Jumat, 27 November 2009

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2895

Messages In This Digest (3 Messages)

Messages

1.

(Catcil) Yasmina dan Strip Dua

Posted by: "Indarwati Indarpati" patisayang@yahoo.com   patisayang

Thu Nov 26, 2009 9:46 am (PST)





Yasmina
dan Strip Dua

 

Aku
terbangun oleh riuh takbir di luar. Kutengok tubuh mungil di sisiku, jari
tangan kanannya seperti biasa, refleks dihisapnya. Kucoba lepaskan dekapan
mulutnya, dia tak rela. Maka kuputuskan untuk bangun dan membuatkannya susu.
Dia melakukan itu biasanya karena lapar atau sedang merasa tak nyaman.

 

Keluar
dari kamar, lampu ruang tengah dan kamar samping masih benderang. Seperti
biasa, lelaki yang telah kunikahi selama sepuluh tahun itu pulas terkapar di
karpet, ketiduran tanpa mematikan lampu terlebih dulu. Kulirik jam dinding,
masih berada di angka sebelas. Baru dua jam aku tidur sebelum terbangun.
Kembali dari dapur dengan sebotol susu berisi 110ml saja, aku mencoba
memberikannya pada Yasmin. Tapi dia tak mau membuka mulutnya dan jaripun telah
dilepasnya. Memandang tubuh mungil itu, banyak hal berkelebat di kepala.

 

Beberapa
hari terakhir, aku merasakan sering pusing. Berbeda dengan migren atau pusing
yang biasa kuderita. "Kamu itu kurang darah," kata suami. "Minum Sangobion.
Enervon C juga masih ada tuh."

Aku
mengiyakan kata-katanya tapi dalam hatiku menuai kesimpulan lain. Ini tak
sekedar kurang darah. Aku juga sering merasakan kedinginan yang khas
akhir-akhir ini. Bahkan pada suhu normal aku bisa menggigil dan membutuhkan
selimut tiga lapis. Satu lagi, selain nafsu makanku yang cenderung turun, aku
juga sering tiba-tiba merasa mual, tak lihat jam. Pagi, malam atau siang dia
bisa sewaktu-waktu datang. Jika kuanggap ini lantaran asam lambung, bisa juga.
Tapi…hitungan kalender mau tak mau membuatku 
mencurigai satu hal. Maka kemarin sore, sebelum menjemput Ais ke sekolah
kusempatkan ke apotek dan membeli test pack yang biasa kupakai.

 

Pagi
ini, dengan alat seharga dua puluh ribu itu terjawab sudah tanyaku. Ada strip dua. Artinya, aku positif hamil. Senang,
tentu saja. Sampai menangis aku usai sholat subuh saking terharunya. Tapi
jujur, menyelinap juga rasa lain, apalagi jika mempertimbangkan kondisi kami,
kondisiku akhir-akhir ini.

 

Setahun
usia Yasmin, kami memutuskan untuk tidak KB alami seperti yang biasa kami
lakukan. Saran dokter untuk KB mandiri pun tak kuturuti. Aku termasuk agak lama
hamil. Ais dulu, nikah Agustus 1999, hamil dia Februari 2001. Yasmin lebih lama
lagi. Membutuhkan rentang 7 tahun dari kakaknya meski sempat dua kali hamil
yang gagal di selanya. Yang tak kusangka, strip dua di test pack itu begitu
nyata dan termasuk cepat datangnya.

 

Dulu,
awal menikah aku ingin memiliki empat anak. Tapi seiring waktu, pemikiran itu
mulai kupertanyakan. Sejak sadar bahwa memberi pendidikan terbaik bagi anak
berarti spend more money, sejak mengalami operasi Caesar saat melahirkan anak
kedua, sejak tahu banyak tetangga di sekitarku memilih memiliki anak 2 saja
dengan alasan tak mau repot…

 

Tapi
membayangkan hanya memiliki 2 anak saat mereka beranjak remaja dan dewasa pun
rasanya tak sedap amat. Pasti rumah akan sepi. Apalagi jika mereka harus kuliah
di luar kota. Maka, sengaja tak KBlah kami. Biarlah Dia yang
menentukan kapan si dede bakal ada. Kuperkirakan, waktunya akan pas, dan ternyata
benar-benar pas. Jika perhitunganku benar, maka si dede bakal lahir saat usia
kakaknya 2 tahun lebih 3 bulanan. Rentang waktu yang pernah kuanggap ideal
mengingat pengalamanku dengan kakak dan adikku yang berjarak sama. Tapi,
kekhawatiran yang membayangi ternyata tak seindah kondisi ideal yang pernah
kuinginkan.

 

Yasmin
termasuk gadis kecil yang aktif dan ekspresif. Salah satu kesukaannya bergulat
di kasur, naik-naik perut dan dadaku. Hal itu tentu akan membahayakan kondisi
si dede. Sementara aku sendiri akan merasa kurang nyaman tak bisa main 'kasar'
dengan Yasmin. Begitu pula si batita 1,5 tahun itu, akan kehilangan lahan
bermainnya yang empuk.

 

Satu
hal pula yang kuingat saat dia ada, aku merasa menduakan cinta. Selama
bertahun-tahun Ais terlanjur kulimpahi segenap cinta dan perhatian. Maka aku
sendiri tiba-tiba sempat merasa gagap ketika tiba-tiba ada tubuh mungil putih
rentan yang merampas sebagian cinta itu dari kakaknya. Meski seiring
berjalannya waktu--sekitar 1 minggu kalau tak salah—aku mulai bisa berdamai
dengan rasa bersalah itu dan memberi cinta porsi sama tanpa perlu membaginya,
pengalaman itu takkan pernah kulupa. Dan jelas, aku akan mengalaminya lagi jika
si dede lahir nanti.

 

Kekhawatiran
lain, seperti saat hamil Yasmin dulu, aku takut pengalaman dua kehamilan antara
Ais dan Yasmin terulang. Rasanya sakit sekali menatap layar USG dengan sebentuk
kecil itu tak beranjak dari ukuran terakhir dia diintip. Rasanya sakit
mendengar vonis dokter bahwa dia harus di-terminated.
Rasanya mengerikan harus dengan sadar menyerahkan diri dibuat tak sadar lalu
terbangun dengan rasa kehilangan, dan diiringi ketakutan bakal bangun di dunia
lain, alam lain yang meminta pertanggung jawaban. Sungguh, aku tak sanggup
untuk menghadapi yang terakhir itu.

 

Kegamangan
lainku, kami belum menemukan pembantu. Padahal dia jelas sekali perlu. Selama
ini aku merasa oke saja melakukan pekerjaan rumah tangga sembari tetap menjaga
Yasmin. Selama ini aku menegakan diri juga membawa si kecil itu kemana-mana
termasuk ke toko material atau menjemput kakaknya baik naik motor kubonceng di
depan atau naik angkot tiap sorenya. Tapi dengan kondisi hamil, itu tentu bukan
hal yang mudah. ditambah, kami sedang merenovasi rumah, hampir 70%. Suami
berusaha menghandle yang dia bisa. Tapi kadang perlu tindak segera yang
memerlukan tenagaku seperti pagi ini.

 

Ah,
dalam kebahagiaan ini, kenapa seperti mata uang yang memiliki dua sisi, ada
kekhawatiran membayangi…

 

Apapun
itu, pada akhirnya aku harus kembalikan juga pada-Nya si pemilik jiwa, si penentu
setiap kejadian. Semoga diberikan yang terbaik dan keberkahan di setiap
kejadian. Amin.

 

Tanah Baru, 27/11/09 00.21

Indarwati
penulis novel Lintang Gumebyar  
curhatan http://lembarkertas.multiply.com
FB: indar7510@yahoo.com

2.

[KELANA LEBARAN] Aku Ingin Pulang

Posted by: "Rini" rinurbad@yahoo.com   rinurbad

Thu Nov 26, 2009 4:53 pm (PST)



"Duh, anak macam apa ini? Bukannya membawakan kue untuk orang tua, malah nebeng," ledek seorang kenalan yang menawari saya kue dagangannya menjelang Idul Fitri lalu. Saya hanya menyeringai, tak menampik kenyataan. Saya dan suami tidak merasa perlu membeli atau membuat kue kering, sebagaimana tradisi Lebaran yang berlaku di banyak tempat, berhubung kami acap kali berada di rumah orang tua. Di sana tersedia penganan khas seperti nastar dan putri salju. Melihatnya saja sudah kenyang, ditambah rasa enggan karena membuka stoples yang dihias-hias.

Kenalan tadi tidak mengetahui bahwa ibu saya menyiapkan jatah satu stoples untuk anak-anak perempuannya yang sudah berkeluarga. Bila kami sampai berani menolak, wajah kecutlah yang akan terlihat. Maka demi `perdamaian dunia', kami harus bersedia membawa stoples kue tersebut meskipun isinya baru habis dalam jangka waktu lumayan lama. Mengapa? Kami lebih sering bertamu daripada dikunjungi. Kalaupun ada kerabat bertandang, tentu saja sajian kami `tidak ada apa-apanya' dibanding yang mereka miliki di rumah.

Idul Fitri kemarin, saya dan suami tidak meninggalkan Bandung. Ibu saya sudah wanti-wanti jauh sebelumnya, berhubung kakak berencana berlebaran di Jawa Tengah. Ternyata kondisi kakak yang tengah mengandung anak kedua tidak memungkinkan untuk bepergian jauh, maka di luar dugaan kami malah dapat berkumpul. Kakak membutuhkan sepasang tangan tambahan guna merawat putra sulungnya yang baru berusia tujuh bulan. Berkeliling rumah saudara membawa bayi memerlukan energi dan waktu ekstra, kendati tidak banyak yang kami tuju. Selain itu, kakak bisa dikatakan lebih segar dan kuat daripada kehamilan pertamanya dahulu.

Bandung dalam keadaan lengang adalah pemandangan langka. Dari kediaman kami yang cukup tinggi pun, bisa `diramalkan' kemacetan lalu lintas setiap pukul setengah tujuh pagi dan pukul lima sore. Pasalnya, riuh derum motor dan mobil terdengar dengan jelas. Tetapi tempo hari, bertolak dari Leuwigajah, Cimahi, menuju Cicadas hanya memakan waktu dua puluh menit dengan kecepatan normal. Luar biasa. Barangkali cuaca terik yang menerpa kota kembang saat itu menjadi penyebab rata-rata warga berpikir panjang untuk bepergian.

Suhu cukup tinggi tersebut membuat suasana Idul Fitri berbeda, setidaknya dibandingkan tahun lalu. Musim kemarau yang lebih panjang berdampak cukup signifikan, bahkan terhadap wilayah kediaman kami yang biasanya hanya mengenal kata sejuk dan dingin bila menyangkut hawa. Para tetangga satu jalur tidak seberuntung kami, yang `mengungsi' ke rumah orang tua pada malam H-1, sehingga tidak dapat mandi.

"Nggak mudik?" demikian pertanyaan yang dilontarkan kenalan dan kerabat baik kepada saya maupun suami. Kami hanya mengulum senyum, kecuali memang dimintai penjelasan panjang lebar. Beberapa hari sebelum Idul Fitri, telepon sudah berdering-dering oleh panggilan saudara dari kampung halaman suami. Tak pernah putus harapan mereka untuk berjumpa dengan kami. Meskipun demikian, Bapak dan kakak-kakak ipar memaklumi keberadaan kami yang tergolong paling jauh dari Banjarnegara dan otomatis paling jarang mudik pula. Toh, di luar hari Lebaran, suami sempat pulang kampung tanpa harus berjejal-jejalan dan menanggung risiko terjebak kemacetan parah. Bapak dan para ipar pernah pula meluangkan waktu mampir ke rumah apabila hendak berangkat ke Jakarta untuk menghadiri perhelatan atau dikarenakan keperluan dinas. Belakangan, kami mensyukuri kesepakatan berkompromi ini. Seorang keponakan yang tinggal di Bandung dan mudik dengan motor bercerita bahwa ia dan suaminya harus menempuh perjalanan dua belas jam.

Menyoal pulang kampung, sebenarnya `tanah tumpah darah' saya memang bukan di Bandung. Saya `numpang lahir' di Kabupaten Sukabumi, sebelum diboyong pindah pada usia empat puluh hari. Setiap liburan panjang, saya meluangkan tiga hari sampai seminggu di rumah Emak, nenek dari pihak ibu. Bersamanya, saya merasa bagaikan di sisi ibu kandung lantaran Emaklah yang menyusui saya selama beberapa waktu.

Telah lebih dari sepuluh tahun saya tidak menginjakkan kaki di rumah tempat saya dan kakak dilahirkan. Bukan tak ingin, namun rumah tersebut telah berganti kepemilikan. Menjelang akhir hayatnya, Emak tinggal bersama salah satu anak perempuannya yang satu desa. Kehidupan mereka sangat sederhana, maka jika hendak berkunjung, kami tidak boleh berlama-lama dan berpotensi merepotkan tuan rumah. Setiap kali pulang kampung, ibu saya senantiasa berbekal bahan makanan dan sembako. Maklum, desa kami termasuk yang tertinggal dan baru beberapa tahun terakhir dialiri listrik. Harga-harga melambung bukan kepalang, terlebih menjelang Lebaran seperti halnya di perkotaan. Saat kemarau melanda, air pun surut tanpa ampun.

Emak sempat tetirah beberapa bulan di rumah Ua di Cimahi, bergiliran dengan rumah ibu saya. Memang tidak selama saat saya, kakak dan adik masih bersekolah. Waktu itu, Emak kerap menemani dan mengurus segala keperluan kami. Ia mengenal hampir semua teman kami yang main ke rumah. Saat Bapak mengusulkan menggunakan jasa pembantu rumah tangga, dengan tandas Emak menyatakan akan merawat cucu-cucunya walaupun ia mengidap darah tinggi dan maag yang cukup serius.

Terakhir kali menginap di rumah, Emak mencoba ikut berpuasa Ramadhan. Ibu saya telah menegurnya, mengingat kesehatan Emak mulai menurun. Lucunya, saat kami sahur dan membangunkan beliau, Emak mengatakan sudah sahur jam dua pagi karena takut kesiangan. Entah benar demikian atau karena hiruk-pikuk pemukul kentongan yang berkeliling komplek, kadang dengan motor, guna mengingatkan waktu sahur. Seperti saya dan ibu saya, Emak mudah terganggu tidurnya bila mendengar kegaduhan sedikit saja. Istilah orang Sunda, ceuli lentaheun.

Ternyata pukul sepuluh, perut Emak terasa perih. Ia mengalah dan berbuka, kendati tak mau saya suapi. Terlepas dari sifat Emak yang keras [bahkan dicap nenek galak], hubungan kami relatif mendalam. Saya satu-satunya cucu yang suka menggoda beliau, membuatnya tergelak-gelak karena menirukan polah Doyok, pelawak favoritnya. Emak sering tidak dapat tidur jika mendengar kabar orang yang dikenalnya meninggal dunia, sekalipun orang itu `hanya' pernah dilihatnya di televisi. Maka kadang-kadang saya menakuti beliau, "Mak, itu ada Mak Wok di kolong bangku," atau "Mak, ituuu ada Bagyo!" Kemudian Emak mengomel-ngomel dan melotot, "Anak bandel!" Hanya saya pula yang gemar berbuat iseng, melemparkan ular-ularan dari karet ketika Emak tengah berbenah. "Ulaar!" Emak terlompat dan menghentikan kesibukannya. Saya cekikikan menghindari jeweran beliau. Emak mengelus dada saja, terlebih saya berani melakukan itu di depan Bapak.

Dalam tempo sekian bulan saja, Emak minta diantar pulang ke Sukabumi. Bila darah tingginya sedang kambuh dan dibujuk-bujuk tinggal di Bandung saja, Emak menjawab lantang, "Aku mau mati di rumah, tidak mau mati di tengah jalan!!" Cukup bisa dimaklumi, selain jarak Bandung-Sukabumi Selatan yang begitu jauh, jalan yang dilewati sering rusak meski berkali-kali diperbaiki. Betapa tidak, bus dan truk melaju dengan kecepatan tinggi padahal jalan meliuk curam, menembus hutan dan jurang menganga di bawahnya. Mungkin itu yang menyebabkan orang Jampang, daerah tempat saya berasal, dicap `penantang maut' oleh elemen etnis Sunda lainnya.

Mengingat kampung halaman berarti menggelar album kenangan tak kasatmata. Rumah yang tepat berada di tepi jalan itu meruapkan aroma-aroma akrab yang romantis ke jiwa saya. Bila di Bandung saya sukar membuka mata di bawah jam enam pagi, di sana saya sudah nongkrong di depan hawu sebelum fajar menyingsing. Kadang kala sudah mandi, membuat orang tua saya takjub. Saya hanya nyengir melihat paras mereka, sambil mengunyah ubi goreng di atas dipan, di dapur yang berlantai tanah.

Perilaku saya yang `di luar kelaziman' bukan cuma itu. Saya sanggup menimba untuk mengisi bak mandi. Tidak langsung berhadapan dengan sumur, berhubung saya mengidap fobia ketinggian. Seorang sepupu mengakalinya dengan membuat lubang di dinding sehingga saya dapat mengerek tali timba dari situ. Kamar mandinya bersebelahan, yang satu tanpa sumur dan berada di pojok dapur. Kamar mandi inilah yang unik sekaligus menjadikan saya rajin membasuh diri pagi-pagi sekali. Pasalnya, tembok tidak lebih tinggi dari bahu sehingga semua orang yang mandi dapat `ditonton' sebatas kepala oleh mereka yang tengah berada di dapur. Rikuh bila tidak biasa, kendati Emak dan ibu saya mengatakan bahwa tidak akan ada orang mengintip. "Lagian, siapa yang berani ngintip perempuan galak kayak kamu?" seloroh Emak. Untuk kesekian kalinya, saya nyengir.

Dari kamar paling depan, terdengar jelas motor lalu lalang. Tepat di seberang rumah memang tempat mangkal ojek. Bila derumnya terlalu berisik, Emak akan berdiri di pekarangan dan berseru, "Gararandeng pisan nya, aing teu bisa sare !" Para pengemudi ojek spontan menjadi tenang, mengingat Emak merupakan salah satu sesepuh di kampung.
Panas yang menggigit kulit pada hari Lebaran lalu menggiring memori saya pada hawa ngaheab di kampung. Mengingat letaknya berdekatan dengan laut, cuaca di sana baru terasa sejuk di pagi dan malam hari. Ramainya pariwisata setempat tidak membuat kami mudah mondar-mandir ke pantai. Emak sibuk membekali dengan pesan super tegas agar kami tidak berperahu apalagi berenang. Menurut mitos, kebanyakan turis domestik yang mengalami kecelakaan di laut adalah warga Bandung. Konon, Nyi Roro Kidul pernah memiliki kekasih dari Bandung. Saya mengangguk-angguk saja mendengar petuah Emak. Jangankan berenang, yang memang tidak mampu saya lakukan, mencium bau amis di Pelabuhan Ratu saja sudah membuat saya mabuk. Dengan begitu, sebenarnya Emak tidak perlu cemas.

Untuk ukuran zaman sekarang, umur Emak tergolong panjang. Saat menutup mata, beliau hampir memasuki usia seratus tahun. Tubuhnya sudah amat bungkuk hingga nyaris menyentuh lantai. Tatkala beliau berpulang beberapa hari setelah Idul Fitri tahun kemarin, kami melepas dengan ikhlas. Penyakit tua menderanya cukup lama hingga beliau tidak sadarkan diri. Namun seperti pesannya, Emak tidak dibawa ke rumah sakit. Beliau ingin berada di rumah, di tanah kelahirannya, sampai mengembuskan napas terakhir.

Sepeninggal Emak, pupus sudah alasan saya untuk pulang kampung. Tak terbayangkan sesaknya hati beliau menyaksikan rumah yang kami huni dahulu berubah total, persis di sebelah kediaman Ua yang ia tempati belakangan. Saya tak sanggup melihat rumah tempat kami bercengkerama dan menjalani suka-duka itu dengan wajah sama sekali baru, dengan tampilan fisik yang mencolok dalam kebersahajaan desa kami. Oleh karena itu, saya mencoba menghadirkan suasana yang masih menempel dalam ingatan di rumah dengan izin suami. Saya biarkan rumah bergaya unfinished, bahkan suami mengerti ketika saya tidak ingin buru-buru mencat dinding. Semua kamar tidak dilengkapi pintu, bahkan kamar belakang dipertahankan dengan atap genteng walau kadang-kadang ditembus hujan es. Saya tidak ingin kehilangan kenangan berharga itu. Kenangan akan sebuah hunian yang disinyalir hanya boleh `jatuh' ke tangan orang yang masih berhubungan darah untuk menghindari kemunculan gangguan-gangguan bersifat mistis. Rumah dengan goah di bagian belakang dan Emak seorang yang boleh memasukinya. Rumah yang ditingkahi suara tokek di malam hari.

Lebaran tahun ini, dalam keheningan desa sekembalinya dari rumah orang tua, benak saya terisi wajah Emak dan `tanah air' nun jauh di sana. Hati diguyur kerinduan, tapi entah ke mana harus menuju. Hanya bait-bait lagu Ebiet G. Ade menjadi peneman merenungkan masa lalu.

...Masih mungkinkah pintumu kubuka
Dengan kunci yang pernah kupatahkan
Lihatlah aku terkapar dan luka
Dengarkanlah jeritan dari dalam jiwa
Aku ingin pulang..
Aku harus pulang..

Peace,
Rinurbad

3a.

Re: Perjuangan Telah Berhasil (Pengumuman Kuis Ma Yan)

Posted by: "batikmania" batikmania@yahoo.com   batikmania

Thu Nov 26, 2009 10:53 pm (PST)



Selamat!!! untuk mbak Sinta, terutama. Sukses ya. Semoga berlanjut dengan kesuksesan lainnya. Amiin.

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, bentang Pustaka <pustakabentang@...> wrote:
>
>
> Perjuangan Telah Berakhir (Pengumuman Kuis Ma Yan)
>
> Perjuangan telah berhasil dan citapun telah tercapai. Bentang Pustaka mengucapkan banyak terima kasih kepada semua teman Bentang yang telah setia menemani Ma Yan dalam memperjuangkan cita-citanya untuk tetap bersekolah. Dari sekian banyak peserta, hanya 3 review yang mencerminkan perjuangan Ma Yan.
>
> Pemenang paket buku Bentang Pustaka
> - Sinta Nisfuanna
> - Dchuex Ajie
> - Ray NevraLone
>
> Para pemenang tidak dipungut biaya apa pun dalam kompetisi ini. Mohon masing-masing pemenang mengonfirmasi alamat pengiriman hadiah melalui bentangpustaka@...
>
> PT BENTANG PUSTAKA Jl. Pandega Padma No. 19 Yogyakarta 55284 Indonesia Phone 62-274-517373 Fax 62-274-541441 www.mizan.com www.klub-sastra-bentang.blogspot.com www.cpublishing.blogspot.com
>

Recent Activity
Visit Your Group
Sitebuilder

Build a web site

quickly & easily

with Sitebuilder.

Y! Messenger

Group get-together

Host a free online

conference on IM.

Yahoo! Groups

Mom Power

Find wholesome recipes

and more. Go Moms Go!

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: