Selasa, 23 September 2008

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2269

Messages In This Digest (6 Messages)

Messages

1a.

Re: (Undangan) Pawai Simpatik "Food For Work" dari Baznas

Posted by: "Lia Octavia" liaoctavia@gmail.com   octavialia

Tue Sep 23, 2008 2:24 am (PDT)

ya kalau udah dibagikan sih gpp kali, Mas R.
semoga paket-paketnya bermanfaat buat mushalla-mushalla di sana ^_^

makasih yaaa ^_^

2008/9/23 r widhiatma <r_widhiatma@yahoo.com>

> Mba Lia, wilayah Jakarta Timur tempo hari membagikan paket ke stasiun2
> juga.
> Semula kami khawatir akan dihandle oleh baznas. Tapi hal ini
> dikonsultasikan dulu ke pak ketua panitia (atau ketua kelas?). Akhirnya
> kami membagikannya di tempat itu. Diantara tempat2 yang kami sampaikan paket
> bantuannya adalah beberapa stasiun kereta yaitu:
> stasiun Jatinegara, stasiun Tebet, & stasiun Cawang.
> Jadi bagaimana dong?
>
>
>
> --- On *Tue, 9/23/08, Lia Octavia <liaoctavia@gmail.com>* wrote:
>
> Sahabat-sahabat SK yang dirahmati Allah,
>
> Sebagai salah satu rangkaian baksos Ramadhan "1000 Cinta Untuk 1000
> Mushalla", Komunitas Sekolah-Kehidupan. com bekerja sama dengan Badan Amil
> Zakat Nasional (Baznas) untuk membagikan perlengkapan shalat ke
> stasiun-stasiun kereta api dalam kegiatan "Food For Work" yang
> diselenggarakan oleh Baznas.
>
> Sehubungan dengan kerja sama ini, Baznas mengundang sahabat-sahabat SK
> untuk mengikuti Pawai Simpatik Ramadhan yang akan diakhiri dengan kegiatan
> Food For Work (bekerja bakti dengan upah sembako dan paket lain) sebagai
> bentuk kepedulian terhadap kaum dhuafa.
>
> Ada pun pelaksanaannya adalah sbb:
>
> Hari/tanggal : Rabu / 24 September 2008
> Waktu : Pukul 14.00 - selesai
> Tempat : Stasiun Kota (tempat
> pemberangkatan pawai dari Menara Kebon Sirih)
> Jl. Kebon Sirih kav 17-18
> Jakarta 10340
>
> Bila ada di antara sahabat yang ingin ikut serta dalam pawai ini, mohon
> menghubungi Dani Ardiansyah di 085694771764 untuk konfirmasi dan koordinasi
> keberangkatan.
>
> Demikian undangan ini kami sampaikan.
>
> Wassalam
> Panitia 1000 Cinta Untuk 1000 Mushalla
>
>
>
>
2a.

Re: (Undangan) Pawai Simpatik "Food For Work" dari Baznas -> Mr. R

Posted by: "fil_ardy" fil_ardy@yahoo.com   fil_ardy

Tue Sep 23, 2008 2:33 am (PDT)

It's, Oke no Problemo, Brow.
InsyaAllah tidak ada silang pendapat *loh kok*
maksdunya tidak ada double dposting *loh kok*
duuuh, maksudnya nggak ada double penyerahan donasinya
karena sudah diatur sedemikian rupa, kalopun ada,
donasi akan tetap tersampaikan dengan EFEKTIF.

Hatur nuhun
DANI

In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, r widhiatma <r_widhiatma@...>
wrote:
>
> Mba Lia, wilayah Jakarta Timur tempo hari membagikan paket ke
stasiun2 juga.
> Semula kami khawatir akan dihandle oleh baznas. Tapi hal ini
dikonsultasikan dulu ke pak ketua panitia (atau ketua kelas?). 
Akhirnya kami membagikannya di tempat itu. Diantara tempat2 yang kami
sampaikan paket bantuannya adalah beberapa stasiun kereta yaitu:
> stasiun Jatinegara, stasiun Tebet, & stasiun Cawang.
> Jadi bagaimana dong?

3.

(Inspirasi) Bersukacitalah!

Posted by: "teha" teha.sugiyo@toserbayogya.com

Tue Sep 23, 2008 2:48 am (PDT)

Inspirasi

*BERSUKACITALAH
*/Oleh Teha Sugiyo/*
*
Tomoji Tanabe, boleh dibilang satu-satunya manusia tertua yang masih
hidup di jagad ini. Supersentenarian, sebutan seseorang yang mampu
mencapai usia 110 tahun atau lebih. Saat ini Tanabe adalah
supersentenarian Jepang yang mampu mencapai usia 113 tahun (dilahirkan
18 September 1895), dan menjadi orang tertua di Jepang yang mampu
mengalahkan rekor Nijiro Tokuda yang berusia 111 tahun. Konon, ia
menjadi manusia terakhir yang lahir pada 1895.
Kakek Tanabe pernah bekerja sebagai insinyur sipil. Ia memiliki 8
anak, 25 cucu dan 54 cicit. Ia mengatakan tentang rahasia umur
panjangnya adalah sama sekali tidak menyentuh alkohol. Pada ultahnya
yang ke 112 ia menyatakan, "Saya ingin hidup selamanya. Saya tak ingin
mati." Seperti dicatat oleh /Guinness Book of World Records' oldest
living male,/ Juni 2007, Tanabe luar biasa sehat. Ia makan
sayur-sayuran, dan tidak minum alkohol, tetapi setiap hari minum susu.
Kalau pada tahun silam ia menginginkan hidup dalam jangka waktu tak
terbatas, pada ultahnya yang ke-113, 18 September silam, ia mengatakan,
"Saya bahagia. Saya makan banyak. Saya belum ingin mati!" Ya, Tomoji
Tanabe adalah manusia tertua di dunia saat ini. Masih sehat wal afiat.
Ketika diadakan seminar tentang rahasia umur panjang di kalangan
orang Jepang, muncul kesimpulan bahwa orang Jepang dapat berumur panjang
karena makanannya. "/You are what you eat/". Begitu istilahnya. Ternyata
ada 3 makanan favorit orang Jepang yang membuat mereka panjang umur,
yaitu: ikan, nasi dan teh hijau.
Kita memang tidak membicarakan nutrisi makanan tersebut, apalagi ini
bulan puasa. Lebih baik kita mendengar pendapat manusia tertua itu, saat
ditanya apa rahasia umur panjang dalam keadaan sehat wal afiat. Dengan
singkat Tomoji Tanabe menjawab, "Bersukacitalah!" Ya, bersukacitalah.
Itu jawaban singkat yang membuat banyak orang merenung panjang.
Demikian kiat suksesnya menikmati hidup. Bagaimana caranya? Ya, itu
tadi: Bersukacitalah!
Secara semantik, bersukacita adalah perasaan senang ketika harapan
sesuai kenyataan. Oleh sebab itu menjadi penting bagi kita untuk
menjawab pertanyaan krusial ini: kehendak siapa yang mau dicapai pada
saat kita bekerja? Lebih spesifik lagi, kehendak siapa yang mau dicapai
ketika kita mengupayakan kehidupan yang berkualitas?
Kalau kita menjawab untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan diri
sendiri, nampaknya kita tidak punya potensi sedikit pun untuk merasakan
sukacita. Yang ada adalah sungut-sungut dan saling menyalahkan, akhirnya
mematikan semangat kebersamaan.
Sesederhana macam apa pun bersukacita melibatkan orang lain. Lalu,
di mana kita menempatkan kepentingan diri sendiri? Apakah salah memiliki
kepentingan sendiri? Tentu saja tidak. Sangat wajar bila kita memiliki
kepentingan sendiri. Hanya saja, dalam kehidupan dan pergaulan
antarsesama, kepentingan bersama sebaiknya ditempatkan pada prioritas
utama. Kita tidak boleh lupa bahwa di dalam kepentingan bersama sudah
terdapat kepentingan diri sendiri.
Nasihat bijak ini mungkin pantas kita renungkan, "Bersukacitalah
senantiasa dalam Tuhan. Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang.
Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah
dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan
dengan ucapan syukur".
Dalam bersukacita, marilah kita pikirkan semua yang benar, semua
yang mulia, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang
disebut kebajikan dan patut dipuji - pikirkanlah dan juga lakukanlah!
Sebentar lagi kita merayakan hari kemenangan setelah sebulan penuh
kita berjuang melawan hawa nafsu, melatih kesabaran, ketabahan dan juga
berjuang melawan rasa lapar dan dahaga. Dan pada saatnya nanti, kita
layak untuk bersukacita di hari kemenangan! Selamat menyambut Hari
Kemenangan dengan bersukacita!

/live as if you were to die tomorrow
learn as if you were to live forever.
(Mahatma Gandhi)/
4.

Re: (reportase) secangkir teh, sepiring keripik singkong & kurnia ef

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Tue Sep 23, 2008 3:17 am (PDT)

Reportase yang indah, bernas dan informatif. Cukup mewakili "mata"
sahabat-sahabat SK yang tidak berkesempatan hadir (termasuk saya tentunya).
Makasih ya, Retno:).

Tabik,
Nursalam AR

On Tue, Sep 23, 2008 at 4:32 AM, Bu CaturCatriks <punya_retno@yahoo.com>wrote:

> Secangkir Teh, Sepiring Keripik Singkong & Kurnia Effendi
> Oleh Retnadi Nur'aini
>
> Tiga kombinasi itulah yang saya temui di Warung Apresiasi (Wapres)
> Bulungan pada tanggal 27 Agustus 2008. Rabu malam, atau Reboan—dalam
> istilah komunitas Apresiasi Sastra atau Apsas.
>
> Suatu tempat dan komunitas yang kami anggap cocok untuk membedah
> buku antologi terbaru kami—Antologi Puisi dan Kisah Inspiratif SK,
> Mengenggam Cahaya. Sebuah Persembahan Cinta untuk Milad SK II.
>
> Dengan seorang pembedah karya bernama Kurnia Effendi.
> ***
>
> Sosok Kurnia Effendi saya temui untuk pertama kalinya pada bulan
> Oktober tahun 2007. Beberapa bulan sebelumnya saya mengikuti suatu
> lomba penulisan cerita pendek dimana Mas Kef—begitu saya kemudian
> biasa memanggilnya, ternyata menjadi salah satu dewan jurinya
> bersama Yusi Pareanom. Sampai pada suatu hari, saya mendapatkan
> telpon untuk datang ke malam acara penyerahan hadiah, sekaligus
> menyaksikan cerpen saya dibacakan oleh aktris Wulan Guritno.
>
> Saat tengah menyelinap ke balik panggung untuk mengambil hadiah,
> saat itulah Mas Kef menyapa saya. "Retnadi, ya? Wah, saya suka tuh
> cerpen kamu yang perempuan jatuh cinta pada hujan," sapanya ramah.
>
> "Ah, masih jauh lah sama Bapak. Masih amatir," jawab saya.
>
> Yang dibalas Mas Kef dengan "Ah, sebentar lagi saya juga tergusur
> sama penulis-penulis seperti kamu."
>
> Deg. Saya tersentak. Dan melongo.
>
> Tentu saja, itu bukan kali pertama saya bertemu seorang sosok
> populer. Bukan kali pertama itu pula saya bertemu dengan seorang
> tokoh penulis senior—atau kombinasi keduanya, tokoh penulis senior
> yang populer, atau tokoh populer yang kemudian menulis, you name it.
>
> Namun, itulah kali pertama saya bertemu dengan kombinasi sosok itu,
> yang dengan tulusnya, dengan humble-nya, dengan bersahajanya, dengan
> rendah hatinya, mengucapkan pernyataan tersebut: Sebentar lagi, saya
> juga tergusur oleh para penulis seperti kamu.
>
> Untuk satu pernyataan luar biasa seperti itu, saya yang speechless
> pun hanya bisa berucap "Hiss, ya ndak to, Pak. Saya ini masih juauh
> banget sama Bapak!".
> ***
>
> Beberapa bulan setelahnya, kami kembali bertemu dalam acara bedah
> buku puisi karya Pak Budi Santoso di TIM. Kala itu, Mas Kef yang
> berdiri di belakang tersenyum pada saya. Dan saat saya
> menghampirinya, sapaan pertamanya adalah "Retnadi, nih. Sms-ku masa
> nggak dibalas sama kamu." –beberapa malam sebelumnya, Mas Kef memang
> meng-sms saya. Namun karena ponsel saya uzur, balasan sms pun gagal
> terkirim pada beliau.
>
> Sms ini pulalah yang kemudian menjadi saluran komunikasi kami saat
> saya meminta beliau menjadi pembedah buku antologi SK yang ke lima
> ini. And here we are, dengan secangkir teh panas dan sepiring
> keripik singkong dan kacang rebus. Dan beberapa jam obrolan dan
> diskusi menyenangkan.
>
> Dibuka oleh sahabat saya, Citra, dengan topik nasionalisme dalam
> karya. Dilanjutkan dengan diskusi panjang kami tentang Budi Darma.
> Betapa saya selalu kagum dengan kepiawaian Pak Budi Darma untuk
> mendeskripsikan karakter emosi tokohnya dengan begitu mendetil,
> namun sekaligus bisa menjaga jaraknya sebagai penulis.
>
> "Dan saya selalu bingung, bagaimana beliau melakukannya. Karena saya
> kalo nulis, suka kepikir, ini nanti dibaca siapa, ya. Jadi berusaha
> untuk berhati-hati memilih kata dan emosi kala menulisnya. Abis,
> daripada ntar dituduh gila, kan?" ujar saya.
>
> Yang dijelaskan Mas Kef dengan "Ya, memang penulis itu harus menjaga
> jarak dengan tokohnya, dengan begitu akan keluar tokoh-tokoh rekaan
> itu secara hidup. Dan bukan aku-nya si penulis. Dan Budi Darma
> memang piawai dalam hal itu. Saya sendiri banyak belajar dan
> berdiskusi dengan beliau. Saya juga pernah menulis sebuah cerpen
> yang dimuat di Horison, mencoba menulis ala Budi Darma, meski tentu
> saja, masih jauh sekali dibanding dengan beliau, ya."
>
> "But, how? Gimana caranya? Bukankah kita menulis berdasarkan apa
> yang kita ketahui? Dan bukankah sumber riset kita yang paling kaya
> adalah tentang diri kita sendiri? Atau apakah kita harus belajar
> berempati? Sampai sejauh mana? Dan Mas Kef sendiri, bagaimana Mas
> melakukannya?," tanya saya tetap dengan dodolnya.
>
> Dengan sabar, Mas Kef pun menjelaskan, bahwa ya, memang benar, kita
> menulis apa yang kita ketahui. Dan ya, memang benar pula, jika
> sumber pengetahuan kita yang kaya adalah dari diri kita sendiri.
>
> Namun beliau juga mengingatkan, bahwa ada sumber lain yang sama
> kayanya. Yaitu, para manusia di sekitar kita. Yang dengan riset dan
> observasi mendalam, akan menjadi satu karakter utuh yang kuat, dan
> muncul dengan sederhananya. Dan tambahkan tetesan bumbu ajaib
> kreativitas dan imajinasi, voila!, jadilah satu karya yang mendalam.
>
> "Meski tentu saja, untuk menghasilkan karya semendalam Budi Darma,
> butuh riset dan jam terbang penulisan yang tinggi, ya, Ret,"
> pungkasnya.
> ***
> Sebagai buku kelima yang dirilis SekolahKehidupan, bisa dibilang
> buku Menggenggam Cahaya dikerjakan dengan banyak keterbatasan dan
> kekurangan. Mulai dari ongkos cetak yang berupa donasi kolektif dari
> para penulis, keterbatasan waktu, hingga ada begitu banyaknya salah
> cetak dan salah eja karena ketidakjelian tim editor. Namun, saya
> sungguh-sungguh terhenyak kala membaca ulasan buku Mengenggam Cahaya
> yang ditulis beliau.
>
> Karena dengan semua kesederhanaan buku Menggenggam Cahaya, Mas Kef
> menuliskan satu ulasan mendalam yang sungguh-sungguh mempesona. Di
> tengah acara, beliau berbisik "Sebenarnya memang ada banyak
> kesalahan eja, ya, Ret. Tapi buat saya itu nggak substansial,
> makanya nggak saya bahas di review."
>
> Dengan sabar, Mas Kef juga ikut menunggu giliran bedah buku kami
> tampil di panggung. Tanpa sekalipun mengeluh, atau menggerutu.
> Padahal, sore itu Mas Kef telah berupaya untuk datang tepat waktu,
> dan besoknya beliau ada acara di Puncak. Ah, makin tak enak saja
> kami dengan beliau. Satu hal yang membuat saya dan Mbak Lia tak
> henti minta maaf pada beliau.
>
> Kekaguman saya pada beliau pun makin menggunung, kala menerima sms
> seusai mengantarkan beliau pulang. "Retno, apa-apaan ini, kok ada
> amplop? Kalian ini bikin aku tersipu-sipu saja. Kalian kan bikin
> buku itu untuk amal, saya sudah senang, kok, bisa terlibat. Lain
> kali nggak usah ya," ketiknya mengomentari amplop berisi transport,
> yang saya berikan.
>
> Yang saya balas dengan "Ah, Mas Kef ini. Justru kami yang tersipu-
> sipu, hanya mampu menjamu seadanya. Mohon diterima dengan ikhlas.
> Dan terima kasih banyak untuk semuanya.."
>
> Ah, malaikat itu memang bisa menjelma dalam berbagai rupa...
> ***
>
>
>

--
-"Let's dream together!"
Nursalam AR
Translator, Writer & Writing Trainer
0813-10040723
E-mail: salam.translator@gmail.com
YM ID: nursalam_ar
http://nursalam.multiply.com
5a.

(Inspirasi) ...dan makhluk itu bernama cinta

Posted by: "Jenny Jusuf" j3nnyjusuf@yahoo.com   j3nnyjusuf

Tue Sep 23, 2008 3:52 am (PDT)



"Itu siapa?"

 

Saya mengalihkan perhatian dari layar laptop dan menoleh ke arah yang ditunjuk
teman saya dengan dagunya.

 

Seorang bapak tua baru saja memasuki ruangan
seminar tempat kami menjadi panitia. Seminar tersebut dilangsungkan selama
sembilan hari dan diikuti oleh peserta dari berbagai kota. Selain menjadi seksi
sibuk yang merupakan kewajiban setiap orang berlabel panitia, saya juga
kebagian tugas mendata dan mengumpulkan foto setiap peserta.

 

"Nggak mungkin peserta," saya menjawab pelan,
supaya tidak terdengar oleh si bapak yang kini sibuk menata bawaannya di pojok
ruangan, tanpa permisi sama sekali, bahkan tanpa memandang kami.
Barang-barangnya tidak terlalu banyak, hanya sebuah ransel lusuh dan dua dus
berukuran sedang yang tampak kontras dengan karpet tebal dan interior ruang
seminar.

 

Teman saya menghampirinya dan berbasa-basi
menanyakan namanya. Setelah menjawab sekenanya, bapak tua itu menarik sebuah kursi
yang menganggur di sudut, duduk bersandar di sana, dan tidur.

 

Hayah.

 

Saya dan teman-teman panitia cuma bisa berpandang-pandangan.

 

Tabir misteri itu baru tersingkap ketika si
bapak membuka matanya yang memerah dan tersenyum penuh kantuk. Ternyata beliau
hanya tidur-tidur ayam (BTW, ada yang bisa menjelaskan kenapa disebut
'tidur-tidur ayam'? Hehehe).

 

"Saya mau nengok istri," jelasnya sederhana.
"Dia ikut seminar di sini."

 

"Nama istrinya siapa, Pak?"

 

"Indrawati."

 

Saya terdiam. Pandangan saya beralih ke balik pintu
kaca, tempat dimana para peserta mengikuti jalannya seminar.

 

Itu dia. Orang yang dimaksud sedang duduk di
deretan tengah, agak ke belakang. Penampilannya sangat sederhana. Rambutnya
yang keabuan disanggul, punggungnya sedikit bungkuk dan wajahnya yang
berkeriput tampak lelah, namun ia tetap semangat menyimak seminar. Sibuk
mendengarkan dan mencatat.

 

Ibu Indrawati adalah peserta tertua yang berasal
dari Salatiga, Jawa Tengah. Ragu-ragu, saya melirik si kakek.

 

"Bapak dari mana?" tanya saya hati-hati.

 

"Salatiga," jawabnya sambil tersenyum,
memamerkan gigi-gigi kecoklatan yang sebagian sudah mengeropos, bahkan patah.

 

"Di Jakarta Bapak tinggal di mana?" saya
penasaran.

 

"Ada saudara di Kramat," ia menjawab dengan mata
berkaca-kaca, sepertinya masih ngantuk berat. "Tapi saya ndak lama di sini, paling dua hari. Habis itu pulang ke Salatiga."

 

"Kangen sama Ibu ya, Pak?" Duh, Bapak, maafkan
saya yang terlalu cerewet, tapi sungguh saya tak bisa menahan diri untuk terus
bertanya.

 

Beliau tidak menyahut. Hanya senyumnya yang
merekah semakin lebar. Dan binar matanya lebih dari cukup untuk menjawab
pertanyaan saya.

 

Saya meninggalkan beliau dan kembali ke kursi
saya (karena kalimat 'kembali ke laptop'
agak mengingatkan pada bapak-bapak pakar komedi yang sering nongol di TV ;-D).
Sambil mengetik, berulang kali saya menengok ke arahnya (bapak tua, bukan bapak
pakar komedi – ini apaan sih? Hahaha!). Menatapi punggungnya. Mengamatinya
bersandar di sana dan tertidur pulas. Sekadar melihat tanpa bersuara.

 

Jam makan siang tiba. Para peserta berhamburan
keluar, berebut menyerbu tumpukan kotak styrofoam
putih yang berisi makanan dengan ganas. *Ehm, nggak usah dibayangin, ini
hiperbola. ;-)*

 

Bapak tua itu tak ikut beranjak, agaknya maklum
bahwa ia tak mendapat jatah karena bukan peserta. Namun matanya mencari-cari.

 

Sosok yang ditunggunya keluar tak lama kemudian.
Mereka saling merangkul. Di depan orang-orang yang lalu-lalang. Dengan ransel
lusuh dan dus-dus Aqua diikat tali rafia yang kontras dengan karpet tebal dan
interior ruangan.

 

Untuk sejenak, ruangan itu hanya milik mereka
berdua. Dan tak ada lagi yang nampak kontras di sana.

 

Ijinkan
saya punya cinta seperti itu jika saya tua nanti, saya membatin, entah
pada siapa.

 

Cinta yang tak lekang oleh wajah keriput, rambut
beruban, gigi kecoklatan, ransel lusuh dan pakaian seadanya. Cinta laksana
embun pagi, sinar mentari dan semilir angin yang selalu ada setiap hari. Sederhana,
dan senantiasa baru.

 

-----

 

Dalam perjalanan pulang, saya duduk di angkot
dan tak henti-hentinya berpikir. Bukan tentang bapak tua dan istrinya.
Belakangan ini otak saya dipenuhi begitu banyak persoalan, yang kalau
dipikir-pikir lagi, kebanyakan sampahnya daripada pentingnya. Namun
sampah-sampah itu tak sudi pergi meski saya sudah berusaha keras. Semakin
ditepis, semakin awet bercokol.

 

*Oh,
well, what you resist persists, right? ;-)

 

Lelah. Jengkel. Muak.

 

Khawatir. Risau. Gelisah. Tak menentu.

 

Jalanan macet. Udara gerah. Penumpang
berjejalan. Keringat bertetesan.

 

Hidup saya sebulan terakhir. Rollercoaster tanpa ujung. Tanpa
operator, tanpa karcis, tanpa durasi, dan saya tak bisa berteriak minta
berhenti meski sudah penat meluncur naik-turun.

 

Saya duduk bertopang dagu, menghela nafas
dalam-dalam.

 

Angkot berhenti di pinggir jalan. Seorang ibu
yang sedang menggendong anak berjalan mendekat. Spontan saya menggeser tubuh,
merapatkan diri ke sudut. Tempat yang tersisa hanya cukup untuk satu orang. Si
ibu harus memangku anaknya selama perjalanan.

 

Pintu angkot yang terlalu rendah membuatnya
terpaksa mengeluarkan upaya ekstra untuk bisa masuk dan duduk di samping saya.
Seketika pandangan seluruh penumpang tertuju pada sosok sederhana berbalut
jarit itu.

 

Bocah yang digendongnya menderita hydrocephalus.

 

Tidak ada penumpang yang bersuara tatkala si ibu
membetulkan posisi duduk anaknya agar nyaman dipangku dan meluruskan letak kain
jarit di sekeliling tubuh si bocah, melindunginya dari hembusan angin.

 

Si bocah mengeluarkan suara-suara aneh. Baru
saya sadar, bibirnya tak mampu mengatup. Kedua mata dan mulutnya tertarik sedemikian
rupa hingga terus mendelik dan menganga.

 

"Haaaa... aaaaaa... haa."

 

Sang ibu tertawa pelan mendengar bahasa yang
hanya dipahami mereka berdua. Ia mengangguk-angguk, senyumnya lepas tanpa
beban. Ia merogoh tas, mengeluarkan dot dan memasukkannya ke mulut si bocah.

 

"Umurnya berapa, Bu?" seorang penumpang menyela
aktivitas kecil itu.

 

"Lima," sang ibu menjawab ramah. Tak disangka,
bocah di pelukannya ikut tersenyum. Seolah mengerti apa yang sedang diobrolkan
dan menganggapnya lucu.

 

"Haaaa... aaaaa... aaaa."

 

Senyum itu terus merekah dari mulut yang tak
mampu mengatup dan disumpal dot bayi. Bahkan sepasang mata yang mendelik itu
ikut tersenyum. Kepala yang terayun lemah dalam gendongan sang ibu tak sanggup menahannya
untuk membagi kegembiraan pada seluruh penumpang angkot yang kini menontoni
mereka.

 

Sang ibu mengayun anaknya perlahan. Menyambut
senyumnya dengan mata berbinar, seolah ingin berkata sederhana, "Aku sayang
kamu, apa adanya."

 

Mata saya membasah.

 

Mendadak, seluruh jaringan kusut di otak saya
kehilangan maknanya.

 

Mendadak, apa yang saya sebut beban dan masalah seperti
mengambang begitu saja, menyisakan ruang hening, dan saya terhanyut di sana.

 

Mendadak, saya tak peduli lagi pada rollercoaster yang masih terus meluncur
naik-turun, dengan saya di dalamnya. Tak ingin berteriak minta berhenti.

 

Jenis
cinta apa yang kau punya, Ibu?

Aku
ingin sekali memilikinya.

 

Cinta itu tak terbeli, dan tanpa harus
mengeluarkan uang sepeser pun, si anak telah mendapatkannya. Lunas.

 

Mendadak, saya hanya ingin punya cinta.

 

secarik
kenangan yang tersisa, agustus 2008

ROCK Your Life! - Jenny Jusuf - http://jennyjusuf.blogspot.com

5b.

Re: (Inspirasi) ...dan makhluk itu bernama cinta

Posted by: "ukhti hazimah" ukhtihazimah@yahoo.com   ukhtihazimah

Tue Sep 23, 2008 5:09 am (PDT)

Speechless...bener-bener terpesona dan gak tau musti ngomong ape. Saat tulisan mengalirkan kisah tentang sepasang suami istri yang menggambarkan 'cinta-tak-lekang-di makan-usia' [sinetron banget seh!] kepala tiba-tiba menghadirkan gambar yang dulu sering aku lihat saat berangkat ke kantor pagi-pagi, sepasang manusia-lanjut-usia yang bergandengan tangan, bercengkrama penuh tawa sembari mengolah raga menikmati udara pagi. Beuh, nikmat kali liatnya [dilafalkan secara batak mode ON ;P]
Begitu masuk ke kisah ibu-anak, kepala melayang lagi ke tempat-tempat---yang seringkali di pinggir jalan---di mana tampak sosok ibu yang memangku seorang anak-hydrocephalus sambil mengelus-ngelus kepala sang anak atau sekedar mengipasi untuk mengimbangi sorotan tajam mentari yang sering tak melihat situasi :D, walaupun di satu sisi aku ngeliatnya seperti memanfaatkan sang anak untuk meminta belas kasihan orang-orang yang lewat, namun kasih sang ibu dalam menggendong ataupun membelai sang anak, menunjukkan adanya makhluk bernama cinta ;)tadi katanya speechless...ini koq jadi bercerita panjang kali lebar, jadi luas dah thank mbak jenny:sinta:
Keindahan selalu muncul saat kepala manusia berpikir positif
^_^

www.sinthionk.rezaervani.com
www.sinthionk.multiply.com YM: sinthionk

--- On Tue, 9/23/08, Jenny Jusuf <j3nnyjusuf@yahoo.com> wrote:
From: Jenny Jusuf <j3nnyjusuf@yahoo.com>
Subject: [sekolah-kehidupan] (Inspirasi) ...dan makhluk itu bernama cinta
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Date: Tuesday, September 23, 2008, 10:52 AM

"Itu siapa?"

 

Saya mengalihkan perhatian dari layar laptop dan menoleh ke arah yang ditunjuk
teman saya dengan dagunya.

 

 

















Recent Activity
Visit Your Group
Y! Messenger

Group get-together

Host a free online

conference on IM.

Family Photos

Learn how to best

capture your

family moments.

Dog Zone

on Yahoo! Groups

Join a Group

all about dogs.

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: