Minggu, 29 November 2009

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2897

sekolah-kehidupan

Messages In This Digest (10 Messages)

Messages

1a.

Re: (Catcil) Yasmina dan Strip Dua

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Sat Nov 28, 2009 1:41 pm (PST)



Wah, mengikuti jejak Kang Dani dan Mbak Endah nih:).

Selamat ya, Mbak. Apapun itu dan beragam rasa yang menyertai, itu titipan
dan amanah. Pertanda Yang Maha Menitipkan sudah percaya penuh kepada yang
dititipkan^_^. Tinggal yang ketitipan membuktikan performancenya:). *sok
bijak mode: ON*

Btw, tapi berarti kemungkinan besar kelak dioperasi caesar lagi ya? Karena,
sependek pengetahuan saya, jarak idealnya -- dalam kasus Mbak Indar -- 2
hingga 2,5 tahun. Agar rahim lebih siap dan "beres" -- jadi memungkinkan
peluang lahir normal lebih besar. Ini makanya saya dan Yuni sedang dalam
program "pengaturan" tsb:). Tapi, allahu a'lam, segala sesuatu Allah jua
yang menentukan. Kun faya kun...

Oh ya, dengan kehadiran Yasmina saja sudah hadir pula dua buku, berarti
dengan kehadiran si kecil (si bungsukah?);p, akan berapa buku lagi ya?
hehe...Mungkin itu yang namanya rejeki anak ya..

Tabik,

*Nursalam AR*
-* yang masih terus belajar jadi ayah dari 1 anak -**
*
2009/11/27 Indarwati Indarpati <patisayang@yahoo.com>

>
>
> Yasmina dan Strip Dua
>
>
>
> Aku terbangun oleh riuh takbir di luar. Kutengok tubuh mungil di sisiku,
> jari tangan kanannya seperti biasa, refleks dihisapnya. Kucoba lepaskan
> dekapan mulutnya, dia tak rela. Maka kuputuskan untuk bangun dan
> membuatkannya susu. Dia melakukan itu biasanya karena lapar atau sedang
> merasa tak nyaman.
>
>
>
> Keluar dari kamar, lampu ruang tengah dan kamar samping masih benderang.
> Seperti biasa, lelaki yang telah kunikahi selama sepuluh tahun itu pulas
> terkapar di karpet, ketiduran tanpa mematikan lampu terlebih dulu. Kulirik
> jam dinding, masih berada di angka sebelas. Baru dua jam aku tidur sebelum
> terbangun. Kembali dari dapur dengan sebotol susu berisi 110ml saja, aku
> mencoba memberikannya pada Yasmin. Tapi dia tak mau membuka mulutnya dan
> jaripun telah dilepasnya. Memandang tubuh mungil itu, banyak hal berkelebat
> di kepala.
>
>
>
> Beberapa hari terakhir, aku merasakan sering pusing. Berbeda dengan migren
> atau pusing yang biasa kuderita. "Kamu itu kurang darah," kata suami. "Minum
> Sangobion. Enervon C juga masih ada tuh."
>
> Aku mengiyakan kata-katanya tapi dalam hatiku menuai kesimpulan lain. Ini
> tak sekedar kurang darah. Aku juga sering merasakan kedinginan yang khas
> akhir-akhir ini. Bahkan pada suhu normal aku bisa menggigil dan membutuhkan
> selimut tiga lapis. Satu lagi, selain nafsu makanku yang cenderung turun,
> aku juga sering tiba-tiba merasa mual, tak lihat jam. Pagi, malam atau siang
> dia bisa sewaktu-waktu datang. Jika kuanggap ini lantaran asam lambung, bisa
> juga. Tapi…hitungan kalender mau tak mau membuatku mencurigai satu hal.
> Maka kemarin sore, sebelum menjemput Ais ke sekolah kusempatkan ke apotek
> dan membeli test pack yang biasa kupakai.
>
>
>
> Pagi ini, dengan alat seharga dua puluh ribu itu terjawab sudah tanyaku.
> Ada strip dua. Artinya, aku positif hamil. Senang, tentu saja. Sampai
> menangis aku usai sholat subuh saking terharunya. Tapi jujur, menyelinap
> juga rasa lain, apalagi jika mempertimbangkan kondisi kami, kondisiku
> akhir-akhir ini.
>
>
>
> Setahun usia Yasmin, kami memutuskan untuk tidak KB alami seperti yang
> biasa kami lakukan. Saran dokter untuk KB mandiri pun tak kuturuti. Aku
> termasuk agak lama hamil. Ais dulu, nikah Agustus 1999, hamil dia Februari
> 2001. Yasmin lebih lama lagi. Membutuhkan rentang 7 tahun dari kakaknya
> meski sempat dua kali hamil yang gagal di selanya. Yang tak kusangka, strip
> dua di test pack itu begitu nyata dan termasuk cepat datangnya.
>
>
>
> Dulu, awal menikah aku ingin memiliki empat anak. Tapi seiring waktu,
> pemikiran itu mulai kupertanyakan. Sejak sadar bahwa memberi pendidikan
> terbaik bagi anak berarti spend more money, sejak mengalami operasi Caesar
> saat melahirkan anak kedua, sejak tahu banyak tetangga di sekitarku memilih
> memiliki anak 2 saja dengan alasan tak mau repot…
>
>
>
> Tapi membayangkan hanya memiliki 2 anak saat mereka beranjak remaja dan
> dewasa pun rasanya tak sedap amat. Pasti rumah akan sepi. Apalagi jika
> mereka harus kuliah di luar kota. Maka, sengaja tak KBlah kami. Biarlah
> Dia yang menentukan kapan si dede bakal ada. Kuperkirakan, waktunya akan
> pas, dan ternyata benar-benar pas. Jika perhitunganku benar, maka si dede
> bakal lahir saat usia kakaknya 2 tahun lebih 3 bulanan. Rentang waktu yang
> pernah kuanggap ideal mengingat pengalamanku dengan kakak dan adikku yang
> berjarak sama. Tapi, kekhawatiran yang membayangi ternyata tak seindah
> kondisi ideal yang pernah kuinginkan.
>
>
>
> Yasmin termasuk gadis kecil yang aktif dan ekspresif. Salah satu
> kesukaannya bergulat di kasur, naik-naik perut dan dadaku. Hal itu tentu
> akan membahayakan kondisi si dede. Sementara aku sendiri akan merasa kurang
> nyaman tak bisa main 'kasar' dengan Yasmin. Begitu pula si batita 1,5 tahun
> itu, akan kehilangan lahan bermainnya yang empuk.
>
>
>
> Satu hal pula yang kuingat saat dia ada, aku merasa menduakan cinta. Selama
> bertahun-tahun Ais terlanjur kulimpahi segenap cinta dan perhatian. Maka aku
> sendiri tiba-tiba sempat merasa gagap ketika tiba-tiba ada tubuh mungil
> putih rentan yang merampas sebagian cinta itu dari kakaknya. Meski seiring
> berjalannya waktu--sekitar 1 minggu kalau tak salah—aku mulai bisa berdamai
> dengan rasa bersalah itu dan memberi cinta porsi sama tanpa perlu
> membaginya, pengalaman itu takkan pernah kulupa. Dan jelas, aku akan
> mengalaminya lagi jika si dede lahir nanti.
>
>
>
> Kekhawatiran lain, seperti saat hamil Yasmin dulu, aku takut pengalaman dua
> kehamilan antara Ais dan Yasmin terulang. Rasanya sakit sekali menatap layar
> USG dengan sebentuk kecil itu tak beranjak dari ukuran terakhir dia diintip.
> Rasanya sakit mendengar vonis dokter bahwa dia harus di-*terminated*.
> Rasanya mengerikan harus dengan sadar menyerahkan diri dibuat tak sadar lalu
> terbangun dengan rasa kehilangan, dan diiringi ketakutan bakal bangun di
> dunia lain, alam lain yang meminta pertanggung jawaban. Sungguh, aku tak
> sanggup untuk menghadapi yang terakhir itu.
>
>
>
> Kegamangan lainku, kami belum menemukan pembantu. Padahal dia jelas sekali
> perlu. Selama ini aku merasa oke saja melakukan pekerjaan rumah tangga
> sembari tetap menjaga Yasmin. Selama ini aku menegakan diri juga membawa si
> kecil itu kemana-mana termasuk ke toko material atau menjemput kakaknya baik
> naik motor kubonceng di depan atau naik angkot tiap sorenya. Tapi dengan
> kondisi hamil, itu tentu bukan hal yang mudah. ditambah, kami sedang
> merenovasi rumah, hampir 70%. Suami berusaha menghandle yang dia bisa. Tapi
> kadang perlu tindak segera yang memerlukan tenagaku seperti pagi ini.
>
>
>
> Ah, dalam kebahagiaan ini, kenapa seperti mata uang yang memiliki dua sisi,
> ada kekhawatiran membayangi…
>
>
>
> Apapun itu, pada akhirnya aku harus kembalikan juga pada-Nya si pemilik
> jiwa, si penentu setiap kejadian. Semoga diberikan yang terbaik dan
> keberkahan di setiap kejadian. Amin.
>
>
>
> *Tanah Baru, **27/11/09** 00.21*
>
>
> Indarwati
> penulis novel Lintang Gumebyar
> curhatan http://lembarkertas.multiply.com
> FB: indar7510@yahoo.com
>
>
>

--
"There is no life without risks"
Nursalam AR
Translator - Writer - Trainer
0813-10040723
021-92727391
Facebook: www.facebook.com/nursalam.ar
Blog: www.nursalam.multiply.com
2a.

Re: [Catcil] Tiga Tanda Cinta

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Sat Nov 28, 2009 3:27 pm (PST)



Maaf, baru sempat membalas emailnya,Mbak Wiwiek. Makasih ya sudah membaca
dan mengomentari tulisan sederhana ini.

Betul, hidup adalah perjuangan. Tapi, seperti kata D'Massiv, jangan
menyerah:). Dan syukur adalah penghias terindah perjuangan tsb.

Lanjutkan perjuangan! *mario teguh mode: ON*

Tabik,

Nursalam AR

2009/11/26 diva p <diifaa_03@yahoo.com>

>
>
> terharu membacanya dan aku seakan ikut terseret di dalamnya.tulisan ini
> memberi sebuah pelajaran yang berharga bahwa hidup ini memang perjuangan dan
> tak selamanya indah, tetapi dengan tetap bersyukur dengan apa yang kita
> miliki akan membuat kita tetap bahagia. thanks ya mas atas seringnya.
>
> tetap zemangad !
>
> salam
>
> Wiwik Khafidzoh, penghuni ESKA JATIM
>
> --- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com<sekolah-kehidupan%40yahoogroups.com>,
> Nursalam AR <nursalam.ar@...> wrote:
> >
> > *Tiga Tanda Cinta*
>
> >
> > *Oleh Nursalam AR*
> >
> >
> >
> > Ada tiga torehan tanda cinta yang `kukenang dalam hidupku
> > sekaligus menjadi penyemangat diri dalam hidupku selama ini.
> >
> > * *
> >
> > *Sebagai Ayah*
> >
> > *"Bakat terbentuk dalam kesunyian, watak terpupuk dalam riak besar
> > kehidupan." (Goethe)*
> >
> > Menjadi ayah, bagiku, adalah kegembiraan dan juga salah satu riak besar
> > kehidupan. Kegembiraan akan datangnya sang buah cinta dan darah daging
> > adalah hal wajar. Namun pada saat yang sama riak besar kehidupan mungkin
> > tidak selalu menyertai perjuangan setiap calon ayah. Buatku ini sebuah
> ujian
> > kehidupan untuk menggembleng watak. Barangkali aku patut bersyukur
> > semestinya. Karena sepertinya, setelah sepekan pertama menjadi ayah,
> Allah
> > memberikan gelombang riak besar jelang kelahiran bayiku sebagai ujian
> agar
> > kuat bertahan dalam gelombang-gelombang besar berikutnya. *Pre-test*,
> > barangkali maksud-Nya demikian.
> >
> > Jelang kelahiran bayiku, permohonan kasbon sebulan gaji ditolak *boss*.
> > Padahal sudah sejak sebulan sebelumnya ia sudah mengulur-ulur dengan
> > berbagai alasan seperti kondisi keuangan kantor yang tidak memungkinkan
> dll
> > – kendati aku tahu betul kegemarannya *dugem* yang menghabiskan jutaan
> > rupiah tiap malam. Tapi saat kedatanganku ke ruangannya terakhir kali
> itu,
> > sang *boss* mungkin tidak menyadari bahwa – sedetik setelah penolakannya
> –
> > aku akan mengambil keputusan keluar dari kantor (pada saat yang tepat).
> > Kembali menjadi "orang bebas" seperti tiga tahun sebelumnya.
> >
> > Menjelang pernikahanku dua tahun lalu pada 2007, demi memenuhi keinginan
> ibu
> > mertua, aku memang bekerja kantoran. Masih sebagai penerjemah *legal
> English
> > * (dokumen hukum dan bisnis) di agensi atau biro penerjemahan. Ini juga
> > berpindah-pindah. Dari agensi penerjemahan di Jakarta Timur aku hanya
> > bertahan lima bulan. Ada persoalan ketidakberesan gaji dan perlakuan yang
> > tidak manusiawi. Setelah pindah ke biro yang lain – yang ini karena sang
> *
> > boss* adalah sahabat lamaku dan ada beberapa kompromi termasuk gaji, di
> mana
> > aku lebih mengalah, dibuat – aku juga tak bertahan lama.
> >
> > Per Desember 2008 aku resmi berhenti bekerja kantoran. Membuka bisnis
> agensi
> > penerjemahan sendiri. Meski, dilihat dari kesiapan infrastruktur dan
> modal,
> > lebih cocok untuk disebut "penerjemah *freelance*". Bayangkan saja kantor
> > agensi penerjemahan tanpa fasilitas printer, koneksi internet, faksimili
> dan
> > sambungan telepon rumah. Ruangannya pun menyatu dengan sebuah kamar –
> yang
> > aku, istri dan anakku tempati – yang menumpang pada rumah ibu mertuaku.
> > Lebih persis lagi, kantorku adalah seperangkat komputer – yang,
> > alhamdulillah, sudah lunas -- kreditan. *That's it!*
> >
> > Gila! Mungkin ada yang menyebut demikian. Termasuk beberapa kawan dan
> > kerabat yang menyayangkan mengapa aku berhenti bekerja justru di saat
> baru
> > memiliki anak. Sementara istriku juga sudah berhenti bekerja sejak
> > mengandung dua bulan. Tapi aku yakin Allah Maha Pemurah. Bagi manusia,
> tanpa
> > pandang kualitas ibadah atau agamanya, pasti ada rejeki masing-masing
> asal
> > berani menjemput. Termasuk, yang aku yakini juga, ada bagian rejeki yang
> > sudah dicatatkan-Nya di *lauhul Mahfuz* di atas sana untuk anakku yang
> kini
> > sedang lucu-lucunya di usianya yang tiga bulan.
> >
> > Ya, aku sedang belajar menjadi ayah. Pelajaran pertama yang kucatat, saat
> > permohonan kasbonku ditolak *boss* yang notabene sahabat sendiri, adalah
> *hanya
> > Allah yang sesungguhnya dan selayaknya menjadi tempat bergantung*.
> Sedekat
> > apapun manusia, mereka punya keterbatasan dan tak bisa selalu diharapkan.
> >
> > Ketika kasbon ditolak sementara dokter sudah menvonis istriku harus
> > dioperasi caesar beberapa pekan lagi, datang tawaran dua order besar –
> yang
> > terbilang jarang aku dapat--kepadaku. Aku ajukan kesanggupan dan minta
> > klien-klienku tersebut setor uang muka (DP, *down payment*) terlebih
> dulu.
> > Kendati itu harus aku tebus dengan bekerja dobel keras karena selepas *
> > ngantor* aku harus begadang hingga dini hari untuk menyelesaikan kedua
> order
> > tersebut hingga sebulan lebih. Tapi dengan itulah aku dapat mencukupi
> biaya
> > operasi caesar istriku. Alhamdulillah, anakku lahir dengan selamat.
> > Laki-laki. Muhammad Alham Navid namanya.
> >
> > Empat puluh hari pertama bagi seorang ayah baru sepertiku sungguh tak
> > terlupakan. Sementara berjuang bermalam-malam menyelesaikan dua order
> > terjemahan tersebut, aku juga harus membantu istriku mengganti popok bayi
> > atau menidurkannya. Frekuensi menyusui dan buang air (kecil dan besar)
> bayi
> > dalam 40 hari pertama sungguh dahsyat. Rata-rata nyaris seperempat jam
> > sekali. Alhasil, meski sudah dibantu ibu mertua dalam merawat bayi kami,
> aku
> > ambruk dan sempat jatuh sakit. Cukup parah hingga seminggu tidak
> *ngantor*.
> > Dan aku pikir itulah saat yang tepat untuk *resign*, berhenti bekerja.
> > Setelah agak membaik, aku pamit baik-baik dari kantor.
> >
> > Rasanya sudah cukup aku memperkaya sahabatku itu -- hingga tubuhku bobrok
> > -- yang tak peduli dengan kondisiku yang notabene pegawainya sendiri. Di
> > kantorku tersebut hanya ada dua orang tenaga penerjemah termasuk aku.
> > Sehingga aku tahu betul – semestinya – posisi tawar kami. Namun hidup
> memang
> > keras. Dan barangkali itu yang harus dijalani.
> >
> > Aku bukan *super daddy*, ayah super dan juga tak ingin menjadi seperti
> itu.
> > Aku hanya ingin jadi ayah yang baik, yang mampu memberikan kehidupan dan
> > penghidupan yang layak bagi anaknya. Jalan terbaik, yang ada di pikiranku
> > saat itu, adalah mencoba mandiri, berusaha sendiri. Jatuh bangun, aku
> pikir
> > sudah biasa, niscaya akan mendewasakanku.
> >
> > Tak urung aku *shock* juga ketika riak-riak besar yang lain menghantam.
> Dua
> > klienku yang sebelumnya itu -- ketika pekerjaan sudah aku serahkan --
> lari
> > dengan meninggalkan sisa tagihan tak terbayar. Jumlahnya mencapai enam
> > setengah juta rupiah. Lebih terpukul lagi ketika, saat malam berhujan
> lebat
> > dan dingin menyengat, dada kiriku nyeri dan aku terbatuk-batuk hebat di
> > kamar mandi. Ketika aku meludah, ludahku merah seperti bekas ludah
> nenekku
> > dahulu yang suka makan sirih. Merah darah. Berkali-kali aku meludah, hal
> > yang sama berulang. Juga di hari-hari berikutnya. *Ya Allah, cobaan
> apalagi
> > ini?*
> >
> > Bukan itu saja. Sebagian kawan tak percaya waktu aku bilang hidup satu
> atap
> > bersama mertua tidaklah mudah. Mereka mengajukan argumentasi soal
> > penghematan biaya hidup dan kemudahan saat mengurus anak yang masih bayi.
> > Aku tertawa. Aku dan kawan-kawan itu tak punya definisi yang sama soal
> > "tinggal di wisma mertua indah". Setiap definisi, seumum apapun
> cakupannya,
> > tentu tak sanggup mencakup sesuatu yang di luar kelaziman. Nah, itulah
> yang
> > aku jalani. Buktinya barangkali bisa ditanyakan pada mas kawin pernikahan
> > kami yang rajin "disekolahkan" di pegadaian. Barangkali saat ini mereka
> > sudah pintar mengajari kami – aku dan istriku – soal perjuangan hidup.
> >
> > Aku selalu menghibur istriku, setelah sholat malam dan di berbagai
> > kesempatan, bahwa roda senantiasa akan berputar asalkan kita tak kenal
> lelah
> > untuk memutarnya. Sebagai ayah, aku belajar mempersiapkan mental baja
> agar
> > anakku nanti tak lemah. Sepeninggalku, jika sampai waktuku, aku tak ingin
> > meninggalkan keturunan yang lemah, yang hanya bergantung pada orangtua
> > bahkan hingga mereka dewasa dan saatnya menikah. Bukankah anak singa
> takkan
> > lahir dari seekor kambing?
> >
> > Sesungguhnya penghiburan terutama bagi kami – yang penat dengan jungkir
> > balik kehidupan terutama pasca aku berhenti *ngantor* – adalah sang
> putera
> > tersayang, Alham. Beratnya yang pada usia tiga bulan mencapai lima kilo
> > lebih dengan pipi gembul dan perawakan jangkung membuatnya tampak lebih
> > besar dari bayi-bayi seusianya. Ocehannya yang banyak, terutama selepas
> > disusui, kerap membuatku sadar bahwa banyak hal yang patut disyukuri
> > ketimbang disesali dalam hidup ini.
> >
> > *"Mencintai seseorang akan membuatmu berani, dan dicintai seseorang akan
> > membuatmu kuat,"* demikian kata Lao Tze, sang filsuf dari Tiongkok kuno.
> Itu
> > pelajaran kedua bagiku sebagai ayah. Berani berhutang, bentuk praktisnya.
> >
> > Saat orderan terjemahan sepi, sementara aku mengisi waktu dengan menulis
> > untuk koran, dan kami berhari-hari bertahan hidup dengan mie instan plus
> > telur dan tak jarang hanya nasi goreng tanpa lauk – tanpa mertua dan
> kakak
> > ipar tahu – aku tak tega membiarkan anakku yang masih menyusui hanya
> dapat
> > asupan ASI yang alakadarnya. Selain menerjemahkan dan menulis,
> aktivitasku
> > sebagai *trainer* penulisan untuk anak-anak *dhuafa* sama sekali – dan
> > memang bukan tujuan – tidak dapat diandalkan untuk tambahan pendapatan.
> > Solusi kuno yang termudah, sejak awal peradaban manusia, untuk kekurangan
> > pendapatan adalah berhutang meski salah satu hadis Rasullulah SAW
> mengatakan
> > bahwa itu sebagian dari tanda-tanda kehinaan.
> >
> > Mata anakku yang bening dan besar saat menatapku, kerapkali saat aku
> gendong
> > untuk menidurkan atau membuatnya bersendawa, seakan bertanya
> kepadaku,"Abi
> > ngutang lagi ya?"
> >
> > "Iya nih," jawabku dengan mimik dibuat lucu untuk mencandainya. Biasanya
> ia
> > yang murah senyum akan tertawa terkekeh-kekeh. Terlebih lagi jika aku
> dengan
> > gokil menirukan gaya tangannya yang khas seperti gaya orang menyetir
> mobil
> > atau seperti gaya Superman terbang – dengan satu tangan teracung lurus ke
> > depan.
> >
> > "Nanti Alham sekolah yang tinggi ya. Biar jadi orang kuat," pesanku.
> Entah
> > mengerti atau tidak, ia tersenyum lebar. Tampak lucu menggemaskan dengan
> > penampakan gusi kosong dan binaran mata kelerengnya. Semoga saja harapan
> > ayahnya ini terpatri di alam bawah sadarnya kelak saat dewasa.
> >
> > Ya, menjadi orang kuat – dalam pengertian fisik, keimanan, ilmu,
> finansial
> > dan kedudukan – adalah syarat seorang pejuang, nama "Alham" adalah salah
> > satu nama penulis-pejuang yang aku kagumi, dalam apapun bentuk perjuangan
> > yang ditekuninya.
> >
> > Jika ada tangga menuju kesuksesan di masa depan yang harus didaki anakku
> ini
> > maka aku rela jadi anak tangga terbawah untuk ia pijak menuju pijakan
> > berikutnya. Ketika banyak orang maupun tetangga memuji-mujinya sebagai
> anak
> > yang "pintar" atau "responsif", aku termimpi-mimpi Alham berkuliah di
> luar
> > negeri. *Ah, mimpi yang indah*.
> >
> > Sayang aku lekas terbangun di dini hari itu. Entahlah apakah ini juga
> obsesi
> > masa laluku yang tak sampai ketika seorang dosen menawariku beasiswa S-2
> ke
> > Jerman bahkan ketika aku masih di semester lima. Sayang S-1 pun tak mampu
> > aku tamatkan. Kekurangan biaya, alasannya. Klise memang.
> >
> > Belajar menjadi ayah memang perlu waktu panjang. Aku rasa aku masih di
> tahap
> > teramat dini di usia anakku belumlah genap setahun. Namun pelajaran
> ketiga
> > yang utama yang aku dapatkan di tiga bulan menjadi ayah adalah: *jika ada
> > kemauan pasti ada jalan*. Dengan kondisi menjadi ayah dan suami
> > berpenghasilan tak menentu yang pernah tertipu orang, terlilit hutang dan
> > kehabisan tabungan – yang merupakan ujian Allah agar emas terpisah dari
> > loyang – aku belajar mengendalikan emosi, lebih menghargai istri dan
> belajar
> > mensyukuri yang ada serta lebih gesit mengejar peluang.
> >
> > Di titik inilah aku merasakan dengan makna sejati-jatinya bahwa
> pernikahan –
> > termasuk keberadaan anak --mendewasakan orang. Saat beberapa teman lajang
> > curhat kepadaku tentang susahnya hidup melajang dan mereka berangan-angan
> > tentang (melulu) indahnya pernikahan, aku tersenyum. Aku hanya berdoa
> semoga
> > kelak, dengan harapan semuluk itu, mereka tidak menyesal menikah.
> >
> > Karena sebenarnya ungkapan lama "sengsara membawa nikmat" dari Tulis
> Sutan
> > Sati – penulis Melayu angkatan Balai Pustaka – dalam konteks pernikahan
> > dapat terbolak-balik letaknya. Dan cinta tak selalu semakna dengan
> bisikan
> > mesra atau tatapan sayang. Cinta sejati lebih merupakan perjuangan yang
> tak
> > jarang berlumur peluh dan air mata.
> >
> > Itulah kisah di bulan-bulan awal lahirnya putera pertamaku. Satu tanda
> > cintaku untuk puteraku terkasih.
> >
> > Namun tak lengkap hidupku ini yang bagai mozaik jika hanya mengungkap
> satu
> > sisi saja. Jauh menapaktilasi sejarah hidupku, ada kenangan terselip di
> > lipatan waktu dalam neuron otakku. Sebuah kenangan untuk tanda cintaku
> bagi
> > sang guru.
> >
> >
> >
> > *Sebagai Murid*
> >
> > *"....Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa, dan tidak ada yang
> > dapat menambah umur kecuali amal kebaikan." (Hadis Riwayat Ahmad, Nasa'i
> dan
> > Ibnu Majah)*
> >
> > "Berangkat, Bu?" sapaku pada seorang ibu tua berjilbab yang sedang
> berjalan
> > tertatih-tatih menuju halte bus. Ia menggunakan tangkai payung panjang
> > sebagai tongkat.
> >
> > Wajah tuanya terperangah. Kacamata minusnya masih seperti dulu. Hanya
> > bertambah tebal. Di tengah kebingungannya berusaha mengenaliku, aku
> > menjumput lengan keriputnya dan mencium tangannya. Penghormatan untuk
> > guruku. Ibu guru spesialku.
> >
> > Keberkahan dan panjangnya umur, itulah yang aku pohonkan kepada Allah
> untuk
> > ibu yang satu ini. Di manapun ia berada saat ini. Ia bukan ibuku. Bukan
> juga
> > saudara atau kerabatku. Namun ia, dalam salah satu fase perjalanan
> hidupku,
> > sangat berarti. Dan tidaklah hidupku yang sekarang ini lengkap -- atau
> > bahkan mungkin aku tidak akan seperti sekarang ini -- jika tanpa amal
> > kebaikannya untukku. Yang ia lakukan dua puluh enam tahun lalu saat aku
> > masih di bangku Sekolah Dasar.**
> >
> > Bu Satimah, demikian kami memanggilnya. Ia guru kelas satu SD. Orang
> pertama
> > yang mengajariku baca tulis. Tentu itu memang tugas setiap guru kelas
> satu,
> > yang barangkali terasa wajar dan tidak istimewa. Barangkali demikian. Dan
> > memang amal kebaikan Bu Satimah – tanpa mengecilkan jasanya yang satu itu
> –
> > yang teramat istimewa padaku bukanlah saat ia memosisikan diri khusus
> > sebagai guru. Justru ketika ia memosisikan diri sebagai ibu, sebagai
> manusia
> > yang punya kepekaan dan nurani. Di situlah ia menjadi sangat berarti dan
> tak
> > tertandingi.
> >
> > *****
> >
> > Sewaktu kecil, aku menderita penyakit kencing batu sejak usia 4 tahun.
> Konon
> > sebabnya karena aku terlalu banyak mengonsumsi makanan dan minuman yang
> > manis-manis. Sakitku itu terus berlanjut ke tahun-tahun berikutnya hingga
> > sukses mengubahku yang semula bayi montok yang aktif menjadi balita yang
> > kuyu dan penyakitan.
> >
> > Pada usia 5 tahun, aku dikhitan. Anak-anak Betawi seusiaku memang lazim
> > dikhitan atau disunat pada usia dini. Bahkan ada yang sudah dikhitan
> sejak
> > masih seminggu setelah dilahirkan – dengan mencontoh Kanjeng Nabi
> Muhammad
> > SAW. Namun, khusus untukku, orangtuaku mengkhitankanku – dengan
> menumpang,
> > karena pertimbangan biaya, pada saat perayaan khitanan sepupuku –
> terutama
> > agar aku lekas sembuh dari penyakitku itu. Mereka tentu saja, yang sangat
> > aku yakin, tak tega melihat anak ke-8 mereka menjerit kesakitan tiapkali
> > buang air kecil dan tak bisa bermain leluasa seperti anak-anak sebayanya.
> > Tubuhku pun saat itu kurus, lesu dan bungkuk.
> >
> > Untuk yang terakhir itu karena, untuk menahan rasa sakit, aku sering
> > menempelkan perutku ke bagian paha. Menahan sekuat-kuatnya rasa sakit
> yang
> > mendera. Rasa sakitnya memang tak tertahankan. Karena urine harus
> berjuang
> > keras melewati gumpalan batu mengeras di kandung kemih. Serasa ada
> puluhan
> > pisau tajam mengiris bagian dalam kelaminku. Pernah saking putus asanya,
> aku
> > berdoa memohon kematian kepada Allah. Ya, aku ingin mati di usia muda
> agar
> > tak merepotkan orangtuaku lebih lama.
> >
> > Di usia semuda itu aku tahu betapa bingungnya kedua orangtuaku mencari
> biaya
> > ke dokter atau berobat alternatif. Mereka tahu satu-satunya jalan adalah
> > operasi. Namun, untuk memberi makan keenam anaknya yang hidup dari 12
> anak
> > yang terlahir, mereka berjuang susah payah. Jadi, opsi operasi sungguh
> suatu
> > kemewahan. Dan untuk menggapainya dibutuhkan keajaiban.
> >
> > Solusi realistis, menurut saran-saran tetangga, adalah aku harus
> dikhitan.
> > Barangkali karena niat baik tersebut penyakitku mereda. Aku tak lagi
> sepayah
> > tahun-tahun sebelumnya kendati masih harus rutin mengonsumsi jamu-jamu
> dan
> > rebusan daun kumis kucing. Saat itu, era 1980-an, memang belum ada pil
> > praktis atau obat instan seperti saat ini yang dapat menghancurkan batu
> > dalam kandung kemih. Operasi laser, tanpa harus melalui pembedahan, untuk
> > pasien kencing batu juga belum dikenal.
> >
> > Bagi kami, aku dan keluargaku terutama kedua orangtuaku, sekedar mereda
> pun
> > sudah merupakan nikmat Allah yang patut disyukuri. Setidaknya aku dapat
> > bersekolah seperti anak-anak kebanyakan. Meski untuk aktivitas permainan
> > remeh temeh yang umumnya saat itu lazim dikuasai anak-anak sebayaku –
> > seperti bermain layang-layang dan bersepeda -- aku sangat tertinggal.
> > Penyakitku memang memaksaku tak boleh kelelahan dan harus banyak berdiam
> di
> > rumah. Aku baru bisa belajar bersepeda saat kelas 5 SD.
> >
> > ***
> >
> > Tahun 1983, saat usiaku 6 tahun, aku dimasukkan ke sebuah sekolah dasar
> > negeri di dekat rumahku di bilangan Jakarta Selatan. Bu Satimah adalah
> > guruku di kelas satu. Sebagaimana umumnya guru-guru kelas satu, ia *welas
> > asih*, penyayang, ramah dan baik hati. Satu hal yang paling mengesankan
> > bagiku adalah saat ia menunjukkan pendiriannya dan kepeduliannya.
> >
> > "Kamu harus tetap sekolah," ujarnya padaku. "Salam harus ikut testing,"
> ia
> > tegaskan itu di depanku dan ibuku serta di hadapan guru-guru lain di
> ruang
> > kepala sekolah. "Meskipun testingnya di rumah."
> >
> > "Siapa yang bertanggung jawab? Siapa yang bisa jamin?" tanya seorang guru
> > perempuan, dengan nada sinis.
> >
> > Bu Satimah menatap tegar. "Saya yang jamin. Saya yang bertanggung jawab."
> >
> > Saat itu, di akhir kelas satu, kembali penyakitku bertambah buruk. Aku
> tak
> > bisa keluar rumah. Ibuku pun meminta kebijaksanaan dari sekolah agar aku
> > diberikan dispensasi untuk mengikuti testing di rumah. Itu memang di luar
> > kebiasaan dan peraturan umum sekolah. Terlebih lagi kami sebagai pihak
> yang
> > mengajukan bukanlah orang yang berkecukupan, bahkan serba kekurangan. Itu
> > jelas, bagi pihak sekolah, sebuah permintaan yang luar biasa – jika tidak
> > bisa dibilang mengherankan.
> >
> > Pandangan tersebut tercermin jelas dalam rapat dewan guru yang dipimpin
> > kepala sekolah. Sebagian melecehkan bahkan menyinggung hal-hal lain yang
> tak
> > relevan dengan permohonan dari ibuku. Aku dan ibuku duduk mengikuti rapat
> > tersebut dengan berdebar. Aku merasa bagai pesakitan atau terdakwa saat
> itu.
> >
> >
> > Tapi saat itu aku merasakan betapa ibuku – yang hanya berpendidikan kelas
> 4
> > SD – punya keberanian besar, yang jelas didorong cinta, agar anaknya
> tetap
> > dapat bersekolah. Seburuk apapun kondisinya. Aku makin cinta ibuku yang
> > duduk terdiam di sampingku. Ia yang lugu tampak bersahaja dengan kerudung
> > dan kebaya yang dikenakannya. Aku tahu dalam diamnya ia berdoa untukku.
> Dan
> > aku tahu aku merasakan cintaku untuknya makin besar semenjak itu.
> >
> > Ternyata dalam ruangan itu tak hanya ada satu cinta untukku. Dukungan
> yang
> > diberikan Bu Satimah dengan tegas untuk kelanjutan sekolahku memapas
> > pelecehan dan pesimisme pihak sekolah. Meski aku tahu beberapa guru
> seakan
> > bersungut-sungut, tapi sang malaikat penyelamat itu – dengan rambut ikal
> > pendeknya dan kacamata minusnya – bersiteguh dengan argumentasinya yang
> > cerdas. Wajahnya memang terkesan keras. Konon ia kelahiran Jawa Timur.
> Namun
> > hari itu ia menunjukkan kelembutan sayap-sayap hatinya. *My teacher, I
> love
> > you!*
> >
> > Bukan itu saja yang membuatku kian salut kepadanya. Setelah perjuangannya
> > yang keras di depanku, ia memberikan kepercayaan yang besar kepadaku dan
> > keluargaku. Semestinya, dengan saran kepala sekolah, Bu Satimah harus
> selalu
> > mengawasi aku ketika sedang mengerjakan soal testing di rumah. Namun ia
> > sepenuhnya memercayakan pengawasan itu kepada kedua orangtuaku. Selama
> pekan
> > testing, ia hanya mengantarkan bahan testing ke rumahku dan mengambilnya
> > selepas jam sekolah.
> >
> > "Saya percaya kok bapak ibu orang jujur. Salam juga anak jujur. Jadi saya
> > percaya saja," demikian jelasnya. Kedua orangtuaku yang terharu dengan
> > kepercayaan tersebut menjaga betul amanah tersebut. Bahkan ayahku tak
> > segan-segan menjewer salah satu kakakku yang mencoba membantuku
> mengerjakan
> > soal testing. Kepercayaan memang barang mahal.
> >
> > *Alhamdulillah*, dengan prosedur testing yang `di luar kebiasaan'
> tersebut,
> > aku dinyatakan berhak naik kelas ke kelas dua. Namun sakitku yang
> bertambah
> > parah, dan ketiadaan dana orangtuaku, aku pun cuti dari sekolah.
> *Bedrest*.
> > Lagi-lagi di luar kebiasaan. Setahun kemudian – setelah menjalani operasi
> > pada 1984 dengan biaya pinjaman dari kerabat – aku melanjutkan ke kelas
> dua.
> > Teman-teman seangkatanku sendiri sudah berada di kelas tiga.
> >
> > Bu Satimah juga yang mengusulkan gagasan cuti tersebut. Dan, lagi-lagi,
> > dengan gemilang ia membelaku di hadapan para rekan sejawatnya. Sungguh,
> > bagiku, ia malaikat. Siapa pula yang saat itu – mungkin hingga kini --
> mau
> > membela murid miskin sakit-sakitan tanpa bayaran? Di tahun-tahun
> belakangan,
> > setelah memahami realitas kehidupan, aku semakin menganggapnya
> malaikatku.
> >
> > Sayang tahun-tahun berlalu membawa sekaligus melipat segala kenangan
> > termasuk kebaikan. Waktu memang paling ampuh memunahkan segalanya.
> Ditakar
> > dengan besarnya jasa Bu Satimah, balasanku atas kebaikannya sangat tak
> > sepadan. Aku hanya satu dua kali berkunjung ke rumahnya. Itu pun semasa
> aku
> > bersekolah di SD. Selepas SD, aku sama sekali melupakannya. Kendati
> ibuku,
> > yang merasa amat berhutang budi kepada Bu Satimah, selalu memintaku
> > mengunjungi sang ibu guru yang hidup sederhana di bantaran Kali Ciliwung
> > yang selalu kebanjiran dari tahun ke tahun.
> >
> > Yang aku tahu, untuk beberapa belas tahun kemudian, Bu Satimah masih
> > mengajar kelas satu di almamaterku itu. Dengan penampilan fisik yang
> menua
> > dan gaya jalan yang tak lagi gagah dan cepat seperti dulu. Tapi,
> lagi-lagi
> > hanya berdasarkan kabar, di usia menjelang pensiun ia masih melanjutkan
> > kuliah S-1 di IKIP Jakarta. Guru-guru SD seangkatannya – dan yang menjadi
> > para guruku di SD – memang lulusan SPG, sebuah sekolah pendidikan guru
> > tingkat menengah yang telah dibubarkan pemerintah.
> >
> > Hingga terjadilah pertemuan saat itu antara si Malin Kundang ini dengan
> sang
> > malaikat penyelamatnya – yang ironisnya telah dilupakannya
> bertahun-tahun.
> >
> > "Sudah SMP kamu, Lam?" Bu Satimah akhirnya mengenaliku. Pandangannya
> > menelisik dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku yang masih kelas tiga
> SMP
> > saat itu merasa risih juga dengan bulu kakiku yang mulai tumbuh lebat.
> >
> > "Makin jangkung aja!" Ia tersenyum. "Belajar yang bener ya!" Ia
> > menepuk-nepuk bahuku yang kini jauh lebih tinggi darinya. Malaikat
> berhati
> > emas ini memang berukuran tak seberapa tinggi namun – dalam kenanganku –
> > nyalinya dan kepeduliannya jauh melebihi tinggi fisik tubuhnya.
> >
> > Teramat sayang saat pertemuan itu – mungkin karena gumpalan perasaan yang
> > campur baur di hatiku – aku tak banyak berkata-kata. Bertemu dengannya –
> > setelah aku lama melupakannya – bagaikan bertemu dengan seorang pemberi
> > hutang yang sama sekali tak menagih hutang dan bersikap seakan-akan kita
> tak
> > punya hutang kepadanya. Hanya saja sang pengutang, dalam hal ini aku,
> yang
> > merasa kikuk bukan kepalang.
> >
> > Di akhir pertemuan singkat itu, Bu Satimah menawariku berkunjung ke
> > rumahnya. Dengan gaya polos ABG, aku jawab,"Iya, Bu, kapan-kapan." Aku
> lupa
> > mengucapkan "Insya Allah". Dan memang bertahun-tahun setelahnya aku tak
> > pernah mampir ke rumahnya yang terletak di daerah Cawang. Hanya beberapa
> > kilometer dari rumahku. Hanya dibatasi Kali Ciliwung yang kecoklatan
> airnya.
> >
> > Sewaktu kuliah, aku pun mendapat kabar ia tak lagi tinggal di situ. Tak
> > seorang pun di sekitar rumah lamanya itu yang tahu kemana sang malaikat
> itu
> > berada.
> >
> > Aku kian merasa sebagai Malin Kundang. Bahkan hingga saat ini, detik ini.
> >
> > Namun lebih jauh ke belakang ada kenangan mengharukan lain yang juga
> > membuatku merasa sebagai anak durhaka, si Malin Kundang. Kenangan yang
> > merupakan tanda cinta yang lain, untuk kedua orang tuaku.
> >
> >
> >
> > *Sebagai Anak*
> >
> > Lebaran selalu identik dengan baju baru. Sudah lazim orang bertanya di
> > penghujung Ramadhan,"Eh, sudah beli baju baru belum?" Entahlah, sejak
> kapan
> > tradisi membeli baju baru untuk Lebaran ini berawal. Padahal Nabi
> Muhammad
> > SAW dalam salah satu hadisnya dalam Shahih Bukhari hanya memerintahkan
> kita
> > mengenakan "pakaian yang terbaik" pada hari raya Idul Fitri. Tapi
> "terbaik"
> > di sini selalu dimaknai sebagai sesuatu yang "baru".
> >
> > Di zaman penjajahan dulu saat kehidupan sehari-hari susah termasuk untuk
> > makan apalagi untuk beli baju, hal tersebut dapat dipahami. Tidak ada
> > pakaian sehari-hari yang "layak" atau "terbaik" dipakai pada hari raya. *
> > Wong*, ada yang sampai bikin celana dari karung goni atau karung beras
> kok.
> > Bila dari kain belacu, itu sudah lumayan, demikian cerita almarhum
> ayahku.
> > Maka wajarlah bila yang terbaik dimaknai sebagai sesuatu yang baru. Tapi
> di
> > zaman saat ini, anehnya, tradisi itu terus berlangsung. Meski saat ini
> > banyak orang sanggup beli baju tiap bulan, bahkan setiap momen khusus,
> entah
> > pesta ulang tahun atau piknik.
> >
> > Namun sewaktu aku kanak-kanak, pikiran bijak tersebut sama sekali jauh
> dari
> > pikiran. Yang aku tahu adalah jika aku tak punya baju baru berarti aku
> > berbeda dari teman-teman sepermainanku. Dan aku malu karenanya. Itu saja.
> > Sebetulnya kondisi ekonomi keluargaku tahun 80-an itu juga
> memprihatinkan.
> >
> > Saat itu keluargaku masih lengkap. Sangat lengkap, ada ayah dan ibu dan
> enam
> > anak-anaknya. Aku sendiri anak kelima dari enam bersaudara. Empat
> laki-laki
> > dan dua perempuan. Semuanya bersekolah, dan belum ada yang bekerja saat
> itu.
> > Suatu kondisi yang lumayan berat bagi ayahku (kami biasa memanggilnya
> *aba*)
> > yang hanya montir mobil panggilan. Ibu hanya ibu rumah tangga biasa, yang
> > coba membantu *aba* dengan membuat kue yang dititipkannya di
> warung-warung
> > di dekat rumah.
> >
> > Ada juga tambahan penghasilan dari beberapa petak rumah kontrakan yang
> baru
> > dirintis *aba* yang sayangnya tak cukup menutupi kebutuhan keluarga.
> Maklum,
> > rumah kontrakan kami kecil dan tidak terlalu bagus sehingga *aba* tak
> > terlalu tega untuk mengenakan harga sewa yang tinggi. Apalagi harga sewa
> > rumah kontrakan saat itu tidak setinggi sekarang.
> >
> > Aku ingat betul waktu itu seminggu lagi Lebaran. Aku kelas tiga SD,
> sembilan
> > tahun usiaku. Agak telat memang. Karena di kelas satu SD aku sempat cuti
> > sekolah karena sakit kencing batu. Baru kemudian atas jasa baik Bu
> > Satimah—guruku di kelas satu—aku dapat melanjutkan sekolah di kelas dua
> di
> > sekolah yang sama tanpa harus membayar biaya tambahan.
> >
> > Ya, sakit yang mengharuskan aku istirahat selama setahun di rumah itu
> > sangat membebani keluarga untuk ongkos pengobatan kesana-kemari. Atas
> izin
> > Allah, *alhamdulillah*, aku sembuh setelah batu sebesar kepalan tangan
> bayi
> > itu berhasil diangkat dari kandung kemihku melalui operasi bedah. Waktu
> itu
> > belum dikenal teknologi bedah laser sehingga aku harus mendapat beberapa
> > jahitan. Biaya operasinya tiga ratus ribu rupiah (ingat saat itu tahun
> > 1984!), hasil berhutang dari salah seorang pemilik warung tempat ibuku
> biasa
> > menitipkan dagangan kuenya.
> >
> > Alhasil persoalan baju baru adalah persoalan istimewa bagiku. Tidak
> setiap
> > bulan aku bisa punya baju baru. Sering juga memang langganan kerja
> > *aba*—kebanyakan
> > etnis Cina di kawasan Jakarta Barat—memberikan pakaian bekas mereka—yang
> > menurutku bekas hanya karena jarang sekali dipakai atau tertumpuk di
> lemari
> > pakaian—yang masih bagus-bagus sebagai bonus atas kerjanya yang dianggap
> > memuaskan ketika memperbaiki mobil mereka. Tapi ya tetap saja judulnya
> baju
> > bekas, bukan baju baru ya *to*?
> >
> > "Lam, lo udah punya baju baru belom?" tanya salah seorang temanku. Kami
> > sedang bermain *gundu* alias kelereng menunggu beduk berbuka puasa.
> >
> > Aku pura-pura sibuk membersihkan kelereng-kelerengku yang berdebu. Tanah
> > tempat kami bermain memang berdebu. Waktu itu kemarau.
> >
> > "Gue sih udah punya dua. Satu baju koko, satu kaos!" tukas temanku yang
> lain
> > berbangga. Senyumnya cerah. Bagiku itu senyum mengejek.
> >
> > Obrolan pun beralih ke topik baju baru. Ah, panas sekali telingaku. Aku
> juga
> > saat itu bingung kenapa ibu belum juga mengajakku ke pasar. Biasanya dua
> > pekan sebelum Lebaran ibu mengajakku—karena adikku masih dianggap terlalu
> > kecil—berbelanja baju Lebaran di Pasar Jatinegara. Pasar yang padat dan
> > sumpek di tepi lapangan Jenderal Oerip Soemohardjo, Jakarta Timur. Tapi
> aku
> > ingat betul betapa harumnya bau baju-baju baru yang tergantung di
> kios-kios
> > pedagang maupun emperan kaki lima. Tak peduli peluh dan lelah karena
> > seringkali ibu harus bolak-balik masuk toko mencari barang terbaik dengan
> > harga termurah. Tapi aku senang-senang saja. Itulah ritual menjelang
> > Lebaran.
> >
> > Ketika aku pulang ke rumah pun, *aba* dan ibu sama sekali tak membahas
> soal
> > baju baru. Kakak-kakakku yang lain juga bersikap biasa-biasa saja.
> Kakakku
> > yang terdekat perempuan, selisih usia kami tiga tahun. Mungkin ia sudah
> > cukup paham. Tapi itu dia, bukan aku.
> >
> > Malam harinya selepas sholat Tarawih, aku bergegas sampai ke rumah paling
> > awal. Ketika ibu baru merapikan mukenah dan sajadahnya dari masjid, aku
> > langsung merajuk meminta. Ibu cuma bilang,"Nanti juga dibeliin. Sabar!"
> Aku
> > tak puas. Aku dekati *aba* yang sedang asyik merokok di ruang depan.
> > Jawabnya pun sama,"Sabar ye…"
> >
> > Aku pun pupuk kesabaran hingga beberapa hari. Tinggal tiga hari menjelang
> > Lebaran. Ibu sudah sibuk membuat kue Lebaran. Sebagian pesanan tetangga.
> > Tapi ada yang kurang. Baju baru. Anehnya kakak-kakakku masih
> tenang-tenang
> > saja. Entahlah apakah ibu sudah berhasil memenangkan mereka. Adikku
> sendiri
> > yang selisih usia empat tahun di bawahku, anehnya, tak seribut aku.
> Rasanya
> > di hari-hari menjelang Lebaran jantungku kian berdebar. Tiap malam saat
> > keluarga berkumpul menonton TV—saat itu masih hitam putih 14 inci—aku
> > berharap ibu akan berkata,"Lam, besok ke pasar yuk!"
> >
> > Namun ucapan itu tak kunjung keluar dari bibirnya. *Aba* pun ketika
> > `kudesak-desak kembali hanya membentak dengan mata mendelik,"Tanya ibu lo
> > sono!" Ah, rasanya kesabaranku habis. Tangisku meledak. Esoknya, dua hari
> > menjelang Lebaran, aku tidak bermain keluar rumah. Sekolah memang sudah
> > libur. Aku berdiam saja di rumah. Tidak kemana-mana. Hanya mendekam di
> > kolong tempat tidur. Aku sedang protes!
> >
> > *Aba* dan ibu membujuk. Kakak-kakakku mengiming-imingi janji beli permen
> > atau penganan. Semuanya membujuk agar aku mau keluar dari kolong tempat
> > tidur. Cukup lama aku bertahan, sambil sesekali berteriak dan menangis.
> Aku
> > tak peduli meski salah satu kakakku bilang puasaku batal karena aku
> > menangis.
> >
> > Ubin lantai di kolong tempat tidur dingin dan agak berdebu.
> Kerongkonganku
> > lelah berteriak. Dada juga sakit dan leher pegal karena tak bisa tegak.
> Aku
> > pun terbatuk-batuk hebat. Tapi biarlah. Aku lebih rela begini daripada
> malu
> > tak punya baju baru, pikirku.
> >
> > Menjelang azan Ashar, ibu menyerah. Beliau janji mengajakku ke pasar
> > keesokan harinya. Wah, hilang sudah pegal, dingin dan batukku! Terbayang
> aku
> > bisa sholat Ied, berkunjung ke rumah kerabat, dan paling penting bisa
> > beramai-ramai bersama teman-temanku berbaris meminta *angpao *dari para
> > tetangga. Itu momen-momen terindah saat Lebaran. Dan itu mustahil tanpa
> baju
> > baru.
> >
> > Alhasil, sehari menjelang Lebaran itu, jadilah aku punya baju baru.
> Seharian
> > ibu mengajakku berbelanja baju. Ternyata termasuk baju Lebaran untuk
> > kakak-kakakku. Mungkin *aba* dan ibu sebenarnya sudah punya uang untuk
> beli
> > baju. Tapi tunggu waktu yang tepat, batinku. Ah, yang penting hatiku
> gembira
> > sekali saat itu.
> >
> > Malamnya malam Takbiran. Selepas takbiran bersama di masjid, aku lekas
> > pulang ke rumah. Mengepaskan baju baruku di depan cermin. Ya, baju yang
> > didapat dengan perjuangan keras. Keras betul, menurutku. Anehnya, meski
> film
> > terakhir di TV—saat itu paling malam siaran TVRI berakhir pukul dua belas
> > dengan acara terakhir film Barat. Itu pun hanya satu film sepanjang
> hari—aku
> > tak merasa mengantuk sama sekali.
> >
> > Lamat-lamat kudengar *aba* dan ibu berbincang-bincang di kamarnya.
> >
> > "Pinjem duit siape buat belanje tadi?" Suara *aba* terdengar bertanya.
> >
> > Terdengar tarikan nafas berat ibu. "Nunung kasih pinjem. Kapan aje
> > gantiinnye katenye." Nunung adalah adik tiri *aba*. Suaminya, Om Misdi,
> > seorang pematung yang sering dapat orderan dari luar daerah. Kehidupan
> > mereka memang lebih berada daripada kami.
> >
> > Tarikan nafas berat *aba* menyusul. "Gak enak juga ye minjem mulu ame
> die."
> >
> > "Ye, gak pape deh. Tadi juga ditahan-tahanin malunye. Namenye juga buat
> > anak."
> >
> > Sunyi. Sesunyi perasaanku malam itu. Kegembiraan malam itu terasa
> berkurang.
> > Ya, demi anak. Duh, *aba*, ibu, maafkan aku. Peristiwa malam Takbiran itu
> > sangat membekas. Seingatku, itulah terakhir kalinya aku merengek minta
> baju
> > baru untuk Lebaran. Toh, tanpa aku merengek pun, tahun-tahun berikutnya
> > kedua orangtuaku tak pernah lupa membelikan kami baju baru untuk Lebaran.
> > Entah, barangkali dengan uang tabungan atau kembali berhutang, aku tak
> tega
> > menanyakannya. Cukuplah mereka hanya tahu kami gembira menerimanya.
> >
> > Sayang ibuku keburu wafat pada 1997 saat aku baru menginjak tahun pertama
> > kuliah di Universitas Indonesia (UI). Aku belum bisa membelikannya baju
> baru
> > untuk Lebaran. Namun, setidaknya untuk beberapa tahun kemarin--ketika aku
> > sudah punya penghasilan sendiri--aku sempat membelikan baju Lebaran untuk
> *
> > aba*: baju koko, peci dan sarung untuk sholat Ied. Tidak mahal-mahal
> sekali,
> > tapi itu pun sudah bagus sekali, kata *aba* sambil berucap terima kasih.
> > Binar riang matanya dan senyum bangganya ketika berterima kasih padaku
> sudah
> > cukup melegakanku. Moga itu bisa menebus rasa susah hatinya saat aku
> protes
> > sambil *ngumpet *di kolong tempat tidur dulu. Orang tua manapun pasti
> pusing
> > jika anak merengek minta baju baru sementara tak ada uang di saku.
> Mungkin
> > aku juga begitu jika kelak menjadi orang tua, Insya Allah..
> >
> > Di tahun 2006, sebetulnya aku berencana memberikan baju koko dan sarung
> > terbaik buat *aba*. Namun Allah berkehendak lain. *Aba* berpulang ke
> > rahmatullah pada usianya ke-73 tepat *nisfu sya'ban*, lima belas hari
> > menjelang Ramadhan tahun itu. Tepat *ba'da* Maghrib 8 September 2006.
> Duhai,
> > betapa sunyinya Ramadhan saat itu tanpa kedua orang tua. Baju baru memang
> > bukan masalah lagi, tapi apalah artinya tanpa kedua orang tua di hari
> raya
> > nan fitri?
> >
> > Ah, aku teringat sebuah perkataan bijak dalam salah satu buku yang pernah
> > kubaca,"Kasih sayang anak ketika merawat orang tua takkan pernah dapat
> > menebus kasih sayang orang tua terhadap anak. Orang tua merawat anak
> ketika
> > kecil hingga dewasa tanpa tahu bagaimana akhirnya kelak apakah sang anak
> > akan membalas budinya atau justru mendurhakainya. Sementara anak merawat
> > orang tua dengan sebuah akhir yang diketahuinya bahwa orang tuanya akan
> > wafat di hari tua." Jadi jelas nilainya sangat berbeda. Kasih orang tua
> > sepanjang hayat, kasih anak sepanjang galah.
> >
> > Dalam hati aku berdoa,"Ya Allah, pakaikan kedua orang tuaku baju baru di
> > surga-Mu." *Amien yaa robbal `alamien*.
> >
> > Ya, "amin" adalah ucapan penutup yang indah untuk semua kenangan dan
> > harapan. Bagiku, ketiga kenangan tersebut adalah tiga tanda cinta yang
> > memancarkan keindahan dengan caranya masing-masing. Keindahan yang tak
> > sekadar jadi bahan nostalgia bertahun-tahun kemudian namun menumbuhkan
> élan
> > vital dalam diriku bahwa aku telah berdiri di atas bahu-bahu raksasa ayah
> > dan ibuku serta guruku untuk menopang puteraku melihat lebih jauh,
> melompat
> > lebih tinggi dariku nantinya. *****
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > --
> > "There is no life without risks"
> > Nursalam AR
> > Translator - Writer - Trainer
> > 0813-10040723
> > 021-92727391
> > Facebook: www.facebook.com/nursalam.ar
> > Blog: www.nursalam.multiply.com
> >
>
>
>

--
"There is no life without risks"
Nursalam AR
Translator - Writer - Trainer
0813-10040723
021-92727391
Facebook: www.facebook.com/nursalam.ar
Blog: www.nursalam.multiply.com
2b.

Re: [Catcil] Tiga Tanda Cinta

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Sat Nov 28, 2009 3:52 pm (PST)



Ah, Mbak Anty terlalu berlebihan:).

Sebagai ayah, saya masih terus belajar. Menghadapi Alham yang sangat aktif
dan ramai celotehnya, terkadang tandon kesabaran saya terasa kurang.
Termasuk perhatian jika ia ingin mengajak bermain di saat saya dikejar
tenggat terjemahan. Ada rasa bersalah yang menyelusup ketika Alham, yang
sadar ia dicuekin, lantas di kesempatan lain -- ketika pergi berdua dengan
ibunya -- tak mau saya cium pipinya atau sekadar cium tangan. Ya, saya mesti
terus belajar menganggapnya sebagai "anak"yang punya rasa dna jiwa -- bukan
sekadar "orang lain di dalam keluarga" .

Terlebih sebagai suami. Belajar menjembatani perbedaan dengan istri yang
berbeda sifat, latar belakang dan kepribadian. Belajar bahwa Yuni ternyata
lebih "nyambung" dengan bahasa lugas khas Sumatera ketimbang sentilan khas
Jawa -- pengaruh budaya yang lain yang mampir kepada saya -- yang pada
awalnya membuat saya sering berpikir,"Kok ga ngerti sih? Kan tanpa
dibilangin mestinya harus ngerti gitu?":). Betapa banyak saya harus belajar
darinya, terutama soal kesabaran dan keikhlasan memaafkan.

Sebagai anak dan murid, ah, sepertinya belum banyak saya perbuat -- untuk
tidak mengatakan sedikit -- untuk almarhum/ah kedua orang tua saya dan
guru-guru saya dahulu (berbicara tentang guru, jadi ingat resolusi tahun
lalu yang belum kesampaian -- sekolah lagi!)

Namun, saya aminkan ucapan Mbak Anty sebagai doa. Amin, allahumma amin. Moga
mewujud dalam nyata.

Semoga keberkahan yang sama juga melimpahi Mbak Anty sekeluarga.

Tabik,

*Nursalam AR*

2009/11/25 anty th <anty_th@yahoo.com>

>
>
> Sangat menyentuh ^_^
>
> Sebagai AYAH :
> Alham dan istri tercinta pasti bangga punya imam seperti mas salam
>
> Sebagai MURID :
> Ibu guru yang punya hati mulia itu akan bangga memiliki anak didik seorang
> pejuang sejati. jangan lupa selalu menyelipkan nama beliau di dalam doa
>
> Sebagai ANAK :
> Orang tua mas Salam pasti sangat bahagia memiliki anak soleh dan berbakti,
> walau tak harus berupa materi berlimpah.
> Kekuatan doa anak ibarat deposito yang takkan henti mengalir ^_^
>
> Akhirnya .....
> TFS ya Mas...
> anty banyak belajar dari tulisan indah ini ^_^
>
> salam
> anty
>
>
>

--
"There is no life without risks"
Nursalam AR
Translator - Writer - Trainer
0813-10040723
021-92727391
Facebook: www.facebook.com/nursalam.ar
Blog: www.nursalam.multiply.com
2c.

Re: [Catcil] Tiga Tanda Cinta

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Sat Nov 28, 2009 5:57 pm (PST)



Alhamdulillah...

Syukur dan sabar memang sepasang sayap yang tak boleh terpisahkan jika ingin
hidup seimbang.

Tetap semangat ya, Nov:). Tumben, semboyan khas Nopi ini ga muncul lagi:).

Tabik,

*Nursalam AR*

2009/11/25 Novi Khansa <novi_ningsih@yahoo.com>

>
>
> TFS...
> mengingatkan aku kembali untuk selalu bersyukur...
> mengingat orang tua, kakak-kakak, guru, sahabat... yang penuh cinta...
>
> salam,
>
> Novi
>
> --- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com<sekolah-kehidupan%40yahoogroups.com>,
> Nursalam AR <nursalam.ar@...> wrote:
> >
> > *Tiga Tanda Cinta*
>
> >
> > *Oleh Nursalam AR*
> >
> >
> >
> > Ada tiga torehan tanda cinta yang `kukenang dalam hidupku
> > sekaligus menjadi penyemangat diri dalam hidupku selama ini.
> >
> > * *
> >
> > *Sebagai Ayah*
> >
> > *"Bakat terbentuk dalam kesunyian, watak terpupuk dalam riak besar
> > kehidupan." (Goethe)*
> >
> > Menjadi ayah, bagiku, adalah kegembiraan dan juga salah satu riak besar
> > kehidupan. Kegembiraan akan datangnya sang buah cinta dan darah daging
> > adalah hal wajar. Namun pada saat yang sama riak besar kehidupan mungkin
> > tidak selalu menyertai perjuangan setiap calon ayah. Buatku ini sebuah
> ujian
> > kehidupan untuk menggembleng watak. Barangkali aku patut bersyukur
> > semestinya. Karena sepertinya, setelah sepekan pertama menjadi ayah,
> Allah
> > memberikan gelombang riak besar jelang kelahiran bayiku sebagai ujian
> agar
> > kuat bertahan dalam gelombang-gelombang besar berikutnya. *Pre-test*,
> > barangkali maksud-Nya demikian.
> >
> > Jelang kelahiran bayiku, permohonan kasbon sebulan gaji ditolak *boss*.
> > Padahal sudah sejak sebulan sebelumnya ia sudah mengulur-ulur dengan
> > berbagai alasan seperti kondisi keuangan kantor yang tidak memungkinkan
> dll
> > – kendati aku tahu betul kegemarannya *dugem* yang menghabiskan jutaan
> > rupiah tiap malam. Tapi saat kedatanganku ke ruangannya terakhir kali
> itu,
> > sang *boss* mungkin tidak menyadari bahwa – sedetik setelah penolakannya
> –
> > aku akan mengambil keputusan keluar dari kantor (pada saat yang tepat).
> > Kembali menjadi "orang bebas" seperti tiga tahun sebelumnya.
> >
> > Menjelang pernikahanku dua tahun lalu pada 2007, demi memenuhi keinginan
> ibu
> > mertua, aku memang bekerja kantoran. Masih sebagai penerjemah *legal
> English
> > * (dokumen hukum dan bisnis) di agensi atau biro penerjemahan. Ini juga
> > berpindah-pindah. Dari agensi penerjemahan di Jakarta Timur aku hanya
> > bertahan lima bulan. Ada persoalan ketidakberesan gaji dan perlakuan yang
> > tidak manusiawi. Setelah pindah ke biro yang lain – yang ini karena sang
> *
> > boss* adalah sahabat lamaku dan ada beberapa kompromi termasuk gaji, di
> mana
> > aku lebih mengalah, dibuat – aku juga tak bertahan lama.
> >
> > Per Desember 2008 aku resmi berhenti bekerja kantoran. Membuka bisnis
> agensi
> > penerjemahan sendiri. Meski, dilihat dari kesiapan infrastruktur dan
> modal,
> > lebih cocok untuk disebut "penerjemah *freelance*". Bayangkan saja kantor
> > agensi penerjemahan tanpa fasilitas printer, koneksi internet, faksimili
> dan
> > sambungan telepon rumah. Ruangannya pun menyatu dengan sebuah kamar –
> yang
> > aku, istri dan anakku tempati – yang menumpang pada rumah ibu mertuaku.
> > Lebih persis lagi, kantorku adalah seperangkat komputer – yang,
> > alhamdulillah, sudah lunas -- kreditan. *That's it!*
> >
> > Gila! Mungkin ada yang menyebut demikian. Termasuk beberapa kawan dan
> > kerabat yang menyayangkan mengapa aku berhenti bekerja justru di saat
> baru
> > memiliki anak. Sementara istriku juga sudah berhenti bekerja sejak
> > mengandung dua bulan. Tapi aku yakin Allah Maha Pemurah. Bagi manusia,
> tanpa
> > pandang kualitas ibadah atau agamanya, pasti ada rejeki masing-masing
> asal
> > berani menjemput. Termasuk, yang aku yakini juga, ada bagian rejeki yang
> > sudah dicatatkan-Nya di *lauhul Mahfuz* di atas sana untuk anakku yang
> kini
> > sedang lucu-lucunya di usianya yang tiga bulan.
> >
> > Ya, aku sedang belajar menjadi ayah. Pelajaran pertama yang kucatat, saat
> > permohonan kasbonku ditolak *boss* yang notabene sahabat sendiri, adalah
> *hanya
> > Allah yang sesungguhnya dan selayaknya menjadi tempat bergantung*.
> Sedekat
> > apapun manusia, mereka punya keterbatasan dan tak bisa selalu diharapkan.
> >
> > Ketika kasbon ditolak sementara dokter sudah menvonis istriku harus
> > dioperasi caesar beberapa pekan lagi, datang tawaran dua order besar –
> yang
> > terbilang jarang aku dapat--kepadaku. Aku ajukan kesanggupan dan minta
> > klien-klienku tersebut setor uang muka (DP, *down payment*) terlebih
> dulu.
> > Kendati itu harus aku tebus dengan bekerja dobel keras karena selepas *
> > ngantor* aku harus begadang hingga dini hari untuk menyelesaikan kedua
> order
> > tersebut hingga sebulan lebih. Tapi dengan itulah aku dapat mencukupi
> biaya
> > operasi caesar istriku. Alhamdulillah, anakku lahir dengan selamat.
> > Laki-laki. Muhammad Alham Navid namanya.
> >
> > Empat puluh hari pertama bagi seorang ayah baru sepertiku sungguh tak
> > terlupakan. Sementara berjuang bermalam-malam menyelesaikan dua order
> > terjemahan tersebut, aku juga harus membantu istriku mengganti popok bayi
> > atau menidurkannya. Frekuensi menyusui dan buang air (kecil dan besar)
> bayi
> > dalam 40 hari pertama sungguh dahsyat. Rata-rata nyaris seperempat jam
> > sekali. Alhasil, meski sudah dibantu ibu mertua dalam merawat bayi kami,
> aku
> > ambruk dan sempat jatuh sakit. Cukup parah hingga seminggu tidak
> *ngantor*.
> > Dan aku pikir itulah saat yang tepat untuk *resign*, berhenti bekerja.
> > Setelah agak membaik, aku pamit baik-baik dari kantor.
> >
> > Rasanya sudah cukup aku memperkaya sahabatku itu -- hingga tubuhku bobrok
> > -- yang tak peduli dengan kondisiku yang notabene pegawainya sendiri. Di
> > kantorku tersebut hanya ada dua orang tenaga penerjemah termasuk aku.
> > Sehingga aku tahu betul – semestinya – posisi tawar kami. Namun hidup
> memang
> > keras. Dan barangkali itu yang harus dijalani.
> >
> > Aku bukan *super daddy*, ayah super dan juga tak ingin menjadi seperti
> itu.
> > Aku hanya ingin jadi ayah yang baik, yang mampu memberikan kehidupan dan
> > penghidupan yang layak bagi anaknya. Jalan terbaik, yang ada di pikiranku
> > saat itu, adalah mencoba mandiri, berusaha sendiri. Jatuh bangun, aku
> pikir
> > sudah biasa, niscaya akan mendewasakanku.
> >
> > Tak urung aku *shock* juga ketika riak-riak besar yang lain menghantam.
> Dua
> > klienku yang sebelumnya itu -- ketika pekerjaan sudah aku serahkan --
> lari
> > dengan meninggalkan sisa tagihan tak terbayar. Jumlahnya mencapai enam
> > setengah juta rupiah. Lebih terpukul lagi ketika, saat malam berhujan
> lebat
> > dan dingin menyengat, dada kiriku nyeri dan aku terbatuk-batuk hebat di
> > kamar mandi. Ketika aku meludah, ludahku merah seperti bekas ludah
> nenekku
> > dahulu yang suka makan sirih. Merah darah. Berkali-kali aku meludah, hal
> > yang sama berulang. Juga di hari-hari berikutnya. *Ya Allah, cobaan
> apalagi
> > ini?*
> >
> > Bukan itu saja. Sebagian kawan tak percaya waktu aku bilang hidup satu
> atap
> > bersama mertua tidaklah mudah. Mereka mengajukan argumentasi soal
> > penghematan biaya hidup dan kemudahan saat mengurus anak yang masih bayi.
> > Aku tertawa. Aku dan kawan-kawan itu tak punya definisi yang sama soal
> > "tinggal di wisma mertua indah". Setiap definisi, seumum apapun
> cakupannya,
> > tentu tak sanggup mencakup sesuatu yang di luar kelaziman. Nah, itulah
> yang
> > aku jalani. Buktinya barangkali bisa ditanyakan pada mas kawin pernikahan
> > kami yang rajin "disekolahkan" di pegadaian. Barangkali saat ini mereka
> > sudah pintar mengajari kami – aku dan istriku – soal perjuangan hidup.
> >
> > Aku selalu menghibur istriku, setelah sholat malam dan di berbagai
> > kesempatan, bahwa roda senantiasa akan berputar asalkan kita tak kenal
> lelah
> > untuk memutarnya. Sebagai ayah, aku belajar mempersiapkan mental baja
> agar
> > anakku nanti tak lemah. Sepeninggalku, jika sampai waktuku, aku tak ingin
> > meninggalkan keturunan yang lemah, yang hanya bergantung pada orangtua
> > bahkan hingga mereka dewasa dan saatnya menikah. Bukankah anak singa
> takkan
> > lahir dari seekor kambing?
> >
> > Sesungguhnya penghiburan terutama bagi kami – yang penat dengan jungkir
> > balik kehidupan terutama pasca aku berhenti *ngantor* – adalah sang
> putera
> > tersayang, Alham. Beratnya yang pada usia tiga bulan mencapai lima kilo
> > lebih dengan pipi gembul dan perawakan jangkung membuatnya tampak lebih
> > besar dari bayi-bayi seusianya. Ocehannya yang banyak, terutama selepas
> > disusui, kerap membuatku sadar bahwa banyak hal yang patut disyukuri
> > ketimbang disesali dalam hidup ini.
> >
> > *"Mencintai seseorang akan membuatmu berani, dan dicintai seseorang akan
> > membuatmu kuat,"* demikian kata Lao Tze, sang filsuf dari Tiongkok kuno.
> Itu
> > pelajaran kedua bagiku sebagai ayah. Berani berhutang, bentuk praktisnya.
> >
> > Saat orderan terjemahan sepi, sementara aku mengisi waktu dengan menulis
> > untuk koran, dan kami berhari-hari bertahan hidup dengan mie instan plus
> > telur dan tak jarang hanya nasi goreng tanpa lauk – tanpa mertua dan
> kakak
> > ipar tahu – aku tak tega membiarkan anakku yang masih menyusui hanya
> dapat
> > asupan ASI yang alakadarnya. Selain menerjemahkan dan menulis,
> aktivitasku
> > sebagai *trainer* penulisan untuk anak-anak *dhuafa* sama sekali – dan
> > memang bukan tujuan – tidak dapat diandalkan untuk tambahan pendapatan.
> > Solusi kuno yang termudah, sejak awal peradaban manusia, untuk kekurangan
> > pendapatan adalah berhutang meski salah satu hadis Rasullulah SAW
> mengatakan
> > bahwa itu sebagian dari tanda-tanda kehinaan.
> >
> > Mata anakku yang bening dan besar saat menatapku, kerapkali saat aku
> gendong
> > untuk menidurkan atau membuatnya bersendawa, seakan bertanya
> kepadaku,"Abi
> > ngutang lagi ya?"
> >
> > "Iya nih," jawabku dengan mimik dibuat lucu untuk mencandainya. Biasanya
> ia
> > yang murah senyum akan tertawa terkekeh-kekeh. Terlebih lagi jika aku
> dengan
> > gokil menirukan gaya tangannya yang khas seperti gaya orang menyetir
> mobil
> > atau seperti gaya Superman terbang – dengan satu tangan teracung lurus ke
> > depan.
> >
> > "Nanti Alham sekolah yang tinggi ya. Biar jadi orang kuat," pesanku.
> Entah
> > mengerti atau tidak, ia tersenyum lebar. Tampak lucu menggemaskan dengan
> > penampakan gusi kosong dan binaran mata kelerengnya. Semoga saja harapan
> > ayahnya ini terpatri di alam bawah sadarnya kelak saat dewasa.
> >
> > Ya, menjadi orang kuat – dalam pengertian fisik, keimanan, ilmu,
> finansial
> > dan kedudukan – adalah syarat seorang pejuang, nama "Alham" adalah salah
> > satu nama penulis-pejuang yang aku kagumi, dalam apapun bentuk perjuangan
> > yang ditekuninya.
> >
> > Jika ada tangga menuju kesuksesan di masa depan yang harus didaki anakku
> ini
> > maka aku rela jadi anak tangga terbawah untuk ia pijak menuju pijakan
> > berikutnya. Ketika banyak orang maupun tetangga memuji-mujinya sebagai
> anak
> > yang "pintar" atau "responsif", aku termimpi-mimpi Alham berkuliah di
> luar
> > negeri. *Ah, mimpi yang indah*.
> >
> > Sayang aku lekas terbangun di dini hari itu. Entahlah apakah ini juga
> obsesi
> > masa laluku yang tak sampai ketika seorang dosen menawariku beasiswa S-2
> ke
> > Jerman bahkan ketika aku masih di semester lima. Sayang S-1 pun tak mampu
> > aku tamatkan. Kekurangan biaya, alasannya. Klise memang.
> >
> > Belajar menjadi ayah memang perlu waktu panjang. Aku rasa aku masih di
> tahap
> > teramat dini di usia anakku belumlah genap setahun. Namun pelajaran
> ketiga
> > yang utama yang aku dapatkan di tiga bulan menjadi ayah adalah: *jika ada
> > kemauan pasti ada jalan*. Dengan kondisi menjadi ayah dan suami
> > berpenghasilan tak menentu yang pernah tertipu orang, terlilit hutang dan
> > kehabisan tabungan – yang merupakan ujian Allah agar emas terpisah dari
> > loyang – aku belajar mengendalikan emosi, lebih menghargai istri dan
> belajar
> > mensyukuri yang ada serta lebih gesit mengejar peluang.
> >
> > Di titik inilah aku merasakan dengan makna sejati-jatinya bahwa
> pernikahan –
> > termasuk keberadaan anak --mendewasakan orang. Saat beberapa teman lajang
> > curhat kepadaku tentang susahnya hidup melajang dan mereka berangan-angan
> > tentang (melulu) indahnya pernikahan, aku tersenyum. Aku hanya berdoa
> semoga
> > kelak, dengan harapan semuluk itu, mereka tidak menyesal menikah.
> >
> > Karena sebenarnya ungkapan lama "sengsara membawa nikmat" dari Tulis
> Sutan
> > Sati – penulis Melayu angkatan Balai Pustaka – dalam konteks pernikahan
> > dapat terbolak-balik letaknya. Dan cinta tak selalu semakna dengan
> bisikan
> > mesra atau tatapan sayang. Cinta sejati lebih merupakan perjuangan yang
> tak
> > jarang berlumur peluh dan air mata.
> >
> > Itulah kisah di bulan-bulan awal lahirnya putera pertamaku. Satu tanda
> > cintaku untuk puteraku terkasih.
> >
> > Namun tak lengkap hidupku ini yang bagai mozaik jika hanya mengungkap
> satu
> > sisi saja. Jauh menapaktilasi sejarah hidupku, ada kenangan terselip di
> > lipatan waktu dalam neuron otakku. Sebuah kenangan untuk tanda cintaku
> bagi
> > sang guru.
> >
> >
> >
> > *Sebagai Murid*
> >
> > *"....Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa, dan tidak ada yang
> > dapat menambah umur kecuali amal kebaikan." (Hadis Riwayat Ahmad, Nasa'i
> dan
> > Ibnu Majah)*
> >
> > "Berangkat, Bu?" sapaku pada seorang ibu tua berjilbab yang sedang
> berjalan
> > tertatih-tatih menuju halte bus. Ia menggunakan tangkai payung panjang
> > sebagai tongkat.
> >
> > Wajah tuanya terperangah. Kacamata minusnya masih seperti dulu. Hanya
> > bertambah tebal. Di tengah kebingungannya berusaha mengenaliku, aku
> > menjumput lengan keriputnya dan mencium tangannya. Penghormatan untuk
> > guruku. Ibu guru spesialku.
> >
> > Keberkahan dan panjangnya umur, itulah yang aku pohonkan kepada Allah
> untuk
> > ibu yang satu ini. Di manapun ia berada saat ini. Ia bukan ibuku. Bukan
> juga
> > saudara atau kerabatku. Namun ia, dalam salah satu fase perjalanan
> hidupku,
> > sangat berarti. Dan tidaklah hidupku yang sekarang ini lengkap -- atau
> > bahkan mungkin aku tidak akan seperti sekarang ini -- jika tanpa amal
> > kebaikannya untukku. Yang ia lakukan dua puluh enam tahun lalu saat aku
> > masih di bangku Sekolah Dasar.**
> >
> > Bu Satimah, demikian kami memanggilnya. Ia guru kelas satu SD. Orang
> pertama
> > yang mengajariku baca tulis. Tentu itu memang tugas setiap guru kelas
> satu,
> > yang barangkali terasa wajar dan tidak istimewa. Barangkali demikian. Dan
> > memang amal kebaikan Bu Satimah – tanpa mengecilkan jasanya yang satu itu
> –
> > yang teramat istimewa padaku bukanlah saat ia memosisikan diri khusus
> > sebagai guru. Justru ketika ia memosisikan diri sebagai ibu, sebagai
> manusia
> > yang punya kepekaan dan nurani. Di situlah ia menjadi sangat berarti dan
> tak
> > tertandingi.
> >
> > *****
> >
> > Sewaktu kecil, aku menderita penyakit kencing batu sejak usia 4 tahun.
> Konon
> > sebabnya karena aku terlalu banyak mengonsumsi makanan dan minuman yang
> > manis-manis. Sakitku itu terus berlanjut ke tahun-tahun berikutnya hingga
> > sukses mengubahku yang semula bayi montok yang aktif menjadi balita yang
> > kuyu dan penyakitan.
> >
> > Pada usia 5 tahun, aku dikhitan. Anak-anak Betawi seusiaku memang lazim
> > dikhitan atau disunat pada usia dini. Bahkan ada yang sudah dikhitan
> sejak
> > masih seminggu setelah dilahirkan – dengan mencontoh Kanjeng Nabi
> Muhammad
> > SAW. Namun, khusus untukku, orangtuaku mengkhitankanku – dengan
> menumpang,
> > karena pertimbangan biaya, pada saat perayaan khitanan sepupuku –
> terutama
> > agar aku lekas sembuh dari penyakitku itu. Mereka tentu saja, yang sangat
> > aku yakin, tak tega melihat anak ke-8 mereka menjerit kesakitan tiapkali
> > buang air kecil dan tak bisa bermain leluasa seperti anak-anak sebayanya.
> > Tubuhku pun saat itu kurus, lesu dan bungkuk.
> >
> > Untuk yang terakhir itu karena, untuk menahan rasa sakit, aku sering
> > menempelkan perutku ke bagian paha. Menahan sekuat-kuatnya rasa sakit
> yang
> > mendera. Rasa sakitnya memang tak tertahankan. Karena urine harus
> berjuang
> > keras melewati gumpalan batu mengeras di kandung kemih. Serasa ada
> puluhan
> > pisau tajam mengiris bagian dalam kelaminku. Pernah saking putus asanya,
> aku
> > berdoa memohon kematian kepada Allah. Ya, aku ingin mati di usia muda
> agar
> > tak merepotkan orangtuaku lebih lama.
> >
> > Di usia semuda itu aku tahu betapa bingungnya kedua orangtuaku mencari
> biaya
> > ke dokter atau berobat alternatif. Mereka tahu satu-satunya jalan adalah
> > operasi. Namun, untuk memberi makan keenam anaknya yang hidup dari 12
> anak
> > yang terlahir, mereka berjuang susah payah. Jadi, opsi operasi sungguh
> suatu
> > kemewahan. Dan untuk menggapainya dibutuhkan keajaiban.
> >
> > Solusi realistis, menurut saran-saran tetangga, adalah aku harus
> dikhitan.
> > Barangkali karena niat baik tersebut penyakitku mereda. Aku tak lagi
> sepayah
> > tahun-tahun sebelumnya kendati masih harus rutin mengonsumsi jamu-jamu
> dan
> > rebusan daun kumis kucing. Saat itu, era 1980-an, memang belum ada pil
> > praktis atau obat instan seperti saat ini yang dapat menghancurkan batu
> > dalam kandung kemih. Operasi laser, tanpa harus melalui pembedahan, untuk
> > pasien kencing batu juga belum dikenal.
> >
> > Bagi kami, aku dan keluargaku terutama kedua orangtuaku, sekedar mereda
> pun
> > sudah merupakan nikmat Allah yang patut disyukuri. Setidaknya aku dapat
> > bersekolah seperti anak-anak kebanyakan. Meski untuk aktivitas permainan
> > remeh temeh yang umumnya saat itu lazim dikuasai anak-anak sebayaku –
> > seperti bermain layang-layang dan bersepeda -- aku sangat tertinggal.
> > Penyakitku memang memaksaku tak boleh kelelahan dan harus banyak berdiam
> di
> > rumah. Aku baru bisa belajar bersepeda saat kelas 5 SD.
> >
> > ***
> >
> > Tahun 1983, saat usiaku 6 tahun, aku dimasukkan ke sebuah sekolah dasar
> > negeri di dekat rumahku di bilangan Jakarta Selatan. Bu Satimah adalah
> > guruku di kelas satu. Sebagaimana umumnya guru-guru kelas satu, ia *welas
> > asih*, penyayang, ramah dan baik hati. Satu hal yang paling mengesankan
> > bagiku adalah saat ia menunjukkan pendiriannya dan kepeduliannya.
> >
> > "Kamu harus tetap sekolah," ujarnya padaku. "Salam harus ikut testing,"
> ia
> > tegaskan itu di depanku dan ibuku serta di hadapan guru-guru lain di
> ruang
> > kepala sekolah. "Meskipun testingnya di rumah."
> >
> > "Siapa yang bertanggung jawab? Siapa yang bisa jamin?" tanya seorang guru
> > perempuan, dengan nada sinis.
> >
> > Bu Satimah menatap tegar. "Saya yang jamin. Saya yang bertanggung jawab."
> >
> > Saat itu, di akhir kelas satu, kembali penyakitku bertambah buruk. Aku
> tak
> > bisa keluar rumah. Ibuku pun meminta kebijaksanaan dari sekolah agar aku
> > diberikan dispensasi untuk mengikuti testing di rumah. Itu memang di luar
> > kebiasaan dan peraturan umum sekolah. Terlebih lagi kami sebagai pihak
> yang
> > mengajukan bukanlah orang yang berkecukupan, bahkan serba kekurangan. Itu
> > jelas, bagi pihak sekolah, sebuah permintaan yang luar biasa – jika tidak
> > bisa dibilang mengherankan.
> >
> > Pandangan tersebut tercermin jelas dalam rapat dewan guru yang dipimpin
> > kepala sekolah. Sebagian melecehkan bahkan menyinggung hal-hal lain yang
> tak
> > relevan dengan permohonan dari ibuku. Aku dan ibuku duduk mengikuti rapat
> > tersebut dengan berdebar. Aku merasa bagai pesakitan atau terdakwa saat
> itu.
> >
> >
> > Tapi saat itu aku merasakan betapa ibuku – yang hanya berpendidikan kelas
> 4
> > SD – punya keberanian besar, yang jelas didorong cinta, agar anaknya
> tetap
> > dapat bersekolah. Seburuk apapun kondisinya. Aku makin cinta ibuku yang
> > duduk terdiam di sampingku. Ia yang lugu tampak bersahaja dengan kerudung
> > dan kebaya yang dikenakannya. Aku tahu dalam diamnya ia berdoa untukku.
> Dan
> > aku tahu aku merasakan cintaku untuknya makin besar semenjak itu.
> >
> > Ternyata dalam ruangan itu tak hanya ada satu cinta untukku. Dukungan
> yang
> > diberikan Bu Satimah dengan tegas untuk kelanjutan sekolahku memapas
> > pelecehan dan pesimisme pihak sekolah. Meski aku tahu beberapa guru
> seakan
> > bersungut-sungut, tapi sang malaikat penyelamat itu – dengan rambut ikal
> > pendeknya dan kacamata minusnya – bersiteguh dengan argumentasinya yang
> > cerdas. Wajahnya memang terkesan keras. Konon ia kelahiran Jawa Timur.
> Namun
> > hari itu ia menunjukkan kelembutan sayap-sayap hatinya. *My teacher, I
> love
> > you!*
> >
> > Bukan itu saja yang membuatku kian salut kepadanya. Setelah perjuangannya
> > yang keras di depanku, ia memberikan kepercayaan yang besar kepadaku dan
> > keluargaku. Semestinya, dengan saran kepala sekolah, Bu Satimah harus
> selalu
> > mengawasi aku ketika sedang mengerjakan soal testing di rumah. Namun ia
> > sepenuhnya memercayakan pengawasan itu kepada kedua orangtuaku. Selama
> pekan
> > testing, ia hanya mengantarkan bahan testing ke rumahku dan mengambilnya
> > selepas jam sekolah.
> >
> > "Saya percaya kok bapak ibu orang jujur. Salam juga anak jujur. Jadi saya
> > percaya saja," demikian jelasnya. Kedua orangtuaku yang terharu dengan
> > kepercayaan tersebut menjaga betul amanah tersebut. Bahkan ayahku tak
> > segan-segan menjewer salah satu kakakku yang mencoba membantuku
> mengerjakan
> > soal testing. Kepercayaan memang barang mahal.
> >
> > *Alhamdulillah*, dengan prosedur testing yang `di luar kebiasaan'
> tersebut,
> > aku dinyatakan berhak naik kelas ke kelas dua. Namun sakitku yang
> bertambah
> > parah, dan ketiadaan dana orangtuaku, aku pun cuti dari sekolah.
> *Bedrest*.
> > Lagi-lagi di luar kebiasaan. Setahun kemudian – setelah menjalani operasi
> > pada 1984 dengan biaya pinjaman dari kerabat – aku melanjutkan ke kelas
> dua.
> > Teman-teman seangkatanku sendiri sudah berada di kelas tiga.
> >
> > Bu Satimah juga yang mengusulkan gagasan cuti tersebut. Dan, lagi-lagi,
> > dengan gemilang ia membelaku di hadapan para rekan sejawatnya. Sungguh,
> > bagiku, ia malaikat. Siapa pula yang saat itu – mungkin hingga kini --
> mau
> > membela murid miskin sakit-sakitan tanpa bayaran? Di tahun-tahun
> belakangan,
> > setelah memahami realitas kehidupan, aku semakin menganggapnya
> malaikatku.
> >
> > Sayang tahun-tahun berlalu membawa sekaligus melipat segala kenangan
> > termasuk kebaikan. Waktu memang paling ampuh memunahkan segalanya.
> Ditakar
> > dengan besarnya jasa Bu Satimah, balasanku atas kebaikannya sangat tak
> > sepadan. Aku hanya satu dua kali berkunjung ke rumahnya. Itu pun semasa
> aku
> > bersekolah di SD. Selepas SD, aku sama sekali melupakannya. Kendati
> ibuku,
> > yang merasa amat berhutang budi kepada Bu Satimah, selalu memintaku
> > mengunjungi sang ibu guru yang hidup sederhana di bantaran Kali Ciliwung
> > yang selalu kebanjiran dari tahun ke tahun.
> >
> > Yang aku tahu, untuk beberapa belas tahun kemudian, Bu Satimah masih
> > mengajar kelas satu di almamaterku itu. Dengan penampilan fisik yang
> menua
> > dan gaya jalan yang tak lagi gagah dan cepat seperti dulu. Tapi,
> lagi-lagi
> > hanya berdasarkan kabar, di usia menjelang pensiun ia masih melanjutkan
> > kuliah S-1 di IKIP Jakarta. Guru-guru SD seangkatannya – dan yang menjadi
> > para guruku di SD – memang lulusan SPG, sebuah sekolah pendidikan guru
> > tingkat menengah yang telah dibubarkan pemerintah.
> >
> > Hingga terjadilah pertemuan saat itu antara si Malin Kundang ini dengan
> sang
> > malaikat penyelamatnya – yang ironisnya telah dilupakannya
> bertahun-tahun.
> >
> > "Sudah SMP kamu, Lam?" Bu Satimah akhirnya mengenaliku. Pandangannya
> > menelisik dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku yang masih kelas tiga
> SMP
> > saat itu merasa risih juga dengan bulu kakiku yang mulai tumbuh lebat.
> >
> > "Makin jangkung aja!" Ia tersenyum. "Belajar yang bener ya!" Ia
> > menepuk-nepuk bahuku yang kini jauh lebih tinggi darinya. Malaikat
> berhati
> > emas ini memang berukuran tak seberapa tinggi namun – dalam kenanganku –
> > nyalinya dan kepeduliannya jauh melebihi tinggi fisik tubuhnya.
> >
> > Teramat sayang saat pertemuan itu – mungkin karena gumpalan perasaan yang
> > campur baur di hatiku – aku tak banyak berkata-kata. Bertemu dengannya –
> > setelah aku lama melupakannya – bagaikan bertemu dengan seorang pemberi
> > hutang yang sama sekali tak menagih hutang dan bersikap seakan-akan kita
> tak
> > punya hutang kepadanya. Hanya saja sang pengutang, dalam hal ini aku,
> yang
> > merasa kikuk bukan kepalang.
> >
> > Di akhir pertemuan singkat itu, Bu Satimah menawariku berkunjung ke
> > rumahnya. Dengan gaya polos ABG, aku jawab,"Iya, Bu, kapan-kapan." Aku
> lupa
> > mengucapkan "Insya Allah". Dan memang bertahun-tahun setelahnya aku tak
> > pernah mampir ke rumahnya yang terletak di daerah Cawang. Hanya beberapa
> > kilometer dari rumahku. Hanya dibatasi Kali Ciliwung yang kecoklatan
> airnya.
> >
> > Sewaktu kuliah, aku pun mendapat kabar ia tak lagi tinggal di situ. Tak
> > seorang pun di sekitar rumah lamanya itu yang tahu kemana sang malaikat
> itu
> > berada.
> >
> > Aku kian merasa sebagai Malin Kundang. Bahkan hingga saat ini, detik ini.
> >
> > Namun lebih jauh ke belakang ada kenangan mengharukan lain yang juga
> > membuatku merasa sebagai anak durhaka, si Malin Kundang. Kenangan yang
> > merupakan tanda cinta yang lain, untuk kedua orang tuaku.
> >
> >
> >
> > *Sebagai Anak*
> >
> > Lebaran selalu identik dengan baju baru. Sudah lazim orang bertanya di
> > penghujung Ramadhan,"Eh, sudah beli baju baru belum?" Entahlah, sejak
> kapan
> > tradisi membeli baju baru untuk Lebaran ini berawal. Padahal Nabi
> Muhammad
> > SAW dalam salah satu hadisnya dalam Shahih Bukhari hanya memerintahkan
> kita
> > mengenakan "pakaian yang terbaik" pada hari raya Idul Fitri. Tapi
> "terbaik"
> > di sini selalu dimaknai sebagai sesuatu yang "baru".
> >
> > Di zaman penjajahan dulu saat kehidupan sehari-hari susah termasuk untuk
> > makan apalagi untuk beli baju, hal tersebut dapat dipahami. Tidak ada
> > pakaian sehari-hari yang "layak" atau "terbaik" dipakai pada hari raya. *
> > Wong*, ada yang sampai bikin celana dari karung goni atau karung beras
> kok.
> > Bila dari kain belacu, itu sudah lumayan, demikian cerita almarhum
> ayahku.
> > Maka wajarlah bila yang terbaik dimaknai sebagai sesuatu yang baru. Tapi
> di
> > zaman saat ini, anehnya, tradisi itu terus berlangsung. Meski saat ini
> > banyak orang sanggup beli baju tiap bulan, bahkan setiap momen khusus,
> entah
> > pesta ulang tahun atau piknik.
> >
> > Namun sewaktu aku kanak-kanak, pikiran bijak tersebut sama sekali jauh
> dari
> > pikiran. Yang aku tahu adalah jika aku tak punya baju baru berarti aku
> > berbeda dari teman-teman sepermainanku. Dan aku malu karenanya. Itu saja.
> > Sebetulnya kondisi ekonomi keluargaku tahun 80-an itu juga
> memprihatinkan.
> >
> > Saat itu keluargaku masih lengkap. Sangat lengkap, ada ayah dan ibu dan
> enam
> > anak-anaknya. Aku sendiri anak kelima dari enam bersaudara. Empat
> laki-laki
> > dan dua perempuan. Semuanya bersekolah, dan belum ada yang bekerja saat
> itu.
> > Suatu kondisi yang lumayan berat bagi ayahku (kami biasa memanggilnya
> *aba*)
> > yang hanya montir mobil panggilan. Ibu hanya ibu rumah tangga biasa, yang
> > coba membantu *aba* dengan membuat kue yang dititipkannya di
> warung-warung
> > di dekat rumah.
> >
> > Ada juga tambahan penghasilan dari beberapa petak rumah kontrakan yang
> baru
> > dirintis *aba* yang sayangnya tak cukup menutupi kebutuhan keluarga.
> Maklum,
> > rumah kontrakan kami kecil dan tidak terlalu bagus sehingga *aba* tak
> > terlalu tega untuk mengenakan harga sewa yang tinggi. Apalagi harga sewa
> > rumah kontrakan saat itu tidak setinggi sekarang.
> >
> > Aku ingat betul waktu itu seminggu lagi Lebaran. Aku kelas tiga SD,
> sembilan
> > tahun usiaku. Agak telat memang. Karena di kelas satu SD aku sempat cuti
> > sekolah karena sakit kencing batu. Baru kemudian atas jasa baik Bu
> > Satimah—guruku di kelas satu—aku dapat melanjutkan sekolah di kelas dua
> di
> > sekolah yang sama tanpa harus membayar biaya tambahan.
> >
> > Ya, sakit yang mengharuskan aku istirahat selama setahun di rumah itu
> > sangat membebani keluarga untuk ongkos pengobatan kesana-kemari. Atas
> izin
> > Allah, *alhamdulillah*, aku sembuh setelah batu sebesar kepalan tangan
> bayi
> > itu berhasil diangkat dari kandung kemihku melalui operasi bedah. Waktu
> itu
> > belum dikenal teknologi bedah laser sehingga aku harus mendapat beberapa
> > jahitan. Biaya operasinya tiga ratus ribu rupiah (ingat saat itu tahun
> > 1984!), hasil berhutang dari salah seorang pemilik warung tempat ibuku
> biasa
> > menitipkan dagangan kuenya.
> >
> > Alhasil persoalan baju baru adalah persoalan istimewa bagiku. Tidak
> setiap
> > bulan aku bisa punya baju baru. Sering juga memang langganan kerja
> > *aba*—kebanyakan
> > etnis Cina di kawasan Jakarta Barat—memberikan pakaian bekas mereka—yang
> > menurutku bekas hanya karena jarang sekali dipakai atau tertumpuk di
> lemari
> > pakaian—yang masih bagus-bagus sebagai bonus atas kerjanya yang dianggap
> > memuaskan ketika memperbaiki mobil mereka. Tapi ya tetap saja judulnya
> baju
> > bekas, bukan baju baru ya *to*?
> >
> > "Lam, lo udah punya baju baru belom?" tanya salah seorang temanku. Kami
> > sedang bermain *gundu* alias kelereng menunggu beduk berbuka puasa.
> >
> > Aku pura-pura sibuk membersihkan kelereng-kelerengku yang berdebu. Tanah
> > tempat kami bermain memang berdebu. Waktu itu kemarau.
> >
> > "Gue sih udah punya dua. Satu baju koko, satu kaos!" tukas temanku yang
> lain
> > berbangga. Senyumnya cerah. Bagiku itu senyum mengejek.
> >
> > Obrolan pun beralih ke topik baju baru. Ah, panas sekali telingaku. Aku
> juga
> > saat itu bingung kenapa ibu belum juga mengajakku ke pasar. Biasanya dua
> > pekan sebelum Lebaran ibu mengajakku—karena adikku masih dianggap terlalu
> > kecil—berbelanja baju Lebaran di Pasar Jatinegara. Pasar yang padat dan
> > sumpek di tepi lapangan Jenderal Oerip Soemohardjo, Jakarta Timur. Tapi
> aku
> > ingat betul betapa harumnya bau baju-baju baru yang tergantung di
> kios-kios
> > pedagang maupun emperan kaki lima. Tak peduli peluh dan lelah karena
> > seringkali ibu harus bolak-balik masuk toko mencari barang terbaik dengan
> > harga termurah. Tapi aku senang-senang saja. Itulah ritual menjelang
> > Lebaran.
> >
> > Ketika aku pulang ke rumah pun, *aba* dan ibu sama sekali tak membahas
> soal
> > baju baru. Kakak-kakakku yang lain juga bersikap biasa-biasa saja.
> Kakakku
> > yang terdekat perempuan, selisih usia kami tiga tahun. Mungkin ia sudah
> > cukup paham. Tapi itu dia, bukan aku.
> >
> > Malam harinya selepas sholat Tarawih, aku bergegas sampai ke rumah paling
> > awal. Ketika ibu baru merapikan mukenah dan sajadahnya dari masjid, aku
> > langsung merajuk meminta. Ibu cuma bilang,"Nanti juga dibeliin. Sabar!"
> Aku
> > tak puas. Aku dekati *aba* yang sedang asyik merokok di ruang depan.
> > Jawabnya pun sama,"Sabar ye…"
> >
> > Aku pun pupuk kesabaran hingga beberapa hari. Tinggal tiga hari menjelang
> > Lebaran. Ibu sudah sibuk membuat kue Lebaran. Sebagian pesanan tetangga.
> > Tapi ada yang kurang. Baju baru. Anehnya kakak-kakakku masih
> tenang-tenang
> > saja. Entahlah apakah ibu sudah berhasil memenangkan mereka. Adikku
> sendiri
> > yang selisih usia empat tahun di bawahku, anehnya, tak seribut aku.
> Rasanya
> > di hari-hari menjelang Lebaran jantungku kian berdebar. Tiap malam saat
> > keluarga berkumpul menonton TV—saat itu masih hitam putih 14 inci—aku
> > berharap ibu akan berkata,"Lam, besok ke pasar yuk!"
> >
> > Namun ucapan itu tak kunjung keluar dari bibirnya. *Aba* pun ketika
> > `kudesak-desak kembali hanya membentak dengan mata mendelik,"Tanya ibu lo
> > sono!" Ah, rasanya kesabaranku habis. Tangisku meledak. Esoknya, dua hari
> > menjelang Lebaran, aku tidak bermain keluar rumah. Sekolah memang sudah
> > libur. Aku berdiam saja di rumah. Tidak kemana-mana. Hanya mendekam di
> > kolong tempat tidur. Aku sedang protes!
> >
> > *Aba* dan ibu membujuk. Kakak-kakakku mengiming-imingi janji beli permen
> > atau penganan. Semuanya membujuk agar aku mau keluar dari kolong tempat
> > tidur. Cukup lama aku bertahan, sambil sesekali berteriak dan menangis.
> Aku
> > tak peduli meski salah satu kakakku bilang puasaku batal karena aku
> > menangis.
> >
> > Ubin lantai di kolong tempat tidur dingin dan agak berdebu.
> Kerongkonganku
> > lelah berteriak. Dada juga sakit dan leher pegal karena tak bisa tegak.
> Aku
> > pun terbatuk-batuk hebat. Tapi biarlah. Aku lebih rela begini daripada
> malu
> > tak punya baju baru, pikirku.
> >
> > Menjelang azan Ashar, ibu menyerah. Beliau janji mengajakku ke pasar
> > keesokan harinya. Wah, hilang sudah pegal, dingin dan batukku! Terbayang
> aku
> > bisa sholat Ied, berkunjung ke rumah kerabat, dan paling penting bisa
> > beramai-ramai bersama teman-temanku berbaris meminta *angpao *dari para
> > tetangga. Itu momen-momen terindah saat Lebaran. Dan itu mustahil tanpa
> baju
> > baru.
> >
> > Alhasil, sehari menjelang Lebaran itu, jadilah aku punya baju baru.
> Seharian
> > ibu mengajakku berbelanja baju. Ternyata termasuk baju Lebaran untuk
> > kakak-kakakku. Mungkin *aba* dan ibu sebenarnya sudah punya uang untuk
> beli
> > baju. Tapi tunggu waktu yang tepat, batinku. Ah, yang penting hatiku
> gembira
> > sekali saat itu.
> >
> > Malamnya malam Takbiran. Selepas takbiran bersama di masjid, aku lekas
> > pulang ke rumah. Mengepaskan baju baruku di depan cermin. Ya, baju yang
> > didapat dengan perjuangan keras. Keras betul, menurutku. Anehnya, meski
> film
> > terakhir di TV—saat itu paling malam siaran TVRI berakhir pukul dua belas
> > dengan acara terakhir film Barat. Itu pun hanya satu film sepanjang
> hari—aku
> > tak merasa mengantuk sama sekali.
> >
> > Lamat-lamat kudengar *aba* dan ibu berbincang-bincang di kamarnya.
> >
> > "Pinjem duit siape buat belanje tadi?" Suara *aba* terdengar bertanya.
> >
> > Terdengar tarikan nafas berat ibu. "Nunung kasih pinjem. Kapan aje
> > gantiinnye katenye." Nunung adalah adik tiri *aba*. Suaminya, Om Misdi,
> > seorang pematung yang sering dapat orderan dari luar daerah. Kehidupan
> > mereka memang lebih berada daripada kami.
> >
> > Tarikan nafas berat *aba* menyusul. "Gak enak juga ye minjem mulu ame
> die."
> >
> > "Ye, gak pape deh. Tadi juga ditahan-tahanin malunye. Namenye juga buat
> > anak."
> >
> > Sunyi. Sesunyi perasaanku malam itu. Kegembiraan malam itu terasa
> berkurang.
> > Ya, demi anak. Duh, *aba*, ibu, maafkan aku. Peristiwa malam Takbiran itu
> > sangat membekas. Seingatku, itulah terakhir kalinya aku merengek minta
> baju
> > baru untuk Lebaran. Toh, tanpa aku merengek pun, tahun-tahun berikutnya
> > kedua orangtuaku tak pernah lupa membelikan kami baju baru untuk Lebaran.
> > Entah, barangkali dengan uang tabungan atau kembali berhutang, aku tak
> tega
> > menanyakannya. Cukuplah mereka hanya tahu kami gembira menerimanya.
> >
> > Sayang ibuku keburu wafat pada 1997 saat aku baru menginjak tahun pertama
> > kuliah di Universitas Indonesia (UI). Aku belum bisa membelikannya baju
> baru
> > untuk Lebaran. Namun, setidaknya untuk beberapa tahun kemarin--ketika aku
> > sudah punya penghasilan sendiri--aku sempat membelikan baju Lebaran untuk
> *
> > aba*: baju koko, peci dan sarung untuk sholat Ied. Tidak mahal-mahal
> sekali,
> > tapi itu pun sudah bagus sekali, kata *aba* sambil berucap terima kasih.
> > Binar riang matanya dan senyum bangganya ketika berterima kasih padaku
> sudah
> > cukup melegakanku. Moga itu bisa menebus rasa susah hatinya saat aku
> protes
> > sambil *ngumpet *di kolong tempat tidur dulu. Orang tua manapun pasti
> pusing
> > jika anak merengek minta baju baru sementara tak ada uang di saku.
> Mungkin
> > aku juga begitu jika kelak menjadi orang tua, Insya Allah..
> >
> > Di tahun 2006, sebetulnya aku berencana memberikan baju koko dan sarung
> > terbaik buat *aba*. Namun Allah berkehendak lain. *Aba* berpulang ke
> > rahmatullah pada usianya ke-73 tepat *nisfu sya'ban*, lima belas hari
> > menjelang Ramadhan tahun itu. Tepat *ba'da* Maghrib 8 September 2006.
> Duhai,
> > betapa sunyinya Ramadhan saat itu tanpa kedua orang tua. Baju baru memang
> > bukan masalah lagi, tapi apalah artinya tanpa kedua orang tua di hari
> raya
> > nan fitri?
> >
> > Ah, aku teringat sebuah perkataan bijak dalam salah satu buku yang pernah
> > kubaca,"Kasih sayang anak ketika merawat orang tua takkan pernah dapat
> > menebus kasih sayang orang tua terhadap anak. Orang tua merawat anak
> ketika
> > kecil hingga dewasa tanpa tahu bagaimana akhirnya kelak apakah sang anak
> > akan membalas budinya atau justru mendurhakainya. Sementara anak merawat
> > orang tua dengan sebuah akhir yang diketahuinya bahwa orang tuanya akan
> > wafat di hari tua." Jadi jelas nilainya sangat berbeda. Kasih orang tua
> > sepanjang hayat, kasih anak sepanjang galah.
> >
> > Dalam hati aku berdoa,"Ya Allah, pakaikan kedua orang tuaku baju baru di
> > surga-Mu." *Amien yaa robbal `alamien*.
> >
> > Ya, "amin" adalah ucapan penutup yang indah untuk semua kenangan dan
> > harapan. Bagiku, ketiga kenangan tersebut adalah tiga tanda cinta yang
> > memancarkan keindahan dengan caranya masing-masing. Keindahan yang tak
> > sekadar jadi bahan nostalgia bertahun-tahun kemudian namun menumbuhkan
> élan
> > vital dalam diriku bahwa aku telah berdiri di atas bahu-bahu raksasa ayah
> > dan ibuku serta guruku untuk menopang puteraku melihat lebih jauh,
> melompat
> > lebih tinggi dariku nantinya. *****
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > --
> > "There is no life without risks"
> > Nursalam AR
> > Translator - Writer - Trainer
> > 0813-10040723
> > 021-92727391
> > Facebook: www.facebook.com/nursalam.ar
> > Blog: www.nursalam.multiply.com
> >
>
>
>

--
"There is no life without risks"
Nursalam AR
Translator - Writer - Trainer
0813-10040723
021-92727391
Facebook: www.facebook.com/nursalam.ar
Blog: www.nursalam.multiply.com
2d.

Re: [Catcil] Tiga Tanda Cinta

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Sat Nov 28, 2009 6:02 pm (PST)



Ah, sekadar berbagi catatan ringan, yang mungkin bagi sebagian orang
dianggap "menjual" derita --yes, somebody did it to me! Tapi, syukurlah,
jika bermanfaat buat Mbak Mimin. Btw, kisah perjuangan hidup Mbak Mimin juga
inspiratif lho.Mungkin suatu kali perlu dibagikan juga -- dengan beberapa
penyesuaian tentunya:).

Amin untuk doanya. Ya, Alham adalah anak zaman, ia tidak hidup di era saya
tapi di zamannya yang lebih keras. Semoga saja obsesi itu bukan obsesi
pribadi saya yang tertumpah ke bahunya,hehe...Doakan saja agar niat itu
lurus, dan dipeluk Allah:).

Makasih sudah berkomentar positif...

Tabik,

*Nursalam AR*

2009/11/25 Mimin <minehaway@gmail.com>

>
>
> TFS,
> Waw...saya terharu baca kisah hidup Bang Salam
> Pas istirahat tadi sempat baca sampai habis, mataku meleleh hiks..
> Saya selalu salut dan kagum dengan sosok pejuang di samudera kehidupan
> Salam sayang buat Alham, moga impian Abah nya agar bisa kuliah di LN
> menjadi kenyataan.
>
>
> --
> http://minesweet.co.cc
> http://minehaway.com
>
>

--
"There is no life without risks"
Nursalam AR
Translator - Writer - Trainer
0813-10040723
021-92727391
Facebook: www.facebook.com/nursalam.ar
Blog: www.nursalam.multiply.com
3.

Boleh Jadi Kandungan Babi, sudah menjalar ke tubuh kita

Posted by: "Mujiarto Karuk" mkaruk@yahoo.com   mkaruk

Sat Nov 28, 2009 4:44 pm (PST)





Boleh Jadi, Kandungan Babi Sudah Menjalar ke Tubuh Kita!

Oleh : Redaksi 10 Oct, 09 - 11:00 am

Christein MeindertsmaKecuali
suara khas jeritannya, kandungan hewan ini seakan menginvasi kehidupan
manusia. Dari permen hingga peluru dan senjata kimia!

Bagi mereka yang mengkonsumsi daging babi, ketika menikmati sepotong
bacon sandwich, mungkin hanya sedikit yang bertanya-tanya kemana
perginya bagian tubuh lain dari babi yang telah mengorbankan nyawanya
untuk manusia itu. Seorang penulis yang penasaran, Christein Meindertsma , mencoba melacak kemana saja bagian-bagian tubuh babi itu pergi.

"Seperti kebanyakan orang, saya hanya sedikit mengetahui apa yang
terjadi setelah seekor babi meninggalkan rumah jagal. Oleh karena itu
saya berusaha untuk mencari tahu. Saya mendatangi seorang teman
peternak babi yang setuju mengizinkan saya untuk mengikuti salah satu
dari hewan-hewannya."

Dengan nomor identitas 05049 yang tertulis pada label
kuning yang melekat di telinganya, perjalanan seekor babi berakhir
dalam keadaan yang menakjubkan. Bagian-bagian tubuhnya digunakan paling
tidak untuk 185 keperluan yang berbeda. Mulai dari pabrik permen dan
shampo, hingga roti, body lotion, bir, dan peluru.

Christein Meindertsma

Christein berkata, "Saya sangat terkejut ketika saya mulai mengetahui
betapa luar biasa dan bervariasinya kegunaan dari seekor babi.
Sepertinya pada masa sekarang ini, babi tidak lagi sekedar dipandang
sebagai hewan , tapi lebih sebagai bahan baku mentah industri dengan
jenis pemanfaatan berbeda yang jumlahnya tidak terbayangkan."

Proses Piramid Pig Fat bahan baku Untuk Makanan & Cosmetik dll

Makanan & Agar Agar/Gel yg kebanyakan dibuat dari bahan Gelatin
Permen Percy Pigs[Menurut
catatan babi dengan nomor identitas 05049 yang diikutinya, sebanyak 4,9
pon dari total bobot tubuhnya 272 pon, digunakan untuk pembuatan permen
kenyal. Sementara 4,8 pon digunakan untuk pembuatan permen liquorice.
Dalam proses tersebut, kolagen dikeluarkan dari babi, kemudian diubah
menjadi gelatin. Dari sini kemudian, penggunaannya dalam proses
produksi makanan semakin beragam, terutama sebagai agen pembentuk gel.

Meskipun tidak semua permen di Inggris mengandung gelatin babi, tapi
banyak yang menggunakannya. Termasuk permen produksi Marks &
Spenser yang sangat populer dan sesuai namanya, yaitu permen Percy Pigs.

Tidak hanya permen yang mengandung gelatin. Dalam bir, anggur, dan jus,
gelatin babi digunakan untuk menghilangkan warna keruh dari minuman.
Gelatin itu bekerja sebagai agen pencerah, dengan cara bereaksi dengan
tannin dalam cairan dan menyerap keruh.

Sebagian eskrim, whipped cream, yogurt, dan juga mentega, mengandung
gelatin. Demikian pula makanan hewan peliharaan. Yang lebih
mengejutkan, sejumlah produk obat-obatan juga mengandung gelatin.
Semuanya, mulai dari penghilang rasa sakit hingga multivitamin.

Berbagai produk makanan, Yoghurt & kosmetik yg menggunakan GelatinProduk-produk
kebersihan diri dan kecantikan, juga dibuat dengan bahan babi. Asam
lemak dikeluarkan dari lemak tulang babi, yang digunakan dalam shampo
dan conditioner untuk memberi efek tampilan yang bersinar, sepeti
mutiara. Jenis asam ini juga bisa ditemui di sejumlah body lotion, alas
bedak, dan krim anti kerut.

Glycerin yang dihasilkan dari lemak babi, juga digunakan sebagai bahan dalam pembuatan berbagai macam produk pasta gigi.

Christein yang berasal dari Belanda, adalakalanya bertemu dengan
beberapa perusahaan yang enggan untuk membantu dalam petualangannya
mengikuti perjalanan sang babi. Sebagian perusahaan lainnya menyatakan,
tidak sadar jika produk mereka mengandung elemen yang diambil dari
bagian tubuh babi, karena ada pihak antara yang terlibat dalam proses
produksi dan distribusinya.

Kebingungan konsumen juga tidak terbantu dengan hanya melihat label
bahan pembuatan produk, karena tidak dijelaskan dari mana bahan-bahan
itu diambil.

Menurut Food Standards Authority, tidak ada kewajiban hukum bagi
produsen untuk menyebutkan secara khusus, apakah gelatin yang mereka
gunakan berasal dari babi atau hewan lain. Bila disebut secara khusus
dengan sebutan suiline gelatin, seringkali membingungkan. Karena
suiline bukanlah kata yang dikenal masyarakat umum (dalam bahasa
Inggris).

Menurut Richard Lutwyche, seorang peternak babi yang berpengalaman
lebih dari 60 tahun, Ketua Traditional Breeds Meat Marketing Company
dan seorang anggota dari British Pig Association, alasan terbesar dari
kebingungan masalah produk babi ini karena kebanyakan peternakan babi
berskala industri.

"Di Inggris, peternakan komersial besar mengirim babi-babi mereka ke
sejumlah rumah jagal besar. Tempat pejagalan yang akan menjual
babi-babi itu ke pasar yang berbeda, berdasarkan produksinya," kata
Lutwyche.

"Apapun yang tidak bisa mereka jual, maka mereka harus membakarnya.
Maka adalah demi kepentingan mereka, untuk menjual sebanyak mungkin
yang mereka bisa."

Bagian daging & Lemak Babi

"Ada
ungkapan lama yang mengatakan, 'bicara soal babi, Anda bisa
memanfaatkan semuanya, kecuali bunyi jeritannya.' Selama lebih dari 100
tahun penggunaannya berkembang pesat," ujar Lutwyche.

Yang mengejutkan, banyak produk lain yang juga dibuat dengan babi
sebagai bahannya. Seperti negatif film yang menggunakan kolagen dari
tulang babi. Sepatu yang menggunakan kulit babi dan lem tulang dari
babi untuk meningkatkan kualitas bahan-bahan kulit lainnya. Serta cat
yang menggunakan lemak tulang babi untuk memperkuat efek bersinarnya.

Sebagian pabrik rokok menggunakan hemoglobin dari darah babi untuk membuat filter pada rokok.

Lain kali jika membeli roti, mungkin Anda perlu melihat kemasan
pembungkusnya. Sebagian produsen menggunakan L-cysteine, yaitu protein
yang dibuat dari bulu babi atau hewan lain, yang berguna untuk
melembutkan adonan.

Penggunaan paling aneh dari babi yang berhasil ditemukan Christein
adalah dalam pembuatan peluru dan bahan peledak. Gelatin tulang babi
digunakan untuk memasukkan bubuk mesiu ke dalam peluru.

Sulit rasanya untuk tidak terkesan dengan variasi dan fleksibitas dari
hewan ini, yang bisa digunakan untuk berbagai macam keperluan industri.

Sepertinya tidak ada yang terbuang dari babi nomor 05049 itu.
Moncongnya menjadi makanan camilan untuk anjing. Sementara kupingnya
menjadi bahan percobaan dalam pembuatan senjata kimia, karena
kesamaannya dengan jaringan kulit/daging manusia.

Pembuat tato seringkali membeli potongan dari kulit babi untuk melatih
keterampilan mereka, karena kesamaannya dengan kulit manusia. Alasan
yang sama digunakan untuk mengobati pasien yang terkena luka bakar.

Babi memberi kontribusi besar dalam bidang kedokteran, dengan insulin
yang dihasilkannya, obat pengencer darah dari heparin dan katup jantung
babi. Semuanya bisa dimanfaatkan.

Berikut daftar penggunaan bagian-bagian tubuh babi dalam berbagai macam produk:

Hati Hati Permen Mengandung Bahan Babi1. Ujicoba senjata kimia: karena kesamaan jaringan kulit /daging babi dengan manusia.

2. Eskrim: gelatin mencegah kristalisasi gula dan memperlambat proses pencairan.

3. Pupuk: dibuat dari bulu babi yang diproses.

4. Mentega rendah lemak: gelatin digunakan untuk memperbaiki teksturnya.

5. Bir: gelatin digunakan untuk mencerahkan warna minuman agar tidak keruh.

6. Pelembut pakaian: asam lemak dari tulangnya memberi warna

7. Kuas cat: dibuat dari bulu babi.

8. Jus buah: gelatin membuat warnanya tampak cerah.

9. Shampo: asam lemak dari tulang digunakan untuk membuat penampilannya terlihat seperti mutiara.

10. Lilin: asam lemak dari tulang memperkeras bahan lilin (wax) dan meningkatkan titik lumernya.

11. Roti: protein dari bulu babi digunakan untuk melembutkan adonan.

12. Peluru: gelatin dari tulang digunakan untuk mempermudah proses pemasukan bubuk mesiu ke dalam cangkang peluru.

13. Tablet obat: gelatin digunakan untuk pembungkusnya agar lebih keras.

14. Bubuk pembersih / deterjen: asam lemak dari tulang, digunakan untuk mengeraskan serbuknya.

15. Cat: asam lemak dari tulang digunakan untuk meningkatkan efek kilaunya.

16. Tamborin: dibuat dari kantung kemih babi.

17. Minuman anggur: gelatin menyerap elemen keruh sehingga membuat cairannya bening

18. Kertas: gelatin dari tulang digunakan untuk meningkatkan kekakuan dan mengurangi kelembaban.

19. Heparin: digunakan untuk mencegah terjadinya pembekuan darah, diambil dari lendir yang ada di usus babi.

20. Sabun: asam lemak dari tulang digunakan untuk memperkeras dan memberi warna sabun.

21. Gabus: gelatin tulang digunakan untuk merekatkannya.

22. Insulin: diambil dari pankreas babi, karena hampir mirip dengan struktur kimia dalam tubuh manusia.

23. Yogurt: kalsium dari tulang babi ditambahkan ke dalam proses pembuatan yogurt.

24. Rokok: hemoglobin dari darah babi digunakan dalam pembuatan filter
rokok yang diharapkan bisa mengurangi efek kimia yang masuk kedalam
tubuh perokok.

25. Negatif film: gelatin tulang babi digunakan sebagai zat perekat pada lembaran film.

26. Makanan anjing: hemoglobin darah babi digunakan sebagai zat pewarna merah.

27. Terapi fotodinamik: hemoglobin digunakan dalam obat untuk merawat
retina mata. Obat itu diaktifkan dengan menembakkan sinar laser ke
dalam mata.

28. Pelembab: menggunakan asam lemak tulang babi.

29. Camilan anjing: moncongnya digoreng.

30. Krayon: asam lemak digunakan untuk mengeraskannya.

31. Sepatu / tas: lem tulang babi digunakan untuk meningkatkan tekstur
dan kualitas kulit (hewan apapun). Di samping itu banyak juga sepatu
yang terbuat dari kulit babi (bisa dilihat dari corak bintik pada kulit)

32. Rem kereta: abu tulang babi digunakan dalam proses produksinya.

33. Pasta gigi: glycerin babi digunakan utuk membentuk tekstur pastanya.

34. Lem transparan: lem sangat kuat yang digunakan dalam industri perkayuan, diturunkan dari kolagen babi.

35. Masker wajah: kolagen untuk menghilangkan kerut.

36. Energi alternatif: bagian-bagian sampah yang tersisa digunakan sebagai bahan bakar untuk listrik.

37. Energy bar: kolagen yang diproses merupakan sumber protein yang
murah untuk para binaragawan atau mereka yang ingin membentuk tubuhnya.

38: Keju krim: gelatin menjadikannya stabil.

39. Whipped cream: gelatin memperbaiki teksturnya.

40. Permen: gelatin babi digunakan untuk bahan perekat dan pembuat gel,
dan memastikan bahwa adonan permen mencapai tekstur tertentu. Sering
digunakan untuk pembuatan jenis permen liquorice, permen kenyal dan
permen karet.

Bagi Muslim, orang vegetarian, Yahudi, dan orang-orang lain yang
berharap bisa menghindari produk terbuat dari bahan babi, berita
tentang penggunaan babi yang begitu luas bukanlah sebuah berita bagus.
Kerja rumit yang harus dilewati oleh produsen makanan global dan proses
industri, seakan memastikan bahwa hampir tidak mungkin menghindari babi
sama sekali.

Namun, bagi seorang Muslim ada kunci yang selalu harus diingat, yaitu
bahwa yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, di antara keduanya
ada yang samar-samar atau syubhat. Maka barang siapa yang menjaga diri
dari perkara yang syubhat, berarti ia telah selamat.
[di/dm/www.hidayatullah.com]

Designer Christien Meindertsma of Rotterdam, the Netherlands, has
accepted the INDEX:Award 2009 in the Play category for her study and
resulting book on the 185 product groups supported by a single
commercial-farm pig. http://www.designtoimprovelife.dk

PIG 05049 is the first communications design given by the international
jury of INDEX: and the book of the same title is to be made available
free of charge on the Internet. Meindertsma's work revealed surprising
commercial uses for pigs, from ammunition and train brakes to medicines
and fine bone china -- as well as more predictable uses such as
foodstuffs along the lines of frankfurters and sausages. INDEX: Design
to Improve Life gives the richest prize for design in the world --
500,000 euros -- on a biennial basis, as the Danish government's
outreach program for humanitarian design. Design to Improve Life is
Denmark's INDEX: to a better world.

Etalase Makanan yg mengandung babi
Sumber : http://swaramuslim.net/galery/more.php?id=6345_0_18_0_M

Buku Pig 05049



4.

(KELANA LEBARAN) – Serasa Mimpi Ada di MANDIRANCAN…

Posted by: "kunto arybowo" arikunto@gmail.com

Sat Nov 28, 2009 7:05 pm (PST)



**
*(KELANA LEBARAN) – Serasa Mimpi Ada di MANDIRANCAN…*
*Oleh : arikunto*
* *
**
*PUASA MUDIK KE MANDIRANCAN*

'*Puasa Mudik*'. Tepatnya saya lakukan selama tiga tahun ini. Kenapa bisa
demikian? Alasannya sederhana. Dalam tiga tahun terakhir, saya dikaruniai
dua orang anggota keluarga baru. *Hilya (3 tahun)* dan *Kaysan (1,5 tahun)*.
Dan terakhir kami mudik ke Mandirancan – Jawa Barat, tepatnya empat tahun
lalu. Saat itu, baru punya tiga orang anak perempuan, *Hanina, Fadwa dan
Nuha* yang saat itu masih berusia balita. Bukan main repotnya kami dalam
perjalanan. Yang satu minta susu, yang satu minta mainan, lompat ke kursi
depan dan belakang mobil. Belum lagi kalau sudah 'mewek' dan berkelahi. Wah…
pusyinggg. Perjalanan yang harusnya bisa 5-6 jam. Bisa molor, tambah 2-3
jam, karena terlalu banyak berhenti di tempat peristirahatan. Sebenarnya
seru juga, tapi begitu sampai di kampung, kami langsung 'ngeblak' dan teriak
dengan penuh syukur. Alhamdulillah… akhirnya sampai juga! Nah, karena
pengalaman ini, meyebabkan kami berfikir dua kali jika akan mudik.

Lalu bagaimana dengan tahun ini? Sempat saya putuskan untuk puasa mudik
kembali. Minimal mudik tahun depan, ketika dua balita saya, sudah lebih
besar lagi. Namun, begitu melihat orang tua dan kakak yang memboyong
keluarganya mudik. '*Ngiler*' juga kami dibuatnya. Terbayang indahnya
suasana dan hangatnya lebaran di Mandirancan. Hu.. hu…

"*Gimana, berani nerima tantangan nggak?*" tanya saya pada *Neng, *istri
saya.

"*Siapa takut!*" jawabnya mantap.

Dan begitulah. Akhirnya kita berdua tergoda untuk membatalkan puasa mudik
tahun ini. Itu artinya, kami siap menanggung resiko membawa '*lima** kurcaci
kecil'* yang dua diantaranya masih balita. *Saya, Neng, Hanina* (9 tahun) si
kembar *Fadwa dan Nuha* (7,5 tahun), *Hilya dan Kaysan*.

*Cirebon**, Mandiancan… We're cominggg!* Doooh, segitu hebohnya! Padahal
mudik jarak dekat, kan ya? Hehe, nggak apa-apa. Walaupun dekat, kami yakin
tantangannya pasti sangat luar biasa.

Terus naik apa? Naik kereta? Bus? Nggak lah. Dirumah ada mobil kesayangan
keluarga kami. *Si Abu-abu. *Mobil kijang tua itu, mesinnya masih OK punya.
Tinggal di tune-up sebelum berangkat, beres deh! Resikonya hanya '*kerokan*'
saja kalau sudah sampai di tujuan, karena AC-nya memang hanya bermodal buka
jendela saja. Tapi enaknya lagi, jok tempat duduk bagian tengah bisa kami
buka, sehingga cukup untuk menggelar sebuah kasur. Jadi, hasrat anak-anak
untuk tetap loncat-locatan selama dalam perjalanan, tidak akan menemui
masalah. Hehe… asyikkk.

**

**
**
**
*HEBOHNYA MUDIK KAMI*

Sehabis sholat Jum'at kamipun berangkat. *Neng* memang hebat. Kalau sudah
niat, semua memang bisa dilakukan. Awalnya sempat '*glek*' juga waktu lihat
3 tas besar dan satu koper masuk dalam list penumpang mobil juga. Tapi
sebelum saya protes, *Neng *sudah lebih dulu nyerocos.

"*Ingat, anaknya lima, ya!*" sambil tangannya memberi aba-aba harus setuju
dan nggak ada pilihan lain.

Yoweeesss, lah! Toh mobilnya juga nggak teriak mengangkut barang-barang
sebanyak itu. Walaupun saya yakin, kalau saja boleh nyortir isi tas
tersebut, pasti nggak akan sebanyak itu deh… hehehe.

Selama di jalan, benar saja dugaan saya. Si kecil *Hilya *dan *Kaysan*,
minta duduk disebelah saya nyetir. *Neng *sudah membujuknya, tapi nggak
berhasil. Akhirnya jok depan dipenuhi empat orang. Belum lagi ulah
*Kaysan*yang sedang masanya ber'exlporasi' dengan apa yang dilihatnya.
Ndilalahnya,
barang yang paling menarik bagi *Kaysan* saat itu adalah *bantalan diujung*
*persneleng*, yang dia coba gigit bolak-balik. Terus *klakson*. Nggak
perduli kapan. Semenjak *Kaysan* tahu benda itu bisa bikin berbunyi '*tet..
tet.. tet..*'. Dia minta di pencet terus. Akibatnya kami harus menepi dulu,
menunggu si kecil puas memainkan klakson, baru setelah itu perjalanan bisa
dilanjutkan kembali. Ya, begitu lah. Sabar, sabar…

Lain *Kaysan,* lain pula *Hilya.* Diusianya ketiga tahun ini, rasa
ke'aku'annya sangat tinggi. Semua barang di klaim miliknya. Tidak terkeculai
terhadap kakak-kakanya. Makanan yang dibawa dari rumahpun, tidak boleh
disentuh tanpa persetujuan darinya. "*Punya YAYA*!" jawabnya tegas.

*Si Kembar* yang tadinya bisa menahan keinginan, akhirnya mulai hilang
kompromi dan mereka memilih 'curi-curi' untuk mendapatkan makanan bawaan
mereka tersebut. Maka, sudah bisa ditebak. Aksi rebut-rebutan makanan tidak
terhindarkan. Heboh dengan sehoboh-hebonya. Untungnya kejadian tersebut
tidak berlangsung lama, berkat bantuan si* Sulung, Hanina* yang pandai
membujuk.

Kira-kira sampai di daerah *Sadang*. *Neng* minta menepi kembali. Mau
ke *minimarket
Alfa.* Saya sempat tanya, buat apa? Rasanya sewaktu berangkat tadi sudah
bawa makanan snack dan air minum cukup banyak.

"*Gimana, nggak mau cepat habis. Supirnya laper banget…*" sindir *Neng*.
Hehe, saya melengos saja, pura-pura nggak dengar, hihi.

Singkat cerita, ketika waktu Magrib, kami baru memasuki
*Cirebon**.*Perjalanan yang memakan waktu cukup lama memang, tapi
memang seperti itu
adanya. '*Neng sang navigator*' yang ada disamping saya mulai kelelahan.
Apalagi hari menjelang gelap, sehingga ia mulai panik jika ditanya ke mana
arah ke *Mandirancan*. Wew!. Akhirnya setelah tanya sana-sini. Kami sampai
di daerah *Sumber *– arah menuju *Mandirancan*. Di *Sumber* ada bubur yang
jadi makanan favorit kami. Dari rumah kami memang niat, akan mampir dan
membeli bubur Sumber tersebut. Akhirnya menepilah kami dan rehat
sejenak. *Nyam…
nyam…* Lumyan untuk melepaskan kepenatan selama perjalanan.

Sebelum memasuki wilayah Mandirancan*, Bi Parni* yang merupakan famili kami
sudah wanti-wanti berkali-kali. Dia telepon terus untuk mengingatkan. Nanti
kalau masuk perbatasan Cirebon-Mandirancan. Saya lupa namanya. Hmmm, kalau
tidak salah *Palangon*. Yang pasti, di wilayah itu ada hutan yang banyak
berkeliaran monyet-monyet disana. "*Jangan lupa untuk membunyikan klason
sebanyak tiga kali*" kata *Bi Parni*. Hihi, saya mbatin. Klaksonnya sudah '*
game-over*', Bi! Karena dibuat main *Kaysan* sepanjang perjalanan tadi.
Kalaupun mau, pakai 'perwitan' saja, gimana ya? *Prikitiw… prikitiw… *Haha.
Lagian juga tahayul, bukan? Jadi ya, di'*iya*'kan saja dan nggak perlu
dibahas lebih lajut.

Setelah merasakan perjalanan seru yang terasa lamaaaa… Alhamdulillah, kami
sampai ditempat tujuan. Disana, sudah ada *Eyang Mamah, Mang Adik *dan* Bi
Parni* yang menunggu. Suasana *rumah Eyang* yang sederhana dan nyaman,
membuat kami semua senang. Tanpa basi-basi, setelah mandi, sholat, cerita
sebentar ini itu dan 'makan lagi - makan lagi'… Saya langsung tepar dan
nggak bangun bangun sampai subuh esok harinya. Pyuhhhh… capek euyyy

**
**
*WISATA DI MANDIRANCAN*

Esok hari dipagi buta, sekitar pukul 06.00 WIB. Sarapan khas daerah sudah
menanti dimeja makan. Ada serabi hangat. Biasanya di dalam serabi ini berisi
ocom atau tempe. Hmmm, yummmiii…

Sesudah puas sarapan, kami sudah tidak sabar untuk melihat panorama *Gunung
Ciremai*. Di alun-alaun, depan Masjid Agung dekat rumah, kami puas jalan
berkeliling dan memandanginya pesona gunung yang indah.

Sebelum matahari bertambah tinggi, kami pun menyempatkan menyalurkan
narisisme kami semua. Sambil main bola dan kejar-kejaran. Tidak peduli
walaupun dilihat penduduk sekiar. Biar deh! Yang penting senang dan punya
kenang-kenagan buat cerita di Jakarta nanti.

Pagi itu kami habiskan untuk menikmati sepuas-puasanya suasana kampung.
Dibelakang rumah Eyang ini, ada sebuah anak sungai. Anak-anak langsung
tertarik dn minta ke sana. Mereka ingin menangkap ikan ataupun sekedar
bermain sambil membenamkan kakinya ke dalam air . Kami semua 'takjub' dan
terbawa suasana gembira.

Siang hari, setelah sholat dzuhur, kami gunakan untuk mengunjungi beberapa
kerabat yang ada di Mandirancan. Selanjutnya kami pergi ke daerah
wisata '*Linggar
Djati*'. Melihat wahana kolam renang baru, anak-anak tidak bisa menahan
keinginannya untuk berenang. Namun karena memang tidak *diprediksi*. Kami
tidak membawa perlengkapan renang. Ditambah lagi waktu yang sempit dan tidak
memungkinkan. Sayang sekali. Namun kami sudah berjanji. Lain kami pasti kami
akan mampir ke tempat ini lagi. Akhirnya kami semua menghabiskan waktu
berkeliling dan menikmati arena permainan yang lain.

**
*PERJALANAN PULANG KE JAKARTA*

Minggu pagi kami sudah berkemas dan siap kembali ke Jakarta. Takut kesiangan
dan tekena imbas arus balik, yang bisa bikin kami *senewen* nantinya.
Sebenarnya masih ingin lama lagi, namun apa daya. Senin, besok sudah hari
kerja effektif. Dalam bayangan saya, *Si - Boss* dikantor yang '*baik hati*'
sudah senyum-senyum dengan tangan '*melambai-lambai*' kearah saya. Entah,
mau memberi bonus atau mau ngasih kerjaan lagi. Hehe. Lho kok, *melambai-lambai
*bahasanya, ya? Hehe. Nggak mengerti juga tuh, kenapa? Maklum saja anak
kesayangan Boss, jadi nggak berani deh, nambah sehari saja bolos kerjanya.
*Halah banget… halah banget!

Back to story. Pukul 09.00 WIB pagi kami sudah packing dan minta ijin
kembali ke Jakarta. Kendaraan yang ke arah Cirebon ternyata sudah cukup
banyak. Berdoa, semoga nggak sepanjang jalan padat merayap. Bisa-bisa kaki
saya kena asam urat kalau harus nginjak gas dan rem sepanjang jalan. Untuk
menghemat waktu, saya memutuskan untuk masuk tol Cirebon dan akan keluar di
Palimanan. Nah, disini ada lagi kejadian uniknya. Entah karena saya meginjak
pedal terlalu keras, atau memang sudah waktunya minta ganti. Tiba-tiba saja.
*Bletak!* Wah, Nggak bisa oper gigi. Tali koplingnya putus. Wadoooh, padahal
posisi kami menjelang pintu masuk tol. Dan beberapa kendaraan dibelakang
kami sudah ikut mengantri. *Tenang, tenang*, pikir saya. Saya coba tarik
nafas panjang. Tapi yang panik malah navigator saya. Mukanya pucat.
Sepertinya takut nggak bisa pulang. Hehe

Beruntung posisi mobil saya tidak terlalau menghalangi jalan. Tapi biar
bagaimanapun saya harus menyingkirkan posisi mobil tersebut ketepi, untuk
mengechek kerusakannya. Saat itu tidak mungkin meminta pertolongan orang
lain. Karena memang posisi kami sudah masuk jalan tol. Terus siapa yang
harus mendorong *si Abu-Abu* ke bahu jalan? Apa '*Neng sang navigator*' yang
sedang panik itu? Atau para '*Kurcaci kecil*' yang sedang sibuk ngemil dan
tampangnya asyik-asyik saja? Akh, tidak mungkin… Ya sudah. Saya putuskan
saya sendiri yang akan mendorong mobil itu seorang diri.

*Neng* sang navigator saya beri tugas untuk ngambil kendali untuk nyetir.
Dia kelihatan tambah panik karenanya. Tapi mau bagaimana lagi? Dengan berat
hati dan dengan gaya kaku, ibarat orang yang baru mau ngambil SIM di Polda,
*Neng *benar-benar memberanikan diri duduk di kursi supir. "*Bismillah!*"
sambil matanya merem melek. Anak-anak yang melihat saat itu malah
teriak "*Horeee,
Ummi nyetir…!*" teriak mereka kompak. "*Diaaammm!*" jawab Neng dengan penuh
perasaan.

Dibelakang mobil saya sudah seperti '*Samson*'. Tu, wa, ga… uuuaaahhhh. Kok
berat sekali ya? Harusnya tidak seberat ini. Coba lagi ahhh. Tu, wa, ga…
akhhh. Lho kok, nggak bergerak? "*Sayang, jangan tegang yaaa..*" teriak saya
dari belakang. Neng hanya tersenyum walaupun keliatan dipaksakan. Mulai
lagi. Tu, wa, ga… hekkkzzz. Ada yang aneh, kenapa berat sekali, sih? Saya
kembali menghampiri Neng, untuk mencari tahu penyebabnya. Saya check
kembali. Posisi persneleng sudah OK. Dannn. Waw… ini dia penyebabnya. "*Sayang
kamu tahu pedal apa yang kamu injak itu?*" tanya saya penuh kesabaran. Neng
menggeleng dengan polos. "*Itu pedal rem, sayanggg. Jadi sampai 'botak' aku
dorong mobil di belakang, kalau pedal itu kamu ijak, mobilnya nggak akan
maju-maju…*" jawab saya senyum-senyum menahan rasa. Neng hanya komen dengan
polosnya "*Ooo, begitu yaaa…*". CAPEK DEH!.

Alhamdulillah, setelah itu urusan mendorong mobil tidak lagi jadi masalah.
Melihat adegan itu, para kurcaci tertawa-tawa. Neng dan saya akhirnya
nimbrung ikut tertawa juga. Dooohhh, hilang sudah ketampanan saya. Bau
wanginya hilang dan digantikan oleh kucuran keringat yang menetes sebesar
biji-biji jagung saat itu. *Hmmm, bener-benar pengorbanan seorang ayah
'judulnya'…

Itulah kisah yang tidak pernah terlupakan. Akhirnya, saya berhasil
menyambung tali kopling untuk sementara. Selanjutnya acaranya mencari
bengkel mobil terdekat untuk memperbaikinya.

Singkat cerita. Perjalanan kami selanjutnya kami lalui dengan lancar,
walaupun dibeberapa titik kami mengalami juga kemacetan akibat padatnya arus
balik ke Jakarta. Tepat ketika adzan Isya berkumandang. Kami dengan selamat
sampai dirumah. Alhamdulillah. Benar-benar perjalanan seru yang
'menghebohkan'.

- - - -

Sebelum tulisan ini saya kirimkan untuk lomba. Neng sempet buka kompi dan
membaca tulisan ini. Hehe… Dia tambahan sedikit tulisannya. Dan sayapun ngikik
membacanya :

*Koment ah….*

*Sayang, asli deh, tulisan kamu ini lucuuuuuu.. banget. Aku sampe
ketawa-ketiwi sendiri. Kalo tulisanmu ini ga menang, tapi buatku, kamulah
juaranya. Luv u…. neng.*
5.

[Oleh-Oleh] Khutbah Idul Adha 1430 Mesjid Ulul Albab IAIN Sunan Ampe

Posted by: "radinal88" radinal88@yahoo.co.id   radinal88

Sat Nov 28, 2009 7:05 pm (PST)



"Islam selalu mengajarkan kepada ummatnya untuk selalu tanggap terhadap kondisi sosial dan tidak terlalu egois untuk mementingkan diri sendiri sedangkan yang lain dalam penderitaan."

Kalimat diatas saya dapatkan dari tulisan Pimren Buletin Ahwaluna IAIN Sunan Ampel, Miswanto, dalam rubrik opini Ahwaluna edisi ke 5. Sebagai pembaca buletin tersebut, saya menangkap gairah besar dari Miswanto untuk menyadarkan kita semua tentang arti dari Ibadah Haji. Ibadah haji, sebagaimana ia menjuduli tulisannya, adalah ibadah sosial bukan ibadah untuk kepentingan pribadi. Dalam salah satu paragrafnya, ia menuliskan sebagai berikut.

Kuantitas jama'ah hati setiap tahunnya selalu bertambah. Dan bila ditanya apakah ingin kembali melaksanakan ibadah haji, dengan serempak mereka akan menjawab "ya" . Hal ini menunjukkan antusiasme umat Islam Indonesia untuk menunaikan ibadah haji. Disatu sisi, hal tersebut menunjukkan nilai positif. Karena ternyata, masyarakat Indonesia masih memegang nilai-nilai keagamaan. Namun disisi lain, ternyata banyak masyarakat yang beranggapan bahwa menunaikan haji berulang-ulang merupakan barometer ketakwaan dan keimanan seseorang.

Dan, tepat pada hari ini, pendapat saudara Miswanto tersebut dikuatkan oleh Khutbah Idul Adha Dr. Ma'shum Nur Alim, M.Ag yang disampaikan di Mesjid Ulul Albab IAIN Sunan Ampel Surabaya. Khutbah yang berjudul Haji; Pengorbanan Sebagai Bentuk Kepedulian Sosial tersebut membahas banyak hal mengenai kaitan peristiwa Haji dengan dampak sosial. Dalam khutbahnya beliau menyampaikan bahwa jika kita mengetahui bahwa haji adalah dampak sosial, kita tidak akan menemukan banyak orang yang berangkat haji berkali-kali namun disekitarnya masih banyak orang miskin. Jika kita mengetahui bahwa haji adalah pengorbanan kepada masyarakat, kita tidak akan menemukan kesenjangan sosial antara kaya dan miskin karena si kaya akan selalu membantu si miskin. Dan jika kita mengentahui itu semua, kita tidak akan menemukan orang yang mengorbankan orang lain demi kesejahteraannya

Luar biasa! Islam begitu care terhadap fenomena-fenomena sosial. Jangan pernah ada kepentingan diatas kepentingan. Setidaknya, sebagaimana yang pernah saya tulis dalam artikel saya di Pembelajar.Com, Berbicara kepentingan, sekali lagi membutuhkan pemikiran yang matang. Janganlah sampai kepentingan diri sendiri mengalahkan kepentingan orang banyak. Kepentingan pihak A mengalahkan kepentingan pihak B. dan begitu selanjutnya. Ini semua tidak lain karena kepentingan sangatlah erat kaitannya dengan kebersamaan.

Semoga Bermanfaat!!

;Catatan Khutbah Idul Adha 1430 H
Radinal Mukhtar Harahap
http://kumpulan-q.blogspot.com
http://be-excellent-santri.blogspot.com

6.

(Kelana) LELAKI SEJATI ; TALK LESS DO MORE

Posted by: "fiyan arjun" fiyanarjun@gmail.com

Sat Nov 28, 2009 7:05 pm (PST)



*Lelaki Sejati: Talk Less Do More*

*Fiyan Arjun*

* *

*Lelaki sejati ialah lelaki yang bisa menerima dan melawan rasa kecewa
karena sakit hati.*

* *

Begitu kata kawan saya melalui pesan singkatnya di handphone saya. Entah
kenapa ia bisa mengirimkan kata-kata itu membuat saya tergerak untuk
membacanya...*Hmm*, ternyata boleh juga. Namun lebih boleh juga LAGI kalau
kata-kata itu BISA mewakili diri saya. Namun ini tidak! Jauh dari pandangan
saya tentang pengertian hal tersebut.

Namun tidak sampai disitu. Jalan di tempat saja. Saya tetap berusaha mencari
tahu kebenaran pengertian yang dimaksudkan oleh kawan saya itu. Apakah
seperti itu? Atau, hanya mengungkapkan egonya sendiri! Atau, jangan-jangan
mungkin curhat colongan pula! Entahlah, tapi dengan pesan singkat itu
membuat saya tergelitik untuk berusaha mencari pengertian sesungguhnya
tentang lelaki sejati itu seperti apa.

Mbah Google. Ya, dia-lah dewa penolong untuk membantu saya—hingga saya
mendapatkan berpuluh-puluh pengertian tentang lelaki sejati itu. Saya *browsing
*dengan mengklik *search* dengan memakai juru kunci sebagai pembuka
kata; *lelaki
sejati*. Klik. Semua ada di depan mata minus saya. Namun sayangnya ternyata
tak ada satu pun yang sreg dengan saya. Walau ada itu pun hanya segelintir
yang bisa mewakili diri saya—dan ada pula yang menyesatkan. Tetapi secara
benang merah tak ada secara spesifik menjelaskan apa pengertian lelaki
sejati itu. Lagi-lagi itu membuat saya penasaran untuk mencari kembali lagi.
Dan hasilnya tetap nihil!

"Lelaki sejati itu sih menurut gue yang bisa bikin anak!" celetuk kawan saya
dari arah belakang ketika saya sedang asyik berselancar dengan Mbah Google.
Dan jelas saya yang sedang asyik mencari lelaki sejati bersama Mbah Google
saat itu jadi tercuri perhatian dengan celetukan kawan saya itu.

Begitu katanya. Spontanitas! Tanpa tendeng aling-aling.

Saya yang mendengar perkataan seperti itu langsung tersenyum kecut. Apalagi
itu keluar di bibir hitam kawan saya yang dikarenakan pengaruh nikotin yang
lama mengendap di bibirnya itu. Hingga akhirnya dengan terpaksa saya
tolehkan kepala ke arahnya walau saat itu saya masih berdiam diri mematuti
layar komputer.

Ya, kawan saya itu adalah penjaga warnet—dan saya juga sudah hafal dengan
watak dan karakternya yang kalau bicara asal goblek dan suka berguyon ngasal
pula. Dan warnet yang ia tunggu juga merupakan langganan saya pula—yang
terdekat dari rumah jika saya tidak menggunakan hotspot secara
*gretongan*di kampus tetangga sebelah. Memang orangnya yang saya kenal
seperti itulah
hingga saya berpikir untuk menjawab seperti khasnya pula. Tak ada saling
menggurui!

"Itu sih lelaki sejati yang hanya memandang dari soal hasrat aja! Cuman
pikirannya—maaf—ngesek melulu," jawab saya singkat. Dan itu membuat ia
tersenyum simpul malu dengan apa yang saya katakan.

Lalu apakah saya tidak membenarkan ucapan kawan saya itu? Tidak! Saya tak
menghargai hasil pikirannya saat ia melontarkan hal itu? Saya katakan
kembali, tidak!! Saya tetap menghargainya! Ya, walau tidak benar secara
seratus persen ketika ia mengungkap hal seperti itu. Tapi itu membuat saya
tahu bahwa cara pandang kawan saya itu tentang lelaki sejati—hanya terletak
dari—maaf—menghasilkan anak saja. Hmm...sungguh sebuah jawaban yang membuat
geleng-geleng kepala bahkan mengelus dada. Ada-ada saja.

* *

*Dus*, dengan susah payah akhirnya saya menemukan pula sosok lelaki sejati
yang sesungguhnya. Lama memang. Tapi saya senang bisa berselancar ria
bersama Mbah Google walau lama akhirnya membuahkan hasil. Saya menemukan
sosok lelaki sejati itu pada diri seorang hamba yang dimuliakan oleh
umatNya. Sosok lelaki sejati itu ada pada diri Rasulullah. Nabi Muhammad
SAW, suri tauladan umat muslim.

Adalah guru terbaik manusia. Itu tidak bisa dipungkiri lagi. Selain
kemampuan beliau menyelami satu persatu karakter manusia di sekelilingnya
menjadi satu point yang penting. Bukan itu saja selain menyelami dan
mengenali, beliau juga berhasil memaksimalkan potensi-potensi yang ada
tersebut menjadi kekuatan dahsyat saat itu. Menerangi kegelapan dunia ketika
itu dengan cahaya-cahaya tauhid. Alhasil, adalah tujuh abad lamanya manusia
benar-benar menjadi manusia. Manusia yang mengenal dirinya, mengenal
Tuhannya dan mengetahui fungsi keberadaannya di dunia.

Selain Rasulullah SAW, dari sekian banyak sahabat beliau ada beberapa orang
yang mempunyai kesan mendalam terhadap diri saya. Tentu saja tidak lepas
dari dua hal utama; kekuatan karakternya dan sumbangsihnya terhadap Islam.

Mereka itulah yang patut diselepangkan selendang lelaki sejati di pundaknya.
Ya, walau tidak mungkin bisa mencapai kualitas seperti manusia agung yang
menjadi pemimpinnya, setidaknya kisah hidup mereka adalah coretan emas
tentang bagaimana seharusnya seorang laki-laki hidup, berkarnya dan
menghabiskan umurnya.

Itu satu sosok Rasulullah SAW—lelaki sejati yang sangat saya agungkan. Tapi
ada satu sosok lagi lelaki sejati yang saya lupakan untuk disebutkan—yang
menurut saya patut diselepangkan pula selendang bertuliskan "lelaki sejati".
Tak lain dia-lah Ayah saya. Walau sekarang ia sudah tak ada di bumi lagi
tapi bagi saya rekaman tentang betapa bijaknya beiau kepada keluarga hingga
begitu gigihnya masih tersimpan rapi di benak saya. Kepala dijadikan kaki.
Kaki dijadikan kepala. Begitulah selama saya mengenalnya semasa hidupnya.
Sosok lelaki sejati yang sempat terlupakan oleh saya. Siang malam ia mencari
sesuap nasi hanya karena semata-mata untuk mengebul asap di dapur dan
serta-merta pula membahagiakan istri dan anak-anaknya dengan memberikan
pendidikan yang layak tanpa berkeluh kesah. Apalagi banyak bicara. Hmm...,
membuat saya menitikan airmata jika saya mengenal sosok lelaki sejati satu
ini.

Begitulah. Saya menganggumi sosok lelaki sejati sesuai kriteria dan menurut
saya. Bahwa mereka pantas dijuluki sosok lelaki sejati sesuungguhnya. Bukan
saya! Saya yang terlalu banyak berkeluh kesah saat mendapatkan musibah dan
ujian. Pun begitu dengan kawan saya yang memandang hanya hawa nafsu dan
keduniawian belaka. Serta kawan saya yang mengirimkan pesan singkat yang
terlalu sempit mengartikan arti sosok lelaki sejati hanya dapat menerima dan
melawan rasa kecewa karena sakit hati. Terlalu melankolis dan sentimentil
memang bila mendengarnya! Karena sesungguhnya lelaki sejati itu bukan hanya
pintar bicara, omdo dan ombes (omong besar) melainkan sedikit bicara tapi
banyak bekerja. *Talk less do more*. Halnya slogan iklan kretek yang sudah
ter-*mindset* dibenak kita. Setuju?[fy]

* Ulujami—Pesanggrahan, 24 November 2009*

*Masih di kamar penuh inspirasi*

* *

Tulisan ini saya persembahkan untuk saudara saya sebagai hadiah
persahabatan—yang sudah membuka hati saya tentang sosok lelaki sejati itu.
Ehem, susah memang menjadi lelaki sejati itu terkadang perlu belajar banyak
untuk mencapainya. Bukan begitu? Semoga.

* *

* *

--
"Books inside you"
Fiyan 'Anju' Arjun
Anju Online Bookshop
Jl.Ulujami Rt.012/04 No.14 Jak- Sel
www.bukumurahku.multiply.com
fb:bujangkumbanf@yahoo.co.id <fb%3Abujangkumbanf@yahoo.co.id>
Tlp:(021) 7379858
Hp:0852-8758-0079
7.

(Bahasa) CERPEN; ISTANA DI ATAS AWAN

Posted by: "fiyan arjun" fiyanarjun@gmail.com

Sat Nov 28, 2009 7:06 pm (PST)



*Istana Di Atas Awan*

*Penjaga Hati*

(Nama Pena Baru Nih...Hehe)
**

Khairunisa, begitu nama perawan Betawi kampung Gaga. Atau, biasa dipanggil
Nisa. Keelokan dan kecantikan parasnya sudah tersiar dari kampung ke
kampung. Siapa pun sudah mengenalnya bahkan bagi yang melihat ke arahnya
pasti akan tergoda bila mata memandangnya. Tak akan berkedip jika
melihatnya—dengan mata keranjang sekalipun. Semua akan menatapnya
dalam-dalam. Pun dengan aku. Sebagai lelaki normal aku juga ingin
memilikinya dan memperistrinya. Tetapi sayangnya kembang desa satu ini
terlalu sulit untuk ditaklukan hatinya. Padahal banyak kumbang-kumbang
mengantri di kampung ini yang ingin memetik sari madunya tetapi selalu saja
ditolaknya secara halus. *Hmm*, begitu sulitnya menaklukan perawan Betawi
satu ini.

* *

"Sur yang aku dengar kamu mau melamar anak Pak Sueb apa benar itu?"
tiba-tiba Heru mengejutkan aku saat sedang mencuci bebek bututku di depan
teras rumah.

"Kamu dengar dari mana gosip murahan itu, Her. Mana mungkin aku bisa
menyunting Nisa sedangkan ia selalu menolak semua pinangan lelaki. Ah, kamu
Her jangan mengada-ada. Atau, jangan-jangan kamu kali..." jawabku sekenanya.

Kulihat Heru tak membalas jawabanku. Ia terlihat melamun. Ada sesuatu yang
dipikirkan dalam benaknya.

"Lho, kok kamu jadi melamun, Her. Ayo, teruskan apalagi yang akan kamu
ceritakan kepadaku. Biasanya kamu selalu *up to date* jika mendengar kabar
Nisa, anak perawan Pak Sueb itu."

Lagi-lagi Heru hanya membisu. Tak ada sepatah kata pun yang keluar lagi dari
bibir hitamnya yang sudah mengandung oleh kretek saban hari jika ia sudah
mengepulkan asap.

"Maaf-maaf aku jadi melamun. Iya, tadi sampai dimana, ya," Heru mulai sadar
saat aku menanyakan lebih lanjut tentang kembang desa itu. "Iya yang aku
dengar Nisa akan di persunting oleh seorang lelaki dengan berinisial S. Ya,
aku kira kamu Sur yang beruntung memetik kembang desa kampung sini," lanjut
Heru memberitahukan lebih lanjut.

"Nama asliku kan Mansyur Saleh. Jadi bukan aku! Sur itukan panggilan kamu
saja setiap ketemu aku," kataku memberitahukan Heru tentang jati diriku yang
sesungguhnya.

Dan Heru kembali termangu saat aku mengeluarkan tanda pengenal hidupku dari
dompet kulit. Lagi-lagi Heru tak mempercayai kalau aku memiliki nama sebagus
itu.

"Oya, Sur aku balik dulu. Aku lupa kalau aku mau ke warung Mpok Sarti. Nanti
kita teruskan lagi cerita tentang si Nisa anak perawan Pak Sueb itu. Aku
balik dulu, ya. Ingat jangan kamu memikirkan Nisa melulu. Nanti kamu bisa
keblinger seperti Rahmat karena pinangannya di tolak."

Heru meninggalkan ultimatum kepadaku saat ia melangkah keluar dari halaman
teras depan rumahku. Dengan gontai ia menuju ke warung Mpok Sarti. Warung
satu-satunya yang ada di kampung ini—yang begitu komplit. Ya, kalau aku
lihat sepintas seperti toserba saja jika aku melihat ke warung itu. Sehingga
seringkali menimbulkan buah bibir warga kampung Gaga tentang Mpok Sarti
memelihara tuyul yang menggoda benakku. Apakah benar seperti itu? Ah,
mungkin itu hanya kecapan lisan belaka warga kampung yang iri dengan
kemajuan Mpok Sarti. Dan itu tak terbukti.

Kulihat bayangan Heru dari kejauhan ternyata sudah terbawa angin. Yang
tersisa hanya ultimatumnya agar aku tak seperti pungguk merindukan bulan.
Bila hajatnya tak tersampaikan bisa keblinger...*Ih, aku tak sudi. Lebih aku
jadi bujang seumur hidup bila aku jadi wong edan*!

^^^

Aku seperti wong edan saja saat aku termangu di depan halaman teras rumah.
Memikirkan perawan itu. Siapakah lelaki yang beruntung itu. Padahal yang aku
ketahui anak perawan Pak Sueb itu tak begitu gampang menerima lelaki.
Bukankah Nisa itu dingin terhadap lelaki seperti yang aku lihat ketika ada
kawanku ingin meminangnya. Tapi selalu saja menolaknya. Selalu
menggubrisnya. Ada saja alasan yang ia kerahkan kepada lelaki yang ingin
meminangnya sehingga semua lelaki yang ingin menaruh hati selalu saja ragu
dan akhirnya batal. Dan...itulah yang sering dilakukan oleh Nisa. Aku heran
dengan perawan itu. Seperti apalagi sih lelaki yang ia inginkan? Hmm..., aku
jadi penasaran dibuatnya. Akan aku cari tahu jawabannya nanti. Siapa tahu
aku yang beruntung. Hitung-hitung iseng-iseng berhadiah.

Kini terbukti sudah korban dari kembang desa itu. Memakan korban lagi. Tak
jauh-jauh korban itu tak lain anak Pak Jarkasih anak lurah kampung Gaga.
Karsim anak lurah itu yang sekarang jadi kebilnger karena pinangannya itu
tolak mentah-mentah oleh Nisa. Aku menjadi heran dan miris mendengarnya.
Berapa banyak lagi korban perjaka-perjaka di sini menjadi korban penolakan
anak Pak Sueb itu.

"Nah, apa kan aku bilang! Untung kamu tak memikirkan si Nisa lagi."
Tiba-tiba Heru sudah ada di belakangku. Ternyata ia ingin melihat nasib
Karsim anak Pak Lurah yang sedang dijampi-jampi oleh dukun terkenal di
kampung untuk menyembuhkan penyakitnya itu. Kebilnger karena pinangannya di
tolak.

"Kamu ngapain kemari Her. Tumben kamu mau melihat pemandangan seperti ini.
Bukannya kamu anti soal beginian," kataku memvonis dirinya.

"Kamu jangan salah Sur aku kemari mau cari kamu. Soalnya tadi orang rumah
bilang kamu ada di rumah Pak Lurah. Jadi aku lemarin dan...ternyata kamu ada
disini." Protes Heru mengklarifikasikan ucapanku.

"Oke-oke ada apa kamu cari aku, Her. Soalnya aku tak lagi mau mendengar
gosip murahan dari kamu lagi. Daripada aku mendengar gosip murahan dari kamu
lebih baik aku mencuci bebek bututku buat aku mengantarkan susu ke warung
Mpok Sarti dan rumah warga kampung lainnya."

Kulihat muka Heru mulai bersemu. Begitulah jika aku menyudutkan dirinya
tentang kabar burung yang selalu membuat kupingku lebar. Tapi hari itu tidak
ia seperti orang mendapatkan lotere saja.

"Iya, aku tahu sekarang kenapa Nisa selalu menolak pinangan para lelaki baik
di kampung ini maupun seberang. Itu karena sebuah persyaratannya yang tak
masuk akal." dari mulut hitamnya kulihat Heru begitu semangat menceritakan
kabar burung, eh salah mungkin yang ini tidak. Karena kulihat Heru begitu
berapi-api menceritakannya hingga sebungkus kretek yang ia bakar tak terasa
di hadapanku.

"Ah, kamu yang benar, Her! Itu namanya tak waras. Mana ada persyaratan
seperti itu!"

"Maka dari itulah aku berbagi cerita dengan kamu Sur biar kamu tahu. Dan ini
memang kenyataannya kok. Ini aku dengar dari para warga kampung yang pada
mampir di warung Mpok Sarti. Banyak yang mengatakan serupa. Tapi aku tak
memaksa kamu mau mempercayainya atau tidak. Lagi pula aku juga tak memaksa
kamu mengiyakannya, Sur." Panjang lebar Heru memberitahukanku tentang buah
bibir yang membuatku tercengang. "Oke, aku balik dulu Sur. Aku ingin
memberitahukan si Bardi dulu. Aku tak mau ia bernasib sama pula dengan anak
Pak Lurah. Aku ke rumah Bardi dulu ya, Sur. Oya, salam sama orang rumah."
Dengan lenggang kangkung Heru meninggalkanku dengan sebuah tanya tanda
besar.

*Ah, tidak mungkin. Itu mengada-ada*, batinku nenjadi sanksi.

^^^

Kesanksianku tentang buah bibir dari Heru kini menjadi bukti. Ternyata itu
bukan hisapan jempol belaka hingga kini tambah banyak sekali saja korban
yang jatuh dari persyaratan perawan Betawi itu. Bahkan ada yang sampai masuk
ke rumah sakit jiwa. Dan lebih tragisnya lagi ada yang gantung diri karena
merasa sebagai lelaki merasa dipermainkan oleh seorang perawan bernama
Khairunisa atau Nisa. Sungguh menyedihkan.

"Bagaimana Sur sekarang kamu percayakan apa yang aku ceritakan kepada kamu.
Tapi jika kamu ingin membuktikannya aku siap membantu kamu, Sur. Tapi dengan
syarat nanti kamu angkat aku menjadi salah satu pegawai di kelurahan."

"Ah, kamu Her ada-ada saja belum tentu aku berhasil menaklukannya," jawabku
kembali sanksi.

"Soal itu jangan khwatir! Tapi sekali lagi ingat apa yang aku katakan tadi.
Bagaimana?"

"Oke, kalau begitu! Atur saja sesuka kamu, Her. Asal Nisa jatuh ke pelukanku
soal itu gampang nanti kita bicarakan lagi."

Heru setuju dengan persayaratan yang aku ajukan itu. Begitu semangatnya ia
akhirnya memberikan aku secarik kertas yang aku tak tahu bahasa yang apa
tertera di secarik kertas itu. Tapi yang aku perhatikan semacam jimat. Tapi
apakah harus mempercayainya hal mistik ini. Naluriku menolak tiba-tiba.

"Sudahlah soal ini tak perlu kamu khawatirkan. Ini bukan musyrik tapi sebuah
perantara agar kamu bisa menjalani dengan lulus."

Aku bagai kerbau di cocok hidung saat Heru memberitahukan kembali tentang
jimat itu. Hingga tiba-tiba tanganku meraih benda itu. Benda seperti kalung
berbahan baku akar pohon damar. Begitu indah dan betapa gagahnya saat aku
kalungkan ke leherku.

"Wow, kamu makin tampan saja Sur dengan benda yang kau pakai ini. Aku harap
kamu berhasil besok saat menemui Nisa untuk kamu jadikan pendamping kamu."

Lagi-lagi Heru memujiku. Dan itu membuat aku makin percaya diri dan berani
menemui Nisa esok hari. Aku sudah siap menemui perawan itu. Perawan yang
sudah membuat kaumku menjadi tak berdaya. *Nisa...Nisa sebenarnya apa sih
persyaratan yang kau ajukan itu. *Aku semakin penasaran dibuatnya untuk
menunggu esok.

Saking semangatnya aku tak menyadari bahwa senja sudah terlelap tidur.
Kulihat dari luar halaman teras depan rumahku kini malam akan segera
melentangkan bujurnya di langit kelam. Begitu pun dengan kicauan burung yang
sudah beralih ke suara derik jangkrik menambah keheningan malam.

^^^

Tak terasa keheningan malam akhirnya beralih juga. Esok yang aku tunggu
sudah menghampiriku. Kudengar suara kokok ayam jantan begitu semangatnya
membangunkan para warga kampung Gaga walau masih dalam terbuai mimpi semu.
Namun beda denganku aku sudah mempersiapkan segala persiapan yang aku
siapkan sejak malam untuk melenggang ke rumah Nisa. Dan tidak lupa aku
memakai pemberian dari Heru. *Hmm*...ternyata benar aku makin tampan dan
makin percaya diri saja.

Sesampai di halaman teras depan rumah Pak Sueb, lurah kampung Gaga aku
melihat Nisa sedang membelai rambut indahnya. Dengan mengenakan pakaian
perempuan khas kampung kulihat Nisa makin menggoda kelaki-lakianku.

"Stop! Jangan kamu melangkah lagi. Aku bilang tunggu saja di situ. Aku ingin
tahu apa tujuan kamu ke rumahku." Nisa menghentikan hentakan kakiku saat aku
ingin lanjut menghampiri dirinya.

Aku sedikit terkejut saat ia berkata seperti itu kepadaku. Tapi aku tak
gentar ketika ia berkata demikian.

"Aku kemari ingin mempersunting dirimu, Nis. Sudikah kamu menjadi istriku,"
kataku dengan memberanikan diri sesaat.

"Apa kamu siap dengan persayartanku!" dengan bibir merekahnya ia mulai
menggertakku dengan persayaratan yang membuat kaumku banyak tak waras.
Kebelinger.

Aku hanya diam. Menyimak apa yang ia katakan kepadaku. Hingga aku siap-siap
melakukan aksiku.

"Baiklah kalau kamu mau bukti ikut aku."

Akhirnya kuajak Nisa perawan Pak Sueb menuju bukit yang tertinggi di kampung
Gaga. Kutunjukan apa yang sudah ia persyaratkan untukku. Dan aku pun mulai
memasang aksiku. Kubaca apa yang semesti aku baca sesuai apa yang yang
dikatakan Heru.

"Bukankan itu yang kamu pinta sebuah istana di atas awan, bukan? Dan itu aku
hadiahkan untuk kamu sebagai tanda aku benar-benar ingin mempersunting
dirimu, Nis. Sesuai janji kamu maka kamu harus siap menerimaku."

Kulihat Nisa termangu saat aku tunjukan apa yang ia pinta. Ia tak menyangka
bahwa aku bisa melakukannya. Nisa masih tetap mematung. Diam membisu.
Lagi-lagi ia tak berkata sedikit pun. Terperangah saat istana yang ia
inginkan ada di depan mata bulatnya yang indah. Dan kini tinggal aku yang
tertawa lepas. Menertawakan kebodohan perawan Betawi kampung Gaga itu.
Sebenarnya apa yang aku tunjukan itu bukan istana melainkan apartemen yang
berada di kawasan segitiga emas yang menjulang tinggi. Apartemen kongomerat
yang kini menjadi buruan pihak berwajib. Hingga dalam hati aku terus
berkata," dasar perempuan matre ke laut saja! Mau saja aku
tipu...Hahahahahaha"

Tawaku makin membahana di atas langit apartemen yang amat megah itu.[PH]

Ulujami—Pesanggrahan, 24 November 2009

*Masih di kamar penuh inspirasi.*

--
"Books inside you"
Fiyan 'Anju' Arjun
Anju Online Bookshop
Jl.Ulujami Rt.012/04 No.14 Jak- Sel
www.bukumurahku.multiply.com
fb:bujangkumbanf@yahoo.co.id <fb%3Abujangkumbanf@yahoo.co.id>
Tlp:(021) 7379858
Hp:0852-8758-0079
Recent Activity
Visit Your Group
Biz Resources

Y! Small Business

Articles, tools,

forms, and more.

Y! Messenger

All together now

Host a free online

conference on IM.

Yahoo! Groups

Mental Health Zone

Learn about issues

Find support

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: