihat panduan tentang i'tikaf dan lailat al qodr).

Wanita Haidh dan Nifas

Shiyam dalam kondisi ini hukumnya haram.

Apabila haid atau nifas keluar meski sesaat sebelum maghrib, ia wajib
membatalkan puasanya dan mengqodo'nya (mengganti) pada waktu yang lain.

Apabila ia suci pada siang hari, maka untuk hari itu ia tidak boleh
berpuasa, sebab pada pagi harinya ia tidak dalam keadaan suci.

Apabila ia suci pada malam hari Ramadhan meskipun sesaat sebelum fajar, maka
puasa pada hari itu wajib atasnya, walaupun ia mandi setelah terbit fajar.

Wanita Hamil dan Menyusui

a.. Jika wanita hamil itu takut akan keselamatan kandungannya, ia boleh
berbuka.

b.. Apabila kekhawatiran ini terbukti dengan pemeriksaan secara medis dari
dua dokter yang terpercaya, berbuka untuk ibu ini hukumnya wajib, demi
keselamatan janin yang ada dikandungannya.

c.. Apabila ibu hamil atau menyusui khawatir akan kesehatan dirinya, bukan
kesehatan anak atau janin, mayoritas ulama' membolehkan ia berbuka, dan ia
hanya wajib mengqodo' (mengganti) puasanya. Dalam keadaan ini ia laksana
orang sakit.

d.. Apabila ibu hamil atau menyusui khawatir akan keselamatan janin atau
anaknya (setelah para ulama' sepakat bahwa sang ibu boleh berbuka), mereka
berbeda pendapat dalam hal: Apakah ia hanya wajib mengqodo' ? atau hanya
wajib membayar fidyah (memberi makan orang miskin setiap hari sejumlah hari
yang ia tinggalkan) ? atau kedua-duanya qodho' dan fidyah (memberi makan):

a.. Ibnu Umar dan Ibnu Abbas membolehkan hanya dengan memberi makan orang
miskin setiap hari sejumlah hari yang ditinggalkan.

b.. Mayoritas ulama' mewajibkan hanya mengqodho'.

c.. Sebagian yang lain mewajibkan kedua-duanya; qodho' dan fidyah.

d.. DR. Yusuf Qordhowi dalam Fatawa Mu'ashiroh mengatakan bahwa ia
cenderung kepada pendapat yang mengatakan cukup untuk membanyar fidyah
(memberi makan orang setiap hari), bagi wanita yang tidak henti-hentinya
hamil dan menyusui. Tahun ini hamil, tahun berikutnya menyusui, kemudian
hamil dan menyusui, dan seterusnya, sehingga ia tidak mendapatkan kesempatan
untuk mengqodho' puasanya. Lanjut DR. Yusuf al-Qordlowi; apabila kita
membebani dengan mengqodho' puasa yang tertinggal, berarti ia harus berbuasa
beberapa tahun berturut-turut sertelah itu, dan itu sangat memberatkan ,
sedangkan Allah tidak menghendaki kesulitan bagi hambaNya.

Wanita yang Berusia lanjut

Apabila puasa membuatnya sakit, maka dalam kondisi ini ia boleh tidak
berpuasa. Secara umum, orang yang sudah berusia lanjut tidak bisa diharapkan
untuk melaksanakan (mengqodho') puasa pada tahun-tahun berikutnya, karena
itu ia hanya wajib membayar fidyah (memberi makan orang miskin).

Wanita dan Tablet Pengentas Haidh

Syekh Ibnu Utsaimin menfatwakan bahwa penggunaan obat tersebut tidak
dianjurkan. Bahkan bisa berakibat tidak baik bagi kesehatan wanita. Karena
haid adalah hal yang telah ditakdirkan bagi wanita, dan kaum wanita di masa
Rasulullah SAW tidak pernah membebani diri mereka untuk melakukan hal
tersebut. Namun apabila ada yang melakukan, bagaimana hukumnya ?. Jawabnya:
- Apabila darah benar-benar terhenti, puasanya sah dan tidak diperintahkan
untuk mengulang. - Tetapi apabila ia ragu, apakah darah benar-benar berhenti
atau tidak,maka hukumnya seperti wanita haid, ia tidak boleh melakukan
puasa. ( Masa'il ash Shiyam h. 63 & Jami'u Ahkam an Nisa' 2/393)

Mencicipi Masakan

Wanita yang bekerja di dapur mungkin khawatir akan masakan yang diolahnya
pada bulan puasa, karena ia tidak dapat merasakan apakah masakan tersebut
keasinan atau tidak atau yang lain-lainnya. Maka bolehkah ia mencicipi
masakannya ?. Para ulama' memfatwakan tidak mengapa wanita mencicipi rasa
masakannya, asal sekedarnya dan tidak sampai di tenggorokan, dalam hal ini
diqiyaskan dengan berkumur. (Jami'u Ahkam an Nisa').

Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan 1432 H

Diforward oleh :

Tutut Dian Kurniawati

Tanjung Morawa, Deli Serdang - Sumut

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
MARKETPLACE
A good Credit Score is 720, find yours & what impacts it at freecreditscore.com.
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: