Senin, 22 September 2008

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2264

sekolah-kehidupan

Messages In This Digest (25 Messages)

1.1.
File - Moderator Sekolah Kehidupan From: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
2.
Fw: OOT-Sayembara Penulisan Naskah Drama Nasional From: Sari Radityo
3a.
Re: [tulisan kaki] Dari riwayat luka. From: Rahmat M'98
3b.
Re: [tulisan kaki] Dari riwayat luka. From: jun an nizami
3c.
Re: [tulisan kaki] Dari riwayat luka. From: jun an nizami
3d.
Re: [tulisan kaki] Dari riwayat luka. From: rita.prames
4a.
Bls: [sekolah-kehidupan] Re: [tulisan kaki] Dari riwayat luka. From: dyah zakiati
4b.
Re: Bls: [sekolah-kehidupan] Re: [tulisan kaki] Dari riwayat luka. From: jun an nizami
5.
[CATCIL] Puisi Seorang Ibu Melepas Anaknya Menikah : Buah Hati From: Rumah Ilmu Indonesia
6a.
(Inspirasi) Matematika Kehidupan - Alam Semesta From: setyawan_abe
7.
Fwd: [Artikel] Andi F. Noya dan Comfort Zone From: Nursalam AR
8a.
Re: [Syukur] Mbak Rinurbad JUARA I Lomba CERMIN INDOSIAR From: sismanto
8b.
Re: [Syukur] Mbak Rinurbad JUARA I Lomba CERMIN INDOSIAR From: asma_h_1999
8c.
Selamat Mbak Rinurbad, juga pak hasan aspahani From: bApaKne vLeA
8d.
Re: [Syukur] Mbak Rinurbad JUARA I Lomba CERMIN INDOSIAR From: Rini Agus Hadiyono
9a.
(ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan From: Bu CaturCatriks
9b.
Re: (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan From: Andri Triwidyastuti
9c.
Re: (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan From: Pandika Sampurna
9d.
Bls: [sekolah-kehidupan] (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama From: bujang kumbang
9e.
Re: (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan From: Bu CaturCatriks
9f.
Re: (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan From: Bu CaturCatriks
9g.
Bls: [sekolah-kehidupan] (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama From: Lily Ceria
9h.
Re: Bls: [sekolah-kehidupan] (ruang keluarga) sebuah ruang kelas ber From: Bu CaturCatriks
9i.
Re: Bls: [sekolah-kehidupan] (ruang keluarga) sebuah ruang kelas ber From: Bu CaturCatriks
9j.
Re: (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan From: inga_fety

Messages

1.1.

File - Moderator Sekolah Kehidupan

Posted by: "sekolah-kehidupan@yahoogroups.com" sekolah-kehidupan@yahoogroups.com

Sun Sep 21, 2008 7:17 am (PDT)


(Moderator) INFO: Cara Mudah Baca Email

Para anggota milis sekolah-kehidupan Yth.,

Dari pengamatan yang kami lakukan, jumlah postingan yang masuk ke milis kita rata-rata 20-30 email sehari baik berupa artikel maupun postingan lainnya. Sehubungan dengan itu maka kami menyarankan bagi semua anggota agar email-box tidak cepat penuh maka disarankan agar mengubah status posting-emailnya dari individual email menjadi digest atau web-only. Tetapi dari pengalaman yang kami lakukan, hal yang terbaik bila kita memilih option web-only. Dengan pilihan ini maka kita hanya bisa membaca seluruh postingan dengan cara membuka mail site, juga untuk membalas postingan, serta mengirim email langsung ke si penulis.

1. Cara mengubah sistem info email dari individual email ke digest atau web-only
Ketik http://groups.yahoo.com/group/sekolah-kehidupan,
Sign in dulu, kemudian klik Edit Membership
Kemudian di bawah ubah pilihan dari individual email ke pilihan digest atau web-only.
Kemudian akhiri dengan klik tanda SAVE

2. Cara mudah untuk membuka mail-group.
Bila kita sudah ingin memilih dengan web-only, berarti informasi semua postingan harus
dilihat di mail site. Untuk itu ketik http://groups.yahoo.com/group/sekolah-kehidupan.
Sign in dulu, kemudian klik view all, untuk melihat semua postingan dari dulu yang paling
lama sampai yang terbaru.
Untuk memudahkan membuka mail-site kita di waktu-waktu berikutnya maka alamat mail
tadi yang di awali dengan http://....., sebaiknya di book-mark atau di masukkan dalam
daftar favorite (ada di ujung atas sebelah kiri layar monitor). Klik Favorites, dan add.

Demikian yang dapat disampaikan. Terima kasih.

Salam Hormat,
Moderator Bersama


2.

Fw: OOT-Sayembara Penulisan Naskah Drama Nasional

Posted by: "Sari Radityo" sariradityo@yahoo.com.sg   sariradityo

Sun Sep 21, 2008 7:41 am (PDT)

SAYEMBARA NASKAH DRAMA FTI

Federasi Teater Indonesia (FTI) tahun 2008 ini akan menyelenggarakan Sayembara Penulisan Naskah Drama Nasional yang terbuka tidak hanya bagi pekerja teater atau para penulis naskah dan pengarang, tapi bagi siapa saja yang memiliki minat untuk menulis naskah drama. Tidak peduli ia aktifis atau pekerja dari kesenian lain atau mungkin bidang atau profesi yang tidak berhubungan sama sekali dengan kesenian (teater).

Sayembara ini juga terbuka lebar bagi warga Indonesia yang berdomisili di luar negeri, tak ada batasan usia, bahkan juga dibebaskan dalam tema, jumlah halaman, termasuk bentuk ungkapannya. Peserta hanya diharapkan menghindari pelecehan SARA dan mengunakan bahasa Indonesia

 
Batas waktu pengiriman 5 desember 2008 (cap pos)
Tersedia hadiah total Rp. 30 juta rupiah untuk katagori pemenang utama dan 5 terbaik. Para pemenang akan diundang khusus pada malam Refleksi FTI dan Anugerah FTI 2008, 27 Desember 2008, di Taman Ismail Marzuki.
Untuk info selengkapnya, silahkan kunjungi http://www.belajarngeblogyuk.blogspot.com
3a.

Re: [tulisan kaki] Dari riwayat luka.

Posted by: "Rahmat M'98" rahmatmusa@yahoo.com   rahmatmusa

Sun Sep 21, 2008 8:07 am (PDT)

Dear,

Saya juga pernah merasakan pahit getirnya hidup dijalanan jakarta
sewaktu STM sekitar tahun 1998, yang mungkin atau hampir tiap saat
selalu bergelut dengan sesuatu yang seperi itu. Mulai dari keributan
sampai harus berurusan dengan polisi karena melanggar ketertiban.
Awalnya hanya sekedar coba-coba, eh akhirnya ketagihan. Tapi
alhamdulillah juga saya tidak pernah mencuri, tetapi dengan jalan
mengamen di bus kota.

Apalagi ketika saya pindah ke bandung untuk melanjutkan study, makin
intensif pula kecanduan saya terhadap hal tersebut. Dan itu semua saya
lakukan tanpa sepengetahuan orang tua saya, karena di mata mereka saya
adalah seorang yang baik-baik. Hingga satu saat saya harus merasakan
sakitnya mengkonsumsi barang tersebut secara berlebihan. Beruntung
saya tidak tewas saat itu. Dan alhamdulillah mungkin itu adalah titik
balik kehidupan saya,karena saya tertangkap tangan pacar yang sekarang
telah jadi istri saya. Alhamdulillah Tuhan memberi saya kesempatan
kedua untuk bertobat...

Tidak semua orang sanggup menceritakan masa lalunya, apalagi masa lalu
yang kelam. Saya merasa terhormat dengan postingan anda.
Saya banyak belajar dari sekolah-kehidupan walaupun saya adalah salah
satu murid yang pendiam, dan mungkin tidak dikenal dikelas. Bukankah
sekolah-kehidupan adalah tempat untuk semua???

Ma'af loh ^_^

Yang sedang mencari sesuatu disudut kelas...
~ Rahmat ~

3b.

Re: [tulisan kaki] Dari riwayat luka.

Posted by: "jun an nizami" tinta_mirah@yahoo.co.id   tinta_mirah

Sun Sep 21, 2008 8:28 am (PDT)

Saya pun adalah orang yang masih ingin lebih belajar mengenal kehidupan.
Bukan yang ingin dikenal ataupun terkenal.karena penyakit orang terkenal biasanya adalah susah mengenal.
Terima kasih atas tanggapannya mas!
Salam kenal ya!
Teras sekolah-kehidupan adalah untuk semua.

Rahmat M'98 wrote:
> Dear,
> Saya juga pernah merasakan pahit getirnya hidup dijalanan jakarta
> sewaktu STM sekitar tahun 1998, yang mungkin atau hampir tiap saat
> selalu bergelut dengan sesuatu yang seperi itu. Mulai dari keributan
> sampai harus berurusan dengan polisi karena melanggar ketertiban.
> Awalnya hanya sekedar coba-coba, eh akhirnya ketagihan. Tapi
> alhamdulillah juga saya tidak pernah mencuri, tetapi dengan jalan
> mengamen di bus kota.
> Apalagi ketika saya pindah ke bandung untuk melanjutkan study, makin
> intensif pula kecanduan saya terhadap hal tersebut. Dan itu semua saya
> lakukan tanpa sepengetahuan orang tua saya, karena di mata mereka saya
> adalah seorang yang baik-baik. Hingga satu saat saya harus merasakan
> sakitnya mengkonsumsi barang tersebut secara berlebihan. Beruntung
> saya tidak tewas saat itu. Dan alhamdulillah mungkin itu adalah titik
> balik kehidupan saya,karena saya tertangkap tangan pacar yang sekarang
> telah jadi istri saya. Alhamdulillah Tuhan memberi saya kesempatan
> kedua untuk bertobat...
> Tidak semua orang sanggup menceritakan masa lalunya, apalagi masa lalu
> yang kelam. Saya merasa terhormat dengan postingan anda.
> Saya banyak belajar dari sekolah-kehidupan walaupun saya adalah salah
> satu murid yang pendiam, dan mungkin tidak dikenal dikelas. Bukankah
> sekolah-kehidupan adalah tempat untuk semua???
> Ma'af loh ^_^
> Yang sedang mencari sesuatu disudut kelas...
> ~ Rahmat ~
>

__________________________________________________________
Yahoo! Toolbar kini dilengkapi dengan Search Assist. Download sekarang juga.
http://id.toolbar.yahoo.com/

3c.

Re: [tulisan kaki] Dari riwayat luka.

Posted by: "jun an nizami" tinta_mirah@yahoo.co.id   tinta_mirah

Sun Sep 21, 2008 8:30 am (PDT)

Saya pun adalah orang yang masih ingin lebih belajar mengenal kehidupan.
Bukan yang ingin dikenal ataupun terkenal.karena penyakit orang terkenal biasanya adalah susah mengenal.
Terima kasih atas tanggapannya mas!
Salam kenal ya!
Teras sekolah-kehidupan adalah untuk semua.

Rahmat M'98 wrote:
> Dear,
> Saya juga pernah merasakan pahit getirnya hidup dijalanan jakarta
> sewaktu STM sekitar tahun 1998, yang mungkin atau hampir tiap saat
> selalu bergelut dengan sesuatu yang seperi itu. Mulai dari keributan
> sampai harus berurusan dengan polisi karena melanggar ketertiban.
> Awalnya hanya sekedar coba-coba, eh akhirnya ketagihan. Tapi
> alhamdulillah juga saya tidak pernah mencuri, tetapi dengan jalan
> mengamen di bus kota.
> Apalagi ketika saya pindah ke bandung untuk melanjutkan study, makin
> intensif pula kecanduan saya terhadap hal tersebut. Dan itu semua saya
> lakukan tanpa sepengetahuan orang tua saya, karena di mata mereka saya
> adalah seorang yang baik-baik. Hingga satu saat saya harus merasakan
> sakitnya mengkonsumsi barang tersebut secara berlebihan. Beruntung
> saya tidak tewas saat itu. Dan alhamdulillah mungkin itu adalah titik
> balik kehidupan saya,karena saya tertangkap tangan pacar yang sekarang
> telah jadi istri saya. Alhamdulillah Tuhan memberi saya kesempatan
> kedua untuk bertobat...
> Tidak semua orang sanggup menceritakan masa lalunya, apalagi masa lalu
> yang kelam. Saya merasa terhormat dengan postingan anda.
> Saya banyak belajar dari sekolah-kehidupan walaupun saya adalah salah
> satu murid yang pendiam, dan mungkin tidak dikenal dikelas. Bukankah
> sekolah-kehidupan adalah tempat untuk semua???
> Ma'af loh ^_^
> Yang sedang mencari sesuatu disudut kelas...
> ~ Rahmat ~
>

__________________________________________________________
Yahoo! sekarang memiliki alamat Email baru.
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail.
Cepat sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/

3d.

Re: [tulisan kaki] Dari riwayat luka.

Posted by: "rita.prames" rita.prames@yahoo.com   rita.prames

Sun Sep 21, 2008 4:54 pm (PDT)


Saya pun ikutan, karena kehidupan masih dan akan terus berlanjut,
disanalah sekolah yang senyatanya ada.

Jika dulu di bangku sekolah cukup puas dengan 'makan' bangku sekolah,
meja kuliah dan bangga dengan sertifikasi dan definisi, disanalah mind
on, yang tak sedikit korbannya, menjadi oon.

Sedangkan di kehidupan, tak cukup sekedar mind on, karena tubuh tak
sekedar otak adanya. Hearth on dan hand on yang juga difungsikan, semoga
realita bisa dimaknai apa adanya.

KAPAK pun bisa menjadi semakin tajam dan akan terus terasah jika
sewaktu-waktu diperlukan.

Akan tetapi jika 'lawan' merasa KAPOK, dan mau belajar dan menggunakan
nuraninya mencerap kebenaran dan meyakini kebenaran, sungguh Kapak akan
menjelma menjadi KAPUK EMPUK dengan MAAF yang BERLIMPAH. Karena
sesungguhnya kami cinta damai dengan beribu cinta.

Lebah hanya mengambil yang manis-manis dan memberi yang manis-manis,
tapi jangan coba sekali-kali mengganggu keberadaan, sarang dan
bangsanya, karena kami akan datang dengan "FULL TEAM" menyerbu.

Salam damai dan cinta manis

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, jun an nizami
<tinta_mirah@...> wrote:
>
> Saya pun adalah orang yang masih ingin lebih belajar mengenal
kehidupan.
> Bukan yang ingin dikenal ataupun terkenal.karena penyakit orang
terkenal biasanya adalah susah mengenal.
> Terima kasih atas tanggapannya mas!
> Salam kenal ya!
> Teras sekolah-kehidupan adalah untuk semua.
>
> Rahmat M'98 wrote:
> > Dear,
> > Saya juga pernah merasakan pahit getirnya hidup dijalanan jakarta
> > sewaktu STM sekitar tahun 1998, yang mungkin atau hampir tiap saat
> > selalu bergelut dengan sesuatu yang seperi itu. Mulai dari keributan
> > sampai harus berurusan dengan polisi karena melanggar ketertiban.
> > Awalnya hanya sekedar coba-coba, eh akhirnya ketagihan. Tapi
> > alhamdulillah juga saya tidak pernah mencuri, tetapi dengan jalan
> > mengamen di bus kota.
> > Apalagi ketika saya pindah ke bandung untuk melanjutkan study, makin
> > intensif pula kecanduan saya terhadap hal tersebut. Dan itu semua
saya
> > lakukan tanpa sepengetahuan orang tua saya, karena di mata mereka
saya
> > adalah seorang yang baik-baik. Hingga satu saat saya harus merasakan
> > sakitnya mengkonsumsi barang tersebut secara berlebihan. Beruntung
> > saya tidak tewas saat itu. Dan alhamdulillah mungkin itu adalah
titik
> > balik kehidupan saya,karena saya tertangkap tangan pacar yang
sekarang
> > telah jadi istri saya. Alhamdulillah Tuhan memberi saya kesempatan
> > kedua untuk bertobat...
> > Tidak semua orang sanggup menceritakan masa lalunya, apalagi masa
lalu
> > yang kelam. Saya merasa terhormat dengan postingan anda.
> > Saya banyak belajar dari sekolah-kehidupan walaupun saya adalah
salah
> > satu murid yang pendiam, dan mungkin tidak dikenal dikelas. Bukankah
> > sekolah-kehidupan adalah tempat untuk semua???
> > Ma'af loh ^_^
> > Yang sedang mencari sesuatu disudut kelas...
> > ~ Rahmat ~
> >
>
>
>
>
__________________________________________________________\
___
> Yahoo! sekarang memiliki alamat Email baru.
> Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan
@rocketmail.
> Cepat sebelum diambil orang lain!
> http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/
>

4a.

Bls: [sekolah-kehidupan] Re: [tulisan kaki] Dari riwayat luka.

Posted by: "dyah zakiati" adzdzaki@yahoo.com   adzdzaki

Sun Sep 21, 2008 8:21 am (PDT)

Bahwa semua orang pernah punya luka. Bahwa seorang Umar pun pernah suatu saat menangis dan tertawa dalam satu kesempatan. Ketika ada yang bertanya, Umar menjawab, "Aku menangis karena kejahilanku dulu. Ketika istriku melahirkan seorang anak perempuan, aku malu dan segera menguburnya hidup-hidup. Aku tertawa karena dulu aku menyembah patung yang terbuat dari roti. Ketika aku lapar, aku makan."

Beruntunglah ia yang masa lalunya kelam dan kemudian tersadarkan. Bisa jadi ia lebih kukuh di banding orang lain.

Maka masa lalu adalah kenangan agar tidak melakukan kesalahan pada lubang yang sama. Terima kasih tuk berbagi, maz Jun. Mas Rahmat.

Salam
Dyah

----- Pesan Asli ----
Dari: Rahmat M'98 <rahmatmusa@yahoo.com>
Kepada: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Terkirim: Minggu, 21 September, 2008 07:42:32
Topik: [sekolah-kehidupan] Re: [tulisan kaki] Dari riwayat luka.

Dear,

Saya juga pernah merasakan pahit getirnya hidup dijalanan jakarta
sewaktu STM sekitar tahun 1998, yang mungkin atau hampir tiap saat
selalu bergelut dengan sesuatu yang seperi itu. Mulai dari keributan
sampai harus berurusan dengan polisi karena melanggar ketertiban.
Awalnya hanya sekedar coba-coba, eh akhirnya ketagihan. Tapi
alhamdulillah juga saya tidak pernah mencuri, tetapi dengan jalan
mengamen di bus kota.

Apalagi ketika saya pindah ke bandung untuk melanjutkan study, makin
intensif pula kecanduan saya terhadap hal tersebut. Dan itu semua saya
lakukan tanpa sepengetahuan orang tua saya, karena di mata mereka saya
adalah seorang yang baik-baik. Hingga satu saat saya harus merasakan
sakitnya mengkonsumsi barang tersebut secara berlebihan. Beruntung
saya tidak tewas saat itu. Dan alhamdulillah mungkin itu adalah titik
balik kehidupan saya,karena saya tertangkap tangan pacar yang sekarang
telah jadi istri saya. Alhamdulillah Tuhan memberi saya kesempatan
kedua untuk bertobat...

Tidak semua orang sanggup menceritakan masa lalunya, apalagi masa lalu
yang kelam. Saya merasa terhormat dengan postingan anda.
Saya banyak belajar dari sekolah-kehidupan walaupun saya adalah salah
satu murid yang pendiam, dan mungkin tidak dikenal dikelas. Bukankah
sekolah-kehidupan adalah tempat untuk semua???

Ma'af loh ^_^

Yang sedang mencari sesuatu disudut kelas...
~ Rahmat ~

__________________________________________________________
Dapatkan alamat Email baru Anda!
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/
4b.

Re: Bls: [sekolah-kehidupan] Re: [tulisan kaki] Dari riwayat luka.

Posted by: "jun an nizami" tinta_mirah@yahoo.co.id   tinta_mirah

Sun Sep 21, 2008 8:44 am (PDT)

yang tertunggu dan paling seru dari si ibu guru.
Terimakasih mba dyah kata2nya selalu memotivasi.
mas rahmat,mas cari di sudut kanan.saya di sudut kiri ya!
Salam.

dyah zakiati wrote:
> Bahwa semua orang pernah punya luka. Bahwa seorang Umar pun pernah suatu saat menangis dan tertawa dalam satu kesempatan. Ketika ada yang bertanya, Umar menjawab, "Aku menangis karena kejahilanku dulu. Ketika istriku melahirkan seorang anak perempuan, aku malu dan segera menguburnya hidup-hidup. Aku tertawa karena dulu aku menyembah patung yang terbuat dari roti. Ketika aku lapar, aku makan." Beruntunglah ia yang masa lalunya kelam dan kemudian tersadarkan. Bisa jadi ia lebih kukuh di banding orang lain. Maka masa lalu adalah kenangan agar tidak melakukan kesalahan pada lubang yang sama. Terima kasih tuk berbagi, maz Jun. Mas Rahmat. Salam Dyah ----- Pesan Asli ---- Dari: Rahmat M'98 <rahmatmusa@yahoo. com> Kepada: sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com Terkirim: Minggu, 21 September, 2008 07:42:32 Topik: [sekolah-kehidupan] Re: [tulisan kaki] Dari riwayat luka.
> Dear,
> Saya juga pernah merasakan pahit getirnya hidup dijalanan jakarta
> sewaktu STM sekitar tahun 1998, yang mungkin atau hampir tiap saat
> selalu bergelut dengan sesuatu yang seperi itu. Mulai dari keributan
> sampai harus berurusan dengan polisi karena melanggar ketertiban.
> Awalnya hanya sekedar coba-coba, eh akhirnya ketagihan. Tapi
> alhamdulillah juga saya tidak pernah mencuri, tetapi dengan jalan
> mengamen di bus kota.
> Apalagi ketika saya pindah ke bandung untuk melanjutkan study, makin
> intensif pula kecanduan saya terhadap hal tersebut. Dan itu semua saya
> lakukan tanpa sepengetahuan orang tua saya, karena di mata mereka saya
> adalah seorang yang baik-baik. Hingga satu saat saya harus merasakan
> sakitnya mengkonsumsi barang tersebut secara berlebihan. Beruntung
> saya tidak tewas saat itu. Dan alhamdulillah mungkin itu adalah titik
> balik kehidupan saya,karena saya tertangkap tangan pacar yang sekarang
> telah jadi istri saya. Alhamdulillah Tuhan memberi saya kesempatan
> kedua untuk bertobat...
> Tidak semua orang sanggup menceritakan masa lalunya, apalagi masa lalu
> yang kelam. Saya merasa terhormat dengan postingan anda.
> Saya banyak belajar dari sekolah-kehidupan walaupun saya adalah salah
> satu murid yang pendiam, dan mungkin tidak dikenal dikelas. Bukankah
> sekolah-kehidupan adalah tempat untuk semua???
> Ma'af loh ^_^
> Yang sedang mencari sesuatu disudut kelas...
> ~ Rahmat ~
> Yahoo! sekarang memiliki alamat Email baru Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. br>
> Cepat sebelum diambil orang lain!
>

__________________________________________________________
Coba emoticon dan skin keren baru, dan area teman yang luas.
Coba Y! Messenger 9 Indonesia sekarang.
http://id.messenger.yahoo.com

5.

[CATCIL] Puisi Seorang Ibu Melepas Anaknya Menikah : Buah Hati

Posted by: "Rumah Ilmu Indonesia" rumahilmubandung@gmail.com   rezaervani

Sun Sep 21, 2008 9:42 am (PDT)


Oleh : Sulistyani (Ibu dari Istri Reza Ervani, Yanik Imtiyas, Ibu Kami)

Tulisan ini dibuat oleh ibu beberapa hari setelah kami menikah. Sangat
mengharukan. Sengaja diarsipkan disini untuk bisa dibaca bersama.
Sebagai pengingat bagi kami, betapa dalamnya cinta seorang ibu pada
anaknya.
****

Puisi tersebut bisa dibaca di :
http://rezaervani.wordpress.com/2008/09/21/buah-hati/
<http://rezaervani.wordpress.com/2008/09/21/buah-hati/>

Semoga bermanfaat

Salam,
Reza Ervani

6a.

(Inspirasi) Matematika Kehidupan - Alam Semesta

Posted by: "setyawan_abe" setyawan_abe@yahoo.com   setyawan_abe

Sun Sep 21, 2008 4:54 pm (PDT)


Assalamu'alaikum

Silakan klik :
<http://www.scribd.com/doc/3196878/Matematika-Alam-Semesta-Arifin-Muftie\
?from_related_doc=1
> Matematika Alam Semesta
<http://www.scribd.com/doc/3196878/Matematika-Alam-Semesta-Arifin-Muftie\
?from_related_doc=1
>

Mohon maaf jika tidak berkenan, dan terima kasih sekiranya bermanfaat
^_^

Jabat erat

Arief

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "setyawan_abe"
<setyawan_abe@...> wrote:
>
>
> `The sky is the limit' mungkin tepat untuk menggambarkan sebuah
> ketinggian, tinggi mengangkasa tak tercerap indera batasnya.
>
>
> "Allah-lah yang telah menciptakan `tujuh' langit, dan
> seperti itu pula bumi. Hukum Allah (hukum alam menurut para ilmuwan)
> berlaku padanya, agar supaya kamu (wahai manusia) sadar bahwasanya
Allah
> Maha Kuasa atas segala sesuatu (apapun jua)…"
>
>
> Langit? Kata ini berasal dari terjemahan kata sama', yang sering
> diartikan secara umum, langit. Padahal arti sama', disana ada
> atmosfer (lihat QS. 6:99), ada juga berarti tata surya (lihat QS. 29:
> 22), Jagad Raya, Universe (lihat QS. 21: 104), dsb.
>
>
> "Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan
> bumi dan daabbah-daabbah yang Dia sebarkan pada keduanya (langit dan
> bumi). Dan Dia (Allah) Maha Kuasa untuk mengumpulkan semuanya jika
> dikehendaki".(QS. 42: 29)
>
>
> Adakah hidup bermakna diam? Selama jantung masih berdetak, selama
darah
> masih mengalir, dan selama kita masih `mencuri' oksigen setiap
> detiknya. Bumi berotasi pada porosnya, berevolusi terhadap matahari,
> sel-sel tubuh mati dan terganti setiap hari, demikian juga
> elektron-elektron terhadap proton. Selama itu pula terjadi gerak dan
> pergerakan. Alam tampak diam, sesungguhnya bertasbih :
>
>
> "Langit yang `tujuh', bumi dan semua yang ada padanya,
> `bertasbih' kepada Allah… tapi kamu sekalian tidak mengerti
> tasbih mereka itu…" (Al Isra' ayat 44).
>
>
> "Dan hanya Tuhanmu sajalah yang lebih tahu (persis) siapa yang (ada)
> di langit dan di bumi…!" (Al Isra': 55)
> Bilakah semuanya akan berhenti…? Selanjutnya klik : Video Semesta
> <http://www.youtube.com/watch?v=ZsuTFflLfdU> ^_^
>
> Terima kasih
>
> Assalamu'alaikum
>
> Arief
>

7.

Fwd: [Artikel] Andi F. Noya dan Comfort Zone

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Sun Sep 21, 2008 6:08 pm (PDT)

Dear Sahabat SK, maaf, sekadar meneruskan dari milis tetangga. Moga artikel
inspiratif ini bermanfaat i hari Senin ini.

Untuk tim moderator, makasih ya.

Tabik,

Nursalam AR

ps: judul postingan adalah kreasi saya sendiri (hasil kimpulan isi). Jadi
harap maklum jika beda dengan judul artikelnya. Gak papa kan,
Ma?(ufs!),hehe...

---------- Forwarded message ----------
From: mediacare <mediacare@cbn.net.id>
Date: 2008/9/21
Subject: [media-jakarta] Andy Noya, kini menjadi diri sendiri
To: mediacare <mediacare@yahoogroups.com>, bizzcomm@yahoogroups.com, media
jakarta <media-jakarta@yahoogroups.com>, naratamatv@yahoogroups.com,
ppiindia@yahoogroups.com

Andi F. Noya Kini Menjadi Diri Sendiri

Oleh Susi Ivvaty

Susah-susah mudah mewawancarai Andy Flores Noya. Sempat ia menolak.
Bukan karena wartawan kok menanyai wartawan. "Nanti over expose,"
katanya beralasan. Ketika akhirnya bersedia ditemui, Andy menjelaskan
mengapa ia tidak mau terlalu banyak dipublikasikan. "Aku menjadi makin
terkenal, tapi malah 'menderita'."

Andy memberi gambaran, betapa kalau sedang berkunjung ke daerah untuk
memandu program Kick Andy off air, ia menjadi bak selebriti. Banyak
orang minta foto bersama dan tanda tangan. Jika ia sedang ingin
menyendiri sambil membaca buku di kafe, ada saja orang yang mendekat
dan menyalaminya. Ketenaran mendadak itu tak lain berkat Kick Andy,
program talk show di Metro TV yang dipandunya sejak 20 Maret 2006.

"Jujur itu bukan diri sendiri karena aku sebenarnya enggak suka
terkenal. Aku ini hidup dalam kontradiksi. Aku sebenarnya introvert,
suka menyendiri, baca buku, menulis, tetapi sebagai host Kick Andy,
aku harus banyak omong," tutur campuran Belanda (dari ibu) dan Papua
(dari ayah) ini.

Memang kalau sedang memandu Kick Andy, Andy seakan tak terbendung.
Pertanyaan-pertanyaannya kerap membuat orang terperangah. Orang
bilang, pertanyaannya pedas. Belakangan Andy menyadari, pertanyaan
pedas itu justru memberi karakter pada Kick Andy.

Pada episode "Aa Gym", misalnya, Andy melempar pertanyaan, "Anda, kan,
meminta orang untuk menjaga hati, tapi mengapa Anda tidak menjaga hati
istri Anda (dengan berpoligami)?" Atau pertanyaan untuk Harmoko, "Anda
seperti Brutus, bagaimana bisa Anda menusuk Pak Harto dari belakang".
Kepada Sri Sultan HB X, Andy menanyakan mengapa hak istimewa sebagai
sultan untuk beristri lebih dari satu tidak dimanfaatkan, padahal
banyak orang yang tidak memiliki keistimewaan itu justru melakukannya.
Semua pertanyaan mereka jawab seraya tersenyum.

Andy jadi teringat ketika pada suatu waktu bos Media Group Surya Paloh
berujar setengah bertanya kepadanya. Waktu itu ia masih menjabat
Pemimpin Redaksi Media Indonesia. "Kamu itu kalau bicara nyelekit,
tapi mengapa orang-orang enggak marah".

Sulit menjawab pertanyaan itu karena, kata Andy, ia sendiri pun kadang
bertanya. "Aku hanya meyakini satu hal. Selalu tak ada niat jahat di
balik pertanyaan-pertanyaanku. Tak ada agenda apa pun. Aku sama sekali
tak berpolitik," tegasnya.

Berdiri sendiri

Wawancara dengan Andy di gedung Metro TV sore pekan lalu membuat
beberapa teman heran, "Lho, Andy Noya kan sudah tidak di Metro TV".
Andy terkekeh mendengarnya. "Aku juga sering ditanya," ujar Andy, yang
sore itu menutup rambut kribonya dengan topi lantaran sedang berantakan.

Ceritanya, sejak tiga tahun lalu Andy sudah berniat undur diri dari
Media Indonesia dan Metro TV, tapi waktu itu Surya Paloh berberat
hati. Tahun ini, hasrat Andy sudah bulat. Ia bermaksud mengurus
majalah Rolling Stone yang ia dirikan bersama Eddie Soebari dan Ratna
Monika, yang selama ini ia abaikan. "Sudah saatnya saya berdiri
sendiri," kata Andy, yang Mei 2008 ini secara resmi mengundurkan diri.

Andy terinspirasi buku Who Moved My Cheese? (1998), yang pesan
moralnya lebih kurang: jangan merasa mapan dan nyaman di satu tempat.
Berada terus-menerus di comfort zone itu berbahaya. Dua kurcaci di
labirin penuh keju, seperti digambarkan dalam buku, memaksa Andy
merenung. Kurcaci pertama selalu bekerja mencari keju di tempat lain
sementara kurcaci kedua berleha-leha di tumpukan keju sampai menyadari
keju telah habis.

"Aku ini beruntung di Metro TV. Aku mau jumpalitan, bikin apa saja
pasti dikasih sama Surya Paloh. Dulu waktu masih di Media Indonesia,
aku bilang mau keluar karena ingin masuk ke industri TV. Surya Paloh
lalu bikin TV. Di sini, aku diberi kebebasan," terang Andy.

Sambungnya, "Tapi sekarang, to be or not to be, aku harus keluar. Aku
ingin jadi bos juga, ha-ha-ha. Jadi tikus tapi kepala, daripada macan
tapi ekor melulu."

Sewaktu masih terikat pekerjaan di Media Indonesia, Andy kerap merasa
bersalah ketika meninggalkan kantor, karena itu berarti meninggalkan
tanggung jawab. Namun sekarang, Andy lebih bebas menentukan waktu
dan�yang pasti�tidak lagi mengenakan seragam. Kini, selalu ada jam-jam
santai untuk membaca buku atau duduk sambil menyeruput kopi.

Andy juga menjadi lebih produktif menulis, kegiatan yang ia gandrungi
sejak bangku sekolah dasar. Setiap kali menulis artikel atau buku, ia
selalu teringat Bu Anna, guru SD-nya yang 34 tahun lalu pernah
berkata, "Kamu cocok menjadi wartawan", sehingga ia terus terinspirasi.

Agustus 2008 ini, buku yang ia beri judul Andy's Corner terbit. Buku
ini membahas pengalamannya menjadi host Kick Andy sekaligus curahan
perasaannya selama memandu program.

Lantas, bagaimana dengan status di kantor Metro TV? "Itu dia
komprominya," sahut Andy. Rupanya, Andy diizinkan keluar dari Metro TV
asalkan: 1. Kick Andy tetap jalan, 2. Andy Noya tetap duduk di Dewan
Redaksi Media Group, 3. Andy Noya menjadi corporate advisor Media Group.

O� pantesan. "Iya. Senin aku di Rolling Stone dan Metro. Selasa full
di RS. Rabu full di Metro. Jumat full di RS. Sabtu-Minggu urusan
keluarga, ha-ha-ha."

Bukankah itu ibarat kepala dilepas, tapi ekor ditarik? "Ah� tetap aku
kini lebih menjadi diri sendiri. Aku sudah menemukan lentera jiwa,"
tandas Andy.

Kompas - 21 September 2008

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/21/01331921/andy.noya.kini.menjadi.diri.sendiri


--
-"Let's dream together!"
Nursalam AR
Translator, Writer & Writing Trainer
0813-10040723
E-mail: salam.translator@gmail.com
YM ID: nursalam_ar
http://nursalam.multiply.com
8a.

Re: [Syukur] Mbak Rinurbad JUARA I Lomba CERMIN INDOSIAR

Posted by: "sismanto" siril_wafa@yahoo.co.id   siril_wafa

Sun Sep 21, 2008 6:10 pm (PDT)

Selamat ya mbak Rin,
benar juga tuh kata Novi ajari kita tipnya dong mbak.. makasih.

Salam,

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, novi
khansa' <novi_ningsih@...> wrote:
>
>
> Assalamu'alaykum

8b.

Re: [Syukur] Mbak Rinurbad JUARA I Lomba CERMIN INDOSIAR

Posted by: "asma_h_1999" asma_h_1999@yahoo.com   asma_h_1999

Sun Sep 21, 2008 7:11 pm (PDT)

Dear Mbak

Selamat.....

asma

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, novi khansa'
<novi_ningsih@...> wrote:
>
>
> Assalamu'alaykum
>
> dear all
>
> alhamdulillah, di kala pusing yang ternyata masih berdenyut :D,
dan menanti, kenapa nih atachmen buat klien lama bener (ampuun, di
depan kompi, karena emang ditunggu klien :D, halah),
>
> dapat kabar gembira... 
>
>
> Alhamdulillah
>
> Selamat buat mbak Rini Nurul Badariyah (RINURBAD)
> jadi juara I Lomba CERMIN Indosiar
>
>
> ===========
>
>
>
> Inilah Pemenang Lomba CerMin
>
> (Kisah Nyata: Perjuangan Hidupku)
> Setelah
> melewati 3 tahap penentuan, akhirnya Lomba Cerita Mini dengan tema
> Kisah Nyata: Perjuangan Hidupku, memasuki episode 3 besar.
>
>
>
> Berdasarkan penilaian yang meliputi
>
> 1. Ide cerita (bukan fiktif atau rekaan).
>
> 2. Orisinalitas / karya asli penulis.
>
> 3. Inspiratif.
>
> 4. Mudah dibaca dan dipahami oleh juri dan
masyarakat awam.
>
> 5. Kesesuaian tema.
>
>
>
> Dan inilah 3 pemenangnya
> sebagai berikut:
>
>
>
>
>
>
>
> Aku dan Agoraphobia
> Rini Nurul Badariah
> Berjuang Mencintai dan Menerima Mataku
> Rr. Hani Prastrimaya Ngartjojo
> Dalam Jeruji Mahasiswa Abadi
> Aan Wulandari Usman
>
>
>
> sumber: http://indosiar.com/cermin2008
>
> =======================
>
>
>
>
> Selamat ya mbak Rini, ajarin dunks dan minta tip-tip buat lebaran,
halah :D
>
>
>
> wasssalam
>
>
> Novi :)
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> novi_khansa'kreatif
> ~Graphic Design 4 Publishing~
> YM : novi_ningsih
> http://akunovi.multiply.com
> http://novikhansa.rezaervani.com/
>

8c.

Selamat Mbak Rinurbad, juga pak hasan aspahani

Posted by: "bApaKne vLeA" kampungcahaya@yahoo.com   kampungcahaya

Sun Sep 21, 2008 9:05 pm (PDT)

selamat, ya mbak rini...semoga smakin sukses.
selamat juga utk pak hasan aspahani karna buku puisinya masuk nominasi katulistiwa award

bloglomba, blogbacatulis, anakaletta, 

--- On Mon, 9/22/08, asma_h_1999 <asma_h_1999@yahoo.com> wrote:
From: asma_h_1999 <asma_h_1999@yahoo.com>
Subject: [sekolah-kehidupan] Re: [Syukur] Mbak Rinurbad JUARA I Lomba CERMIN INDOSIAR
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Date: Monday, September 22, 2008, 9:11 AM

Dear Mbak

Selamat.....

asma

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, novi khansa'
<novi_ningsih@...> wrote:
>
>
> Assalamu'alaykum
>
> dear all
>
> alhamdulillah, di kala pusing yang ternyata masih berdenyut :D,
dan menanti, kenapa nih atachmen buat klien lama bener (ampuun, di
depan kompi, karena emang ditunggu klien :D, halah),
>
> dapat kabar gembira... 
>
>
> Alhamdulillah
>
> Selamat buat mbak Rini Nurul Badariyah (RINURBAD)
> jadi juara I Lomba CERMIN Indosiar
>
>
> ===========
>
>
>
> Inilah Pemenang Lomba CerMin
>
> (Kisah Nyata: Perjuangan Hidupku)
> Setelah
> melewati 3 tahap penentuan, akhirnya Lomba Cerita Mini dengan tema
> Kisah Nyata: Perjuangan Hidupku, memasuki episode 3 besar.
>
>
>
> Berdasarkan penilaian yang meliputi
>
> 1. Ide cerita (bukan fiktif atau rekaan).
>
> 2. Orisinalitas / karya asli penulis.
>
> 3. Inspiratif.
>
> 4. Mudah dibaca dan dipahami oleh juri dan
masyarakat awam.
>
> 5. Kesesuaian tema.
>
>
>
> Dan inilah 3 pemenangnya
> sebagai berikut:
>
>
>
>
>
>
>
> Aku dan Agoraphobia
> Rini Nurul Badariah
> Berjuang Mencintai dan Menerima Mataku
> Rr. Hani Prastrimaya Ngartjojo
> Dalam Jeruji Mahasiswa Abadi
> Aan Wulandari Usman
>
>
>
> sumber: http://indosiar.com/cermin2008
>
> =======================
>
>
>
>
> Selamat ya mbak Rini, ajarin dunks dan minta tip-tip buat lebaran,
halah :D
>
>
>
> wasssalam
>
>
> Novi :)
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> novi_khansa'kreatif
> ~Graphic Design 4 Publishing~
> YM : novi_ningsih
> http://akunovi.multiply.com
> http://novikhansa.rezaervani.com/
>

------------------------------------

Yahoo! Groups Links

8d.

Re: [Syukur] Mbak Rinurbad JUARA I Lomba CERMIN INDOSIAR

Posted by: "Rini Agus Hadiyono" rinurbad@yahoo.com   rinurbad

Sun Sep 21, 2008 10:34 pm (PDT)

Terima kasih, Mas Sis, Uni Asma, Mas Blink..
insyaAllah saya siapkan postingannya..sekarang prosesor otak sedang
hang karena habis dapat pengarahan panjang-lebar dari editor mengenai
revisi naskah:)

Sukses,
Rinurbad

9a.

(ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan

Posted by: "Bu CaturCatriks" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Sun Sep 21, 2008 7:16 pm (PDT)

dear all,

hanya sekedar berbagi banyak pandangan dan pelajaran yg saya dapat
dlm pernikahan.
oya, sebelumnya,
ini adalah salah satu tulisan terpanjang yg pernah saya buat.
sekaligus, salah satu tulisan terjujur, dimana saya benar2 mencoba
menumpahkan banyak pertanyaan dr kepala saya.
mohon maaf kalau membosankan dan membingungkan.

-retno-

Sebuah Ruang Kelas Bernama Pernikahan
Oleh Retnadi Nur'aini

Marriage (noun): legal union of a man and woman as husband and wife.
Marriageable (adjective): old enough or suitable for marriage
Marry (verb): take somebody as a husband or wife; join as husband
and wife; find suitable partner for
Married (adjective): having a husband or wife
(Oxford Pocket Dictionary)

Di umur 23 tahun, kata "pernikahan" adalah kata yang terasa tak pas
untuk dilekatkan pada diri saya. Tidak sebagai kata benda. Tidak
sebagai kata sifat. Tidak juga sebagai kata kerja.

Mungkin karena saat itu saya pikir umur saya masih kelewat muda.
Mungkin karena saya tengah senang-senangnya bekerja, diselingi
bermain dan berkumpul bersama teman-teman saya. Mungkin karena saat
itu—seperti dalam kumpulan esai karya Ayu Utami yang berjudul
Parasit Lajang—konsep membentuk keluarga tampak begitu tak efisien
bagi lajang seperti saya yang masih menumpang di rumah orangtua.

Mungkin karena saya pikir saya masih kelewat egois dalam banyak hal
yang saya inginkan. Mungkin juga karena saya tak pernah mencantumkan
kata ini dalam daftar target, resolusi, harapan, ataupun mimpi yang
ingin saya capai tahun ini, sehingga saya juga sama sekali tak
pernah memacu—ataupun memaksa diri saya sendiri untuk mencoba
mengenakan kata ini dalam diri saya. Atau mungkin karena saya
kelewat nyaman saja dengan keadaan saat itu, dan punya banyak
keengganan dan kecemasan akan suatu perubahan.

Apapun itu—it just didn't fit.
***

Pelajaran 1: Merumuskan Definisi Konseptual

Di umur 23 tahun, konsep pernikahan juga sekaligus merupakan sebuah
konsep raksasa yang sulit saya rumuskan. Selain karena keterbatasan
pemahaman, saya juga belum tahu apa yang sungguh-sungguh saya
inginkan dalam suatu pernikahan.

Maka untuk mulai merumuskannya, saya pun mencoba premis yang
berkebalikan. Yaitu dengan mendaftar apa yang sungguh-sungguh tidak
saya inginkan dalam suatu pernikahan. Berbekalkan sedikit pengalaman
hubungan interpersonal bersama beberapa pria, disambi mengamati
sejumlah kehidupan pernikahan di sekitar saya, pelan-pelan, sayapun
mulai menabung rumusan konsep pernikahan. Beberapa diantaranya: Saya
tak menginginkan pernikahan yang di dalamnya ada pembagian tugas
domestik berdasarkan jender dan nilai-nilai patriarki. Saya tak
menginginkan pernikahan dimana setiap orang di dalamnya punya ego
dan ambisi sedemikian besarnya untuk satu kepuasan memenangkan adu
argumentasi, dan mengesampingkan konsep diskusi dan kompromi. Saya
tak menginginkan pernikahan dimana setiap orang di dalamnya tidak
tahu caranya menggunakan intonasi. Saya tak menginginkan pernikahan,
yang di dalamnya orang mandeg berjalan dalam proses pencarian jati
diri.

Jujur, mulanya, tabungan konsep di atas memang merupakan gabungan
dari daftar "cacat" atas sejumlah kehidupan pernikahan yang saya
amati, sekaligus daftar "dosa" para mantan pasangan saya. Dimana
dalam setiap akhir hubungan, dengan dinginnya, saya akan menyerahkan
daftar panjang ini sebagai alasan kenapa kami tak lagi bisa berjalan
bersama.

Tidak adil, memang. Dan tentu saja, daftar itu tak serta merta
menamatkan riwayat hubungan kami. Ada banyak pertanyaan "Kenapa?",
yang diteruskan dengan "Kenapa sekarang?".

Namun seiring dengan waktu yang membalut semua luka, ia juga
sekaligus menegur ego saya yang pongah dan kekanakan. Bahwa seperti
seorang murid yang gagal ujian, setiap mantan pasangan berhak tahu,
kenapa nilainya bisa buruk—di kala ia pikir ia sudah belajar sama
kerasnya dengan murid lainnya. "Oke, kamu mungkin sekarang sudah
pindah kelas dan tak lagi bisa belajar bersama dengannya, but at
least, let him learn. Biarkan ia mendapat pelajaran yang telah
menjadi haknya," tegur waktu.

Jadi, alih-alih menggunakan daftar ini sebagai self defense
mechanism, saya mencoba mengganti judulnya dengan "Daftar Harapan
untuk Calon Pasanganmu Berikutnya," sebelum diserahkan pada mantan
pasangan saya. Dan untuk saya sendiri "Daftar Harapan atas Dirimu
Sendiri."

Dari sana, kami belajar bahwa pelajaran kami sekarang memang sudah
berbeda bentuknya, dan saya tak bisa belajar bersama seorang
pasangan yang tinggal kelas. Ia harus lebih dulu menuntaskan tahapan
pelajarannya, untuk kemudian bisa memahami tahap pelajaran
selanjutnya. Di sisi lain, saya juga tak bisa mengajarinya, ataupun
mengatrol nilainya. Saya tak berhak, tak berwenang, dan juga tak
mampu untuk melakukannya. Di atas semuanya, bukan itu
konsep "belajar bersama dalam suatu hubungan interpersonal" di
kepala saya. Dengan lapang dada, kami pun belajar tentang konsep
memaafkan dan merelakan. Kami juga belajar tentang konsep kenangan,
masa lalu, dan bergerak maju. Move on.
***

Saya dibesarkan dalam keluarga dengan ke dua orangtua pekerja.
Dimana ayah saya adalah seorang workholic dan ibu saya adalah
seorang guru SD yang sangat berdedikasi pada murid-muridnya. Namun
saat saya menginjak bangku SMU, ibu saya memutuskan untuk pensiun
dini, demi mengurus keluarga.

Dan ya, ibu saya sungguh-sungguh berkomitmen pada keputusannya.
Beliau sungguh-sungguh membaktikan dirinya untuk keluarga. Setiap
hari, beliau akan bangun pukul 2 pagi untuk shalat tahajud, tidak
tidur sampai subuh, dan menyiapkan sarapan lengkap—berupa nasi dan
lauk pauknya, bukan sekedar roti tawar beroles selai atau margarin—
dan bergelas-gelas minuman hangat. Setiap hari, 3 kali sehari,
beliau akan mengganti minuman untuk Bapak—pagi hari ada kopi susu,
air jeruk, dan air putih. Siang hari, ada es sirup dan air putih.
Sore hari ada teh manis dan air putih.

Tak pernah sekalipun Ibu alpa menyiapkan bekal makan siang kami
semua. Dan sampai kini, masing-masing dari kami menyimpan satu
taplak meja khusus buatan Ibu yang bersulamkan nama setiap kami di
atasnya.

Ibu nyaris tak pernah berjalan-jalan. Ataupun, menonton televisi.
Bahkan saat beliau sedang sendirian di rumah. Ketimbang jalan-jalan,
beliau lebih memilih untuk mengaji, membaca buku, menulis diary,
atau tidur. Dan beliau hanya menonton televisi, saat kami datang dan
menyetel televisi. Itupun lebih karena beliau ingin menemani kami.

Kesenangan termewah ibu saya adalah makanan. Dimana beliau bisa
membeli semangkuk bakso, atau sepiring nasi padang, untuk dirinya
sendiri—dan bukannya disajikan di atas meja makan sebagai lauk bagi
kami semua.

Tumbuh dengan menyaksikan ini, satu ide lagi muncul di kepala saya.
Bahwa saya tak menginginkan pernikahan, dimana ada orang yang
menjadi martir di dalamnya. Tapi, hey, benarkah ibu saya menjadi
martir dalam pernikahan ini?

She seems quite happy.

Sayapun bertanya padanya. Apakah beliau bahagia?

Yang dijawab beliau dengan senyum tulus. "Tentu saja, saya bahagia.
Memang ada masa-masa sulit, Retno. Dan lebih sulit lagi, karena dulu
saya menjalani itu sendirian. Tidak ada Bapak (saat itu Bapak sedang
kuliah di luar negeri), dan tidak ada keluarga saya. Namun saya
bilang ke diri saya 'Harus bisa, harus bisa',"

Seketika kepala saya kembali menelurkan sekeranjang pertanyaan. Is
it cultural? (Karena dulu ide feminisme belum terpublikasikan merata
di Indonesia), is it psychological? (Karena ibu saya dibesarkan
dalam keluarga yang mengajarkannya untuk nrimo dengan keadaan, plus
itu keluarga Jawa), is it genetic? (Karena uti saya—ibu dari ibu
saya—juga punya karakter yang sama), is it astrological? (Karena ibu
saya berzodiak Sagitarius), is it educational? (Karena ibu saya
hanya mengenyam pendidikan D3, dan saya sedikit di atas beliau—S1),
is it hormonal? Dietary? Philosopical? Religion? Educational?
Environmental? What is the root of her character? Kenapa beliau
tampak tidak keberatan? Kenapa beliau tampak ikhlas menjalaninya?

Kenapa beliau bisa dengan tulusnya bilang 'I'm happy, Retno.' Dan di
atas semuanya, kenapa saya pikir, saya tidak bisa menjalani itu
semua?

Tidakkah Ibu merasa mengorbankan terlalu banyak hal?
Lagi-lagi sambil tersenyum, Ibu saya menjawab "Semuanya setimpal,
Retno. Ada kakak-kakakmu. Ada kamu. Dan saya bangga dengan kalian,"
Satu jawaban sederhana yang seketika membungkam semua pertanyaan
saya.
***

Pelajaran 2: Kriteria Pasangan Ideal

Subjudul di atas merupakan satu pertanyaan yang akan mendapatkan
jawaban berlembar-lembar banyaknya, dengan sedemikian detilnya, oleh
banyak orang. Banyak orang yang mampu merinci jawabannya secara
spesifik dengan—cantik/ ganteng, tinggi, putih, rambut panjang (bila
wanita), pintar, religius, mapan, bibit, bebet, bobot, dsb. Banyak
pula orang yang akan menjawab singkat "Yang penting, mau nerima gua
apa adanya, mengisi kekurangan gua."

Sejumlah jawaban spesifik, yang mostly, terasa tak pas menjadi
standar kriteria saya akan calon pasangan ideal. Selain karena
tampilan fisik dan hal-hal penunjangnya (saya sering
mengistilahkannya dengan 'kualitas administratif') bukan menjadi
prioritas utama saya, psikologis personal justru menjadi
pertimbangan penting buat saya.

Selama bertahun-tahun lamanya, saya pun mencoba merumuskan standar
kualifikasi psikologis calon pasangan yang saya inginkan. Beberapa
diantaranya adalah: secure pada dirinya sendiri, tulus, open mind,
bersedia untuk diajak berkompromi dalam jangka panjang.

Dalam salah satu buku yang saya baca, ada kutipan yang menarik
tentang kriteria pasangan. "Gua cuma tahu, kalo sama dia, dalam hati
gua, terdengar suara tutup botol dengan ulirnya. Klik."

Ide yang menarik. Namun, ah, bukankah percakapan menyenangkan selalu
bisa diciptakan? Darimana kita tahu bahwa bunyi 'klik' itu
adalah 'klik' yang sebenarnya? Apa simptomnya?

Pertanyaan ini menghantui kepala saya selama bertahun-tahun lamanya,
sampai tahun 2006. Tahun itu, saya bertemu dengan seorang pria—
sekarang mantan, yang tak hanya membunyikan 'klik' di kepala saya,
namun juga lonceng. Saat bersamanya, saya bisa membayangkan kami tua
bersama. Dimana kami dengan rambut memutih duduk-duduk di karpet
ruang tamu, bergantian membacakan kalimat demi kalimat dalam cerpen
Seksi karya Jhumpa Lahiri. Yes, I can picture it. Dengan detilnya,
dengan cantiknya, dengan sempurnanya.

Namun ada kalanya, kita tak selalu memperoleh apa yang kita
harapkan. Pun saya mampu membayangkan setiap detil masa depan kami,
hubungan itu merupakan suatu hubungan yang tidak ideal.
Ketidakidealan ini melahirkan banyak pertengkaran dan adu
argumentasi melelahkan, yang akhirnya membawa saya pada satu
kesimpulan: bahwa ada kalanya, cinta saja tak cukup. Dengan berat
hati, kami pun memutuskan untuk berpisah di tahun 2007.

Perpisahan yang sekaligus merampok separuh jiwa saya, untuk kemudian
menenggelamkannya entah dimana. Saat memunguti remah-remah jiwa yang
tercecer, ide kriteria "mau menerima diri kita apa adanya, dan mau
mengisi kekurangan kita" pun seketika jadi tampak masuk akal di
kepala saya. Namun seperti halnya skripsi, itu semata-mata hanyalah
batasan definisi konseptual. Saat kita ingin menerapkannya ke dalam
kehidupan nyata, apa instrumennya? Apa indikatornya? Apa
operasionalisasi konsepnya? Apa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknisnya?

Saat itulah seorang Catur Sukono datang.

Saat saya tengah membenahi diri saya dengan remah-remah jiwa yang
tersisa, mencoba merekatkan kembali kepercayaan diri dan konsep diri
yang babak belur karena hubungan sebelumnya.

Dan sebagai kejutan, pria ini datang dengan membawa sebuah proposal
pernikahan.
***

Saya selalu berpikir, bahwa suatu hubungan adalah laiknya investasi.
Dimana setiap orang di dalamnya akan berinvestasi waktu, perasaan,
materi, dan banyak hal lainnya, dengan tujuan memperoleh laba jangka
panjang—dalam konteks ini, pernikahan, maupun hubungan jangka
panjang yang stabil.

Karenanya, sebelum memutuskan untuk berinvestasi, calon investor
tentu perlu tahu segala faktor resiko yang akan dijalaninya,
termasuk resiko kerugian. Maka saya pun menjelaskan pada pria ini
tentang diri saya. Bahwa saya baru keluar dari hubungan yang sangat
melelahkan, dan kembali berada di titik nol pencarian jati diri.
Bahwa untuk membangun kepercayaan diri, saya kerap memantrai diri
saya, dan memasang topeng imej sosok yang manis, lucu, menyenangkan.
Pikir saya saat itu, kalaupun saya belum bisa bahagia, at least,
saya bisa berpura-pura tampak bahagia. Dan mungkin, dengan begitu,
saya akan sungguh-sungguh bahagia. Seperti saya di masa sebelumnya.

Namun topeng itu tidak saya kenakan 24 jam sehari 7 hari seminggu.
Saat terbuka, akan tampak wajah asli saya yang dipenuhi bekas luka
dan buruk rupa. Bahwa menumpang rollercoaster mood saya bisa sangat
sangat melelahkan. Bahwa saya punya setumpuk ketakutan tentang
pernikahan dan menjadi orangtua, dan bahwa pernikahan kembali
menjadi satu konsep blur yang gagal saya petakan.

Karenanya, saat proposal itu datang, dan saya mulai membaca lembar
demi lembar isinya, hal pertama yang ingin saya lakukan adalah lari.
Kabur. Pertama, kami belum cukup mengenal satu sama lain. Yang
membuat kepala saya dengan skeptisnya bertanya memburu "Bagaimana
kalau dia abusif?", "Bagaimana kalau dia seorang skizofrenik atau
manik depresi?", "Bagaimana kalau dia seorang
megalomaniak?", "Bagaimana kalau dia seorang MPD?", "Bagaimana
kalau dia adalah semua kombinasi di atas?"—atau singkatnya, hal-hal
mendalam yang tak kasat mata dan tak terdeteksi hanya dalam beberapa
bulan perkenalan.

Bertahun lalu, saya pasti akan menolak mentah-mentah ide kabur dari
masalah ini. "Hanya anak kecil yang lari dari masalah. Orang dewasa
akan bangun dan menghadapinya," begitu pikir saya dulu.

Tapi saat itu, saya sedang tak mampu berpikir jernih atas banyak
hal. Kegagalan hubungan sebelumnya, membuat kepercayaan diri saya
jatuh bebas di titik nol. Satu-satunya pria yang saya bisa
membayangkan tua bersama dengannya, ternyata tak mampu
memperjuangkan saya. Apa mungkin, saya memang tak seberharga itu
untuk diperjuangkan, ya?, begitu pikir saya. Ya, saat itu, saya
memang tak lagi percaya akan kemampuan akal sehat saya untuk
mengambil keputusan, dan membuat saya meragukan definisi konseptual
saya akan banyak hal, seperti tentang kepercayaan, komitmen, dan
cinta.

Namun saat mata raga mulai tumpul menatap, hadirlah sang mata hati.
Dimana kompas yang berlaku bukan lagi fakta dan logika, melainkan
feeling dan intuisi. Seperti saran Morrie yang dikutip Mitch Albom
dalam buku Tuesdays with Morrie "Kadang-kadang, kita tak boleh
percaya pada apa yang kita lihat, kita harus percaya pada apa yang
kita rasakan."

Dengan lembutnya, mata hati pun menjawab setumpuk pertanyaan skeptis
kepala saya. Bahwa pria sederhana ini adalah sosok yang cukup stabil
dan nyaman dengan dirinya sendiri—hal yang amat sangat jarang saya
temui. Faktor yang juga membuatnya menjadi sosok yang cukup kuat
untuk disandari. Bahwa ia berpikiran terbuka, dapat dipercaya,
bertanggung jawab, bisa diajak berkompromi, dan yang terpenting—
mencintai Tuhan dalam setiap sel tubuhnya.

Karena ijab kabul pernikahan adalah salah satu perjanjian utama yang
disaksikan langsung oleh Tuhan. Pun tidak merasa religius, namun
saya percaya, bahwa para pecinta Tuhan tak akan berani mendustaiNya.
Dan ya, saya percaya pada pria ini.
***
Pelajaran 3: Bimbingan Mata Hati

Toh, meski demikian, tetap saja kepala saya tak berhenti bertanya.
Seperti rentetan peluru. "Lantas, bagaimana denganmu? Apa kamu
menginginkan pria ini untuk 50 tahun, 60 tahun ke depan—seumur
hidupmu? Apa kamu mencintainya? Bagaimana dengan rasa bosan,
mengingat kamu adalah tipe orang yang mudah bosan? Apa jaminannya
pernikahanmu akan utuh untuk jangka panjang? Dan bagaimana dengan
anak? Dengan kondisimu sekarang, kamu pasti tak bisa menjadi ibu
yang baik, kan? Tidakkah lebih urgent untuk lebih dahulu membenahi
dirimu? Dan bagaimana dengan mimpi-mimpi yang belum kamu capai dan
masih kamu inginkan? Dan bagaimana denganmu?", cecar kepala saya
tanpa ampun.

Dengan panik, sayapun berteriak "Stop! Stop! Stop! Saya mohon,
berhentilah bertanya, karena kamu tidak membantu!"
Disinilah lagi-lagi, mata hati merengkuh saya. Dengan lembut ia
menggandeng saya ke tempat wudhu, membasuh semua pekat dan ruwet
pertanyaan kepala saya. Dengan lembut, ia berbisik agar saya minta
petunjuk dariNya. "Jika bimbang meraja, maka bertanyalah pada
Penciptamu. Adukan padaNya, minta petunjukNya, mohonkan
pertolonganNya," begitu bisiknya.

Malam itu adalah malam tahun baru 2008, saat untuk pertama kalinya
saya shalat istikharah dengan niatan bertanya pada Tuhan untuk
urusan jodoh dan pernikahan. Dari beberapa buku dan pendapat yang
saya kumpulkan, sejumlah orang konon, mendapatkan petunjuk dan
hidayah melalui mimpi. Tidak demikian halnya dengan saya.
Kala itu, hampir dini hari. Seorang teman saya yang tengah menginap
sedang terlelap di dalam kamar. Sementara saya yang tak bisa tidur
usai shalat istikharah, memilih untuk duduk di ruang keluarga. Hanya
duduk saja, tanpa menonton televisi. Di luar, hanya sesekali saja
terdengar lengkingan terompet dan suara orang yang sesekali
melintas.

Sebuah keheningan yang mendamaikan.
Dan seperti dalam banyak keheningan saya lainnya, sebuah suara pun
tiba-tiba hadir mengetuk kepala saya.

"Ya, saya ingin melakukannya," ujar suara itu. Bening dan jelas.
Saya mengernyitkan dahi. Ini bukan suara sang kepala. Karena sang
kepala selalu berbicara tegas dan cepat, dengan intonasi datar dan
nada dingin tanpa emosi. Dan juga bukan suara sang hati, yang hampir
selalu terdengar pilu dan merintih, atau tercekat. Saya tidak kenal
suara ini, pikir saya.

"Kamukah itu, mata hati? Kenapa menggunakan kata 'saya', dan
bukannya 'kamu' seperti yang biasa kamu lakukan saat membimbing
saya?," tanya saya.

Sambil tersenyum sejuk, mata hati pun menjawab "Karena memang bukan
saya yang mengatakannya, Retnadi sayang. Dirimu sendirilah yang
mengatakannya. Itu adalah suaramu."

Selama beberapa waktu sayapun menunggu cecaran pertanyaan dari
kepala. Namun tak terjadi sesuatu. Lima belas menit. Setengah jam.
Satu jam. Kepala saya tetap tak bergeming.

Pelan-pelan, bibir saya pun berucap syukur "Alhamdulillah, terima
kasih Tuhan. Dan ya, saya ingin melakukannya. Saya ingin
melakukannya. Saya ingin melakukannya."
***

Proses pun dimulai.

Diawali dengan tahap perkenalan pria ini pada ke dua orangtua saya,
yang dilanjutkan dengan proses lamaran. Sepanjang proses
berlangsung, saya pun mengutarakan keinginan saya pada pria ini akan
ketiadaan resepsi dan seserahan saat lamaran.

Dan betapa pria ini tercengang-cengang mendengarnya—terlebih saat
kami tahu, bahwa kami akan menikah di masjid yang sama dengan salah
satu abang saya, dimana abang saya dan mempelai wanitanya kemudian
akan menyelenggarakan resepsi pernikahan di gedung samping masjid.

"Tapi itu, kan, hak kamu. Kamu juga berhak untuk dirayakan, apalagi
kamu anak perempuan bungsu, satu-satunya pula," ujar pria ini.

Butuh diskusi cukup panjang bagi saya untuk meyakinkan pria ini,
bahwa bagi saya, perayaan memang sungguh-sungguh bukanlah hal
penting. Saya tak menginginkannya. Saya tak membutuhkannya. Bahwa
bagi saya, yang utama adalah ijab kabul. Sisanya adalah asesoris
pendukung belaka. Bahwa bagi saya, hidup tak berhenti seusai
resepsi. Bahwa masih ada banyak hal yang harus dipikirkan—cicilan
rumah, kontrol kehamilan, biaya persalinan, pendidikan anak,
kesehatan anak, simpanan untuk pernikahan anak, dsb.

"Atau begini, anggap saja semua orang punya daftar prioritas
pribadi. Banyak perempuan memprioritaskan resepsi dan turut adat
sebagai sesuatu yang utama. Dan itu bukan hal yang salah, tentu
saja. Dengan segala hormat, saya sangat menghargai prioritas mereka.
Namun, saya juga punya prioritas saya sendiri, yang kebetulan
berbeda dengan mereka. How's that?," jelas saya panjang lebar.

"Dan bagaimana dengan orangtuamu?" tanya pria ini.

Alhamdulillah, saya dikaruniai orangtua Sjamsuddin Shiddieg dan
Sangi Siti Rahayu yang luar biasa. Dengan pikiran terbuka dan lapang
dada, mereka pun meluluskan keinginan saya. Pada hari Kamis, 1 Mei
2008, saya dan pria inipun resmi terdaftar sebagai murid suatu ruang
kelas bernama Pernikahan.

Bismillahirohmanirrahim.
***

Pelajaran 4: Berdiskusi bersama Kepala dan Hati

Sebagai murid baru, tentu banyak aturan baru yang harus saya
adaptasi. Mulai dari tampilan pakaian, jam pulang, izin untuk
keluar, cara bicara, cara tertawa, larangan keluar malam, dsb. Yang—
di luar dugaan kepala saya yang skeptis—ternyata saya nyaman-nyaman
saja menjalankannya.

Tentu saja, saya selalu punya banyak pertanyaan. "Kenapa?", "Kenapa
nggak boleh?", "Kenapa jangan?". Dan saat suami saya menjawab
dengan "Nggak papa, nggak boleh aja," maka saya akan mengejar
dengan "That's not an answer. Come on, try me."

Ya, ada kalanya saya bisa sangat melelahkan. Beberapa orang mungkin
berpikir bahwa banyak bertanya adalah sinyal kekritisan. Namun bagi
saya, banyak bertanya berarti sinyal butuhnya persediaan berton-ton
kesabaran. Bayangkan menerima pertanyaan 'Kenapa' dan 'Itu bukan
jawaban. Ayo, cari lagi jawabannya yang logis,' selama hampir 7 kali
sehari dan tidak meledak karenanya. Suami saya mestinya dapat
lencana karenanya. Karena dengan sabarnya, ia akan menjelaskan
alasannya, baik dari sisi agama, logika, maupun keinginan
personalnya.

Dengan tangan terbuka, suami saya bahkan mengundang dua tetangga
saya untuk bertamu. Mereka adalah kepala saya yang kerap haus akan
pemenuhan self fulfilling prophecy, dan hati saya yang kerap kelewat
sensitif pada banyak emosi. Dengan ramahnya, suami saya menyilakan
mereka untuk masuk, duduk bersama di ruang tamu kami. Dan
berdiskusi.

Ini adalah hal baru bagi saya—yang selama bertahun-tahun lamanya
selalu gagal mengajak hati dan kepala untuk sekedar bertukar sapa
dengan ramah. Seorang mantan pasangan dulu pernah berkomentar "Gee,
Retno, kamu harus mulai belajar caranya mengajak hati dan kepalamu
untuk berdiskusi." Yang saat itu dijawab dengan sinisnya oleh saya
dengan "Yeah, right. Like I know how."

Dan kini, betapa saya sungguh tercengang-cengang kala mendapati
kepala dan hati sungguh-sungguh mendengarkan ucapan suami saya.
Mereka tidak sedikitpun memotong ataupun menyela perkataan suami
saya. Mereka juga tak sekalipun berbisik-bisik pada saya, tentang
ketidaksetujuan mereka. Mereka sungguh-sungguh duduk diam, dan
mendengarkan.

Usai penjelasan suami saya, barulah dengan tertib satu persatu dari
mereka mengutarakan argumennya. Lagi-lagi ini adalah hal baru buat
saya. Karena semua argumentasi itu terbungkus dalam balutan kata
yang tertutur rapi, logis, jelas, dan santun. Tidak ada adu
argumentasi diwarnai drama air mata dan kurasan emosi melelahkan.
Tak heran, bila kemudian proses kompromi pun tercapai dengan
anggukan sepakat dan kepuasan dari semua tamu kami. It's a win-win
solution.

Begitulah proses adaptasi saya di ruang kelas baru ini.
***

Pelajaran 5: Belajar Bernafas

Pun hati dan kepala saya sudah mulai belajar duduk bersama dalam
satu kursi, tetap saja ada saat-saat dimana kepala saya lagi-lagi
akan kelewat banyak bertanya dan mencerca, sementara hati saya lagi-
lagi akan kelewat banyak merasa.

Ya, ini melelahkan. Sangat.

Saat saya sempat memutuskan untuk berhenti bekerja kantoran dan
tinggal di rumah saya, menjadi kontributor untuk sebuah majalah,
misalnya. Ada banyak momen dimana kepala saya tanpa henti bertanya.

Bolehkah saya merasa bosan di rumah? Bolehkah saya mencoba
mengatasinya dengan berjalan-jalan ke rumah abang atau orangtua saya
sendirian? Saat saya belum selesai mencuci baju karena terlalu fokus
menulis, apakah saya bersalah sebagai seorang istri? Saat saya lupa
menanak nasi sarapan dan nasi semalam ternyata sudah basi—sehingga
kami yang lapar terpaksa menunggu selama 45 menit—apakah saya
menjadi istri yang buruk, karenanya? Saat saya menghabiskan 3,5 jam
di warnet dan pulang saat makan siang—pun suami saya saat itu makan
siang di kantor—apakah saya adalah seorang istri yang egois? Apakah
itu membuat saya menjadi sosok istri yang tak bertanggung jawab
karenanya?

Logically, kepala saya tentu tahu jawabannya—yang juga telah saya
confirm dengan suami saya. Bahwa tentu saja, tidak, Retnadi. It's
OK. Shit happens. Semua orang bisa melakukan kesalahan. Dan itu tak
lantas menggeneralisirmu menjadi istri yang buruk. "And yes,
sweetie, I love you that much," ujar suami saya.

Jika memang demikian, lantas kenapa saya masih belum merasa lega?
Kenapa saya terus-menerus merasa bersalah, sesak napas, dan mulai
berpikir bahwa 'Apakah saya menikah terlalu cepat?'

I hate that thought. Karena saya tahu pasti, bahwa saya mencintai
suami saya, dan bahwa saya telah mengambil keputusan untuk menjalani
ini bersamanya. Pertanyaan `what if' adalah pertanyaan mengawang-
awang yang melelahkan, tanpa tujuan, dan sia-sia.

Namun bagaimana menjawab ini pada kepala saya yang haus jawaban?

Bahkan kala suatu proses adaptasi berjalan halus dan mulus, saya
tahu bahwa seharusnya saya bersyukur. Dan ya, tentu saja saya
bersyukur. Namun saat kepala saya yang bawel tiba-tiba menerima saja
semua bentuk kompromi ini dengan lapang dada, giliran diri saya yang
bertanya-tanya akan krisis identitasnya. "Ada apa dengan kamu, No?
Apa ini berarti konsepmu selama ini salah? Dan yang sekarang ini
adalah yang benar? Jadi, yang mana identitas dirimu? Jadi, kamu itu
yang mana?"

Dan saya tidak tahu jawabannya.

Saya ingat pada suatu malam, kala pertanyaan ini kembali mencecar
saya. Saat itu, saya meng-sms Ain. "Ain, I work from home, like I
always wanted to. I have a beautiful husband that loved me and
adored me so much. I live in a house that have a beautiful scenery.
But why is hard for me to breath? Why is so hard to breathe?"

Ain membalasnya dengan satu sms sederhana. Satu sms berisi kalimat
yang dikutipnya dari Eat, Pray, Love-nya Elizabeth Gilbert. "What do
you really really really want, Jo?"

Sadly, I have no answer.

Malam itu hampir pukul 1 pagi. Suami saya sudah terlelap di kamar.
Sementara saya menangis di ruang depan, karena saya tak punya
jawaban untuk membalas sms Ain. Dan seperti banyak hari buruk saya
lainnya, saya pun menelpon Citra. Yang lagi-lagi, seperti biasa,
punya jawaban melegakan.

"Retnadi sayang, you're married at 23. Tentu saja, itu bawa banyak
perubahan. Beberapa perubahan pasti melahirkan banyak pertanyaan
membingungkan seperti ini. Tapi tahu nggak, No? It's OK, untuk tidak
punya jawaban atas segala hal. It's OK, untuk bilang sama kepala dan
dirimu sendiri, atau bahkan semua pertanyaan yang kamu temui,
dengan "Maaf, untuk saat ini, saya tidak punya jawabannya. Tapi saya
akan belajar untuk mencarinya." It's OK, and we still love you. So
take your time, Retnadi. Take your time. Love you," ucap Citra
mengelus hati saya.
***
Pelajaran 6: Dua Aksioma

Dalam ilmu komunikasi, aksioma adalah sesuatu yang tak terbantahkan.
Aksioma komunikasi yang terkenal adalah `we cannot not communicate'.
Karena pun kita menolak komunikasi verbal, akan selalu ada komponen
nonverbal yang mengkomunikasikan pesan kita.

Di umur 24 tahun, saya pun menyusun dua aksioma saya. Pertama, we
can't pleased everyone. Kita tak bisa menyenangkan semua orang. Pun
saya berusaha sekeras mungkin, akan selalu ada masukan, keinginan,
dan harapan yang tak terakomodir. Pun saya berusaha sekeras mungkin,
hasil akhir tetaplah berada di tangan Tuhan. And it's OK, because we
can't pleased everyone. Saya berikhtiar, Tuhanlah yang menentukan.

Aksioma ke dua (thanks to Citra), bahwa saya tak harus punya jawaban
atas segala hal. Selama bertahun-tahun lamanya, kepala saya yang
haus jawaban, tanpa henti bertanya, dan betapa saya berusaha keras
untuk menjawabnya. Berusaha keras menyusun banyak konsep, banyak
definisi, banyak deskripsi, banyak pernyataan, banyak alur logika,
banyak pertimbangan, dan setumpuk penjelasan lain yang saya kira
dapat memuaskan kepala saya. Tak pernah sekalipun terlintas, bahwa
saya boleh menjawab 'I don't know how. I just know', atau 'I don't
know, now. Let's figure it out later.'

Saat pagi hari misalnya. Saat suami saya sudah berangkat ke kantor,
sementara saya yang usai meratakan tanah belakang, beristirahat di
atas karpet. Dengan kaki berselonjor, sarapan nasi putih hangat
berlaukkan beberapa potong gorengan, untuk kemudian minum secangkir
kopi susu. This is it. The moment of happiness. I'm just happy. I
just know.

Atau saat saya tengah kebingungan untuk mengambil suatu keputusan.
Saat itu, saya menangis sejadi-jadinya di atas sajadah, terus-
menerus bertanya pada Tuhan. Please tell me what to do. Please tell
me what to do. Please tell me what to do.
Dan sama seperti di malam tahun baru 2008, mata hati pun kembali
membimbing saya. Dengan tenangnya, dengan lembutnya, dengan
sabarnya.

Ah, betapa melegakan.

Kini, pun banyak pertanyaan kembali berseliweran di kepala saya,
saya tahu, bahwa saya akan selalu bisa mengembalikannya pada Tuhan.
Sama seperti saat dulu saya memutuskan untuk keluar dari hubungan
melelahkan, sama seperti saat saya memutuskan untuk menikah, sama
seperti saat saya memutuskan untuk kembali bekerja kantoran.

Dan sebagai murid baru di ruang kelas bernama pernikahan ini, tentu
akan selalu ada banyak materi yang tak saya pahami. Akan ada
sejumlah kesalahan yang saya lakukan, ataupun suami saya lakukan.
And it's ok. Seperti kutipan lirik lagu Ordinary People John
Legend "We're just ordinary people, we don't which way to go. `Cause
we're ordinary people, maybe we should take it slow."

Pelan-pelan, saya dan suami saya akan belajar bersama di ruang kelas
baru ini. PadaNya, Sang Maha Guru. Semoga pelajaran ini berlangsung
selamanya. Untuk semua hal yang akan datang, attraversiamo*. Amin.
***

*Attraversiamo (Italian phrase): Let's cross it over.

PS: Di akhir tulisan ini, seketika saya terpikir, bahwa dengan
deskripsi kata sifat, mungkin kata 'pernikahan' bisa menjadi suatu
kata yang pas untuk dilekatkan pada diri saya. Dengan suami dan
cinta yang begitu mempesona, saya pun tak bisa menemukan kata sifat
lain, selain: bahagia.

Yes, I'm happily married. I just know.


9b.

Re: (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan

Posted by: "Andri Triwidyastuti" andricupu@yahoo.com   andricupu

Sun Sep 21, 2008 7:50 pm (PDT)

kapan ya bisa masuk ke sebuah ruang kelas bernama pernikahan ? 

tulisan yang mengingatkan saya pada sebuah keluarga yang menunjukan kebenaran janji Allah SWT bahwa lelaki baik2 adalah untuk wanita baik2.
 









9c.

Re: (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan

Posted by: "Pandika Sampurna" pandika_sampurna@yahoo.com   pandika_sampurna

Sun Sep 21, 2008 8:01 pm (PDT)

Retno, Insya Allah pilihan kamu sudah sangat tepat.
Saya doakan mudah-mudahan rumah tangga kalian berdua akan sakinah,
dikaruniani anak-anak yang soleh dan solehah, serta kalian berdua
akan selalu akur dan seiring sejalan, serta berbahagia selamanya.

Mohon maaf waktu saat pernikahan saya tidak bisa hadir karena sedang
di luar kota.

Selamat ya.

Salam,
PS

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "Bu CaturCatriks"
<punya_retno@...> wrote:
>
> dear all,
>
> hanya sekedar berbagi banyak pandangan dan pelajaran yg saya dapat
> dlm pernikahan.
> oya, sebelumnya,
> ini adalah salah satu tulisan terpanjang yg pernah saya buat.
> sekaligus, salah satu tulisan terjujur, dimana saya benar2 mencoba
> menumpahkan banyak pertanyaan dr kepala saya.
> mohon maaf kalau membosankan dan membingungkan.
>
> -retno-
>
>
> Sebuah Ruang Kelas Bernama Pernikahan
> Oleh Retnadi Nur'aini
>
> Marriage (noun): legal union of a man and woman as husband and
wife.
> Marriageable (adjective): old enough or suitable for marriage
> Marry (verb): take somebody as a husband or wife; join as husband
> and wife; find suitable partner for
> Married (adjective): having a husband or wife
> (Oxford Pocket Dictionary)
>
> Di umur 23 tahun, kata "pernikahan" adalah kata yang terasa tak
pas
> untuk dilekatkan pada diri saya. Tidak sebagai kata benda. Tidak
> sebagai kata sifat. Tidak juga sebagai kata kerja.
>
> Mungkin karena saat itu saya pikir umur saya masih kelewat muda.
> Mungkin karena saya tengah senang-senangnya bekerja, diselingi
> bermain dan berkumpul bersama teman-teman saya. Mungkin karena
saat
> itu—seperti dalam kumpulan esai karya Ayu Utami yang berjudul
> Parasit Lajang—konsep membentuk keluarga tampak begitu tak efisien
> bagi lajang seperti saya yang masih menumpang di rumah orangtua.
>
> Mungkin karena saya pikir saya masih kelewat egois dalam banyak
hal
> yang saya inginkan. Mungkin juga karena saya tak pernah
mencantumkan
> kata ini dalam daftar target, resolusi, harapan, ataupun mimpi
yang
> ingin saya capai tahun ini, sehingga saya juga sama sekali tak
> pernah memacu—ataupun memaksa diri saya sendiri untuk mencoba
> mengenakan kata ini dalam diri saya. Atau mungkin karena saya
> kelewat nyaman saja dengan keadaan saat itu, dan punya banyak
> keengganan dan kecemasan akan suatu perubahan.
>
> Apapun itu—it just didn't fit.
> ***
>
> Pelajaran 1: Merumuskan Definisi Konseptual
>
> Di umur 23 tahun, konsep pernikahan juga sekaligus merupakan
sebuah
> konsep raksasa yang sulit saya rumuskan. Selain karena
keterbatasan
> pemahaman, saya juga belum tahu apa yang sungguh-sungguh saya
> inginkan dalam suatu pernikahan.
>
> Maka untuk mulai merumuskannya, saya pun mencoba premis yang
> berkebalikan. Yaitu dengan mendaftar apa yang sungguh-sungguh
tidak
> saya inginkan dalam suatu pernikahan. Berbekalkan sedikit
pengalaman
> hubungan interpersonal bersama beberapa pria, disambi mengamati
> sejumlah kehidupan pernikahan di sekitar saya, pelan-pelan,
sayapun
> mulai menabung rumusan konsep pernikahan. Beberapa diantaranya:
Saya
> tak menginginkan pernikahan yang di dalamnya ada pembagian tugas
> domestik berdasarkan jender dan nilai-nilai patriarki. Saya tak
> menginginkan pernikahan dimana setiap orang di dalamnya punya ego
> dan ambisi sedemikian besarnya untuk satu kepuasan memenangkan adu
> argumentasi, dan mengesampingkan konsep diskusi dan kompromi. Saya
> tak menginginkan pernikahan dimana setiap orang di dalamnya tidak
> tahu caranya menggunakan intonasi. Saya tak menginginkan
pernikahan,
> yang di dalamnya orang mandeg berjalan dalam proses pencarian jati
> diri.
>
> Jujur, mulanya, tabungan konsep di atas memang merupakan gabungan
> dari daftar "cacat" atas sejumlah kehidupan pernikahan yang saya
> amati, sekaligus daftar "dosa" para mantan pasangan saya. Dimana
> dalam setiap akhir hubungan, dengan dinginnya, saya akan
menyerahkan
> daftar panjang ini sebagai alasan kenapa kami tak lagi bisa
berjalan
> bersama.
>
> Tidak adil, memang. Dan tentu saja, daftar itu tak serta merta
> menamatkan riwayat hubungan kami. Ada banyak pertanyaan "Kenapa?",
> yang diteruskan dengan "Kenapa sekarang?".
>
> Namun seiring dengan waktu yang membalut semua luka, ia juga
> sekaligus menegur ego saya yang pongah dan kekanakan. Bahwa
seperti
> seorang murid yang gagal ujian, setiap mantan pasangan berhak
tahu,
> kenapa nilainya bisa buruk—di kala ia pikir ia sudah belajar sama
> kerasnya dengan murid lainnya. "Oke, kamu mungkin sekarang sudah
> pindah kelas dan tak lagi bisa belajar bersama dengannya, but at
> least, let him learn. Biarkan ia mendapat pelajaran yang telah
> menjadi haknya," tegur waktu.
>
> Jadi, alih-alih menggunakan daftar ini sebagai self defense
> mechanism, saya mencoba mengganti judulnya dengan "Daftar Harapan
> untuk Calon Pasanganmu Berikutnya," sebelum diserahkan pada mantan
> pasangan saya. Dan untuk saya sendiri "Daftar Harapan atas Dirimu
> Sendiri."
>
> Dari sana, kami belajar bahwa pelajaran kami sekarang memang sudah
> berbeda bentuknya, dan saya tak bisa belajar bersama seorang
> pasangan yang tinggal kelas. Ia harus lebih dulu menuntaskan
tahapan
> pelajarannya, untuk kemudian bisa memahami tahap pelajaran
> selanjutnya. Di sisi lain, saya juga tak bisa mengajarinya,
ataupun
> mengatrol nilainya. Saya tak berhak, tak berwenang, dan juga tak
> mampu untuk melakukannya. Di atas semuanya, bukan itu
> konsep "belajar bersama dalam suatu hubungan interpersonal" di
> kepala saya. Dengan lapang dada, kami pun belajar tentang konsep
> memaafkan dan merelakan. Kami juga belajar tentang konsep
kenangan,
> masa lalu, dan bergerak maju. Move on.
> ***
>
> Saya dibesarkan dalam keluarga dengan ke dua orangtua pekerja.
> Dimana ayah saya adalah seorang workholic dan ibu saya adalah
> seorang guru SD yang sangat berdedikasi pada murid-muridnya. Namun
> saat saya menginjak bangku SMU, ibu saya memutuskan untuk pensiun
> dini, demi mengurus keluarga.
>
> Dan ya, ibu saya sungguh-sungguh berkomitmen pada keputusannya.
> Beliau sungguh-sungguh membaktikan dirinya untuk keluarga. Setiap
> hari, beliau akan bangun pukul 2 pagi untuk shalat tahajud, tidak
> tidur sampai subuh, dan menyiapkan sarapan lengkap—berupa nasi dan
> lauk pauknya, bukan sekedar roti tawar beroles selai atau margarin—
> dan bergelas-gelas minuman hangat. Setiap hari, 3 kali sehari,
> beliau akan mengganti minuman untuk Bapak—pagi hari ada kopi susu,
> air jeruk, dan air putih. Siang hari, ada es sirup dan air putih.
> Sore hari ada teh manis dan air putih.
>
> Tak pernah sekalipun Ibu alpa menyiapkan bekal makan siang kami
> semua. Dan sampai kini, masing-masing dari kami menyimpan satu
> taplak meja khusus buatan Ibu yang bersulamkan nama setiap kami di
> atasnya.
>
> Ibu nyaris tak pernah berjalan-jalan. Ataupun, menonton televisi.
> Bahkan saat beliau sedang sendirian di rumah. Ketimbang jalan-
jalan,
> beliau lebih memilih untuk mengaji, membaca buku, menulis diary,
> atau tidur. Dan beliau hanya menonton televisi, saat kami datang
dan
> menyetel televisi. Itupun lebih karena beliau ingin menemani kami.
>
> Kesenangan termewah ibu saya adalah makanan. Dimana beliau bisa
> membeli semangkuk bakso, atau sepiring nasi padang, untuk dirinya
> sendiri—dan bukannya disajikan di atas meja makan sebagai lauk
bagi
> kami semua.
>
> Tumbuh dengan menyaksikan ini, satu ide lagi muncul di kepala
saya.
> Bahwa saya tak menginginkan pernikahan, dimana ada orang yang
> menjadi martir di dalamnya. Tapi, hey, benarkah ibu saya menjadi
> martir dalam pernikahan ini?
>
> She seems quite happy.
>
> Sayapun bertanya padanya. Apakah beliau bahagia?
>
> Yang dijawab beliau dengan senyum tulus. "Tentu saja, saya
bahagia.
> Memang ada masa-masa sulit, Retno. Dan lebih sulit lagi, karena
dulu
> saya menjalani itu sendirian. Tidak ada Bapak (saat itu Bapak
sedang
> kuliah di luar negeri), dan tidak ada keluarga saya. Namun saya
> bilang ke diri saya 'Harus bisa, harus bisa',"
>
> Seketika kepala saya kembali menelurkan sekeranjang pertanyaan. Is
> it cultural? (Karena dulu ide feminisme belum terpublikasikan
merata
> di Indonesia), is it psychological? (Karena ibu saya dibesarkan
> dalam keluarga yang mengajarkannya untuk nrimo dengan keadaan,
plus
> itu keluarga Jawa), is it genetic? (Karena uti saya—ibu dari ibu
> saya—juga punya karakter yang sama), is it astrological? (Karena
ibu
> saya berzodiak Sagitarius), is it educational? (Karena ibu saya
> hanya mengenyam pendidikan D3, dan saya sedikit di atas beliau—
S1),
> is it hormonal? Dietary? Philosopical? Religion? Educational?
> Environmental? What is the root of her character? Kenapa beliau
> tampak tidak keberatan? Kenapa beliau tampak ikhlas menjalaninya?
>
> Kenapa beliau bisa dengan tulusnya bilang 'I'm happy, Retno.' Dan
di
> atas semuanya, kenapa saya pikir, saya tidak bisa menjalani itu
> semua?
>
> Tidakkah Ibu merasa mengorbankan terlalu banyak hal?
> Lagi-lagi sambil tersenyum, Ibu saya menjawab "Semuanya setimpal,
> Retno. Ada kakak-kakakmu. Ada kamu. Dan saya bangga dengan kalian,"
> Satu jawaban sederhana yang seketika membungkam semua pertanyaan
> saya.
> ***
>
> Pelajaran 2: Kriteria Pasangan Ideal
>
> Subjudul di atas merupakan satu pertanyaan yang akan mendapatkan
> jawaban berlembar-lembar banyaknya, dengan sedemikian detilnya,
oleh
> banyak orang. Banyak orang yang mampu merinci jawabannya secara
> spesifik dengan—cantik/ ganteng, tinggi, putih, rambut panjang
(bila
> wanita), pintar, religius, mapan, bibit, bebet, bobot, dsb. Banyak
> pula orang yang akan menjawab singkat "Yang penting, mau nerima
gua
> apa adanya, mengisi kekurangan gua."
>
> Sejumlah jawaban spesifik, yang mostly, terasa tak pas menjadi
> standar kriteria saya akan calon pasangan ideal. Selain karena
> tampilan fisik dan hal-hal penunjangnya (saya sering
> mengistilahkannya dengan 'kualitas administratif') bukan menjadi
> prioritas utama saya, psikologis personal justru menjadi
> pertimbangan penting buat saya.
>
> Selama bertahun-tahun lamanya, saya pun mencoba merumuskan standar
> kualifikasi psikologis calon pasangan yang saya inginkan. Beberapa
> diantaranya adalah: secure pada dirinya sendiri, tulus, open mind,
> bersedia untuk diajak berkompromi dalam jangka panjang.
>
> Dalam salah satu buku yang saya baca, ada kutipan yang menarik
> tentang kriteria pasangan. "Gua cuma tahu, kalo sama dia, dalam
hati
> gua, terdengar suara tutup botol dengan ulirnya. Klik."
>
> Ide yang menarik. Namun, ah, bukankah percakapan menyenangkan
selalu
> bisa diciptakan? Darimana kita tahu bahwa bunyi 'klik' itu
> adalah 'klik' yang sebenarnya? Apa simptomnya?
>
> Pertanyaan ini menghantui kepala saya selama bertahun-tahun
lamanya,
> sampai tahun 2006. Tahun itu, saya bertemu dengan seorang pria—
> sekarang mantan, yang tak hanya membunyikan 'klik' di kepala saya,
> namun juga lonceng. Saat bersamanya, saya bisa membayangkan kami
tua
> bersama. Dimana kami dengan rambut memutih duduk-duduk di karpet
> ruang tamu, bergantian membacakan kalimat demi kalimat dalam
cerpen
> Seksi karya Jhumpa Lahiri. Yes, I can picture it. Dengan detilnya,
> dengan cantiknya, dengan sempurnanya.
>
> Namun ada kalanya, kita tak selalu memperoleh apa yang kita
> harapkan. Pun saya mampu membayangkan setiap detil masa depan
kami,
> hubungan itu merupakan suatu hubungan yang tidak ideal.
> Ketidakidealan ini melahirkan banyak pertengkaran dan adu
> argumentasi melelahkan, yang akhirnya membawa saya pada satu
> kesimpulan: bahwa ada kalanya, cinta saja tak cukup. Dengan berat
> hati, kami pun memutuskan untuk berpisah di tahun 2007.
>
> Perpisahan yang sekaligus merampok separuh jiwa saya, untuk
kemudian
> menenggelamkannya entah dimana. Saat memunguti remah-remah jiwa
yang
> tercecer, ide kriteria "mau menerima diri kita apa adanya, dan mau
> mengisi kekurangan kita" pun seketika jadi tampak masuk akal di
> kepala saya. Namun seperti halnya skripsi, itu semata-mata
hanyalah
> batasan definisi konseptual. Saat kita ingin menerapkannya ke
dalam
> kehidupan nyata, apa instrumennya? Apa indikatornya? Apa
> operasionalisasi konsepnya? Apa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
> teknisnya?
>
> Saat itulah seorang Catur Sukono datang.
>
> Saat saya tengah membenahi diri saya dengan remah-remah jiwa yang
> tersisa, mencoba merekatkan kembali kepercayaan diri dan konsep
diri
> yang babak belur karena hubungan sebelumnya.
>
> Dan sebagai kejutan, pria ini datang dengan membawa sebuah
proposal
> pernikahan.
> ***
>
> Saya selalu berpikir, bahwa suatu hubungan adalah laiknya
investasi.
> Dimana setiap orang di dalamnya akan berinvestasi waktu, perasaan,
> materi, dan banyak hal lainnya, dengan tujuan memperoleh laba
jangka
> panjang—dalam konteks ini, pernikahan, maupun hubungan jangka
> panjang yang stabil.
>
> Karenanya, sebelum memutuskan untuk berinvestasi, calon investor
> tentu perlu tahu segala faktor resiko yang akan dijalaninya,
> termasuk resiko kerugian. Maka saya pun menjelaskan pada pria ini
> tentang diri saya. Bahwa saya baru keluar dari hubungan yang
sangat
> melelahkan, dan kembali berada di titik nol pencarian jati diri.
> Bahwa untuk membangun kepercayaan diri, saya kerap memantrai diri
> saya, dan memasang topeng imej sosok yang manis, lucu,
menyenangkan.
> Pikir saya saat itu, kalaupun saya belum bisa bahagia, at least,
> saya bisa berpura-pura tampak bahagia. Dan mungkin, dengan begitu,
> saya akan sungguh-sungguh bahagia. Seperti saya di masa
sebelumnya.
>
> Namun topeng itu tidak saya kenakan 24 jam sehari 7 hari seminggu.
> Saat terbuka, akan tampak wajah asli saya yang dipenuhi bekas luka
> dan buruk rupa. Bahwa menumpang rollercoaster mood saya bisa
sangat
> sangat melelahkan. Bahwa saya punya setumpuk ketakutan tentang
> pernikahan dan menjadi orangtua, dan bahwa pernikahan kembali
> menjadi satu konsep blur yang gagal saya petakan.
>
> Karenanya, saat proposal itu datang, dan saya mulai membaca lembar
> demi lembar isinya, hal pertama yang ingin saya lakukan adalah
lari.
> Kabur. Pertama, kami belum cukup mengenal satu sama lain. Yang
> membuat kepala saya dengan skeptisnya bertanya memburu "Bagaimana
> kalau dia abusif?", "Bagaimana kalau dia seorang skizofrenik atau
> manik depresi?", "Bagaimana kalau dia seorang
> megalomaniak?", "Bagaimana kalau dia seorang MPD?", "Bagaimana
> kalau dia adalah semua kombinasi di atas?"—atau singkatnya, hal-
hal
> mendalam yang tak kasat mata dan tak terdeteksi hanya dalam
beberapa
> bulan perkenalan.
>
> Bertahun lalu, saya pasti akan menolak mentah-mentah ide kabur
dari
> masalah ini. "Hanya anak kecil yang lari dari masalah. Orang
dewasa
> akan bangun dan menghadapinya," begitu pikir saya dulu.
>
> Tapi saat itu, saya sedang tak mampu berpikir jernih atas banyak
> hal. Kegagalan hubungan sebelumnya, membuat kepercayaan diri saya
> jatuh bebas di titik nol. Satu-satunya pria yang saya bisa
> membayangkan tua bersama dengannya, ternyata tak mampu
> memperjuangkan saya. Apa mungkin, saya memang tak seberharga itu
> untuk diperjuangkan, ya?, begitu pikir saya. Ya, saat itu, saya
> memang tak lagi percaya akan kemampuan akal sehat saya untuk
> mengambil keputusan, dan membuat saya meragukan definisi
konseptual
> saya akan banyak hal, seperti tentang kepercayaan, komitmen, dan
> cinta.
>
> Namun saat mata raga mulai tumpul menatap, hadirlah sang mata
hati.
> Dimana kompas yang berlaku bukan lagi fakta dan logika, melainkan
> feeling dan intuisi. Seperti saran Morrie yang dikutip Mitch Albom
> dalam buku Tuesdays with Morrie "Kadang-kadang, kita tak boleh
> percaya pada apa yang kita lihat, kita harus percaya pada apa yang
> kita rasakan."
>
> Dengan lembutnya, mata hati pun menjawab setumpuk pertanyaan
skeptis
> kepala saya. Bahwa pria sederhana ini adalah sosok yang cukup
stabil
> dan nyaman dengan dirinya sendiri—hal yang amat sangat jarang saya
> temui. Faktor yang juga membuatnya menjadi sosok yang cukup kuat
> untuk disandari. Bahwa ia berpikiran terbuka, dapat dipercaya,
> bertanggung jawab, bisa diajak berkompromi, dan yang terpenting—
> mencintai Tuhan dalam setiap sel tubuhnya.
>
> Karena ijab kabul pernikahan adalah salah satu perjanjian utama
yang
> disaksikan langsung oleh Tuhan. Pun tidak merasa religius, namun
> saya percaya, bahwa para pecinta Tuhan tak akan berani
mendustaiNya.
> Dan ya, saya percaya pada pria ini.
> ***
> Pelajaran 3: Bimbingan Mata Hati
>
> Toh, meski demikian, tetap saja kepala saya tak berhenti bertanya.
> Seperti rentetan peluru. "Lantas, bagaimana denganmu? Apa kamu
> menginginkan pria ini untuk 50 tahun, 60 tahun ke depan—seumur
> hidupmu? Apa kamu mencintainya? Bagaimana dengan rasa bosan,
> mengingat kamu adalah tipe orang yang mudah bosan? Apa jaminannya
> pernikahanmu akan utuh untuk jangka panjang? Dan bagaimana dengan
> anak? Dengan kondisimu sekarang, kamu pasti tak bisa menjadi ibu
> yang baik, kan? Tidakkah lebih urgent untuk lebih dahulu membenahi
> dirimu? Dan bagaimana dengan mimpi-mimpi yang belum kamu capai dan
> masih kamu inginkan? Dan bagaimana denganmu?", cecar kepala saya
> tanpa ampun.
>
> Dengan panik, sayapun berteriak "Stop! Stop! Stop! Saya mohon,
> berhentilah bertanya, karena kamu tidak membantu!"
> Disinilah lagi-lagi, mata hati merengkuh saya. Dengan lembut ia
> menggandeng saya ke tempat wudhu, membasuh semua pekat dan ruwet
> pertanyaan kepala saya. Dengan lembut, ia berbisik agar saya minta
> petunjuk dariNya. "Jika bimbang meraja, maka bertanyalah pada
> Penciptamu. Adukan padaNya, minta petunjukNya, mohonkan
> pertolonganNya," begitu bisiknya.
>
> Malam itu adalah malam tahun baru 2008, saat untuk pertama kalinya
> saya shalat istikharah dengan niatan bertanya pada Tuhan untuk
> urusan jodoh dan pernikahan. Dari beberapa buku dan pendapat yang
> saya kumpulkan, sejumlah orang konon, mendapatkan petunjuk dan
> hidayah melalui mimpi. Tidak demikian halnya dengan saya.
> Kala itu, hampir dini hari. Seorang teman saya yang tengah
menginap
> sedang terlelap di dalam kamar. Sementara saya yang tak bisa tidur
> usai shalat istikharah, memilih untuk duduk di ruang keluarga.
Hanya
> duduk saja, tanpa menonton televisi. Di luar, hanya sesekali saja
> terdengar lengkingan terompet dan suara orang yang sesekali
> melintas.
>
> Sebuah keheningan yang mendamaikan.
> Dan seperti dalam banyak keheningan saya lainnya, sebuah suara pun
> tiba-tiba hadir mengetuk kepala saya.
>
> "Ya, saya ingin melakukannya," ujar suara itu. Bening dan jelas.
> Saya mengernyitkan dahi. Ini bukan suara sang kepala. Karena sang
> kepala selalu berbicara tegas dan cepat, dengan intonasi datar dan
> nada dingin tanpa emosi. Dan juga bukan suara sang hati, yang
hampir
> selalu terdengar pilu dan merintih, atau tercekat. Saya tidak
kenal
> suara ini, pikir saya.
>
> "Kamukah itu, mata hati? Kenapa menggunakan kata 'saya', dan
> bukannya 'kamu' seperti yang biasa kamu lakukan saat membimbing
> saya?," tanya saya.
>
> Sambil tersenyum sejuk, mata hati pun menjawab "Karena memang
bukan
> saya yang mengatakannya, Retnadi sayang. Dirimu sendirilah yang
> mengatakannya. Itu adalah suaramu."
>
> Selama beberapa waktu sayapun menunggu cecaran pertanyaan dari
> kepala. Namun tak terjadi sesuatu. Lima belas menit. Setengah jam.
> Satu jam. Kepala saya tetap tak bergeming.
>
> Pelan-pelan, bibir saya pun berucap syukur "Alhamdulillah, terima
> kasih Tuhan. Dan ya, saya ingin melakukannya. Saya ingin
> melakukannya. Saya ingin melakukannya."
> ***
>
> Proses pun dimulai.
>
> Diawali dengan tahap perkenalan pria ini pada ke dua orangtua
saya,
> yang dilanjutkan dengan proses lamaran. Sepanjang proses
> berlangsung, saya pun mengutarakan keinginan saya pada pria ini
akan
> ketiadaan resepsi dan seserahan saat lamaran.
>
> Dan betapa pria ini tercengang-cengang mendengarnya—terlebih saat
> kami tahu, bahwa kami akan menikah di masjid yang sama dengan
salah
> satu abang saya, dimana abang saya dan mempelai wanitanya kemudian
> akan menyelenggarakan resepsi pernikahan di gedung samping masjid.
>
> "Tapi itu, kan, hak kamu. Kamu juga berhak untuk dirayakan,
apalagi
> kamu anak perempuan bungsu, satu-satunya pula," ujar pria ini.
>
> Butuh diskusi cukup panjang bagi saya untuk meyakinkan pria ini,
> bahwa bagi saya, perayaan memang sungguh-sungguh bukanlah hal
> penting. Saya tak menginginkannya. Saya tak membutuhkannya. Bahwa
> bagi saya, yang utama adalah ijab kabul. Sisanya adalah asesoris
> pendukung belaka. Bahwa bagi saya, hidup tak berhenti seusai
> resepsi. Bahwa masih ada banyak hal yang harus dipikirkan—cicilan
> rumah, kontrol kehamilan, biaya persalinan, pendidikan anak,
> kesehatan anak, simpanan untuk pernikahan anak, dsb.
>
> "Atau begini, anggap saja semua orang punya daftar prioritas
> pribadi. Banyak perempuan memprioritaskan resepsi dan turut adat
> sebagai sesuatu yang utama. Dan itu bukan hal yang salah, tentu
> saja. Dengan segala hormat, saya sangat menghargai prioritas
mereka.
> Namun, saya juga punya prioritas saya sendiri, yang kebetulan
> berbeda dengan mereka. How's that?," jelas saya panjang lebar.
>
> "Dan bagaimana dengan orangtuamu?" tanya pria ini.
>
> Alhamdulillah, saya dikaruniai orangtua Sjamsuddin Shiddieg dan
> Sangi Siti Rahayu yang luar biasa. Dengan pikiran terbuka dan
lapang
> dada, mereka pun meluluskan keinginan saya. Pada hari Kamis, 1 Mei
> 2008, saya dan pria inipun resmi terdaftar sebagai murid suatu
ruang
> kelas bernama Pernikahan.
>
> Bismillahirohmanirrahim.
> ***
>
> Pelajaran 4: Berdiskusi bersama Kepala dan Hati
>
> Sebagai murid baru, tentu banyak aturan baru yang harus saya
> adaptasi. Mulai dari tampilan pakaian, jam pulang, izin untuk
> keluar, cara bicara, cara tertawa, larangan keluar malam, dsb.
Yang—
> di luar dugaan kepala saya yang skeptis—ternyata saya nyaman-
nyaman
> saja menjalankannya.
>
> Tentu saja, saya selalu punya banyak
pertanyaan. "Kenapa?", "Kenapa
> nggak boleh?", "Kenapa jangan?". Dan saat suami saya menjawab
> dengan "Nggak papa, nggak boleh aja," maka saya akan mengejar
> dengan "That's not an answer. Come on, try me."
>
> Ya, ada kalanya saya bisa sangat melelahkan. Beberapa orang
mungkin
> berpikir bahwa banyak bertanya adalah sinyal kekritisan. Namun
bagi
> saya, banyak bertanya berarti sinyal butuhnya persediaan berton-
ton
> kesabaran. Bayangkan menerima pertanyaan 'Kenapa' dan 'Itu bukan
> jawaban. Ayo, cari lagi jawabannya yang logis,' selama hampir 7
kali
> sehari dan tidak meledak karenanya. Suami saya mestinya dapat
> lencana karenanya. Karena dengan sabarnya, ia akan menjelaskan
> alasannya, baik dari sisi agama, logika, maupun keinginan
> personalnya.
>
> Dengan tangan terbuka, suami saya bahkan mengundang dua tetangga
> saya untuk bertamu. Mereka adalah kepala saya yang kerap haus akan
> pemenuhan self fulfilling prophecy, dan hati saya yang kerap
kelewat
> sensitif pada banyak emosi. Dengan ramahnya, suami saya menyilakan
> mereka untuk masuk, duduk bersama di ruang tamu kami. Dan
> berdiskusi.
>
> Ini adalah hal baru bagi saya—yang selama bertahun-tahun lamanya
> selalu gagal mengajak hati dan kepala untuk sekedar bertukar sapa
> dengan ramah. Seorang mantan pasangan dulu pernah
berkomentar "Gee,
> Retno, kamu harus mulai belajar caranya mengajak hati dan kepalamu
> untuk berdiskusi." Yang saat itu dijawab dengan sinisnya oleh saya
> dengan "Yeah, right. Like I know how."
>
> Dan kini, betapa saya sungguh tercengang-cengang kala mendapati
> kepala dan hati sungguh-sungguh mendengarkan ucapan suami saya.
> Mereka tidak sedikitpun memotong ataupun menyela perkataan suami
> saya. Mereka juga tak sekalipun berbisik-bisik pada saya, tentang
> ketidaksetujuan mereka. Mereka sungguh-sungguh duduk diam, dan
> mendengarkan.
>
> Usai penjelasan suami saya, barulah dengan tertib satu persatu
dari
> mereka mengutarakan argumennya. Lagi-lagi ini adalah hal baru buat
> saya. Karena semua argumentasi itu terbungkus dalam balutan kata
> yang tertutur rapi, logis, jelas, dan santun. Tidak ada adu
> argumentasi diwarnai drama air mata dan kurasan emosi melelahkan.
> Tak heran, bila kemudian proses kompromi pun tercapai dengan
> anggukan sepakat dan kepuasan dari semua tamu kami. It's a win-win
> solution.
>
> Begitulah proses adaptasi saya di ruang kelas baru ini.
> ***
>
> Pelajaran 5: Belajar Bernafas
>
> Pun hati dan kepala saya sudah mulai belajar duduk bersama dalam
> satu kursi, tetap saja ada saat-saat dimana kepala saya lagi-lagi
> akan kelewat banyak bertanya dan mencerca, sementara hati saya
lagi-
> lagi akan kelewat banyak merasa.
>
> Ya, ini melelahkan. Sangat.
>
> Saat saya sempat memutuskan untuk berhenti bekerja kantoran dan
> tinggal di rumah saya, menjadi kontributor untuk sebuah majalah,
> misalnya. Ada banyak momen dimana kepala saya tanpa henti
bertanya.
>
> Bolehkah saya merasa bosan di rumah? Bolehkah saya mencoba
> mengatasinya dengan berjalan-jalan ke rumah abang atau orangtua
saya
> sendirian? Saat saya belum selesai mencuci baju karena terlalu
fokus
> menulis, apakah saya bersalah sebagai seorang istri? Saat saya
lupa
> menanak nasi sarapan dan nasi semalam ternyata sudah basi—sehingga
> kami yang lapar terpaksa menunggu selama 45 menit—apakah saya
> menjadi istri yang buruk, karenanya? Saat saya menghabiskan 3,5
jam
> di warnet dan pulang saat makan siang—pun suami saya saat itu
makan
> siang di kantor—apakah saya adalah seorang istri yang egois?
Apakah
> itu membuat saya menjadi sosok istri yang tak bertanggung jawab
> karenanya?
>
> Logically, kepala saya tentu tahu jawabannya—yang juga telah saya
> confirm dengan suami saya. Bahwa tentu saja, tidak, Retnadi. It's
> OK. Shit happens. Semua orang bisa melakukan kesalahan. Dan itu
tak
> lantas menggeneralisirmu menjadi istri yang buruk. "And yes,
> sweetie, I love you that much," ujar suami saya.
>
> Jika memang demikian, lantas kenapa saya masih belum merasa lega?
> Kenapa saya terus-menerus merasa bersalah, sesak napas, dan mulai
> berpikir bahwa 'Apakah saya menikah terlalu cepat?'
>
> I hate that thought. Karena saya tahu pasti, bahwa saya mencintai
> suami saya, dan bahwa saya telah mengambil keputusan untuk
menjalani
> ini bersamanya. Pertanyaan `what if' adalah pertanyaan mengawang-
> awang yang melelahkan, tanpa tujuan, dan sia-sia.
>
> Namun bagaimana menjawab ini pada kepala saya yang haus jawaban?
>
> Bahkan kala suatu proses adaptasi berjalan halus dan mulus, saya
> tahu bahwa seharusnya saya bersyukur. Dan ya, tentu saja saya
> bersyukur. Namun saat kepala saya yang bawel tiba-tiba menerima
saja
> semua bentuk kompromi ini dengan lapang dada, giliran diri saya
yang
> bertanya-tanya akan krisis identitasnya. "Ada apa dengan kamu, No?
> Apa ini berarti konsepmu selama ini salah? Dan yang sekarang ini
> adalah yang benar? Jadi, yang mana identitas dirimu? Jadi, kamu
itu
> yang mana?"
>
> Dan saya tidak tahu jawabannya.
>
> Saya ingat pada suatu malam, kala pertanyaan ini kembali mencecar
> saya. Saat itu, saya meng-sms Ain. "Ain, I work from home, like I
> always wanted to. I have a beautiful husband that loved me and
> adored me so much. I live in a house that have a beautiful
scenery.
> But why is hard for me to breath? Why is so hard to breathe?"
>
> Ain membalasnya dengan satu sms sederhana. Satu sms berisi kalimat
> yang dikutipnya dari Eat, Pray, Love-nya Elizabeth Gilbert. "What
do
> you really really really want, Jo?"
>
> Sadly, I have no answer.
>
> Malam itu hampir pukul 1 pagi. Suami saya sudah terlelap di kamar.
> Sementara saya menangis di ruang depan, karena saya tak punya
> jawaban untuk membalas sms Ain. Dan seperti banyak hari buruk saya
> lainnya, saya pun menelpon Citra. Yang lagi-lagi, seperti biasa,
> punya jawaban melegakan.
>
> "Retnadi sayang, you're married at 23. Tentu saja, itu bawa banyak
> perubahan. Beberapa perubahan pasti melahirkan banyak pertanyaan
> membingungkan seperti ini. Tapi tahu nggak, No? It's OK, untuk
tidak
> punya jawaban atas segala hal. It's OK, untuk bilang sama kepala
dan
> dirimu sendiri, atau bahkan semua pertanyaan yang kamu temui,
> dengan "Maaf, untuk saat ini, saya tidak punya jawabannya. Tapi
saya
> akan belajar untuk mencarinya." It's OK, and we still love you. So
> take your time, Retnadi. Take your time. Love you," ucap Citra
> mengelus hati saya.
> ***
> Pelajaran 6: Dua Aksioma
>
> Dalam ilmu komunikasi, aksioma adalah sesuatu yang tak
terbantahkan.
> Aksioma komunikasi yang terkenal adalah `we cannot not
communicate'.
> Karena pun kita menolak komunikasi verbal, akan selalu ada
komponen
> nonverbal yang mengkomunikasikan pesan kita.
>
> Di umur 24 tahun, saya pun menyusun dua aksioma saya. Pertama, we
> can't pleased everyone. Kita tak bisa menyenangkan semua orang.
Pun
> saya berusaha sekeras mungkin, akan selalu ada masukan, keinginan,
> dan harapan yang tak terakomodir. Pun saya berusaha sekeras
mungkin,
> hasil akhir tetaplah berada di tangan Tuhan. And it's OK, because
we
> can't pleased everyone. Saya berikhtiar, Tuhanlah yang menentukan.
>
> Aksioma ke dua (thanks to Citra), bahwa saya tak harus punya
jawaban
> atas segala hal. Selama bertahun-tahun lamanya, kepala saya yang
> haus jawaban, tanpa henti bertanya, dan betapa saya berusaha keras
> untuk menjawabnya. Berusaha keras menyusun banyak konsep, banyak
> definisi, banyak deskripsi, banyak pernyataan, banyak alur logika,
> banyak pertimbangan, dan setumpuk penjelasan lain yang saya kira
> dapat memuaskan kepala saya. Tak pernah sekalipun terlintas, bahwa
> saya boleh menjawab 'I don't know how. I just know', atau 'I don't
> know, now. Let's figure it out later.'
>
> Saat pagi hari misalnya. Saat suami saya sudah berangkat ke
kantor,
> sementara saya yang usai meratakan tanah belakang, beristirahat di
> atas karpet. Dengan kaki berselonjor, sarapan nasi putih hangat
> berlaukkan beberapa potong gorengan, untuk kemudian minum
secangkir
> kopi susu. This is it. The moment of happiness. I'm just happy. I
> just know.
>
> Atau saat saya tengah kebingungan untuk mengambil suatu keputusan.
> Saat itu, saya menangis sejadi-jadinya di atas sajadah, terus-
> menerus bertanya pada Tuhan. Please tell me what to do. Please
tell
> me what to do. Please tell me what to do.
> Dan sama seperti di malam tahun baru 2008, mata hati pun kembali
> membimbing saya. Dengan tenangnya, dengan lembutnya, dengan
> sabarnya.
>
> Ah, betapa melegakan.
>
> Kini, pun banyak pertanyaan kembali berseliweran di kepala saya,
> saya tahu, bahwa saya akan selalu bisa mengembalikannya pada
Tuhan.
> Sama seperti saat dulu saya memutuskan untuk keluar dari hubungan
> melelahkan, sama seperti saat saya memutuskan untuk menikah, sama
> seperti saat saya memutuskan untuk kembali bekerja kantoran.
>
> Dan sebagai murid baru di ruang kelas bernama pernikahan ini,
tentu
> akan selalu ada banyak materi yang tak saya pahami. Akan ada
> sejumlah kesalahan yang saya lakukan, ataupun suami saya lakukan.
> And it's ok. Seperti kutipan lirik lagu Ordinary People John
> Legend "We're just ordinary people, we don't which way to go.
`Cause
> we're ordinary people, maybe we should take it slow."
>
> Pelan-pelan, saya dan suami saya akan belajar bersama di ruang
kelas
> baru ini. PadaNya, Sang Maha Guru. Semoga pelajaran ini
berlangsung
> selamanya. Untuk semua hal yang akan datang, attraversiamo*. Amin.
> ***
>
> *Attraversiamo (Italian phrase): Let's cross it over.
>
> PS: Di akhir tulisan ini, seketika saya terpikir, bahwa dengan
> deskripsi kata sifat, mungkin kata 'pernikahan' bisa menjadi suatu
> kata yang pas untuk dilekatkan pada diri saya. Dengan suami dan
> cinta yang begitu mempesona, saya pun tak bisa menemukan kata
sifat
> lain, selain: bahagia.
>
> Yes, I'm happily married. I just know.
>

9d.

Bls: [sekolah-kehidupan] (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama

Posted by: "bujang kumbang" bujangkumbang@yahoo.co.id   bujangkumbang

Sun Sep 21, 2008 8:13 pm (PDT)

great!! great!!!
tulisan yang patut dicontoh kaum jomblois dan jomler di komunitas Sekolah Kehidupan....
makanya nikah.....hahahahaha
biat tau gimana enaknya nikah...
nggak percaya tanya aja sm Mbak Retno dan Mas Catur pengatin masa kini...hehehe
pengatin muda yang berbakat untuk ngompor-ngomporin yang belum nikah....hahaha
ayo...ayo...Mpok Nia.pok Novie, Mpok Dyah, Mpok Asma, Mpok Divind, Mpok Andire kumaha euy....???
ayo...ayo...Bang Fy, Bang Galih (Aga), Bang Dikdik, Bang Yayan, Bang Setiawan Abe, Bang R. Widhie....kumaha atuh....???
Kapan ya giliran kita...hehehehe
sukses buat yang nulis tulisan ini biar pada menyotoh...hahaha

ila liqo

piss, luv and laugh

tabe

jkk

wassalam
Fiyan Arjun
http://sebuahrisalah.multiply.com
id ym:paman_sam2
sie Humas SekolahKehidupan
dan kontributor dan moderator

--- Pada Sen, 22/9/08, Bu CaturCatriks <punya_retno@yahoo.com> menulis:
Dari: Bu CaturCatriks <punya_retno@yahoo.com>
Topik: [sekolah-kehidupan] (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan
Kepada: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Tanggal: Senin, 22 September, 2008, 9:15 AM

dear all,

hanya sekedar berbagi banyak pandangan dan pelajaran yg saya dapat

dlm pernikahan.

oya, sebelumnya,

ini adalah salah satu tulisan terpanjang yg pernah saya buat.

sekaligus, salah satu tulisan terjujur, dimana saya benar2 mencoba

menumpahkan banyak pertanyaan dr kepala saya.

mohon maaf kalau membosankan dan membingungkan.

-retno-

Tidakkah Ibu merasa mengorbankan terlalu banyak hal?

Lagi-lagi sambil tersenyum, Ibu saya menjawab "Semuanya setimpal,

Retno. Ada kakak-kakakmu. Ada kamu. Dan saya bangga dengan kalian,"

Satu jawaban sederhana yang seketika membungkam semua pertanyaan

saya.

***

Pelajaran 2: Kriteria Pasangan Ideal

Subjudul di atas merupakan satu pertanyaan yang akan mendapatkan

jawaban berlembar-lembar banyaknya, dengan sedemikian detilnya, oleh

banyak orang. Banyak orang yang mampu merinci jawabannya secara

spesifik dengan—cantik/ ganteng, tinggi, putih, rambut panjang (bila

wanita), pintar, religius, mapan, bibit, bebet, bobot, dsb. Banyak

pula orang yang akan menjawab singkat "Yang penting, mau nerima gua

apa adanya, mengisi kekurangan gua."

Sejumlah jawaban spesifik, yang mostly, terasa tak pas menjadi

standar kriteria saya akan calon pasangan ideal. Selain karena

tampilan fisik dan hal-hal penunjangnya (saya sering

mengistilahkannya dengan 'kualitas administratif' ) bukan menjadi

prioritas utama saya, psikologis personal justru menjadi

pertimbangan penting buat saya.

Selama bertahun-tahun lamanya, saya pun mencoba merumuskan standar

kualifikasi psikologis calon pasangan yang saya inginkan. Beberapa

diantaranya adalah: secure pada dirinya sendiri, tulus, open mind,

bersedia untuk diajak berkompromi dalam jangka panjang.

Dalam salah satu buku yang saya baca, ada kutipan yang menarik

tentang kriteria pasangan. "Gua cuma tahu, kalo sama dia, dalam hati

gua, terdengar suara tutup botol dengan ulirnya. Klik."

Ide yang menarik. Namun, ah, bukankah percakapan menyenangkan selalu

bisa diciptakan? Darimana kita tahu bahwa bunyi 'klik' itu

adalah 'klik' yang sebenarnya? Apa simptomnya?

Pertanyaan ini menghantui kepala saya selama bertahun-tahun lamanya,

sampai tahun 2006. Tahun itu, saya bertemu dengan seorang pria—

sekarang mantan, yang tak hanya membunyikan 'klik' di kepala saya,

namun juga lonceng. Saat bersamanya, saya bisa membayangkan kami tua

bersama. Dimana kami dengan rambut memutih duduk-duduk di karpet

ruang tamu, bergantian membacakan kalimat demi kalimat dalam cerpen

Seksi karya Jhumpa Lahiri. Yes, I can picture it. Dengan detilnya,

dengan cantiknya, dengan sempurnanya.

Namun ada kalanya, kita tak selalu memperoleh apa yang kita

harapkan. Pun saya mampu membayangkan setiap detil masa depan kami,

hubungan itu merupakan suatu hubungan yang tidak ideal.

Ketidakidealan ini melahirkan banyak pertengkaran dan adu

argumentasi melelahkan, yang akhirnya membawa saya pada satu

kesimpulan: bahwa ada kalanya, cinta saja tak cukup. Dengan berat

hati, kami pun memutuskan untuk berpisah di tahun 2007.

Perpisahan yang sekaligus merampok separuh jiwa saya, untuk kemudian

menenggelamkannya entah dimana. Saat memunguti remah-remah jiwa yang

tercecer, ide kriteria "mau menerima diri kita apa adanya, dan mau

mengisi kekurangan kita" pun seketika jadi tampak masuk akal di

kepala saya. Namun seperti halnya skripsi, itu semata-mata hanyalah

batasan definisi konseptual. Saat kita ingin menerapkannya ke dalam

kehidupan nyata, apa instrumennya? Apa indikatornya? Apa

operasionalisasi konsepnya? Apa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk

teknisnya?

Saat itulah seorang Catur Sukono datang.

Saat saya tengah membenahi diri saya dengan remah-remah jiwa yang

tersisa, mencoba merekatkan kembali kepercayaan diri dan konsep diri

yang babak belur karena hubungan sebelumnya.

Dan sebagai kejutan, pria ini datang dengan membawa sebuah proposal

pernikahan.

***

Saya selalu berpikir, bahwa suatu hubungan adalah laiknya investasi.

Dimana setiap orang di dalamnya akan berinvestasi waktu, perasaan,

materi, dan banyak hal lainnya, dengan tujuan memperoleh laba jangka

panjang—dalam konteks ini, pernikahan, maupun hubungan jangka

panjang yang stabil.

Karenanya, sebelum memutuskan untuk berinvestasi, calon investor

tentu perlu tahu segala faktor resiko yang akan dijalaninya,

termasuk resiko kerugian. Maka saya pun menjelaskan pada pria ini

tentang diri saya. Bahwa saya baru keluar dari hubungan yang sangat

melelahkan, dan kembali berada di titik nol pencarian jati diri.

Bahwa untuk membangun kepercayaan diri, saya kerap memantrai diri

saya, dan memasang topeng imej sosok yang manis, lucu, menyenangkan.

Pikir saya saat itu, kalaupun saya belum bisa bahagia, at least,

saya bisa berpura-pura tampak bahagia. Dan mungkin, dengan begitu,

saya akan sungguh-sungguh bahagia. Seperti saya di masa sebelumnya.

Namun topeng itu tidak saya kenakan 24 jam sehari 7 hari seminggu.

Saat terbuka, akan tampak wajah asli saya yang dipenuhi bekas luka

dan buruk rupa. Bahwa menumpang rollercoaster mood saya bisa sangat

sangat melelahkan. Bahwa saya punya setumpuk ketakutan tentang

pernikahan dan menjadi orangtua, dan bahwa pernikahan kembali

menjadi satu konsep blur yang gagal saya petakan.

Karenanya, saat proposal itu datang, dan saya mulai membaca lembar

demi lembar isinya, hal pertama yang ingin saya lakukan adalah lari.

Kabur. Pertama, kami belum cukup mengenal satu sama lain. Yang

membuat kepala saya dengan skeptisnya bertanya memburu "Bagaimana

kalau dia abusif?", "Bagaimana kalau dia seorang skizofrenik atau

manik depresi?", "Bagaimana kalau dia seorang

megalomaniak? ", "Bagaimana kalau dia seorang MPD?", "Bagaimana

kalau dia adalah semua kombinasi di atas?"—atau singkatnya, hal-hal

mendalam yang tak kasat mata dan tak terdeteksi hanya dalam beberapa

bulan perkenalan.

Bertahun lalu, saya pasti akan menolak mentah-mentah ide kabur dari

masalah ini. "Hanya anak kecil yang lari dari masalah. Orang dewasa

akan bangun dan menghadapinya, " begitu pikir saya dulu.

Tapi saat itu, saya sedang tak mampu berpikir jernih atas banyak

hal. Kegagalan hubungan sebelumnya, membuat kepercayaan diri saya

jatuh bebas di titik nol. Satu-satunya pria yang saya bisa

membayangkan tua bersama dengannya, ternyata tak mampu

memperjuangkan saya. Apa mungkin, saya memang tak seberharga itu

untuk diperjuangkan, ya?, begitu pikir saya. Ya, saat itu, saya

memang tak lagi percaya akan kemampuan akal sehat saya untuk

mengambil keputusan, dan membuat saya meragukan definisi konseptual

saya akan banyak hal, seperti tentang kepercayaan, komitmen, dan

cinta.

Namun saat mata raga mulai tumpul menatap, hadirlah sang mata hati.

Dimana kompas yang berlaku bukan lagi fakta dan logika, melainkan

feeling dan intuisi. Seperti saran Morrie yang dikutip Mitch Albom

dalam buku Tuesdays with Morrie "Kadang-kadang, kita tak boleh

percaya pada apa yang kita lihat, kita harus percaya pada apa yang

kita rasakan."

Dengan lembutnya, mata hati pun menjawab setumpuk pertanyaan skeptis

kepala saya. Bahwa pria sederhana ini adalah sosok yang cukup stabil

dan nyaman dengan dirinya sendiri—hal yang amat sangat jarang saya

temui. Faktor yang juga membuatnya menjadi sosok yang cukup kuat

untuk disandari. Bahwa ia berpikiran terbuka, dapat dipercaya,

bertanggung jawab, bisa diajak berkompromi, dan yang terpenting—

mencintai Tuhan dalam setiap sel tubuhnya.

Karena ijab kabul pernikahan adalah salah satu perjanjian utama yang

disaksikan langsung oleh Tuhan. Pun tidak merasa religius, namun

saya percaya, bahwa para pecinta Tuhan tak akan berani mendustaiNya.

Dan ya, saya percaya pada pria ini.

***

Pelajaran 3: Bimbingan Mata Hati

Toh, meski demikian, tetap saja kepala saya tak berhenti bertanya.

Seperti rentetan peluru. "Lantas, bagaimana denganmu? Apa kamu

menginginkan pria ini untuk 50 tahun, 60 tahun ke depan—seumur

hidupmu? Apa kamu mencintainya? Bagaimana dengan rasa bosan,

mengingat kamu adalah tipe orang yang mudah bosan? Apa jaminannya

pernikahanmu akan utuh untuk jangka panjang? Dan bagaimana dengan

anak? Dengan kondisimu sekarang, kamu pasti tak bisa menjadi ibu

yang baik, kan? Tidakkah lebih urgent untuk lebih dahulu membenahi

dirimu? Dan bagaimana dengan mimpi-mimpi yang belum kamu capai dan

masih kamu inginkan? Dan bagaimana denganmu?", cecar kepala saya

tanpa ampun.

Dengan panik, sayapun berteriak "Stop! Stop! Stop! Saya mohon,

berhentilah bertanya, karena kamu tidak membantu!"

Disinilah lagi-lagi, mata hati merengkuh saya. Dengan lembut ia

menggandeng saya ke tempat wudhu, membasuh semua pekat dan ruwet

pertanyaan kepala saya. Dengan lembut, ia berbisik agar saya minta

petunjuk dariNya. "Jika bimbang meraja, maka bertanyalah pada

Penciptamu. Adukan padaNya, minta petunjukNya, mohonkan

pertolonganNya, " begitu bisiknya.

Malam itu adalah malam tahun baru 2008, saat untuk pertama kalinya

saya shalat istikharah dengan niatan bertanya pada Tuhan untuk

urusan jodoh dan pernikahan. Dari beberapa buku dan pendapat yang

saya kumpulkan, sejumlah orang konon, mendapatkan petunjuk dan

hidayah melalui mimpi. Tidak demikian halnya dengan saya.

Kala itu, hampir dini hari. Seorang teman saya yang tengah menginap

sedang terlelap di dalam kamar. Sementara saya yang tak bisa tidur

usai shalat istikharah, memilih untuk duduk di ruang keluarga. Hanya

duduk saja, tanpa menonton televisi. Di luar, hanya sesekali saja

terdengar lengkingan terompet dan suara orang yang sesekali

melintas.

Sebuah keheningan yang mendamaikan.

Dan seperti dalam banyak keheningan saya lainnya, sebuah suara pun

tiba-tiba hadir mengetuk kepala saya.

"Ya, saya ingin melakukannya, " ujar suara itu. Bening dan jelas.

Saya mengernyitkan dahi. Ini bukan suara sang kepala. Karena sang

kepala selalu berbicara tegas dan cepat, dengan intonasi datar dan

nada dingin tanpa emosi. Dan juga bukan suara sang hati, yang hampir

selalu terdengar pilu dan merintih, atau tercekat. Saya tidak kenal

suara ini, pikir saya.

"Kamukah itu, mata hati? Kenapa menggunakan kata 'saya', dan

bukannya 'kamu' seperti yang biasa kamu lakukan saat membimbing

saya?," tanya saya.

Sambil tersenyum sejuk, mata hati pun menjawab "Karena memang bukan

saya yang mengatakannya, Retnadi sayang. Dirimu sendirilah yang

mengatakannya. Itu adalah suaramu."

Selama beberapa waktu sayapun menunggu cecaran pertanyaan dari

kepala. Namun tak terjadi sesuatu. Lima belas menit. Setengah jam.

Satu jam. Kepala saya tetap tak bergeming.

Pelan-pelan, bibir saya pun berucap syukur "Alhamdulillah, terima

kasih Tuhan. Dan ya, saya ingin melakukannya. Saya ingin

melakukannya. Saya ingin melakukannya. "

***

Proses pun dimulai.

Diawali dengan tahap perkenalan pria ini pada ke dua orangtua saya,

yang dilanjutkan dengan proses lamaran. Sepanjang proses

berlangsung, saya pun mengutarakan keinginan saya pada pria ini akan

ketiadaan resepsi dan seserahan saat lamaran.

Dan betapa pria ini tercengang-cengang mendengarnya— terlebih saat

kami tahu, bahwa kami akan menikah di masjid yang sama dengan salah

satu abang saya, dimana abang saya dan mempelai wanitanya kemudian

akan menyelenggarakan resepsi pernikahan di gedung samping masjid.

"Tapi itu, kan, hak kamu. Kamu juga berhak untuk dirayakan, apalagi

kamu anak perempuan bungsu, satu-satunya pula," ujar pria ini.

Butuh diskusi cukup panjang bagi saya untuk meyakinkan pria ini,

bahwa bagi saya, perayaan memang sungguh-sungguh bukanlah hal

penting. Saya tak menginginkannya. Saya tak membutuhkannya. Bahwa

bagi saya, yang utama adalah ijab kabul. Sisanya adalah asesoris

pendukung belaka. Bahwa bagi saya, hidup tak berhenti seusai

resepsi. Bahwa masih ada banyak hal yang harus dipikirkan—cicilan

rumah, kontrol kehamilan, biaya persalinan, pendidikan anak,

kesehatan anak, simpanan untuk pernikahan anak, dsb.

"Atau begini, anggap saja semua orang punya daftar prioritas

pribadi. Banyak perempuan memprioritaskan resepsi dan turut adat

sebagai sesuatu yang utama. Dan itu bukan hal yang salah, tentu

saja. Dengan segala hormat, saya sangat menghargai prioritas mereka.

Namun, saya juga punya prioritas saya sendiri, yang kebetulan

berbeda dengan mereka. How's that?," jelas saya panjang lebar.

"Dan bagaimana dengan orangtuamu?" tanya pria ini.

Alhamdulillah, saya dikaruniai orangtua Sjamsuddin Shiddieg dan

Sangi Siti Rahayu yang luar biasa. Dengan pikiran terbuka dan lapang

dada, mereka pun meluluskan keinginan saya. Pada hari Kamis, 1 Mei

2008, saya dan pria inipun resmi terdaftar sebagai murid suatu ruang

kelas bernama Pernikahan.

Bismillahirohmanirr ahim.

***

Pelajaran 4: Berdiskusi bersama Kepala dan Hati

Sebagai murid baru, tentu banyak aturan baru yang harus saya

adaptasi. Mulai dari tampilan pakaian, jam pulang, izin untuk

keluar, cara bicara, cara tertawa, larangan keluar malam, dsb. Yang—

di luar dugaan kepala saya yang skeptis—ternyata saya nyaman-nyaman

saja menjalankannya.

Tentu saja, saya selalu punya banyak pertanyaan. "Kenapa?", "Kenapa

nggak boleh?", "Kenapa jangan?". Dan saat suami saya menjawab

dengan "Nggak papa, nggak boleh aja," maka saya akan mengejar

dengan "That's not an answer. Come on, try me."

Ya, ada kalanya saya bisa sangat melelahkan. Beberapa orang mungkin

berpikir bahwa banyak bertanya adalah sinyal kekritisan. Namun bagi

saya, banyak bertanya berarti sinyal butuhnya persediaan berton-ton

kesabaran. Bayangkan menerima pertanyaan 'Kenapa' dan 'Itu bukan

jawaban. Ayo, cari lagi jawabannya yang logis,' selama hampir 7 kali

sehari dan tidak meledak karenanya. Suami saya mestinya dapat

lencana karenanya. Karena dengan sabarnya, ia akan menjelaskan

alasannya, baik dari sisi agama, logika, maupun keinginan

personalnya.

Dengan tangan terbuka, suami saya bahkan mengundang dua tetangga

saya untuk bertamu. Mereka adalah kepala saya yang kerap haus akan

pemenuhan self fulfilling prophecy, dan hati saya yang kerap kelewat

sensitif pada banyak emosi. Dengan ramahnya, suami saya menyilakan

mereka untuk masuk, duduk bersama di ruang tamu kami. Dan

berdiskusi.

Ini adalah hal baru bagi saya—yang selama bertahun-tahun lamanya

selalu gagal mengajak hati dan kepala untuk sekedar bertukar sapa

dengan ramah. Seorang mantan pasangan dulu pernah berkomentar "Gee,

Retno, kamu harus mulai belajar caranya mengajak hati dan kepalamu

untuk berdiskusi." Yang saat itu dijawab dengan sinisnya oleh saya

dengan "Yeah, right. Like I know how."

Dan kini, betapa saya sungguh tercengang-cengang kala mendapati

kepala dan hati sungguh-sungguh mendengarkan ucapan suami saya.

Mereka tidak sedikitpun memotong ataupun menyela perkataan suami

saya. Mereka juga tak sekalipun berbisik-bisik pada saya, tentang

ketidaksetujuan mereka. Mereka sungguh-sungguh duduk diam, dan

mendengarkan.

Usai penjelasan suami saya, barulah dengan tertib satu persatu dari

mereka mengutarakan argumennya. Lagi-lagi ini adalah hal baru buat

saya. Karena semua argumentasi itu terbungkus dalam balutan kata

yang tertutur rapi, logis, jelas, dan santun. Tidak ada adu

argumentasi diwarnai drama air mata dan kurasan emosi melelahkan.

Tak heran, bila kemudian proses kompromi pun tercapai dengan

anggukan sepakat dan kepuasan dari semua tamu kami. It's a win-win

solution.

Begitulah proses adaptasi saya di ruang kelas baru ini.

***

Pelajaran 5: Belajar Bernafas

Pun hati dan kepala saya sudah mulai belajar duduk bersama dalam

satu kursi, tetap saja ada saat-saat dimana kepala saya lagi-lagi

akan kelewat banyak bertanya dan mencerca, sementara hati saya lagi-

lagi akan kelewat banyak merasa.

Ya, ini melelahkan. Sangat.

Saat saya sempat memutuskan untuk berhenti bekerja kantoran dan

tinggal di rumah saya, menjadi kontributor untuk sebuah majalah,

misalnya. Ada banyak momen dimana kepala saya tanpa henti bertanya.

Bolehkah saya merasa bosan di rumah? Bolehkah saya mencoba

mengatasinya dengan berjalan-jalan ke rumah abang atau orangtua saya

sendirian? Saat saya belum selesai mencuci baju karena terlalu fokus

menulis, apakah saya bersalah sebagai seorang istri? Saat saya lupa

menanak nasi sarapan dan nasi semalam ternyata sudah basi—sehingga

kami yang lapar terpaksa menunggu selama 45 menit—apakah saya

menjadi istri yang buruk, karenanya? Saat saya menghabiskan 3,5 jam

di warnet dan pulang saat makan siang—pun suami saya saat itu makan

siang di kantor—apakah saya adalah seorang istri yang egois? Apakah

itu membuat saya menjadi sosok istri yang tak bertanggung jawab

karenanya?

Logically, kepala saya tentu tahu jawabannya—yang juga telah saya

confirm dengan suami saya. Bahwa tentu saja, tidak, Retnadi. It's

OK. Shit happens. Semua orang bisa melakukan kesalahan. Dan itu tak

lantas menggeneralisirmu menjadi istri yang buruk. "And yes,

sweetie, I love you that much," ujar suami saya.

Jika memang demikian, lantas kenapa saya masih belum merasa lega?

Kenapa saya terus-menerus merasa bersalah, sesak napas, dan mulai

berpikir bahwa 'Apakah saya menikah terlalu cepat?'

I hate that thought. Karena saya tahu pasti, bahwa saya mencintai

suami saya, dan bahwa saya telah mengambil keputusan untuk menjalani

ini bersamanya. Pertanyaan `what if' adalah pertanyaan mengawang-

awang yang melelahkan, tanpa tujuan, dan sia-sia.

Namun bagaimana menjawab ini pada kepala saya yang haus jawaban?

Bahkan kala suatu proses adaptasi berjalan halus dan mulus, saya

tahu bahwa seharusnya saya bersyukur. Dan ya, tentu saja saya

bersyukur. Namun saat kepala saya yang bawel tiba-tiba menerima saja

semua bentuk kompromi ini dengan lapang dada, giliran diri saya yang

bertanya-tanya akan krisis identitasnya. "Ada apa dengan kamu, No?

Apa ini berarti konsepmu selama ini salah? Dan yang sekarang ini

adalah yang benar? Jadi, yang mana identitas dirimu? Jadi, kamu itu

yang mana?"

Dan saya tidak tahu jawabannya.

Saya ingat pada suatu malam, kala pertanyaan ini kembali mencecar

saya. Saat itu, saya meng-sms Ain. "Ain, I work from home, like I

always wanted to. I have a beautiful husband that loved me and

adored me so much. I live in a house that have a beautiful scenery.

But why is hard for me to breath? Why is so hard to breathe?"

Ain membalasnya dengan satu sms sederhana. Satu sms berisi kalimat

yang dikutipnya dari Eat, Pray, Love-nya Elizabeth Gilbert. "What do

you really really really want, Jo?"

Sadly, I have no answer.

Malam itu hampir pukul 1 pagi. Suami saya sudah terlelap di kamar.

Sementara saya menangis di ruang depan, karena saya tak punya

jawaban untuk membalas sms Ain. Dan seperti banyak hari buruk saya

lainnya, saya pun menelpon Citra. Yang lagi-lagi, seperti biasa,

punya jawaban melegakan.

"Retnadi sayang, you're married at 23. Tentu saja, itu bawa banyak

perubahan. Beberapa perubahan pasti melahirkan banyak pertanyaan

membingungkan seperti ini. Tapi tahu nggak, No? It's OK, untuk tidak

punya jawaban atas segala hal. It's OK, untuk bilang sama kepala dan

dirimu sendiri, atau bahkan semua pertanyaan yang kamu temui,

dengan "Maaf, untuk saat ini, saya tidak punya jawabannya. Tapi saya

akan belajar untuk mencarinya." It's OK, and we still love you. So

take your time, Retnadi. Take your time. Love you," ucap Citra

mengelus hati saya.

***

Pelajaran 6: Dua Aksioma

Dalam ilmu komunikasi, aksioma adalah sesuatu yang tak terbantahkan.

Aksioma komunikasi yang terkenal adalah `we cannot not communicate' .

Karena pun kita menolak komunikasi verbal, akan selalu ada komponen

nonverbal yang mengkomunikasikan pesan kita.

Di umur 24 tahun, saya pun menyusun dua aksioma saya. Pertama, we

can't pleased everyone. Kita tak bisa menyenangkan semua orang. Pun

saya berusaha sekeras mungkin, akan selalu ada masukan, keinginan,

dan harapan yang tak terakomodir. Pun saya berusaha sekeras mungkin,

hasil akhir tetaplah berada di tangan Tuhan. And it's OK, because we

can't pleased everyone. Saya berikhtiar, Tuhanlah yang menentukan.

Aksioma ke dua (thanks to Citra), bahwa saya tak harus punya jawaban

atas segala hal. Selama bertahun-tahun lamanya, kepala saya yang

haus jawaban, tanpa henti bertanya, dan betapa saya berusaha keras

untuk menjawabnya. Berusaha keras menyusun banyak konsep, banyak

definisi, banyak deskripsi, banyak pernyataan, banyak alur logika,

banyak pertimbangan, dan setumpuk penjelasan lain yang saya kira

dapat memuaskan kepala saya. Tak pernah sekalipun terlintas, bahwa

saya boleh menjawab 'I don't know how. I just know', atau 'I don't

know, now. Let's figure it out later.'

Saat pagi hari misalnya. Saat suami saya sudah berangkat ke kantor,

sementara saya yang usai meratakan tanah belakang, beristirahat di

atas karpet. Dengan kaki berselonjor, sarapan nasi putih hangat

berlaukkan beberapa potong gorengan, untuk kemudian minum secangkir

kopi susu. This is it. The moment of happiness. I'm just happy. I

just know.

Atau saat saya tengah kebingungan untuk mengambil suatu keputusan.

Saat itu, saya menangis sejadi-jadinya di atas sajadah, terus-

menerus bertanya pada Tuhan. Please tell me what to do. Please tell

me what to do. Please tell me what to do.

Dan sama seperti di malam tahun baru 2008, mata hati pun kembali

membimbing saya. Dengan tenangnya, dengan lembutnya, dengan

sabarnya.

Ah, betapa melegakan.

Kini, pun banyak pertanyaan kembali berseliweran di kepala saya,

saya tahu, bahwa saya akan selalu bisa mengembalikannya pada Tuhan.

Sama seperti saat dulu saya memutuskan untuk keluar dari hubungan

melelahkan, sama seperti saat saya memutuskan untuk menikah, sama

seperti saat saya memutuskan untuk kembali bekerja kantoran.

Dan sebagai murid baru di ruang kelas bernama pernikahan ini, tentu

akan selalu ada banyak materi yang tak saya pahami. Akan ada

sejumlah kesalahan yang saya lakukan, ataupun suami saya lakukan.

And it's ok. Seperti kutipan lirik lagu Ordinary People John

Legend "We're just ordinary people, we don't which way to go. `Cause

we're ordinary people, maybe we should take it slow."

Pelan-pelan, saya dan suami saya akan belajar bersama di ruang kelas

baru ini. PadaNya, Sang Maha Guru. Semoga pelajaran ini berlangsung

selamanya. Untuk semua hal yang akan datang, attraversiamo* . Amin.

***

*Attraversiamo (Italian phrase): Let's cross it over.

PS: Di akhir tulisan ini, seketika saya terpikir, bahwa dengan

deskripsi kata sifat, mungkin kata 'pernikahan' bisa menjadi suatu

kata yang pas untuk dilekatkan pada diri saya. Dengan suami dan

cinta yang begitu mempesona, saya pun tak bisa menemukan kata sifat

lain, selain: bahagia.

Yes, I'm happily married. I just know.













__________________________________________________________
Yahoo! Toolbar kini dilengkapi dengan Search Assist. Download sekarang juga.
http://id.toolbar.yahoo.com/
9e.

Re: (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan

Posted by: "Bu CaturCatriks" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Sun Sep 21, 2008 8:24 pm (PDT)

pak sinang yg baik,

ya, dr hari ke hari,
saya juga makin meyakini pilihan saya ini.
insya allah, ini yg terbaik.
karena inilah pilihan Tuhan utk saya.

dan kami yakin,
pun pak sinang tidak bisa hadir,
namun kiriman doa dan puji syukurnya sudah berlimpah ruah sampai ke
kami.
pake tiki via hati :)

thanks for reading, pak sinang.

-retno-

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "Pandika Sampurna"
<pandika_sampurna@...> wrote:
>
> Retno, Insya Allah pilihan kamu sudah sangat tepat.
> Saya doakan mudah-mudahan rumah tangga kalian berdua akan sakinah,
> dikaruniani anak-anak yang soleh dan solehah, serta kalian berdua
> akan selalu akur dan seiring sejalan, serta berbahagia selamanya.
>
> Mohon maaf waktu saat pernikahan saya tidak bisa hadir karena
sedang
> di luar kota.
>
> Selamat ya.
>
> Salam,
> PS
>
>
>
> --- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "Bu CaturCatriks"
> <punya_retno@> wrote:
> >
> > dear all,
> >
> > hanya sekedar berbagi banyak pandangan dan pelajaran yg saya
dapat
> > dlm pernikahan.
> > oya, sebelumnya,
> > ini adalah salah satu tulisan terpanjang yg pernah saya buat.
> > sekaligus, salah satu tulisan terjujur, dimana saya benar2
mencoba
> > menumpahkan banyak pertanyaan dr kepala saya.
> > mohon maaf kalau membosankan dan membingungkan.
> >
> > -retno-
> >
> >
> > Sebuah Ruang Kelas Bernama Pernikahan
> > Oleh Retnadi Nur'aini
> >
> > Marriage (noun): legal union of a man and woman as husband and
> wife.
> > Marriageable (adjective): old enough or suitable for marriage
> > Marry (verb): take somebody as a husband or wife; join as
husband
> > and wife; find suitable partner for
> > Married (adjective): having a husband or wife
> > (Oxford Pocket Dictionary)
> >
> > Di umur 23 tahun, kata "pernikahan" adalah kata yang terasa tak
> pas
> > untuk dilekatkan pada diri saya. Tidak sebagai kata benda. Tidak
> > sebagai kata sifat. Tidak juga sebagai kata kerja.
> >
> > Mungkin karena saat itu saya pikir umur saya masih kelewat muda.
> > Mungkin karena saya tengah senang-senangnya bekerja, diselingi
> > bermain dan berkumpul bersama teman-teman saya. Mungkin karena
> saat
> > itu—seperti dalam kumpulan esai karya Ayu Utami yang berjudul
> > Parasit Lajang—konsep membentuk keluarga tampak begitu tak
efisien
> > bagi lajang seperti saya yang masih menumpang di rumah orangtua.
> >
> > Mungkin karena saya pikir saya masih kelewat egois dalam banyak
> hal
> > yang saya inginkan. Mungkin juga karena saya tak pernah
> mencantumkan
> > kata ini dalam daftar target, resolusi, harapan, ataupun mimpi
> yang
> > ingin saya capai tahun ini, sehingga saya juga sama sekali tak
> > pernah memacu—ataupun memaksa diri saya sendiri untuk mencoba
> > mengenakan kata ini dalam diri saya. Atau mungkin karena saya
> > kelewat nyaman saja dengan keadaan saat itu, dan punya banyak
> > keengganan dan kecemasan akan suatu perubahan.
> >
> > Apapun itu—it just didn't fit.
> > ***
> >
> > Pelajaran 1: Merumuskan Definisi Konseptual
> >
> > Di umur 23 tahun, konsep pernikahan juga sekaligus merupakan
> sebuah
> > konsep raksasa yang sulit saya rumuskan. Selain karena
> keterbatasan
> > pemahaman, saya juga belum tahu apa yang sungguh-sungguh saya
> > inginkan dalam suatu pernikahan.
> >
> > Maka untuk mulai merumuskannya, saya pun mencoba premis yang
> > berkebalikan. Yaitu dengan mendaftar apa yang sungguh-sungguh
> tidak
> > saya inginkan dalam suatu pernikahan. Berbekalkan sedikit
> pengalaman
> > hubungan interpersonal bersama beberapa pria, disambi mengamati
> > sejumlah kehidupan pernikahan di sekitar saya, pelan-pelan,
> sayapun
> > mulai menabung rumusan konsep pernikahan. Beberapa diantaranya:
> Saya
> > tak menginginkan pernikahan yang di dalamnya ada pembagian tugas
> > domestik berdasarkan jender dan nilai-nilai patriarki. Saya tak
> > menginginkan pernikahan dimana setiap orang di dalamnya punya
ego
> > dan ambisi sedemikian besarnya untuk satu kepuasan memenangkan
adu
> > argumentasi, dan mengesampingkan konsep diskusi dan kompromi.
Saya
> > tak menginginkan pernikahan dimana setiap orang di dalamnya
tidak
> > tahu caranya menggunakan intonasi. Saya tak menginginkan
> pernikahan,
> > yang di dalamnya orang mandeg berjalan dalam proses pencarian
jati
> > diri.
> >
> > Jujur, mulanya, tabungan konsep di atas memang merupakan
gabungan
> > dari daftar "cacat" atas sejumlah kehidupan pernikahan yang saya
> > amati, sekaligus daftar "dosa" para mantan pasangan saya. Dimana
> > dalam setiap akhir hubungan, dengan dinginnya, saya akan
> menyerahkan
> > daftar panjang ini sebagai alasan kenapa kami tak lagi bisa
> berjalan
> > bersama.
> >
> > Tidak adil, memang. Dan tentu saja, daftar itu tak serta merta
> > menamatkan riwayat hubungan kami. Ada banyak
pertanyaan "Kenapa?",
> > yang diteruskan dengan "Kenapa sekarang?".
> >
> > Namun seiring dengan waktu yang membalut semua luka, ia juga
> > sekaligus menegur ego saya yang pongah dan kekanakan. Bahwa
> seperti
> > seorang murid yang gagal ujian, setiap mantan pasangan berhak
> tahu,
> > kenapa nilainya bisa buruk—di kala ia pikir ia sudah belajar
sama
> > kerasnya dengan murid lainnya. "Oke, kamu mungkin sekarang sudah
> > pindah kelas dan tak lagi bisa belajar bersama dengannya, but at
> > least, let him learn. Biarkan ia mendapat pelajaran yang telah
> > menjadi haknya," tegur waktu.
> >
> > Jadi, alih-alih menggunakan daftar ini sebagai self defense
> > mechanism, saya mencoba mengganti judulnya dengan "Daftar
Harapan
> > untuk Calon Pasanganmu Berikutnya," sebelum diserahkan pada
mantan
> > pasangan saya. Dan untuk saya sendiri "Daftar Harapan atas
Dirimu
> > Sendiri."
> >
> > Dari sana, kami belajar bahwa pelajaran kami sekarang memang
sudah
> > berbeda bentuknya, dan saya tak bisa belajar bersama seorang
> > pasangan yang tinggal kelas. Ia harus lebih dulu menuntaskan
> tahapan
> > pelajarannya, untuk kemudian bisa memahami tahap pelajaran
> > selanjutnya. Di sisi lain, saya juga tak bisa mengajarinya,
> ataupun
> > mengatrol nilainya. Saya tak berhak, tak berwenang, dan juga tak
> > mampu untuk melakukannya. Di atas semuanya, bukan itu
> > konsep "belajar bersama dalam suatu hubungan interpersonal" di
> > kepala saya. Dengan lapang dada, kami pun belajar tentang konsep
> > memaafkan dan merelakan. Kami juga belajar tentang konsep
> kenangan,
> > masa lalu, dan bergerak maju. Move on.
> > ***
> >
> > Saya dibesarkan dalam keluarga dengan ke dua orangtua pekerja.
> > Dimana ayah saya adalah seorang workholic dan ibu saya adalah
> > seorang guru SD yang sangat berdedikasi pada murid-muridnya.
Namun
> > saat saya menginjak bangku SMU, ibu saya memutuskan untuk
pensiun
> > dini, demi mengurus keluarga.
> >
> > Dan ya, ibu saya sungguh-sungguh berkomitmen pada keputusannya.
> > Beliau sungguh-sungguh membaktikan dirinya untuk keluarga.
Setiap
> > hari, beliau akan bangun pukul 2 pagi untuk shalat tahajud,
tidak
> > tidur sampai subuh, dan menyiapkan sarapan lengkap—berupa nasi
dan
> > lauk pauknya, bukan sekedar roti tawar beroles selai atau
margarin—
> > dan bergelas-gelas minuman hangat. Setiap hari, 3 kali sehari,
> > beliau akan mengganti minuman untuk Bapak—pagi hari ada kopi
susu,
> > air jeruk, dan air putih. Siang hari, ada es sirup dan air
putih.
> > Sore hari ada teh manis dan air putih.
> >
> > Tak pernah sekalipun Ibu alpa menyiapkan bekal makan siang kami
> > semua. Dan sampai kini, masing-masing dari kami menyimpan satu
> > taplak meja khusus buatan Ibu yang bersulamkan nama setiap kami
di
> > atasnya.
> >
> > Ibu nyaris tak pernah berjalan-jalan. Ataupun, menonton
televisi.
> > Bahkan saat beliau sedang sendirian di rumah. Ketimbang jalan-
> jalan,
> > beliau lebih memilih untuk mengaji, membaca buku, menulis diary,
> > atau tidur. Dan beliau hanya menonton televisi, saat kami datang
> dan
> > menyetel televisi. Itupun lebih karena beliau ingin menemani
kami.
> >
> > Kesenangan termewah ibu saya adalah makanan. Dimana beliau bisa
> > membeli semangkuk bakso, atau sepiring nasi padang, untuk
dirinya
> > sendiri—dan bukannya disajikan di atas meja makan sebagai lauk
> bagi
> > kami semua.
> >
> > Tumbuh dengan menyaksikan ini, satu ide lagi muncul di kepala
> saya.
> > Bahwa saya tak menginginkan pernikahan, dimana ada orang yang
> > menjadi martir di dalamnya. Tapi, hey, benarkah ibu saya menjadi
> > martir dalam pernikahan ini?
> >
> > She seems quite happy.
> >
> > Sayapun bertanya padanya. Apakah beliau bahagia?
> >
> > Yang dijawab beliau dengan senyum tulus. "Tentu saja, saya
> bahagia.
> > Memang ada masa-masa sulit, Retno. Dan lebih sulit lagi, karena
> dulu
> > saya menjalani itu sendirian. Tidak ada Bapak (saat itu Bapak
> sedang
> > kuliah di luar negeri), dan tidak ada keluarga saya. Namun saya
> > bilang ke diri saya 'Harus bisa, harus bisa',"
> >
> > Seketika kepala saya kembali menelurkan sekeranjang pertanyaan.
Is
> > it cultural? (Karena dulu ide feminisme belum terpublikasikan
> merata
> > di Indonesia), is it psychological? (Karena ibu saya dibesarkan
> > dalam keluarga yang mengajarkannya untuk nrimo dengan keadaan,
> plus
> > itu keluarga Jawa), is it genetic? (Karena uti saya—ibu dari ibu
> > saya—juga punya karakter yang sama), is it astrological? (Karena
> ibu
> > saya berzodiak Sagitarius), is it educational? (Karena ibu saya
> > hanya mengenyam pendidikan D3, dan saya sedikit di atas beliau—
> S1),
> > is it hormonal? Dietary? Philosopical? Religion? Educational?
> > Environmental? What is the root of her character? Kenapa beliau
> > tampak tidak keberatan? Kenapa beliau tampak ikhlas
menjalaninya?
> >
> > Kenapa beliau bisa dengan tulusnya bilang 'I'm happy, Retno.'
Dan
> di
> > atas semuanya, kenapa saya pikir, saya tidak bisa menjalani itu
> > semua?
> >
> > Tidakkah Ibu merasa mengorbankan terlalu banyak hal?
> > Lagi-lagi sambil tersenyum, Ibu saya menjawab "Semuanya
setimpal,
> > Retno. Ada kakak-kakakmu. Ada kamu. Dan saya bangga dengan
kalian,"
> > Satu jawaban sederhana yang seketika membungkam semua pertanyaan
> > saya.
> > ***
> >
> > Pelajaran 2: Kriteria Pasangan Ideal
> >
> > Subjudul di atas merupakan satu pertanyaan yang akan mendapatkan
> > jawaban berlembar-lembar banyaknya, dengan sedemikian detilnya,
> oleh
> > banyak orang. Banyak orang yang mampu merinci jawabannya secara
> > spesifik dengan—cantik/ ganteng, tinggi, putih, rambut panjang
> (bila
> > wanita), pintar, religius, mapan, bibit, bebet, bobot, dsb.
Banyak
> > pula orang yang akan menjawab singkat "Yang penting, mau nerima
> gua
> > apa adanya, mengisi kekurangan gua."
> >
> > Sejumlah jawaban spesifik, yang mostly, terasa tak pas menjadi
> > standar kriteria saya akan calon pasangan ideal. Selain karena
> > tampilan fisik dan hal-hal penunjangnya (saya sering
> > mengistilahkannya dengan 'kualitas administratif') bukan menjadi
> > prioritas utama saya, psikologis personal justru menjadi
> > pertimbangan penting buat saya.
> >
> > Selama bertahun-tahun lamanya, saya pun mencoba merumuskan
standar
> > kualifikasi psikologis calon pasangan yang saya inginkan.
Beberapa
> > diantaranya adalah: secure pada dirinya sendiri, tulus, open
mind,
> > bersedia untuk diajak berkompromi dalam jangka panjang.
> >
> > Dalam salah satu buku yang saya baca, ada kutipan yang menarik
> > tentang kriteria pasangan. "Gua cuma tahu, kalo sama dia, dalam
> hati
> > gua, terdengar suara tutup botol dengan ulirnya. Klik."
> >
> > Ide yang menarik. Namun, ah, bukankah percakapan menyenangkan
> selalu
> > bisa diciptakan? Darimana kita tahu bahwa bunyi 'klik' itu
> > adalah 'klik' yang sebenarnya? Apa simptomnya?
> >
> > Pertanyaan ini menghantui kepala saya selama bertahun-tahun
> lamanya,
> > sampai tahun 2006. Tahun itu, saya bertemu dengan seorang pria—
> > sekarang mantan, yang tak hanya membunyikan 'klik' di kepala
saya,
> > namun juga lonceng. Saat bersamanya, saya bisa membayangkan kami
> tua
> > bersama. Dimana kami dengan rambut memutih duduk-duduk di karpet
> > ruang tamu, bergantian membacakan kalimat demi kalimat dalam
> cerpen
> > Seksi karya Jhumpa Lahiri. Yes, I can picture it. Dengan
detilnya,
> > dengan cantiknya, dengan sempurnanya.
> >
> > Namun ada kalanya, kita tak selalu memperoleh apa yang kita
> > harapkan. Pun saya mampu membayangkan setiap detil masa depan
> kami,
> > hubungan itu merupakan suatu hubungan yang tidak ideal.
> > Ketidakidealan ini melahirkan banyak pertengkaran dan adu
> > argumentasi melelahkan, yang akhirnya membawa saya pada satu
> > kesimpulan: bahwa ada kalanya, cinta saja tak cukup. Dengan
berat
> > hati, kami pun memutuskan untuk berpisah di tahun 2007.
> >
> > Perpisahan yang sekaligus merampok separuh jiwa saya, untuk
> kemudian
> > menenggelamkannya entah dimana. Saat memunguti remah-remah jiwa
> yang
> > tercecer, ide kriteria "mau menerima diri kita apa adanya, dan
mau
> > mengisi kekurangan kita" pun seketika jadi tampak masuk akal di
> > kepala saya. Namun seperti halnya skripsi, itu semata-mata
> hanyalah
> > batasan definisi konseptual. Saat kita ingin menerapkannya ke
> dalam
> > kehidupan nyata, apa instrumennya? Apa indikatornya? Apa
> > operasionalisasi konsepnya? Apa petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk
> > teknisnya?
> >
> > Saat itulah seorang Catur Sukono datang.
> >
> > Saat saya tengah membenahi diri saya dengan remah-remah jiwa
yang
> > tersisa, mencoba merekatkan kembali kepercayaan diri dan konsep
> diri
> > yang babak belur karena hubungan sebelumnya.
> >
> > Dan sebagai kejutan, pria ini datang dengan membawa sebuah
> proposal
> > pernikahan.
> > ***
> >
> > Saya selalu berpikir, bahwa suatu hubungan adalah laiknya
> investasi.
> > Dimana setiap orang di dalamnya akan berinvestasi waktu,
perasaan,
> > materi, dan banyak hal lainnya, dengan tujuan memperoleh laba
> jangka
> > panjang—dalam konteks ini, pernikahan, maupun hubungan jangka
> > panjang yang stabil.
> >
> > Karenanya, sebelum memutuskan untuk berinvestasi, calon investor
> > tentu perlu tahu segala faktor resiko yang akan dijalaninya,
> > termasuk resiko kerugian. Maka saya pun menjelaskan pada pria
ini
> > tentang diri saya. Bahwa saya baru keluar dari hubungan yang
> sangat
> > melelahkan, dan kembali berada di titik nol pencarian jati diri.
> > Bahwa untuk membangun kepercayaan diri, saya kerap memantrai
diri
> > saya, dan memasang topeng imej sosok yang manis, lucu,
> menyenangkan.
> > Pikir saya saat itu, kalaupun saya belum bisa bahagia, at least,
> > saya bisa berpura-pura tampak bahagia. Dan mungkin, dengan
begitu,
> > saya akan sungguh-sungguh bahagia. Seperti saya di masa
> sebelumnya.
> >
> > Namun topeng itu tidak saya kenakan 24 jam sehari 7 hari
seminggu.
> > Saat terbuka, akan tampak wajah asli saya yang dipenuhi bekas
luka
> > dan buruk rupa. Bahwa menumpang rollercoaster mood saya bisa
> sangat
> > sangat melelahkan. Bahwa saya punya setumpuk ketakutan tentang
> > pernikahan dan menjadi orangtua, dan bahwa pernikahan kembali
> > menjadi satu konsep blur yang gagal saya petakan.
> >
> > Karenanya, saat proposal itu datang, dan saya mulai membaca
lembar
> > demi lembar isinya, hal pertama yang ingin saya lakukan adalah
> lari.
> > Kabur. Pertama, kami belum cukup mengenal satu sama lain. Yang
> > membuat kepala saya dengan skeptisnya bertanya
memburu "Bagaimana
> > kalau dia abusif?", "Bagaimana kalau dia seorang skizofrenik
atau
> > manik depresi?", "Bagaimana kalau dia seorang
> > megalomaniak?", "Bagaimana kalau dia seorang MPD?", "Bagaimana
> > kalau dia adalah semua kombinasi di atas?"—atau singkatnya, hal-
> hal
> > mendalam yang tak kasat mata dan tak terdeteksi hanya dalam
> beberapa
> > bulan perkenalan.
> >
> > Bertahun lalu, saya pasti akan menolak mentah-mentah ide kabur
> dari
> > masalah ini. "Hanya anak kecil yang lari dari masalah. Orang
> dewasa
> > akan bangun dan menghadapinya," begitu pikir saya dulu.
> >
> > Tapi saat itu, saya sedang tak mampu berpikir jernih atas banyak
> > hal. Kegagalan hubungan sebelumnya, membuat kepercayaan diri
saya
> > jatuh bebas di titik nol. Satu-satunya pria yang saya bisa
> > membayangkan tua bersama dengannya, ternyata tak mampu
> > memperjuangkan saya. Apa mungkin, saya memang tak seberharga itu
> > untuk diperjuangkan, ya?, begitu pikir saya. Ya, saat itu, saya
> > memang tak lagi percaya akan kemampuan akal sehat saya untuk
> > mengambil keputusan, dan membuat saya meragukan definisi
> konseptual
> > saya akan banyak hal, seperti tentang kepercayaan, komitmen, dan
> > cinta.
> >
> > Namun saat mata raga mulai tumpul menatap, hadirlah sang mata
> hati.
> > Dimana kompas yang berlaku bukan lagi fakta dan logika,
melainkan
> > feeling dan intuisi. Seperti saran Morrie yang dikutip Mitch
Albom
> > dalam buku Tuesdays with Morrie "Kadang-kadang, kita tak boleh
> > percaya pada apa yang kita lihat, kita harus percaya pada apa
yang
> > kita rasakan."
> >
> > Dengan lembutnya, mata hati pun menjawab setumpuk pertanyaan
> skeptis
> > kepala saya. Bahwa pria sederhana ini adalah sosok yang cukup
> stabil
> > dan nyaman dengan dirinya sendiri—hal yang amat sangat jarang
saya
> > temui. Faktor yang juga membuatnya menjadi sosok yang cukup kuat
> > untuk disandari. Bahwa ia berpikiran terbuka, dapat dipercaya,
> > bertanggung jawab, bisa diajak berkompromi, dan yang terpenting—
> > mencintai Tuhan dalam setiap sel tubuhnya.
> >
> > Karena ijab kabul pernikahan adalah salah satu perjanjian utama
> yang
> > disaksikan langsung oleh Tuhan. Pun tidak merasa religius, namun
> > saya percaya, bahwa para pecinta Tuhan tak akan berani
> mendustaiNya.
> > Dan ya, saya percaya pada pria ini.
> > ***
> > Pelajaran 3: Bimbingan Mata Hati
> >
> > Toh, meski demikian, tetap saja kepala saya tak berhenti
bertanya.
> > Seperti rentetan peluru. "Lantas, bagaimana denganmu? Apa kamu
> > menginginkan pria ini untuk 50 tahun, 60 tahun ke depan—seumur
> > hidupmu? Apa kamu mencintainya? Bagaimana dengan rasa bosan,
> > mengingat kamu adalah tipe orang yang mudah bosan? Apa
jaminannya
> > pernikahanmu akan utuh untuk jangka panjang? Dan bagaimana
dengan
> > anak? Dengan kondisimu sekarang, kamu pasti tak bisa menjadi ibu
> > yang baik, kan? Tidakkah lebih urgent untuk lebih dahulu
membenahi
> > dirimu? Dan bagaimana dengan mimpi-mimpi yang belum kamu capai
dan
> > masih kamu inginkan? Dan bagaimana denganmu?", cecar kepala saya
> > tanpa ampun.
> >
> > Dengan panik, sayapun berteriak "Stop! Stop! Stop! Saya mohon,
> > berhentilah bertanya, karena kamu tidak membantu!"
> > Disinilah lagi-lagi, mata hati merengkuh saya. Dengan lembut ia
> > menggandeng saya ke tempat wudhu, membasuh semua pekat dan ruwet
> > pertanyaan kepala saya. Dengan lembut, ia berbisik agar saya
minta
> > petunjuk dariNya. "Jika bimbang meraja, maka bertanyalah pada
> > Penciptamu. Adukan padaNya, minta petunjukNya, mohonkan
> > pertolonganNya," begitu bisiknya.
> >
> > Malam itu adalah malam tahun baru 2008, saat untuk pertama
kalinya
> > saya shalat istikharah dengan niatan bertanya pada Tuhan untuk
> > urusan jodoh dan pernikahan. Dari beberapa buku dan pendapat
yang
> > saya kumpulkan, sejumlah orang konon, mendapatkan petunjuk dan
> > hidayah melalui mimpi. Tidak demikian halnya dengan saya.
> > Kala itu, hampir dini hari. Seorang teman saya yang tengah
> menginap
> > sedang terlelap di dalam kamar. Sementara saya yang tak bisa
tidur
> > usai shalat istikharah, memilih untuk duduk di ruang keluarga.
> Hanya
> > duduk saja, tanpa menonton televisi. Di luar, hanya sesekali
saja
> > terdengar lengkingan terompet dan suara orang yang sesekali
> > melintas.
> >
> > Sebuah keheningan yang mendamaikan.
> > Dan seperti dalam banyak keheningan saya lainnya, sebuah suara
pun
> > tiba-tiba hadir mengetuk kepala saya.
> >
> > "Ya, saya ingin melakukannya," ujar suara itu. Bening dan jelas.
> > Saya mengernyitkan dahi. Ini bukan suara sang kepala. Karena
sang
> > kepala selalu berbicara tegas dan cepat, dengan intonasi datar
dan
> > nada dingin tanpa emosi. Dan juga bukan suara sang hati, yang
> hampir
> > selalu terdengar pilu dan merintih, atau tercekat. Saya tidak
> kenal
> > suara ini, pikir saya.
> >
> > "Kamukah itu, mata hati? Kenapa menggunakan kata 'saya', dan
> > bukannya 'kamu' seperti yang biasa kamu lakukan saat membimbing
> > saya?," tanya saya.
> >
> > Sambil tersenyum sejuk, mata hati pun menjawab "Karena memang
> bukan
> > saya yang mengatakannya, Retnadi sayang. Dirimu sendirilah yang
> > mengatakannya. Itu adalah suaramu."
> >
> > Selama beberapa waktu sayapun menunggu cecaran pertanyaan dari
> > kepala. Namun tak terjadi sesuatu. Lima belas menit. Setengah
jam.
> > Satu jam. Kepala saya tetap tak bergeming.
> >
> > Pelan-pelan, bibir saya pun berucap syukur "Alhamdulillah,
terima
> > kasih Tuhan. Dan ya, saya ingin melakukannya. Saya ingin
> > melakukannya. Saya ingin melakukannya."
> > ***
> >
> > Proses pun dimulai.
> >
> > Diawali dengan tahap perkenalan pria ini pada ke dua orangtua
> saya,
> > yang dilanjutkan dengan proses lamaran. Sepanjang proses
> > berlangsung, saya pun mengutarakan keinginan saya pada pria ini
> akan
> > ketiadaan resepsi dan seserahan saat lamaran.
> >
> > Dan betapa pria ini tercengang-cengang mendengarnya—terlebih
saat
> > kami tahu, bahwa kami akan menikah di masjid yang sama dengan
> salah
> > satu abang saya, dimana abang saya dan mempelai wanitanya
kemudian
> > akan menyelenggarakan resepsi pernikahan di gedung samping
masjid.
> >
> > "Tapi itu, kan, hak kamu. Kamu juga berhak untuk dirayakan,
> apalagi
> > kamu anak perempuan bungsu, satu-satunya pula," ujar pria ini.
> >
> > Butuh diskusi cukup panjang bagi saya untuk meyakinkan pria ini,
> > bahwa bagi saya, perayaan memang sungguh-sungguh bukanlah hal
> > penting. Saya tak menginginkannya. Saya tak membutuhkannya.
Bahwa
> > bagi saya, yang utama adalah ijab kabul. Sisanya adalah asesoris
> > pendukung belaka. Bahwa bagi saya, hidup tak berhenti seusai
> > resepsi. Bahwa masih ada banyak hal yang harus dipikirkan—
cicilan
> > rumah, kontrol kehamilan, biaya persalinan, pendidikan anak,
> > kesehatan anak, simpanan untuk pernikahan anak, dsb.
> >
> > "Atau begini, anggap saja semua orang punya daftar prioritas
> > pribadi. Banyak perempuan memprioritaskan resepsi dan turut adat
> > sebagai sesuatu yang utama. Dan itu bukan hal yang salah, tentu
> > saja. Dengan segala hormat, saya sangat menghargai prioritas
> mereka.
> > Namun, saya juga punya prioritas saya sendiri, yang kebetulan
> > berbeda dengan mereka. How's that?," jelas saya panjang lebar.
> >
> > "Dan bagaimana dengan orangtuamu?" tanya pria ini.
> >
> > Alhamdulillah, saya dikaruniai orangtua Sjamsuddin Shiddieg dan
> > Sangi Siti Rahayu yang luar biasa. Dengan pikiran terbuka dan
> lapang
> > dada, mereka pun meluluskan keinginan saya. Pada hari Kamis, 1
Mei
> > 2008, saya dan pria inipun resmi terdaftar sebagai murid suatu
> ruang
> > kelas bernama Pernikahan.
> >
> > Bismillahirohmanirrahim.
> > ***
> >
> > Pelajaran 4: Berdiskusi bersama Kepala dan Hati
> >
> > Sebagai murid baru, tentu banyak aturan baru yang harus saya
> > adaptasi. Mulai dari tampilan pakaian, jam pulang, izin untuk
> > keluar, cara bicara, cara tertawa, larangan keluar malam, dsb.
> Yang—
> > di luar dugaan kepala saya yang skeptis—ternyata saya nyaman-
> nyaman
> > saja menjalankannya.
> >
> > Tentu saja, saya selalu punya banyak
> pertanyaan. "Kenapa?", "Kenapa
> > nggak boleh?", "Kenapa jangan?". Dan saat suami saya menjawab
> > dengan "Nggak papa, nggak boleh aja," maka saya akan mengejar
> > dengan "That's not an answer. Come on, try me."
> >
> > Ya, ada kalanya saya bisa sangat melelahkan. Beberapa orang
> mungkin
> > berpikir bahwa banyak bertanya adalah sinyal kekritisan. Namun
> bagi
> > saya, banyak bertanya berarti sinyal butuhnya persediaan berton-
> ton
> > kesabaran. Bayangkan menerima pertanyaan 'Kenapa' dan 'Itu bukan
> > jawaban. Ayo, cari lagi jawabannya yang logis,' selama hampir 7
> kali
> > sehari dan tidak meledak karenanya. Suami saya mestinya dapat
> > lencana karenanya. Karena dengan sabarnya, ia akan menjelaskan
> > alasannya, baik dari sisi agama, logika, maupun keinginan
> > personalnya.
> >
> > Dengan tangan terbuka, suami saya bahkan mengundang dua tetangga
> > saya untuk bertamu. Mereka adalah kepala saya yang kerap haus
akan
> > pemenuhan self fulfilling prophecy, dan hati saya yang kerap
> kelewat
> > sensitif pada banyak emosi. Dengan ramahnya, suami saya
menyilakan
> > mereka untuk masuk, duduk bersama di ruang tamu kami. Dan
> > berdiskusi.
> >
> > Ini adalah hal baru bagi saya—yang selama bertahun-tahun lamanya
> > selalu gagal mengajak hati dan kepala untuk sekedar bertukar
sapa
> > dengan ramah. Seorang mantan pasangan dulu pernah
> berkomentar "Gee,
> > Retno, kamu harus mulai belajar caranya mengajak hati dan
kepalamu
> > untuk berdiskusi." Yang saat itu dijawab dengan sinisnya oleh
saya
> > dengan "Yeah, right. Like I know how."
> >
> > Dan kini, betapa saya sungguh tercengang-cengang kala mendapati
> > kepala dan hati sungguh-sungguh mendengarkan ucapan suami saya.
> > Mereka tidak sedikitpun memotong ataupun menyela perkataan suami
> > saya. Mereka juga tak sekalipun berbisik-bisik pada saya,
tentang
> > ketidaksetujuan mereka. Mereka sungguh-sungguh duduk diam, dan
> > mendengarkan.
> >
> > Usai penjelasan suami saya, barulah dengan tertib satu persatu
> dari
> > mereka mengutarakan argumennya. Lagi-lagi ini adalah hal baru
buat
> > saya. Karena semua argumentasi itu terbungkus dalam balutan kata
> > yang tertutur rapi, logis, jelas, dan santun. Tidak ada adu
> > argumentasi diwarnai drama air mata dan kurasan emosi
melelahkan.
> > Tak heran, bila kemudian proses kompromi pun tercapai dengan
> > anggukan sepakat dan kepuasan dari semua tamu kami. It's a win-
win
> > solution.
> >
> > Begitulah proses adaptasi saya di ruang kelas baru ini.
> > ***
> >
> > Pelajaran 5: Belajar Bernafas
> >
> > Pun hati dan kepala saya sudah mulai belajar duduk bersama dalam
> > satu kursi, tetap saja ada saat-saat dimana kepala saya lagi-
lagi
> > akan kelewat banyak bertanya dan mencerca, sementara hati saya
> lagi-
> > lagi akan kelewat banyak merasa.
> >
> > Ya, ini melelahkan. Sangat.
> >
> > Saat saya sempat memutuskan untuk berhenti bekerja kantoran dan
> > tinggal di rumah saya, menjadi kontributor untuk sebuah majalah,
> > misalnya. Ada banyak momen dimana kepala saya tanpa henti
> bertanya.
> >
> > Bolehkah saya merasa bosan di rumah? Bolehkah saya mencoba
> > mengatasinya dengan berjalan-jalan ke rumah abang atau orangtua
> saya
> > sendirian? Saat saya belum selesai mencuci baju karena terlalu
> fokus
> > menulis, apakah saya bersalah sebagai seorang istri? Saat saya
> lupa
> > menanak nasi sarapan dan nasi semalam ternyata sudah basi—
sehingga
> > kami yang lapar terpaksa menunggu selama 45 menit—apakah saya
> > menjadi istri yang buruk, karenanya? Saat saya menghabiskan 3,5
> jam
> > di warnet dan pulang saat makan siang—pun suami saya saat itu
> makan
> > siang di kantor—apakah saya adalah seorang istri yang egois?
> Apakah
> > itu membuat saya menjadi sosok istri yang tak bertanggung jawab
> > karenanya?
> >
> > Logically, kepala saya tentu tahu jawabannya—yang juga telah
saya
> > confirm dengan suami saya. Bahwa tentu saja, tidak, Retnadi.
It's
> > OK. Shit happens. Semua orang bisa melakukan kesalahan. Dan itu
> tak
> > lantas menggeneralisirmu menjadi istri yang buruk. "And yes,
> > sweetie, I love you that much," ujar suami saya.
> >
> > Jika memang demikian, lantas kenapa saya masih belum merasa
lega?
> > Kenapa saya terus-menerus merasa bersalah, sesak napas, dan
mulai
> > berpikir bahwa 'Apakah saya menikah terlalu cepat?'
> >
> > I hate that thought. Karena saya tahu pasti, bahwa saya
mencintai
> > suami saya, dan bahwa saya telah mengambil keputusan untuk
> menjalani
> > ini bersamanya. Pertanyaan `what if' adalah pertanyaan mengawang-
> > awang yang melelahkan, tanpa tujuan, dan sia-sia.
> >
> > Namun bagaimana menjawab ini pada kepala saya yang haus jawaban?
> >
> > Bahkan kala suatu proses adaptasi berjalan halus dan mulus, saya
> > tahu bahwa seharusnya saya bersyukur. Dan ya, tentu saja saya
> > bersyukur. Namun saat kepala saya yang bawel tiba-tiba menerima
> saja
> > semua bentuk kompromi ini dengan lapang dada, giliran diri saya
> yang
> > bertanya-tanya akan krisis identitasnya. "Ada apa dengan kamu,
No?
> > Apa ini berarti konsepmu selama ini salah? Dan yang sekarang ini
> > adalah yang benar? Jadi, yang mana identitas dirimu? Jadi, kamu
> itu
> > yang mana?"
> >
> > Dan saya tidak tahu jawabannya.
> >
> > Saya ingat pada suatu malam, kala pertanyaan ini kembali
mencecar
> > saya. Saat itu, saya meng-sms Ain. "Ain, I work from home, like
I
> > always wanted to. I have a beautiful husband that loved me and
> > adored me so much. I live in a house that have a beautiful
> scenery.
> > But why is hard for me to breath? Why is so hard to breathe?"
> >
> > Ain membalasnya dengan satu sms sederhana. Satu sms berisi
kalimat
> > yang dikutipnya dari Eat, Pray, Love-nya Elizabeth
Gilbert. "What
> do
> > you really really really want, Jo?"
> >
> > Sadly, I have no answer.
> >
> > Malam itu hampir pukul 1 pagi. Suami saya sudah terlelap di
kamar.
> > Sementara saya menangis di ruang depan, karena saya tak punya
> > jawaban untuk membalas sms Ain. Dan seperti banyak hari buruk
saya
> > lainnya, saya pun menelpon Citra. Yang lagi-lagi, seperti biasa,
> > punya jawaban melegakan.
> >
> > "Retnadi sayang, you're married at 23. Tentu saja, itu bawa
banyak
> > perubahan. Beberapa perubahan pasti melahirkan banyak pertanyaan
> > membingungkan seperti ini. Tapi tahu nggak, No? It's OK, untuk
> tidak
> > punya jawaban atas segala hal. It's OK, untuk bilang sama kepala
> dan
> > dirimu sendiri, atau bahkan semua pertanyaan yang kamu temui,
> > dengan "Maaf, untuk saat ini, saya tidak punya jawabannya. Tapi
> saya
> > akan belajar untuk mencarinya." It's OK, and we still love you.
So
> > take your time, Retnadi. Take your time. Love you," ucap Citra
> > mengelus hati saya.
> > ***
> > Pelajaran 6: Dua Aksioma
> >
> > Dalam ilmu komunikasi, aksioma adalah sesuatu yang tak
> terbantahkan.
> > Aksioma komunikasi yang terkenal adalah `we cannot not
> communicate'.
> > Karena pun kita menolak komunikasi verbal, akan selalu ada
> komponen
> > nonverbal yang mengkomunikasikan pesan kita.
> >
> > Di umur 24 tahun, saya pun menyusun dua aksioma saya. Pertama,
we
> > can't pleased everyone. Kita tak bisa menyenangkan semua orang.
> Pun
> > saya berusaha sekeras mungkin, akan selalu ada masukan,
keinginan,
> > dan harapan yang tak terakomodir. Pun saya berusaha sekeras
> mungkin,
> > hasil akhir tetaplah berada di tangan Tuhan. And it's OK,
because
> we
> > can't pleased everyone. Saya berikhtiar, Tuhanlah yang
menentukan.
> >
> > Aksioma ke dua (thanks to Citra), bahwa saya tak harus punya
> jawaban
> > atas segala hal. Selama bertahun-tahun lamanya, kepala saya yang
> > haus jawaban, tanpa henti bertanya, dan betapa saya berusaha
keras
> > untuk menjawabnya. Berusaha keras menyusun banyak konsep, banyak
> > definisi, banyak deskripsi, banyak pernyataan, banyak alur
logika,
> > banyak pertimbangan, dan setumpuk penjelasan lain yang saya kira
> > dapat memuaskan kepala saya. Tak pernah sekalipun terlintas,
bahwa
> > saya boleh menjawab 'I don't know how. I just know', atau 'I
don't
> > know, now. Let's figure it out later.'
> >
> > Saat pagi hari misalnya. Saat suami saya sudah berangkat ke
> kantor,
> > sementara saya yang usai meratakan tanah belakang, beristirahat
di
> > atas karpet. Dengan kaki berselonjor, sarapan nasi putih hangat
> > berlaukkan beberapa potong gorengan, untuk kemudian minum
> secangkir
> > kopi susu. This is it. The moment of happiness. I'm just happy.
I
> > just know.
> >
> > Atau saat saya tengah kebingungan untuk mengambil suatu
keputusan.
> > Saat itu, saya menangis sejadi-jadinya di atas sajadah, terus-
> > menerus bertanya pada Tuhan. Please tell me what to do. Please
> tell
> > me what to do. Please tell me what to do.
> > Dan sama seperti di malam tahun baru 2008, mata hati pun kembali
> > membimbing saya. Dengan tenangnya, dengan lembutnya, dengan
> > sabarnya.
> >
> > Ah, betapa melegakan.
> >
> > Kini, pun banyak pertanyaan kembali berseliweran di kepala saya,
> > saya tahu, bahwa saya akan selalu bisa mengembalikannya pada
> Tuhan.
> > Sama seperti saat dulu saya memutuskan untuk keluar dari
hubungan
> > melelahkan, sama seperti saat saya memutuskan untuk menikah,
sama
> > seperti saat saya memutuskan untuk kembali bekerja kantoran.
> >
> > Dan sebagai murid baru di ruang kelas bernama pernikahan ini,
> tentu
> > akan selalu ada banyak materi yang tak saya pahami. Akan ada
> > sejumlah kesalahan yang saya lakukan, ataupun suami saya
lakukan.
> > And it's ok. Seperti kutipan lirik lagu Ordinary People John
> > Legend "We're just ordinary people, we don't which way to go.
> `Cause
> > we're ordinary people, maybe we should take it slow."
> >
> > Pelan-pelan, saya dan suami saya akan belajar bersama di ruang
> kelas
> > baru ini. PadaNya, Sang Maha Guru. Semoga pelajaran ini
> berlangsung
> > selamanya. Untuk semua hal yang akan datang, attraversiamo*.
Amin.
> > ***
> >
> > *Attraversiamo (Italian phrase): Let's cross it over.
> >
> > PS: Di akhir tulisan ini, seketika saya terpikir, bahwa dengan
> > deskripsi kata sifat, mungkin kata 'pernikahan' bisa menjadi
suatu
> > kata yang pas untuk dilekatkan pada diri saya. Dengan suami dan
> > cinta yang begitu mempesona, saya pun tak bisa menemukan kata
> sifat
> > lain, selain: bahagia.
> >
> > Yes, I'm happily married. I just know.
> >
>

9f.

Re: (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan

Posted by: "Bu CaturCatriks" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Sun Sep 21, 2008 8:36 pm (PDT)

mbak andri yg baik,

pertanyaan sama yg juga saya tanyakan sampai 4 bulan lalu (saat akad
nikah).
dan belakangan baru terpikir oleh saya,
bahwa mungkin, dgn banyak mempertanyakannya saja,
pun dulu saya belum menikah,
mungkin, mungkin lho, saya sudah berada dalam ruang kelas itu.

hanya kini, di samping saya, sudah ada teman sebangku :)
thanks for reading this very long (and i hope not exhausting) essay.

have a great day.

-retno-

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Andri Triwidyastuti
<andricupu@...> wrote:
>
> kapan ya bisa masuk ke sebuah ruang kelas bernama pernikahan ? 
>
> tulisan yang mengingatkan saya pada sebuah keluarga yang menunjukan
kebenaran janji Allah SWT bahwa lelaki baik2 adalah untuk wanita baik2.
>  
>

9g.

Bls: [sekolah-kehidupan] (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama

Posted by: "Lily Ceria" lilyceria@yahoo.co.id   lilyceria

Sun Sep 21, 2008 8:49 pm (PDT)



terimakasih atas postingannya. sangat menyentuh dan realistis!!
semoga Allah sellau memberkahi semua langkah kita. Amiiin

Salam
Lily Liandiana

----- Pesan Asli ----
Dari: Bu CaturCatriks <punya_retno@yahoo.com>
Kepada: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Terkirim: Senin, 22 September, 2008 09:15:59
Topik: [sekolah-kehidupan] (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan

dear all,

hanya sekedar berbagi banyak pandangan dan pelajaran yg saya dapat
dlm pernikahan.
oya, sebelumnya,
ini adalah salah satu tulisan terpanjang yg pernah saya buat.
sekaligus, salah satu tulisan terjujur, dimana saya benar2 mencoba
menumpahkan banyak pertanyaan dr kepala saya.
mohon maaf kalau membosankan dan membingungkan.

-retno-

Sebuah Ruang Kelas Bernama Pernikahan
Oleh Retnadi Nur'aini

Marriage (noun): legal union of a man and woman as husband and wife.
Marriageable (adjective): old enough or suitable for marriage
Marry (verb): take somebody as a husband or wife; join as husband
and wife; find suitable partner for
Married (adjective): having a husband or wife
(Oxford Pocket Dictionary)

Di umur 23 tahun, kata "pernikahan" adalah kata yang terasa tak pas
untuk dilekatkan pada diri saya. Tidak sebagai kata benda. Tidak
sebagai kata sifat. Tidak juga sebagai kata kerja.

Mungkin karena saat itu saya pikir umur saya masih kelewat muda.
Mungkin karena saya tengah senang-senangnya bekerja, diselingi
bermain dan berkumpul bersama teman-teman saya. Mungkin karena saat
itu—seperti dalam kumpulan esai karya Ayu Utami yang berjudul
Parasit Lajang—konsep membentuk keluarga tampak begitu tak efisien
bagi lajang seperti saya yang masih menumpang di rumah orangtua.

Mungkin karena saya pikir saya masih kelewat egois dalam banyak hal
yang saya inginkan. Mungkin juga karena saya tak pernah mencantumkan
kata ini dalam daftar target, resolusi, harapan, ataupun mimpi yang
ingin saya capai tahun ini, sehingga saya juga sama sekali tak
pernah memacu—ataupun memaksa diri saya sendiri untuk mencoba
mengenakan kata ini dalam diri saya. Atau mungkin karena saya
kelewat nyaman saja dengan keadaan saat itu, dan punya banyak
keengganan dan kecemasan akan suatu perubahan.

Apapun itu—it just didn't fit.
***

Pelajaran 1: Merumuskan Definisi Konseptual

Di umur 23 tahun, konsep pernikahan juga sekaligus merupakan sebuah
konsep raksasa yang sulit saya rumuskan. Selain karena keterbatasan
pemahaman, saya juga belum tahu apa yang sungguh-sungguh saya
inginkan dalam suatu pernikahan.

Maka untuk mulai merumuskannya, saya pun mencoba premis yang
berkebalikan. Yaitu dengan mendaftar apa yang sungguh-sungguh tidak
saya inginkan dalam suatu pernikahan. Berbekalkan sedikit pengalaman
hubungan interpersonal bersama beberapa pria, disambi mengamati
sejumlah kehidupan pernikahan di sekitar saya, pelan-pelan, sayapun
mulai menabung rumusan konsep pernikahan. Beberapa diantaranya: Saya
tak menginginkan pernikahan yang di dalamnya ada pembagian tugas
domestik berdasarkan jender dan nilai-nilai patriarki. Saya tak
menginginkan pernikahan dimana setiap orang di dalamnya punya ego
dan ambisi sedemikian besarnya untuk satu kepuasan memenangkan adu
argumentasi, dan mengesampingkan konsep diskusi dan kompromi. Saya
tak menginginkan pernikahan dimana setiap orang di dalamnya tidak
tahu caranya menggunakan intonasi. Saya tak menginginkan pernikahan,
yang di dalamnya orang mandeg berjalan dalam proses pencarian jati
diri.

Jujur, mulanya, tabungan konsep di atas memang merupakan gabungan
dari daftar "cacat" atas sejumlah kehidupan pernikahan yang saya
amati, sekaligus daftar "dosa" para mantan pasangan saya. Dimana
dalam setiap akhir hubungan, dengan dinginnya, saya akan menyerahkan
daftar panjang ini sebagai alasan kenapa kami tak lagi bisa berjalan
bersama.

Tidak adil, memang. Dan tentu saja, daftar itu tak serta merta
menamatkan riwayat hubungan kami. Ada banyak pertanyaan "Kenapa?",
yang diteruskan dengan "Kenapa sekarang?".

Namun seiring dengan waktu yang membalut semua luka, ia juga
sekaligus menegur ego saya yang pongah dan kekanakan. Bahwa seperti
seorang murid yang gagal ujian, setiap mantan pasangan berhak tahu,
kenapa nilainya bisa buruk—di kala ia pikir ia sudah belajar sama
kerasnya dengan murid lainnya. "Oke, kamu mungkin sekarang sudah
pindah kelas dan tak lagi bisa belajar bersama dengannya, but at
least, let him learn. Biarkan ia mendapat pelajaran yang telah
menjadi haknya," tegur waktu.

Jadi, alih-alih menggunakan daftar ini sebagai self defense
mechanism, saya mencoba mengganti judulnya dengan "Daftar Harapan
untuk Calon Pasanganmu Berikutnya," sebelum diserahkan pada mantan
pasangan saya. Dan untuk saya sendiri "Daftar Harapan atas Dirimu
Sendiri."

Dari sana, kami belajar bahwa pelajaran kami sekarang memang sudah
berbeda bentuknya, dan saya tak bisa belajar bersama seorang
pasangan yang tinggal kelas. Ia harus lebih dulu menuntaskan tahapan
pelajarannya, untuk kemudian bisa memahami tahap pelajaran
selanjutnya. Di sisi lain, saya juga tak bisa mengajarinya, ataupun
mengatrol nilainya. Saya tak berhak, tak berwenang, dan juga tak
mampu untuk melakukannya. Di atas semuanya, bukan itu
konsep "belajar bersama dalam suatu hubungan interpersonal" di
kepala saya. Dengan lapang dada, kami pun belajar tentang konsep
memaafkan dan merelakan. Kami juga belajar tentang konsep kenangan,
masa lalu, dan bergerak maju. Move on.
***

Saya dibesarkan dalam keluarga dengan ke dua orangtua pekerja.
Dimana ayah saya adalah seorang workholic dan ibu saya adalah
seorang guru SD yang sangat berdedikasi pada murid-muridnya. Namun
saat saya menginjak bangku SMU, ibu saya memutuskan untuk pensiun
dini, demi mengurus keluarga.

Dan ya, ibu saya sungguh-sungguh berkomitmen pada keputusannya.
Beliau sungguh-sungguh membaktikan dirinya untuk keluarga. Setiap
hari, beliau akan bangun pukul 2 pagi untuk shalat tahajud, tidak
tidur sampai subuh, dan menyiapkan sarapan lengkap—berupa nasi dan
lauk pauknya, bukan sekedar roti tawar beroles selai atau margarin—
dan bergelas-gelas minuman hangat. Setiap hari, 3 kali sehari,
beliau akan mengganti minuman untuk Bapak—pagi hari ada kopi susu,
air jeruk, dan air putih. Siang hari, ada es sirup dan air putih.
Sore hari ada teh manis dan air putih.

Tak pernah sekalipun Ibu alpa menyiapkan bekal makan siang kami
semua.. Dan sampai kini, masing-masing dari kami menyimpan satu
taplak meja khusus buatan Ibu yang bersulamkan nama setiap kami di
atasnya.

Ibu nyaris tak pernah berjalan-jalan. Ataupun, menonton televisi.
Bahkan saat beliau sedang sendirian di rumah. Ketimbang jalan-jalan,
beliau lebih memilih untuk mengaji, membaca buku, menulis diary,
atau tidur. Dan beliau hanya menonton televisi, saat kami datang dan
menyetel televisi. Itupun lebih karena beliau ingin menemani kami.

Kesenangan termewah ibu saya adalah makanan. Dimana beliau bisa
membeli semangkuk bakso, atau sepiring nasi padang, untuk dirinya
sendiri—dan bukannya disajikan di atas meja makan sebagai lauk bagi
kami semua.

Tumbuh dengan menyaksikan ini, satu ide lagi muncul di kepala saya.
Bahwa saya tak menginginkan pernikahan, dimana ada orang yang
menjadi martir di dalamnya. Tapi, hey, benarkah ibu saya menjadi
martir dalam pernikahan ini?

She seems quite happy.

Sayapun bertanya padanya. Apakah beliau bahagia?

Yang dijawab beliau dengan senyum tulus. "Tentu saja, saya bahagia.
Memang ada masa-masa sulit, Retno. Dan lebih sulit lagi, karena dulu
saya menjalani itu sendirian. Tidak ada Bapak (saat itu Bapak sedang
kuliah di luar negeri), dan tidak ada keluarga saya. Namun saya
bilang ke diri saya 'Harus bisa, harus bisa',"

Seketika kepala saya kembali menelurkan sekeranjang pertanyaan. Is
it cultural? (Karena dulu ide feminisme belum terpublikasikan merata
di Indonesia), is it psychological? (Karena ibu saya dibesarkan
dalam keluarga yang mengajarkannya untuk nrimo dengan keadaan, plus
itu keluarga Jawa), is it genetic? (Karena uti saya—ibu dari ibu
saya—juga punya karakter yang sama), is it astrological? (Karena ibu
saya berzodiak Sagitarius), is it educational? (Karena ibu saya
hanya mengenyam pendidikan D3, dan saya sedikit di atas beliau—S1),
is it hormonal? Dietary? Philosopical? Religion? Educational?
Environmental? What is the root of her character? Kenapa beliau
tampak tidak keberatan? Kenapa beliau tampak ikhlas menjalaninya?

Kenapa beliau bisa dengan tulusnya bilang 'I'm happy, Retno.' Dan di
atas semuanya, kenapa saya pikir, saya tidak bisa menjalani itu
semua?

Tidakkah Ibu merasa mengorbankan terlalu banyak hal?
Lagi-lagi sambil tersenyum, Ibu saya menjawab "Semuanya setimpal,
Retno. Ada kakak-kakakmu. Ada kamu. Dan saya bangga dengan kalian,"
Satu jawaban sederhana yang seketika membungkam semua pertanyaan
saya.
***

Pelajaran 2: Kriteria Pasangan Ideal

Subjudul di atas merupakan satu pertanyaan yang akan mendapatkan
jawaban berlembar-lembar banyaknya, dengan sedemikian detilnya, oleh
banyak orang. Banyak orang yang mampu merinci jawabannya secara
spesifik dengan—cantik/ ganteng, tinggi, putih, rambut panjang (bila
wanita), pintar, religius, mapan, bibit, bebet, bobot, dsb. Banyak
pula orang yang akan menjawab singkat "Yang penting, mau nerima gua
apa adanya, mengisi kekurangan gua."

Sejumlah jawaban spesifik, yang mostly, terasa tak pas menjadi
standar kriteria saya akan calon pasangan ideal. Selain karena
tampilan fisik dan hal-hal penunjangnya (saya sering
mengistilahkannya dengan 'kualitas administratif' ) bukan menjadi
prioritas utama saya, psikologis personal justru menjadi
pertimbangan penting buat saya.

Selama bertahun-tahun lamanya, saya pun mencoba merumuskan standar
kualifikasi psikologis calon pasangan yang saya inginkan. Beberapa
diantaranya adalah: secure pada dirinya sendiri, tulus, open mind,
bersedia untuk diajak berkompromi dalam jangka panjang.

Dalam salah satu buku yang saya baca, ada kutipan yang menarik
tentang kriteria pasangan. "Gua cuma tahu, kalo sama dia, dalam hati
gua, terdengar suara tutup botol dengan ulirnya. Klik."

Ide yang menarik. Namun, ah, bukankah percakapan menyenangkan selalu
bisa diciptakan? Darimana kita tahu bahwa bunyi 'klik' itu
adalah 'klik' yang sebenarnya? Apa simptomnya?

Pertanyaan ini menghantui kepala saya selama bertahun-tahun lamanya,
sampai tahun 2006. Tahun itu, saya bertemu dengan seorang pria—
sekarang mantan, yang tak hanya membunyikan 'klik' di kepala saya,
namun juga lonceng. Saat bersamanya, saya bisa membayangkan kami tua
bersama. Dimana kami dengan rambut memutih duduk-duduk di karpet
ruang tamu, bergantian membacakan kalimat demi kalimat dalam cerpen
Seksi karya Jhumpa Lahiri. Yes, I can picture it. Dengan detilnya,
dengan cantiknya, dengan sempurnanya.

Namun ada kalanya, kita tak selalu memperoleh apa yang kita
harapkan. Pun saya mampu membayangkan setiap detil masa depan kami,
hubungan itu merupakan suatu hubungan yang tidak ideal.
Ketidakidealan ini melahirkan banyak pertengkaran dan adu
argumentasi melelahkan, yang akhirnya membawa saya pada satu
kesimpulan: bahwa ada kalanya, cinta saja tak cukup. Dengan berat
hati, kami pun memutuskan untuk berpisah di tahun 2007.

Perpisahan yang sekaligus merampok separuh jiwa saya, untuk kemudian
menenggelamkannya entah dimana. Saat memunguti remah-remah jiwa yang
tercecer, ide kriteria "mau menerima diri kita apa adanya, dan mau
mengisi kekurangan kita" pun seketika jadi tampak masuk akal di
kepala saya. Namun seperti halnya skripsi, itu semata-mata hanyalah
batasan definisi konseptual. Saat kita ingin menerapkannya ke dalam
kehidupan nyata, apa instrumennya? Apa indikatornya? Apa
operasionalisasi konsepnya? Apa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknisnya?

Saat itulah seorang Catur Sukono datang.

Saat saya tengah membenahi diri saya dengan remah-remah jiwa yang
tersisa, mencoba merekatkan kembali kepercayaan diri dan konsep diri
yang babak belur karena hubungan sebelumnya.

Dan sebagai kejutan, pria ini datang dengan membawa sebuah proposal
pernikahan.
***

Saya selalu berpikir, bahwa suatu hubungan adalah laiknya investasi.
Dimana setiap orang di dalamnya akan berinvestasi waktu, perasaan,
materi, dan banyak hal lainnya, dengan tujuan memperoleh laba jangka
panjang—dalam konteks ini, pernikahan, maupun hubungan jangka
panjang yang stabil.

Karenanya, sebelum memutuskan untuk berinvestasi, calon investor
tentu perlu tahu segala faktor resiko yang akan dijalaninya,
termasuk resiko kerugian. Maka saya pun menjelaskan pada pria ini
tentang diri saya. Bahwa saya baru keluar dari hubungan yang sangat
melelahkan, dan kembali berada di titik nol pencarian jati diri..
Bahwa untuk membangun kepercayaan diri, saya kerap memantrai diri
saya, dan memasang topeng imej sosok yang manis, lucu, menyenangkan.
Pikir saya saat itu, kalaupun saya belum bisa bahagia, at least,
saya bisa berpura-pura tampak bahagia. Dan mungkin, dengan begitu,
saya akan sungguh-sungguh bahagia. Seperti saya di masa sebelumnya.

Namun topeng itu tidak saya kenakan 24 jam sehari 7 hari seminggu.
Saat terbuka, akan tampak wajah asli saya yang dipenuhi bekas luka
dan buruk rupa. Bahwa menumpang rollercoaster mood saya bisa sangat
sangat melelahkan. Bahwa saya punya setumpuk ketakutan tentang
pernikahan dan menjadi orangtua, dan bahwa pernikahan kembali
menjadi satu konsep blur yang gagal saya petakan.

Karenanya, saat proposal itu datang, dan saya mulai membaca lembar
demi lembar isinya, hal pertama yang ingin saya lakukan adalah lari.
Kabur. Pertama, kami belum cukup mengenal satu sama lain. Yang
membuat kepala saya dengan skeptisnya bertanya memburu "Bagaimana
kalau dia abusif?", "Bagaimana kalau dia seorang skizofrenik atau
manik depresi?", "Bagaimana kalau dia seorang
megalomaniak? ", "Bagaimana kalau dia seorang MPD?", "Bagaimana
kalau dia adalah semua kombinasi di atas?"—atau singkatnya, hal-hal
mendalam yang tak kasat mata dan tak terdeteksi hanya dalam beberapa
bulan perkenalan.

Bertahun lalu, saya pasti akan menolak mentah-mentah ide kabur dari
masalah ini. "Hanya anak kecil yang lari dari masalah. Orang dewasa
akan bangun dan menghadapinya, " begitu pikir saya dulu.

Tapi saat itu, saya sedang tak mampu berpikir jernih atas banyak
hal. Kegagalan hubungan sebelumnya, membuat kepercayaan diri saya
jatuh bebas di titik nol. Satu-satunya pria yang saya bisa
membayangkan tua bersama dengannya, ternyata tak mampu
memperjuangkan saya. Apa mungkin, saya memang tak seberharga itu
untuk diperjuangkan, ya?, begitu pikir saya. Ya, saat itu, saya
memang tak lagi percaya akan kemampuan akal sehat saya untuk
mengambil keputusan, dan membuat saya meragukan definisi konseptual
saya akan banyak hal, seperti tentang kepercayaan, komitmen, dan
cinta.

Namun saat mata raga mulai tumpul menatap, hadirlah sang mata hati.
Dimana kompas yang berlaku bukan lagi fakta dan logika, melainkan
feeling dan intuisi. Seperti saran Morrie yang dikutip Mitch Albom
dalam buku Tuesdays with Morrie "Kadang-kadang, kita tak boleh
percaya pada apa yang kita lihat, kita harus percaya pada apa yang
kita rasakan."

Dengan lembutnya, mata hati pun menjawab setumpuk pertanyaan skeptis
kepala saya. Bahwa pria sederhana ini adalah sosok yang cukup stabil
dan nyaman dengan dirinya sendiri—hal yang amat sangat jarang saya
temui. Faktor yang juga membuatnya menjadi sosok yang cukup kuat
untuk disandari. Bahwa ia berpikiran terbuka, dapat dipercaya,
bertanggung jawab, bisa diajak berkompromi, dan yang terpenting—
mencintai Tuhan dalam setiap sel tubuhnya.

Karena ijab kabul pernikahan adalah salah satu perjanjian utama yang
disaksikan langsung oleh Tuhan. Pun tidak merasa religius, namun
saya percaya, bahwa para pecinta Tuhan tak akan berani mendustaiNya.
Dan ya, saya percaya pada pria ini.
***
Pelajaran 3: Bimbingan Mata Hati

Toh, meski demikian, tetap saja kepala saya tak berhenti bertanya.
Seperti rentetan peluru. "Lantas, bagaimana denganmu? Apa kamu
menginginkan pria ini untuk 50 tahun, 60 tahun ke depan—seumur
hidupmu? Apa kamu mencintainya? Bagaimana dengan rasa bosan,
mengingat kamu adalah tipe orang yang mudah bosan? Apa jaminannya
pernikahanmu akan utuh untuk jangka panjang? Dan bagaimana dengan
anak? Dengan kondisimu sekarang, kamu pasti tak bisa menjadi ibu
yang baik, kan? Tidakkah lebih urgent untuk lebih dahulu membenahi
dirimu? Dan bagaimana dengan mimpi-mimpi yang belum kamu capai dan
masih kamu inginkan? Dan bagaimana denganmu?", cecar kepala saya
tanpa ampun.

Dengan panik, sayapun berteriak "Stop! Stop! Stop! Saya mohon,
berhentilah bertanya, karena kamu tidak membantu!"
Disinilah lagi-lagi, mata hati merengkuh saya. Dengan lembut ia
menggandeng saya ke tempat wudhu, membasuh semua pekat dan ruwet
pertanyaan kepala saya. Dengan lembut, ia berbisik agar saya minta
petunjuk dariNya. "Jika bimbang meraja, maka bertanyalah pada
Penciptamu. Adukan padaNya, minta petunjukNya, mohonkan
pertolonganNya, " begitu bisiknya.

Malam itu adalah malam tahun baru 2008, saat untuk pertama kalinya
saya shalat istikharah dengan niatan bertanya pada Tuhan untuk
urusan jodoh dan pernikahan. Dari beberapa buku dan pendapat yang
saya kumpulkan, sejumlah orang konon, mendapatkan petunjuk dan
hidayah melalui mimpi. Tidak demikian halnya dengan saya..
Kala itu, hampir dini hari. Seorang teman saya yang tengah menginap
sedang terlelap di dalam kamar. Sementara saya yang tak bisa tidur
usai shalat istikharah, memilih untuk duduk di ruang keluarga. Hanya
duduk saja, tanpa menonton televisi. Di luar, hanya sesekali saja
terdengar lengkingan terompet dan suara orang yang sesekali
melintas.

Sebuah keheningan yang mendamaikan.
Dan seperti dalam banyak keheningan saya lainnya, sebuah suara pun
tiba-tiba hadir mengetuk kepala saya.

"Ya, saya ingin melakukannya, " ujar suara itu. Bening dan jelas.
Saya mengernyitkan dahi. Ini bukan suara sang kepala. Karena sang
kepala selalu berbicara tegas dan cepat, dengan intonasi datar dan
nada dingin tanpa emosi. Dan juga bukan suara sang hati, yang hampir
selalu terdengar pilu dan merintih, atau tercekat. Saya tidak kenal
suara ini, pikir saya.

"Kamukah itu, mata hati? Kenapa menggunakan kata 'saya', dan
bukannya 'kamu' seperti yang biasa kamu lakukan saat membimbing
saya?," tanya saya.

Sambil tersenyum sejuk, mata hati pun menjawab "Karena memang bukan
saya yang mengatakannya, Retnadi sayang. Dirimu sendirilah yang
mengatakannya. Itu adalah suaramu."

Selama beberapa waktu sayapun menunggu cecaran pertanyaan dari
kepala. Namun tak terjadi sesuatu. Lima belas menit.. Setengah jam.
Satu jam. Kepala saya tetap tak bergeming.

Pelan-pelan, bibir saya pun berucap syukur "Alhamdulillah, terima
kasih Tuhan. Dan ya, saya ingin melakukannya. Saya ingin
melakukannya. Saya ingin melakukannya. "
***

Proses pun dimulai.

Diawali dengan tahap perkenalan pria ini pada ke dua orangtua saya,
yang dilanjutkan dengan proses lamaran. Sepanjang proses
berlangsung, saya pun mengutarakan keinginan saya pada pria ini akan
ketiadaan resepsi dan seserahan saat lamaran.

Dan betapa pria ini tercengang-cengang mendengarnya— terlebih saat
kami tahu, bahwa kami akan menikah di masjid yang sama dengan salah
satu abang saya, dimana abang saya dan mempelai wanitanya kemudian
akan menyelenggarakan resepsi pernikahan di gedung samping masjid.

"Tapi itu, kan, hak kamu. Kamu juga berhak untuk dirayakan, apalagi
kamu anak perempuan bungsu, satu-satunya pula," ujar pria ini.

Butuh diskusi cukup panjang bagi saya untuk meyakinkan pria ini,
bahwa bagi saya, perayaan memang sungguh-sungguh bukanlah hal
penting. Saya tak menginginkannya. Saya tak membutuhkannya. Bahwa
bagi saya, yang utama adalah ijab kabul. Sisanya adalah asesoris
pendukung belaka. Bahwa bagi saya, hidup tak berhenti seusai
resepsi. Bahwa masih ada banyak hal yang harus dipikirkan—cicilan
rumah, kontrol kehamilan, biaya persalinan, pendidikan anak,
kesehatan anak, simpanan untuk pernikahan anak, dsb.

"Atau begini, anggap saja semua orang punya daftar prioritas
pribadi. Banyak perempuan memprioritaskan resepsi dan turut adat
sebagai sesuatu yang utama. Dan itu bukan hal yang salah, tentu
saja. Dengan segala hormat, saya sangat menghargai prioritas mereka.
Namun, saya juga punya prioritas saya sendiri, yang kebetulan
berbeda dengan mereka. How's that?," jelas saya panjang lebar.

"Dan bagaimana dengan orangtuamu?" tanya pria ini.

Alhamdulillah, saya dikaruniai orangtua Sjamsuddin Shiddieg dan
Sangi Siti Rahayu yang luar biasa. Dengan pikiran terbuka dan lapang
dada, mereka pun meluluskan keinginan saya. Pada hari Kamis, 1 Mei
2008, saya dan pria inipun resmi terdaftar sebagai murid suatu ruang
kelas bernama Pernikahan.

Bismillahirohmanirr ahim.
***

Pelajaran 4: Berdiskusi bersama Kepala dan Hati

Sebagai murid baru, tentu banyak aturan baru yang harus saya
adaptasi. Mulai dari tampilan pakaian, jam pulang, izin untuk
keluar, cara bicara, cara tertawa, larangan keluar malam, dsb. Yang—
di luar dugaan kepala saya yang skeptis—ternyata saya nyaman-nyaman
saja menjalankannya.

Tentu saja, saya selalu punya banyak pertanyaan. "Kenapa?", "Kenapa
nggak boleh?", "Kenapa jangan?". Dan saat suami saya menjawab
dengan "Nggak papa, nggak boleh aja," maka saya akan mengejar
dengan "That's not an answer. Come on, try me."

Ya, ada kalanya saya bisa sangat melelahkan. Beberapa orang mungkin
berpikir bahwa banyak bertanya adalah sinyal kekritisan. Namun bagi
saya, banyak bertanya berarti sinyal butuhnya persediaan berton-ton
kesabaran. Bayangkan menerima pertanyaan 'Kenapa' dan 'Itu bukan
jawaban. Ayo, cari lagi jawabannya yang logis,' selama hampir 7 kali
sehari dan tidak meledak karenanya. Suami saya mestinya dapat
lencana karenanya. Karena dengan sabarnya, ia akan menjelaskan
alasannya, baik dari sisi agama, logika, maupun keinginan
personalnya.

Dengan tangan terbuka, suami saya bahkan mengundang dua tetangga
saya untuk bertamu. Mereka adalah kepala saya yang kerap haus akan
pemenuhan self fulfilling prophecy, dan hati saya yang kerap kelewat
sensitif pada banyak emosi. Dengan ramahnya, suami saya menyilakan
mereka untuk masuk, duduk bersama di ruang tamu kami. Dan
berdiskusi.

Ini adalah hal baru bagi saya—yang selama bertahun-tahun lamanya
selalu gagal mengajak hati dan kepala untuk sekedar bertukar sapa
dengan ramah. Seorang mantan pasangan dulu pernah berkomentar "Gee,
Retno, kamu harus mulai belajar caranya mengajak hati dan kepalamu
untuk berdiskusi." Yang saat itu dijawab dengan sinisnya oleh saya
dengan "Yeah, right. Like I know how."

Dan kini, betapa saya sungguh tercengang-cengang kala mendapati
kepala dan hati sungguh-sungguh mendengarkan ucapan suami saya.
Mereka tidak sedikitpun memotong ataupun menyela perkataan suami
saya. Mereka juga tak sekalipun berbisik-bisik pada saya, tentang
ketidaksetujuan mereka. Mereka sungguh-sungguh duduk diam, dan
mendengarkan.

Usai penjelasan suami saya, barulah dengan tertib satu persatu dari
mereka mengutarakan argumennya. Lagi-lagi ini adalah hal baru buat
saya. Karena semua argumentasi itu terbungkus dalam balutan kata
yang tertutur rapi, logis, jelas, dan santun. Tidak ada adu
argumentasi diwarnai drama air mata dan kurasan emosi melelahkan.
Tak heran, bila kemudian proses kompromi pun tercapai dengan
anggukan sepakat dan kepuasan dari semua tamu kami. It's a win-win
solution.

Begitulah proses adaptasi saya di ruang kelas baru ini.
***

Pelajaran 5: Belajar Bernafas

Pun hati dan kepala saya sudah mulai belajar duduk bersama dalam
satu kursi, tetap saja ada saat-saat dimana kepala saya lagi-lagi
akan kelewat banyak bertanya dan mencerca, sementara hati saya lagi-
lagi akan kelewat banyak merasa.

Ya, ini melelahkan. Sangat.

Saat saya sempat memutuskan untuk berhenti bekerja kantoran dan
tinggal di rumah saya, menjadi kontributor untuk sebuah majalah,
misalnya. Ada banyak momen dimana kepala saya tanpa henti bertanya.

Bolehkah saya merasa bosan di rumah? Bolehkah saya mencoba
mengatasinya dengan berjalan-jalan ke rumah abang atau orangtua saya
sendirian? Saat saya belum selesai mencuci baju karena terlalu fokus
menulis, apakah saya bersalah sebagai seorang istri? Saat saya lupa
menanak nasi sarapan dan nasi semalam ternyata sudah basi—sehingga
kami yang lapar terpaksa menunggu selama 45 menit—apakah saya
menjadi istri yang buruk, karenanya? Saat saya menghabiskan 3,5 jam
di warnet dan pulang saat makan siang—pun suami saya saat itu makan
siang di kantor—apakah saya adalah seorang istri yang egois? Apakah
itu membuat saya menjadi sosok istri yang tak bertanggung jawab
karenanya?

Logically, kepala saya tentu tahu jawabannya—yang juga telah saya
confirm dengan suami saya. Bahwa tentu saja, tidak, Retnadi. It's
OK. Shit happens. Semua orang bisa melakukan kesalahan. Dan itu tak
lantas menggeneralisirmu menjadi istri yang buruk. "And yes,
sweetie, I love you that much," ujar suami saya.

Jika memang demikian, lantas kenapa saya masih belum merasa lega?
Kenapa saya terus-menerus merasa bersalah, sesak napas, dan mulai
berpikir bahwa 'Apakah saya menikah terlalu cepat?'

I hate that thought. Karena saya tahu pasti, bahwa saya mencintai
suami saya, dan bahwa saya telah mengambil keputusan untuk menjalani
ini bersamanya. Pertanyaan `what if' adalah pertanyaan mengawang-
awang yang melelahkan, tanpa tujuan, dan sia-sia.

Namun bagaimana menjawab ini pada kepala saya yang haus jawaban?

Bahkan kala suatu proses adaptasi berjalan halus dan mulus, saya
tahu bahwa seharusnya saya bersyukur. Dan ya, tentu saja saya
bersyukur. Namun saat kepala saya yang bawel tiba-tiba menerima saja
semua bentuk kompromi ini dengan lapang dada, giliran diri saya yang
bertanya-tanya akan krisis identitasnya. "Ada apa dengan kamu, No?
Apa ini berarti konsepmu selama ini salah? Dan yang sekarang ini
adalah yang benar? Jadi, yang mana identitas dirimu? Jadi, kamu itu
yang mana?"

Dan saya tidak tahu jawabannya.

Saya ingat pada suatu malam, kala pertanyaan ini kembali mencecar
saya. Saat itu, saya meng-sms Ain. "Ain, I work from home, like I
always wanted to. I have a beautiful husband that loved me and
adored me so much. I live in a house that have a beautiful scenery.
But why is hard for me to breath? Why is so hard to breathe?"

Ain membalasnya dengan satu sms sederhana. Satu sms berisi kalimat
yang dikutipnya dari Eat, Pray, Love-nya Elizabeth Gilbert. "What do
you really really really want, Jo?"

Sadly, I have no answer.

Malam itu hampir pukul 1 pagi. Suami saya sudah terlelap di kamar.
Sementara saya menangis di ruang depan, karena saya tak punya
jawaban untuk membalas sms Ain. Dan seperti banyak hari buruk saya
lainnya, saya pun menelpon Citra. Yang lagi-lagi, seperti biasa,
punya jawaban melegakan.

"Retnadi sayang, you're married at 23. Tentu saja, itu bawa banyak
perubahan. Beberapa perubahan pasti melahirkan banyak pertanyaan
membingungkan seperti ini. Tapi tahu nggak, No? It's OK, untuk tidak
punya jawaban atas segala hal. It's OK, untuk bilang sama kepala dan
dirimu sendiri, atau bahkan semua pertanyaan yang kamu temui,
dengan "Maaf, untuk saat ini, saya tidak punya jawabannya. Tapi saya
akan belajar untuk mencarinya." It's OK, and we still love you. So
take your time, Retnadi. Take your time. Love you," ucap Citra
mengelus hati saya.
***
Pelajaran 6: Dua Aksioma

Dalam ilmu komunikasi, aksioma adalah sesuatu yang tak terbantahkan.
Aksioma komunikasi yang terkenal adalah `we cannot not communicate' .
Karena pun kita menolak komunikasi verbal, akan selalu ada komponen
nonverbal yang mengkomunikasikan pesan kita.

Di umur 24 tahun, saya pun menyusun dua aksioma saya. Pertama, we
can't pleased everyone. Kita tak bisa menyenangkan semua orang. Pun
saya berusaha sekeras mungkin, akan selalu ada masukan, keinginan,
dan harapan yang tak terakomodir. Pun saya berusaha sekeras mungkin,
hasil akhir tetaplah berada di tangan Tuhan. And it's OK, because we
can't pleased everyone. Saya berikhtiar, Tuhanlah yang menentukan.

Aksioma ke dua (thanks to Citra), bahwa saya tak harus punya jawaban
atas segala hal. Selama bertahun-tahun lamanya, kepala saya yang
haus jawaban, tanpa henti bertanya, dan betapa saya berusaha keras
untuk menjawabnya. Berusaha keras menyusun banyak konsep, banyak
definisi, banyak deskripsi, banyak pernyataan, banyak alur logika,
banyak pertimbangan, dan setumpuk penjelasan lain yang saya kira
dapat memuaskan kepala saya. Tak pernah sekalipun terlintas, bahwa
saya boleh menjawab 'I don't know how. I just know', atau 'I don't
know, now. Let's figure it out later.'

Saat pagi hari misalnya. Saat suami saya sudah berangkat ke kantor,
sementara saya yang usai meratakan tanah belakang, beristirahat di
atas karpet. Dengan kaki berselonjor, sarapan nasi putih hangat
berlaukkan beberapa potong gorengan, untuk kemudian minum secangkir
kopi susu. This is it. The moment of happiness. I'm just happy. I
just know.

Atau saat saya tengah kebingungan untuk mengambil suatu keputusan.
Saat itu, saya menangis sejadi-jadinya di atas sajadah, terus-
menerus bertanya pada Tuhan. Please tell me what to do. Please tell
me what to do. Please tell me what to do.
Dan sama seperti di malam tahun baru 2008, mata hati pun kembali
membimbing saya. Dengan tenangnya, dengan lembutnya, dengan
sabarnya.

Ah, betapa melegakan.

Kini, pun banyak pertanyaan kembali berseliweran di kepala saya,
saya tahu, bahwa saya akan selalu bisa mengembalikannya pada Tuhan.
Sama seperti saat dulu saya memutuskan untuk keluar dari hubungan
melelahkan, sama seperti saat saya memutuskan untuk menikah, sama
seperti saat saya memutuskan untuk kembali bekerja kantoran.

Dan sebagai murid baru di ruang kelas bernama pernikahan ini, tentu
akan selalu ada banyak materi yang tak saya pahami. Akan ada
sejumlah kesalahan yang saya lakukan, ataupun suami saya lakukan.
And it's ok. Seperti kutipan lirik lagu Ordinary People John
Legend "We're just ordinary people, we don't which way to go. `Cause
we're ordinary people, maybe we should take it slow."

Pelan-pelan, saya dan suami saya akan belajar bersama di ruang kelas
baru ini. PadaNya, Sang Maha Guru. Semoga pelajaran ini berlangsung
selamanya. Untuk semua hal yang akan datang, attraversiamo* . Amin.
***

*Attraversiamo (Italian phrase): Let's cross it over.

PS: Di akhir tulisan ini, seketika saya terpikir, bahwa dengan
deskripsi kata sifat, mungkin kata 'pernikahan' bisa menjadi suatu
kata yang pas untuk dilekatkan pada diri saya. Dengan suami dan
cinta yang begitu mempesona, saya pun tak bisa menemukan kata sifat
lain, selain: bahagia.

Yes, I'm happily married. I just know.

__________________________________________________________
Nama baru untuk Anda!
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail.
Cepat sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/
9h.

Re: Bls: [sekolah-kehidupan] (ruang keluarga) sebuah ruang kelas ber

Posted by: "Bu CaturCatriks" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Sun Sep 21, 2008 8:53 pm (PDT)

bang fy yg baik,

makasih ya utk komennya.
meski, aku nggak nyaranin tulisan mcm ini dicontoh para jombloers.
karena berpikir dan merasa terlalu banyak itu, bukan hal
menyenangkan.
anyway, bang fy benar.
di luar itu semua, pernikahan ini adl salah satu berkah terindah
buatku.
makasih dah baca, ya, bang fy.

-retno-

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, bujang kumbang
<bujangkumbang@...> wrote:
>
> great!! great!!!
> tulisan yang patut dicontoh kaum jomblois dan jomler di komunitas
Sekolah Kehidupan....
> makanya nikah.....hahahahaha
> biat tau gimana enaknya nikah...
> nggak percaya tanya aja sm Mbak Retno dan Mas Catur pengatin masa
kini...hehehe
> pengatin muda yang berbakat untuk ngompor-ngomporin yang belum
nikah....hahaha
> ayo...ayo...Mpok Nia.pok Novie, Mpok Dyah, Mpok Asma, Mpok Divind,
Mpok Andire kumaha euy....???
> ayo...ayo...Bang Fy, Bang Galih (Aga), Bang Dikdik, Bang Yayan,
Bang Setiawan Abe, Bang R. Widhie....kumaha atuh....???
> Kapan ya giliran kita...hehehehe
> sukses buat yang nulis tulisan ini biar pada menyotoh...hahaha
>
> ila liqo
>
> piss, luv and laugh
>
> tabe
>
> jkk
>
> wassalam
> Fiyan Arjun
> http://sebuahrisalah.multiply.com
> id ym:paman_sam2
> sie Humas SekolahKehidupan
> dan kontributor dan moderator
>
> --- Pada Sen, 22/9/08, Bu CaturCatriks <punya_retno@...> menulis:
> Dari: Bu CaturCatriks <punya_retno@...>
> Topik: [sekolah-kehidupan] (ruang keluarga) sebuah ruang kelas
bernama pernikahan
> Kepada: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
> Tanggal: Senin, 22 September, 2008, 9:15 AM
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> dear all,
>
>
>
> hanya sekedar berbagi banyak pandangan dan pelajaran yg saya dapat
>
> dlm pernikahan.
>
> oya, sebelumnya,
>
> ini adalah salah satu tulisan terpanjang yg pernah saya buat.
>
> sekaligus, salah satu tulisan terjujur, dimana saya benar2 mencoba
>
> menumpahkan banyak pertanyaan dr kepala saya.
>
> mohon maaf kalau membosankan dan membingungkan.
>
>
>
> -retno-
>
> Tidakkah Ibu merasa mengorbankan terlalu banyak hal?
>
> Lagi-lagi sambil tersenyum, Ibu saya menjawab "Semuanya setimpal,
>
> Retno. Ada kakak-kakakmu. Ada kamu. Dan saya bangga dengan kalian,"
>
> Satu jawaban sederhana yang seketika membungkam semua pertanyaan
>
> saya.
>
> ***
>
>
>
> Pelajaran 2: Kriteria Pasangan Ideal
>
>
>
> Subjudul di atas merupakan satu pertanyaan yang akan mendapatkan
>
> jawaban berlembar-lembar banyaknya, dengan sedemikian detilnya,
oleh
>
> banyak orang. Banyak orang yang mampu merinci jawabannya secara
>
> spesifik denganâ€"cantik/ ganteng, tinggi, putih, rambut panjang
(bila
>
> wanita), pintar, religius, mapan, bibit, bebet, bobot, dsb. Banyak
>
> pula orang yang akan menjawab singkat "Yang penting, mau nerima
gua
>
> apa adanya, mengisi kekurangan gua."
>
>
>
> Sejumlah jawaban spesifik, yang mostly, terasa tak pas menjadi
>
> standar kriteria saya akan calon pasangan ideal. Selain karena
>
> tampilan fisik dan hal-hal penunjangnya (saya sering
>
> mengistilahkannya dengan 'kualitas administratif' ) bukan menjadi
>
> prioritas utama saya, psikologis personal justru menjadi
>
> pertimbangan penting buat saya.
>
>
>
> Selama bertahun-tahun lamanya, saya pun mencoba merumuskan standar
>
> kualifikasi psikologis calon pasangan yang saya inginkan. Beberapa
>
> diantaranya adalah: secure pada dirinya sendiri, tulus, open mind,
>
> bersedia untuk diajak berkompromi dalam jangka panjang.
>
>
>
> Dalam salah satu buku yang saya baca, ada kutipan yang menarik
>
> tentang kriteria pasangan. "Gua cuma tahu, kalo sama dia, dalam
hati
>
> gua, terdengar suara tutup botol dengan ulirnya. Klik."
>
>
>
> Ide yang menarik. Namun, ah, bukankah percakapan menyenangkan
selalu
>
> bisa diciptakan? Darimana kita tahu bahwa bunyi 'klik' itu
>
> adalah 'klik' yang sebenarnya? Apa simptomnya?
>
>
>
> Pertanyaan ini menghantui kepala saya selama bertahun-tahun
lamanya,
>
> sampai tahun 2006. Tahun itu, saya bertemu dengan seorang priaâ€"
>
> sekarang mantan, yang tak hanya membunyikan 'klik' di kepala saya,
>
> namun juga lonceng. Saat bersamanya, saya bisa membayangkan kami
tua
>
> bersama. Dimana kami dengan rambut memutih duduk-duduk di karpet
>
> ruang tamu, bergantian membacakan kalimat demi kalimat dalam
cerpen
>
> Seksi karya Jhumpa Lahiri. Yes, I can picture it. Dengan detilnya,
>
> dengan cantiknya, dengan sempurnanya.
>
>
>
> Namun ada kalanya, kita tak selalu memperoleh apa yang kita
>
> harapkan. Pun saya mampu membayangkan setiap detil masa depan
kami,
>
> hubungan itu merupakan suatu hubungan yang tidak ideal.
>
> Ketidakidealan ini melahirkan banyak pertengkaran dan adu
>
> argumentasi melelahkan, yang akhirnya membawa saya pada satu
>
> kesimpulan: bahwa ada kalanya, cinta saja tak cukup. Dengan berat
>
> hati, kami pun memutuskan untuk berpisah di tahun 2007.
>
>
>
> Perpisahan yang sekaligus merampok separuh jiwa saya, untuk
kemudian
>
> menenggelamkannya entah dimana. Saat memunguti remah-remah jiwa
yang
>
> tercecer, ide kriteria "mau menerima diri kita apa adanya, dan mau
>
> mengisi kekurangan kita" pun seketika jadi tampak masuk akal di
>
> kepala saya. Namun seperti halnya skripsi, itu semata-mata
hanyalah
>
> batasan definisi konseptual. Saat kita ingin menerapkannya ke
dalam
>
> kehidupan nyata, apa instrumennya? Apa indikatornya? Apa
>
> operasionalisasi konsepnya? Apa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
>
> teknisnya?
>
>
>
> Saat itulah seorang Catur Sukono datang.
>
>
>
> Saat saya tengah membenahi diri saya dengan remah-remah jiwa yang
>
> tersisa, mencoba merekatkan kembali kepercayaan diri dan konsep
diri
>
> yang babak belur karena hubungan sebelumnya.
>
>
>
> Dan sebagai kejutan, pria ini datang dengan membawa sebuah
proposal
>
> pernikahan.
>
> ***
>
>
>
> Saya selalu berpikir, bahwa suatu hubungan adalah laiknya
investasi.
>
> Dimana setiap orang di dalamnya akan berinvestasi waktu, perasaan,
>
> materi, dan banyak hal lainnya, dengan tujuan memperoleh laba
jangka
>
> panjangâ€"dalam konteks ini, pernikahan, maupun hubungan jangka
>
> panjang yang stabil.
>
>
>
> Karenanya, sebelum memutuskan untuk berinvestasi, calon investor
>
> tentu perlu tahu segala faktor resiko yang akan dijalaninya,
>
> termasuk resiko kerugian. Maka saya pun menjelaskan pada pria ini
>
> tentang diri saya. Bahwa saya baru keluar dari hubungan yang
sangat
>
> melelahkan, dan kembali berada di titik nol pencarian jati diri.
>
> Bahwa untuk membangun kepercayaan diri, saya kerap memantrai diri
>
> saya, dan memasang topeng imej sosok yang manis, lucu,
menyenangkan.
>
> Pikir saya saat itu, kalaupun saya belum bisa bahagia, at least,
>
> saya bisa berpura-pura tampak bahagia. Dan mungkin, dengan begitu,
>
> saya akan sungguh-sungguh bahagia. Seperti saya di masa
sebelumnya.
>
>
>
> Namun topeng itu tidak saya kenakan 24 jam sehari 7 hari seminggu.
>
> Saat terbuka, akan tampak wajah asli saya yang dipenuhi bekas luka
>
> dan buruk rupa. Bahwa menumpang rollercoaster mood saya bisa
sangat
>
> sangat melelahkan. Bahwa saya punya setumpuk ketakutan tentang
>
> pernikahan dan menjadi orangtua, dan bahwa pernikahan kembali
>
> menjadi satu konsep blur yang gagal saya petakan.
>
>
>
> Karenanya, saat proposal itu datang, dan saya mulai membaca lembar
>
> demi lembar isinya, hal pertama yang ingin saya lakukan adalah
lari.
>
> Kabur. Pertama, kami belum cukup mengenal satu sama lain. Yang
>
> membuat kepala saya dengan skeptisnya bertanya memburu "Bagaimana
>
> kalau dia abusif?", "Bagaimana kalau dia seorang skizofrenik atau
>
> manik depresi?", "Bagaimana kalau dia seorang
>
> megalomaniak? ", "Bagaimana kalau dia seorang MPD?", "Bagaimana
>
> kalau dia adalah semua kombinasi di atas?"â€"atau singkatnya, hal-
hal
>
> mendalam yang tak kasat mata dan tak terdeteksi hanya dalam
beberapa
>
> bulan perkenalan.
>
>
>
> Bertahun lalu, saya pasti akan menolak mentah-mentah ide kabur
dari
>
> masalah ini. "Hanya anak kecil yang lari dari masalah. Orang
dewasa
>
> akan bangun dan menghadapinya, " begitu pikir saya dulu.
>
>
>
> Tapi saat itu, saya sedang tak mampu berpikir jernih atas banyak
>
> hal. Kegagalan hubungan sebelumnya, membuat kepercayaan diri saya
>
> jatuh bebas di titik nol. Satu-satunya pria yang saya bisa
>
> membayangkan tua bersama dengannya, ternyata tak mampu
>
> memperjuangkan saya. Apa mungkin, saya memang tak seberharga itu
>
> untuk diperjuangkan, ya?, begitu pikir saya. Ya, saat itu, saya
>
> memang tak lagi percaya akan kemampuan akal sehat saya untuk
>
> mengambil keputusan, dan membuat saya meragukan definisi
konseptual
>
> saya akan banyak hal, seperti tentang kepercayaan, komitmen, dan
>
> cinta.
>
>
>
> Namun saat mata raga mulai tumpul menatap, hadirlah sang mata
hati.
>
> Dimana kompas yang berlaku bukan lagi fakta dan logika, melainkan
>
> feeling dan intuisi. Seperti saran Morrie yang dikutip Mitch Albom
>
> dalam buku Tuesdays with Morrie "Kadang-kadang, kita tak boleh
>
> percaya pada apa yang kita lihat, kita harus percaya pada apa yang
>
> kita rasakan."
>
>
>
> Dengan lembutnya, mata hati pun menjawab setumpuk pertanyaan
skeptis
>
> kepala saya. Bahwa pria sederhana ini adalah sosok yang cukup
stabil
>
> dan nyaman dengan dirinya sendiriâ€"hal yang amat sangat jarang
saya
>
> temui. Faktor yang juga membuatnya menjadi sosok yang cukup kuat
>
> untuk disandari. Bahwa ia berpikiran terbuka, dapat dipercaya,
>
> bertanggung jawab, bisa diajak berkompromi, dan yang terpentingâ€"
>
> mencintai Tuhan dalam setiap sel tubuhnya.
>
>
>
> Karena ijab kabul pernikahan adalah salah satu perjanjian utama
yang
>
> disaksikan langsung oleh Tuhan. Pun tidak merasa religius, namun
>
> saya percaya, bahwa para pecinta Tuhan tak akan berani
mendustaiNya.
>
> Dan ya, saya percaya pada pria ini.
>
> ***
>
> Pelajaran 3: Bimbingan Mata Hati
>
>
>
> Toh, meski demikian, tetap saja kepala saya tak berhenti bertanya.
>
> Seperti rentetan peluru. "Lantas, bagaimana denganmu? Apa kamu
>
> menginginkan pria ini untuk 50 tahun, 60 tahun ke depanâ€"seumur
>
> hidupmu? Apa kamu mencintainya? Bagaimana dengan rasa bosan,
>
> mengingat kamu adalah tipe orang yang mudah bosan? Apa jaminannya
>
> pernikahanmu akan utuh untuk jangka panjang? Dan bagaimana dengan
>
> anak? Dengan kondisimu sekarang, kamu pasti tak bisa menjadi ibu
>
> yang baik, kan? Tidakkah lebih urgent untuk lebih dahulu membenahi
>
> dirimu? Dan bagaimana dengan mimpi-mimpi yang belum kamu capai dan
>
> masih kamu inginkan? Dan bagaimana denganmu?", cecar kepala saya
>
> tanpa ampun.
>
>
>
> Dengan panik, sayapun berteriak "Stop! Stop! Stop! Saya mohon,
>
> berhentilah bertanya, karena kamu tidak membantu!"
>
> Disinilah lagi-lagi, mata hati merengkuh saya. Dengan lembut ia
>
> menggandeng saya ke tempat wudhu, membasuh semua pekat dan ruwet
>
> pertanyaan kepala saya. Dengan lembut, ia berbisik agar saya minta
>
> petunjuk dariNya. "Jika bimbang meraja, maka bertanyalah pada
>
> Penciptamu. Adukan padaNya, minta petunjukNya, mohonkan
>
> pertolonganNya, " begitu bisiknya.
>
>
>
> Malam itu adalah malam tahun baru 2008, saat untuk pertama kalinya
>
> saya shalat istikharah dengan niatan bertanya pada Tuhan untuk
>
> urusan jodoh dan pernikahan. Dari beberapa buku dan pendapat yang
>
> saya kumpulkan, sejumlah orang konon, mendapatkan petunjuk dan
>
> hidayah melalui mimpi. Tidak demikian halnya dengan saya.
>
> Kala itu, hampir dini hari. Seorang teman saya yang tengah
menginap
>
> sedang terlelap di dalam kamar. Sementara saya yang tak bisa tidur
>
> usai shalat istikharah, memilih untuk duduk di ruang keluarga.
Hanya
>
> duduk saja, tanpa menonton televisi. Di luar, hanya sesekali saja
>
> terdengar lengkingan terompet dan suara orang yang sesekali
>
> melintas.
>
>
>
> Sebuah keheningan yang mendamaikan.
>
> Dan seperti dalam banyak keheningan saya lainnya, sebuah suara pun
>
> tiba-tiba hadir mengetuk kepala saya.
>
>
>
> "Ya, saya ingin melakukannya, " ujar suara itu. Bening dan jelas.
>
> Saya mengernyitkan dahi. Ini bukan suara sang kepala. Karena sang
>
> kepala selalu berbicara tegas dan cepat, dengan intonasi datar dan
>
> nada dingin tanpa emosi. Dan juga bukan suara sang hati, yang
hampir
>
> selalu terdengar pilu dan merintih, atau tercekat. Saya tidak
kenal
>
> suara ini, pikir saya.
>
>
>
> "Kamukah itu, mata hati? Kenapa menggunakan kata 'saya', dan
>
> bukannya 'kamu' seperti yang biasa kamu lakukan saat membimbing
>
> saya?," tanya saya.
>
>
>
> Sambil tersenyum sejuk, mata hati pun menjawab "Karena memang
bukan
>
> saya yang mengatakannya, Retnadi sayang. Dirimu sendirilah yang
>
> mengatakannya. Itu adalah suaramu."
>
>
>
> Selama beberapa waktu sayapun menunggu cecaran pertanyaan dari
>
> kepala. Namun tak terjadi sesuatu. Lima belas menit. Setengah jam.
>
> Satu jam. Kepala saya tetap tak bergeming.
>
>
>
> Pelan-pelan, bibir saya pun berucap syukur "Alhamdulillah, terima
>
> kasih Tuhan. Dan ya, saya ingin melakukannya. Saya ingin
>
> melakukannya. Saya ingin melakukannya. "
>
> ***
>
>
>
> Proses pun dimulai.
>
>
>
> Diawali dengan tahap perkenalan pria ini pada ke dua orangtua
saya,
>
> yang dilanjutkan dengan proses lamaran. Sepanjang proses
>
> berlangsung, saya pun mengutarakan keinginan saya pada pria ini
akan
>
> ketiadaan resepsi dan seserahan saat lamaran.
>
>
>
> Dan betapa pria ini tercengang-cengang mendengarnyaâ€" terlebih
saat
>
> kami tahu, bahwa kami akan menikah di masjid yang sama dengan
salah
>
> satu abang saya, dimana abang saya dan mempelai wanitanya kemudian
>
> akan menyelenggarakan resepsi pernikahan di gedung samping masjid.
>
>
>
> "Tapi itu, kan, hak kamu. Kamu juga berhak untuk dirayakan,
apalagi
>
> kamu anak perempuan bungsu, satu-satunya pula," ujar pria ini.
>
>
>
> Butuh diskusi cukup panjang bagi saya untuk meyakinkan pria ini,
>
> bahwa bagi saya, perayaan memang sungguh-sungguh bukanlah hal
>
> penting. Saya tak menginginkannya. Saya tak membutuhkannya. Bahwa
>
> bagi saya, yang utama adalah ijab kabul. Sisanya adalah asesoris
>
> pendukung belaka. Bahwa bagi saya, hidup tak berhenti seusai
>
> resepsi. Bahwa masih ada banyak hal yang harus
dipikirkanâ€"cicilan
>
> rumah, kontrol kehamilan, biaya persalinan, pendidikan anak,
>
> kesehatan anak, simpanan untuk pernikahan anak, dsb.
>
>
>
> "Atau begini, anggap saja semua orang punya daftar prioritas
>
> pribadi. Banyak perempuan memprioritaskan resepsi dan turut adat
>
> sebagai sesuatu yang utama. Dan itu bukan hal yang salah, tentu
>
> saja. Dengan segala hormat, saya sangat menghargai prioritas
mereka.
>
> Namun, saya juga punya prioritas saya sendiri, yang kebetulan
>
> berbeda dengan mereka. How's that?," jelas saya panjang lebar.
>
>
>
> "Dan bagaimana dengan orangtuamu?" tanya pria ini.
>
>
>
> Alhamdulillah, saya dikaruniai orangtua Sjamsuddin Shiddieg dan
>
> Sangi Siti Rahayu yang luar biasa. Dengan pikiran terbuka dan
lapang
>
> dada, mereka pun meluluskan keinginan saya. Pada hari Kamis, 1 Mei
>
> 2008, saya dan pria inipun resmi terdaftar sebagai murid suatu
ruang
>
> kelas bernama Pernikahan.
>
>
>
> Bismillahirohmanirr ahim.
>
> ***
>
>
>
> Pelajaran 4: Berdiskusi bersama Kepala dan Hati
>
>
>
> Sebagai murid baru, tentu banyak aturan baru yang harus saya
>
> adaptasi. Mulai dari tampilan pakaian, jam pulang, izin untuk
>
> keluar, cara bicara, cara tertawa, larangan keluar malam, dsb.
Yangâ€"
>
> di luar dugaan kepala saya yang skeptisâ€"ternyata saya nyaman-
nyaman
>
> saja menjalankannya.
>
>
>
> Tentu saja, saya selalu punya banyak
pertanyaan. "Kenapa?", "Kenapa
>
> nggak boleh?", "Kenapa jangan?". Dan saat suami saya menjawab
>
> dengan "Nggak papa, nggak boleh aja," maka saya akan mengejar
>
> dengan "That's not an answer. Come on, try me."
>
>
>
> Ya, ada kalanya saya bisa sangat melelahkan. Beberapa orang
mungkin
>
> berpikir bahwa banyak bertanya adalah sinyal kekritisan. Namun
bagi
>
> saya, banyak bertanya berarti sinyal butuhnya persediaan berton-
ton
>
> kesabaran. Bayangkan menerima pertanyaan 'Kenapa' dan 'Itu bukan
>
> jawaban. Ayo, cari lagi jawabannya yang logis,' selama hampir 7
kali
>
> sehari dan tidak meledak karenanya. Suami saya mestinya dapat
>
> lencana karenanya. Karena dengan sabarnya, ia akan menjelaskan
>
> alasannya, baik dari sisi agama, logika, maupun keinginan
>
> personalnya.
>
>
>
> Dengan tangan terbuka, suami saya bahkan mengundang dua tetangga
>
> saya untuk bertamu. Mereka adalah kepala saya yang kerap haus akan
>
> pemenuhan self fulfilling prophecy, dan hati saya yang kerap
kelewat
>
> sensitif pada banyak emosi. Dengan ramahnya, suami saya menyilakan
>
> mereka untuk masuk, duduk bersama di ruang tamu kami. Dan
>
> berdiskusi.
>
>
>
> Ini adalah hal baru bagi sayaâ€"yang selama bertahun-tahun lamanya
>
> selalu gagal mengajak hati dan kepala untuk sekedar bertukar sapa
>
> dengan ramah. Seorang mantan pasangan dulu pernah
berkomentar "Gee,
>
> Retno, kamu harus mulai belajar caranya mengajak hati dan kepalamu
>
> untuk berdiskusi." Yang saat itu dijawab dengan sinisnya oleh saya
>
> dengan "Yeah, right. Like I know how."
>
>
>
> Dan kini, betapa saya sungguh tercengang-cengang kala mendapati
>
> kepala dan hati sungguh-sungguh mendengarkan ucapan suami saya.
>
> Mereka tidak sedikitpun memotong ataupun menyela perkataan suami
>
> saya. Mereka juga tak sekalipun berbisik-bisik pada saya, tentang
>
> ketidaksetujuan mereka. Mereka sungguh-sungguh duduk diam, dan
>
> mendengarkan.
>
>
>
> Usai penjelasan suami saya, barulah dengan tertib satu persatu
dari
>
> mereka mengutarakan argumennya. Lagi-lagi ini adalah hal baru buat
>
> saya. Karena semua argumentasi itu terbungkus dalam balutan kata
>
> yang tertutur rapi, logis, jelas, dan santun. Tidak ada adu
>
> argumentasi diwarnai drama air mata dan kurasan emosi melelahkan.
>
> Tak heran, bila kemudian proses kompromi pun tercapai dengan
>
> anggukan sepakat dan kepuasan dari semua tamu kami. It's a win-win
>
> solution.
>
>
>
> Begitulah proses adaptasi saya di ruang kelas baru ini.
>
> ***
>
>
>
> Pelajaran 5: Belajar Bernafas
>
>
>
> Pun hati dan kepala saya sudah mulai belajar duduk bersama dalam
>
> satu kursi, tetap saja ada saat-saat dimana kepala saya lagi-lagi
>
> akan kelewat banyak bertanya dan mencerca, sementara hati saya
lagi-
>
> lagi akan kelewat banyak merasa.
>
>
>
> Ya, ini melelahkan. Sangat.
>
>
>
> Saat saya sempat memutuskan untuk berhenti bekerja kantoran dan
>
> tinggal di rumah saya, menjadi kontributor untuk sebuah majalah,
>
> misalnya. Ada banyak momen dimana kepala saya tanpa henti
bertanya.
>
>
>
> Bolehkah saya merasa bosan di rumah? Bolehkah saya mencoba
>
> mengatasinya dengan berjalan-jalan ke rumah abang atau orangtua
saya
>
> sendirian? Saat saya belum selesai mencuci baju karena terlalu
fokus
>
> menulis, apakah saya bersalah sebagai seorang istri? Saat saya
lupa
>
> menanak nasi sarapan dan nasi semalam ternyata sudah
basiâ€"sehingga
>
> kami yang lapar terpaksa menunggu selama 45 menitâ€"apakah saya
>
> menjadi istri yang buruk, karenanya? Saat saya menghabiskan 3,5
jam
>
> di warnet dan pulang saat makan siangâ€"pun suami saya saat itu
makan
>
> siang di kantorâ€"apakah saya adalah seorang istri yang egois?
Apakah
>
> itu membuat saya menjadi sosok istri yang tak bertanggung jawab
>
> karenanya?
>
>
>
> Logically, kepala saya tentu tahu jawabannyaâ€"yang juga telah
saya
>
> confirm dengan suami saya. Bahwa tentu saja, tidak, Retnadi. It's
>
> OK. Shit happens. Semua orang bisa melakukan kesalahan. Dan itu
tak
>
> lantas menggeneralisirmu menjadi istri yang buruk. "And yes,
>
> sweetie, I love you that much," ujar suami saya.
>
>
>
> Jika memang demikian, lantas kenapa saya masih belum merasa lega?
>
> Kenapa saya terus-menerus merasa bersalah, sesak napas, dan mulai
>
> berpikir bahwa 'Apakah saya menikah terlalu cepat?'
>
>
>
> I hate that thought. Karena saya tahu pasti, bahwa saya mencintai
>
> suami saya, dan bahwa saya telah mengambil keputusan untuk
menjalani
>
> ini bersamanya. Pertanyaan `what if' adalah pertanyaan mengawang-
>
> awang yang melelahkan, tanpa tujuan, dan sia-sia.
>
>
>
> Namun bagaimana menjawab ini pada kepala saya yang haus jawaban?
>
>
>
> Bahkan kala suatu proses adaptasi berjalan halus dan mulus, saya
>
> tahu bahwa seharusnya saya bersyukur. Dan ya, tentu saja saya
>
> bersyukur. Namun saat kepala saya yang bawel tiba-tiba menerima
saja
>
> semua bentuk kompromi ini dengan lapang dada, giliran diri saya
yang
>
> bertanya-tanya akan krisis identitasnya. "Ada apa dengan kamu, No?
>
> Apa ini berarti konsepmu selama ini salah? Dan yang sekarang ini
>
> adalah yang benar? Jadi, yang mana identitas dirimu? Jadi, kamu
itu
>
> yang mana?"
>
>
>
> Dan saya tidak tahu jawabannya.
>
>
>
> Saya ingat pada suatu malam, kala pertanyaan ini kembali mencecar
>
> saya. Saat itu, saya meng-sms Ain. "Ain, I work from home, like I
>
> always wanted to. I have a beautiful husband that loved me and
>
> adored me so much. I live in a house that have a beautiful
scenery.
>
> But why is hard for me to breath? Why is so hard to breathe?"
>
>
>
> Ain membalasnya dengan satu sms sederhana. Satu sms berisi kalimat
>
> yang dikutipnya dari Eat, Pray, Love-nya Elizabeth Gilbert. "What
do
>
> you really really really want, Jo?"
>
>
>
> Sadly, I have no answer.
>
>
>
> Malam itu hampir pukul 1 pagi. Suami saya sudah terlelap di kamar.
>
> Sementara saya menangis di ruang depan, karena saya tak punya
>
> jawaban untuk membalas sms Ain. Dan seperti banyak hari buruk saya
>
> lainnya, saya pun menelpon Citra. Yang lagi-lagi, seperti biasa,
>
> punya jawaban melegakan.
>
>
>
> "Retnadi sayang, you're married at 23. Tentu saja, itu bawa banyak
>
> perubahan. Beberapa perubahan pasti melahirkan banyak pertanyaan
>
> membingungkan seperti ini. Tapi tahu nggak, No? It's OK, untuk
tidak
>
> punya jawaban atas segala hal. It's OK, untuk bilang sama kepala
dan
>
> dirimu sendiri, atau bahkan semua pertanyaan yang kamu temui,
>
> dengan "Maaf, untuk saat ini, saya tidak punya jawabannya. Tapi
saya
>
> akan belajar untuk mencarinya." It's OK, and we still love you. So
>
> take your time, Retnadi. Take your time. Love you," ucap Citra
>
> mengelus hati saya.
>
> ***
>
> Pelajaran 6: Dua Aksioma
>
>
>
> Dalam ilmu komunikasi, aksioma adalah sesuatu yang tak
terbantahkan.
>
> Aksioma komunikasi yang terkenal adalah `we cannot not
communicate' .
>
> Karena pun kita menolak komunikasi verbal, akan selalu ada
komponen
>
> nonverbal yang mengkomunikasikan pesan kita.
>
>
>
> Di umur 24 tahun, saya pun menyusun dua aksioma saya. Pertama, we
>
> can't pleased everyone. Kita tak bisa menyenangkan semua orang.
Pun
>
> saya berusaha sekeras mungkin, akan selalu ada masukan, keinginan,
>
> dan harapan yang tak terakomodir. Pun saya berusaha sekeras
mungkin,
>
> hasil akhir tetaplah berada di tangan Tuhan. And it's OK, because
we
>
> can't pleased everyone. Saya berikhtiar, Tuhanlah yang menentukan.
>
>
>
> Aksioma ke dua (thanks to Citra), bahwa saya tak harus punya
jawaban
>
> atas segala hal. Selama bertahun-tahun lamanya, kepala saya yang
>
> haus jawaban, tanpa henti bertanya, dan betapa saya berusaha keras
>
> untuk menjawabnya. Berusaha keras menyusun banyak konsep, banyak
>
> definisi, banyak deskripsi, banyak pernyataan, banyak alur logika,
>
> banyak pertimbangan, dan setumpuk penjelasan lain yang saya kira
>
> dapat memuaskan kepala saya. Tak pernah sekalipun terlintas, bahwa
>
> saya boleh menjawab 'I don't know how. I just know', atau 'I don't
>
> know, now. Let's figure it out later.'
>
>
>
> Saat pagi hari misalnya. Saat suami saya sudah berangkat ke
kantor,
>
> sementara saya yang usai meratakan tanah belakang, beristirahat di
>
> atas karpet. Dengan kaki berselonjor, sarapan nasi putih hangat
>
> berlaukkan beberapa potong gorengan, untuk kemudian minum
secangkir
>
> kopi susu. This is it. The moment of happiness. I'm just happy. I
>
> just know.
>
>
>
> Atau saat saya tengah kebingungan untuk mengambil suatu keputusan.
>
> Saat itu, saya menangis sejadi-jadinya di atas sajadah, terus-
>
> menerus bertanya pada Tuhan. Please tell me what to do. Please
tell
>
> me what to do. Please tell me what to do.
>
> Dan sama seperti di malam tahun baru 2008, mata hati pun kembali
>
> membimbing saya. Dengan tenangnya, dengan lembutnya, dengan
>
> sabarnya.
>
>
>
> Ah, betapa melegakan.
>
>
>
> Kini, pun banyak pertanyaan kembali berseliweran di kepala saya,
>
> saya tahu, bahwa saya akan selalu bisa mengembalikannya pada
Tuhan.
>
> Sama seperti saat dulu saya memutuskan untuk keluar dari hubungan
>
> melelahkan, sama seperti saat saya memutuskan untuk menikah, sama
>
> seperti saat saya memutuskan untuk kembali bekerja kantoran.
>
>
>
> Dan sebagai murid baru di ruang kelas bernama pernikahan ini,
tentu
>
> akan selalu ada banyak materi yang tak saya pahami. Akan ada
>
> sejumlah kesalahan yang saya lakukan, ataupun suami saya lakukan.
>
> And it's ok. Seperti kutipan lirik lagu Ordinary People John
>
> Legend "We're just ordinary people, we don't which way to go.
`Cause
>
> we're ordinary people, maybe we should take it slow."
>
>
>
> Pelan-pelan, saya dan suami saya akan belajar bersama di ruang
kelas
>
> baru ini. PadaNya, Sang Maha Guru. Semoga pelajaran ini
berlangsung
>
> selamanya. Untuk semua hal yang akan datang, attraversiamo* . Amin.
>
> ***
>
>
>
> *Attraversiamo (Italian phrase): Let's cross it over.
>
>
>
> PS: Di akhir tulisan ini, seketika saya terpikir, bahwa dengan
>
> deskripsi kata sifat, mungkin kata 'pernikahan' bisa menjadi suatu
>
> kata yang pas untuk dilekatkan pada diri saya. Dengan suami dan
>
> cinta yang begitu mempesona, saya pun tak bisa menemukan kata
sifat
>
> lain, selain: bahagia.
>
>
>
> Yes, I'm happily married. I just know.
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
__________________________________________________________
______
> Yahoo! Toolbar kini dilengkapi dengan Search Assist. Download
sekarang juga.
> http://id.toolbar.yahoo.com/
>

9i.

Re: Bls: [sekolah-kehidupan] (ruang keluarga) sebuah ruang kelas ber

Posted by: "Bu CaturCatriks" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Sun Sep 21, 2008 9:01 pm (PDT)

mbak lily yg baik dan selalu ceria,

terima kasih utk komennya.
jujur, awalnya saya sempat ragu utk memposting tulisan ini.
karena saya kira, saya berpikir terlalu banyak.

jadi, sungguh lega membaca komen dr mbak.
dan ya, semoga Tuhan selalu memberkahi jalan kita.
amin.

ps: thanks for reading! have a great day!

-retno-

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Lily Ceria <lilyceria@...>
wrote:
>
>
>
> terimakasih atas postingannya. sangat menyentuh dan realistis!!
> semoga Allah sellau memberkahi semua langkah kita. Amiiin
>
> Salam
> Lily Liandiana
>
>
>
>
> ----- Pesan Asli ----
> Dari: Bu CaturCatriks <punya_retno@...>
> Kepada: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
> Terkirim: Senin, 22 September, 2008 09:15:59
> Topik: [sekolah-kehidupan] (ruang keluarga) sebuah ruang kelas
bernama pernikahan
>
>
> dear all,
>
> hanya sekedar berbagi banyak pandangan dan pelajaran yg saya dapat
> dlm pernikahan.
> oya, sebelumnya,
> ini adalah salah satu tulisan terpanjang yg pernah saya buat.
> sekaligus, salah satu tulisan terjujur, dimana saya benar2 mencoba
> menumpahkan banyak pertanyaan dr kepala saya.
> mohon maaf kalau membosankan dan membingungkan.
>
> -retno-
>
> Sebuah Ruang Kelas Bernama Pernikahan
> Oleh Retnadi Nur'aini
>
> Marriage (noun): legal union of a man and woman as husband and
wife.
> Marriageable (adjective): old enough or suitable for marriage
> Marry (verb): take somebody as a husband or wife; join as husband
> and wife; find suitable partner for
> Married (adjective): having a husband or wife
> (Oxford Pocket Dictionary)
>
> Di umur 23 tahun, kata "pernikahan" adalah kata yang terasa tak
pas
> untuk dilekatkan pada diri saya. Tidak sebagai kata benda. Tidak
> sebagai kata sifat. Tidak juga sebagai kata kerja.
>
> Mungkin karena saat itu saya pikir umur saya masih kelewat muda.
> Mungkin karena saya tengah senang-senangnya bekerja, diselingi
> bermain dan berkumpul bersama teman-teman saya. Mungkin karena
saat
> ituâ€"seperti dalam kumpulan esai karya Ayu Utami yang berjudul
> Parasit Lajangâ€"konsep membentuk keluarga tampak begitu tak
efisien
> bagi lajang seperti saya yang masih menumpang di rumah orangtua.
>
> Mungkin karena saya pikir saya masih kelewat egois dalam banyak
hal
> yang saya inginkan. Mungkin juga karena saya tak pernah
mencantumkan
> kata ini dalam daftar target, resolusi, harapan, ataupun mimpi
yang
> ingin saya capai tahun ini, sehingga saya juga sama sekali tak
> pernah memacuâ€"ataupun memaksa diri saya sendiri untuk mencoba
> mengenakan kata ini dalam diri saya. Atau mungkin karena saya
> kelewat nyaman saja dengan keadaan saat itu, dan punya banyak
> keengganan dan kecemasan akan suatu perubahan.
>
> Apapun ituâ€"it just didn't fit.
> ***
>
> Pelajaran 1: Merumuskan Definisi Konseptual
>
> Di umur 23 tahun, konsep pernikahan juga sekaligus merupakan
sebuah
> konsep raksasa yang sulit saya rumuskan. Selain karena
keterbatasan
> pemahaman, saya juga belum tahu apa yang sungguh-sungguh saya
> inginkan dalam suatu pernikahan.
>
> Maka untuk mulai merumuskannya, saya pun mencoba premis yang
> berkebalikan. Yaitu dengan mendaftar apa yang sungguh-sungguh
tidak
> saya inginkan dalam suatu pernikahan. Berbekalkan sedikit
pengalaman
> hubungan interpersonal bersama beberapa pria, disambi mengamati
> sejumlah kehidupan pernikahan di sekitar saya, pelan-pelan,
sayapun
> mulai menabung rumusan konsep pernikahan. Beberapa diantaranya:
Saya
> tak menginginkan pernikahan yang di dalamnya ada pembagian tugas
> domestik berdasarkan jender dan nilai-nilai patriarki. Saya tak
> menginginkan pernikahan dimana setiap orang di dalamnya punya ego
> dan ambisi sedemikian besarnya untuk satu kepuasan memenangkan adu
> argumentasi, dan mengesampingkan konsep diskusi dan kompromi. Saya
> tak menginginkan pernikahan dimana setiap orang di dalamnya tidak
> tahu caranya menggunakan intonasi. Saya tak menginginkan
pernikahan,
> yang di dalamnya orang mandeg berjalan dalam proses pencarian jati
> diri.
>
> Jujur, mulanya, tabungan konsep di atas memang merupakan gabungan
> dari daftar "cacat" atas sejumlah kehidupan pernikahan yang saya
> amati, sekaligus daftar "dosa" para mantan pasangan saya. Dimana
> dalam setiap akhir hubungan, dengan dinginnya, saya akan
menyerahkan
> daftar panjang ini sebagai alasan kenapa kami tak lagi bisa
berjalan
> bersama.
>
> Tidak adil, memang. Dan tentu saja, daftar itu tak serta merta
> menamatkan riwayat hubungan kami. Ada banyak pertanyaan "Kenapa?",
> yang diteruskan dengan "Kenapa sekarang?".
>
> Namun seiring dengan waktu yang membalut semua luka, ia juga
> sekaligus menegur ego saya yang pongah dan kekanakan. Bahwa
seperti
> seorang murid yang gagal ujian, setiap mantan pasangan berhak
tahu,
> kenapa nilainya bisa burukâ€"di kala ia pikir ia sudah belajar
sama
> kerasnya dengan murid lainnya. "Oke, kamu mungkin sekarang sudah
> pindah kelas dan tak lagi bisa belajar bersama dengannya, but at
> least, let him learn. Biarkan ia mendapat pelajaran yang telah
> menjadi haknya," tegur waktu.
>
> Jadi, alih-alih menggunakan daftar ini sebagai self defense
> mechanism, saya mencoba mengganti judulnya dengan "Daftar Harapan
> untuk Calon Pasanganmu Berikutnya," sebelum diserahkan pada mantan
> pasangan saya. Dan untuk saya sendiri "Daftar Harapan atas Dirimu
> Sendiri."
>
> Dari sana, kami belajar bahwa pelajaran kami sekarang memang sudah
> berbeda bentuknya, dan saya tak bisa belajar bersama seorang
> pasangan yang tinggal kelas. Ia harus lebih dulu menuntaskan
tahapan
> pelajarannya, untuk kemudian bisa memahami tahap pelajaran
> selanjutnya. Di sisi lain, saya juga tak bisa mengajarinya,
ataupun
> mengatrol nilainya. Saya tak berhak, tak berwenang, dan juga tak
> mampu untuk melakukannya. Di atas semuanya, bukan itu
> konsep "belajar bersama dalam suatu hubungan interpersonal" di
> kepala saya. Dengan lapang dada, kami pun belajar tentang konsep
> memaafkan dan merelakan. Kami juga belajar tentang konsep
kenangan,
> masa lalu, dan bergerak maju. Move on.
> ***
>
> Saya dibesarkan dalam keluarga dengan ke dua orangtua pekerja.
> Dimana ayah saya adalah seorang workholic dan ibu saya adalah
> seorang guru SD yang sangat berdedikasi pada murid-muridnya. Namun
> saat saya menginjak bangku SMU, ibu saya memutuskan untuk pensiun
> dini, demi mengurus keluarga.
>
> Dan ya, ibu saya sungguh-sungguh berkomitmen pada keputusannya.
> Beliau sungguh-sungguh membaktikan dirinya untuk keluarga. Setiap
> hari, beliau akan bangun pukul 2 pagi untuk shalat tahajud, tidak
> tidur sampai subuh, dan menyiapkan sarapan lengkapâ€"berupa nasi
dan
> lauk pauknya, bukan sekedar roti tawar beroles selai atau
margarinâ€"
> dan bergelas-gelas minuman hangat. Setiap hari, 3 kali sehari,
> beliau akan mengganti minuman untuk Bapakâ€"pagi hari ada kopi
susu,
> air jeruk, dan air putih. Siang hari, ada es sirup dan air putih.
> Sore hari ada teh manis dan air putih.
>
> Tak pernah sekalipun Ibu alpa menyiapkan bekal makan siang kami
> semua.. Dan sampai kini, masing-masing dari kami menyimpan satu
> taplak meja khusus buatan Ibu yang bersulamkan nama setiap kami di
> atasnya.
>
> Ibu nyaris tak pernah berjalan-jalan. Ataupun, menonton televisi.
> Bahkan saat beliau sedang sendirian di rumah. Ketimbang jalan-
jalan,
> beliau lebih memilih untuk mengaji, membaca buku, menulis diary,
> atau tidur. Dan beliau hanya menonton televisi, saat kami datang
dan
> menyetel televisi. Itupun lebih karena beliau ingin menemani kami.
>
> Kesenangan termewah ibu saya adalah makanan. Dimana beliau bisa
> membeli semangkuk bakso, atau sepiring nasi padang, untuk dirinya
> sendiriâ€"dan bukannya disajikan di atas meja makan sebagai lauk
bagi
> kami semua.
>
> Tumbuh dengan menyaksikan ini, satu ide lagi muncul di kepala
saya.
> Bahwa saya tak menginginkan pernikahan, dimana ada orang yang
> menjadi martir di dalamnya. Tapi, hey, benarkah ibu saya menjadi
> martir dalam pernikahan ini?
>
> She seems quite happy.
>
> Sayapun bertanya padanya. Apakah beliau bahagia?
>
> Yang dijawab beliau dengan senyum tulus. "Tentu saja, saya
bahagia.
> Memang ada masa-masa sulit, Retno. Dan lebih sulit lagi, karena
dulu
> saya menjalani itu sendirian. Tidak ada Bapak (saat itu Bapak
sedang
> kuliah di luar negeri), dan tidak ada keluarga saya. Namun saya
> bilang ke diri saya 'Harus bisa, harus bisa',"
>
> Seketika kepala saya kembali menelurkan sekeranjang pertanyaan. Is
> it cultural? (Karena dulu ide feminisme belum terpublikasikan
merata
> di Indonesia), is it psychological? (Karena ibu saya dibesarkan
> dalam keluarga yang mengajarkannya untuk nrimo dengan keadaan,
plus
> itu keluarga Jawa), is it genetic? (Karena uti sayaâ€"ibu dari ibu
> sayaâ€"juga punya karakter yang sama), is it astrological? (Karena
ibu
> saya berzodiak Sagitarius), is it educational? (Karena ibu saya
> hanya mengenyam pendidikan D3, dan saya sedikit di atas
beliauâ€"S1),
> is it hormonal? Dietary? Philosopical? Religion? Educational?
> Environmental? What is the root of her character? Kenapa beliau
> tampak tidak keberatan? Kenapa beliau tampak ikhlas menjalaninya?
>
> Kenapa beliau bisa dengan tulusnya bilang 'I'm happy, Retno.' Dan
di
> atas semuanya, kenapa saya pikir, saya tidak bisa menjalani itu
> semua?
>
> Tidakkah Ibu merasa mengorbankan terlalu banyak hal?
> Lagi-lagi sambil tersenyum, Ibu saya menjawab "Semuanya setimpal,
> Retno. Ada kakak-kakakmu. Ada kamu. Dan saya bangga dengan kalian,"
> Satu jawaban sederhana yang seketika membungkam semua pertanyaan
> saya.
> ***
>
> Pelajaran 2: Kriteria Pasangan Ideal
>
> Subjudul di atas merupakan satu pertanyaan yang akan mendapatkan
> jawaban berlembar-lembar banyaknya, dengan sedemikian detilnya,
oleh
> banyak orang. Banyak orang yang mampu merinci jawabannya secara
> spesifik denganâ€"cantik/ ganteng, tinggi, putih, rambut panjang
(bila
> wanita), pintar, religius, mapan, bibit, bebet, bobot, dsb. Banyak
> pula orang yang akan menjawab singkat "Yang penting, mau nerima
gua
> apa adanya, mengisi kekurangan gua."
>
> Sejumlah jawaban spesifik, yang mostly, terasa tak pas menjadi
> standar kriteria saya akan calon pasangan ideal. Selain karena
> tampilan fisik dan hal-hal penunjangnya (saya sering
> mengistilahkannya dengan 'kualitas administratif' ) bukan menjadi
> prioritas utama saya, psikologis personal justru menjadi
> pertimbangan penting buat saya.
>
> Selama bertahun-tahun lamanya, saya pun mencoba merumuskan standar
> kualifikasi psikologis calon pasangan yang saya inginkan. Beberapa
> diantaranya adalah: secure pada dirinya sendiri, tulus, open mind,
> bersedia untuk diajak berkompromi dalam jangka panjang.
>
> Dalam salah satu buku yang saya baca, ada kutipan yang menarik
> tentang kriteria pasangan. "Gua cuma tahu, kalo sama dia, dalam
hati
> gua, terdengar suara tutup botol dengan ulirnya. Klik."
>
> Ide yang menarik. Namun, ah, bukankah percakapan menyenangkan
selalu
> bisa diciptakan? Darimana kita tahu bahwa bunyi 'klik' itu
> adalah 'klik' yang sebenarnya? Apa simptomnya?
>
> Pertanyaan ini menghantui kepala saya selama bertahun-tahun
lamanya,
> sampai tahun 2006. Tahun itu, saya bertemu dengan seorang priaâ€"
> sekarang mantan, yang tak hanya membunyikan 'klik' di kepala saya,
> namun juga lonceng. Saat bersamanya, saya bisa membayangkan kami
tua
> bersama. Dimana kami dengan rambut memutih duduk-duduk di karpet
> ruang tamu, bergantian membacakan kalimat demi kalimat dalam
cerpen
> Seksi karya Jhumpa Lahiri. Yes, I can picture it. Dengan detilnya,
> dengan cantiknya, dengan sempurnanya.
>
> Namun ada kalanya, kita tak selalu memperoleh apa yang kita
> harapkan. Pun saya mampu membayangkan setiap detil masa depan
kami,
> hubungan itu merupakan suatu hubungan yang tidak ideal.
> Ketidakidealan ini melahirkan banyak pertengkaran dan adu
> argumentasi melelahkan, yang akhirnya membawa saya pada satu
> kesimpulan: bahwa ada kalanya, cinta saja tak cukup. Dengan berat
> hati, kami pun memutuskan untuk berpisah di tahun 2007.
>
> Perpisahan yang sekaligus merampok separuh jiwa saya, untuk
kemudian
> menenggelamkannya entah dimana. Saat memunguti remah-remah jiwa
yang
> tercecer, ide kriteria "mau menerima diri kita apa adanya, dan mau
> mengisi kekurangan kita" pun seketika jadi tampak masuk akal di
> kepala saya. Namun seperti halnya skripsi, itu semata-mata
hanyalah
> batasan definisi konseptual. Saat kita ingin menerapkannya ke
dalam
> kehidupan nyata, apa instrumennya? Apa indikatornya? Apa
> operasionalisasi konsepnya? Apa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
> teknisnya?
>
> Saat itulah seorang Catur Sukono datang.
>
> Saat saya tengah membenahi diri saya dengan remah-remah jiwa yang
> tersisa, mencoba merekatkan kembali kepercayaan diri dan konsep
diri
> yang babak belur karena hubungan sebelumnya.
>
> Dan sebagai kejutan, pria ini datang dengan membawa sebuah
proposal
> pernikahan.
> ***
>
> Saya selalu berpikir, bahwa suatu hubungan adalah laiknya
investasi.
> Dimana setiap orang di dalamnya akan berinvestasi waktu, perasaan,
> materi, dan banyak hal lainnya, dengan tujuan memperoleh laba
jangka
> panjangâ€"dalam konteks ini, pernikahan, maupun hubungan jangka
> panjang yang stabil.
>
> Karenanya, sebelum memutuskan untuk berinvestasi, calon investor
> tentu perlu tahu segala faktor resiko yang akan dijalaninya,
> termasuk resiko kerugian. Maka saya pun menjelaskan pada pria ini
> tentang diri saya. Bahwa saya baru keluar dari hubungan yang
sangat
> melelahkan, dan kembali berada di titik nol pencarian jati diri..
> Bahwa untuk membangun kepercayaan diri, saya kerap memantrai diri
> saya, dan memasang topeng imej sosok yang manis, lucu,
menyenangkan.
> Pikir saya saat itu, kalaupun saya belum bisa bahagia, at least,
> saya bisa berpura-pura tampak bahagia. Dan mungkin, dengan begitu,
> saya akan sungguh-sungguh bahagia. Seperti saya di masa
sebelumnya.
>
> Namun topeng itu tidak saya kenakan 24 jam sehari 7 hari seminggu.
> Saat terbuka, akan tampak wajah asli saya yang dipenuhi bekas luka
> dan buruk rupa. Bahwa menumpang rollercoaster mood saya bisa
sangat
> sangat melelahkan. Bahwa saya punya setumpuk ketakutan tentang
> pernikahan dan menjadi orangtua, dan bahwa pernikahan kembali
> menjadi satu konsep blur yang gagal saya petakan.
>
> Karenanya, saat proposal itu datang, dan saya mulai membaca lembar
> demi lembar isinya, hal pertama yang ingin saya lakukan adalah
lari.
> Kabur. Pertama, kami belum cukup mengenal satu sama lain. Yang
> membuat kepala saya dengan skeptisnya bertanya memburu "Bagaimana
> kalau dia abusif?", "Bagaimana kalau dia seorang skizofrenik atau
> manik depresi?", "Bagaimana kalau dia seorang
> megalomaniak? ", "Bagaimana kalau dia seorang MPD?", "Bagaimana
> kalau dia adalah semua kombinasi di atas?"â€"atau singkatnya, hal-
hal
> mendalam yang tak kasat mata dan tak terdeteksi hanya dalam
beberapa
> bulan perkenalan.
>
> Bertahun lalu, saya pasti akan menolak mentah-mentah ide kabur
dari
> masalah ini. "Hanya anak kecil yang lari dari masalah. Orang
dewasa
> akan bangun dan menghadapinya, " begitu pikir saya dulu.
>
> Tapi saat itu, saya sedang tak mampu berpikir jernih atas banyak
> hal. Kegagalan hubungan sebelumnya, membuat kepercayaan diri saya
> jatuh bebas di titik nol. Satu-satunya pria yang saya bisa
> membayangkan tua bersama dengannya, ternyata tak mampu
> memperjuangkan saya. Apa mungkin, saya memang tak seberharga itu
> untuk diperjuangkan, ya?, begitu pikir saya. Ya, saat itu, saya
> memang tak lagi percaya akan kemampuan akal sehat saya untuk
> mengambil keputusan, dan membuat saya meragukan definisi
konseptual
> saya akan banyak hal, seperti tentang kepercayaan, komitmen, dan
> cinta.
>
> Namun saat mata raga mulai tumpul menatap, hadirlah sang mata
hati.
> Dimana kompas yang berlaku bukan lagi fakta dan logika, melainkan
> feeling dan intuisi. Seperti saran Morrie yang dikutip Mitch Albom
> dalam buku Tuesdays with Morrie "Kadang-kadang, kita tak boleh
> percaya pada apa yang kita lihat, kita harus percaya pada apa yang
> kita rasakan."
>
> Dengan lembutnya, mata hati pun menjawab setumpuk pertanyaan
skeptis
> kepala saya. Bahwa pria sederhana ini adalah sosok yang cukup
stabil
> dan nyaman dengan dirinya sendiriâ€"hal yang amat sangat jarang
saya
> temui. Faktor yang juga membuatnya menjadi sosok yang cukup kuat
> untuk disandari. Bahwa ia berpikiran terbuka, dapat dipercaya,
> bertanggung jawab, bisa diajak berkompromi, dan yang terpentingâ€"
> mencintai Tuhan dalam setiap sel tubuhnya.
>
> Karena ijab kabul pernikahan adalah salah satu perjanjian utama
yang
> disaksikan langsung oleh Tuhan. Pun tidak merasa religius, namun
> saya percaya, bahwa para pecinta Tuhan tak akan berani
mendustaiNya.
> Dan ya, saya percaya pada pria ini.
> ***
> Pelajaran 3: Bimbingan Mata Hati
>
> Toh, meski demikian, tetap saja kepala saya tak berhenti bertanya.
> Seperti rentetan peluru. "Lantas, bagaimana denganmu? Apa kamu
> menginginkan pria ini untuk 50 tahun, 60 tahun ke depanâ€"seumur
> hidupmu? Apa kamu mencintainya? Bagaimana dengan rasa bosan,
> mengingat kamu adalah tipe orang yang mudah bosan? Apa jaminannya
> pernikahanmu akan utuh untuk jangka panjang? Dan bagaimana dengan
> anak? Dengan kondisimu sekarang, kamu pasti tak bisa menjadi ibu
> yang baik, kan? Tidakkah lebih urgent untuk lebih dahulu membenahi
> dirimu? Dan bagaimana dengan mimpi-mimpi yang belum kamu capai dan
> masih kamu inginkan? Dan bagaimana denganmu?", cecar kepala saya
> tanpa ampun.
>
> Dengan panik, sayapun berteriak "Stop! Stop! Stop! Saya mohon,
> berhentilah bertanya, karena kamu tidak membantu!"
> Disinilah lagi-lagi, mata hati merengkuh saya. Dengan lembut ia
> menggandeng saya ke tempat wudhu, membasuh semua pekat dan ruwet
> pertanyaan kepala saya. Dengan lembut, ia berbisik agar saya minta
> petunjuk dariNya. "Jika bimbang meraja, maka bertanyalah pada
> Penciptamu. Adukan padaNya, minta petunjukNya, mohonkan
> pertolonganNya, " begitu bisiknya.
>
> Malam itu adalah malam tahun baru 2008, saat untuk pertama kalinya
> saya shalat istikharah dengan niatan bertanya pada Tuhan untuk
> urusan jodoh dan pernikahan. Dari beberapa buku dan pendapat yang
> saya kumpulkan, sejumlah orang konon, mendapatkan petunjuk dan
> hidayah melalui mimpi. Tidak demikian halnya dengan saya..
> Kala itu, hampir dini hari. Seorang teman saya yang tengah
menginap
> sedang terlelap di dalam kamar. Sementara saya yang tak bisa tidur
> usai shalat istikharah, memilih untuk duduk di ruang keluarga.
Hanya
> duduk saja, tanpa menonton televisi. Di luar, hanya sesekali saja
> terdengar lengkingan terompet dan suara orang yang sesekali
> melintas.
>
> Sebuah keheningan yang mendamaikan.
> Dan seperti dalam banyak keheningan saya lainnya, sebuah suara pun
> tiba-tiba hadir mengetuk kepala saya.
>
> "Ya, saya ingin melakukannya, " ujar suara itu. Bening dan jelas.
> Saya mengernyitkan dahi. Ini bukan suara sang kepala. Karena sang
> kepala selalu berbicara tegas dan cepat, dengan intonasi datar dan
> nada dingin tanpa emosi. Dan juga bukan suara sang hati, yang
hampir
> selalu terdengar pilu dan merintih, atau tercekat. Saya tidak
kenal
> suara ini, pikir saya.
>
> "Kamukah itu, mata hati? Kenapa menggunakan kata 'saya', dan
> bukannya 'kamu' seperti yang biasa kamu lakukan saat membimbing
> saya?," tanya saya.
>
> Sambil tersenyum sejuk, mata hati pun menjawab "Karena memang
bukan
> saya yang mengatakannya, Retnadi sayang. Dirimu sendirilah yang
> mengatakannya. Itu adalah suaramu."
>
> Selama beberapa waktu sayapun menunggu cecaran pertanyaan dari
> kepala. Namun tak terjadi sesuatu. Lima belas menit.. Setengah
jam.
> Satu jam. Kepala saya tetap tak bergeming.
>
> Pelan-pelan, bibir saya pun berucap syukur "Alhamdulillah, terima
> kasih Tuhan. Dan ya, saya ingin melakukannya. Saya ingin
> melakukannya. Saya ingin melakukannya. "
> ***
>
> Proses pun dimulai.
>
> Diawali dengan tahap perkenalan pria ini pada ke dua orangtua
saya,
> yang dilanjutkan dengan proses lamaran. Sepanjang proses
> berlangsung, saya pun mengutarakan keinginan saya pada pria ini
akan
> ketiadaan resepsi dan seserahan saat lamaran.
>
> Dan betapa pria ini tercengang-cengang mendengarnyaâ€" terlebih
saat
> kami tahu, bahwa kami akan menikah di masjid yang sama dengan
salah
> satu abang saya, dimana abang saya dan mempelai wanitanya kemudian
> akan menyelenggarakan resepsi pernikahan di gedung samping masjid.
>
> "Tapi itu, kan, hak kamu. Kamu juga berhak untuk dirayakan,
apalagi
> kamu anak perempuan bungsu, satu-satunya pula," ujar pria ini.
>
> Butuh diskusi cukup panjang bagi saya untuk meyakinkan pria ini,
> bahwa bagi saya, perayaan memang sungguh-sungguh bukanlah hal
> penting. Saya tak menginginkannya. Saya tak membutuhkannya. Bahwa
> bagi saya, yang utama adalah ijab kabul. Sisanya adalah asesoris
> pendukung belaka. Bahwa bagi saya, hidup tak berhenti seusai
> resepsi. Bahwa masih ada banyak hal yang harus
dipikirkanâ€"cicilan
> rumah, kontrol kehamilan, biaya persalinan, pendidikan anak,
> kesehatan anak, simpanan untuk pernikahan anak, dsb.
>
> "Atau begini, anggap saja semua orang punya daftar prioritas
> pribadi. Banyak perempuan memprioritaskan resepsi dan turut adat
> sebagai sesuatu yang utama. Dan itu bukan hal yang salah, tentu
> saja. Dengan segala hormat, saya sangat menghargai prioritas
mereka.
> Namun, saya juga punya prioritas saya sendiri, yang kebetulan
> berbeda dengan mereka. How's that?," jelas saya panjang lebar.
>
> "Dan bagaimana dengan orangtuamu?" tanya pria ini.
>
> Alhamdulillah, saya dikaruniai orangtua Sjamsuddin Shiddieg dan
> Sangi Siti Rahayu yang luar biasa. Dengan pikiran terbuka dan
lapang
> dada, mereka pun meluluskan keinginan saya. Pada hari Kamis, 1 Mei
> 2008, saya dan pria inipun resmi terdaftar sebagai murid suatu
ruang
> kelas bernama Pernikahan.
>
> Bismillahirohmanirr ahim.
> ***
>
> Pelajaran 4: Berdiskusi bersama Kepala dan Hati
>
> Sebagai murid baru, tentu banyak aturan baru yang harus saya
> adaptasi. Mulai dari tampilan pakaian, jam pulang, izin untuk
> keluar, cara bicara, cara tertawa, larangan keluar malam, dsb.
Yangâ€"
> di luar dugaan kepala saya yang skeptisâ€"ternyata saya nyaman-
nyaman
> saja menjalankannya.
>
> Tentu saja, saya selalu punya banyak
pertanyaan. "Kenapa?", "Kenapa
> nggak boleh?", "Kenapa jangan?". Dan saat suami saya menjawab
> dengan "Nggak papa, nggak boleh aja," maka saya akan mengejar
> dengan "That's not an answer. Come on, try me."
>
> Ya, ada kalanya saya bisa sangat melelahkan. Beberapa orang
mungkin
> berpikir bahwa banyak bertanya adalah sinyal kekritisan. Namun
bagi
> saya, banyak bertanya berarti sinyal butuhnya persediaan berton-
ton
> kesabaran. Bayangkan menerima pertanyaan 'Kenapa' dan 'Itu bukan
> jawaban. Ayo, cari lagi jawabannya yang logis,' selama hampir 7
kali
> sehari dan tidak meledak karenanya. Suami saya mestinya dapat
> lencana karenanya. Karena dengan sabarnya, ia akan menjelaskan
> alasannya, baik dari sisi agama, logika, maupun keinginan
> personalnya.
>
> Dengan tangan terbuka, suami saya bahkan mengundang dua tetangga
> saya untuk bertamu. Mereka adalah kepala saya yang kerap haus akan
> pemenuhan self fulfilling prophecy, dan hati saya yang kerap
kelewat
> sensitif pada banyak emosi. Dengan ramahnya, suami saya menyilakan
> mereka untuk masuk, duduk bersama di ruang tamu kami. Dan
> berdiskusi.
>
> Ini adalah hal baru bagi sayaâ€"yang selama bertahun-tahun lamanya
> selalu gagal mengajak hati dan kepala untuk sekedar bertukar sapa
> dengan ramah. Seorang mantan pasangan dulu pernah
berkomentar "Gee,
> Retno, kamu harus mulai belajar caranya mengajak hati dan kepalamu
> untuk berdiskusi." Yang saat itu dijawab dengan sinisnya oleh saya
> dengan "Yeah, right. Like I know how."
>
> Dan kini, betapa saya sungguh tercengang-cengang kala mendapati
> kepala dan hati sungguh-sungguh mendengarkan ucapan suami saya.
> Mereka tidak sedikitpun memotong ataupun menyela perkataan suami
> saya. Mereka juga tak sekalipun berbisik-bisik pada saya, tentang
> ketidaksetujuan mereka. Mereka sungguh-sungguh duduk diam, dan
> mendengarkan.
>
> Usai penjelasan suami saya, barulah dengan tertib satu persatu
dari
> mereka mengutarakan argumennya. Lagi-lagi ini adalah hal baru buat
> saya. Karena semua argumentasi itu terbungkus dalam balutan kata
> yang tertutur rapi, logis, jelas, dan santun. Tidak ada adu
> argumentasi diwarnai drama air mata dan kurasan emosi melelahkan.
> Tak heran, bila kemudian proses kompromi pun tercapai dengan
> anggukan sepakat dan kepuasan dari semua tamu kami. It's a win-win
> solution.
>
> Begitulah proses adaptasi saya di ruang kelas baru ini.
> ***
>
> Pelajaran 5: Belajar Bernafas
>
> Pun hati dan kepala saya sudah mulai belajar duduk bersama dalam
> satu kursi, tetap saja ada saat-saat dimana kepala saya lagi-lagi
> akan kelewat banyak bertanya dan mencerca, sementara hati saya
lagi-
> lagi akan kelewat banyak merasa.
>
> Ya, ini melelahkan. Sangat.
>
> Saat saya sempat memutuskan untuk berhenti bekerja kantoran dan
> tinggal di rumah saya, menjadi kontributor untuk sebuah majalah,
> misalnya. Ada banyak momen dimana kepala saya tanpa henti
bertanya.
>
> Bolehkah saya merasa bosan di rumah? Bolehkah saya mencoba
> mengatasinya dengan berjalan-jalan ke rumah abang atau orangtua
saya
> sendirian? Saat saya belum selesai mencuci baju karena terlalu
fokus
> menulis, apakah saya bersalah sebagai seorang istri? Saat saya
lupa
> menanak nasi sarapan dan nasi semalam ternyata sudah
basiâ€"sehingga
> kami yang lapar terpaksa menunggu selama 45 menitâ€"apakah saya
> menjadi istri yang buruk, karenanya? Saat saya menghabiskan 3,5
jam
> di warnet dan pulang saat makan siangâ€"pun suami saya saat itu
makan
> siang di kantorâ€"apakah saya adalah seorang istri yang egois?
Apakah
> itu membuat saya menjadi sosok istri yang tak bertanggung jawab
> karenanya?
>
> Logically, kepala saya tentu tahu jawabannyaâ€"yang juga telah
saya
> confirm dengan suami saya. Bahwa tentu saja, tidak, Retnadi. It's
> OK. Shit happens. Semua orang bisa melakukan kesalahan. Dan itu
tak
> lantas menggeneralisirmu menjadi istri yang buruk. "And yes,
> sweetie, I love you that much," ujar suami saya.
>
> Jika memang demikian, lantas kenapa saya masih belum merasa lega?
> Kenapa saya terus-menerus merasa bersalah, sesak napas, dan mulai
> berpikir bahwa 'Apakah saya menikah terlalu cepat?'
>
> I hate that thought. Karena saya tahu pasti, bahwa saya mencintai
> suami saya, dan bahwa saya telah mengambil keputusan untuk
menjalani
> ini bersamanya. Pertanyaan `what if' adalah pertanyaan mengawang-
> awang yang melelahkan, tanpa tujuan, dan sia-sia.
>
> Namun bagaimana menjawab ini pada kepala saya yang haus jawaban?
>
> Bahkan kala suatu proses adaptasi berjalan halus dan mulus, saya
> tahu bahwa seharusnya saya bersyukur. Dan ya, tentu saja saya
> bersyukur. Namun saat kepala saya yang bawel tiba-tiba menerima
saja
> semua bentuk kompromi ini dengan lapang dada, giliran diri saya
yang
> bertanya-tanya akan krisis identitasnya. "Ada apa dengan kamu, No?
> Apa ini berarti konsepmu selama ini salah? Dan yang sekarang ini
> adalah yang benar? Jadi, yang mana identitas dirimu? Jadi, kamu
itu
> yang mana?"
>
> Dan saya tidak tahu jawabannya.
>
> Saya ingat pada suatu malam, kala pertanyaan ini kembali mencecar
> saya. Saat itu, saya meng-sms Ain. "Ain, I work from home, like I
> always wanted to. I have a beautiful husband that loved me and
> adored me so much. I live in a house that have a beautiful
scenery.
> But why is hard for me to breath? Why is so hard to breathe?"
>
> Ain membalasnya dengan satu sms sederhana. Satu sms berisi kalimat
> yang dikutipnya dari Eat, Pray, Love-nya Elizabeth Gilbert. "What
do
> you really really really want, Jo?"
>
> Sadly, I have no answer.
>
> Malam itu hampir pukul 1 pagi. Suami saya sudah terlelap di kamar.
> Sementara saya menangis di ruang depan, karena saya tak punya
> jawaban untuk membalas sms Ain. Dan seperti banyak hari buruk saya
> lainnya, saya pun menelpon Citra. Yang lagi-lagi, seperti biasa,
> punya jawaban melegakan.
>
> "Retnadi sayang, you're married at 23. Tentu saja, itu bawa banyak
> perubahan. Beberapa perubahan pasti melahirkan banyak pertanyaan
> membingungkan seperti ini. Tapi tahu nggak, No? It's OK, untuk
tidak
> punya jawaban atas segala hal. It's OK, untuk bilang sama kepala
dan
> dirimu sendiri, atau bahkan semua pertanyaan yang kamu temui,
> dengan "Maaf, untuk saat ini, saya tidak punya jawabannya. Tapi
saya
> akan belajar untuk mencarinya." It's OK, and we still love you. So
> take your time, Retnadi. Take your time. Love you," ucap Citra
> mengelus hati saya.
> ***
> Pelajaran 6: Dua Aksioma
>
> Dalam ilmu komunikasi, aksioma adalah sesuatu yang tak
terbantahkan.
> Aksioma komunikasi yang terkenal adalah `we cannot not
communicate' .
> Karena pun kita menolak komunikasi verbal, akan selalu ada
komponen
> nonverbal yang mengkomunikasikan pesan kita.
>
> Di umur 24 tahun, saya pun menyusun dua aksioma saya. Pertama, we
> can't pleased everyone. Kita tak bisa menyenangkan semua orang.
Pun
> saya berusaha sekeras mungkin, akan selalu ada masukan, keinginan,
> dan harapan yang tak terakomodir. Pun saya berusaha sekeras
mungkin,
> hasil akhir tetaplah berada di tangan Tuhan. And it's OK, because
we
> can't pleased everyone. Saya berikhtiar, Tuhanlah yang menentukan.
>
> Aksioma ke dua (thanks to Citra), bahwa saya tak harus punya
jawaban
> atas segala hal. Selama bertahun-tahun lamanya, kepala saya yang
> haus jawaban, tanpa henti bertanya, dan betapa saya berusaha keras
> untuk menjawabnya. Berusaha keras menyusun banyak konsep, banyak
> definisi, banyak deskripsi, banyak pernyataan, banyak alur logika,
> banyak pertimbangan, dan setumpuk penjelasan lain yang saya kira
> dapat memuaskan kepala saya. Tak pernah sekalipun terlintas, bahwa
> saya boleh menjawab 'I don't know how. I just know', atau 'I don't
> know, now. Let's figure it out later.'
>
> Saat pagi hari misalnya. Saat suami saya sudah berangkat ke
kantor,
> sementara saya yang usai meratakan tanah belakang, beristirahat di
> atas karpet. Dengan kaki berselonjor, sarapan nasi putih hangat
> berlaukkan beberapa potong gorengan, untuk kemudian minum
secangkir
> kopi susu. This is it. The moment of happiness. I'm just happy. I
> just know.
>
> Atau saat saya tengah kebingungan untuk mengambil suatu keputusan.
> Saat itu, saya menangis sejadi-jadinya di atas sajadah, terus-
> menerus bertanya pada Tuhan. Please tell me what to do. Please
tell
> me what to do. Please tell me what to do.
> Dan sama seperti di malam tahun baru 2008, mata hati pun kembali
> membimbing saya. Dengan tenangnya, dengan lembutnya, dengan
> sabarnya.
>
> Ah, betapa melegakan.
>
> Kini, pun banyak pertanyaan kembali berseliweran di kepala saya,
> saya tahu, bahwa saya akan selalu bisa mengembalikannya pada
Tuhan.
> Sama seperti saat dulu saya memutuskan untuk keluar dari hubungan
> melelahkan, sama seperti saat saya memutuskan untuk menikah, sama
> seperti saat saya memutuskan untuk kembali bekerja kantoran.
>
> Dan sebagai murid baru di ruang kelas bernama pernikahan ini,
tentu
> akan selalu ada banyak materi yang tak saya pahami. Akan ada
> sejumlah kesalahan yang saya lakukan, ataupun suami saya lakukan.
> And it's ok. Seperti kutipan lirik lagu Ordinary People John
> Legend "We're just ordinary people, we don't which way to go.
`Cause
> we're ordinary people, maybe we should take it slow."
>
> Pelan-pelan, saya dan suami saya akan belajar bersama di ruang
kelas
> baru ini. PadaNya, Sang Maha Guru. Semoga pelajaran ini
berlangsung
> selamanya. Untuk semua hal yang akan datang, attraversiamo* . Amin.
> ***
>
> *Attraversiamo (Italian phrase): Let's cross it over.
>
> PS: Di akhir tulisan ini, seketika saya terpikir, bahwa dengan
> deskripsi kata sifat, mungkin kata 'pernikahan' bisa menjadi suatu
> kata yang pas untuk dilekatkan pada diri saya. Dengan suami dan
> cinta yang begitu mempesona, saya pun tak bisa menemukan kata
sifat
> lain, selain: bahagia.
>
> Yes, I'm happily married. I just know.
>
>
>
>
>
>
__________________________________________________________
______
> Nama baru untuk Anda!
> Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan
@rocketmail.
> Cepat sebelum diambil orang lain!
> http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/
>

9j.

Re: (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan

Posted by: "inga_fety" inga_fety@yahoo.com   inga_fety

Sun Sep 21, 2008 10:32 pm (PDT)

membaca tulisan retno sehabis 3 jam penuh dengan tulisan hiragana,
katakana dan kanji, seperti sebuah dejavu pada kehidupan hampir satu
tahun di kelas pernikahan kami. Seribu tanya yang juga menghampiri,
pun juga sampai kini. tapi, bertanya pada Sang Maha Kehidupan selalu
menghadirkan sebuah ketengan dan sebuah harap segala sesuatu
InsyaAllah punya hikmah, pun ketika orang di sekitar kita menunjuk
salah pada keputusan kita.

salam,
fety

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "Bu CaturCatriks"
<punya_retno@...> wrote:
>
> dear all,
>
> hanya sekedar berbagi banyak pandangan dan pelajaran yg saya dapat
> dlm pernikahan.
> oya, sebelumnya,
> ini adalah salah satu tulisan terpanjang yg pernah saya buat.
> sekaligus, salah satu tulisan terjujur, dimana saya benar2 mencoba
> menumpahkan banyak pertanyaan dr kepala saya.
> mohon maaf kalau membosankan dan membingungkan.
>
> -retno-
>
>
> Sebuah Ruang Kelas Bernama Pernikahan
> Oleh Retnadi Nur'aini
>
> Marriage (noun): legal union of a man and woman as husband and
wife.
> Marriageable (adjective): old enough or suitable for marriage
> Marry (verb): take somebody as a husband or wife; join as husband
> and wife; find suitable partner for
> Married (adjective): having a husband or wife
> (Oxford Pocket Dictionary)
>
> Di umur 23 tahun, kata "pernikahan" adalah kata yang terasa tak
pas
> untuk dilekatkan pada diri saya. Tidak sebagai kata benda. Tidak
> sebagai kata sifat. Tidak juga sebagai kata kerja.
>
> Mungkin karena saat itu saya pikir umur saya masih kelewat muda.
> Mungkin karena saya tengah senang-senangnya bekerja, diselingi
> bermain dan berkumpul bersama teman-teman saya. Mungkin karena
saat
> itu—seperti dalam kumpulan esai karya Ayu Utami yang berjudul
> Parasit Lajang—konsep membentuk keluarga tampak begitu tak efisien
> bagi lajang seperti saya yang masih menumpang di rumah orangtua.
>
> Mungkin karena saya pikir saya masih kelewat egois dalam banyak
hal
> yang saya inginkan. Mungkin juga karena saya tak pernah
mencantumkan
> kata ini dalam daftar target, resolusi, harapan, ataupun mimpi
yang
> ingin saya capai tahun ini, sehingga saya juga sama sekali tak
> pernah memacu—ataupun memaksa diri saya sendiri untuk mencoba
> mengenakan kata ini dalam diri saya. Atau mungkin karena saya
> kelewat nyaman saja dengan keadaan saat itu, dan punya banyak
> keengganan dan kecemasan akan suatu perubahan.
>
> Apapun itu—it just didn't fit.
> ***
>
> Pelajaran 1: Merumuskan Definisi Konseptual
>
> Di umur 23 tahun, konsep pernikahan juga sekaligus merupakan
sebuah
> konsep raksasa yang sulit saya rumuskan. Selain karena
keterbatasan
> pemahaman, saya juga belum tahu apa yang sungguh-sungguh saya
> inginkan dalam suatu pernikahan.
>
> Maka untuk mulai merumuskannya, saya pun mencoba premis yang
> berkebalikan. Yaitu dengan mendaftar apa yang sungguh-sungguh
tidak
> saya inginkan dalam suatu pernikahan. Berbekalkan sedikit
pengalaman
> hubungan interpersonal bersama beberapa pria, disambi mengamati
> sejumlah kehidupan pernikahan di sekitar saya, pelan-pelan,
sayapun
> mulai menabung rumusan konsep pernikahan. Beberapa diantaranya:
Saya
> tak menginginkan pernikahan yang di dalamnya ada pembagian tugas
> domestik berdasarkan jender dan nilai-nilai patriarki. Saya tak
> menginginkan pernikahan dimana setiap orang di dalamnya punya ego
> dan ambisi sedemikian besarnya untuk satu kepuasan memenangkan adu
> argumentasi, dan mengesampingkan konsep diskusi dan kompromi. Saya
> tak menginginkan pernikahan dimana setiap orang di dalamnya tidak
> tahu caranya menggunakan intonasi. Saya tak menginginkan
pernikahan,
> yang di dalamnya orang mandeg berjalan dalam proses pencarian jati
> diri.
>
> Jujur, mulanya, tabungan konsep di atas memang merupakan gabungan
> dari daftar "cacat" atas sejumlah kehidupan pernikahan yang saya
> amati, sekaligus daftar "dosa" para mantan pasangan saya. Dimana
> dalam setiap akhir hubungan, dengan dinginnya, saya akan
menyerahkan
> daftar panjang ini sebagai alasan kenapa kami tak lagi bisa
berjalan
> bersama.
>
> Tidak adil, memang. Dan tentu saja, daftar itu tak serta merta
> menamatkan riwayat hubungan kami. Ada banyak pertanyaan "Kenapa?",
> yang diteruskan dengan "Kenapa sekarang?".
>
> Namun seiring dengan waktu yang membalut semua luka, ia juga
> sekaligus menegur ego saya yang pongah dan kekanakan. Bahwa
seperti
> seorang murid yang gagal ujian, setiap mantan pasangan berhak
tahu,
> kenapa nilainya bisa buruk—di kala ia pikir ia sudah belajar sama
> kerasnya dengan murid lainnya. "Oke, kamu mungkin sekarang sudah
> pindah kelas dan tak lagi bisa belajar bersama dengannya, but at
> least, let him learn. Biarkan ia mendapat pelajaran yang telah
> menjadi haknya," tegur waktu.
>
> Jadi, alih-alih menggunakan daftar ini sebagai self defense
> mechanism, saya mencoba mengganti judulnya dengan "Daftar Harapan
> untuk Calon Pasanganmu Berikutnya," sebelum diserahkan pada mantan
> pasangan saya. Dan untuk saya sendiri "Daftar Harapan atas Dirimu
> Sendiri."
>
> Dari sana, kami belajar bahwa pelajaran kami sekarang memang sudah
> berbeda bentuknya, dan saya tak bisa belajar bersama seorang
> pasangan yang tinggal kelas. Ia harus lebih dulu menuntaskan
tahapan
> pelajarannya, untuk kemudian bisa memahami tahap pelajaran
> selanjutnya. Di sisi lain, saya juga tak bisa mengajarinya,
ataupun
> mengatrol nilainya. Saya tak berhak, tak berwenang, dan juga tak
> mampu untuk melakukannya. Di atas semuanya, bukan itu
> konsep "belajar bersama dalam suatu hubungan interpersonal" di
> kepala saya. Dengan lapang dada, kami pun belajar tentang konsep
> memaafkan dan merelakan. Kami juga belajar tentang konsep
kenangan,
> masa lalu, dan bergerak maju. Move on.
> ***
>
> Saya dibesarkan dalam keluarga dengan ke dua orangtua pekerja.
> Dimana ayah saya adalah seorang workholic dan ibu saya adalah
> seorang guru SD yang sangat berdedikasi pada murid-muridnya. Namun
> saat saya menginjak bangku SMU, ibu saya memutuskan untuk pensiun
> dini, demi mengurus keluarga.
>
> Dan ya, ibu saya sungguh-sungguh berkomitmen pada keputusannya.
> Beliau sungguh-sungguh membaktikan dirinya untuk keluarga. Setiap
> hari, beliau akan bangun pukul 2 pagi untuk shalat tahajud, tidak
> tidur sampai subuh, dan menyiapkan sarapan lengkap—berupa nasi dan
> lauk pauknya, bukan sekedar roti tawar beroles selai atau margarin?
> dan bergelas-gelas minuman hangat. Setiap hari, 3 kali sehari,
> beliau akan mengganti minuman untuk Bapak—pagi hari ada kopi susu,
> air jeruk, dan air putih. Siang hari, ada es sirup dan air putih.
> Sore hari ada teh manis dan air putih.
>
> Tak pernah sekalipun Ibu alpa menyiapkan bekal makan siang kami
> semua. Dan sampai kini, masing-masing dari kami menyimpan satu
> taplak meja khusus buatan Ibu yang bersulamkan nama setiap kami di
> atasnya.
>
> Ibu nyaris tak pernah berjalan-jalan. Ataupun, menonton televisi.
> Bahkan saat beliau sedang sendirian di rumah. Ketimbang jalan-
jalan,
> beliau lebih memilih untuk mengaji, membaca buku, menulis diary,
> atau tidur. Dan beliau hanya menonton televisi, saat kami datang
dan
> menyetel televisi. Itupun lebih karena beliau ingin menemani kami.
>
> Kesenangan termewah ibu saya adalah makanan. Dimana beliau bisa
> membeli semangkuk bakso, atau sepiring nasi padang, untuk dirinya
> sendiri—dan bukannya disajikan di atas meja makan sebagai lauk
bagi
> kami semua.
>
> Tumbuh dengan menyaksikan ini, satu ide lagi muncul di kepala
saya.
> Bahwa saya tak menginginkan pernikahan, dimana ada orang yang
> menjadi martir di dalamnya. Tapi, hey, benarkah ibu saya menjadi
> martir dalam pernikahan ini?
>
> She seems quite happy.
>
> Sayapun bertanya padanya. Apakah beliau bahagia?
>
> Yang dijawab beliau dengan senyum tulus. "Tentu saja, saya
bahagia.
> Memang ada masa-masa sulit, Retno. Dan lebih sulit lagi, karena
dulu
> saya menjalani itu sendirian. Tidak ada Bapak (saat itu Bapak
sedang
> kuliah di luar negeri), dan tidak ada keluarga saya. Namun saya
> bilang ke diri saya 'Harus bisa, harus bisa',"
>
> Seketika kepala saya kembali menelurkan sekeranjang pertanyaan. Is
> it cultural? (Karena dulu ide feminisme belum terpublikasikan
merata
> di Indonesia), is it psychological? (Karena ibu saya dibesarkan
> dalam keluarga yang mengajarkannya untuk nrimo dengan keadaan,
plus
> itu keluarga Jawa), is it genetic? (Karena uti saya—ibu dari ibu
> saya—juga punya karakter yang sama), is it astrological? (Karena
ibu
> saya berzodiak Sagitarius), is it educational? (Karena ibu saya
> hanya mengenyam pendidikan D3, dan saya sedikit di atas beliau—S
1),
> is it hormonal? Dietary? Philosopical? Religion? Educational?
> Environmental? What is the root of her character? Kenapa beliau
> tampak tidak keberatan? Kenapa beliau tampak ikhlas menjalaninya?
>
> Kenapa beliau bisa dengan tulusnya bilang 'I'm happy, Retno.' Dan
di
> atas semuanya, kenapa saya pikir, saya tidak bisa menjalani itu
> semua?
>
> Tidakkah Ibu merasa mengorbankan terlalu banyak hal?
> Lagi-lagi sambil tersenyum, Ibu saya menjawab "Semuanya setimpal,
> Retno. Ada kakak-kakakmu. Ada kamu. Dan saya bangga dengan kalian,"
> Satu jawaban sederhana yang seketika membungkam semua pertanyaan
> saya.
> ***
>
> Pelajaran 2: Kriteria Pasangan Ideal
>
> Subjudul di atas merupakan satu pertanyaan yang akan mendapatkan
> jawaban berlembar-lembar banyaknya, dengan sedemikian detilnya,
oleh
> banyak orang. Banyak orang yang mampu merinci jawabannya secara
> spesifik dengan—cantik/ ganteng, tinggi, putih, rambut panjang
(bila
> wanita), pintar, religius, mapan, bibit, bebet, bobot, dsb. Banyak
> pula orang yang akan menjawab singkat "Yang penting, mau nerima
gua
> apa adanya, mengisi kekurangan gua."
>
> Sejumlah jawaban spesifik, yang mostly, terasa tak pas menjadi
> standar kriteria saya akan calon pasangan ideal. Selain karena
> tampilan fisik dan hal-hal penunjangnya (saya sering
> mengistilahkannya dengan 'kualitas administratif') bukan menjadi
> prioritas utama saya, psikologis personal justru menjadi
> pertimbangan penting buat saya.
>
> Selama bertahun-tahun lamanya, saya pun mencoba merumuskan standar
> kualifikasi psikologis calon pasangan yang saya inginkan. Beberapa
> diantaranya adalah: secure pada dirinya sendiri, tulus, open mind,
> bersedia untuk diajak berkompromi dalam jangka panjang.
>
> Dalam salah satu buku yang saya baca, ada kutipan yang menarik
> tentang kriteria pasangan. "Gua cuma tahu, kalo sama dia, dalam
hati
> gua, terdengar suara tutup botol dengan ulirnya. Klik."
>
> Ide yang menarik. Namun, ah, bukankah percakapan menyenangkan
selalu
> bisa diciptakan? Darimana kita tahu bahwa bunyi 'klik' itu
> adalah 'klik' yang sebenarnya? Apa simptomnya?
>
> Pertanyaan ini menghantui kepala saya selama bertahun-tahun
lamanya,
> sampai tahun 2006. Tahun itu, saya bertemu dengan seorang pria?>
sekarang mantan, yang tak hanya membunyikan 'klik' di kepala saya,
> namun juga lonceng. Saat bersamanya, saya bisa membayangkan kami
tua
> bersama. Dimana kami dengan rambut memutih duduk-duduk di karpet
> ruang tamu, bergantian membacakan kalimat demi kalimat dalam
cerpen
> Seksi karya Jhumpa Lahiri. Yes, I can picture it. Dengan detilnya,
> dengan cantiknya, dengan sempurnanya.
>
> Namun ada kalanya, kita tak selalu memperoleh apa yang kita
> harapkan. Pun saya mampu membayangkan setiap detil masa depan
kami,
> hubungan itu merupakan suatu hubungan yang tidak ideal.
> Ketidakidealan ini melahirkan banyak pertengkaran dan adu
> argumentasi melelahkan, yang akhirnya membawa saya pada satu
> kesimpulan: bahwa ada kalanya, cinta saja tak cukup. Dengan berat
> hati, kami pun memutuskan untuk berpisah di tahun 2007.
>
> Perpisahan yang sekaligus merampok separuh jiwa saya, untuk
kemudian
> menenggelamkannya entah dimana. Saat memunguti remah-remah jiwa
yang
> tercecer, ide kriteria "mau menerima diri kita apa adanya, dan mau
> mengisi kekurangan kita" pun seketika jadi tampak masuk akal di
> kepala saya. Namun seperti halnya skripsi, itu semata-mata
hanyalah
> batasan definisi konseptual. Saat kita ingin menerapkannya ke
dalam
> kehidupan nyata, apa instrumennya? Apa indikatornya? Apa
> operasionalisasi konsepnya? Apa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
> teknisnya?
>
> Saat itulah seorang Catur Sukono datang.
>
> Saat saya tengah membenahi diri saya dengan remah-remah jiwa yang
> tersisa, mencoba merekatkan kembali kepercayaan diri dan konsep
diri
> yang babak belur karena hubungan sebelumnya.
>
> Dan sebagai kejutan, pria ini datang dengan membawa sebuah
proposal
> pernikahan.
> ***
>
> Saya selalu berpikir, bahwa suatu hubungan adalah laiknya
investasi.
> Dimana setiap orang di dalamnya akan berinvestasi waktu, perasaan,
> materi, dan banyak hal lainnya, dengan tujuan memperoleh laba
jangka
> panjang—dalam konteks ini, pernikahan, maupun hubungan jangka
> panjang yang stabil.
>
> Karenanya, sebelum memutuskan untuk berinvestasi, calon investor
> tentu perlu tahu segala faktor resiko yang akan dijalaninya,
> termasuk resiko kerugian. Maka saya pun menjelaskan pada pria ini
> tentang diri saya. Bahwa saya baru keluar dari hubungan yang
sangat
> melelahkan, dan kembali berada di titik nol pencarian jati diri.
> Bahwa untuk membangun kepercayaan diri, saya kerap memantrai diri
> saya, dan memasang topeng imej sosok yang manis, lucu,
menyenangkan.
> Pikir saya saat itu, kalaupun saya belum bisa bahagia, at least,
> saya bisa berpura-pura tampak bahagia. Dan mungkin, dengan begitu,
> saya akan sungguh-sungguh bahagia. Seperti saya di masa
sebelumnya.
>
> Namun topeng itu tidak saya kenakan 24 jam sehari 7 hari seminggu.
> Saat terbuka, akan tampak wajah asli saya yang dipenuhi bekas luka
> dan buruk rupa. Bahwa menumpang rollercoaster mood saya bisa
sangat
> sangat melelahkan. Bahwa saya punya setumpuk ketakutan tentang
> pernikahan dan menjadi orangtua, dan bahwa pernikahan kembali
> menjadi satu konsep blur yang gagal saya petakan.
>
> Karenanya, saat proposal itu datang, dan saya mulai membaca lembar
> demi lembar isinya, hal pertama yang ingin saya lakukan adalah
lari.
> Kabur. Pertama, kami belum cukup mengenal satu sama lain. Yang
> membuat kepala saya dengan skeptisnya bertanya memburu "Bagaimana
> kalau dia abusif?", "Bagaimana kalau dia seorang skizofrenik atau
> manik depresi?", "Bagaimana kalau dia seorang
> megalomaniak?", "Bagaimana kalau dia seorang MPD?", "Bagaimana
> kalau dia adalah semua kombinasi di atas?"—atau singkatnya, hal-
hal
> mendalam yang tak kasat mata dan tak terdeteksi hanya dalam
beberapa
> bulan perkenalan.
>
> Bertahun lalu, saya pasti akan menolak mentah-mentah ide kabur
dari
> masalah ini. "Hanya anak kecil yang lari dari masalah. Orang
dewasa
> akan bangun dan menghadapinya," begitu pikir saya dulu.
>
> Tapi saat itu, saya sedang tak mampu berpikir jernih atas banyak
> hal. Kegagalan hubungan sebelumnya, membuat kepercayaan diri saya
> jatuh bebas di titik nol. Satu-satunya pria yang saya bisa
> membayangkan tua bersama dengannya, ternyata tak mampu
> memperjuangkan saya. Apa mungkin, saya memang tak seberharga itu
> untuk diperjuangkan, ya?, begitu pikir saya. Ya, saat itu, saya
> memang tak lagi percaya akan kemampuan akal sehat saya untuk
> mengambil keputusan, dan membuat saya meragukan definisi
konseptual
> saya akan banyak hal, seperti tentang kepercayaan, komitmen, dan
> cinta.
>
> Namun saat mata raga mulai tumpul menatap, hadirlah sang mata
hati.
> Dimana kompas yang berlaku bukan lagi fakta dan logika, melainkan
> feeling dan intuisi. Seperti saran Morrie yang dikutip Mitch Albom
> dalam buku Tuesdays with Morrie "Kadang-kadang, kita tak boleh
> percaya pada apa yang kita lihat, kita harus percaya pada apa yang
> kita rasakan."
>
> Dengan lembutnya, mata hati pun menjawab setumpuk pertanyaan
skeptis
> kepala saya. Bahwa pria sederhana ini adalah sosok yang cukup
stabil
> dan nyaman dengan dirinya sendiri—hal yang amat sangat jarang saya
> temui. Faktor yang juga membuatnya menjadi sosok yang cukup kuat
> untuk disandari. Bahwa ia berpikiran terbuka, dapat dipercaya,
> bertanggung jawab, bisa diajak berkompromi, dan yang terpenting?>
mencintai Tuhan dalam setiap sel tubuhnya.
>
> Karena ijab kabul pernikahan adalah salah satu perjanjian utama
yang
> disaksikan langsung oleh Tuhan. Pun tidak merasa religius, namun
> saya percaya, bahwa para pecinta Tuhan tak akan berani
mendustaiNya.
> Dan ya, saya percaya pada pria ini.
> ***
> Pelajaran 3: Bimbingan Mata Hati
>
> Toh, meski demikian, tetap saja kepala saya tak berhenti bertanya.
> Seperti rentetan peluru. "Lantas, bagaimana denganmu? Apa kamu
> menginginkan pria ini untuk 50 tahun, 60 tahun ke depan—seumur
> hidupmu? Apa kamu mencintainya? Bagaimana dengan rasa bosan,
> mengingat kamu adalah tipe orang yang mudah bosan? Apa jaminannya
> pernikahanmu akan utuh untuk jangka panjang? Dan bagaimana dengan
> anak? Dengan kondisimu sekarang, kamu pasti tak bisa menjadi ibu
> yang baik, kan? Tidakkah lebih urgent untuk lebih dahulu membenahi
> dirimu? Dan bagaimana dengan mimpi-mimpi yang belum kamu capai dan
> masih kamu inginkan? Dan bagaimana denganmu?", cecar kepala saya
> tanpa ampun.
>
> Dengan panik, sayapun berteriak "Stop! Stop! Stop! Saya mohon,
> berhentilah bertanya, karena kamu tidak membantu!"
> Disinilah lagi-lagi, mata hati merengkuh saya. Dengan lembut ia
> menggandeng saya ke tempat wudhu, membasuh semua pekat dan ruwet
> pertanyaan kepala saya. Dengan lembut, ia berbisik agar saya minta
> petunjuk dariNya. "Jika bimbang meraja, maka bertanyalah pada
> Penciptamu. Adukan padaNya, minta petunjukNya, mohonkan
> pertolonganNya," begitu bisiknya.
>
> Malam itu adalah malam tahun baru 2008, saat untuk pertama kalinya
> saya shalat istikharah dengan niatan bertanya pada Tuhan untuk
> urusan jodoh dan pernikahan. Dari beberapa buku dan pendapat yang
> saya kumpulkan, sejumlah orang konon, mendapatkan petunjuk dan
> hidayah melalui mimpi. Tidak demikian halnya dengan saya.
> Kala itu, hampir dini hari. Seorang teman saya yang tengah
menginap
> sedang terlelap di dalam kamar. Sementara saya yang tak bisa tidur
> usai shalat istikharah, memilih untuk duduk di ruang keluarga.
Hanya
> duduk saja, tanpa menonton televisi. Di luar, hanya sesekali saja
> terdengar lengkingan terompet dan suara orang yang sesekali
> melintas.
>
> Sebuah keheningan yang mendamaikan.
> Dan seperti dalam banyak keheningan saya lainnya, sebuah suara pun
> tiba-tiba hadir mengetuk kepala saya.
>
> "Ya, saya ingin melakukannya," ujar suara itu. Bening dan jelas.
> Saya mengernyitkan dahi. Ini bukan suara sang kepala. Karena sang
> kepala selalu berbicara tegas dan cepat, dengan intonasi datar dan
> nada dingin tanpa emosi. Dan juga bukan suara sang hati, yang
hampir
> selalu terdengar pilu dan merintih, atau tercekat. Saya tidak
kenal
> suara ini, pikir saya.
>
> "Kamukah itu, mata hati? Kenapa menggunakan kata 'saya', dan
> bukannya 'kamu' seperti yang biasa kamu lakukan saat membimbing
> saya?," tanya saya.
>
> Sambil tersenyum sejuk, mata hati pun menjawab "Karena memang
bukan
> saya yang mengatakannya, Retnadi sayang. Dirimu sendirilah yang
> mengatakannya. Itu adalah suaramu."
>
> Selama beberapa waktu sayapun menunggu cecaran pertanyaan dari
> kepala. Namun tak terjadi sesuatu. Lima belas menit. Setengah jam.
> Satu jam. Kepala saya tetap tak bergeming.
>
> Pelan-pelan, bibir saya pun berucap syukur "Alhamdulillah, terima
> kasih Tuhan. Dan ya, saya ingin melakukannya. Saya ingin
> melakukannya. Saya ingin melakukannya."
> ***
>
> Proses pun dimulai.
>
> Diawali dengan tahap perkenalan pria ini pada ke dua orangtua
saya,
> yang dilanjutkan dengan proses lamaran. Sepanjang proses
> berlangsung, saya pun mengutarakan keinginan saya pada pria ini
akan
> ketiadaan resepsi dan seserahan saat lamaran.
>
> Dan betapa pria ini tercengang-cengang mendengarnya—terlebih saat
> kami tahu, bahwa kami akan menikah di masjid yang sama dengan
salah
> satu abang saya, dimana abang saya dan mempelai wanitanya kemudian
> akan menyelenggarakan resepsi pernikahan di gedung samping masjid.
>
> "Tapi itu, kan, hak kamu. Kamu juga berhak untuk dirayakan,
apalagi
> kamu anak perempuan bungsu, satu-satunya pula," ujar pria ini.
>
> Butuh diskusi cukup panjang bagi saya untuk meyakinkan pria ini,
> bahwa bagi saya, perayaan memang sungguh-sungguh bukanlah hal
> penting. Saya tak menginginkannya. Saya tak membutuhkannya. Bahwa
> bagi saya, yang utama adalah ijab kabul. Sisanya adalah asesoris
> pendukung belaka. Bahwa bagi saya, hidup tak berhenti seusai
> resepsi. Bahwa masih ada banyak hal yang harus dipikirkan—cicilan
> rumah, kontrol kehamilan, biaya persalinan, pendidikan anak,
> kesehatan anak, simpanan untuk pernikahan anak, dsb.
>
> "Atau begini, anggap saja semua orang punya daftar prioritas
> pribadi. Banyak perempuan memprioritaskan resepsi dan turut adat
> sebagai sesuatu yang utama. Dan itu bukan hal yang salah, tentu
> saja. Dengan segala hormat, saya sangat menghargai prioritas
mereka.
> Namun, saya juga punya prioritas saya sendiri, yang kebetulan
> berbeda dengan mereka. How's that?," jelas saya panjang lebar.
>
> "Dan bagaimana dengan orangtuamu?" tanya pria ini.
>
> Alhamdulillah, saya dikaruniai orangtua Sjamsuddin Shiddieg dan
> Sangi Siti Rahayu yang luar biasa. Dengan pikiran terbuka dan
lapang
> dada, mereka pun meluluskan keinginan saya. Pada hari Kamis, 1 Mei
> 2008, saya dan pria inipun resmi terdaftar sebagai murid suatu
ruang
> kelas bernama Pernikahan.
>
> Bismillahirohmanirrahim.
> ***
>
> Pelajaran 4: Berdiskusi bersama Kepala dan Hati
>
> Sebagai murid baru, tentu banyak aturan baru yang harus saya
> adaptasi. Mulai dari tampilan pakaian, jam pulang, izin untuk
> keluar, cara bicara, cara tertawa, larangan keluar malam, dsb.
Yang?> di luar dugaan kepala saya yang skeptis—ternyata saya nyaman-
nyaman
> saja menjalankannya.
>
> Tentu saja, saya selalu punya banyak
pertanyaan. "Kenapa?", "Kenapa
> nggak boleh?", "Kenapa jangan?". Dan saat suami saya menjawab
> dengan "Nggak papa, nggak boleh aja," maka saya akan mengejar
> dengan "That's not an answer. Come on, try me."
>
> Ya, ada kalanya saya bisa sangat melelahkan. Beberapa orang
mungkin
> berpikir bahwa banyak bertanya adalah sinyal kekritisan. Namun
bagi
> saya, banyak bertanya berarti sinyal butuhnya persediaan berton-
ton
> kesabaran. Bayangkan menerima pertanyaan 'Kenapa' dan 'Itu bukan
> jawaban. Ayo, cari lagi jawabannya yang logis,' selama hampir 7
kali
> sehari dan tidak meledak karenanya. Suami saya mestinya dapat
> lencana karenanya. Karena dengan sabarnya, ia akan menjelaskan
> alasannya, baik dari sisi agama, logika, maupun keinginan
> personalnya.
>
> Dengan tangan terbuka, suami saya bahkan mengundang dua tetangga
> saya untuk bertamu. Mereka adalah kepala saya yang kerap haus akan
> pemenuhan self fulfilling prophecy, dan hati saya yang kerap
kelewat
> sensitif pada banyak emosi. Dengan ramahnya, suami saya menyilakan
> mereka untuk masuk, duduk bersama di ruang tamu kami. Dan
> berdiskusi.
>
> Ini adalah hal baru bagi saya—yang selama bertahun-tahun lamanya
> selalu gagal mengajak hati dan kepala untuk sekedar bertukar sapa
> dengan ramah. Seorang mantan pasangan dulu pernah
berkomentar "Gee,
> Retno, kamu harus mulai belajar caranya mengajak hati dan kepalamu
> untuk berdiskusi." Yang saat itu dijawab dengan sinisnya oleh saya
> dengan "Yeah, right. Like I know how."
>
> Dan kini, betapa saya sungguh tercengang-cengang kala mendapati
> kepala dan hati sungguh-sungguh mendengarkan ucapan suami saya.
> Mereka tidak sedikitpun memotong ataupun menyela perkataan suami
> saya. Mereka juga tak sekalipun berbisik-bisik pada saya, tentang
> ketidaksetujuan mereka. Mereka sungguh-sungguh duduk diam, dan
> mendengarkan.
>
> Usai penjelasan suami saya, barulah dengan tertib satu persatu
dari
> mereka mengutarakan argumennya. Lagi-lagi ini adalah hal baru buat
> saya. Karena semua argumentasi itu terbungkus dalam balutan kata
> yang tertutur rapi, logis, jelas, dan santun. Tidak ada adu
> argumentasi diwarnai drama air mata dan kurasan emosi melelahkan.
> Tak heran, bila kemudian proses kompromi pun tercapai dengan
> anggukan sepakat dan kepuasan dari semua tamu kami. It's a win-win
> solution.
>
> Begitulah proses adaptasi saya di ruang kelas baru ini.
> ***
>
> Pelajaran 5: Belajar Bernafas
>
> Pun hati dan kepala saya sudah mulai belajar duduk bersama dalam
> satu kursi, tetap saja ada saat-saat dimana kepala saya lagi-lagi
> akan kelewat banyak bertanya dan mencerca, sementara hati saya
lagi-
> lagi akan kelewat banyak merasa.
>
> Ya, ini melelahkan. Sangat.
>
> Saat saya sempat memutuskan untuk berhenti bekerja kantoran dan
> tinggal di rumah saya, menjadi kontributor untuk sebuah majalah,
> misalnya. Ada banyak momen dimana kepala saya tanpa henti
bertanya.
>
> Bolehkah saya merasa bosan di rumah? Bolehkah saya mencoba
> mengatasinya dengan berjalan-jalan ke rumah abang atau orangtua
saya
> sendirian? Saat saya belum selesai mencuci baju karena terlalu
fokus
> menulis, apakah saya bersalah sebagai seorang istri? Saat saya
lupa
> menanak nasi sarapan dan nasi semalam ternyata sudah basi—sehingga
> kami yang lapar terpaksa menunggu selama 45 menit—apakah saya
> menjadi istri yang buruk, karenanya? Saat saya menghabiskan 3,5
jam
> di warnet dan pulang saat makan siang—pun suami saya saat itu
makan
> siang di kantor—apakah saya adalah seorang istri yang egois?
Apakah
> itu membuat saya menjadi sosok istri yang tak bertanggung jawab
> karenanya?
>
> Logically, kepala saya tentu tahu jawabannya—yang juga telah saya
> confirm dengan suami saya. Bahwa tentu saja, tidak, Retnadi. It's
> OK. Shit happens. Semua orang bisa melakukan kesalahan. Dan itu
tak
> lantas menggeneralisirmu menjadi istri yang buruk. "And yes,
> sweetie, I love you that much," ujar suami saya.
>
> Jika memang demikian, lantas kenapa saya masih belum merasa lega?
> Kenapa saya terus-menerus merasa bersalah, sesak napas, dan mulai
> berpikir bahwa 'Apakah saya menikah terlalu cepat?'
>
> I hate that thought. Karena saya tahu pasti, bahwa saya mencintai
> suami saya, dan bahwa saya telah mengambil keputusan untuk
menjalani
> ini bersamanya. Pertanyaan `what if' adalah pertanyaan mengawang-
> awang yang melelahkan, tanpa tujuan, dan sia-sia.
>
> Namun bagaimana menjawab ini pada kepala saya yang haus jawaban?
>
> Bahkan kala suatu proses adaptasi berjalan halus dan mulus, saya
> tahu bahwa seharusnya saya bersyukur. Dan ya, tentu saja saya
> bersyukur. Namun saat kepala saya yang bawel tiba-tiba menerima
saja
> semua bentuk kompromi ini dengan lapang dada, giliran diri saya
yang
> bertanya-tanya akan krisis identitasnya. "Ada apa dengan kamu, No?
> Apa ini berarti konsepmu selama ini salah? Dan yang sekarang ini
> adalah yang benar? Jadi, yang mana identitas dirimu? Jadi, kamu
itu
> yang mana?"
>
> Dan saya tidak tahu jawabannya.
>
> Saya ingat pada suatu malam, kala pertanyaan ini kembali mencecar
> saya. Saat itu, saya meng-sms Ain. "Ain, I work from home, like I
> always wanted to. I have a beautiful husband that loved me and
> adored me so much. I live in a house that have a beautiful
scenery.
> But why is hard for me to breath? Why is so hard to breathe?"
>
> Ain membalasnya dengan satu sms sederhana. Satu sms berisi kalimat
> yang dikutipnya dari Eat, Pray, Love-nya Elizabeth Gilbert. "What
do
> you really really really want, Jo?"
>
> Sadly, I have no answer.
>
> Malam itu hampir pukul 1 pagi. Suami saya sudah terlelap di kamar.
> Sementara saya menangis di ruang depan, karena saya tak punya
> jawaban untuk membalas sms Ain. Dan seperti banyak hari buruk saya
> lainnya, saya pun menelpon Citra. Yang lagi-lagi, seperti biasa,
> punya jawaban melegakan.
>
> "Retnadi sayang, you're married at 23. Tentu saja, itu bawa banyak
> perubahan. Beberapa perubahan pasti melahirkan banyak pertanyaan
> membingungkan seperti ini. Tapi tahu nggak, No? It's OK, untuk
tidak
> punya jawaban atas segala hal. It's OK, untuk bilang sama kepala
dan
> dirimu sendiri, atau bahkan semua pertanyaan yang kamu temui,
> dengan "Maaf, untuk saat ini, saya tidak punya jawabannya. Tapi
saya
> akan belajar untuk mencarinya." It's OK, and we still love you. So
> take your time, Retnadi. Take your time. Love you," ucap Citra
> mengelus hati saya.
> ***
> Pelajaran 6: Dua Aksioma
>
> Dalam ilmu komunikasi, aksioma adalah sesuatu yang tak
terbantahkan.
> Aksioma komunikasi yang terkenal adalah `we cannot not
communicate'.
> Karena pun kita menolak komunikasi verbal, akan selalu ada
komponen
> nonverbal yang mengkomunikasikan pesan kita.
>
> Di umur 24 tahun, saya pun menyusun dua aksioma saya. Pertama, we
> can't pleased everyone. Kita tak bisa menyenangkan semua orang.
Pun
> saya berusaha sekeras mungkin, akan selalu ada masukan, keinginan,
> dan harapan yang tak terakomodir. Pun saya berusaha sekeras
mungkin,
> hasil akhir tetaplah berada di tangan Tuhan. And it's OK, because
we
> can't pleased everyone. Saya berikhtiar, Tuhanlah yang menentukan.
>
> Aksioma ke dua (thanks to Citra), bahwa saya tak harus punya
jawaban
> atas segala hal. Selama bertahun-tahun lamanya, kepala saya yang
> haus jawaban, tanpa henti bertanya, dan betapa saya berusaha keras
> untuk menjawabnya. Berusaha keras menyusun banyak konsep, banyak
> definisi, banyak deskripsi, banyak pernyataan, banyak alur logika,
> banyak pertimbangan, dan setumpuk penjelasan lain yang saya kira
> dapat memuaskan kepala saya. Tak pernah sekalipun terlintas, bahwa
> saya boleh menjawab 'I don't know how. I just know', atau 'I don't
> know, now. Let's figure it out later.'
>
> Saat pagi hari misalnya. Saat suami saya sudah berangkat ke
kantor,
> sementara saya yang usai meratakan tanah belakang, beristirahat di
> atas karpet. Dengan kaki berselonjor, sarapan nasi putih hangat
> berlaukkan beberapa potong gorengan, untuk kemudian minum
secangkir
> kopi susu. This is it. The moment of happiness. I'm just happy. I
> just know.
>
> Atau saat saya tengah kebingungan untuk mengambil suatu keputusan.
> Saat itu, saya menangis sejadi-jadinya di atas sajadah, terus-
> menerus bertanya pada Tuhan. Please tell me what to do. Please
tell
> me what to do. Please tell me what to do.
> Dan sama seperti di malam tahun baru 2008, mata hati pun kembali
> membimbing saya. Dengan tenangnya, dengan lembutnya, dengan
> sabarnya.
>
> Ah, betapa melegakan.
>
> Kini, pun banyak pertanyaan kembali berseliweran di kepala saya,
> saya tahu, bahwa saya akan selalu bisa mengembalikannya pada
Tuhan.
> Sama seperti saat dulu saya memutuskan untuk keluar dari hubungan
> melelahkan, sama seperti saat saya memutuskan untuk menikah, sama
> seperti saat saya memutuskan untuk kembali bekerja kantoran.
>
> Dan sebagai murid baru di ruang kelas bernama pernikahan ini,
tentu
> akan selalu ada banyak materi yang tak saya pahami. Akan ada
> sejumlah kesalahan yang saya lakukan, ataupun suami saya lakukan.
> And it's ok. Seperti kutipan lirik lagu Ordinary People John
> Legend "We're just ordinary people, we don't which way to go.
`Cause
> we're ordinary people, maybe we should take it slow."
>
> Pelan-pelan, saya dan suami saya akan belajar bersama di ruang
kelas
> baru ini. PadaNya, Sang Maha Guru. Semoga pelajaran ini
berlangsung
> selamanya. Untuk semua hal yang akan datang, attraversiamo*. Amin.
> ***
>
> *Attraversiamo (Italian phrase): Let's cross it over.
>
> PS: Di akhir tulisan ini, seketika saya terpikir, bahwa dengan
> deskripsi kata sifat, mungkin kata 'pernikahan' bisa menjadi suatu
> kata yang pas untuk dilekatkan pada diri saya. Dengan suami dan
> cinta yang begitu mempesona, saya pun tak bisa menemukan kata
sifat
> lain, selain: bahagia.
>
> Yes, I'm happily married. I just know.
>

Recent Activity
Visit Your Group
Share Photos

Put your favorite

photos and

more online.

Curves on Yahoo!

A group for women

to share & discuss

food & weight loss.

Y! Groups blog

The place to go

to stay informed

on Groups news!

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: