Senin, 22 September 2008

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2265

Messages In This Digest (18 Messages)

Messages

1a.

(Catcil) THR PERTAMA

Posted by: "fiyan arjun" paman_sam2@yahoo.com   paman_sam2

Sun Sep 21, 2008 10:49 pm (PDT)


Sep 22, '08 1:41 AM
for everyone
THR PERTAMAFiyan Arjunhttp://sebuahrisalah.multiply.comid ym:pamn_sam2

  Sudah menjadi ketentuan di perusahaan-perusahaan manapun—baik itu dari kalangan bonafid
maupun yang menengah seringkali memberikan uang dispensasi tahunan tiap
tahun. Uang itu diberikan sekaligus untuk mensejahterakan para
pekerjanya di saat hari itu tiba. Pekerja yang instensif maupun yang masih tarap training (baru) mungkin akan mendapatkan uang kebijakan itu. Atau, yang familiar sering disebut uang THR. Alias, uang Tunjungan Hari Raya.  

 

Nah,
mengenai bicara uang THR ini saya pun ikut merasakan juga sekaligus
mengalaminya tahun ini. Dan uang THR tahun ini adalah merupakan THR
pertama saya sejak saya bekerja selama delapan bulan tahun ini. Delapan
bulan saya bekerja di tempat baru saya ini. Sebelumnya saya dulu hanya
menjadi "orang rumahan" saja.    

Bukan
tempat saja yang baru tetapi dari hal pekerjaan serta suasana pun ikut
terbawa. Semua ada hal yang baru saya temui. Apalagi saat saya bekerja
di tempat ini saya belum begitu banyak pengamalan. Ya, saya hanya
bekerja sebagai seorang pustakawan biasa —dimana saya bekerja.    

Mengkatalog buku yang datang (baru), mendata (input)
sekaligus mentata letak buku dengan baik sesuai kode dan tema buku.
Itulah tugas saya di tempat saya bekerja. Jangan tanyakan kenapa saya
dapat bekerja di tempat ini? Mungkin ini jalanNya yang telah menetui
saya untuk bekerja di tempat itu. Itu semua agar saya bisa mendapati
ilmu dan pengalaman yang baru dan belum saya ketahui. Itulah yang saya
rasakan sampai sekarang. Ruang tempat dimana saya bekerja saya selalu
dikeliling buku dan buku. Sampai-sampai saya yang melihat sampai ingin
muntah. Di tambah saya ini seorang penulis tiap hari harus berjibaku
dengan yang namnya buku. Well, lamat-lamat saya pun menjalani dengan apa adanya. Ternyata akhirnya saya pun menikmati pula.     Memang
walau saya rasakan uang THR yang saya terima tak seberapa—selama
delapan bulan bekerja—di tempat saya bekerja sebagai seorang
pustawakan. Kecil. Tetapi saya menyukuri hal itu. Apa pun saya terima
dengan lapang dada. Berarti saya sudah melaksanakan dan menunaikan
tugas sebagai seorang pustakawan selam delapan bulan itu.  

  Di
bilang cukup ya tidak? Di bilang tidak ya cukup? Ya, itulah sifat
kemanusiawian seorang manusia bila apa yang diraih tidak sesuai dengan
apa yng diinginkan akan kurang dan kurang terus. Tidak mencukupi.  

  Halnya beda dengan saya ketika saya menerima uang itu hasilnya pun saya gunakan dengan secermat mungkin.  Saya gunakan untuk membayar kewajiban saya sebagai seorang muslim di bulan suci ini, bulan Ramadhan. Membayar zakat kepada amil zakat
di mushallah terdekat tempat tinggal saya. Bukan itu saja saya bisa
memberikan salam tempel untuk para keponakan saya yang berjumlah
delapan orang itu. (Dua sudah bisa mencari uang (berdagang), dua lagi
masih berstatus anak didik. Masih betrsekolah serta yang keenamnya
masing lucu-lucunya. Menggemasakan). Itulah yang membuat saya bahagia
mendapatkan uang itu. Saya bisa berbagai kepada orang-orang terdekat
yang saya cintai.  Walau saya hanya menerima THR
dengan seadanya. Tapi hikmah dibalik itu semua saya bisa berbuat lebih
untuk mereka. Agar mereka senang dan bangga kepada pamannya ini.

 

Maklumlah
saya ini punya banyak keponakan. Kalau bisa dikatakan saya seperti
paman Donal Bebek yang punya banyak keponakannya. Walau mereka itu ada
yang membuat saya berkerut kening tapi ada juga yang membuat saya
kangen dan rindu bila seminggu tak bersua dengan mereka. Terlebih bila
hari raya idul Fitri rumah saya seperti kapal pecah. Tak dapat
dibayangkan kalau mereka nanti menyerbu rumah neneknya itu. Semua bakal
seru bila dilihat! Itulah kelakukan keponakan-keponakan saya yang
lucu-lucu. Biar membuat rusuh tapi membuat saya rindu.  

  Ya,
itulah guna uang THR yang saya terima. Saya gunakan untuk diri saya
pribadi khususnya, dan juga untuk orang-orang yang saya cintai. Saya
bisa memberikan salam temple pada waktunya tiba nantinya. Semampu saya
memberikannya daripada tidak! Nanti saya dikatakan paman yang pelit lagi. Ah, tidak mau saya dikatakn seperti itu.
Walaupun begitu mereka orang-orang yang membuat saya menjadi tambah
tegar dalam menghadapi hidup ini. Menghadapi hidup dengan penuh dengan
senyum. Jadi sudah sepantasnya saya memberikan yang terbaik untuk
mereka.  

  Entah,
apa jadi jika saya tahun ini tak dapat bekerja. Menjadi orang rumahan
tentunya orang-orang yang terdekat saya pasti akan kecewa dengan saya.
Mungkin inilah hikmah di bulan Ramadhan tahun ini yang saya terima.
Penuh dengan kesukaan cita yang dalam. Dan itu semua tak terlepas dari
Sang Maha Kuasa yang mengetahui apa yang umatNya inginkan dan DIA-lah
yang Maha Menghendaki. Subahanallah Wal hamdulillah. Terima kasih ya Allah. Thaks God! Akan saya syukuri nikmatMu ini.*(fy)

    Ulujami, 22 September 2008 Minal Aidin Wal Faidzin. Maapin yee kalo ade sale-sale kate dari aye. Piss, luv and laugh. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H. 

1b.

Re: (Catcil) THR PERTAMA

Posted by: "sismanto" siril_wafa@yahoo.co.id   siril_wafa

Sun Sep 21, 2008 11:43 pm (PDT)

Broo.... jangan lupa disisakan THR nya buat yang membutuhkan

Salam,

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, fiyan arjun
<paman_sam2@...> wrote:
>
>

2a.

Re: (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan

Posted by: "yudhi mulianto" yudhi_sipdeh@yahoo.com   yudhi_sipdeh

Sun Sep 21, 2008 11:40 pm (PDT)

M E N I K A H

Ngomong-ngomong soal menikah jadi ingat kalau menikah itu ternyata enak :-)

tidaklah mengherankan sekiranya banyak orang yang ingin...kepingin...ngarep...nikah atau kawin :-) kalau boleh ya secepatnya

muda, sedang, tua...berharap besar bisa menikah...bahkan ada yang ingin mengulanginya lagi.

Pernikahan yang pertama, kedua, ketiga, ke empat...bahkan terkahir baca di majalah ada yang sampai 86 kali...he...he..he...

T E R B U K T I menikah itu sesuatu yang "THE MOST WANTED"

--- On Sun, 9/21/08, Bu CaturCatriks <punya_retno@yahoo.com> wrote:

Sebuah Ruang Kelas Bernama Pernikahan
Oleh Retnadi Nur'aini

Marriage (noun): legal union of a man and woman as husband and wife.
Marriageable (adjective): old enough or suitable for marriage
Marry (verb): take somebody as a husband or wife; join as husband
and wife; find suitable partner for
Married (adjective): having a husband or wife
(Oxford Pocket Dictionary)

Di umur 23 tahun, kata "pernikahan" adalah kata yang terasa tak pas
untuk dilekatkan pada diri saya. Tidak sebagai kata benda. Tidak
sebagai kata sifat. Tidak juga sebagai kata kerja.

2b.

Re: (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan

Posted by: "fil_ardy" fil_ardy@yahoo.com   fil_ardy

Mon Sep 22, 2008 12:27 am (PDT)

Pliz deh, Jeng Retno, gara-gara tulisanmu,
saya harus ngejar kurir kantor yang berangkat
diam-diam karena ga sabar nunggu paket dokumen
yang harus segera saya input. Fyuuh, akhirnya
saya harus pake TIKI dan malu-malu menyerahkan
rembus ke acounting.

Sebagai sesama penghuni kelas seperti yg kamu maksud,
saya suka membaca ulasanmu. Bukan hanya karena nilai
nilainya yang bertebaran, tapi juga karena banyak hal.
Setidaknya, saya bisa memantulkan bias cermin yang
kamu suguhkan pada lalu menangkap pantulannya pada
pasangan saya, dan menerjemahkannya menggunakan rumus
yang saya yakin tidak jauh berbeda.

Thx 4 open your cloisters and tell much bout it

DANI

In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "Bu CaturCatriks"
<punya_retno@...> wrote:
>

>
> Sebuah Ruang Kelas Bernama Pernikahan
> Oleh Retnadi Nur'aini
>
> Marriage (noun): legal union of a man and woman as husband and wife.
> Marriageable (adjective): old enough or suitable for marriage
> Marry (verb): take somebody as a husband or wife; join as husband
> and wife; find suitable partner for
> Married (adjective): having a husband or wife
> (Oxford Pocket Dictionary)
>

2c.

Re: (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan

Posted by: "Bu CaturCatriks" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Mon Sep 22, 2008 12:39 am (PDT)

dan membaca komen mbak fety,
membuat saya menghembus napas lega.

alhamdulillah.
ternyata, saya tidak sendirian mempertanyakan ini semua.

thanks for reading, mbak.
i miss talking to you.

-retno-

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "inga_fety"
<inga_fety@...> wrote:
>
> membaca tulisan retno sehabis 3 jam penuh dengan tulisan hiragana,
> katakana dan kanji, seperti sebuah dejavu pada kehidupan hampir
satu
> tahun di kelas pernikahan kami. Seribu tanya yang juga
menghampiri,
> pun juga sampai kini. tapi, bertanya pada Sang Maha Kehidupan
selalu
> menghadirkan sebuah ketengan dan sebuah harap segala sesuatu
> InsyaAllah punya hikmah, pun ketika orang di sekitar kita menunjuk
> salah pada keputusan kita.
>
>
> salam,
> fety
>
> --- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "Bu CaturCatriks"
> <punya_retno@> wrote:
> >
> > dear all,
> >
> > hanya sekedar berbagi banyak pandangan dan pelajaran yg saya
dapat
> > dlm pernikahan.
> > oya, sebelumnya,
> > ini adalah salah satu tulisan terpanjang yg pernah saya buat.
> > sekaligus, salah satu tulisan terjujur, dimana saya benar2
mencoba
> > menumpahkan banyak pertanyaan dr kepala saya.
> > mohon maaf kalau membosankan dan membingungkan.
> >
> > -retno-
> >
> >
> > Sebuah Ruang Kelas Bernama Pernikahan
> > Oleh Retnadi Nur'aini
> >
> > Marriage (noun): legal union of a man and woman as husband and
> wife.
> > Marriageable (adjective): old enough or suitable for marriage
> > Marry (verb): take somebody as a husband or wife; join as
husband
> > and wife; find suitable partner for
> > Married (adjective): having a husband or wife
> > (Oxford Pocket Dictionary)
> >
> > Di umur 23 tahun, kata "pernikahan" adalah kata yang terasa tak
> pas
> > untuk dilekatkan pada diri saya. Tidak sebagai kata benda. Tidak
> > sebagai kata sifat. Tidak juga sebagai kata kerja.
> >
> > Mungkin karena saat itu saya pikir umur saya masih kelewat muda.
> > Mungkin karena saya tengah senang-senangnya bekerja, diselingi
> > bermain dan berkumpul bersama teman-teman saya. Mungkin karena
> saat
> > itu—seperti dalam kumpulan esai karya Ayu Utami yang berjudul
> > Parasit Lajang—konsep membentuk keluarga tampak begitu tak
efisien
> > bagi lajang seperti saya yang masih menumpang di rumah orangtua.
> >
> > Mungkin karena saya pikir saya masih kelewat egois dalam banyak
> hal
> > yang saya inginkan. Mungkin juga karena saya tak pernah
> mencantumkan
> > kata ini dalam daftar target, resolusi, harapan, ataupun mimpi
> yang
> > ingin saya capai tahun ini, sehingga saya juga sama sekali tak
> > pernah memacu—ataupun memaksa diri saya sendiri untuk mencoba
> > mengenakan kata ini dalam diri saya. Atau mungkin karena saya
> > kelewat nyaman saja dengan keadaan saat itu, dan punya banyak
> > keengganan dan kecemasan akan suatu perubahan.
> >
> > Apapun itu—it just didn't fit.
> > ***
> >
> > Pelajaran 1: Merumuskan Definisi Konseptual
> >
> > Di umur 23 tahun, konsep pernikahan juga sekaligus merupakan
> sebuah
> > konsep raksasa yang sulit saya rumuskan. Selain karena
> keterbatasan
> > pemahaman, saya juga belum tahu apa yang sungguh-sungguh saya
> > inginkan dalam suatu pernikahan.
> >
> > Maka untuk mulai merumuskannya, saya pun mencoba premis yang
> > berkebalikan. Yaitu dengan mendaftar apa yang sungguh-sungguh
> tidak
> > saya inginkan dalam suatu pernikahan. Berbekalkan sedikit
> pengalaman
> > hubungan interpersonal bersama beberapa pria, disambi mengamati
> > sejumlah kehidupan pernikahan di sekitar saya, pelan-pelan,
> sayapun
> > mulai menabung rumusan konsep pernikahan. Beberapa diantaranya:
> Saya
> > tak menginginkan pernikahan yang di dalamnya ada pembagian tugas
> > domestik berdasarkan jender dan nilai-nilai patriarki. Saya tak
> > menginginkan pernikahan dimana setiap orang di dalamnya punya
ego
> > dan ambisi sedemikian besarnya untuk satu kepuasan memenangkan
adu
> > argumentasi, dan mengesampingkan konsep diskusi dan kompromi.
Saya
> > tak menginginkan pernikahan dimana setiap orang di dalamnya
tidak
> > tahu caranya menggunakan intonasi. Saya tak menginginkan
> pernikahan,
> > yang di dalamnya orang mandeg berjalan dalam proses pencarian
jati
> > diri.
> >
> > Jujur, mulanya, tabungan konsep di atas memang merupakan
gabungan
> > dari daftar "cacat" atas sejumlah kehidupan pernikahan yang saya
> > amati, sekaligus daftar "dosa" para mantan pasangan saya. Dimana
> > dalam setiap akhir hubungan, dengan dinginnya, saya akan
> menyerahkan
> > daftar panjang ini sebagai alasan kenapa kami tak lagi bisa
> berjalan
> > bersama.
> >
> > Tidak adil, memang. Dan tentu saja, daftar itu tak serta merta
> > menamatkan riwayat hubungan kami. Ada banyak
pertanyaan "Kenapa?",
> > yang diteruskan dengan "Kenapa sekarang?".
> >
> > Namun seiring dengan waktu yang membalut semua luka, ia juga
> > sekaligus menegur ego saya yang pongah dan kekanakan. Bahwa
> seperti
> > seorang murid yang gagal ujian, setiap mantan pasangan berhak
> tahu,
> > kenapa nilainya bisa buruk—di kala ia pikir ia sudah belajar
sama
> > kerasnya dengan murid lainnya. "Oke, kamu mungkin sekarang sudah
> > pindah kelas dan tak lagi bisa belajar bersama dengannya, but at
> > least, let him learn. Biarkan ia mendapat pelajaran yang telah
> > menjadi haknya," tegur waktu.
> >
> > Jadi, alih-alih menggunakan daftar ini sebagai self defense
> > mechanism, saya mencoba mengganti judulnya dengan "Daftar
Harapan
> > untuk Calon Pasanganmu Berikutnya," sebelum diserahkan pada
mantan
> > pasangan saya. Dan untuk saya sendiri "Daftar Harapan atas
Dirimu
> > Sendiri."
> >
> > Dari sana, kami belajar bahwa pelajaran kami sekarang memang
sudah
> > berbeda bentuknya, dan saya tak bisa belajar bersama seorang
> > pasangan yang tinggal kelas. Ia harus lebih dulu menuntaskan
> tahapan
> > pelajarannya, untuk kemudian bisa memahami tahap pelajaran
> > selanjutnya. Di sisi lain, saya juga tak bisa mengajarinya,
> ataupun
> > mengatrol nilainya. Saya tak berhak, tak berwenang, dan juga tak
> > mampu untuk melakukannya. Di atas semuanya, bukan itu
> > konsep "belajar bersama dalam suatu hubungan interpersonal" di
> > kepala saya. Dengan lapang dada, kami pun belajar tentang konsep
> > memaafkan dan merelakan. Kami juga belajar tentang konsep
> kenangan,
> > masa lalu, dan bergerak maju. Move on.
> > ***
> >
> > Saya dibesarkan dalam keluarga dengan ke dua orangtua pekerja.
> > Dimana ayah saya adalah seorang workholic dan ibu saya adalah
> > seorang guru SD yang sangat berdedikasi pada murid-muridnya.
Namun
> > saat saya menginjak bangku SMU, ibu saya memutuskan untuk
pensiun
> > dini, demi mengurus keluarga.
> >
> > Dan ya, ibu saya sungguh-sungguh berkomitmen pada keputusannya.
> > Beliau sungguh-sungguh membaktikan dirinya untuk keluarga.
Setiap
> > hari, beliau akan bangun pukul 2 pagi untuk shalat tahajud,
tidak
> > tidur sampai subuh, dan menyiapkan sarapan lengkap—berupa nasi
dan
> > lauk pauknya, bukan sekedar roti tawar beroles selai atau
margarin?
> > dan bergelas-gelas minuman hangat. Setiap hari, 3 kali sehari,
> > beliau akan mengganti minuman untuk Bapak—pagi hari ada kopi
susu,
> > air jeruk, dan air putih. Siang hari, ada es sirup dan air
putih.
> > Sore hari ada teh manis dan air putih.
> >
> > Tak pernah sekalipun Ibu alpa menyiapkan bekal makan siang kami
> > semua. Dan sampai kini, masing-masing dari kami menyimpan satu
> > taplak meja khusus buatan Ibu yang bersulamkan nama setiap kami
di
> > atasnya.
> >
> > Ibu nyaris tak pernah berjalan-jalan. Ataupun, menonton
televisi.
> > Bahkan saat beliau sedang sendirian di rumah. Ketimbang jalan-
> jalan,
> > beliau lebih memilih untuk mengaji, membaca buku, menulis diary,
> > atau tidur. Dan beliau hanya menonton televisi, saat kami datang
> dan
> > menyetel televisi. Itupun lebih karena beliau ingin menemani
kami.
> >
> > Kesenangan termewah ibu saya adalah makanan. Dimana beliau bisa
> > membeli semangkuk bakso, atau sepiring nasi padang, untuk
dirinya
> > sendiri—dan bukannya disajikan di atas meja makan sebagai lauk
> bagi
> > kami semua.
> >
> > Tumbuh dengan menyaksikan ini, satu ide lagi muncul di kepala
> saya.
> > Bahwa saya tak menginginkan pernikahan, dimana ada orang yang
> > menjadi martir di dalamnya. Tapi, hey, benarkah ibu saya menjadi
> > martir dalam pernikahan ini?
> >
> > She seems quite happy.
> >
> > Sayapun bertanya padanya. Apakah beliau bahagia?
> >
> > Yang dijawab beliau dengan senyum tulus. "Tentu saja, saya
> bahagia.
> > Memang ada masa-masa sulit, Retno. Dan lebih sulit lagi, karena
> dulu
> > saya menjalani itu sendirian. Tidak ada Bapak (saat itu Bapak
> sedang
> > kuliah di luar negeri), dan tidak ada keluarga saya. Namun saya
> > bilang ke diri saya 'Harus bisa, harus bisa',"
> >
> > Seketika kepala saya kembali menelurkan sekeranjang pertanyaan.
Is
> > it cultural? (Karena dulu ide feminisme belum terpublikasikan
> merata
> > di Indonesia), is it psychological? (Karena ibu saya dibesarkan
> > dalam keluarga yang mengajarkannya untuk nrimo dengan keadaan,
> plus
> > itu keluarga Jawa), is it genetic? (Karena uti saya—ibu dari ibu
> > saya—juga punya karakter yang sama), is it astrological? (Karena
> ibu
> > saya berzodiak Sagitarius), is it educational? (Karena ibu saya
> > hanya mengenyam pendidikan D3, dan saya sedikit di atas beliau—S
> 1),
> > is it hormonal? Dietary? Philosopical? Religion? Educational?
> > Environmental? What is the root of her character? Kenapa beliau
> > tampak tidak keberatan? Kenapa beliau tampak ikhlas
menjalaninya?
> >
> > Kenapa beliau bisa dengan tulusnya bilang 'I'm happy, Retno.'
Dan
> di
> > atas semuanya, kenapa saya pikir, saya tidak bisa menjalani itu
> > semua?
> >
> > Tidakkah Ibu merasa mengorbankan terlalu banyak hal?
> > Lagi-lagi sambil tersenyum, Ibu saya menjawab "Semuanya
setimpal,
> > Retno. Ada kakak-kakakmu. Ada kamu. Dan saya bangga dengan
kalian,"
> > Satu jawaban sederhana yang seketika membungkam semua pertanyaan
> > saya.
> > ***
> >
> > Pelajaran 2: Kriteria Pasangan Ideal
> >
> > Subjudul di atas merupakan satu pertanyaan yang akan mendapatkan
> > jawaban berlembar-lembar banyaknya, dengan sedemikian detilnya,
> oleh
> > banyak orang. Banyak orang yang mampu merinci jawabannya secara
> > spesifik dengan—cantik/ ganteng, tinggi, putih, rambut panjang
> (bila
> > wanita), pintar, religius, mapan, bibit, bebet, bobot, dsb.
Banyak
> > pula orang yang akan menjawab singkat "Yang penting, mau nerima
> gua
> > apa adanya, mengisi kekurangan gua."
> >
> > Sejumlah jawaban spesifik, yang mostly, terasa tak pas menjadi
> > standar kriteria saya akan calon pasangan ideal. Selain karena
> > tampilan fisik dan hal-hal penunjangnya (saya sering
> > mengistilahkannya dengan 'kualitas administratif') bukan menjadi
> > prioritas utama saya, psikologis personal justru menjadi
> > pertimbangan penting buat saya.
> >
> > Selama bertahun-tahun lamanya, saya pun mencoba merumuskan
standar
> > kualifikasi psikologis calon pasangan yang saya inginkan.
Beberapa
> > diantaranya adalah: secure pada dirinya sendiri, tulus, open
mind,
> > bersedia untuk diajak berkompromi dalam jangka panjang.
> >
> > Dalam salah satu buku yang saya baca, ada kutipan yang menarik
> > tentang kriteria pasangan. "Gua cuma tahu, kalo sama dia, dalam
> hati
> > gua, terdengar suara tutup botol dengan ulirnya. Klik."
> >
> > Ide yang menarik. Namun, ah, bukankah percakapan menyenangkan
> selalu
> > bisa diciptakan? Darimana kita tahu bahwa bunyi 'klik' itu
> > adalah 'klik' yang sebenarnya? Apa simptomnya?
> >
> > Pertanyaan ini menghantui kepala saya selama bertahun-tahun
> lamanya,
> > sampai tahun 2006. Tahun itu, saya bertemu dengan seorang pria?>
> sekarang mantan, yang tak hanya membunyikan 'klik' di kepala saya,
> > namun juga lonceng. Saat bersamanya, saya bisa membayangkan kami
> tua
> > bersama. Dimana kami dengan rambut memutih duduk-duduk di karpet
> > ruang tamu, bergantian membacakan kalimat demi kalimat dalam
> cerpen
> > Seksi karya Jhumpa Lahiri. Yes, I can picture it. Dengan
detilnya,
> > dengan cantiknya, dengan sempurnanya.
> >
> > Namun ada kalanya, kita tak selalu memperoleh apa yang kita
> > harapkan. Pun saya mampu membayangkan setiap detil masa depan
> kami,
> > hubungan itu merupakan suatu hubungan yang tidak ideal.
> > Ketidakidealan ini melahirkan banyak pertengkaran dan adu
> > argumentasi melelahkan, yang akhirnya membawa saya pada satu
> > kesimpulan: bahwa ada kalanya, cinta saja tak cukup. Dengan
berat
> > hati, kami pun memutuskan untuk berpisah di tahun 2007.
> >
> > Perpisahan yang sekaligus merampok separuh jiwa saya, untuk
> kemudian
> > menenggelamkannya entah dimana. Saat memunguti remah-remah jiwa
> yang
> > tercecer, ide kriteria "mau menerima diri kita apa adanya, dan
mau
> > mengisi kekurangan kita" pun seketika jadi tampak masuk akal di
> > kepala saya. Namun seperti halnya skripsi, itu semata-mata
> hanyalah
> > batasan definisi konseptual. Saat kita ingin menerapkannya ke
> dalam
> > kehidupan nyata, apa instrumennya? Apa indikatornya? Apa
> > operasionalisasi konsepnya? Apa petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk
> > teknisnya?
> >
> > Saat itulah seorang Catur Sukono datang.
> >
> > Saat saya tengah membenahi diri saya dengan remah-remah jiwa
yang
> > tersisa, mencoba merekatkan kembali kepercayaan diri dan konsep
> diri
> > yang babak belur karena hubungan sebelumnya.
> >
> > Dan sebagai kejutan, pria ini datang dengan membawa sebuah
> proposal
> > pernikahan.
> > ***
> >
> > Saya selalu berpikir, bahwa suatu hubungan adalah laiknya
> investasi.
> > Dimana setiap orang di dalamnya akan berinvestasi waktu,
perasaan,
> > materi, dan banyak hal lainnya, dengan tujuan memperoleh laba
> jangka
> > panjang—dalam konteks ini, pernikahan, maupun hubungan jangka
> > panjang yang stabil.
> >
> > Karenanya, sebelum memutuskan untuk berinvestasi, calon investor
> > tentu perlu tahu segala faktor resiko yang akan dijalaninya,
> > termasuk resiko kerugian. Maka saya pun menjelaskan pada pria
ini
> > tentang diri saya. Bahwa saya baru keluar dari hubungan yang
> sangat
> > melelahkan, dan kembali berada di titik nol pencarian jati diri.
> > Bahwa untuk membangun kepercayaan diri, saya kerap memantrai
diri
> > saya, dan memasang topeng imej sosok yang manis, lucu,
> menyenangkan.
> > Pikir saya saat itu, kalaupun saya belum bisa bahagia, at least,
> > saya bisa berpura-pura tampak bahagia. Dan mungkin, dengan
begitu,
> > saya akan sungguh-sungguh bahagia. Seperti saya di masa
> sebelumnya.
> >
> > Namun topeng itu tidak saya kenakan 24 jam sehari 7 hari
seminggu.
> > Saat terbuka, akan tampak wajah asli saya yang dipenuhi bekas
luka
> > dan buruk rupa. Bahwa menumpang rollercoaster mood saya bisa
> sangat
> > sangat melelahkan. Bahwa saya punya setumpuk ketakutan tentang
> > pernikahan dan menjadi orangtua, dan bahwa pernikahan kembali
> > menjadi satu konsep blur yang gagal saya petakan.
> >
> > Karenanya, saat proposal itu datang, dan saya mulai membaca
lembar
> > demi lembar isinya, hal pertama yang ingin saya lakukan adalah
> lari.
> > Kabur. Pertama, kami belum cukup mengenal satu sama lain. Yang
> > membuat kepala saya dengan skeptisnya bertanya
memburu "Bagaimana
> > kalau dia abusif?", "Bagaimana kalau dia seorang skizofrenik
atau
> > manik depresi?", "Bagaimana kalau dia seorang
> > megalomaniak?", "Bagaimana kalau dia seorang MPD?", "Bagaimana
> > kalau dia adalah semua kombinasi di atas?"—atau singkatnya, hal-
> hal
> > mendalam yang tak kasat mata dan tak terdeteksi hanya dalam
> beberapa
> > bulan perkenalan.
> >
> > Bertahun lalu, saya pasti akan menolak mentah-mentah ide kabur
> dari
> > masalah ini. "Hanya anak kecil yang lari dari masalah. Orang
> dewasa
> > akan bangun dan menghadapinya," begitu pikir saya dulu.
> >
> > Tapi saat itu, saya sedang tak mampu berpikir jernih atas banyak
> > hal. Kegagalan hubungan sebelumnya, membuat kepercayaan diri
saya
> > jatuh bebas di titik nol. Satu-satunya pria yang saya bisa
> > membayangkan tua bersama dengannya, ternyata tak mampu
> > memperjuangkan saya. Apa mungkin, saya memang tak seberharga itu
> > untuk diperjuangkan, ya?, begitu pikir saya. Ya, saat itu, saya
> > memang tak lagi percaya akan kemampuan akal sehat saya untuk
> > mengambil keputusan, dan membuat saya meragukan definisi
> konseptual
> > saya akan banyak hal, seperti tentang kepercayaan, komitmen, dan
> > cinta.
> >
> > Namun saat mata raga mulai tumpul menatap, hadirlah sang mata
> hati.
> > Dimana kompas yang berlaku bukan lagi fakta dan logika,
melainkan
> > feeling dan intuisi. Seperti saran Morrie yang dikutip Mitch
Albom
> > dalam buku Tuesdays with Morrie "Kadang-kadang, kita tak boleh
> > percaya pada apa yang kita lihat, kita harus percaya pada apa
yang
> > kita rasakan."
> >
> > Dengan lembutnya, mata hati pun menjawab setumpuk pertanyaan
> skeptis
> > kepala saya. Bahwa pria sederhana ini adalah sosok yang cukup
> stabil
> > dan nyaman dengan dirinya sendiri—hal yang amat sangat jarang
saya
> > temui. Faktor yang juga membuatnya menjadi sosok yang cukup kuat
> > untuk disandari. Bahwa ia berpikiran terbuka, dapat dipercaya,
> > bertanggung jawab, bisa diajak berkompromi, dan yang terpenting?
>
> mencintai Tuhan dalam setiap sel tubuhnya.
> >
> > Karena ijab kabul pernikahan adalah salah satu perjanjian utama
> yang
> > disaksikan langsung oleh Tuhan. Pun tidak merasa religius, namun
> > saya percaya, bahwa para pecinta Tuhan tak akan berani
> mendustaiNya.
> > Dan ya, saya percaya pada pria ini.
> > ***
> > Pelajaran 3: Bimbingan Mata Hati
> >
> > Toh, meski demikian, tetap saja kepala saya tak berhenti
bertanya.
> > Seperti rentetan peluru. "Lantas, bagaimana denganmu? Apa kamu
> > menginginkan pria ini untuk 50 tahun, 60 tahun ke depan—seumur
> > hidupmu? Apa kamu mencintainya? Bagaimana dengan rasa bosan,
> > mengingat kamu adalah tipe orang yang mudah bosan? Apa
jaminannya
> > pernikahanmu akan utuh untuk jangka panjang? Dan bagaimana
dengan
> > anak? Dengan kondisimu sekarang, kamu pasti tak bisa menjadi ibu
> > yang baik, kan? Tidakkah lebih urgent untuk lebih dahulu
membenahi
> > dirimu? Dan bagaimana dengan mimpi-mimpi yang belum kamu capai
dan
> > masih kamu inginkan? Dan bagaimana denganmu?", cecar kepala saya
> > tanpa ampun.
> >
> > Dengan panik, sayapun berteriak "Stop! Stop! Stop! Saya mohon,
> > berhentilah bertanya, karena kamu tidak membantu!"
> > Disinilah lagi-lagi, mata hati merengkuh saya. Dengan lembut ia
> > menggandeng saya ke tempat wudhu, membasuh semua pekat dan ruwet
> > pertanyaan kepala saya. Dengan lembut, ia berbisik agar saya
minta
> > petunjuk dariNya. "Jika bimbang meraja, maka bertanyalah pada
> > Penciptamu. Adukan padaNya, minta petunjukNya, mohonkan
> > pertolonganNya," begitu bisiknya.
> >
> > Malam itu adalah malam tahun baru 2008, saat untuk pertama
kalinya
> > saya shalat istikharah dengan niatan bertanya pada Tuhan untuk
> > urusan jodoh dan pernikahan. Dari beberapa buku dan pendapat
yang
> > saya kumpulkan, sejumlah orang konon, mendapatkan petunjuk dan
> > hidayah melalui mimpi. Tidak demikian halnya dengan saya.
> > Kala itu, hampir dini hari. Seorang teman saya yang tengah
> menginap
> > sedang terlelap di dalam kamar. Sementara saya yang tak bisa
tidur
> > usai shalat istikharah, memilih untuk duduk di ruang keluarga.
> Hanya
> > duduk saja, tanpa menonton televisi. Di luar, hanya sesekali
saja
> > terdengar lengkingan terompet dan suara orang yang sesekali
> > melintas.
> >
> > Sebuah keheningan yang mendamaikan.
> > Dan seperti dalam banyak keheningan saya lainnya, sebuah suara
pun
> > tiba-tiba hadir mengetuk kepala saya.
> >
> > "Ya, saya ingin melakukannya," ujar suara itu. Bening dan jelas.
> > Saya mengernyitkan dahi. Ini bukan suara sang kepala. Karena
sang
> > kepala selalu berbicara tegas dan cepat, dengan intonasi datar
dan
> > nada dingin tanpa emosi. Dan juga bukan suara sang hati, yang
> hampir
> > selalu terdengar pilu dan merintih, atau tercekat. Saya tidak
> kenal
> > suara ini, pikir saya.
> >
> > "Kamukah itu, mata hati? Kenapa menggunakan kata 'saya', dan
> > bukannya 'kamu' seperti yang biasa kamu lakukan saat membimbing
> > saya?," tanya saya.
> >
> > Sambil tersenyum sejuk, mata hati pun menjawab "Karena memang
> bukan
> > saya yang mengatakannya, Retnadi sayang. Dirimu sendirilah yang
> > mengatakannya. Itu adalah suaramu."
> >
> > Selama beberapa waktu sayapun menunggu cecaran pertanyaan dari
> > kepala. Namun tak terjadi sesuatu. Lima belas menit. Setengah
jam.
> > Satu jam. Kepala saya tetap tak bergeming.
> >
> > Pelan-pelan, bibir saya pun berucap syukur "Alhamdulillah,
terima
> > kasih Tuhan. Dan ya, saya ingin melakukannya. Saya ingin
> > melakukannya. Saya ingin melakukannya."
> > ***
> >
> > Proses pun dimulai.
> >
> > Diawali dengan tahap perkenalan pria ini pada ke dua orangtua
> saya,
> > yang dilanjutkan dengan proses lamaran. Sepanjang proses
> > berlangsung, saya pun mengutarakan keinginan saya pada pria ini
> akan
> > ketiadaan resepsi dan seserahan saat lamaran.
> >
> > Dan betapa pria ini tercengang-cengang mendengarnya—terlebih
saat
> > kami tahu, bahwa kami akan menikah di masjid yang sama dengan
> salah
> > satu abang saya, dimana abang saya dan mempelai wanitanya
kemudian
> > akan menyelenggarakan resepsi pernikahan di gedung samping
masjid.
> >
> > "Tapi itu, kan, hak kamu. Kamu juga berhak untuk dirayakan,
> apalagi
> > kamu anak perempuan bungsu, satu-satunya pula," ujar pria ini.
> >
> > Butuh diskusi cukup panjang bagi saya untuk meyakinkan pria ini,
> > bahwa bagi saya, perayaan memang sungguh-sungguh bukanlah hal
> > penting. Saya tak menginginkannya. Saya tak membutuhkannya.
Bahwa
> > bagi saya, yang utama adalah ijab kabul. Sisanya adalah asesoris
> > pendukung belaka. Bahwa bagi saya, hidup tak berhenti seusai
> > resepsi. Bahwa masih ada banyak hal yang harus dipikirkan—
cicilan
> > rumah, kontrol kehamilan, biaya persalinan, pendidikan anak,
> > kesehatan anak, simpanan untuk pernikahan anak, dsb.
> >
> > "Atau begini, anggap saja semua orang punya daftar prioritas
> > pribadi. Banyak perempuan memprioritaskan resepsi dan turut adat
> > sebagai sesuatu yang utama. Dan itu bukan hal yang salah, tentu
> > saja. Dengan segala hormat, saya sangat menghargai prioritas
> mereka.
> > Namun, saya juga punya prioritas saya sendiri, yang kebetulan
> > berbeda dengan mereka. How's that?," jelas saya panjang lebar.
> >
> > "Dan bagaimana dengan orangtuamu?" tanya pria ini.
> >
> > Alhamdulillah, saya dikaruniai orangtua Sjamsuddin Shiddieg dan
> > Sangi Siti Rahayu yang luar biasa. Dengan pikiran terbuka dan
> lapang
> > dada, mereka pun meluluskan keinginan saya. Pada hari Kamis, 1
Mei
> > 2008, saya dan pria inipun resmi terdaftar sebagai murid suatu
> ruang
> > kelas bernama Pernikahan.
> >
> > Bismillahirohmanirrahim.
> > ***
> >
> > Pelajaran 4: Berdiskusi bersama Kepala dan Hati
> >
> > Sebagai murid baru, tentu banyak aturan baru yang harus saya
> > adaptasi. Mulai dari tampilan pakaian, jam pulang, izin untuk
> > keluar, cara bicara, cara tertawa, larangan keluar malam, dsb.
> Yang?> di luar dugaan kepala saya yang skeptis—ternyata saya
nyaman-
> nyaman
> > saja menjalankannya.
> >
> > Tentu saja, saya selalu punya banyak
> pertanyaan. "Kenapa?", "Kenapa
> > nggak boleh?", "Kenapa jangan?". Dan saat suami saya menjawab
> > dengan "Nggak papa, nggak boleh aja," maka saya akan mengejar
> > dengan "That's not an answer. Come on, try me."
> >
> > Ya, ada kalanya saya bisa sangat melelahkan. Beberapa orang
> mungkin
> > berpikir bahwa banyak bertanya adalah sinyal kekritisan. Namun
> bagi
> > saya, banyak bertanya berarti sinyal butuhnya persediaan berton-
> ton
> > kesabaran. Bayangkan menerima pertanyaan 'Kenapa' dan 'Itu bukan
> > jawaban. Ayo, cari lagi jawabannya yang logis,' selama hampir 7
> kali
> > sehari dan tidak meledak karenanya. Suami saya mestinya dapat
> > lencana karenanya. Karena dengan sabarnya, ia akan menjelaskan
> > alasannya, baik dari sisi agama, logika, maupun keinginan
> > personalnya.
> >
> > Dengan tangan terbuka, suami saya bahkan mengundang dua tetangga
> > saya untuk bertamu. Mereka adalah kepala saya yang kerap haus
akan
> > pemenuhan self fulfilling prophecy, dan hati saya yang kerap
> kelewat
> > sensitif pada banyak emosi. Dengan ramahnya, suami saya
menyilakan
> > mereka untuk masuk, duduk bersama di ruang tamu kami. Dan
> > berdiskusi.
> >
> > Ini adalah hal baru bagi saya—yang selama bertahun-tahun lamanya
> > selalu gagal mengajak hati dan kepala untuk sekedar bertukar
sapa
> > dengan ramah. Seorang mantan pasangan dulu pernah
> berkomentar "Gee,
> > Retno, kamu harus mulai belajar caranya mengajak hati dan
kepalamu
> > untuk berdiskusi." Yang saat itu dijawab dengan sinisnya oleh
saya
> > dengan "Yeah, right. Like I know how."
> >
> > Dan kini, betapa saya sungguh tercengang-cengang kala mendapati
> > kepala dan hati sungguh-sungguh mendengarkan ucapan suami saya.
> > Mereka tidak sedikitpun memotong ataupun menyela perkataan suami
> > saya. Mereka juga tak sekalipun berbisik-bisik pada saya,
tentang
> > ketidaksetujuan mereka. Mereka sungguh-sungguh duduk diam, dan
> > mendengarkan.
> >
> > Usai penjelasan suami saya, barulah dengan tertib satu persatu
> dari
> > mereka mengutarakan argumennya. Lagi-lagi ini adalah hal baru
buat
> > saya. Karena semua argumentasi itu terbungkus dalam balutan kata
> > yang tertutur rapi, logis, jelas, dan santun. Tidak ada adu
> > argumentasi diwarnai drama air mata dan kurasan emosi
melelahkan.
> > Tak heran, bila kemudian proses kompromi pun tercapai dengan
> > anggukan sepakat dan kepuasan dari semua tamu kami. It's a win-
win
> > solution.
> >
> > Begitulah proses adaptasi saya di ruang kelas baru ini.
> > ***
> >
> > Pelajaran 5: Belajar Bernafas
> >
> > Pun hati dan kepala saya sudah mulai belajar duduk bersama dalam
> > satu kursi, tetap saja ada saat-saat dimana kepala saya lagi-
lagi
> > akan kelewat banyak bertanya dan mencerca, sementara hati saya
> lagi-
> > lagi akan kelewat banyak merasa.
> >
> > Ya, ini melelahkan. Sangat.
> >
> > Saat saya sempat memutuskan untuk berhenti bekerja kantoran dan
> > tinggal di rumah saya, menjadi kontributor untuk sebuah majalah,
> > misalnya. Ada banyak momen dimana kepala saya tanpa henti
> bertanya.
> >
> > Bolehkah saya merasa bosan di rumah? Bolehkah saya mencoba
> > mengatasinya dengan berjalan-jalan ke rumah abang atau orangtua
> saya
> > sendirian? Saat saya belum selesai mencuci baju karena terlalu
> fokus
> > menulis, apakah saya bersalah sebagai seorang istri? Saat saya
> lupa
> > menanak nasi sarapan dan nasi semalam ternyata sudah basi—
sehingga
> > kami yang lapar terpaksa menunggu selama 45 menit—apakah saya
> > menjadi istri yang buruk, karenanya? Saat saya menghabiskan 3,5
> jam
> > di warnet dan pulang saat makan siang—pun suami saya saat itu
> makan
> > siang di kantor—apakah saya adalah seorang istri yang egois?
> Apakah
> > itu membuat saya menjadi sosok istri yang tak bertanggung jawab
> > karenanya?
> >
> > Logically, kepala saya tentu tahu jawabannya—yang juga telah
saya
> > confirm dengan suami saya. Bahwa tentu saja, tidak, Retnadi.
It's
> > OK. Shit happens. Semua orang bisa melakukan kesalahan. Dan itu
> tak
> > lantas menggeneralisirmu menjadi istri yang buruk. "And yes,
> > sweetie, I love you that much," ujar suami saya.
> >
> > Jika memang demikian, lantas kenapa saya masih belum merasa
lega?
> > Kenapa saya terus-menerus merasa bersalah, sesak napas, dan
mulai
> > berpikir bahwa 'Apakah saya menikah terlalu cepat?'
> >
> > I hate that thought. Karena saya tahu pasti, bahwa saya
mencintai
> > suami saya, dan bahwa saya telah mengambil keputusan untuk
> menjalani
> > ini bersamanya. Pertanyaan `what if' adalah pertanyaan mengawang-
> > awang yang melelahkan, tanpa tujuan, dan sia-sia.
> >
> > Namun bagaimana menjawab ini pada kepala saya yang haus jawaban?
> >
> > Bahkan kala suatu proses adaptasi berjalan halus dan mulus, saya
> > tahu bahwa seharusnya saya bersyukur. Dan ya, tentu saja saya
> > bersyukur. Namun saat kepala saya yang bawel tiba-tiba menerima
> saja
> > semua bentuk kompromi ini dengan lapang dada, giliran diri saya
> yang
> > bertanya-tanya akan krisis identitasnya. "Ada apa dengan kamu,
No?
> > Apa ini berarti konsepmu selama ini salah? Dan yang sekarang ini
> > adalah yang benar? Jadi, yang mana identitas dirimu? Jadi, kamu
> itu
> > yang mana?"
> >
> > Dan saya tidak tahu jawabannya.
> >
> > Saya ingat pada suatu malam, kala pertanyaan ini kembali
mencecar
> > saya. Saat itu, saya meng-sms Ain. "Ain, I work from home, like
I
> > always wanted to. I have a beautiful husband that loved me and
> > adored me so much. I live in a house that have a beautiful
> scenery.
> > But why is hard for me to breath? Why is so hard to breathe?"
> >
> > Ain membalasnya dengan satu sms sederhana. Satu sms berisi
kalimat
> > yang dikutipnya dari Eat, Pray, Love-nya Elizabeth
Gilbert. "What
> do
> > you really really really want, Jo?"
> >
> > Sadly, I have no answer.
> >
> > Malam itu hampir pukul 1 pagi. Suami saya sudah terlelap di
kamar.
> > Sementara saya menangis di ruang depan, karena saya tak punya
> > jawaban untuk membalas sms Ain. Dan seperti banyak hari buruk
saya
> > lainnya, saya pun menelpon Citra. Yang lagi-lagi, seperti biasa,
> > punya jawaban melegakan.
> >
> > "Retnadi sayang, you're married at 23. Tentu saja, itu bawa
banyak
> > perubahan. Beberapa perubahan pasti melahirkan banyak pertanyaan
> > membingungkan seperti ini. Tapi tahu nggak, No? It's OK, untuk
> tidak
> > punya jawaban atas segala hal. It's OK, untuk bilang sama kepala
> dan
> > dirimu sendiri, atau bahkan semua pertanyaan yang kamu temui,
> > dengan "Maaf, untuk saat ini, saya tidak punya jawabannya. Tapi
> saya
> > akan belajar untuk mencarinya." It's OK, and we still love you.
So
> > take your time, Retnadi. Take your time. Love you," ucap Citra
> > mengelus hati saya.
> > ***
> > Pelajaran 6: Dua Aksioma
> >
> > Dalam ilmu komunikasi, aksioma adalah sesuatu yang tak
> terbantahkan.
> > Aksioma komunikasi yang terkenal adalah `we cannot not
> communicate'.
> > Karena pun kita menolak komunikasi verbal, akan selalu ada
> komponen
> > nonverbal yang mengkomunikasikan pesan kita.
> >
> > Di umur 24 tahun, saya pun menyusun dua aksioma saya. Pertama,
we
> > can't pleased everyone. Kita tak bisa menyenangkan semua orang.
> Pun
> > saya berusaha sekeras mungkin, akan selalu ada masukan,
keinginan,
> > dan harapan yang tak terakomodir. Pun saya berusaha sekeras
> mungkin,
> > hasil akhir tetaplah berada di tangan Tuhan. And it's OK,
because
> we
> > can't pleased everyone. Saya berikhtiar, Tuhanlah yang
menentukan.
> >
> > Aksioma ke dua (thanks to Citra), bahwa saya tak harus punya
> jawaban
> > atas segala hal. Selama bertahun-tahun lamanya, kepala saya yang
> > haus jawaban, tanpa henti bertanya, dan betapa saya berusaha
keras
> > untuk menjawabnya. Berusaha keras menyusun banyak konsep, banyak
> > definisi, banyak deskripsi, banyak pernyataan, banyak alur
logika,
> > banyak pertimbangan, dan setumpuk penjelasan lain yang saya kira
> > dapat memuaskan kepala saya. Tak pernah sekalipun terlintas,
bahwa
> > saya boleh menjawab 'I don't know how. I just know', atau 'I
don't
> > know, now. Let's figure it out later.'
> >
> > Saat pagi hari misalnya. Saat suami saya sudah berangkat ke
> kantor,
> > sementara saya yang usai meratakan tanah belakang, beristirahat
di
> > atas karpet. Dengan kaki berselonjor, sarapan nasi putih hangat
> > berlaukkan beberapa potong gorengan, untuk kemudian minum
> secangkir
> > kopi susu. This is it. The moment of happiness. I'm just happy.
I
> > just know.
> >
> > Atau saat saya tengah kebingungan untuk mengambil suatu
keputusan.
> > Saat itu, saya menangis sejadi-jadinya di atas sajadah, terus-
> > menerus bertanya pada Tuhan. Please tell me what to do. Please
> tell
> > me what to do. Please tell me what to do.
> > Dan sama seperti di malam tahun baru 2008, mata hati pun kembali
> > membimbing saya. Dengan tenangnya, dengan lembutnya, dengan
> > sabarnya.
> >
> > Ah, betapa melegakan.
> >
> > Kini, pun banyak pertanyaan kembali berseliweran di kepala saya,
> > saya tahu, bahwa saya akan selalu bisa mengembalikannya pada
> Tuhan.
> > Sama seperti saat dulu saya memutuskan untuk keluar dari
hubungan
> > melelahkan, sama seperti saat saya memutuskan untuk menikah,
sama
> > seperti saat saya memutuskan untuk kembali bekerja kantoran.
> >
> > Dan sebagai murid baru di ruang kelas bernama pernikahan ini,
> tentu
> > akan selalu ada banyak materi yang tak saya pahami. Akan ada
> > sejumlah kesalahan yang saya lakukan, ataupun suami saya
lakukan.
> > And it's ok. Seperti kutipan lirik lagu Ordinary People John
> > Legend "We're just ordinary people, we don't which way to go.
> `Cause
> > we're ordinary people, maybe we should take it slow."
> >
> > Pelan-pelan, saya dan suami saya akan belajar bersama di ruang
> kelas
> > baru ini. PadaNya, Sang Maha Guru. Semoga pelajaran ini
> berlangsung
> > selamanya. Untuk semua hal yang akan datang, attraversiamo*.
Amin.
> > ***
> >
> > *Attraversiamo (Italian phrase): Let's cross it over.
> >
> > PS: Di akhir tulisan ini, seketika saya terpikir, bahwa dengan
> > deskripsi kata sifat, mungkin kata 'pernikahan' bisa menjadi
suatu
> > kata yang pas untuk dilekatkan pada diri saya. Dengan suami dan
> > cinta yang begitu mempesona, saya pun tak bisa menemukan kata
> sifat
> > lain, selain: bahagia.
> >
> > Yes, I'm happily married. I just know.
> >
>

2d.

Re: (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan

Posted by: "Bu CaturCatriks" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Mon Sep 22, 2008 1:03 am (PDT)

haduh, maaf, kang dani...
maaf ya, dirimu sampai harus ketinggalan kurir...
kalo tiki reguler di jkt bisa nyampe sehari kok, insya allah
maaf ya...

anyway,
bukan hal mudah utk membuka kulit kerang ini,
selain karena kupikir, tulisanku ini cukup menjemukan,
aku juga belum terbiasa untuk menumpahkan begitu saja isi kepalaku,
tanpa disortir lebih dulu.

terima kasih utk merasa menerima pantulan nilai ini,
kapan2, mungkin kita bisa memantulkannya pada sinar matahari dan
kaca pembesar, utk kemudian menciptakan api (halah, harus ya no,
ngerusak suasana dgn jokes jayus ini???harus ya??)

anyway, thanks for reading, kang.
it means a lot to me.

-retno-

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "fil_ardy" <fil_ardy@...>
wrote:
>
> Pliz deh, Jeng Retno, gara-gara tulisanmu,
> saya harus ngejar kurir kantor yang berangkat
> diam-diam karena ga sabar nunggu paket dokumen
> yang harus segera saya input. Fyuuh, akhirnya
> saya harus pake TIKI dan malu-malu menyerahkan
> rembus ke acounting.
>
> Sebagai sesama penghuni kelas seperti yg kamu maksud,
> saya suka membaca ulasanmu. Bukan hanya karena nilai
> nilainya yang bertebaran, tapi juga karena banyak hal.
> Setidaknya, saya bisa memantulkan bias cermin yang
> kamu suguhkan pada lalu menangkap pantulannya pada
> pasangan saya, dan menerjemahkannya menggunakan rumus
> yang saya yakin tidak jauh berbeda.
>
> Thx 4 open your cloisters and tell much bout it
>
> DANI
>
> In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "Bu CaturCatriks"
> <punya_retno@> wrote:
> >
>
> >
> > Sebuah Ruang Kelas Bernama Pernikahan
> > Oleh Retnadi Nur'aini
> >
> > Marriage (noun): legal union of a man and woman as husband and
wife.
> > Marriageable (adjective): old enough or suitable for marriage
> > Marry (verb): take somebody as a husband or wife; join as
husband
> > and wife; find suitable partner for
> > Married (adjective): having a husband or wife
> > (Oxford Pocket Dictionary)
> >
>

2e.

Re: (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan

Posted by: "Bu CaturCatriks" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Mon Sep 22, 2008 1:10 am (PDT)

pak yudhi yg sip deh,

hmmm, memang menikah adalah "the hottest issue"
dan ya, pun sebelumnya dihantui banyak ketakutan,
pada akhirnya, saya bersyukur telah menikah
terutama, menikah dgn pria seindah mas catur:)

thanks for reading, ya.

-retno-
--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, yudhi mulianto
<yudhi_sipdeh@...> wrote:
>
> M E N I K A H
>
> Ngomong-ngomong soal menikah jadi ingat kalau menikah itu ternyata
enak :-)
>
> tidaklah mengherankan sekiranya banyak orang yang
ingin...kepingin...ngarep...nikah atau kawin :-) kalau boleh ya
secepatnya
>
> muda, sedang, tua...berharap besar bisa menikah...bahkan ada yang
ingin mengulanginya lagi.
>
> Pernikahan yang pertama, kedua, ketiga, ke empat...bahkan terkahir
baca di majalah ada yang sampai 86 kali...he...he..he...
>
> T E R B U K T I menikah itu sesuatu yang "THE MOST WANTED"
>
>
>
> --- On Sun, 9/21/08, Bu CaturCatriks <punya_retno@...> wrote:
>
> Sebuah Ruang Kelas Bernama Pernikahan
> Oleh Retnadi Nur'aini
>
> Marriage (noun): legal union of a man and woman as husband and
wife.
> Marriageable (adjective): old enough or suitable for marriage
> Marry (verb): take somebody as a husband or wife; join as husband
> and wife; find suitable partner for
> Married (adjective): having a husband or wife
> (Oxford Pocket Dictionary)
>
> Di umur 23 tahun, kata "pernikahan" adalah kata yang terasa tak
pas
> untuk dilekatkan pada diri saya. Tidak sebagai kata benda. Tidak
> sebagai kata sifat. Tidak juga sebagai kata kerja.
>

2f.

Re: (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan

Posted by: "Diaz Rossano" dizzman@yahoo.com   Dizzman

Mon Sep 22, 2008 1:55 am (PDT)

Isi tulisan yang cukup menyita perhatian, menyadarkan apa arti pernikahan sesungguhnya, tidak hanya dua hati bertaut, tetapi juga perenungan yang dalam.
salut deh buat bu catur yang dalam waktu belum genap 1 tahun sudah mampu sedikit menyimpulkan arti pernikahan.

Namun, memang, jalan masih panjang. masih menanti riak badai dan hempasan ombak di depan mata. ibarat perahu, satu - lima tahun perjalanan merupakan masa bulan madu, lima - sepuluh tahun merupakan masa membangun yang penuh rintangan dan godaan, sepuluh - limabelas tahun masa memacu laju kapal lebih cepat, agar masa limabelas - duapuluh tahun dapat menikmati hidup dengan nyaman, atau tergilas ombak besar yang akan sulit membangunnya kembali.

wassalam,

diaz

--- On Sun, 9/21/08, Bu CaturCatriks <punya_retno@yahoo.com> wrote:

From: Bu CaturCatriks <punya_retno@yahoo.com>
Subject: [sekolah-kehidupan] (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Date: Sunday, September 21, 2008, 7:15 PM

2g.

Re: (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan

Posted by: "Bu CaturCatriks" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Mon Sep 22, 2008 2:05 am (PDT)

ass wr wb mas diaz yg baik,

terima kasih utk komennya.
memang, kami belum setahun menikah.
baru 4 bulan :)

dan ya, jalan kami memang masih panjang
masih banyak hal yg harus saya pelajari
apalagi mengutip kata suami saya, sy adl "abg ceria" (yg saya
terjemahkan dgn "i'm just a happy funky chicklit girl" :) )

sekali lagi, trima kasih sudah membaca tulisan ini.

wassalam,

-retno-

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Diaz Rossano <dizzman@...>
wrote:
>
> Isi tulisan yang cukup menyita perhatian, menyadarkan apa arti
pernikahan sesungguhnya, tidak hanya dua hati bertaut, tetapi juga
perenungan yang dalam.
> salut deh buat bu catur yang dalam waktu belum genap 1 tahun sudah
mampu sedikit menyimpulkan arti pernikahan.
>
> Namun, memang, jalan masih panjang. masih menanti riak badai dan
hempasan ombak di depan mata. ibarat perahu, satu - lima tahun
perjalanan merupakan masa bulan madu, lima - sepuluh tahun merupakan
masa membangun yang penuh rintangan dan godaan, sepuluh - limabelas
tahun masa memacu laju kapal lebih cepat, agar masa limabelas -
duapuluh tahun dapat menikmati hidup dengan nyaman, atau tergilas
ombak besar yang akan sulit membangunnya kembali.
>
> wassalam,
>
> diaz
>
>
> --- On Sun, 9/21/08, Bu CaturCatriks <punya_retno@...> wrote:
>
> From: Bu CaturCatriks <punya_retno@...>
> Subject: [sekolah-kehidupan] (ruang keluarga) sebuah ruang kelas
bernama pernikahan
> To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
> Date: Sunday, September 21, 2008, 7:15 PM
>

3a.

Re: [Syukur] Mbak Rinurbad JUARA I Lomba CERMIN INDOSIAR

Posted by: "abdul azis" abdul_azis80@yahoo.com   abdul_azis80

Mon Sep 22, 2008 12:25 am (PDT)

Selamat ya mba Rinurbad, moga terus sukses...
Jangan lupa sama kita ya klo dah jadi "orang"
(maksudnya apa seh?)

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "Rini Agus Hadiyono"
<rinurbad@...> wrote:
>
> Terima kasih, Mas Sis, Uni Asma, Mas Blink..
> insyaAllah saya siapkan postingannya..sekarang prosesor otak sedang
> hang karena habis dapat pengarahan panjang-lebar dari editor mengenai
> revisi naskah:)
>
> Sukses,
> Rinurbad
>

3b.

Re: [Syukur] Mbak Rinurbad JUARA I Lomba CERMIN INDOSIAR

Posted by: "ukhti hazimah" ukhtihazimah@yahoo.com   ukhtihazimah

Mon Sep 22, 2008 6:41 am (PDT)

hehehe...mbak Rin, aku ngucapin selamat juga yah di sini ;P 
Selamaaaaatttt....juara satu euy!! Tulisannya bikin aku dapet pengetahuan baru, secara aku blom tau tentang phobia yang satu itu.btw ditunggu rekaman kelelawarnya [hadiahnya dah nyampe blom? jadi dapet si digi?]:sinta yang ngidam berat ma MUDIK:
Keindahan selalu muncul saat kepala manusia berpikir positif
^_^

www.sinthionk.rezaervani.com
www.sinthionk.multiply.com YM: sinthionk

--- On Fri, 9/19/08, Rini Agus Hadiyono <rinurbad@yahoo.com> wrote:
From: Rini Agus Hadiyono <rinurbad@yahoo.com>
Subject: [sekolah-kehidupan] Re: [Syukur] Mbak Rinurbad JUARA I Lomba CERMIN INDOSIAR
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Date: Friday, September 19, 2008, 10:48 PM

Dear Nopi, makasih banyak ya:-)

namaku kelebihan 'y' tuh.. hehehe.. inget, jaga kesehatan *bu suster

teuteup melotot*

InsyaAllah, kapan-kapan aku posting soal meramu naskah lomba.

Makasih juga buat Nia, Pak Zen, dan Fiyan. Fiyan, lomba itu sudah

beredar lama kok di dunia maya..seperti kata Nopi mengenai lomba

menulis tentang Ayah, tinggal rajin-rajin menjelajah.

Sekali lagi, terima kasih:) *tidur lagi aah..*

Rinurbad van Manglayang















3c.

Re: [Syukur] Mbak Rinurbad JUARA I Lomba CERMIN INDOSIAR

Posted by: "ukhti hazimah" ukhtihazimah@yahoo.com   ukhtihazimah

Mon Sep 22, 2008 6:46 am (PDT)

hehehe...mbak Rin, aku ngucapin selamat juga yah di sini ;P 
Selamaaaaatttt....juara satu euy!! Tulisannya bikin aku dapet pengetahuan baru, secara aku blom tau tentang phobia yang satu itu.btw ditunggu rekaman kelelawarnya [hadiahnya dah nyampe blom? jadi dapet si digi?]:sinta yang ngidam berat ma MUDIK:
Keindahan selalu muncul saat kepala manusia berpikir positif
^_^

www.sinthionk.rezaervani.com
www.sinthionk.multiply.com YM: sinthionk

--- On Fri, 9/19/08, Rini Agus Hadiyono <rinurbad@yahoo.com> wrote:
From: Rini Agus Hadiyono <rinurbad@yahoo.com>
Subject: [sekolah-kehidupan] Re: [Syukur] Mbak Rinurbad JUARA I Lomba CERMIN INDOSIAR
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Date: Friday, September 19, 2008, 10:48 PM

Dear Nopi, makasih banyak ya:-)

namaku kelebihan 'y' tuh.. hehehe.. inget, jaga kesehatan *bu suster

teuteup melotot*

InsyaAllah, kapan-kapan aku posting soal meramu naskah lomba.

Makasih juga buat Nia, Pak Zen, dan Fiyan. Fiyan, lomba itu sudah

beredar lama kok di dunia maya..seperti kata Nopi mengenai lomba

menulis tentang Ayah, tinggal rajin-rajin menjelajah.

Sekali lagi, terima kasih:) *tidur lagi aah..*

Rinurbad van Manglayang















3d.

Re: [Syukur] Mbak Rinurbad JUARA I Lomba CERMIN INDOSIAR

Posted by: "ukhti hazimah" ukhtihazimah@yahoo.com   ukhtihazimah

Mon Sep 22, 2008 6:57 am (PDT)

hehehe...mbak Rin, aku ngucapin selamat juga yah di sini ;P 
Selamaaaaatttt....juara satu euy!! Tulisannya bikin aku dapet pengetahuan baru, secara aku blom tau tentang phobia yang satu itu.btw ditunggu rekaman kelelawarnya [hadiahnya dah nyampe blom? jadi dapet si digi?]:sinta yang ngidam berat ma MUDIK:
Keindahan selalu muncul saat kepala manusia berpikir positif
^_^

www.sinthionk.rezaervani.com
www.sinthionk.multiply.com YM: sinthionk

--- On Fri, 9/19/08, Rini Agus Hadiyono <rinurbad@yahoo.com> wrote:
From: Rini Agus Hadiyono <rinurbad@yahoo.com>
Subject: [sekolah-kehidupan] Re: [Syukur] Mbak Rinurbad JUARA I Lomba CERMIN INDOSIAR
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Date: Friday, September 19, 2008, 10:48 PM

Dear Nopi, makasih banyak ya:-)

namaku kelebihan 'y' tuh.. hehehe.. inget, jaga kesehatan *bu suster

teuteup melotot*

InsyaAllah, kapan-kapan aku posting soal meramu naskah lomba.

Makasih juga buat Nia, Pak Zen, dan Fiyan. Fiyan, lomba itu sudah

beredar lama kok di dunia maya..seperti kata Nopi mengenai lomba

menulis tentang Ayah, tinggal rajin-rajin menjelajah.

Sekali lagi, terima kasih:) *tidur lagi aah..*

Rinurbad van Manglayang















4.

[Musik] Lentera Jiwa

Posted by: "Hadian Febrianto" hadianf@gmail.com   hadian.kasep

Mon Sep 22, 2008 1:43 am (PDT)

Nugie - Lentera Jiwa

lama sudah kumencari apa yang hendak kulakukan
sgala titik kujelajahi tiada satupun kumengerti
tersesatkah aku disamudra hidupku

kata-kata yang kubaca terkadang tak mudah kucerna
bunga-bunga dan rerumputan bilakah kau tahu jawabnya
inikah jalanku inikah takdirku

reff:
kubiarkan kumengikuti suara dalam hati
yang slalu membunyikan cinta
kupercaya dan kuyakini murninya nurani menjadi penunjuk jalanku
lentera jiwaku

back to reff

back to reff

Lagu ini benar-benar inspiratif. Bagaimana perjuangan manusia mencapai
cita-cita yang mungkin masih misteri. Ya... Bagaimana perjuangan JK Rowlings
yang ingin jadi penulis. Lulusan Sastra Perancis ini ternyata mengikuti
keinginan ibunya agar menjadi sekretaris dengan menguasai dua bahasa. Dan
ketika beliau menjadi sekretaris, kerjaan pada saat rapat tidak mencatat
hasil rapat melainkan menulis cerita-cerita pendek, jadilah ia dipecat dari
pekerjaannya. Dan ternyata dengan mengikuti LENTERA JIWAnya beliau sukses
dengan karya HARRY POTTER yang orang rela mengantri ber-jam2 untuk
mendapatkan buku itu. (sumber: www.lenterajiwa.com)

Begitu juga dengan cerita Andy Flores Noya (yang sudah diposting Kang
Nursalam).

Kejadian ini banyak saya jumpai ketika saya masih mengajar di salah satu
bimbel (saya tidak akan menyebutkan kalo itu adalah Nurul Fikri). Bidang
study yang saya ajar adalah Bimbingan dan Informasi Pendidikan (BIP) padahal
saya menggeluti di bidang matematika pada saat kuliah. Kejadian yang sering
saya hadapi adalah perbedaan keinginan orang tua dengan siswa dalam
menentukan jenjang pendidikan anaknya ke yang lebih tinggi.

Ada seorang siswa sudah lulus PMDK di arsitektur sebuah Perguruan Tinggi
Negeri ternama (ya iyalah pasti punya nama... halah). tapi orang tuanya
menginginkan anaknya kuliah di Kedokteran (bahkan sampai terungkap, jika
tidak kuliah di kedokteran maka silahkan cari biaya kuliah sendiri).
Akhirnya dapat juga diselesaikan dengan damai. Dan sekarang sang siswa sudah
menjadi dokter di salah satu rumah sakit di daerah sumatera.

Ada juga seorang siswa dari kelas alumni yang sudah dua kali gagal di SPMB
(sekarang SNMPTN), dengan nilai beliau yang cukup tinggi, saya yakin jika
tidak dengan kegagalan teknis maka dia akan lulus sesuai pilihannya yaitu
psikolog UI. Tapi yang beliau hadapi adalah larangan dari seluruh anggota
keluarganya (mungkin karena trauma atas kegagalan anggota keluarganya ini).
Sampai saya harus berhadapan dengan kakaknya secara jantan (halah...
hiperbola). akhirnya kakaknya pun bisa menerima keputusan sang adik dan
membantu meloby anggota keluarganya yang lainnya. Konon kabar yang saya
terima sang anak telah sukses di kuliahnya ini.

Masih banyak lagi kejadian yang lainnya. Bahkan yang saya ingat adalah
seorang nenek ingin memastikan pilihan sang cucu benar-benar tepat ke
matematika ITB, dan ketika lulus sampai berapa kali saya menerima telpon
dari sang Nenek ini. Dan kata cucunya, bahwa sang nenek hadir di pernikahan
saya, tanpa ingin diketahui saya (padahal saya akhirnya juga tau dari sang
cucu).

Nah sekarang... sudahkah aktivitas yang anda kerjakan sesuai dengan LENTERA
JIWA anda?

--
Regards,
Hadian Febrianto, S.Si
PT SAGA VISI PARIPURNA
Jl. Rereng Barong no.53 Bandung 40123
Ph/fax: (+6222) 2507537
5a.

New file uploaded to sekolah-kehidupan

Posted by: "sekolah-kehidupan@yahoogroups.com" sekolah-kehidupan@yahoogroups.com

Mon Sep 22, 2008 2:34 am (PDT)


Hello,

This email message is a notification to let you know that
a file has been uploaded to the Files area of the sekolah-kehidupan
group.

File : /Ngasih_gak_rela.wmv
Uploaded by : hadian.kasep <hadianf@gmail.com>
Description : Itong (Ikhlas SapoTONG)

You can access this file at the URL:
http://groups.yahoo.com/group/sekolah-kehidupan/files/Ngasih_gak_rela.wmv

To learn more about file sharing for your group, please visit:
http://help.yahoo.com/l/us/yahoo/groups/original/members/web/index.htmlfiles

Regards,

hadian.kasep <hadianf@gmail.com>


6.

(Ruang Baca) Keluarga Penderwick

Posted by: "Rini Agus Hadiyono" rinurbad@yahoo.com   rinurbad

Mon Sep 22, 2008 6:00 am (PDT)

Sub judul: Kisah Musim Panas Empat Kakak-beradik Perempuan, Dua
Kelinci, dan Seorang Anak Laki-laki yang Sangat Menarik
Judul asli: The Penderwicks; A Summer Tale of Four Sisters, Two
Rabbits, and a Very Interesting Boy
Penulis: Jeanne Birdsall
Penerjemah: Poppy Damayanti Chusfani
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 292 halaman
Cetakan: I, Maret 2008
Skor: 8,25

Garis besar cerita

Keluarga Penderwick menghabiskan liburan musim panas dengan menyewa
vila di Arundel milik Mrs. Tifton. Mereka berkenalan dengan putra sang
pemilik tanah, Jeffrey, melalui pertemuan yang sangat unik dan tidak
disangka-sangka. Persahabatan empat bersaudara Penderwick dengan
Jeffrey Tifton begitu erat sehingga mereka terlibat dalam masalah anak
laki-laki itu.

Karakter favorit

Seluruh anggota keluarga Penderwick, termasuk mendiang Elizabeth yang
bijaksana. Mr. Penderwick yang lembut, Rosalind si sulung yang
mengingatkan saya pada karakter bernama serupa dalam novel anak
Tamasya Panci Ajaib, Skye si pemberang dan lebih suka menjadi pria
terhormat daripada wanita terhormat, Jane yang berimajinasi tinggi
dengan serial Sabrina Starr gubahannya, Batty yang sampai pertengahan
buku masih membuat saya berpikir bahwa dia anak laki-laki, juga Hound
si anjing.

Sub plot paling memesona

1. Ketika Skye berteriak marah kepada Mrs. Tifton karena menduga
ibunya meninggalkan mereka, bukan meninggal

2. Saat Rosalind terjatuh dalam kolam gara-gara melihat Cagney mencium
gadis lain, mendengar pemuda itu menyebutnya anak-anak dan
mengantarnya pulang bersama sang pacar.

3. Kala Jane merobek-robek halaman naskah terbarunya dengan frustrasi
dalam kamar. Saya menangis bersamanya.

4. Saat Hound mengejar Yaz, diikuti Jane yang langsung melolong. Saya
menangis juga di sini.

5. Tatkala empat bersaudara Penderwick dan Jeffrey mencuri dengar
percakapan Mrs.Tifton dan Dexter yang dilakukan sambil berdansa.
Sangat mengaduk-aduk emosi.

6. Ada satu lagi, namun jika saya bocorkan di sini maka Anda yang
belum membaca akan kehilangan tegangan dan serunya kisah tersebut.

Keistimewaan

Setiap karakter dibiarkan tumbuh dengan keterbatasan dan kelebihan
masing-masing. Rosalind yang terpukul, Skye yang melarutkan kesedihan
dengan memikirkan aljabar, Jane dengan proses kreatifnya dan peniruan
Mick Hart yang mencengangkan, Batty dengan sayap kupu-kupunya
mengatakan bahwa suatu hari kelak ia akan menikah dengan Jeffrey.
Persaudaraan mereka luar biasa, dengan tradisi Janji Kehormatan
Keluarga Penderwick beserta penentuan tugas sebagai Penderwick Tertua
yang Ada. Ditambah pergolakan batin dan konflik khas anak-anak pra
remaja, pengendalian emosi yang dikemas dengan kelucuan menyegarkan.

Kekurangan

Bisa dikatakan tidak ada. Saya tak dapat meletakkan novel ini sampai
halaman terakhir. Paling-paling bagian 'muntah' di beberapa halaman.
Syukurlah sewaktu membacanya, saya tidak sedang makan.

Kutipan favorit

..jika ada yang lebih buruk daripada orangtua yang meninggal, adalah
orangtua yang tidak ingin bertemu denganmu.
(halaman 109)

7a.

Re: Fwd: [Artikel] Andi F. Noya dan Comfort Zone

Posted by: "ukhti hazimah" ukhtihazimah@yahoo.com   ukhtihazimah

Mon Sep 22, 2008 6:14 am (PDT)

Tulisan yang inspiratif!! aku sih salah satu fans Kick Andy, tapi sejak menginjakkan kaki di Bandung, gak pernah lagi menikmati acara Kick Andy [ada yang mo nyumbang tipi?!]Selain karena tema yang diangkat selalu menarik, Bang Andy selalu membuat acara berjalan menyenangkan dan kritis. Waaahhh...keren!! tapi walaupun aku suka dengan Kick Andy dan Bang Andy-nya, bisa dibilang aku gak tau kehidupan dari presenter kribo ini. Hanya sekedar tau profil beliau di web kick Andy, untuk dll atau dkk. I don't know.
Dan ternyata dari artikel forward ini cukup memberi gambaran gimana bang Andy sebenarnya, sebuah pribadi yang menyukai tantangan [kesimpulan aku pribadi neh] trus pelajaran apa ya yang bisa aku ambil?? Bang Andy kereeeennn [hush...ngawur] terus mencari sesuatu yang baru, yang membuat hidup jadi lebih SERU!!!hatur thengQ so much Mas Nur ^_^:sinta yang mulai ngoceh lage:
Keindahan selalu muncul saat kepala manusia berpikir positif
^_^

www.sinthionk.rezaervani.com
www.sinthionk.multiply.com YM: sinthionk

--- On Mon, 9/22/08, Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com> wrote:
From: Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com>
Subject: [sekolah-kehidupan] Fwd: [Artikel] Andi F. Noya dan Comfort Zone
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Date: Monday, September 22, 2008, 1:08 AM

Dear Sahabat SK, maaf, sekadar meneruskan dari milis tetangga. Moga artikel inspiratif ini bermanfaat i hari Senin ini.

Untuk tim moderator, makasih ya.



















8.

(Catcil) Episode pengumpulan Cinta di 1000 Cinta

Posted by: "dyah zakiati" adzdzaki@yahoo.com   adzdzaki

Mon Sep 22, 2008 6:25 am (PDT)

Cinta itu indah ya, menyejukkan, bagai cahaya hangat yang mengisi relung sanubari. Berbagi cinta terasa jauh lebih indah lagi. Begitulah yang saya rasakan ketika sesaat menjadi penanggung jawab wilayah Jakarta Timur untuk acara 1000 cinta.

Kondisi mengharuskan saya berpikir praktis untuk acara 1000 cinta ini. Menerima donasi alat sholat kemudian menyebarkannya. Itu saja. Maka kadang saya merasa malu dan takjub dengan teman-teman yang lain yang telah begitu banyak pengorbanan untuk acara ini. Semoga Allah membalas kalian dengan sebaik-baik kebaikan.

"Hadiah" pertama yang didapatkan Jakarta Timur adalah paket sajadah. Subhanallah. Bagi orang seperti saya yang punya kelemahan agak suka menunda, maka itu adalah pelajaran yang besar buat saya. Jangan menunda untuk berbuat kebaikan. Ketika siang si pengirim menanyakan kode pos pj wilayah untuk mempermudah, saya iseng-iseng mereply memberitahukan kode pos saya tanpa menunda membalasnya. Dan subhanallah, malam selepas saya pulang tarawih saya melihat paket itu.

Paket kedua dan ketiga diberikan donatur setelah kami beberapa kali mengadakan perjanjian melalui SMS. Akhirnya beliau datang sendiri ke rumah. Sayangnya saya tak sempat bertemu dengannya. Ketulusan begitu terasa di sana.

Paket keempat sebenarnya saya berjanji untuk menjemput ke rumahnya. Jadilah Sabtu hari perjanjian itu. Tumpuan cucian baju membuat pagi saya berbusa-busa. Akhirnya donatur itu mengirimkan sms menanyakan jadikah saya ke rumahnya. Setelah saya telepon, ia mengatakan ia yang akan ke rumah saya sekalian pergi. Subhanallah. Dia berkata, niat baik juga perlu perjuangan kan. Lagi-lagi Allah memberikan pelajaran untuk saya.

Paket kelima adalah paket Al-Qur'an dari Labschool. Malam saya dan donatur berjanji di seberang kampus tercinta UNJ. Banyaknya Al-Qur'an yang disumbangkan membuat kami kebingungan bagaimana cara saya membawanya. Kalau saya taruh di gantungan depan Columbus, selain tak muat, tak pantas juga rasanya karena berada di bawah dekat kaki. Akhirnya kami dua gadis manis (halah) berusaha mencari kardus dan tali sebagai pengikatnya. Sepertinya malaikat begitu banyak bertebaran malam itu. Kardus dan tali rafia diberikan secara cuma-cuma tanpa mau dibayar. Ikat diikat terus diikat, sepertinya tetap riskan untuk jatuh. Seorang pemuda bermotor memberi saran untuk mengikatnya dengan karet. Sayangnya saya tak membawanya. Tak lama kemudian ia menyodorkan karet hitam panjang. Alhamdulillah. Kamipun tersenyum padanya. Berbuat baik ternyata memang butuh perjuangan, melihat saya agak kesulitan mengikatnya, tanpa segan ia membantu mengikatkannya. Terlihatlah kemudian tali
rafia yang saya ikat sebelumnya sangat tak kencang. Terima kasih teman.

Paket keenam harus dijemput. Bermodalkan alamat dari SMS, saya, gadis yang nilai Geografinya jelek itu agak kebingungan menentukan arah. Setelah lebih dari 10 kali bertanya pada tukang ojek (rumus bila tak tau arah: bila Anda jalan kaki, usahakan bila tak tahu arah jangan bertanya pada tukang ojek. Dekat juga dibilang jauh ;) nah kalau Anda naik motor, tak mengapa bertanya pada tukang ojek, mereka biasanya tau arah) akhirnya sampailah saya di rumah tujuan.

Hehehe, jadi bosen bacanya ya? Yah, pada intinya, cinta saya rasakan di episode pengumpulan donasi. Tak kalah serunya cerita di penyebaran donasi. kapan-kapan ditulis deh ^_^ Insya Allah.

Salam
Dyah

__________________________________________________________
Yahoo! Toolbar kini dilengkapi dengan Search Assist. Download sekarang juga.
http://id.toolbar.yahoo.com/
Recent Activity
Visit Your Group
Biz Resources

Y! Small Business

Articles, tools,

forms, and more.

Y! Messenger

Files to share?

Send up to 1GB of

files in an IM.

Yahoo! Groups

Stay healthy

and discover other

people who can help.

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: