Kamis, 25 September 2008

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2273

sekolah-kehidupan

Messages In This Digest (13 Messages)

Messages

1a.

Re: (Catcil) Menemukan Cinta di Sudut-sudut 1000 Cinta

Posted by: "novi_ningsih" novi_ningsih@yahoo.com   novi_ningsih

Thu Sep 25, 2008 1:22 am (PDT)

Indanya mbak Dyah :)

Maaf ya *kata ini kayaknya bakal sering aku ucapin :D
ga bisa banyak membantu

Makasi buat yayan, yang udah ambil titipan paket dan uangnya ke rumah

Makasi buat nia dan mbak Dyah yang menengok di malam itu dan sedikit
berbagi cerita acara puncak 1001 :)

Nia, maaf kamu jadi ga sahur :D
maaaaaaaaaf banget... makasi ya oleh2 bukunya :D, kapan2 aku review, ya

Buat semua, kalo denger ceritanya, pasti seru banget :)
maaf, nih minim banget yang bisa aku lakuin...

Tetap semangat

Jelang Syawal

Mohon maaf lahir batin

Salam

Novi

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, dyah zakiati <adzdzaki@...>
wrote:
>
> Indahnya cinta tak terperikan. Membuat hati begitu berwarna. Betapa
beruntung orang yang mendapatkannya. Betapa merana karena cinta pun
begitu mendebarkan.
>
> SMS, telepon, bantuan-bantuan dari malaikat berwujud manusia itu
begitu terasa dalam acara 1000 Cinta ini. Pada merekalah seharusnya
rasa terima kasih diberikan. Malu rasanya hati ini tak berbuat
maksimal demi cinta itu. Maafkan ya. Tapi setidaknya biarkan diri ini
menuliskan rangkaian kata sebagai tanda betapa diri ini berterima
kasih pada sahabat-sahabat yang telah mengorbankan waktunya demi cinta.
>
> Episode penyebaran 1000 cinta di Jakarta Timur mulai dibicarakan di
Bulungan. Di sebuah musholla kecil nan asri di tengah berdebunya kota.
Kebetulan beberapa teman ikut dalam acara pembukaan 1000 Cinta yang
diadakan oleh pusat. Disitulah janji dibuat. Tanggal 21 Ahad kelak
1000 Cinta Jaktim akan disebar.
>
> Beberapa teman meng-SMS menawarkan bantuan (terima kasih, semoga
Allah membalas dengan kebaikan yang sangat) tuk menyebarkan. Karena
lagi-lagi penyakit berpikir terlalu praktis membuat beberapa tawaran
itu terabaikan (hiks, maafiiiiin yaaa). Tepat Ahad tanggal 21
September 2008 pukul 11.15 pasukan Cinta dari Jakarta Timur pun datang
(hehehe, hiperbola). Mr. R, dan Pak Yudhi. Karena ada satu anggota
penyebar yang belum datang, maka perlombaan membungkus paket dengan
kertas kado dimulai. 9 Paket Cinta Jakarta Timur dengan cantiknya
berhasil dibuat oleh kedua pria itu.
>
> Sekitar pukul 14.00 Yayan, sesuai dengan janjinya akan datang,
datang membawa kertas bertuliskan paket 1000 Cinta. Jadilah paket
cinta semakin cantik ditandai dengan kertas yang juga berlogo Sekolah
Kehidupan itu.
>
> Penyebaran dibagi menjadi dua titik. Yayan bertugas menyebarkan di
Pulogadung, Rawamangun, Pondok Kopi, dan daerah dekat Pondok Kopi
juga,sedangkan Mr. R dan Pak Yudhi bertugas menyebarkan di Stasiun
Jatinegara, Terminal Kampung Melayu, Stasiun Tebet, Stasiun Cawang,
dan Musholla daerah Cililitan.
>
> Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, maka akad serah terima
sah dilakukan di setiap tempat (foto bisa dilihat di milis ^_^).
Diawali dengan konvoi ke Stasiun Jatinegara penyerahan paket diterima
dengan baik. Subhanallah, di tengah gersangnya stasiun ada bunga mawar
yang merekah. Di musholla Kampung Melayu yang mungil itu serah terima
kembali berjalan.
>
> Stasiun Tebet memiliki beberapa musholla. Setelah sedikit
melihat-lihat kondisi mushollanya, akhirnya Mr. R dan Pak Yudhi
menyerahkan paket cinta itu kepada perwakilan pengurus musholla.
Sholat Ashar sekalian dilakukan di musholla Cawang. Ada beberapa
musholla di sana. Cinta kembali merekahkan senyum. Dengan manis
momentum itu diabadikan. Akhirnya episode penyerahan terakhir
dilakukan di sebuah musholla dekat pusat kemacetan seberang PGC.
>
> Ada cinta di hati, ada cinta di musholla. Ada cinta di mana-mana.
Episode penyebaran cinta diakhiri dengan mengikuti acara di Panti
Asuhan Jakarta Selatan. Walau sedikit nyasar (sedikiiit banget
kook),akhirnya rombongan sampai di sana. Suprise, bahagia, senang,
melihat sahabat-sahabat Eska yang langsung menyambut dengan senyum
(yang membuat segala imbas akibat jalan-jalan hilang) dan melihat
puluhan anak-anak berkumpul di panti asuhan itu.
>
> Mbak Retno dengan piawainya mengisi acara ke anak-anak. Maz Galih
yang tak segan-segan melakukan hal yang bisa dibantu. Maz Catur yang
mendampingi acara dengan senang, Mbak Lia yang mengurus berbagai hal
termasuk konsumsi, Maz Dani, mbak Endah, dede Nibras yang ceria, Oom
Fiyan yang dengan semangatnya mempersiapkan minuman pembuka untuk
sahabat Eska, Yayan yang foto-foto, Divin yang menambah ceria suasana,
Pak Sinang yang berbagi cerita dengan ramahnya pada anak-anak. Bu Has
yang cantik dan ramah beserta pasukannya:), mbak Indar dan suami serta
dede Yasmin dan Ais yang bikin kangen. Nia yang baik hati dan
perhatian, semua deeh, semuaaa membuat indah malam itu.
>
> Betewe episode kepulangan juga lumayan bikin ketawa lhoo. Biarlah
jadi kenangan saja deh (hehehe, ketauan males nulisnya).
>
> Spesial Thanks to:
> Pak Yudhi, Mr. R, dan Yayan. Tanpa kalian paket-paket itu akan tetap
menumpuk di rumahku.
> Novi, mbak Ayu, mbak Rina, mbak Wiwit, Teteh Oya:) dan banyaaaak
lagi orang-orang yang begitu baik membantu. Jazakumullah Khairan Jaza.
>
> Salam
>
> Dyah
>
>
>
__________________________________________________________
> Cari tahu ramalan bintang kamu - Yahoo! Indonesia Search.
>
http://id.search.yahoo.com/search?p=%22ramalan+bintang%22&cs=bz&fr=fp-top
>

2.

Bls: [sekolah-kehidupan] Re: (Catcil) Menemukan Cinta di Sudut-sudut

Posted by: "dyah zakiati" adzdzaki@yahoo.com   adzdzaki

Thu Sep 25, 2008 1:39 am (PDT)

Nggak papa Novi sayang. Kalau kamu maksa bantu-bantu malah bikin aku khawatir. Istirahat yang banyaaak. Makan yang banyaaak (hehehe, bulan puasa ya?). Telepon dan SMS serta bantuan-bantuan postingan kamu sangat membantu koook.

Ayooo, semoga cepat sembuh yaaa, Syafakillah. Mudah-mudahan lebaran nanti dirimu total sembuhnya. Aamiin.

Mohon maaf lahir batin juga ^_^
Salam kangeeeen
Dyah

----- Pesan Asli ----
Dari: novi_ningsih <novi_ningsih@yahoo.com>

Indahnya mbak Dyah :)

Maaf ya *kata ini kayaknya bakal sering aku ucapin :D
ga bisa banyak membantu

Makasi buat yayan, yang udah ambil titipan paket dan uangnya ke rumah

Makasi buat nia dan mbak Dyah yang menengok di malam itu dan sedikit
berbagi cerita acara puncak 1001 :)

Nia, maaf kamu jadi ga sahur :D
maaaaaaaaaf banget... makasi ya oleh2 bukunya :D, kapan2 aku review, ya

Buat semua, kalo denger ceritanya, pasti seru banget :)
maaf, nih minim banget yang bisa aku lakuin...

Tetap semangat

Jelang Syawal

Mohon maaf lahir batin

Salam

Novi

--- In sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com, dyah zakiati <adzdzaki@.. .>
wrote:
>
> Indahnya cinta tak terperikan. Membuat hati begitu berwarna. Betapa
beruntung orang yang mendapatkannya. Betapa merana karena cinta pun
begitu mendebarkan.
>
> SMS, telepon, bantuan-bantuan dari malaikat berwujud manusia itu
begitu terasa dalam acara 1000 Cinta ini. Pada merekalah seharusnya
rasa terima kasih diberikan. Malu rasanya hati ini tak berbuat
maksimal demi cinta itu. Maafkan ya. Tapi setidaknya biarkan diri ini
menuliskan rangkaian kata sebagai tanda betapa diri ini berterima
kasih pada sahabat-sahabat yang telah mengorbankan waktunya demi cinta.
>
> Episode penyebaran 1000 cinta di Jakarta Timur mulai dibicarakan di
Bulungan. Di sebuah musholla kecil nan asri di tengah berdebunya kota.
Kebetulan beberapa teman ikut dalam acara pembukaan 1000 Cinta yang
diadakan oleh pusat. Disitulah janji dibuat. Tanggal 21 Ahad kelak
1000 Cinta Jaktim akan disebar.

__________________________________________________________
Yahoo! sekarang memiliki alamat Email baru.
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail.
Cepat sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/
3.

[Catcil] Mereka dan 1000 Cinta

Posted by: "Kang Dani" fil_ardy@yahoo.com   fil_ardy

Thu Sep 25, 2008 1:42 am (PDT)

Galih dan 1000 cinta

Sejak bertanggung jawab sebagai Sie EO pada acara milad SK 2 di Situ Gintung, Galih sudah menunjukkan cara kerja yang baik dan bertanggung jawab penuh. Lalu menjelang ramadhan, saya tidak ragu untuk memberinya tanggung jawab serupa, bahkan lebih besar dari sebelumnya. Dan seperti yang sudah saya duga, Galih bisa menjalankan amanahnya dengan baik. Tentu saja semuanya karen dukungan dari Sahabat SK yang lain.

Hal yang membuat saya merasa bersalah padanya adalah ketika untuk rapat dan ifthor di rumah Mbak Indar, Galih harus kehilangan dompetnya yang sarat dengan surat-surat berharga. Meski akhirnya karena keikhlasannya jugalah dompet dan surat-surat berharganya bisa kembali.  Thx for lead this programe, Brow!

Lia dan 1000 Cinta

Jika angka donasi hingga puncak acara mencapai 20 juta lebih, itu pasti karena Allah swt yang membisikkan pada hati para muzakky, untuk turut peduli pada rumah-rumahNya. Dan bisikkan itu termanifestasikan melalui update-update progresi program 1000 cinta untuk 1000 musholla ke jagat maya, dan Lia melakukannya dengan baik. Sempurna.

Selama kurang lebih 3 pekan progress report 1000 cinta untuk 1000 musholla di posting olehnya, hingga semakin banyak orang yang membaca dan menyumbangkan kelebihan rizkinya pada panitia. Dan puncaknya, saya kagum dan terheran-heran, ketika Lia memutuskan terbang ke Jogja untuk menghadiri lounching acara serupa dengan biaya transportasi sendiri. Sebagai ketua komunitas saya tersipu untuk hal ini, untuk ketidakmapanan saya sebagai seorang pemimpin.

Retno dan 1000 Cinta

Untuk jarak yang ditempuh antara Bogor dan Jakarta setiap kali SK membutuhkannya, untuk kerelaan suaminya mengizinkan dia sibuk di SK, dan untuk setiap permintaan maaf diiringi perasaan bersalah setiap kali acara berjalan tidak maksimal, saya benar-benar menghargai bendahara SK ini.

Meski ditengah kesbukannya, Retno masih menyempatkan memberikan list nama-nama panti yang akhirnya dieksekusi oleh Galih dan Yayan, mengirimkan list nama-nama terminal di sekitar Jakarta untuk penyaluran dinasi 1000 cinta. Dan pulang malam sebelum hari H.

Sahabat yang lain nyusul ya ^_^

Dani Ardiansyah
I-Moov Mobile Solution
Jl. Radio Dalam Raya No. 5H Lt. 4
HP: 085694771764

4.

Gelar Malam Budaya Australia Indonesia Youth Exchange Program 2008/2

Posted by: "Seltza" tristanova@yahoo.com   tristanova

Thu Sep 25, 2008 1:53 am (PDT)

PRESS RELEASE

Gelar Malam Budaya Australia Indonesia Youth Exchange Program 2008/2009

18 orang Pemuda yang mewakili Indonesia dalam Program Pertukaran
Pemuda Indonesia Australia 2008/2009, akan mengadakan Gelar Malam
Budaya yang bertajuk Sasadara Caraka Nusantara, dengan menampilkan
persembahan khusus 'Kartika Ing Wilwatikta'.

Australia Indonesia Youth Exchange Program merupakan salah satu bentuk
kerjasama Indonesia dan Australia dalam bidang kepemudaan yang telah
berlangsung sejak tahun 1982. Di Indonesia Program ini berada di bawah
naungan Kementrian Pemuda Dan Olahraga sementara di Australia Program
ini diselenggarakan oleh Australia Indonesia Institute, yang diwakili
oleh Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia.

Sebelum menjalankan program 18 orang pemuda ini diberikan berbagai
macam pelatihan diantaranya Nationalism building, International
relationship, Community Empowerment dan Seni Budaya selama kurang
lebih 7 hari. Pada tahun ini rencananya mereka akan ditempatkan di New
South Wales pada fase Australia sementara untuk fase Indonesia
kegiatan berlangsung di Kabupaten Lumajang.

Gelar Malam Budaya sendiri akan dilaksanakan pada;

Tanggal: Minggu,11 Oktober 2008

Waktu: 1900-2100

Tempat: Hotel Pradana
SMK Negeri 57 Jakarta
Jln. Margasatwa No. 38 B,
Jatipadang- Pasar Minggu-Jakarta Selatan

Pagelaran ini bersifat non komersial (tidak dipungut bayaran) dan
terbuka untuk umum.

Untuk Keterangan Lebih Lanjut dan Reservasi Hubungi:
Momo: 081388122744
Catur: 021- 93449008/085780313013
Astrid: 08156708153

5.1.

Salam Kenal

Posted by: "lukman" sdolanmlg@yahoo.co.id   sdolanmlg

Thu Sep 25, 2008 3:41 am (PDT)

Assalamu'alaikum

Salam kenal Saya Lukman Hakim
saya masih ikut-ikut baca aja....
apakah ada teman SK yang dari Kota Malang
Matur Nuwun

Wassalam...
Terima Kasih sudah diberi kesempatan untuk bergabung
Lukman

5.2.

Re: Salam Kenal

Posted by: "ukhtihazimah" ukhtihazimah@yahoo.com   ukhtihazimah

Thu Sep 25, 2008 5:38 am (PDT)

Wa'alaykumsalam wr wb

loh wong malang, idem dong mas. Salam kenal balik
dari dua cah malang yang lagi ngrantau di mbandung.

mugi2 betah mas ten SK, dienteni tulisan en komentar
e ndek milis

salam satu jiwa,
sinta en ela yang lagi dalam perjalanan mudik k
malang. horey!

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "lukman"
<sdolanmlg@...> wrote:
>
> Assalamu'alaikum
>
> Salam kenal Saya Lukman Hakim
> saya masih ikut-ikut baca aja....
> apakah ada teman SK yang dari Kota Malang
> Matur Nuwun
>
> Wassalam...
> Terima Kasih sudah diberi kesempatan untuk
bergabung
> Lukman
>

5.3.

Re: Salam Kenal

Posted by: "ukhtihazimah" ukhtihazimah@yahoo.com   ukhtihazimah

Thu Sep 25, 2008 5:39 am (PDT)

Wa'alaykumsalam wr wb

loh wong malang, idem dong mas. Salam kenal balik
dari dua cah malang yang lagi ngrantau di mbandung.

mugi2 betah mas ten SK, dienteni tulisan en komentar
e ndek milis

salam satu jiwa,
sinta en ela yang lagi dalam perjalanan mudik k
malang. horey!

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "lukman"
<sdolanmlg@...> wrote:
>
> Assalamu'alaikum
>
> Salam kenal Saya Lukman Hakim
> saya masih ikut-ikut baca aja....
> apakah ada teman SK yang dari Kota Malang
> Matur Nuwun
>
> Wassalam...
> Terima Kasih sudah diberi kesempatan untuk
bergabung
> Lukman
>

6a.

Re: Bls: [sekolah-kehidupan] Re: Fwd: Tersenyumlah Dengan Hatimu

Posted by: "yudhi mulianto" yudhi_sipdeh@yahoo.com   yudhi_sipdeh

Thu Sep 25, 2008 3:42 am (PDT)


Cerita yang menyentuh hati :-)

Banyak pelajaran dari cerita yang Pak Sinang telah bagikan kepada kami,

pelajaran itu antara lain :

MENCINTAI SESAMA, DENGAN MEMANFAATKAN SEDIKIT HARTA-BENDA YANG KITA MILIKI, dan bukannya MENCINTAI HARTA-BENDA YANG BUKAN MILIK KITA, DENGAN MEMANFAATKAN SESAMA!รข€¨

'sahabat yang bijak' yang akan meninggalkan JEJAK di dalam hatimu
Orang yang kehilangan uang, akan kehilangan banyak, orang yang kehilangan teman, akan kehilangan lebih banyak!

HEWAN saja tetap HARUS BERIKHTIAR untuk bisa mendapat makan apalagi manusia?

KASIH SAYANG TUHAN itu sangat HANGAT dan INDAH sekali!
"Tersenyumlah dengan 'HATImu'

salam cinta

yudhi

--- On Thu, 9/25/08, dyah zakiati <adzdzaki@yahoo.com> wrote:
Setuju, tulisan yang cantik sekali. Kadang kita melihat dari sudut pandang kita saja dan tak peduli bagaimana perasaan mereka yang sebenarnya juga tak menginginkan mendapat 'anugrah' itu. Terima kasih, Bapak.

ps. Mbak Retno, kenapa tidak melihat cermin saja untuk mencari gambar senyum yang benar-benar dari hati:)

----- Pesan Asli ----
Dari: Bu CaturCatriks <punya_retno@ yahoo.com>
Kepada: sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com
Terkirim: Kamis, 25 September, 2008 14:54:06
Topik: [sekolah-kehidupan] Re: Fwd: Tersenyumlah Dengan Hatimu

ah,
sungguh satu tulisan yg indah, pak sinang
terima kasih telah membaginya dgn kami

ps: saya pernah lho bikin kolase dgn tema ini (senyum dr hati), dan
wah, ternyata susah juga cari gambar senyum yg benar2 dr hati. :)

-retno-

--- In sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com, Pandika Sampurna
<pandika_sampurna@ ...> wrote:

From: On Behalf Of Pras
Sent: 23 September 2008 11:22
Subject: Kisah yg menyentuh : Tersenyumlah dengan HATImu.
Kisah di bawah ini adalah kisah yang saya dapat dari milis alumni
Jerman, atau warga Indonesia yg bermukim atau pernah bermukim
di sana . Demikian layak untuk dibaca beberapa menit, dan
direnungkan seumur hidup.

7a.

Re: Fwd: Tersenyumlah Dengan Hatimu

Posted by: "novi_ningsih" novi_ningsih@yahoo.com   novi_ningsih

Thu Sep 25, 2008 4:07 am (PDT)

Aku penasaran, ketika membuka milis hari ini, akhirnya, aku pun
mengeprint beberapa postingan panjang
dan salah satunya tulisan ini...

Bener-bener terharu, walau belum tuntas membacanya

indah banget

terima kasih pak sinang sudah membaginya kepada kami di sini

salam

Novi

*seneng banget, masuk kelas hari ini
ada bekal bacaan untuk pulang ke rumah kakak nanti :)
segepok print out postingan dari milis eska :)

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Pandika Sampurna
<pandika_sampurna@...> wrote:
>
>
> From: On Behalf Of Pras
> Sent: 23 September 2008 11:22
> Subject: Kisah yg menyentuh : Tersenyumlah dengan HATImu.
>
>
>
> Kisah di bawah ini adalah kisah yang saya dapat dari milis alumni
Jerman, atau warga Indonesia yg bermukim atau pernah bermukim
di sana . Demikian layak untuk dibaca beberapa menit, dan direnungkan
seumur hidup.
>
>
>
>
>
>
>
> Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan
kuliah saya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi.
Sang Dosen sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan
setiap orang memilikinya.
> Tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama
"Smiling." Seluruh siswa diminta untuk pergi ke luar dan memberikan
senyumnya kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan
mendokumentasikan reaksi mereka. Setelah itu setiap siswa diminta
untuk mempresentasikan didepan kelas. Saya adalah seorang yang
periang, mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang.
Jadi, saya pikir,tugas ini sangatlah mudah.
>
> Setelah menerima tugas tsb, saya bergegas menemui suami saya dan
anak bungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi
kerestoran McDonald's yang berada di sekitar kampus. Pagi itu udaranya
sangat dingin dan kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian,
saya menyela dan meminta agar dia saja yang menemani si Bungsu sambil
mencari tempat duduk yang masih kosong.
> Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak
setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang
yang semula antri dibelakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian.
> Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan
melihat mengapa mereka semua pada menyingkir ? Saat berbalik itulah
saya membaui suatu "bau badan kotor" yang cukup menyengat, ternyata
tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat
dekil! Saya bingung, dan tidak mampu bergerak sama sekali.
> Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang
lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang
"tersenyum" kearah saya.
> Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga memancarkan
kasih sayang. Ia menatap kearah saya, seolah ia meminta agar saya
dapat menerima 'kehadirannya' ditempat itu.
> Ia menyapa "Good day!" sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung
beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan.
Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh
saya 'tugas' yang diberikan oleh dosen saya. Lelaki kedua sedang
memainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya.
Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi
mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah "penolong"nya. Saya
merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian
itu kini hanya tinggal saya bersama mereka,dan kami bertiga tiba2 saja
sudah sampai didepan counter.
>
> Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin
saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan.
Lelaki bermata biru segera memesan "Kopi saja, satu cangkir Nona."
Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh
mereka (sudah menjadi aturan direstoran disini, jika ingin duduk di
dalam restoran dan menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli
sesuatu). Dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan.
>
> Tiba2 saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat
terpaku beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka
mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu2 lainnya, yang
hampir semuanya sedang mengamati mereka. Pada saat yang bersamaan,
saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga
sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga melihat semua 'tindakan' saya.
>
> Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk
ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum
dan minta diberikan dua paket makan pagi (diluar pesanan saya) dalam
nampan terpisah.
> Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang
ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke
meja/tempat duduk suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan
lainnya berjalan melingkari sudut kearah meja yang telah dipilih kedua
lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu
di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas punggung telapak
tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap "makanan ini
telah saya pesan untuk kalian berdua."
>
> Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu
mulai basah ber-kaca2 dan dia hanya mampu berkata "Terima kasih
banyak, nyonya."
> Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya saya
berkata "Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian,
Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu
ketelinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian."
> Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan
memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya
merengkuh kedua lelaki itu.
>
> Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan
meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang
tidak jauh dari tempat duduk mereka. Ketika saya duduk suami saya
mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata "Sekarang
saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang
pasti, untuk memberikan 'keteduhan' bagi diriku dan anak-2ku! " Kami
saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami benar2
bersyukur dan menyadari,bahwa hanya karena 'bisikanNYA' lah kami telah
mampu memanfaatkan 'kesempatan' untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang
lain yang sedang sangat membutuhkan.
>
> Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan
meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka
satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin 'berjabat
tangan' dengan kami.
> Salah satu diantaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan
berucap "Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami
semua yang berada disini, jika suatu saat saya diberi kesempatan
olehNYA, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi
kepada kami."
> Saya hanya bisa berucap "terimakasih" sambil tersenyum. Sebelum
beranjak meninggalkan restoran saya sempatkan untuk melihat kearah
kedua lelaki itu, dan seolah ada 'magnit' yang menghubungkan bathin
kami, mereka langsung menoleh kearah kami sambil tersenyum, lalu
melambai-2kan tangannya kearah kami. Dalam perjalanan pulang saya
merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua orang
tunawisma tadi, itu benar2 'tindakan' yang tidak pernah terpikir oleh
saya. Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa 'kasih
sayang' Tuhan itu sangat HANGAT dan INDAH sekali!
>
> Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah dengan 'cerita'
ini ditangan saya. Saya menyerahkan 'paper' saya kepada dosen saya.
Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya saya dipanggil dosen
saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkah
saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?" dengan senang hati
saya mengiyakan. Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian
dari kelas untuk membacakan paper saya. Ia mulai membaca, para
siswapun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan
kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan gaya yang dimiliki sang dosen
dalam membawakan ceritanya, membuat para siswa yang hadir di ruang
kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu
berlangsung, sehingga para siswi yang duduk di deretan belakang
didekat saya diantaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan
perasaan harunya.
> Diakhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup
ceritanya dengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis diakhir
paper saya .
> "Tersenyumlah dengan 'HATImu', dan kau akan mengetahui betapa
'dahsyat' dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu."
>
> Dengan caraNYA sendiri, Tuhan telah 'menggunakan' diri saya untuk
menyentuh orang-orang yang ada di McDonald's, suamiku, anakku, guruku,
dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai
mahasiswi. Saya lulus dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah
saya dapatkan di bangku kuliah manapun, yaitu: "PENERIMAAN TANPA SYARAT."
>
> Banyak cerita tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa diresapi
oleh para pembacanya, namun bagi siapa saja yang sempat membaca dan
memaknai cerita ini diharapkan dapat mengambil pelajaran bagaimana
cara MENCINTAI SESAMA, DENGAN MEMANFAATKAN SEDIKIT HARTA-BENDA YANG
KITA MILIKI, dan bukannya MENCINTAI HARTA-BENDA YANG BUKAN MILIK KITA,
DENGAN MEMANFAATKAN SESAMA!
>
> Jika anda berpikir bahwa cerita ini telah menyentuh hati anda,
teruskan cerita ini kepada orang2 terdekat anda. Disini ada 'malaikat'
yang akan menyertai anda, agar setidaknya orang yang membaca cerita
ini akan tergerak hatinya untuk bisa berbuat sesuatu (sekecil apapun)
bagi sesama yang sedang membutuhkan uluran tangannya!
>
> Orang bijak mengatakan: Banyak orang yang datang dan pergi dari
kehidupanmu, tetapi hanya 'sahabat yang bijak' yang akan meninggalkan
JEJAK di dalam hatimu.
> Untuk berinteraksi dengan dirimu, gunakan nalarmu. Tetapi untuk
berinteraksi dengan orang lain, gunakan HATImu! Orang yang kehilangan
uang, akan kehilangan banyak, orang yang kehilangan teman, akan
kehilangan lebih banyak! Tapi orang yang kehilangan keyakinan, akan
kehilangan semuanya! Tuhan menjamin akan memberikan kepada setiap
hewan makanan bagi mereka, tetapi DIA tidak melemparkan makanan itu ke
dalam sarang mereka, hewan itu tetap harus BERIKHTIAR untuk bisa
mendapatkannya.
> Orang-orang muda yang 'cantik' adalah hasil kerja alam, tetapi
orang-orang tua yang 'cantik' adalah hasil karya seni. Belajarlah dari
PENGALAMAN MEREKA, karena engkau tidak dapat hidup cukup lama untuk
bisa mendapatkan semua itu dari pengalaman dirimu sendiri
>

8a.

Re: (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan

Posted by: "novi khansa" novikhansa@gmail.com

Thu Sep 25, 2008 4:17 am (PDT)

finnaly, aku menemukan juga

:D

Aku print dan bawa pulang dulu, ya ;)

tadi sempet nyerah ngubek2 milis cari postinganmu ini, neng....

belum bisa komen :D

tulisan retno pasti renyah, deh :D

hehehehe

salam

Novi

On Mon, Sep 22, 2008 at 9:15 AM, Bu CaturCatriks <punya_retno@yahoo.com>wrote:

> dear all,
>
> hanya sekedar berbagi banyak pandangan dan pelajaran yg saya dapat
> dlm pernikahan.
> oya, sebelumnya,
> ini adalah salah satu tulisan terpanjang yg pernah saya buat.
> sekaligus, salah satu tulisan terjujur, dimana saya benar2 mencoba
> menumpahkan banyak pertanyaan dr kepala saya.
> mohon maaf kalau membosankan dan membingungkan.
>
> -retno-
>
> Sebuah Ruang Kelas Bernama Pernikahan
> Oleh Retnadi Nur'aini
>
> Marriage (noun): legal union of a man and woman as husband and wife.
> Marriageable (adjective): old enough or suitable for marriage
> Marry (verb): take somebody as a husband or wife; join as husband
> and wife; find suitable partner for
> Married (adjective): having a husband or wife
> (Oxford Pocket Dictionary)
>
> Di umur 23 tahun, kata "pernikahan" adalah kata yang terasa tak pas
> untuk dilekatkan pada diri saya. Tidak sebagai kata benda. Tidak
> sebagai kata sifat. Tidak juga sebagai kata kerja.
>
> Mungkin karena saat itu saya pikir umur saya masih kelewat muda.
> Mungkin karena saya tengah senang-senangnya bekerja, diselingi
> bermain dan berkumpul bersama teman-teman saya. Mungkin karena saat
> itu—seperti dalam kumpulan esai karya Ayu Utami yang berjudul
> Parasit Lajang—konsep membentuk keluarga tampak begitu tak efisien
> bagi lajang seperti saya yang masih menumpang di rumah orangtua.
>
> Mungkin karena saya pikir saya masih kelewat egois dalam banyak hal
> yang saya inginkan. Mungkin juga karena saya tak pernah mencantumkan
> kata ini dalam daftar target, resolusi, harapan, ataupun mimpi yang
> ingin saya capai tahun ini, sehingga saya juga sama sekali tak
> pernah memacu—ataupun memaksa diri saya sendiri untuk mencoba
> mengenakan kata ini dalam diri saya. Atau mungkin karena saya
> kelewat nyaman saja dengan keadaan saat itu, dan punya banyak
> keengganan dan kecemasan akan suatu perubahan.
>
> Apapun itu—it just didn't fit.
> ***
>
> Pelajaran 1: Merumuskan Definisi Konseptual
>
> Di umur 23 tahun, konsep pernikahan juga sekaligus merupakan sebuah
> konsep raksasa yang sulit saya rumuskan. Selain karena keterbatasan
> pemahaman, saya juga belum tahu apa yang sungguh-sungguh saya
> inginkan dalam suatu pernikahan.
>
> Maka untuk mulai merumuskannya, saya pun mencoba premis yang
> berkebalikan. Yaitu dengan mendaftar apa yang sungguh-sungguh tidak
> saya inginkan dalam suatu pernikahan. Berbekalkan sedikit pengalaman
> hubungan interpersonal bersama beberapa pria, disambi mengamati
> sejumlah kehidupan pernikahan di sekitar saya, pelan-pelan, sayapun
> mulai menabung rumusan konsep pernikahan. Beberapa diantaranya: Saya
> tak menginginkan pernikahan yang di dalamnya ada pembagian tugas
> domestik berdasarkan jender dan nilai-nilai patriarki. Saya tak
> menginginkan pernikahan dimana setiap orang di dalamnya punya ego
> dan ambisi sedemikian besarnya untuk satu kepuasan memenangkan adu
> argumentasi, dan mengesampingkan konsep diskusi dan kompromi. Saya
> tak menginginkan pernikahan dimana setiap orang di dalamnya tidak
> tahu caranya menggunakan intonasi. Saya tak menginginkan pernikahan,
> yang di dalamnya orang mandeg berjalan dalam proses pencarian jati
> diri.
>
> Jujur, mulanya, tabungan konsep di atas memang merupakan gabungan
> dari daftar "cacat" atas sejumlah kehidupan pernikahan yang saya
> amati, sekaligus daftar "dosa" para mantan pasangan saya. Dimana
> dalam setiap akhir hubungan, dengan dinginnya, saya akan menyerahkan
> daftar panjang ini sebagai alasan kenapa kami tak lagi bisa berjalan
> bersama.
>
> Tidak adil, memang. Dan tentu saja, daftar itu tak serta merta
> menamatkan riwayat hubungan kami. Ada banyak pertanyaan "Kenapa?",
> yang diteruskan dengan "Kenapa sekarang?".
>
> Namun seiring dengan waktu yang membalut semua luka, ia juga
> sekaligus menegur ego saya yang pongah dan kekanakan. Bahwa seperti
> seorang murid yang gagal ujian, setiap mantan pasangan berhak tahu,
> kenapa nilainya bisa buruk—di kala ia pikir ia sudah belajar sama
> kerasnya dengan murid lainnya. "Oke, kamu mungkin sekarang sudah
> pindah kelas dan tak lagi bisa belajar bersama dengannya, but at
> least, let him learn. Biarkan ia mendapat pelajaran yang telah
> menjadi haknya," tegur waktu.
>
> Jadi, alih-alih menggunakan daftar ini sebagai self defense
> mechanism, saya mencoba mengganti judulnya dengan "Daftar Harapan
> untuk Calon Pasanganmu Berikutnya," sebelum diserahkan pada mantan
> pasangan saya. Dan untuk saya sendiri "Daftar Harapan atas Dirimu
> Sendiri."
>
> Dari sana, kami belajar bahwa pelajaran kami sekarang memang sudah
> berbeda bentuknya, dan saya tak bisa belajar bersama seorang
> pasangan yang tinggal kelas. Ia harus lebih dulu menuntaskan tahapan
> pelajarannya, untuk kemudian bisa memahami tahap pelajaran
> selanjutnya. Di sisi lain, saya juga tak bisa mengajarinya, ataupun
> mengatrol nilainya. Saya tak berhak, tak berwenang, dan juga tak
> mampu untuk melakukannya. Di atas semuanya, bukan itu
> konsep "belajar bersama dalam suatu hubungan interpersonal" di
> kepala saya. Dengan lapang dada, kami pun belajar tentang konsep
> memaafkan dan merelakan. Kami juga belajar tentang konsep kenangan,
> masa lalu, dan bergerak maju. Move on.
> ***
>
> Saya dibesarkan dalam keluarga dengan ke dua orangtua pekerja.
> Dimana ayah saya adalah seorang workholic dan ibu saya adalah
> seorang guru SD yang sangat berdedikasi pada murid-muridnya. Namun
> saat saya menginjak bangku SMU, ibu saya memutuskan untuk pensiun
> dini, demi mengurus keluarga.
>
> Dan ya, ibu saya sungguh-sungguh berkomitmen pada keputusannya.
> Beliau sungguh-sungguh membaktikan dirinya untuk keluarga. Setiap
> hari, beliau akan bangun pukul 2 pagi untuk shalat tahajud, tidak
> tidur sampai subuh, dan menyiapkan sarapan lengkap—berupa nasi dan
> lauk pauknya, bukan sekedar roti tawar beroles selai atau margarin—
> dan bergelas-gelas minuman hangat. Setiap hari, 3 kali sehari,
> beliau akan mengganti minuman untuk Bapak—pagi hari ada kopi susu,
> air jeruk, dan air putih. Siang hari, ada es sirup dan air putih.
> Sore hari ada teh manis dan air putih.
>
> Tak pernah sekalipun Ibu alpa menyiapkan bekal makan siang kami
> semua. Dan sampai kini, masing-masing dari kami menyimpan satu
> taplak meja khusus buatan Ibu yang bersulamkan nama setiap kami di
> atasnya.
>
> Ibu nyaris tak pernah berjalan-jalan. Ataupun, menonton televisi.
> Bahkan saat beliau sedang sendirian di rumah. Ketimbang jalan-jalan,
> beliau lebih memilih untuk mengaji, membaca buku, menulis diary,
> atau tidur. Dan beliau hanya menonton televisi, saat kami datang dan
> menyetel televisi. Itupun lebih karena beliau ingin menemani kami.
>
> Kesenangan termewah ibu saya adalah makanan. Dimana beliau bisa
> membeli semangkuk bakso, atau sepiring nasi padang, untuk dirinya
> sendiri—dan bukannya disajikan di atas meja makan sebagai lauk bagi
> kami semua.
>
> Tumbuh dengan menyaksikan ini, satu ide lagi muncul di kepala saya.
> Bahwa saya tak menginginkan pernikahan, dimana ada orang yang
> menjadi martir di dalamnya. Tapi, hey, benarkah ibu saya menjadi
> martir dalam pernikahan ini?
>
> She seems quite happy.
>
> Sayapun bertanya padanya. Apakah beliau bahagia?
>
> Yang dijawab beliau dengan senyum tulus. "Tentu saja, saya bahagia.
> Memang ada masa-masa sulit, Retno. Dan lebih sulit lagi, karena dulu
> saya menjalani itu sendirian. Tidak ada Bapak (saat itu Bapak sedang
> kuliah di luar negeri), dan tidak ada keluarga saya. Namun saya
> bilang ke diri saya 'Harus bisa, harus bisa',"
>
> Seketika kepala saya kembali menelurkan sekeranjang pertanyaan. Is
> it cultural? (Karena dulu ide feminisme belum terpublikasikan merata
> di Indonesia), is it psychological? (Karena ibu saya dibesarkan
> dalam keluarga yang mengajarkannya untuk nrimo dengan keadaan, plus
> itu keluarga Jawa), is it genetic? (Karena uti saya—ibu dari ibu
> saya—juga punya karakter yang sama), is it astrological? (Karena ibu
> saya berzodiak Sagitarius), is it educational? (Karena ibu saya
> hanya mengenyam pendidikan D3, dan saya sedikit di atas beliau—S1),
> is it hormonal? Dietary? Philosopical? Religion? Educational?
> Environmental? What is the root of her character? Kenapa beliau
> tampak tidak keberatan? Kenapa beliau tampak ikhlas menjalaninya?
>
> Kenapa beliau bisa dengan tulusnya bilang 'I'm happy, Retno.' Dan di
> atas semuanya, kenapa saya pikir, saya tidak bisa menjalani itu
> semua?
>
> Tidakkah Ibu merasa mengorbankan terlalu banyak hal?
> Lagi-lagi sambil tersenyum, Ibu saya menjawab "Semuanya setimpal,
> Retno. Ada kakak-kakakmu. Ada kamu. Dan saya bangga dengan kalian,"
> Satu jawaban sederhana yang seketika membungkam semua pertanyaan
> saya.
> ***
>
> Pelajaran 2: Kriteria Pasangan Ideal
>
> Subjudul di atas merupakan satu pertanyaan yang akan mendapatkan
> jawaban berlembar-lembar banyaknya, dengan sedemikian detilnya, oleh
> banyak orang. Banyak orang yang mampu merinci jawabannya secara
> spesifik dengan—cantik/ ganteng, tinggi, putih, rambut panjang (bila
> wanita), pintar, religius, mapan, bibit, bebet, bobot, dsb. Banyak
> pula orang yang akan menjawab singkat "Yang penting, mau nerima gua
> apa adanya, mengisi kekurangan gua."
>
> Sejumlah jawaban spesifik, yang mostly, terasa tak pas menjadi
> standar kriteria saya akan calon pasangan ideal. Selain karena
> tampilan fisik dan hal-hal penunjangnya (saya sering
> mengistilahkannya dengan 'kualitas administratif') bukan menjadi
> prioritas utama saya, psikologis personal justru menjadi
> pertimbangan penting buat saya.
>
> Selama bertahun-tahun lamanya, saya pun mencoba merumuskan standar
> kualifikasi psikologis calon pasangan yang saya inginkan. Beberapa
> diantaranya adalah: secure pada dirinya sendiri, tulus, open mind,
> bersedia untuk diajak berkompromi dalam jangka panjang.
>
> Dalam salah satu buku yang saya baca, ada kutipan yang menarik
> tentang kriteria pasangan. "Gua cuma tahu, kalo sama dia, dalam hati
> gua, terdengar suara tutup botol dengan ulirnya. Klik."
>
> Ide yang menarik. Namun, ah, bukankah percakapan menyenangkan selalu
> bisa diciptakan? Darimana kita tahu bahwa bunyi 'klik' itu
> adalah 'klik' yang sebenarnya? Apa simptomnya?
>
> Pertanyaan ini menghantui kepala saya selama bertahun-tahun lamanya,
> sampai tahun 2006. Tahun itu, saya bertemu dengan seorang pria—
> sekarang mantan, yang tak hanya membunyikan 'klik' di kepala saya,
> namun juga lonceng. Saat bersamanya, saya bisa membayangkan kami tua
> bersama. Dimana kami dengan rambut memutih duduk-duduk di karpet
> ruang tamu, bergantian membacakan kalimat demi kalimat dalam cerpen
> Seksi karya Jhumpa Lahiri. Yes, I can picture it. Dengan detilnya,
> dengan cantiknya, dengan sempurnanya.
>
> Namun ada kalanya, kita tak selalu memperoleh apa yang kita
> harapkan. Pun saya mampu membayangkan setiap detil masa depan kami,
> hubungan itu merupakan suatu hubungan yang tidak ideal.
> Ketidakidealan ini melahirkan banyak pertengkaran dan adu
> argumentasi melelahkan, yang akhirnya membawa saya pada satu
> kesimpulan: bahwa ada kalanya, cinta saja tak cukup. Dengan berat
> hati, kami pun memutuskan untuk berpisah di tahun 2007.
>
> Perpisahan yang sekaligus merampok separuh jiwa saya, untuk kemudian
> menenggelamkannya entah dimana. Saat memunguti remah-remah jiwa yang
> tercecer, ide kriteria "mau menerima diri kita apa adanya, dan mau
> mengisi kekurangan kita" pun seketika jadi tampak masuk akal di
> kepala saya. Namun seperti halnya skripsi, itu semata-mata hanyalah
> batasan definisi konseptual. Saat kita ingin menerapkannya ke dalam
> kehidupan nyata, apa instrumennya? Apa indikatornya? Apa
> operasionalisasi konsepnya? Apa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
> teknisnya?
>
> Saat itulah seorang Catur Sukono datang.
>
> Saat saya tengah membenahi diri saya dengan remah-remah jiwa yang
> tersisa, mencoba merekatkan kembali kepercayaan diri dan konsep diri
> yang babak belur karena hubungan sebelumnya.
>
> Dan sebagai kejutan, pria ini datang dengan membawa sebuah proposal
> pernikahan.
> ***
>
> Saya selalu berpikir, bahwa suatu hubungan adalah laiknya investasi.
> Dimana setiap orang di dalamnya akan berinvestasi waktu, perasaan,
> materi, dan banyak hal lainnya, dengan tujuan memperoleh laba jangka
> panjang—dalam konteks ini, pernikahan, maupun hubungan jangka
> panjang yang stabil.
>
> Karenanya, sebelum memutuskan untuk berinvestasi, calon investor
> tentu perlu tahu segala faktor resiko yang akan dijalaninya,
> termasuk resiko kerugian. Maka saya pun menjelaskan pada pria ini
> tentang diri saya. Bahwa saya baru keluar dari hubungan yang sangat
> melelahkan, dan kembali berada di titik nol pencarian jati diri.
> Bahwa untuk membangun kepercayaan diri, saya kerap memantrai diri
> saya, dan memasang topeng imej sosok yang manis, lucu, menyenangkan.
> Pikir saya saat itu, kalaupun saya belum bisa bahagia, at least,
> saya bisa berpura-pura tampak bahagia. Dan mungkin, dengan begitu,
> saya akan sungguh-sungguh bahagia. Seperti saya di masa sebelumnya.
>
> Namun topeng itu tidak saya kenakan 24 jam sehari 7 hari seminggu.
> Saat terbuka, akan tampak wajah asli saya yang dipenuhi bekas luka
> dan buruk rupa. Bahwa menumpang rollercoaster mood saya bisa sangat
> sangat melelahkan. Bahwa saya punya setumpuk ketakutan tentang
> pernikahan dan menjadi orangtua, dan bahwa pernikahan kembali
> menjadi satu konsep blur yang gagal saya petakan.
>
> Karenanya, saat proposal itu datang, dan saya mulai membaca lembar
> demi lembar isinya, hal pertama yang ingin saya lakukan adalah lari.
> Kabur. Pertama, kami belum cukup mengenal satu sama lain. Yang
> membuat kepala saya dengan skeptisnya bertanya memburu "Bagaimana
> kalau dia abusif?", "Bagaimana kalau dia seorang skizofrenik atau
> manik depresi?", "Bagaimana kalau dia seorang
> megalomaniak?", "Bagaimana kalau dia seorang MPD?", "Bagaimana
> kalau dia adalah semua kombinasi di atas?"—atau singkatnya, hal-hal
> mendalam yang tak kasat mata dan tak terdeteksi hanya dalam beberapa
> bulan perkenalan.
>
> Bertahun lalu, saya pasti akan menolak mentah-mentah ide kabur dari
> masalah ini. "Hanya anak kecil yang lari dari masalah. Orang dewasa
> akan bangun dan menghadapinya," begitu pikir saya dulu.
>
> Tapi saat itu, saya sedang tak mampu berpikir jernih atas banyak
> hal. Kegagalan hubungan sebelumnya, membuat kepercayaan diri saya
> jatuh bebas di titik nol. Satu-satunya pria yang saya bisa
> membayangkan tua bersama dengannya, ternyata tak mampu
> memperjuangkan saya. Apa mungkin, saya memang tak seberharga itu
> untuk diperjuangkan, ya?, begitu pikir saya. Ya, saat itu, saya
> memang tak lagi percaya akan kemampuan akal sehat saya untuk
> mengambil keputusan, dan membuat saya meragukan definisi konseptual
> saya akan banyak hal, seperti tentang kepercayaan, komitmen, dan
> cinta.
>
> Namun saat mata raga mulai tumpul menatap, hadirlah sang mata hati.
> Dimana kompas yang berlaku bukan lagi fakta dan logika, melainkan
> feeling dan intuisi. Seperti saran Morrie yang dikutip Mitch Albom
> dalam buku Tuesdays with Morrie "Kadang-kadang, kita tak boleh
> percaya pada apa yang kita lihat, kita harus percaya pada apa yang
> kita rasakan."
>
> Dengan lembutnya, mata hati pun menjawab setumpuk pertanyaan skeptis
> kepala saya. Bahwa pria sederhana ini adalah sosok yang cukup stabil
> dan nyaman dengan dirinya sendiri—hal yang amat sangat jarang saya
> temui. Faktor yang juga membuatnya menjadi sosok yang cukup kuat
> untuk disandari. Bahwa ia berpikiran terbuka, dapat dipercaya,
> bertanggung jawab, bisa diajak berkompromi, dan yang terpenting—
> mencintai Tuhan dalam setiap sel tubuhnya.
>
> Karena ijab kabul pernikahan adalah salah satu perjanjian utama yang
> disaksikan langsung oleh Tuhan. Pun tidak merasa religius, namun
> saya percaya, bahwa para pecinta Tuhan tak akan berani mendustaiNya.
> Dan ya, saya percaya pada pria ini.
> ***
> Pelajaran 3: Bimbingan Mata Hati
>
> Toh, meski demikian, tetap saja kepala saya tak berhenti bertanya.
> Seperti rentetan peluru. "Lantas, bagaimana denganmu? Apa kamu
> menginginkan pria ini untuk 50 tahun, 60 tahun ke depan—seumur
> hidupmu? Apa kamu mencintainya? Bagaimana dengan rasa bosan,
> mengingat kamu adalah tipe orang yang mudah bosan? Apa jaminannya
> pernikahanmu akan utuh untuk jangka panjang? Dan bagaimana dengan
> anak? Dengan kondisimu sekarang, kamu pasti tak bisa menjadi ibu
> yang baik, kan? Tidakkah lebih urgent untuk lebih dahulu membenahi
> dirimu? Dan bagaimana dengan mimpi-mimpi yang belum kamu capai dan
> masih kamu inginkan? Dan bagaimana denganmu?", cecar kepala saya
> tanpa ampun.
>
> Dengan panik, sayapun berteriak "Stop! Stop! Stop! Saya mohon,
> berhentilah bertanya, karena kamu tidak membantu!"
> Disinilah lagi-lagi, mata hati merengkuh saya. Dengan lembut ia
> menggandeng saya ke tempat wudhu, membasuh semua pekat dan ruwet
> pertanyaan kepala saya. Dengan lembut, ia berbisik agar saya minta
> petunjuk dariNya. "Jika bimbang meraja, maka bertanyalah pada
> Penciptamu. Adukan padaNya, minta petunjukNya, mohonkan
> pertolonganNya," begitu bisiknya.
>
> Malam itu adalah malam tahun baru 2008, saat untuk pertama kalinya
> saya shalat istikharah dengan niatan bertanya pada Tuhan untuk
> urusan jodoh dan pernikahan. Dari beberapa buku dan pendapat yang
> saya kumpulkan, sejumlah orang konon, mendapatkan petunjuk dan
> hidayah melalui mimpi. Tidak demikian halnya dengan saya.
> Kala itu, hampir dini hari. Seorang teman saya yang tengah menginap
> sedang terlelap di dalam kamar. Sementara saya yang tak bisa tidur
> usai shalat istikharah, memilih untuk duduk di ruang keluarga. Hanya
> duduk saja, tanpa menonton televisi. Di luar, hanya sesekali saja
> terdengar lengkingan terompet dan suara orang yang sesekali
> melintas.
>
> Sebuah keheningan yang mendamaikan.
> Dan seperti dalam banyak keheningan saya lainnya, sebuah suara pun
> tiba-tiba hadir mengetuk kepala saya.
>
> "Ya, saya ingin melakukannya," ujar suara itu. Bening dan jelas.
> Saya mengernyitkan dahi. Ini bukan suara sang kepala. Karena sang
> kepala selalu berbicara tegas dan cepat, dengan intonasi datar dan
> nada dingin tanpa emosi. Dan juga bukan suara sang hati, yang hampir
> selalu terdengar pilu dan merintih, atau tercekat. Saya tidak kenal
> suara ini, pikir saya.
>
> "Kamukah itu, mata hati? Kenapa menggunakan kata 'saya', dan
> bukannya 'kamu' seperti yang biasa kamu lakukan saat membimbing
> saya?," tanya saya.
>
> Sambil tersenyum sejuk, mata hati pun menjawab "Karena memang bukan
> saya yang mengatakannya, Retnadi sayang. Dirimu sendirilah yang
> mengatakannya. Itu adalah suaramu."
>
> Selama beberapa waktu sayapun menunggu cecaran pertanyaan dari
> kepala. Namun tak terjadi sesuatu. Lima belas menit. Setengah jam.
> Satu jam. Kepala saya tetap tak bergeming.
>
> Pelan-pelan, bibir saya pun berucap syukur "Alhamdulillah, terima
> kasih Tuhan. Dan ya, saya ingin melakukannya. Saya ingin
> melakukannya. Saya ingin melakukannya."
> ***
>
> Proses pun dimulai.
>
> Diawali dengan tahap perkenalan pria ini pada ke dua orangtua saya,
> yang dilanjutkan dengan proses lamaran. Sepanjang proses
> berlangsung, saya pun mengutarakan keinginan saya pada pria ini akan
> ketiadaan resepsi dan seserahan saat lamaran.
>
> Dan betapa pria ini tercengang-cengang mendengarnya—terlebih saat
> kami tahu, bahwa kami akan menikah di masjid yang sama dengan salah
> satu abang saya, dimana abang saya dan mempelai wanitanya kemudian
> akan menyelenggarakan resepsi pernikahan di gedung samping masjid.
>
> "Tapi itu, kan, hak kamu. Kamu juga berhak untuk dirayakan, apalagi
> kamu anak perempuan bungsu, satu-satunya pula," ujar pria ini.
>
> Butuh diskusi cukup panjang bagi saya untuk meyakinkan pria ini,
> bahwa bagi saya, perayaan memang sungguh-sungguh bukanlah hal
> penting. Saya tak menginginkannya. Saya tak membutuhkannya. Bahwa
> bagi saya, yang utama adalah ijab kabul. Sisanya adalah asesoris
> pendukung belaka. Bahwa bagi saya, hidup tak berhenti seusai
> resepsi. Bahwa masih ada banyak hal yang harus dipikirkan—cicilan
> rumah, kontrol kehamilan, biaya persalinan, pendidikan anak,
> kesehatan anak, simpanan untuk pernikahan anak, dsb.
>
> "Atau begini, anggap saja semua orang punya daftar prioritas
> pribadi. Banyak perempuan memprioritaskan resepsi dan turut adat
> sebagai sesuatu yang utama. Dan itu bukan hal yang salah, tentu
> saja. Dengan segala hormat, saya sangat menghargai prioritas mereka.
> Namun, saya juga punya prioritas saya sendiri, yang kebetulan
> berbeda dengan mereka. How's that?," jelas saya panjang lebar.
>
> "Dan bagaimana dengan orangtuamu?" tanya pria ini.
>
> Alhamdulillah, saya dikaruniai orangtua Sjamsuddin Shiddieg dan
> Sangi Siti Rahayu yang luar biasa. Dengan pikiran terbuka dan lapang
> dada, mereka pun meluluskan keinginan saya. Pada hari Kamis, 1 Mei
> 2008, saya dan pria inipun resmi terdaftar sebagai murid suatu ruang
> kelas bernama Pernikahan.
>
> Bismillahirohmanirrahim.
> ***
>
> Pelajaran 4: Berdiskusi bersama Kepala dan Hati
>
> Sebagai murid baru, tentu banyak aturan baru yang harus saya
> adaptasi. Mulai dari tampilan pakaian, jam pulang, izin untuk
> keluar, cara bicara, cara tertawa, larangan keluar malam, dsb. Yang—
> di luar dugaan kepala saya yang skeptis—ternyata saya nyaman-nyaman
> saja menjalankannya.
>
> Tentu saja, saya selalu punya banyak pertanyaan. "Kenapa?", "Kenapa
> nggak boleh?", "Kenapa jangan?". Dan saat suami saya menjawab
> dengan "Nggak papa, nggak boleh aja," maka saya akan mengejar
> dengan "That's not an answer. Come on, try me."
>
> Ya, ada kalanya saya bisa sangat melelahkan. Beberapa orang mungkin
> berpikir bahwa banyak bertanya adalah sinyal kekritisan. Namun bagi
> saya, banyak bertanya berarti sinyal butuhnya persediaan berton-ton
> kesabaran. Bayangkan menerima pertanyaan 'Kenapa' dan 'Itu bukan
> jawaban. Ayo, cari lagi jawabannya yang logis,' selama hampir 7 kali
> sehari dan tidak meledak karenanya. Suami saya mestinya dapat
> lencana karenanya. Karena dengan sabarnya, ia akan menjelaskan
> alasannya, baik dari sisi agama, logika, maupun keinginan
> personalnya.
>
> Dengan tangan terbuka, suami saya bahkan mengundang dua tetangga
> saya untuk bertamu. Mereka adalah kepala saya yang kerap haus akan
> pemenuhan self fulfilling prophecy, dan hati saya yang kerap kelewat
> sensitif pada banyak emosi. Dengan ramahnya, suami saya menyilakan
> mereka untuk masuk, duduk bersama di ruang tamu kami. Dan
> berdiskusi.
>
> Ini adalah hal baru bagi saya—yang selama bertahun-tahun lamanya
> selalu gagal mengajak hati dan kepala untuk sekedar bertukar sapa
> dengan ramah. Seorang mantan pasangan dulu pernah berkomentar "Gee,
> Retno, kamu harus mulai belajar caranya mengajak hati dan kepalamu
> untuk berdiskusi." Yang saat itu dijawab dengan sinisnya oleh saya
> dengan "Yeah, right. Like I know how."
>
> Dan kini, betapa saya sungguh tercengang-cengang kala mendapati
> kepala dan hati sungguh-sungguh mendengarkan ucapan suami saya.
> Mereka tidak sedikitpun memotong ataupun menyela perkataan suami
> saya. Mereka juga tak sekalipun berbisik-bisik pada saya, tentang
> ketidaksetujuan mereka. Mereka sungguh-sungguh duduk diam, dan
> mendengarkan.
>
> Usai penjelasan suami saya, barulah dengan tertib satu persatu dari
> mereka mengutarakan argumennya. Lagi-lagi ini adalah hal baru buat
> saya. Karena semua argumentasi itu terbungkus dalam balutan kata
> yang tertutur rapi, logis, jelas, dan santun. Tidak ada adu
> argumentasi diwarnai drama air mata dan kurasan emosi melelahkan.
> Tak heran, bila kemudian proses kompromi pun tercapai dengan
> anggukan sepakat dan kepuasan dari semua tamu kami. It's a win-win
> solution.
>
> Begitulah proses adaptasi saya di ruang kelas baru ini.
> ***
>
> Pelajaran 5: Belajar Bernafas
>
> Pun hati dan kepala saya sudah mulai belajar duduk bersama dalam
> satu kursi, tetap saja ada saat-saat dimana kepala saya lagi-lagi
> akan kelewat banyak bertanya dan mencerca, sementara hati saya lagi-
> lagi akan kelewat banyak merasa.
>
> Ya, ini melelahkan. Sangat.
>
> Saat saya sempat memutuskan untuk berhenti bekerja kantoran dan
> tinggal di rumah saya, menjadi kontributor untuk sebuah majalah,
> misalnya. Ada banyak momen dimana kepala saya tanpa henti bertanya.
>
> Bolehkah saya merasa bosan di rumah? Bolehkah saya mencoba
> mengatasinya dengan berjalan-jalan ke rumah abang atau orangtua saya
> sendirian? Saat saya belum selesai mencuci baju karena terlalu fokus
> menulis, apakah saya bersalah sebagai seorang istri? Saat saya lupa
> menanak nasi sarapan dan nasi semalam ternyata sudah basi—sehingga
> kami yang lapar terpaksa menunggu selama 45 menit—apakah saya
> menjadi istri yang buruk, karenanya? Saat saya menghabiskan 3,5 jam
> di warnet dan pulang saat makan siang—pun suami saya saat itu makan
> siang di kantor—apakah saya adalah seorang istri yang egois? Apakah
> itu membuat saya menjadi sosok istri yang tak bertanggung jawab
> karenanya?
>
> Logically, kepala saya tentu tahu jawabannya—yang juga telah saya
> confirm dengan suami saya. Bahwa tentu saja, tidak, Retnadi. It's
> OK. Shit happens. Semua orang bisa melakukan kesalahan. Dan itu tak
> lantas menggeneralisirmu menjadi istri yang buruk. "And yes,
> sweetie, I love you that much," ujar suami saya.
>
> Jika memang demikian, lantas kenapa saya masih belum merasa lega?
> Kenapa saya terus-menerus merasa bersalah, sesak napas, dan mulai
> berpikir bahwa 'Apakah saya menikah terlalu cepat?'
>
> I hate that thought. Karena saya tahu pasti, bahwa saya mencintai
> suami saya, dan bahwa saya telah mengambil keputusan untuk menjalani
> ini bersamanya. Pertanyaan `what if' adalah pertanyaan mengawang-
> awang yang melelahkan, tanpa tujuan, dan sia-sia.
>
> Namun bagaimana menjawab ini pada kepala saya yang haus jawaban?
>
> Bahkan kala suatu proses adaptasi berjalan halus dan mulus, saya
> tahu bahwa seharusnya saya bersyukur. Dan ya, tentu saja saya
> bersyukur. Namun saat kepala saya yang bawel tiba-tiba menerima saja
> semua bentuk kompromi ini dengan lapang dada, giliran diri saya yang
> bertanya-tanya akan krisis identitasnya. "Ada apa dengan kamu, No?
> Apa ini berarti konsepmu selama ini salah? Dan yang sekarang ini
> adalah yang benar? Jadi, yang mana identitas dirimu? Jadi, kamu itu
> yang mana?"
>
> Dan saya tidak tahu jawabannya.
>
> Saya ingat pada suatu malam, kala pertanyaan ini kembali mencecar
> saya. Saat itu, saya meng-sms Ain. "Ain, I work from home, like I
> always wanted to. I have a beautiful husband that loved me and
> adored me so much. I live in a house that have a beautiful scenery.
> But why is hard for me to breath? Why is so hard to breathe?"
>
> Ain membalasnya dengan satu sms sederhana. Satu sms berisi kalimat
> yang dikutipnya dari Eat, Pray, Love-nya Elizabeth Gilbert. "What do
> you really really really want, Jo?"
>
> Sadly, I have no answer.
>
> Malam itu hampir pukul 1 pagi. Suami saya sudah terlelap di kamar.
> Sementara saya menangis di ruang depan, karena saya tak punya
> jawaban untuk membalas sms Ain. Dan seperti banyak hari buruk saya
> lainnya, saya pun menelpon Citra. Yang lagi-lagi, seperti biasa,
> punya jawaban melegakan.
>
> "Retnadi sayang, you're married at 23. Tentu saja, itu bawa banyak
> perubahan. Beberapa perubahan pasti melahirkan banyak pertanyaan
> membingungkan seperti ini. Tapi tahu nggak, No? It's OK, untuk tidak
> punya jawaban atas segala hal. It's OK, untuk bilang sama kepala dan
> dirimu sendiri, atau bahkan semua pertanyaan yang kamu temui,
> dengan "Maaf, untuk saat ini, saya tidak punya jawabannya. Tapi saya
> akan belajar untuk mencarinya." It's OK, and we still love you. So
> take your time, Retnadi. Take your time. Love you," ucap Citra
> mengelus hati saya.
> ***
> Pelajaran 6: Dua Aksioma
>
> Dalam ilmu komunikasi, aksioma adalah sesuatu yang tak terbantahkan.
> Aksioma komunikasi yang terkenal adalah `we cannot not communicate'.
> Karena pun kita menolak komunikasi verbal, akan selalu ada komponen
> nonverbal yang mengkomunikasikan pesan kita.
>
> Di umur 24 tahun, saya pun menyusun dua aksioma saya. Pertama, we
> can't pleased everyone. Kita tak bisa menyenangkan semua orang. Pun
> saya berusaha sekeras mungkin, akan selalu ada masukan, keinginan,
> dan harapan yang tak terakomodir. Pun saya berusaha sekeras mungkin,
> hasil akhir tetaplah berada di tangan Tuhan. And it's OK, because we
> can't pleased everyone. Saya berikhtiar, Tuhanlah yang menentukan.
>
> Aksioma ke dua (thanks to Citra), bahwa saya tak harus punya jawaban
> atas segala hal. Selama bertahun-tahun lamanya, kepala saya yang
> haus jawaban, tanpa henti bertanya, dan betapa saya berusaha keras
> untuk menjawabnya. Berusaha keras menyusun banyak konsep, banyak
> definisi, banyak deskripsi, banyak pernyataan, banyak alur logika,
> banyak pertimbangan, dan setumpuk penjelasan lain yang saya kira
> dapat memuaskan kepala saya. Tak pernah sekalipun terlintas, bahwa
> saya boleh menjawab 'I don't know how. I just know', atau 'I don't
> know, now. Let's figure it out later.'
>
> Saat pagi hari misalnya. Saat suami saya sudah berangkat ke kantor,
> sementara saya yang usai meratakan tanah belakang, beristirahat di
> atas karpet. Dengan kaki berselonjor, sarapan nasi putih hangat
> berlaukkan beberapa potong gorengan, untuk kemudian minum secangkir
> kopi susu. This is it. The moment of happiness. I'm just happy. I
> just know.
>
> Atau saat saya tengah kebingungan untuk mengambil suatu keputusan.
> Saat itu, saya menangis sejadi-jadinya di atas sajadah, terus-
> menerus bertanya pada Tuhan. Please tell me what to do. Please tell
> me what to do. Please tell me what to do.
> Dan sama seperti di malam tahun baru 2008, mata hati pun kembali
> membimbing saya. Dengan tenangnya, dengan lembutnya, dengan
> sabarnya.
>
> Ah, betapa melegakan.
>
> Kini, pun banyak pertanyaan kembali berseliweran di kepala saya,
> saya tahu, bahwa saya akan selalu bisa mengembalikannya pada Tuhan.
> Sama seperti saat dulu saya memutuskan untuk keluar dari hubungan
> melelahkan, sama seperti saat saya memutuskan untuk menikah, sama
> seperti saat saya memutuskan untuk kembali bekerja kantoran.
>
> Dan sebagai murid baru di ruang kelas bernama pernikahan ini, tentu
> akan selalu ada banyak materi yang tak saya pahami. Akan ada
> sejumlah kesalahan yang saya lakukan, ataupun suami saya lakukan.
> And it's ok. Seperti kutipan lirik lagu Ordinary People John
> Legend "We're just ordinary people, we don't which way to go. `Cause
> we're ordinary people, maybe we should take it slow."
>
> Pelan-pelan, saya dan suami saya akan belajar bersama di ruang kelas
> baru ini. PadaNya, Sang Maha Guru. Semoga pelajaran ini berlangsung
> selamanya. Untuk semua hal yang akan datang, attraversiamo*. Amin.
> ***
>
> *Attraversiamo (Italian phrase): Let's cross it over.
>
> PS: Di akhir tulisan ini, seketika saya terpikir, bahwa dengan
> deskripsi kata sifat, mungkin kata 'pernikahan' bisa menjadi suatu
> kata yang pas untuk dilekatkan pada diri saya. Dengan suami dan
> cinta yang begitu mempesona, saya pun tak bisa menemukan kata sifat
> lain, selain: bahagia.
>
> Yes, I'm happily married. I just know.
>
>
>
>

--
novi_khansa'kreatif
~Graphic Design 4 Publishing~
YM : novi_ningsih
http://akunovi.multiply.com
http://novikhansa.rezaervani.com/
8b.

Re: (ruang keluarga) sebuah ruang kelas bernama pernikahan

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Thu Sep 25, 2008 5:42 am (PDT)

Orang bilang sebuah tulisan memancarkan aura dan spirit sang penulisnya.
Membaca tulisan Retno, yang diam-diam saya jadi pengagum rahasia
tulisan-tulisannya sejak ia awal bergabung di SK, saya tertegun pada tiga
kata "sungguh" yang melompat dari tulisan super panjang ini (untuk kategori
milis).
(1) Sungguh berat menjadi seorang Retno dengan akrobat emosinya (istilah
lain dari 'rollercaster mood':). Seorang Retno terus berjuang dengan
penaklukan emosi-emosinya. Hm..bukankah itu juga yang kita alami setiap
hari? (thx for being my mirror!)
(2) Sungguh hebat seorang Catur Sukono yang mendampingi Retno, dengan
segenap perjuangannya. Hebat, bukan dalam artian kehebatan superhero tanpa
cela, tapi kehebatan seorang manusia yang apa adanya. Karena lebih asyik
nonton Spiderman yang bisa patah hati daripada Batman yang tiada
tanding (rasanya malam ini saya terlalu banyak berfilosofi ya:)
(3) Sungguh indah hidup ini jika kita punya waktu merefleksikan diri, dan
bisa berbaginya dengan orang lain. Writing is healing. You made it, Retno.

Tabik,
Nursalam AR

On 9/22/08, Bu CaturCatriks <punya_retno@yahoo.com> wrote:
>
> dear all,
>
> hanya sekedar berbagi banyak pandangan dan pelajaran yg saya dapat
> dlm pernikahan.
> oya, sebelumnya,
> ini adalah salah satu tulisan terpanjang yg pernah saya buat.
> sekaligus, salah satu tulisan terjujur, dimana saya benar2 mencoba
> menumpahkan banyak pertanyaan dr kepala saya.
> mohon maaf kalau membosankan dan membingungkan.
>
> -retno-
>
> Sebuah Ruang Kelas Bernama Pernikahan
> Oleh Retnadi Nur'aini
>
> Marriage (noun): legal union of a man and woman as husband and wife.
> Marriageable (adjective): old enough or suitable for marriage
> Marry (verb): take somebody as a husband or wife; join as husband
> and wife; find suitable partner for
> Married (adjective): having a husband or wife
> (Oxford Pocket Dictionary)
>
> Di umur 23 tahun, kata "pernikahan" adalah kata yang terasa tak pas
> untuk dilekatkan pada diri saya. Tidak sebagai kata benda. Tidak
> sebagai kata sifat. Tidak juga sebagai kata kerja.
>
> Mungkin karena saat itu saya pikir umur saya masih kelewat muda.
> Mungkin karena saya tengah senang-senangnya bekerja, diselingi
> bermain dan berkumpul bersama teman-teman saya. Mungkin karena saat
> itu—seperti dalam kumpulan esai karya Ayu Utami yang berjudul
> Parasit Lajang—konsep membentuk keluarga tampak begitu tak efisien
> bagi lajang seperti saya yang masih menumpang di rumah orangtua.
>
> Mungkin karena saya pikir saya masih kelewat egois dalam banyak hal
> yang saya inginkan. Mungkin juga karena saya tak pernah mencantumkan
> kata ini dalam daftar target, resolusi, harapan, ataupun mimpi yang
> ingin saya capai tahun ini, sehingga saya juga sama sekali tak
> pernah memacu—ataupun memaksa diri saya sendiri untuk mencoba
> mengenakan kata ini dalam diri saya. Atau mungkin karena saya
> kelewat nyaman saja dengan keadaan saat itu, dan punya banyak
> keengganan dan kecemasan akan suatu perubahan.
>
> Apapun itu—it just didn't fit.
> ***
>
> Pelajaran 1: Merumuskan Definisi Konseptual
>
> Di umur 23 tahun, konsep pernikahan juga sekaligus merupakan sebuah
> konsep raksasa yang sulit saya rumuskan. Selain karena keterbatasan
> pemahaman, saya juga belum tahu apa yang sungguh-sungguh saya
> inginkan dalam suatu pernikahan.
>
> Maka untuk mulai merumuskannya, saya pun mencoba premis yang
> berkebalikan. Yaitu dengan mendaftar apa yang sungguh-sungguh tidak
> saya inginkan dalam suatu pernikahan. Berbekalkan sedikit pengalaman
> hubungan interpersonal bersama beberapa pria, disambi mengamati
> sejumlah kehidupan pernikahan di sekitar saya, pelan-pelan, sayapun
> mulai menabung rumusan konsep pernikahan. Beberapa diantaranya: Saya
> tak menginginkan pernikahan yang di dalamnya ada pembagian tugas
> domestik berdasarkan jender dan nilai-nilai patriarki. Saya tak
> menginginkan pernikahan dimana setiap orang di dalamnya punya ego
> dan ambisi sedemikian besarnya untuk satu kepuasan memenangkan adu
> argumentasi, dan mengesampingkan konsep diskusi dan kompromi. Saya
> tak menginginkan pernikahan dimana setiap orang di dalamnya tidak
> tahu caranya menggunakan intonasi. Saya tak menginginkan pernikahan,
> yang di dalamnya orang mandeg berjalan dalam proses pencarian jati
> diri.
>
> Jujur, mulanya, tabungan konsep di atas memang merupakan gabungan
> dari daftar "cacat" atas sejumlah kehidupan pernikahan yang saya
> amati, sekaligus daftar "dosa" para mantan pasangan saya. Dimana
> dalam setiap akhir hubungan, dengan dinginnya, saya akan menyerahkan
> daftar panjang ini sebagai alasan kenapa kami tak lagi bisa berjalan
> bersama.
>
> Tidak adil, memang. Dan tentu saja, daftar itu tak serta merta
> menamatkan riwayat hubungan kami. Ada banyak pertanyaan "Kenapa?",
> yang diteruskan dengan "Kenapa sekarang?".
>
> Namun seiring dengan waktu yang membalut semua luka, ia juga
> sekaligus menegur ego saya yang pongah dan kekanakan. Bahwa seperti
> seorang murid yang gagal ujian, setiap mantan pasangan berhak tahu,
> kenapa nilainya bisa buruk—di kala ia pikir ia sudah belajar sama
> kerasnya dengan murid lainnya. "Oke, kamu mungkin sekarang sudah
> pindah kelas dan tak lagi bisa belajar bersama dengannya, but at
> least, let him learn. Biarkan ia mendapat pelajaran yang telah
> menjadi haknya," tegur waktu.
>
> Jadi, alih-alih menggunakan daftar ini sebagai self defense
> mechanism, saya mencoba mengganti judulnya dengan "Daftar Harapan
> untuk Calon Pasanganmu Berikutnya," sebelum diserahkan pada mantan
> pasangan saya. Dan untuk saya sendiri "Daftar Harapan atas Dirimu
> Sendiri."
>
> Dari sana, kami belajar bahwa pelajaran kami sekarang memang sudah
> berbeda bentuknya, dan saya tak bisa belajar bersama seorang
> pasangan yang tinggal kelas. Ia harus lebih dulu menuntaskan tahapan
> pelajarannya, untuk kemudian bisa memahami tahap pelajaran
> selanjutnya. Di sisi lain, saya juga tak bisa mengajarinya, ataupun
> mengatrol nilainya. Saya tak berhak, tak berwenang, dan juga tak
> mampu untuk melakukannya. Di atas semuanya, bukan itu
> konsep "belajar bersama dalam suatu hubungan interpersonal" di
> kepala saya. Dengan lapang dada, kami pun belajar tentang konsep
> memaafkan dan merelakan. Kami juga belajar tentang konsep kenangan,
> masa lalu, dan bergerak maju. Move on.
> ***
>
> Saya dibesarkan dalam keluarga dengan ke dua orangtua pekerja.
> Dimana ayah saya adalah seorang workholic dan ibu saya adalah
> seorang guru SD yang sangat berdedikasi pada murid-muridnya. Namun
> saat saya menginjak bangku SMU, ibu saya memutuskan untuk pensiun
> dini, demi mengurus keluarga.
>
> Dan ya, ibu saya sungguh-sungguh berkomitmen pada keputusannya.
> Beliau sungguh-sungguh membaktikan dirinya untuk keluarga. Setiap
> hari, beliau akan bangun pukul 2 pagi untuk shalat tahajud, tidak
> tidur sampai subuh, dan menyiapkan sarapan lengkap—berupa nasi dan
> lauk pauknya, bukan sekedar roti tawar beroles selai atau margarin—
> dan bergelas-gelas minuman hangat. Setiap hari, 3 kali sehari,
> beliau akan mengganti minuman untuk Bapak—pagi hari ada kopi susu,
> air jeruk, dan air putih. Siang hari, ada es sirup dan air putih.
> Sore hari ada teh manis dan air putih.
>
> Tak pernah sekalipun Ibu alpa menyiapkan bekal makan siang kami
> semua. Dan sampai kini, masing-masing dari kami menyimpan satu
> taplak meja khusus buatan Ibu yang bersulamkan nama setiap kami di
> atasnya.
>
> Ibu nyaris tak pernah berjalan-jalan. Ataupun, menonton televisi.
> Bahkan saat beliau sedang sendirian di rumah. Ketimbang jalan-jalan,
> beliau lebih memilih untuk mengaji, membaca buku, menulis diary,
> atau tidur. Dan beliau hanya menonton televisi, saat kami datang dan
> menyetel televisi. Itupun lebih karena beliau ingin menemani kami.
>
> Kesenangan termewah ibu saya adalah makanan. Dimana beliau bisa
> membeli semangkuk bakso, atau sepiring nasi padang, untuk dirinya
> sendiri—dan bukannya disajikan di atas meja makan sebagai lauk bagi
> kami semua.
>
> Tumbuh dengan menyaksikan ini, satu ide lagi muncul di kepala saya.
> Bahwa saya tak menginginkan pernikahan, dimana ada orang yang
> menjadi martir di dalamnya. Tapi, hey, benarkah ibu saya menjadi
> martir dalam pernikahan ini?
>
> She seems quite happy.
>
> Sayapun bertanya padanya. Apakah beliau bahagia?
>
> Yang dijawab beliau dengan senyum tulus. "Tentu saja, saya bahagia.
> Memang ada masa-masa sulit, Retno. Dan lebih sulit lagi, karena dulu
> saya menjalani itu sendirian. Tidak ada Bapak (saat itu Bapak sedang
> kuliah di luar negeri), dan tidak ada keluarga saya. Namun saya
> bilang ke diri saya 'Harus bisa, harus bisa',"
>
> Seketika kepala saya kembali menelurkan sekeranjang pertanyaan. Is
> it cultural? (Karena dulu ide feminisme belum terpublikasikan merata
> di Indonesia), is it psychological? (Karena ibu saya dibesarkan
> dalam keluarga yang mengajarkannya untuk nrimo dengan keadaan, plus
> itu keluarga Jawa), is it genetic? (Karena uti saya—ibu dari ibu
> saya—juga punya karakter yang sama), is it astrological? (Karena ibu
> saya berzodiak Sagitarius), is it educational? (Karena ibu saya
> hanya mengenyam pendidikan D3, dan saya sedikit di atas beliau—S1),
> is it hormonal? Dietary? Philosopical? Religion? Educational?
> Environmental? What is the root of her character? Kenapa beliau
> tampak tidak keberatan? Kenapa beliau tampak ikhlas menjalaninya?
>
> Kenapa beliau bisa dengan tulusnya bilang 'I'm happy, Retno.' Dan di
> atas semuanya, kenapa saya pikir, saya tidak bisa menjalani itu
> semua?
>
> Tidakkah Ibu merasa mengorbankan terlalu banyak hal?
> Lagi-lagi sambil tersenyum, Ibu saya menjawab "Semuanya setimpal,
> Retno. Ada kakak-kakakmu. Ada kamu. Dan saya bangga dengan kalian,"
> Satu jawaban sederhana yang seketika membungkam semua pertanyaan
> saya.
> ***
>
> Pelajaran 2: Kriteria Pasangan Ideal
>
> Subjudul di atas merupakan satu pertanyaan yang akan mendapatkan
> jawaban berlembar-lembar banyaknya, dengan sedemikian detilnya, oleh
> banyak orang. Banyak orang yang mampu merinci jawabannya secara
> spesifik dengan—cantik/ ganteng, tinggi, putih, rambut panjang (bila
> wanita), pintar, religius, mapan, bibit, bebet, bobot, dsb. Banyak
> pula orang yang akan menjawab singkat "Yang penting, mau nerima gua
> apa adanya, mengisi kekurangan gua."
>
> Sejumlah jawaban spesifik, yang mostly, terasa tak pas menjadi
> standar kriteria saya akan calon pasangan ideal. Selain karena
> tampilan fisik dan hal-hal penunjangnya (saya sering
> mengistilahkannya dengan 'kualitas administratif') bukan menjadi
> prioritas utama saya, psikologis personal justru menjadi
> pertimbangan penting buat saya.
>
> Selama bertahun-tahun lamanya, saya pun mencoba merumuskan standar
> kualifikasi psikologis calon pasangan yang saya inginkan. Beberapa
> diantaranya adalah: secure pada dirinya sendiri, tulus, open mind,
> bersedia untuk diajak berkompromi dalam jangka panjang.
>
> Dalam salah satu buku yang saya baca, ada kutipan yang menarik
> tentang kriteria pasangan. "Gua cuma tahu, kalo sama dia, dalam hati
> gua, terdengar suara tutup botol dengan ulirnya. Klik."
>
> Ide yang menarik. Namun, ah, bukankah percakapan menyenangkan selalu
> bisa diciptakan? Darimana kita tahu bahwa bunyi 'klik' itu
> adalah 'klik' yang sebenarnya? Apa simptomnya?
>
> Pertanyaan ini menghantui kepala saya selama bertahun-tahun lamanya,
> sampai tahun 2006. Tahun itu, saya bertemu dengan seorang pria—
> sekarang mantan, yang tak hanya membunyikan 'klik' di kepala saya,
> namun juga lonceng. Saat bersamanya, saya bisa membayangkan kami tua
> bersama. Dimana kami dengan rambut memutih duduk-duduk di karpet
> ruang tamu, bergantian membacakan kalimat demi kalimat dalam cerpen
> Seksi karya Jhumpa Lahiri. Yes, I can picture it. Dengan detilnya,
> dengan cantiknya, dengan sempurnanya.
>
> Namun ada kalanya, kita tak selalu memperoleh apa yang kita
> harapkan. Pun saya mampu membayangkan setiap detil masa depan kami,
> hubungan itu merupakan suatu hubungan yang tidak ideal.
> Ketidakidealan ini melahirkan banyak pertengkaran dan adu
> argumentasi melelahkan, yang akhirnya membawa saya pada satu
> kesimpulan: bahwa ada kalanya, cinta saja tak cukup. Dengan berat
> hati, kami pun memutuskan untuk berpisah di tahun 2007.
>
> Perpisahan yang sekaligus merampok separuh jiwa saya, untuk kemudian
> menenggelamkannya entah dimana. Saat memunguti remah-remah jiwa yang
> tercecer, ide kriteria "mau menerima diri kita apa adanya, dan mau
> mengisi kekurangan kita" pun seketika jadi tampak masuk akal di
> kepala saya. Namun seperti halnya skripsi, itu semata-mata hanyalah
> batasan definisi konseptual. Saat kita ingin menerapkannya ke dalam
> kehidupan nyata, apa instrumennya? Apa indikatornya? Apa
> operasionalisasi konsepnya? Apa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
> teknisnya?
>
> Saat itulah seorang Catur Sukono datang.
>
> Saat saya tengah membenahi diri saya dengan remah-remah jiwa yang
> tersisa, mencoba merekatkan kembali kepercayaan diri dan konsep diri
> yang babak belur karena hubungan sebelumnya.
>
> Dan sebagai kejutan, pria ini datang dengan membawa sebuah proposal
> pernikahan.
> ***
>
> Saya selalu berpikir, bahwa suatu hubungan adalah laiknya investasi.
> Dimana setiap orang di dalamnya akan berinvestasi waktu, perasaan,
> materi, dan banyak hal lainnya, dengan tujuan memperoleh laba jangka
> panjang—dalam konteks ini, pernikahan, maupun hubungan jangka
> panjang yang stabil.
>
> Karenanya, sebelum memutuskan untuk berinvestasi, calon investor
> tentu perlu tahu segala faktor resiko yang akan dijalaninya,
> termasuk resiko kerugian. Maka saya pun menjelaskan pada pria ini
> tentang diri saya. Bahwa saya baru keluar dari hubungan yang sangat
> melelahkan, dan kembali berada di titik nol pencarian jati diri.
> Bahwa untuk membangun kepercayaan diri, saya kerap memantrai diri
> saya, dan memasang topeng imej sosok yang manis, lucu, menyenangkan.
> Pikir saya saat itu, kalaupun saya belum bisa bahagia, at least,
> saya bisa berpura-pura tampak bahagia. Dan mungkin, dengan begitu,
> saya akan sungguh-sungguh bahagia. Seperti saya di masa sebelumnya.
>
> Namun topeng itu tidak saya kenakan 24 jam sehari 7 hari seminggu.
> Saat terbuka, akan tampak wajah asli saya yang dipenuhi bekas luka
> dan buruk rupa. Bahwa menumpang rollercoaster mood saya bisa sangat
> sangat melelahkan. Bahwa saya punya setumpuk ketakutan tentang
> pernikahan dan menjadi orangtua, dan bahwa pernikahan kembali
> menjadi satu konsep blur yang gagal saya petakan.
>
> Karenanya, saat proposal itu datang, dan saya mulai membaca lembar
> demi lembar isinya, hal pertama yang ingin saya lakukan adalah lari.
> Kabur. Pertama, kami belum cukup mengenal satu sama lain. Yang
> membuat kepala saya dengan skeptisnya bertanya memburu "Bagaimana
> kalau dia abusif?", "Bagaimana kalau dia seorang skizofrenik atau
> manik depresi?", "Bagaimana kalau dia seorang
> megalomaniak?", "Bagaimana kalau dia seorang MPD?", "Bagaimana
> kalau dia adalah semua kombinasi di atas?"—atau singkatnya, hal-hal
> mendalam yang tak kasat mata dan tak terdeteksi hanya dalam beberapa
> bulan perkenalan.
>
> Bertahun lalu, saya pasti akan menolak mentah-mentah ide kabur dari
> masalah ini. "Hanya anak kecil yang lari dari masalah. Orang dewasa
> akan bangun dan menghadapinya," begitu pikir saya dulu.
>
> Tapi saat itu, saya sedang tak mampu berpikir jernih atas banyak
> hal. Kegagalan hubungan sebelumnya, membuat kepercayaan diri saya
> jatuh bebas di titik nol. Satu-satunya pria yang saya bisa
> membayangkan tua bersama dengannya, ternyata tak mampu
> memperjuangkan saya. Apa mungkin, saya memang tak seberharga itu
> untuk diperjuangkan, ya?, begitu pikir saya. Ya, saat itu, saya
> memang tak lagi percaya akan kemampuan akal sehat saya untuk
> mengambil keputusan, dan membuat saya meragukan definisi konseptual
> saya akan banyak hal, seperti tentang kepercayaan, komitmen, dan
> cinta.
>
> Namun saat mata raga mulai tumpul menatap, hadirlah sang mata hati.
> Dimana kompas yang berlaku bukan lagi fakta dan logika, melainkan
> feeling dan intuisi. Seperti saran Morrie yang dikutip Mitch Albom
> dalam buku Tuesdays with Morrie "Kadang-kadang, kita tak boleh
> percaya pada apa yang kita lihat, kita harus percaya pada apa yang
> kita rasakan."
>
> Dengan lembutnya, mata hati pun menjawab setumpuk pertanyaan skeptis
> kepala saya. Bahwa pria sederhana ini adalah sosok yang cukup stabil
> dan nyaman dengan dirinya sendiri—hal yang amat sangat jarang saya
> temui. Faktor yang juga membuatnya menjadi sosok yang cukup kuat
> untuk disandari. Bahwa ia berpikiran terbuka, dapat dipercaya,
> bertanggung jawab, bisa diajak berkompromi, dan yang terpenting—
> mencintai Tuhan dalam setiap sel tubuhnya.
>
> Karena ijab kabul pernikahan adalah salah satu perjanjian utama yang
> disaksikan langsung oleh Tuhan. Pun tidak merasa religius, namun
> saya percaya, bahwa para pecinta Tuhan tak akan berani mendustaiNya.
> Dan ya, saya percaya pada pria ini.
> ***
> Pelajaran 3: Bimbingan Mata Hati
>
> Toh, meski demikian, tetap saja kepala saya tak berhenti bertanya.
> Seperti rentetan peluru. "Lantas, bagaimana denganmu? Apa kamu
> menginginkan pria ini untuk 50 tahun, 60 tahun ke depan—seumur
> hidupmu? Apa kamu mencintainya? Bagaimana dengan rasa bosan,
> mengingat kamu adalah tipe orang yang mudah bosan? Apa jaminannya
> pernikahanmu akan utuh untuk jangka panjang? Dan bagaimana dengan
> anak? Dengan kondisimu sekarang, kamu pasti tak bisa menjadi ibu
> yang baik, kan? Tidakkah lebih urgent untuk lebih dahulu membenahi
> dirimu? Dan bagaimana dengan mimpi-mimpi yang belum kamu capai dan
> masih kamu inginkan? Dan bagaimana denganmu?", cecar kepala saya
> tanpa ampun.
>
> Dengan panik, sayapun berteriak "Stop! Stop! Stop! Saya mohon,
> berhentilah bertanya, karena kamu tidak membantu!"
> Disinilah lagi-lagi, mata hati merengkuh saya. Dengan lembut ia
> menggandeng saya ke tempat wudhu, membasuh semua pekat dan ruwet
> pertanyaan kepala saya. Dengan lembut, ia berbisik agar saya minta
> petunjuk dariNya. "Jika bimbang meraja, maka bertanyalah pada
> Penciptamu. Adukan padaNya, minta petunjukNya, mohonkan
> pertolonganNya," begitu bisiknya.
>
> Malam itu adalah malam tahun baru 2008, saat untuk pertama kalinya
> saya shalat istikharah dengan niatan bertanya pada Tuhan untuk
> urusan jodoh dan pernikahan. Dari beberapa buku dan pendapat yang
> saya kumpulkan, sejumlah orang konon, mendapatkan petunjuk dan
> hidayah melalui mimpi. Tidak demikian halnya dengan saya.
> Kala itu, hampir dini hari. Seorang teman saya yang tengah menginap
> sedang terlelap di dalam kamar. Sementara saya yang tak bisa tidur
> usai shalat istikharah, memilih untuk duduk di ruang keluarga. Hanya
> duduk saja, tanpa menonton televisi. Di luar, hanya sesekali saja
> terdengar lengkingan terompet dan suara orang yang sesekali
> melintas.
>
> Sebuah keheningan yang mendamaikan.
> Dan seperti dalam banyak keheningan saya lainnya, sebuah suara pun
> tiba-tiba hadir mengetuk kepala saya.
>
> "Ya, saya ingin melakukannya," ujar suara itu. Bening dan jelas.
> Saya mengernyitkan dahi. Ini bukan suara sang kepala. Karena sang
> kepala selalu berbicara tegas dan cepat, dengan intonasi datar dan
> nada dingin tanpa emosi. Dan juga bukan suara sang hati, yang hampir
> selalu terdengar pilu dan merintih, atau tercekat. Saya tidak kenal
> suara ini, pikir saya.
>
> "Kamukah itu, mata hati? Kenapa menggunakan kata 'saya', dan
> bukannya 'kamu' seperti yang biasa kamu lakukan saat membimbing
> saya?," tanya saya.
>
> Sambil tersenyum sejuk, mata hati pun menjawab "Karena memang bukan
> saya yang mengatakannya, Retnadi sayang. Dirimu sendirilah yang
> mengatakannya. Itu adalah suaramu."
>
> Selama beberapa waktu sayapun menunggu cecaran pertanyaan dari
> kepala. Namun tak terjadi sesuatu. Lima belas menit. Setengah jam.
> Satu jam. Kepala saya tetap tak bergeming.
>
> Pelan-pelan, bibir saya pun berucap syukur "Alhamdulillah, terima
> kasih Tuhan. Dan ya, saya ingin melakukannya. Saya ingin
> melakukannya. Saya ingin melakukannya."
> ***
>
> Proses pun dimulai.
>
> Diawali dengan tahap perkenalan pria ini pada ke dua orangtua saya,
> yang dilanjutkan dengan proses lamaran. Sepanjang proses
> berlangsung, saya pun mengutarakan keinginan saya pada pria ini akan
> ketiadaan resepsi dan seserahan saat lamaran.
>
> Dan betapa pria ini tercengang-cengang mendengarnya—terlebih saat
> kami tahu, bahwa kami akan menikah di masjid yang sama dengan salah
> satu abang saya, dimana abang saya dan mempelai wanitanya kemudian
> akan menyelenggarakan resepsi pernikahan di gedung samping masjid.
>
> "Tapi itu, kan, hak kamu. Kamu juga berhak untuk dirayakan, apalagi
> kamu anak perempuan bungsu, satu-satunya pula," ujar pria ini.
>
> Butuh diskusi cukup panjang bagi saya untuk meyakinkan pria ini,
> bahwa bagi saya, perayaan memang sungguh-sungguh bukanlah hal
> penting. Saya tak menginginkannya. Saya tak membutuhkannya. Bahwa
> bagi saya, yang utama adalah ijab kabul. Sisanya adalah asesoris
> pendukung belaka. Bahwa bagi saya, hidup tak berhenti seusai
> resepsi. Bahwa masih ada banyak hal yang harus dipikirkan—cicilan
> rumah, kontrol kehamilan, biaya persalinan, pendidikan anak,
> kesehatan anak, simpanan untuk pernikahan anak, dsb.
>
> "Atau begini, anggap saja semua orang punya daftar prioritas
> pribadi. Banyak perempuan memprioritaskan resepsi dan turut adat
> sebagai sesuatu yang utama. Dan itu bukan hal yang salah, tentu
> saja. Dengan segala hormat, saya sangat menghargai prioritas mereka.
> Namun, saya juga punya prioritas saya sendiri, yang kebetulan
> berbeda dengan mereka. How's that?," jelas saya panjang lebar.
>
> "Dan bagaimana dengan orangtuamu?" tanya pria ini.
>
> Alhamdulillah, saya dikaruniai orangtua Sjamsuddin Shiddieg dan
> Sangi Siti Rahayu yang luar biasa. Dengan pikiran terbuka dan lapang
> dada, mereka pun meluluskan keinginan saya. Pada hari Kamis, 1 Mei
> 2008, saya dan pria inipun resmi terdaftar sebagai murid suatu ruang
> kelas bernama Pernikahan.
>
> Bismillahirohmanirrahim.
> ***
>
> Pelajaran 4: Berdiskusi bersama Kepala dan Hati
>
> Sebagai murid baru, tentu banyak aturan baru yang harus saya
> adaptasi. Mulai dari tampilan pakaian, jam pulang, izin untuk
> keluar, cara bicara, cara tertawa, larangan keluar malam, dsb. Yang—
> di luar dugaan kepala saya yang skeptis—ternyata saya nyaman-nyaman
> saja menjalankannya.
>
> Tentu saja, saya selalu punya banyak pertanyaan. "Kenapa?", "Kenapa
> nggak boleh?", "Kenapa jangan?". Dan saat suami saya menjawab
> dengan "Nggak papa, nggak boleh aja," maka saya akan mengejar
> dengan "That's not an answer. Come on, try me."
>
> Ya, ada kalanya saya bisa sangat melelahkan. Beberapa orang mungkin
> berpikir bahwa banyak bertanya adalah sinyal kekritisan. Namun bagi
> saya, banyak bertanya berarti sinyal butuhnya persediaan berton-ton
> kesabaran. Bayangkan menerima pertanyaan 'Kenapa' dan 'Itu bukan
> jawaban. Ayo, cari lagi jawabannya yang logis,' selama hampir 7 kali
> sehari dan tidak meledak karenanya. Suami saya mestinya dapat
> lencana karenanya. Karena dengan sabarnya, ia akan menjelaskan
> alasannya, baik dari sisi agama, logika, maupun keinginan
> personalnya.
>
> Dengan tangan terbuka, suami saya bahkan mengundang dua tetangga
> saya untuk bertamu. Mereka adalah kepala saya yang kerap haus akan
> pemenuhan self fulfilling prophecy, dan hati saya yang kerap kelewat
> sensitif pada banyak emosi. Dengan ramahnya, suami saya menyilakan
> mereka untuk masuk, duduk bersama di ruang tamu kami. Dan
> berdiskusi.
>
> Ini adalah hal baru bagi saya—yang selama bertahun-tahun lamanya
> selalu gagal mengajak hati dan kepala untuk sekedar bertukar sapa
> dengan ramah. Seorang mantan pasangan dulu pernah berkomentar "Gee,
> Retno, kamu harus mulai belajar caranya mengajak hati dan kepalamu
> untuk berdiskusi." Yang saat itu dijawab dengan sinisnya oleh saya
> dengan "Yeah, right. Like I know how."
>
> Dan kini, betapa saya sungguh tercengang-cengang kala mendapati
> kepala dan hati sungguh-sungguh mendengarkan ucapan suami saya.
> Mereka tidak sedikitpun memotong ataupun menyela perkataan suami
> saya. Mereka juga tak sekalipun berbisik-bisik pada saya, tentang
> ketidaksetujuan mereka. Mereka sungguh-sungguh duduk diam, dan
> mendengarkan.
>
> Usai penjelasan suami saya, barulah dengan tertib satu persatu dari
> mereka mengutarakan argumennya. Lagi-lagi ini adalah hal baru buat
> saya. Karena semua argumentasi itu terbungkus dalam balutan kata
> yang tertutur rapi, logis, jelas, dan santun. Tidak ada adu
> argumentasi diwarnai drama air mata dan kurasan emosi melelahkan.
> Tak heran, bila kemudian proses kompromi pun tercapai dengan
> anggukan sepakat dan kepuasan dari semua tamu kami. It's a win-win
> solution.
>
> Begitulah proses adaptasi saya di ruang kelas baru ini.
> ***
>
> Pelajaran 5: Belajar Bernafas
>
> Pun hati dan kepala saya sudah mulai belajar duduk bersama dalam
> satu kursi, tetap saja ada saat-saat dimana kepala saya lagi-lagi
> akan kelewat banyak bertanya dan mencerca, sementara hati saya lagi-
> lagi akan kelewat banyak merasa.
>
> Ya, ini melelahkan. Sangat.
>
> Saat saya sempat memutuskan untuk berhenti bekerja kantoran dan
> tinggal di rumah saya, menjadi kontributor untuk sebuah majalah,
> misalnya. Ada banyak momen dimana kepala saya tanpa henti bertanya.
>
> Bolehkah saya merasa bosan di rumah? Bolehkah saya mencoba
> mengatasinya dengan berjalan-jalan ke rumah abang atau orangtua saya
> sendirian? Saat saya belum selesai mencuci baju karena terlalu fokus
> menulis, apakah saya bersalah sebagai seorang istri? Saat saya lupa
> menanak nasi sarapan dan nasi semalam ternyata sudah basi—sehingga
> kami yang lapar terpaksa menunggu selama 45 menit—apakah saya
> menjadi istri yang buruk, karenanya? Saat saya menghabiskan 3,5 jam
> di warnet dan pulang saat makan siang—pun suami saya saat itu makan
> siang di kantor—apakah saya adalah seorang istri yang egois? Apakah
> itu membuat saya menjadi sosok istri yang tak bertanggung jawab
> karenanya?
>
> Logically, kepala saya tentu tahu jawabannya—yang juga telah saya
> confirm dengan suami saya. Bahwa tentu saja, tidak, Retnadi. It's
> OK. Shit happens. Semua orang bisa melakukan kesalahan. Dan itu tak
> lantas menggeneralisirmu menjadi istri yang buruk. "And yes,
> sweetie, I love you that much," ujar suami saya.
>
> Jika memang demikian, lantas kenapa saya masih belum merasa lega?
> Kenapa saya terus-menerus merasa bersalah, sesak napas, dan mulai
> berpikir bahwa 'Apakah saya menikah terlalu cepat?'
>
> I hate that thought. Karena saya tahu pasti, bahwa saya mencintai
> suami saya, dan bahwa saya telah mengambil keputusan untuk menjalani
> ini bersamanya. Pertanyaan `what if' adalah pertanyaan mengawang-
> awang yang melelahkan, tanpa tujuan, dan sia-sia.
>
> Namun bagaimana menjawab ini pada kepala saya yang haus jawaban?
>
> Bahkan kala suatu proses adaptasi berjalan halus dan mulus, saya
> tahu bahwa seharusnya saya bersyukur. Dan ya, tentu saja saya
> bersyukur. Namun saat kepala saya yang bawel tiba-tiba menerima saja
> semua bentuk kompromi ini dengan lapang dada, giliran diri saya yang
> bertanya-tanya akan krisis identitasnya. "Ada apa dengan kamu, No?
> Apa ini berarti konsepmu selama ini salah? Dan yang sekarang ini
> adalah yang benar? Jadi, yang mana identitas dirimu? Jadi, kamu itu
> yang mana?"
>
> Dan saya tidak tahu jawabannya.
>
> Saya ingat pada suatu malam, kala pertanyaan ini kembali mencecar
> saya. Saat itu, saya meng-sms Ain. "Ain, I work from home, like I
> always wanted to. I have a beautiful husband that loved me and
> adored me so much. I live in a house that have a beautiful scenery.
> But why is hard for me to breath? Why is so hard to breathe?"
>
> Ain membalasnya dengan satu sms sederhana. Satu sms berisi kalimat
> yang dikutipnya dari Eat, Pray, Love-nya Elizabeth Gilbert. "What do
> you really really really want, Jo?"
>
> Sadly, I have no answer.
>
> Malam itu hampir pukul 1 pagi. Suami saya sudah terlelap di kamar.
> Sementara saya menangis di ruang depan, karena saya tak punya
> jawaban untuk membalas sms Ain. Dan seperti banyak hari buruk saya
> lainnya, saya pun menelpon Citra. Yang lagi-lagi, seperti biasa,
> punya jawaban melegakan.
>
> "Retnadi sayang, you're married at 23. Tentu saja, itu bawa banyak
> perubahan. Beberapa perubahan pasti melahirkan banyak pertanyaan
> membingungkan seperti ini. Tapi tahu nggak, No? It's OK, untuk tidak
> punya jawaban atas segala hal. It's OK, untuk bilang sama kepala dan
> dirimu sendiri, atau bahkan semua pertanyaan yang kamu temui,
> dengan "Maaf, untuk saat ini, saya tidak punya jawabannya. Tapi saya
> akan belajar untuk mencarinya." It's OK, and we still love you. So
> take your time, Retnadi. Take your time. Love you," ucap Citra
> mengelus hati saya.
> ***
> Pelajaran 6: Dua Aksioma
>
> Dalam ilmu komunikasi, aksioma adalah sesuatu yang tak terbantahkan.
> Aksioma komunikasi yang terkenal adalah `we cannot not communicate'.
> Karena pun kita menolak komunikasi verbal, akan selalu ada komponen
> nonverbal yang mengkomunikasikan pesan kita.
>
> Di umur 24 tahun, saya pun menyusun dua aksioma saya. Pertama, we
> can't pleased everyone. Kita tak bisa menyenangkan semua orang. Pun
> saya berusaha sekeras mungkin, akan selalu ada masukan, keinginan,
> dan harapan yang tak terakomodir. Pun saya berusaha sekeras mungkin,
> hasil akhir tetaplah berada di tangan Tuhan. And it's OK, because we
> can't pleased everyone. Saya berikhtiar, Tuhanlah yang menentukan.
>
> Aksioma ke dua (thanks to Citra), bahwa saya tak harus punya jawaban
> atas segala hal. Selama bertahun-tahun lamanya, kepala saya yang
> haus jawaban, tanpa henti bertanya, dan betapa saya berusaha keras
> untuk menjawabnya. Berusaha keras menyusun banyak konsep, banyak
> definisi, banyak deskripsi, banyak pernyataan, banyak alur logika,
> banyak pertimbangan, dan setumpuk penjelasan lain yang saya kira
> dapat memuaskan kepala saya. Tak pernah sekalipun terlintas, bahwa
> saya boleh menjawab 'I don't know how. I just know', atau 'I don't
> know, now. Let's figure it out later.'
>
> Saat pagi hari misalnya. Saat suami saya sudah berangkat ke kantor,
> sementara saya yang usai meratakan tanah belakang, beristirahat di
> atas karpet. Dengan kaki berselonjor, sarapan nasi putih hangat
> berlaukkan beberapa potong gorengan, untuk kemudian minum secangkir
> kopi susu. This is it. The moment of happiness. I'm just happy. I
> just know.
>
> Atau saat saya tengah kebingungan untuk mengambil suatu keputusan.
> Saat itu, saya menangis sejadi-jadinya di atas sajadah, terus-
> menerus bertanya pada Tuhan. Please tell me what to do. Please tell
> me what to do. Please tell me what to do.
> Dan sama seperti di malam tahun baru 2008, mata hati pun kembali
> membimbing saya. Dengan tenangnya, dengan lembutnya, dengan
> sabarnya.
>
> Ah, betapa melegakan.
>
> Kini, pun banyak pertanyaan kembali berseliweran di kepala saya,
> saya tahu, bahwa saya akan selalu bisa mengembalikannya pada Tuhan.
> Sama seperti saat dulu saya memutuskan untuk keluar dari hubungan
> melelahkan, sama seperti saat saya memutuskan untuk menikah, sama
> seperti saat saya memutuskan untuk kembali bekerja kantoran.
>
> Dan sebagai murid baru di ruang kelas bernama pernikahan ini, tentu
> akan selalu ada banyak materi yang tak saya pahami. Akan ada
> sejumlah kesalahan yang saya lakukan, ataupun suami saya lakukan.
> And it's ok. Seperti kutipan lirik lagu Ordinary People John
> Legend "We're just ordinary people, we don't which way to go. `Cause
> we're ordinary people, maybe we should take it slow."
>
> Pelan-pelan, saya dan suami saya akan belajar bersama di ruang kelas
> baru ini. PadaNya, Sang Maha Guru. Semoga pelajaran ini berlangsung
> selamanya. Untuk semua hal yang akan datang, attraversiamo*. Amin.
> ***
>
> *Attraversiamo (Italian phrase): Let's cross it over.
>
> PS: Di akhir tulisan ini, seketika saya terpikir, bahwa dengan
> deskripsi kata sifat, mungkin kata 'pernikahan' bisa menjadi suatu
> kata yang pas untuk dilekatkan pada diri saya. Dengan suami dan
> cinta yang begitu mempesona, saya pun tak bisa menemukan kata sifat
> lain, selain: bahagia.
>
> Yes, I'm happily married. I just know.
>
>
>
>

--
-"Let's dream together!"
Nursalam AR
Translator, Writer & Writing Trainer
0813-10040723
E-mail: salam.translator@gmail.com
YM ID: nursalam_ar
http://nursalam.multiply.com
9.

Re: [catcil] Mudik, daku menantimu ;P

Posted by: "novi khansa" novikhansa@gmail.com

Thu Sep 25, 2008 4:22 am (PDT)

sudah terima sms pamitannya

ati2 ya 2 cah malang yang cantik dan lucu, halah

btw, sin, jangan lupakan tugasmu :D

hihihih, teteup. *ngerusak suasana banget, ya :D

salam

Novi :P

On Mon, Sep 22, 2008 at 10:22 PM, ukhti hazimah <ukhtihazimah@yahoo.com>wrote:

> *Sebelumnya maap, kalo tulisan di bawah ini mengandung unsur
> ketidak-pentingan. Selamat membaca bagi yang berminat, dan selamat lewat
> bagi yang cuman liat judulnya doank *
>
> ***
>
> Dahulu aku begitu mengidam-idamkan bisa keluar kota, dengan salah satu
> alasan supaya pas lebaran bisa ngerasain mudik. Mataku begitu tertarik
> setiap melihat hebohnya televisi menayangkan arus mudik. Beuh, seru euy!!
>
>
> Sekarang, saat aku sudah berhasil menapakkan kaki di Paris van Java---yang
> posisinya harus ditempuh dalam waktu 18 jam dari kampung halaman---Aku tetap
> menginginkan mudik, tapi kali ini misi utama mudik sudah berganti, yang dulu
> ingin merasakan 'seru'nya mudik, sekarang berubah menjadi kerinduanku akan
> kampung halaman.
>
> Saking rindunya, perburuan tiket dah dilakukan sebelum puasa. Dengan
> sedikit memancing-mancing si bos supaya menetapkan hari cuti bersama kantor
> WST---yang akhirnya dinobatkan pada tanggal 27 September 2008---kita [aku,
> ela en glen] menetapkan mudik dengan menggunakan kereta api. Kenapa? Karena
> selain tiket kereta, yang laen pada MAHAL!!
>
> Begitu hari cuti bersama sudah ditetapkan, segera kita meluncur ke stasiun
> kereta api. Namun apalah daya, kita di'usir' tukang tiket, "Mbak klo pesen
> tiket buat tanggal 27 September baru bisa tanggal 28 Agustus"
> yaaaahhhh…padahal kita telah merelakan waktu istirahat berharga kita untuk
> menerobos teriknya sang mentari [halah….]
>
> Begitu balik ke kantor hanya mendapatkan sambutan berupa, "Makanya gak usah
> tergesa-gesa, santai aja" seloroh si bos. Yeeee…
>
> Okay, tanggal 28 Agustus kita balik lagi ke stasiun kereta untuk mengais
> tiket [hehehe…kesian amat] dan ternyata sebuah hikmah muncul dengan penuh
> senyum di hadapan kami. "Mbak tiket buat tanggal 27 September ke depan
> penuh, yang ada tanggal 25 September" sempat diwarnai keraguan untuk
> mengiyakan pemesanan tiket, tapi akhirnya dengan terpaksa [yang aslinya hati
> penuh dengan bunga-bunga] transaksi pembelian tiket dilakukan. Dan dalam
> hari aku bersorak, "Horey!! Aku mudik dua hari lebih awal" Urusan dengan
> bos, pasti bisa ditanggulangi :P
>
> Mudik…mudik…tinggal tiga hari lagi akan kuraih, dan bayangan kampung
> halaman telah memenuhi sel-sel kepalaku
>
> :sinta yang ngidam berat MUDIK:
>
> Keindahan selalu muncul saat kepala manusia berpikir positif
> ^_^
>
> www.sinthionk.rezaervani.com <http://sinthionk.rezaervani.com/>
> www.sinthionk.multiply.com
> YM: sinthionk
>
>
>

--
novi_khansa'kreatif
~Graphic Design 4 Publishing~
YM : novi_ningsih
http://akunovi.multiply.com
http://novikhansa.rezaervani.com/
10a.

Re: Selamat Idul Fitri

Posted by: "april_reto" april_reto@yahoo.com   april_reto

Thu Sep 25, 2008 5:31 am (PDT)

Hmmm...menjelang idul fitri, aku jadi ingat Ramadhan tahun lalu. Saat
itu aku masih jadi murid rajin di sekolah ini, hehe.

Menyenangkan sekali rasanya, pas sahur masuk sekolah, meski masih sepi.
Pas buka, eh udah banyak cerita menarik untuk disantap.

Pokoknya the best for SK lha.

Well, selamat menyambut idul fitri semuaaaa...

salam sayang,
April

Recent Activity
Visit Your Group
Share Photos

Put your favorite

photos and

more online.

Yahoo! Groups

Everyday Wellness Zone

Check out featured

healthy living groups.

Family Photos

Learn how to best

capture your

family moments.

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: