Minggu, 22 November 2009

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2890[4 Attachments]

Messages In This Digest (2 Messages)

Messages

1a.

Re: Utk para moderator =>CARA JITU CEPAT LULUS TES TPA Oto BAPPENAS,

Posted by: "Novi Khansa" novi_ningsih@yahoo.com   novi_ningsih

Sat Nov 21, 2009 9:02 am (PST)




Ga saling tunjuk, kok, mas Dayat, tapi saling mengingatkan :-)

Hehe, mas Dayat mau ditegur lagi, ga? Ditegur sapa maksudnya. Hehe. Peace :-D

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Dayat <dayat_xxx@...> wrote:
>
>
>
> hayoo moderator saling tunjuk2an...heee
> kayaknya emang kudu lebih selektif...
> dulu aja waktu aku pertama gabung pernah dikasih "kartu kuning"
> sama salah satu moderator. padahal g se vulgar ini, cuma ngasih link web perusahaan aja kalau g salah.....hehehhe
>
>
>
>
>
> Wassalam
>
>
>
>
>
>
>
> ________________________________
> From: Novi Khansa <novi_ningsih@...>
> To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
> Sent: Friday, November 20, 2009 10:45:47
> Subject: [sekolah-kehidupan] Re: Utk para moderator =>CARA JITU CEPAT LULUS TES TPA Oto BAPPENAS, PSIKOTES, TOEFLS2 (PASCA SARJANA) UI,UGM,UNPAD, ITB
>
>
> New Email names for you!
> Get the Email name you&#39;ve always wanted on the new @ymail and @rocketmail.
> Hurry before someone else does!
> http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/
>

2a.

[KELANA LEBARAN] Di Pinggiran Kota Hingga Yang Hampir Terlupa

Posted by: "Lala Sari" sary_orange@yahoo.com

Sun Nov 22, 2009 1:23 am (PST)

[Attachment(s) from Lala Sari included below]

Di Pinggiran Kota Hingga Yang Hampir Terlupa
Oleh: Umi Laila Sari
Sejak ibu meninggal, banyak
kebiasaan lebaran yang tidak lagi dilakukan keluarga saya. Sebenarnya bukan hal
yang sengaja tidak melanjutkan tradisi tersebut. Hanya saja, kami
–anak-anaknya—tidak cukup telaten dengan berbagai pernak-pernik lebaran. Jadilah, lebaran hanya ditandai dengan
sholat ID di pagi hari. Selebihnya, nyaris sama dengan hari-hari lainnya.
Tidak ada ketupat dan ayam opor yang dimasak sehari sebelum lebaran. Juga
tak ada kue kering apalagi kue basah menghiasi meja. Kalaupun ada, hanya kue
yang dibeli jadi sekedar satu atau dua toples untuk menyenangkan hati adik
kecil kami. Terlebih untuk baju baru yang sebelumnya tidak pernah terlewatkan
di setiap lebaran, tapi kini tersisa hanya cerita.
Aktifitas di hari lebaran bahkan
pada beberapa kali kesempatan jadi sangat membosankan. Saya dan adik-adik melalui
waktu hanya dengan menonton TV di sela menjamu tetangga yang silaturrahim. Paman dan Bibi dari pihak Bapak memang
semuanya tinggal di kota
yang sama dengan kami. Tetapi, saya sangat jarang menyempatkan waktu untuk
bertandang ke rumah mereka.
Padahal, sewaktu kecil, saya cukup dekat dengan para sepupu. Kesibukan
kuliah dan mengajar senantiasa menjadi alasan ketidaksempatan saya untuk sanjo. Hal yang memalukan memang, ketika
setelah lebih dari setahun, Mang Cik,
adik Bapak, pindah rumah, saya tidak pernah tahu dimana rumah paman saya itu.
Sementara kerabat dari pihak Ibu,
semuanya di luar kota .
Sejak keluarga saya memutuskan hijrah ke Palembang ,
puluhan tahun silam, saya hanya dua atau tiga kali 'mudik'. Tapi, keadaan
demikianlah yang akhirnya membiasakan saya rajin menulis surat , walau itupun akhir-akhir ini memudar
dengan kehadiran HP.
Sepertinya, saya mulai merasakan keterasingan
sebagai bagian dari keluarga besar. Saat bertemu atau menyapa mereka seolah hanya
ucapan basa-basi. Tidak lebih dari orang yang kebetulan dikenal. Sekedar say hello! Klimaksnya tentu yang saya
rasakan pada hari-hari lebaran.
Saya tidak menemukan derai tawa lepas seperti obrolan adik-kakak atau
paman-keponakan. Pengulangan jawaban yang sama saja untuk semua pembicaraan. "Bagaimana
kuliahmu? Oh iya, ambil jurusan apa? Adikmu sudah kelas berapa? Dia nakal
tidak?" Dan pertanyaan sejenis lainnya.
Ah, saya jadi jengah, sampai
akhirnya lebaran tahun ini menjadi begitu berbeda. Hari kedua lebaran, saya
sudah harus pergi ke pasar tradisional yang tak jauh dari rumah. Ingat kan , kalau di keluarga
saya tidak ada persiapan makanan bertumpuk untuk lebaran. Meski belum begitu banyak pedagang, saya masih
dapat berbelanja sayur dan lauk. Saat hampir makan siang, Bibi datang.
"Lo sendirian, Bi?" saya bertanya karena memang biasanya beliau datang
bersama yuk If, anaknya satu-satunya.
Semenjak Bibi bercerai, mereka hanya tinggal berdua.
"Iya, sengaja mau jemput kamu dan adik-adikmu. Katanya mau main ke rumah Mang Cik. Nah, kita ke rumah Bibi dulu
baru nanti bareng yuk If ke tempat Mang Cik." Kata Bibi menjelaskan sambil
terus memperhatikan saya yang sibuk masak-memasak. Benar juga, saya belum tahu
rumah mereka. Dari cerita yang saya dengar, kami akan dua kali naik angkot
dilanjutkan berjalan kaki dengan jarak lumayan jauh. Lokasi rumah Paman dan
Bibi sudah di pinggiran kota .
Transportasi ke sana
tidak selalu ada, hanya sampai pukul 5 sore. Itupun hanya berhenti di jalan
besar. Jadi, untuk bisa ke sana
perlu dijadwalkan secara khusus.
"Ya, Bi, sebentar lagi kan
dzuhur. Nah, kami mandi dulu, makan, sholat, baru kita pergi," Saya mengusulkan
dan langsung dianggukan Bibi dan adik-adik. "Izin
dulu sama Bapak!" Adik perempuan saya mengingatkan.
"Iya, tahu kok!" Kalau urusan negosiasi sama Bapak, saya selau didaulat
oleh adik-adik untuk melakukan tugas tersebut.
***
Awalnya ketiga adik saya semuanya ikut. Tapi ternyata Iim, adik saya
kedua, diajak teman-temannya silaturahim, jadilah saya dan kedua adik yang
mengekor mengikuti Bibi. Ada
uang transport yang sempat diberikan Bapak sebelum kami pergi, lumayan THR yang
telah lama tidak pernah kami dapatkan lagi.
Saya pikir, saya sudah berada di desa nan jauh sekali dari rumah. Untuk
bisa tiba di rumah Bibi, kami harus melewati jalan setapak yang hampir hilang
diantara ilalang-ilalang rimbun. Terlihat beberapa seng rumah penduduk yang
saling berjauhan. Rumah Bibi sendiri di ujung jalan terakhir.
"Sabar, itu sebentar lagi sampai," ucap Bibi karena adik saya yang kecil
terus bertanya dimana rumah Bibi. "Nanti Bibi buatkan sirup merah tapi tidak menyebabkan
penyakit. Ada
lontong, pudding, trus kacang,…." Bagitu Bibi menghibur dia. Dan benar, saat tiba di rumah beliau, adik
saya langsung teriak kegirangan karena ada banyak makanan. Bibi dan yuk If semangat menyuguhkan makanan pada
Didik.
Saya takjub memandangi pemandangan sekelilingi rumah bibi. Ada sumur yang serupa
kolam kecil di samping kanan halaman. Karena airnya jernih, beberapa ikan
terlihat jelas dari atas. Juga dipercantik dengan tangkai dan bunga teratai
yang terapung di permukaannya.
Barisan rumpun bunga Roselah bermekaran juga menyemarakkan pemandangan.
Saya baru tahu kalau bunga itulah yang Bibi bilang sirup merah tapi tidak menyebabkan
penyakit. Setelah direbus dengan air dan ditambah gula, rasa dan warna bunga
tersebut serupa sirup. Lebih istimewa lagi, sirup Roselah merupakan obat alami guna menyembuhkan
berbagai gejala panas dalam.
"Kalau mau nanem, Bibi ambilkan
bibitnya. Gak susah kok menanamnya.
Biji-bijinya yang sudah tua ditaburkan ke tanah nanti tumbuh sendiri."
"Boleh, kebetulan Iim senang berkebun.
Kata Bapak, tangan Iim dingin. Kalau dia menanam, selalu tumbuh subur." Jawab
saya sambil terus menyantap pudding susu. Pohon pisang, alvokat, dan buah-buahan lainnya juga mengambil bagian di
setiap halaman rumah Bibi. Memang belum ada yang panen karena Bibi baru dua
tahunan pindah ke sana .
Beberapa bulan lebih cepat dari kepindahan Mang
Cik.
Usai makan-makan dan menunggu yuk If bersiap-siap, kami berangkat ke rumah Mang
Cik. Tak lupa saya menyempatkan diri berpose dengan latar semak dan ilalang
di samping rumah Bibi. "Ye…, nanti ngomong sama teman-teman liburan ke gunung
Dempo," komentar yuk If yang tahu benar saya kagum dengan suasana desa di rumahnya. Gunung
Dempo adalah tujuan wisata alam favorit warga Sumatera Selatan, berjarak
sekitar 4 jam perjalanan mobil dari pusat kota Palembang .
Jalan setapak menuju rumah Mang Cik ternyata lebih jauh dari jarak jalan setapak di rumah Bibi, meski suasananya
hampir serupa. Di sepanjang jalan,
selain pohon yang memang ditanam pemilik tanah, ilalang serta rumput liar, saya
menjumpai banyak pohon minyak kayu putih. Mulai dari yang masih setinggi
semeteran hingga yang lebih tinggi dari tiang listrik.
"Untuk apa, Mi?" tanya yuk If
saat saya memetik dahan kecil pohon kayu putih.
"Untuk kenang-kenangan. Tanda bukti sudah sampai di hutan pinggiran kota Palembang . He… he… Sekalian, siapa tahu, mau bisnis jadi
produsen minyak kayu putih." Dua cabang pohon telah ada digenggaman tangan
saya.
Bibi dan lainnya hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah saya. Tak
cukup hanya itu, saya pun memetik bunga liar entah apa namanya yang juga banyak
tumbuh di pinggir jalan setapak. "Semoga tidak mencuri, ini kan tanaman liar yang tumbuh bebas," guman
saya dalam hati.
Hari telah sore saat kami tiba di rumah Mang Cik.
"Waduh, ada tamu jauh. Na, Lia, Ndah, jingok,
siapa yang datang!" Bik Cik yang
pertama menyapa kami di pintu depan sambil memanggil tiga gadisnya. "Ayo masuk, beginilah rumah Mang Cik kau ni. Sayang, Mang Cik belum pulang."
Kejadian tahun-tahun lalu adalah bahasan tak habis untuk kami
perbincangkan. Sudah begitu lama kah kami berpisah hingga bertumpuk banyak hal
yang ingin saling kami ketahui. Sudah terlupakah saya bahwa memiliki para
sepupu yang kini telah tumbuh menjadi gadis cantik. Saya tak ingat, kapan
terakhir dapat berbicara hangat dengan Bibi dan Paman. Saya mungkin telah berpindah zaman.
Tugas kuliah, rapat organisasi,
kegiatan kampus, deretan agenda untuk target-target hidup yang telah terprogram
secara ketat. Semuanya menyesaki hari-hari saya. Huh, saya melupakan lembaran
indah semasa kecil bersama para sepupu. Kami begitu semangat adu cepat naik
pohon jambu. Sepakat untuk main di genangan air sisa banjir. Asyik hingga lupa
waktu untuk 'sekedar' main masak-masakan di belakang rumah.
Saya melupakan keceriaan bersama Paman dan Bibi. Bermain Bom-bom Car di
Timezone. Diajak nonton di bioskop untuk pertama kalinya. Keliling taman ria di
malam tujuhbelasan. Ah, semua tidak akan terulang tapi bukankah semua dapat tetap terjaga? Kehangatan, keceriaan,
kebersamaan sebagai keluarga besar. Tidak dengan menenggelamkan diri di dunia
yang memang telah kami miliki masing-masing.
"Mi, pulangnya sudah magrib bae.
Sholat dulu. Lagian jam segini, angkot sudah ngak ada lagi." Bik Cik berujar sebab sayup terdengar
suara tilawah dari corong masjid.
"Trus, kami pulangnya gimana Bik?"
Saya baru sadar, kalau angkot di sini tidak seperti di pusat kota yang masih bisa ditemui sampai pukul 9
malam.
" Ada
tetangga sebelah kok yang bisa mengantar kalian sampai simpang depan. Kalian
tinggal nyambung naik angkot sekali lagi." Bibi menunjukkan kamar mandi. Saya
berwudhu, adzan sudah terdengar.
"Ya Allah, terima kasih atas anugerah ini," doa saya dipenghujung munajad
senja.
***
Seperti kesepakatan tadi, ada satu ojek sukarela yang bersedia
mengantarkan kami ke tempat menunggu angkot jurusan rumah saya. Yuk If dan Bibi menginap di rumah Mang Cik. Saya dan adik-adik tidak bisa
menginap karena izin dengan Bapak hanya
sampai sore.
Satu motor dinaiki empat orang. Kakak baik hati itu, saya dan kedua adik.
Belum pernah saya melakukan hal ini sebelumnya. Megegangkan, sebab saya duduk
di posisi paling belakang dengan rute jalan yang banyak 'polisi tidur'.
Bersyukur, setelah tiba di simpang
empat, angkot yang kami tunggu tidak terlalu lama datang juga.
"Yuk, cape'!" Didik mulai mengeluh.
"Iya, kita sudah mau pulang kok! Nanti langsung istirahat." Saya
tersenyum pada Si kecil. "Jangankan dia, saya saja sudah lelah banget." Saya membatin. "Semoga tidak
telalu macet, biar cepat sampai di rumah."
"Oh ya, Yuk, nanti beli sate
dulu ya!"
"Sate?" Saya heran. Pikiran saya, ia lelah eh tapi masih ingat makanan.
Uh, dasar anak-anak.
"Beres, nanti kita beli sate," Iya, adik saya satunya, cepat membalas.
***
Tak ada aktifitas lain saya lakukan sesampai di rumah. Mandi, sholat,
makan dan langsung tidur. Badan saya sudah sangat letih. Mungkin tidak terbiasa
lagi berjalan kaki dengan jarak yang jauh. Pengalaman tentang sanjo hari ini akan saya ceritakan ke
Bapak esok hari saja. Adik-adik sudah lebih dulu terlelap di tempat tidur. Hari
yang melelahkan memang. Tapi, sangat menyenangkan. Memasuki dunia lama yang
sempat terlupakan sejenak.
"Sekali lagi, terima kasih ya Allah," ucapan yang sama saya lafadzkan
sebelum menutup mata. Dan, mungkin lebaran tahun ini adalah lebaran terindah
setelah delapan tahun kepergian Ibu.
***

Get your preferred Email name!
Now you can @ymail.com and @rocketmail.com.
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/

Attachment(s) from Lala Sari

3 of 3 Photo(s)

1 of 1 File(s)

Recent Activity
Visit Your Group
Share Photos

Put your favorite

photos and

more online.

Yahoo! Groups

Parenting Zone

Family and home

Tips for mom

Yahoo! Groups

Small Business Group

Own a business?

Connect with others.

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: