Kamis, 02 Juli 2009

[daarut-tauhiid] Mendudukkan Akal pada Tempatnya



Mendudukkan Akal pada Tempatnya
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi
kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti
beliau hingga akhir zaman.
Betapa banyak orang yang mendewakan akal. Setiap perkara selalu dia
timbang-timbang dengan akal atau logikanya terlebih dahulu. Walaupun sudah
ada nash Al Qur'an atau Hadits, namun jika bertentangan dengan logikanya,
maka logika lebih dia dahulukan daripada dalil syar'i. Inilah yang biasa
terjadi pada ahli kalam. Lalu bagaimanakah mendudukkan akal yang
sebenarnya? Apakah kita menolak dalil akal begitu saja? Ataukah kita mesti
mendudukkannya pada tempatnya?
Sebelum Melangkah Lebih Jauh
Terlebih dahulu yang kita harus pahami, setiap insan beriman hendaklah
bersikap patuh dan tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya. Setiap wahyu yaitu
Al Qur'an dan Hadits itu berasal dari-Nya. Rasul memiliki kewajiban untuk
menyampaikan wahyu tersebut. Sedangkan kita memiliki kewajiban untuk
menerima wahyu tadi secara lahir dan batin.
Allah Ta'ala berfirman,
"Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling
maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat
Allah) dengan terang." (QS. At Taghabun: 12)
Az Zuhri –rahimahullah- mengatakan,
"Wahyu berasal dari Allah. Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah
menyampaikan kepada kita. Sedangkan kita diharuskan untuk pasrah
(menerima)." (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitabut Tauhid secara
mu'allaq yakni tanpa sanad)
Oleh karena itu, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara,
maka tidak ada pilihan bagi seorang muslim untuk berpaling kepada
selainnya, kepada perkataan ulama A, kyai B, ustadz C atau pun logikanya
sendiri, padahal pendapat mereka telah nyata menyelisihi Al Qur'an dan
Sunnah (ajaran) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Ta'ala
berfirman,
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.
Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah
sesat, sesat yang nyata." (QS. Al Ahzab: 36)
Ibnul Qayyim –rahimahullah- mengatakan,
"Ayat ini menunjukkan bahwa jika telah ada ketetapan dari Allah dan
Rasul-Nya dalam setiap masalah baik dalam permasalahan hukum atau pun
berita (seperti permasalahan aqidah), maka seseorang tidak boleh
memberikan pilihan selain pada ketetapan Allah dan Rasul-Nya tadi lalu dia
berpendapat dengannya. Sikap berpaling kepada ketetapan selain Allah dan
Rasul-Nya sama sekali bukanlah sikap seorang mukmin. Dari sini menunjukkan
bahwa sikap semacam ini termasuk menafikan (meniadakan) keimanan." (Zadul
Muhajir-Ar Risalah At Tabukiyah, hal. 25)
Perintah Menyimak dan Merenungkan Al Qur'an dengan Akal
Ketahuilah bahwa akal adalah syarat agar seseorang bisa memahami sesuatu,
sehingga membuat amalan menjadi baik dan sempurna. Oleh karena itu, akal
yang baik saja yang bisa mendapatkan taklif (beban syari'at) sehingga
orang gila yang tidak berakal tidak mendapat perintah shalat dan puasa.
Seseorang yang tidak memiliki akal adalah keadaan yang serba penuh
kekurangan. Setiap perkataan yang menyelisihi akal adalah perkataan yang
batil. Oleh karena itu, Allah telah memerintahkan kita untuk memperhatikan
dan merenungkan Al Qur'an dengan menggunakan akal semisal dalam beberapa
ayat berikut ini,
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an?" (QS. An Nisa': 82 dan
Muhammad: 24)
"Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu
melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab
(Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?" (QS. Al Baqarah: 44)
"Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau
belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang
bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?" (QS. Al An'am: 32)
"Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana
kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan
sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang
bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?" (QS. Yusuf: 109)
"Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup
duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik
dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?" (QS. Al Qashash: 60)
Al Qur'an Menggunakan Dalil Akal (Logika)
Hal ini sebagaimana dapat kita lihat dalam permisalan-permisalan yang
digunakan dalam Al Qur'an. Di antaranya firman Allah Ta'ala mengenai
penetapan tauhid bahwa Dialah satu-satunya Pencipta,
"Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah
diciptakan oleh sembahan-sembahan (mu) selain Allah." (QS. Luqman: 11).
Lihatlah dalam ayat ini, Allah menggunakan qiyas atau analogi permisalan
untuk menunjukkan adakah sesembahan selain Allah yang dapat mencipta.
Contoh lainnya adalah tentang ayat yang menunjukkan adanya hari
berbangkit. Allah misalkan dengan menjelaskan bahwa Dia dapat menghidupkan
tanah yang mati. Jika Allah mampu melakukan demikian, tentu Allah dapat
pula membangkitkan makhluk-makhluk yang sudah mati. Allah Ta'ala
berfirman,
"Dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah
terjadinya kebangkitan." (QS. Qaaf: 11)
Urgensi Akal dalam Syari'at Islam
Syari'at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal
manusia. Hal itu dapat dilihat pada beberapa point berikut ini.
[Pertama] Allah hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal
karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syari'at-Nya.
"Dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran." (QS. Shaad: 43)
[Kedua] Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk
dapat menerima taklif (beban syari'at) dari Allah Ta'ala. Hukum-hukum
syari'at tidak berlaku bagi orang yang tidak menerima taklif seperti pada
orang gila yang tidak memiliki akal.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: [1] orang yang tidur
sampai dia bangun, [2] anak kecil sampai mimpi basah (baligh) dan [3]
orang gila sampai ia kembali sadar (berakal)." (HR. Abu Daud. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
[Ketiga] Allah Ta'ala mencela orang yang tidak menggunakan akalnya,
semisal perkataan Allah pada penduduk neraka yang tidak mau menggunakan
akal.
[Keempat] Penyebutan begitu banyak proses dan anjuran berfikir dalam Al
Qur'an, yaitu untuk tadabbur dan tafakkur, seperti la'allakum tatafakkarun
(mudah-mudahan kamu berfikir) atau afalaa ta'qilun (apakah kamu tidak
berpikir). Begitu pula Allah memuji ulul albab (orang-orang yang
berakal/berfikir),
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka." (QS. Ali Imron: 190-191)

Akal Tidak Bisa Berdiri Sendiri
Walaupun akal bisa digunakan untuk merenungi dan memahami Al Qur'an, akal
tidaklah bisa berdiri sendiri. Bahkan akal sangat membutuhkan dalil syar'i
(Al Qur'an dan Hadits) sebagai penerang jalan. Akal itu ibarat mata. Mata
memang memiliki potensi untuk melihat suatu benda. Namun tanpa adanya
cahaya, mata tidak dapat melihat apa-apa. Apabila ada cahaya, barulah mata
bisa melihat benda dengan jelas.
Jadi itulah akal. Akal barulah bisa berfungsi jika ada cahaya Al Qur'an
dan As Sunnah atau dalil syar'i. Jika tidak ada cahaya wahyu, akal
sangatlah mustahil melihat dan mengetahui sesuatu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
"Bahkan akal adalah syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk beramal
dengan baik dan sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal. Akan
tetapi, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal bisa berfungsi jika dia
memiliki instink dan kekuatan sebagaimana penglihatan mata bisa berfungsi
jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al Qur'an barulah
akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian
tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu."
(Majmu' Al Fatawa, 3/338-339)
Intinya, akal bisa berjalan dan berfungsi jika ditunjuki oleh dalil syar'i
yaitu dalil dari Al Qur'an dan As Sunnah. Tanpa cahaya ini, akal tidak
akan berfungsi sebagaimana mestinya.
Ketika Akal dan Dalil Syar'i Bertentangan
Jika kita sudah mengetahui bahwa akal tidaklah bisa berfungsi kecuali
dengan adanya penerang dari Al Qur'an dan As Sunnah, maka tentu saja akal
yang benar tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil syar'i. Jika
bertentangan, maka akal yang patut ditanyakan dan dalil syar'i lah yang
patut dimenangkan. Kami dapat memberikan deskripsi tentang akal dan dalil
syar'i sebagai berikut.
Ada orang awam ingin bertanya suatu hal pada seorang ulama. Akhirnya dia
dibantu oleh Ahmad. Ahmad pun menunjukkan orang awam tadi pada ulama
tersebut. Dalam suatu masalah, Ahmad menyelisihi pendapat ulama tadi. Lalu
Ahmad mengatakan pada orang awam tadi, "Aku yang telah menunjuki engkau
pada ulama tersebut, seharusnya engkau mengambil pendapatku bukan pendapat
ulama tadi." Tentu saja orang awam tadi akan mengatakan, "Engkau memang
yang telah menunjukiku pada ulama tadi. Engkau menyuruhku untuk mengikuti
ulama tadi, namun bukan untuk mengikuti pendapatmu. Jika aku mengikuti
petunjukmu bahwa ulama tadi adalah tempat untuk bertanya, hal ini bukan
berarti aku harus mencocokimu dalam setiap yang engkau katakan. Jika
engkau keliru dan menyelisihi ulama tadi padahal dia lebih berilmu darimu,
maka kekeliruanmu pada saat ini tidaklah membuat cacat tentang keilmuanmu
bahwa dia adalah ulama."
Ini adalah permisalan dengan seorang ulama yang mungkin saja salah. Lalu
bagaimanakah jika pada posisi ulama tersebut adalah Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam yang tidak mungkin keliru dalam penyampaian berita dari
Allah?
Dari deskripsi ini, akal dimisalkan dengan si Ahmad yang jadi petunjuk
kepada ulama tadi. Sedangkan ulama tersebut adalah permisalan dari dalil
syar'i. Inilah sikap yang harus kita miliki tatkala kita menemukan bahwa
akal ternyata bertentangan dengan dalil syar'i. Sikap yang benar ketika
itu adalah seseorang mendahulukan dalil syar'i daripada logika.
Sebagaimana kita mendahulukan ulama tadi dari si Ahmad sebagai petunjuk
jalan. Jika dalil syar'i bertentangan dengan akal, maka dalil lah yang
harus didahulukan. Namun hal ini tidak membuat akal itu cacat karena dia
telah menunjuki kepada dalil syar'i.
Inilah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah, yaitu jika akal
bertentangan dengan dalil Al Qur'an dan As Sunnah, maka dalil syar'i lebih
harus kita dahulukan dari akal.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
"Jika seseorang mengetahui dengan akalnya bahwa ini adalah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian ada berita dari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, namun ternyata berita tersebut menyelisihi
akal. Pada saat ini, akal harus pasrah dan patuh. Akal harus menyelesaikan
perselisihan ini dengan menyerahkan pada orang yang lebih tahu darinya
yaitu dari berita Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Pada saat ini,
akal tidaklah boleh mendahulukan hasil pemikirannya dari berita Rasul.
Karena sebagaimana diketahui bahwa akal manusia itu memiliki kekurangan
dibandingan dengan berita Rasul. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentu
saja lebih mengerti mengenai Allah Ta'ala, nama dan sifat-sifat-Nya, serta
lebih mengetahui tentang berita hari akhir daripada akal." (Dar-ut
Ta'arudh, 1/80)
Akal Tidak Mungkin Bertentangan dengan Dalil Al Qur'an dan As Sunnah
Inilah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah yaitu dalil akal
tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil Al Qur'an dan As Sunnah yang
shahih sama sekali. Maka tidaklah tepat jika seseorang mengatakan bahwa
logika (dalil akal) bertentangan dengan dalil syar'i. Jika ada yang
menyatakan demikian, maka hal ini tidaklah lepas dari beberapa
kemungkinan:
[Pertama] Itu sebenarnya syubhat (kerancuan) dan bukan logika (dalil akal)
yang benar.
[Kedua] Dalil syar'i yang digunakan bukanlah dalil yang bisa diterima,
mungkin karena dalilnya yang tidak shahih atau adanya kesalah-pahaman.
[Ketiga] Hal ini karena tidak mampu membedakan antara sesuatu yang
mustahil bagi akal dan sesuatu yang tidak dipahami oleh akal dengan
sempurna. Syari'at itu datang minimal dengan dalil yang tidak dipahami
oleh akal secara sempurna. Dan Syari'at ini tidak mungkin datang dengan
dalil yang dianggap mustahil bagi akal.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
"Rasul itu datang dengan wahyu minimal tidak digapai oleh akal dengan
sempurna. Namun beliau tidaklah datang dengan wahyu yang mustahil bagi
akal untuk memahaminya." (Majmu' Al Fatawa, 3/339).
Semoga kita dapat memahami hal ini.
Sikap Ekstrim dan Pertengahan dalam Mendudukkan Akal
Ada dua sikap ekstrim dalam mendudukkan akal.
Sikap pertama: Yang menjadikan akal sebagai satu-satunya landasan ilmu
sedangkan dalil Al Qur'an atau dalil syar'i hanya sekedar taabi'
(pengikut). Akal pun dianggap sebagai sumber pertama dan dianggap akal
tidak butuh pada iman dan Al Qur'an. Inilah sikap yang dimiliki oleh Ahlul
Kalam.
Sikap kedua: Yang sangat mencela dan menjelek-jelekan akal, juga
menyelisihi dalil logika yang jelas-jelas tegasnya, serta mencela dalil
logika secara mutlak. Inilah sikap dari kaum Sufiyah. (Majmu' Al Fatawa,
3/338)
Sikap yang benar dan pertengahan adalah sikap yang menjadikan akal sebagai
berikut:
1. Akal adalah petunjuk untuk mengetahui dalil syar'i (dalil Al Qur'an dan
As Sunnah)
2. Akal tidak bisa berdiri sendiri namun butuh pada cahaya dalil syar'i.
Tanpa adanya cahaya dalil Al Qur'an dan As Sunnah, akal tidaklah mungkin
bisa memandang atau memahami suatu perkara dengan benar.
3. Jika akal bertentangan dengan dalil syar'i, maka dalil syar'i yang
harus didahulukan karena akal hanya sekedar petunjuk untuk mengetahui
dalil sedangkan dalil syar'i memiliki ilmu dan pemahaman yang lebih
dibanding akal.
4. Akal (logika) yang benar tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil Al
Qur'an dan As Sunnah.
5. Akal yang tercela adalah akal yang bertentangan dengan dalil Al Qur'an
dan As Sunnah.

Di antara penggunaan akal yang keliru adalah penggunaannya dalam
memikirkan perkara-perkara ghaib seperti memikirkan sifat-sifat Allah dan
keadaan hari kiamat.
[Contoh pertama]
Hadits tentang nuzul yaitu turunnya Allah ke langit dunia pada sepertiga
malam terakhir.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Rabb kita tabaroka wa ta'ala setiap malamnya turun ke langit dunia hingga
tersisa sepertiga malam terakhir. Rabb mengatakan, "Barangsiapa yang
berdo'a kepadaKu, maka akan Aku kabulkan. Barangsiapa meminta padaKu, maka
akan Aku berikan. Barangsiapa meminta ampun padaKu, Aku akan
mengampuninya"." (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758)
Sebagian orang menanyakan, "Bagaimana mungkin Allah turun ke langit dunia?
Ini berarti 'Arsy-Nya kosong. " Atau mungkin ada yang menyatakan, "Kalau
begitu Allah akan terus turun ke langit dunia karena jika di daerah A
adalah sepertiga malam terakhir, bagian bumi yang lain beberapa saat akan
mengalami sepertiga malam juga. Ini akan berlangsung terus menerus."
Inilah akal-akalan yang muncul dari sebagian orang. Jawabannya sebenarnya
cukup mudah. Ingatlah dalam masalah ini, kita harus bersikap pasrah,
tunduk dan menerima dalil. Tugas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
hanyalah menyampaikan wahyu, sedangkan tugas kita adalah menerima secara
lahir dan batin. Kalau kita tidak memahami hal ini, itu mungkin saja
logika atau akal kita yang tidak memahaminya dengan sempurna. Jadi, sama
sekali logika kita tidak bertentangan dengan dalil tersebut. Hanya saja
kita kurang sempurna dalam memahaminya.
Lalu jika ada yang mengemukakan kerancuan di atas, cukup kita katakan,
"Hal semacam ini tidaklah pernah dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Begitu pula para sahabat radhiyallahu 'anhum tidak pernah mendapatkan
tafsiran mengenai hal ini. Jadi, dalam masalah menanyakan hakikat
(kaifiyah) turunnya Allah, kita hendaknya stop dan tidak angkat bicara.
Kita meyakini dan memahami adanya sifat nuzul (turunnya Allah ke langit
dunia), namun mengenai hakikatnya kita katakan wallahu a'lam (Allah yang
lebih mengetahui)."
Jadi pertanyaan semacam di atas tidak pernah dicontohkan oleh para
sahabat, sehingga dalam hal ini kita seharusnya tidak menanyakannya pula.
Mungkin yang kita bayangkan tadi: "Bagaimana Allah bisa turun ke langit
dunia? Berarti 'Arsy-Nya kosong"; yang kita bayangkan sebenarnya adalah
keadaan yang ada pada makhluk. Dan ingatlah bahwa Allah itu jauh berbeda
dengan keadaan makhluk, janganlah kita samakan.
Allah Ta'ala berfirman,
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Asy Syuraa: 11).
Jika sesuatu tidak mungkin terjadi pada makhluk, maka ini belum tentu
tidak bisa terjadi pada Allah yang Maha Besar.
[Contoh kedua]
Disebutkan dalam suatu hadits bahwa pada hari kiamat nanti posisi matahari
akan begitu dekat dengan manusia.
Dari Al Miqdad bin Al Aswad, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
"Matahari akan didekatkan pada makhluk pada hari kiamat nanti hingga
mencapai jarak sekitar satu mil." Sulaiman bin 'Amir, salah seorang perowi
hadits ini mengatakan bahwa dia belum jelas mengenai apa yang dimaksud
dengan satu mil di sini. Boleh jadi satu mil tersebut adalah seperti jarak
satu mil di dunia dan boleh jadi jaraknya adalah satu celak mata. (HR.
Muslim no. 7385)
Jadi, intinya matahari ketika itu akan didekatkan dengan jarak yang begitu
dekat.
Ada mungkin yang mengatakan, "Saat ini jika matahari didekatkan ke bumi
dengan jarak satu mil –padahal suhu matahari begitu tinggi (suhu
permukaannya sekitar 6000 dearajat Celcius)-, tentu saja bumi akan hangus
terbakar. Lalu apa yang terjadi jika matahari didekatkan ke kepala dengan
jarak yang begitu dekatnya?!"

Dalam hadits riwayat muslim di atas, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
menjelaskan,
"Keringat manusia ketika itu sesuai dengan kondisi amalannya. Ada di
antara mereka yang keringatnya sampai di mata kaki. Ada pula yang
keringatnya sampai di paha. Ada yang lain sampai di pinggang. Bahkan ada
yang tenggelam dengan keringatnya."
Jika kita memperhatikan, hadits ini terasa bertentangan dengan logika
kita. Namun sebenarnya dapat kita katakan, "Kekuatan manusia ketika hari
kiamat berbeda dengan kekuatannya ketika sekarang di dunia. Namun manusia
ketika hari kiamat memiliki kekuatan yang luar biasa. Mungkin saja jika
manusia saat ini berdiam selama 50 hari di bawah terik matahari, tanpa
adanya naungan, tanpa makan dan minum, pasti dia akan mati. Akan tetapi,
sangat jauh berbeda dengan keadaan di dunia. Bahkan di hari kiamat, mereka
akan berdiam selama 50 ribu tahun, tanpa ada naungan, tanpa makan dan
minuman." (Syarh Al 'Aqidah Al Wasithiyah, hal. 370)
Intinya, logika kita tidaklah mungkin bertentangan dengan akal. Jika
bertentangan, maka logika kitalah yang patut dipertanyakan.
Demikian beberapa penjelasan dari kami mengenai cara mendudukkan akal.
Semoga Allah selalu memberi taufik dan hidayah kepada kita untuk memahami
ajaran Al Qur'an dan As Sunnah, juga semoga kita dapat mendudukkan akal
sesuai tempatnya.
Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat. Allahumma sholli
'ala Nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Rujukan:
Dar-ut Ta'aarudh Al 'Aqli wan Naqli, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni,
Darul Kanuz Al Adabiyah Riyadh
Ma'alim Ushul Fiqh 'Inda Ahlis Sunnah wal Jama'ah, Muhammad bin Husain bin
Hasan Al Jaizaniy, Dar Ibnul Jauziy
Majmu' Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, Darul Wafa'
Shahih Al Bukhari, Muhammad bin Isma'il Al Bukhari, Mawqi' Wizarotil Awqof
Syarh Al 'Aqidah Al Wasithiyah, Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Daarul
'Aqidah
Zaadul Muhajir – Ar Risalah At Tabukiyah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Darul
Hadits
***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

----------------------------------------------------------
ABN AMRO Bank N.V. is a subsidiary undertaking of The Royal Bank of Scotland Group plc. This message (including any attachments) is confidential and may be privileged. If you have received it by mistake please notify the sender by return e-mail and delete this message from your system. Any unauthorised use or dissemination of this message in whole or in part is strictly prohibited. Please note that e-mails are susceptible to change. ABN AMRO Bank N.V, which has its seat at Amsterdam, the Netherlands, and is registered in the Commercial Register under number 33002587, including its group companies, shall not be liable for the improper or incomplete transmission of the information contained in this communication nor for any delay in its receipt or damage to your system. ABN AMRO Bank N.V. (or its group companies) does not guarantee that the integrity of this communication has been maintained nor that this communication is free of viruses, interceptions or interference.
----------------------------------------------------------

__________________________________________________________
This email has been scanned by the MessageLabs Email Security System.
For more information please visit http://www.messagelabs.com/email
__________________________________________________________

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Recent Activity
Visit Your Group
Give Back

Yahoo! for Good

Get inspired

by a good cause.

Y! Toolbar

Get it Free!

easy 1-click access

to your groups.

Yahoo! Groups

Start a group

in 3 easy steps.

Connect with others.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: