Rabu, 25 November 2009

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2893

sekolah-kehidupan

Messages In This Digest (25 Messages)

Messages

1a.

Re: Bls: [sekolah-kehidupan] Memperingati hari guru

Posted by: "rahma dewi" rachma_dewod1981@yahoo.com   rachma_dewod1981

Tue Nov 24, 2009 3:10 am (PST)



sama-sama mbk asih..dan semoga juga guru-guru kita makin pintar dan makin sabar serta makin tulus dalam mendidik sehingga jangan sampai ada lagi berita murid yang ketakutan karena  di pukul guru, murid yang di paksa minum air ludah karena tak pandai membaca sehingga anak tersebut trauma menelan dan akhirnya kurus kering karena takut minum, jangan samapi ada anak yang lumpuh total karena kesalahan olah raga atau guru ngaji yang mencabuli anak murid nya, atau guru matematika yang membenturkan kepala anak didiknya ke dinding karena di anggap bodoh..atau makian atau hinaan atau perkataan melecehkan seorang guru kepada anak yang belum bisa,...semoga.. kwalitas guru indonesia semakin baik di kedepannya, yang tentu nya akan berdampak baik kepada kwalitas anak didiknya pula..  dan tentu nya ada peningkatan kesejahteraan kepada guru.. jangan sampai  sebulan ngajar cuma di bayar seharga tiket murah batam-jakarta 350.000..
dengan alasan guru honor.. buat teman-teman yang masih jadi guru honor di pedalaman.. sabar ya.. nanti di akhirat aja minta gaji nya ma allah.. abis kalau minta ma diknas.. cuma isapan jempol doang.. pisss

--- On Mon, 11/23/09, Sri Asih <asih_cp09@yahoo.co.id> wrote:

From: Sri Asih <asih_cp09@yahoo.co.id>
Subject: Bls: [sekolah-kehidupan] Memperingati hari guru
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Date: Monday, November 23, 2009, 11:35 PM

 

terimakasih mbak rahma puisinya, bagi kami para guru, asal generasi muda mampu menjadi pembelajar yang baik tidak menuruti emosi berantem dan bertengkar antar siswa bahkan antar mahasiswa dan antar masyarakat sudah sangat bersyukur. Mudah-mudahan Indonesia semakin maju dan masyarakatnya menjadi cerdas dan makmur

--- Pada Sel, 24/11/09, rahma <rachma_dewod1981@ yahoo.com> menulis:

Dari: rahma <rachma_dewod1981@ yahoo.com>
Judul: [sekolah-kehidupan] Memperingati hari guru
Kepada: sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com
Tanggal: Selasa, 24 November, 2009, 2:00 AM

 

Guru ku Pelita ku..

Kamu membuat ku..

Dari tak tau menjadi tau

Dari hitam menjadi putih

Dari keruh menjadi jernih

Dari tak bisa menjadi biasa

Dari gelap menjadi terang

Dari kurang menjadi lebih

Dari kosong menjadi isi..

Dari bodoh menjadi pintar..

Guru ku..akan ku balas apa semua jasamu

Sekarung berlian kah?

Segunung emas kah?

Atau dengan semua mutiara di seluruh samudra..

Tidak guru ku..tak kan mampu ku bayar jasa mu..

Hanya doa ku agar tuhan menepatkan mu

Di surga yang tak berbatas waktu..

Selalu bersama teman-teman di Yahoo! Messenger
Tambahkan mereka dari email atau jaringan sosial Anda sekarang!

2a.

Re: [KELANA LEBARAN] Blitar, Setelah Delapan Tahun Kutinggalkan

Posted by: "dhimaskahar" dhimaskahar@yahoo.com   dhimaskahar

Tue Nov 24, 2009 3:10 am (PST)



Senang ketemu orang Blitar disini. Mudah-mudahan silaturahmi kita bisa saling memberikan motivasi untuk terus berkarya. Sampaikan salam saya untuk keluarga....

SMA 1 dan SMK 1 tidak jauh beda bukan? Jelas beda! Saya juga pernah ke sekolah jenengan untuk sebuah diskusi Jurnalistik (saya lupa nama majalah sekolah SMA 1). So, mengingatkan kembali saat menjadi pelajar di Kota Patria, hehe... Saya di SMP 3 WLingi, yang ini juga beda...

Anda di Bogor? Saya di Banten. Rupanya kita tetap sebelahan ya?

Salam....


--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, vytha wahyu <invy13@...> wrote:
>
> halo pak dhimas, saya juga blitarian, 8 tahun yang lalu juga saya meninggalkan kota tercinta untuk menuntut ilmu di bogor, dan sampai sekarang saya masih mencari nafkah di bogor...
>
> membaca cerita njenengan di bawah ini, saya jadi ingat kembali kenangan lebaran kmrn di blitar juga...
>
> ternyata kita bukan teman satu SMA karena njenengan di SMK, saya di SMA 1, tapi mungkinkah kita teman SMP?
> heghegheg.... bukan hal yang mustahil khan, karena seperti kata banyak orang, dunia ini ternyata sempit saat kita tidak sengaja bertemu dgn teman lama...
>
>
> salam blitarian soekarnoensis [nama keluarga besar blitar di kampus IPB]
>
>
>
> -VyTha W. Hanifah-
> Indonesian Centre for Agriculture Technology and Assessment Development (ICATAD)
> Indonesian Agency for Agriculture Research and Development (IAARD)
> Department of Agriculture
> INDONESIA
> +62 251 350 277 ext. 107
> +62 812 8182 931
> YM: invy13@...
>
>
>
>
> ________________________________
> From: dhimaskahar <dhimaskahar@...>
> To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
> Sent: Monday, November 23, 2009 7:29:12
> Subject: [sekolah-kehidupan] [KELANA LEBARAN] Blitar, Setelah Delapan Tahun Kutinggalkan
>
>
> Oleh: Kahar S. Cahyono
>
> Lebaran tahun ini kami memutuskan untuk mudik ke rumah orang tua di Blitar. Memang, ada berjanjian tidak tertulis antara saya dan Maimunah, istri saya, bahwa prosesi mudik dilakukan bergantian setiap tahun. Tahun lalu, dengan alasan anak kedua saya baru lahir, saya menghabiskan waktu lebaran di Serang, Banten. Sementara pada lebaran sebelumnya, kami mudik ke Palembang, kampung halaman istri.
>
> Beginilah serunya bila menikah dengan orang berbeda pulau. Saya berasal dari Blitar, Jawa Timur. Sedangkan istri asli orang Palembang, Sumatera Selatan. Dengan profesi sebagai karyawan swasta yang bergaji pas-pasan, jelas merupakan hal yang sulit jika kami harus mudik di dua Provinsi itu secara bersamaan. Setiap tahun.
>
> TERTINGGAL
>
> Selepas shalat Jum`at, kami meluncur ke agen bus. Saat itu tanggal 18 September 2009. Menurut informasi yang kami dengar di televisi, hari ini adalah puncak arus mudik. Apalagi, lebaran jatuh pada tanggal 20 September, maju satu hari, sebagaimana yang tertulis di dalam kalender. Bayangan peluk hangat emak dan bapak ketika menyambut kedatangan kami terus memanggil-manggil agar cepat sampai.
>
> Senang saja membayangkan suasana pedesaan tempat saya bermain-main diwaktu kecil. Tentang hamparan padi yang menguning, juga sungai yang mengalir dengan jernih hingga terlihat bebatuan aneka warna di dasarnya. Apalagi kali ini ada yang special, dimana untuk yang bertamakalinya kami mudik bersama anak kedua saya. Auriza Haya Satifa, yang masih berumur 16 bulan.
>
> Sedang asyik-asyiknya membaca buku, istri tampak panik ketika menghampiri saya. â€Å"Pa, ATM-nya ketinggalan…,� suaranya tertahan.
> Saya berusaha tenang, dan memintanya untuk mengecek kembali. Sia-sia, ATM itu tetap saja tidak ditemukan. Padahal waktu sudah menujukkan pukul 14.35, sedangkan 25 menit lagi mobil dijadwalkan berangkat. Untuk alasan keamanan, kami memang sengaja membawa uang tunai secukupnya selama perjalanan. Sehingga ketinggalan ATM, sama artinya melakukan perjalanan hanya dengan berbekal pakaian.
>
> Tidak ada pilihan lain, saya kembali pulang ke rumah setelah terlebih dahulu bernegosiasi dengan pihak bus agar bersedia menunggu jika saya terlambat datang. Tanpa terduga sebelumnya, di jalan, saya satu angkot dengan Tini, teman satu pabrik. Dari gadis berambut sebahu itu saya mengetahui kalau Ahmad Toing, salah satu Yunior Supervisor di tempat kami bekerja meninggal dunia. Ahmad Toing tertabrak pengendara motor yang hendak mudik ke Lampung.
>
> â€Å"Sekarang saya mau melayat kesana,� ujar Tini.
>
> Cerita Tini cukup mengejutkan, karena saya kenal baik dengan Ahmad Toing. Tetapi tetap saja, berita duka itu tidak bisa mengalihkan kegalauan hati saya akibat ketinggalan ATM. Juga kegalauan membayangkan suara protes orang satu bus, karena saya terlambat datang.
>
> Sampai dirumah, saya langsung membuka laci dimana ATM biasa disimpan. Tidak ada. Saya telpon istri, kalau-kalau ATM-nya sudah dipindahkan ke tempat lain. Namun istri menjawab bahwa ATM itu masih di tempat biasanya. Ia tidak merasa memindahkan. Penasaran dengan penglihatan saya, saya keluarkan isi laci itu satu persatu. Beberapa kosmetik yang tersimpan disana saya pindahkan dengan kasar. Sebagaian bahkan saya banting. Kesal.
>
> Masih tidak ada!
>
> Pada titik inilah, kaki saya terasa lemas. Menyadari bahwa saya harus pulang ke Blitar tanpa uang saku, yang berarti harus kembali ke Banten dengan meminta agar tiket dibelikan orang tua. Dalam hati saya berdo`a, agar keajaiban segera tiba.
> Dan benar saja. pada saat yang bersamaan, handphone saya berbunyi. Dari istri, â€Å"Pa, ATM-nya ternyata enggak ketinggalan. Terselip di tas, dibawah tumpukan baju,� ujar Maimunah sambil meminta maaf. Lega rasanya mendengar kabar itu. Kini tinggal satu persoalan, bagaimana caranya agar cepat kembali ke agen bus agar tidak ketinggalan.
>
> 17 JAM DI PANTURA
>
> Hari ini puncak arus mudik, ini sudah saya katakan tadi. Kemacetan panjang terjadi di jalur pantura. Untuk menggambarkan bagaimana kondisi malam puncak arus mudik saat itu, cukuplah saya katakan bahwa kami terjebak dalam kemacetan selama 17 jam. Semalaman kami terkurung dalam lautan kendaraan, yang berebut ingin lebih awal sampai ke tempat tujuan. Bahkan ketika adzan subuh terdengar perlahan dari sebuah masjid yang terletak dipinggir jalan, kami masih belum keluar dari jalur yang terkenal rawan macet itu.
>
> Suasana semakin tidak nyaman manakala anak-anak kecil mulai menangis. Meski mobil yang kami tumpangi ber-AC, namun tetap saja kami merasa gerah manakala mengetahui mobil kami tidak bergerak sama sekali.
> Tanggal 19 September 2009, pukul 12 siang, kami beristirahat di sebuah rumah makan di Cirebon. Jam segini baru sampai di Cirebon? Gila! Padahal dalam waktu normal, kami sudah sampai di perbatasan Jawa Timur.
>
> Sambil menggendong Fadlan, anak saya yang pertama, saya menatap langit terik siang itu dengan penuh dendam. Berjanji dalam hati, untuk bekerja lebih giat agar lebaran tahun depan bisa mudik dengan mobil pribadi. Tidak perlu lagi berdesakan di dalam bus yang penuh sesak, tidak perlu lagi membeli tiket yang harganya melonjak tiga kali lipat.
>
> â€Å"Papa, kapan sampai ke Blitar,� suara anak saya kembali terdengar. Mungkin pertanyaan ini sudah yang ke-30 kali diucapkannya. Mungkin juga lebih.
>
> TAKBIR IDUL FITRI, DI TERMINAL PURBAYA
>
> 20 September 2009, Pukul 01.00 dinihari, kami sampai di Terminal Purbaya, Madiun. Dari terminal ini kami harus berganti kendaraan agar bisa sampai ke Blitar. Sambil menunggu kendaraan yang membawa kami ke kota kelahiran, sayup-sayup terdengar suara takbir idul fitri dari sebuah masjid yang terletak tidak jauh dari terminal. Saya melihat wajah istri berkaca-kaca, sambil menggendong Haya, yang tertidur lelap di gendongannya. Sementara di pangkuan saya, Fadlan juga sedang tertidur pulas.
>
> Sebuah perasaan haru tiba-tiba menyeruak kedalam kalbu, ‘hari kemenangan’ ini harus kami rayakan di tengah perjalanan. Saat mata kami bertemu, tak kuasa saya menahan air mata. Lebaran telah tiba, sementara bus jurusan Madiun â€" Blitar belum tersedia.
> Dua jam menunggu, bus yang kami tumpangi mulai bergerak meninggalkan terminal. Kendati jalur Madiun â€" Blitar relatif lancar, tetap saja kami sampai ke rumah keesokan harinya, bersamaan dengan orang-orang pulang dari sholat Idul Fitri.
>
> Begitu kami sampai di rumah, yang disambut dengan peluk hangat dan linangan air mata orang tua, keharuan itu pun tumpah. Kerinduan menemukan obatnya. Rasa letih dan lelah selama perjalanan mendadak hilang. Inilah barangkali yang disebut orang sebagai sugesti mudik. Yang membuat mereka rela menghabiskan THR dan uang tabungan agar bisa sampai ke kampung halaman. Yang membuat mereka rela terjebak dalam kemacetan, setiap kali waktu mudik tiba. Bahkan, janji di hati kecil saya untuk tidak lagi mudik jika belum memiliki mobil pribadi, dengan sendirinya hilang dari ingatan. Sekarang yang ada adalah luapan rasa bahagia. Bertemu orang tua, handai taulan, dan mantan pacar.
>
> BLITAR IN MEMORIAN
>
> Liburan kali ini saya mengajak istri dan anak-anak menyempatkan diri untuk menyusuri kembali jalan-jalan yang pernah saya jejakkan saat masih remaja. Tahun-tahun sebelumnya, setiap kali ke Blitar, kami tidak sempat berjalan-berjalan. Dan sekarang, setelah delapan tahun menunggu, akhirnya kesempatan itu datang juga. Tempat yang pertama kami kunjungi adalah SMKN 1 Blitar di Jalan Kenari, tempat dimana saya pernah menuntut ilmu. Senang saja menunjukkan kepada istri dan anak-anak, bahwa delapan tahun yang lalu saya pernah bersekolah disini.
>
> Memandangi tower air yang menjulang tinggi ke angkasa, sebagai ciri khasnya, membuat saya teringat kembali masa-masa berseragam abu-abu putih. Terutama dengan teman-teman yang tergabung dalam Journalistic Technical High School, yang senantiasa dalam kekompakan mencari jati diri. Yang tidak pernah bosan menuangkan gagasan dan pemikiran-pemikiran nya melalui Majalah Arsitek, majalah resmi sekolah kami.
>
> Dari Jalan Kenari, saya melanjutkan perjalanan ke alun-alun Blitar melalui Jalan Veteran. Jalan ini memiliki kenangan tersendiri buat saya, karena saya pernah menabrak mobil di tempat ini. Ceritanya, saat malam minggu, berboncengan dengan sahabat saya, Santon, kami hendak ‘wakuncar’. Saya sebenarnya melihat kalau ada mobil sedang berputar arah, sudah berusaha menginjak rem motor, tetapi motor tetap melaju dan menghantam bagian samping mobil. Orang-orang di pinggir jalan berteriak dan segera menolong kami, dan dalam sekejap, ‘wakuncar’ yang kami rencanakan gagal total. Pelajaran berharga yang bisa dipetik, berhati-hatilah selama perjalanan, pikiran jangan melayang kemana-mana!
>
> Dari alun-alun, kami meluncur ke Istana Gebang (Ndalem Gebang), rumah tempat tinggal Orang tua Bung Karno. Rumah ini terletaknya di jalan Sultan Agung No. 69 Kota Blitar. Di rumah inilah Sang Proklamator pernah tinggal ketika remaja. Ketika masih bersekolah di Blitar dan menjadi Pimred Majalah Arsitek, saya sering datang ke tempat ini sepulang sekolah dengan berjalan kaki. Sekedar mencari inspirasi, dan sesekali melengkapinya dengan mengamati dari kejauhan muda-mudi yang asyik berpacaran didalam Kebon Rojo, taman kota. Ach, ini merupkan kenakalan saya saat remaja. Meski, sebagai pembenaran, saya mengatakan ini adalah bagian dari proses kreatif seorang penulis….
>
> Dalam bayangan saya saat itu, saya mengandaikan diri seperti Bung Karno. Kebiasaan beliau pada sore hari adalah ber jalan-jalan di Kebon Rojo dan ke luar masuk kampung di Bendogerit. Sepanjang perjalanan, Bung Karno selalu diikuti anak-anak dan remaja. Acara santai demikian biasanya diakhiri sampai di ndalem Gebang menjelang matahari terbenam.
>
> Ketika memasuki ndalem Gebang, buku autobiografi Bung Karno yang ditulis Cindy Adams benar-benar membakar jiwa muda saya. Dalam buku itu disampaikan, bawah Bung Karno merupakan salah satu tokoh kunci yang sebelumnya mengetahui akan terjadinya sebuah pemberontakan oleh Laskar Pejuang PETA di Blitar pada 14 pebruari 1945. Di ndalem Gebang inilah, sekelompok pemuda yang dipimpin oleh Sudancho Supriyadi berdiskusi dengan Bung Karno perihal rencana Pemberontakan tersebut. Kenyataannya, Bung Karno sendiri memang lebih memilih berjuang melawan penjajahan Jepang lewat jalur kooperatif.
>
> Itulah sebabnya, ketika beberapa waktu lalu kabar bahwa rumah keluarga Bung Karno ini akan dijual, saya ikut gusar. Apalagi alasan dari rencana penjualan rumah bersejarah itu adalah karena ahli waris yang terdiri dari 11 cucu Soekarmini tidak memiliki cukup dana untuk merawat rumah yang menyimpan benda dan barang kenangan terkait Bung Karno itu. Beruntung, Pemerintah Kota Blitar, memastikan akan membeli Istana Gebang, sehingga cagar budaya itu tidak jatuh ke tangan orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
>
> Dari sini kami mampir ke pusat oleh-oleh khas Blitar, Wajik Kletik Bu Prayitno. Tadinya ingin membeli beberapa bungkus untuk oleh-oleh saat kembali ke Banten nanti. Namun karena uang yang kami bawa pas-pasan, niat itu kami batalkan.
>
> Setelah makan siang, di sebuah warung yang terletak di pinggir jalan, kami melanjutkan traveling ke Candi Penataran. Lokasi candi ini terletak di lereng barat-daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter dpl (di atas permukaan air laut), di desa yang juga bernama Panataran, Kecamatan Nglegok, Blitar. Hanya membutuhkan waktu setengah jam dari Istana Gebang untuk sampai ke tempat ini.
>
> Memasuki areal Candi, di pintu utama kami disambut dua buah arca penjaga pintu atau disebut dengan Dwaraphala yang dikalangan masyarakat Blitar terkenal dengan sebutan "Mba Bodo". Yang menarik dari arca penjaga ini bukan karena arcanya yang besar, namun karena wajahnya yang menakutkan (Daemonis). Pahatan angka yang tertera pada lapik arca tertulis dalam huruf Jawa Kuno : tahun 1242 Saka atau kalau dijadikan Masehi menjadi tahun 1320 Masehi. Berdasarkan pahatan angka yang terdapat pada kedua lapik arca, bahwa bangunan suci palah (nama lain untuk Candi Panataran) diresmikan menjadi kuil negara (state-temple) baru pada jaman Raja Jayanegara dari Majapahit yang memerintah pada tahun 1309-1328 Masehi.
>
> Hari sudah senja ketika kami memutuskan untuk meninggalkan Candi Penataran. Waktu terasa berjalan lebih cepat dari biasanya. Padahal kami masih belum puas menjelajahi setiap tempat wisata kota kenangan ini. Mengagumi keindahannya. Belajar dari pesan sejarah yang terkandung di dalamnya.
>
> Kemacetan selama 17 jam di pantura terbayar tunai disini. Selalu ada yang harus dibayar untuk mendapatkan kebahagiaan. Orang bijak mengatakan, berakit-rakit ke hulu, bersenang-senang kemudian. Menyadari akan hal itu, kami memang sengaja tidak menunggu mudik tahun berikutnya untuk melakukan rekreasi.
>
> Saya menyadari kenangan itu tersimpan disini, di dalam hati. Itulah sebabnya, saya berharap, catatan ini bisa dikenang kembali oleh Fadlan dan Haya saat ia sudah bisa ‘memahami’ dunia. (*)
>
>
>
>
>
> New Email names for you!
> Get the Email name you&#39;ve always wanted on the new @ymail and @rocketmail.
> Hurry before someone else does!
> http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/
>

2b.

Re: [KELANA LEBARAN] Blitar, Setelah Delapan Tahun Kutinggalkan

Posted by: "mbakyun38@yahoo.co.id" mbakyun38@yahoo.co.id   mbakyun38

Tue Nov 24, 2009 6:12 am (PST)



Ternyata dunia memang sempit ya tapi seneng juga orang blitar bisa ngumpul di milis ini. Membaca tulisan mas Kahar bikin saya trenyuh dan kangen dengan blitar, bagaimana blitar sekarang ya, tujuh tahun saya tinggalkan Blitar dan sekarang saya tinggal di Papua. Saya sdh lama gabung dengan milis ini tapi krn banyak kesibukan saya akhirnya saya tdk aktif di milis ini. Mudah2an cerita mas Kahar bisa menjadi penyemangat saya untuk aktif di dunia kepenulisan

Salam
Yuni
------Pesan Asli------
From: dhimaskahar
Sender: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
ReplyTo: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Perihal:[sekolah-kehidupan] Re: [KELANA LEBARAN] Blitar, Setelah Delapan Tahun Kutinggalkan
Terkirim:Nov 24, 2009 13:41

� Senang ketemu orang Blitar disini. Mudah-mudahan silaturahmi kita bisa saling memberikan motivasi untuk terus berkarya. Sampaikan salam saya untuk keluarga.... SMA 1 dan SMK 1 tidak jauh beda bukan? Jelas beda! Saya juga pernah ke sekolah jenengan untuk sebuah diskusi Jurnalistik (saya lupa nama majalah sekolah SMA 1). So, mengingatkan kembali saat menjadi pelajar di Kota Patria, hehe... Saya di SMP 3 WLingi, yang ini juga beda... Anda di Bogor? Saya di Banten. Rupanya kita tetap sebelahan ya? Salam.... --- In sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com, vytha wahyu <invy13@...> wrote: > > halo pak dhimas, saya juga blitarian, 8 tahun yang lalu juga saya meninggalkan kota tercinta untuk menuntut ilmu di bogor, dan sampai sekarang saya masih mencari nafkah di bogor... > > membaca cerita njenengan di bawah ini, saya jadi ingat kembali kenangan lebaran kmrn di blitar juga... > > ternyata kita bukan teman satu SMA karena njenengan di SMK, saya di SMA 1, tapi mungkinkah kita teman SMP? > heghegheg... . bukan hal yang mustahil khan, karena seperti kata banyak orang, dunia ini ternyata sempit saat kita tidak sengaja bertemu dgn teman lama... > > > salam blitarian soekarnoensis [nama keluarga besar blitar di kampus IPB] > > > > -VyTha W. Hanifah- > Indonesian Centre for Agriculture Technology and Assessment Development (ICATAD) > Indonesian Agency for Agriculture Research and Development (IAARD) > Department of Agriculture > INDONESIA > +62 251 350 277 ext. 107 > +62 812 8182 931 > YM: invy13@... > > > > >____________ _________ _________ __ > From: dhimaskahar <dhimaskahar@ ...> > To: sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com > Sent: Monday, November 23, 2009 7:29:12 > Subject: [sekolah-kehidupan] [KELANA LEBARAN] Blitar, Setelah Delapan Tahun Kutinggalkan > > > Oleh: Kahar S. Cahyono > > Lebaran tahun ini kami memutuskan untuk mudik ke rumah orang tua di Blitar. Memang, ada berjanjian tidak tertulis antara saya dan Maimunah, istri saya, bahwa prosesi mudik dilakukan bergantian setiap tahun. Tahun lalu, dengan alasan anak kedua saya
Powered by Telkomsel BlackBerry�
2c.

Re: [KELANA LEBARAN] Blitar, Setelah Delapan Tahun Kutinggalkan

Posted by: "vytha wahyu" invy13@yahoo.com   invy13

Tue Nov 24, 2009 5:18 pm (PST)



Terima kasih untuk salamnya. Salam saya juga untuk keluarga njenengan...

Oh ya pernah bertandang ke SMA 1 untuk diskusi jurnalistik? Wah lha saya juga penggiat jurnalistik SMA 1 dulu. Nama majalahnya KHARISMA.

Eh SMP pun ternyata kita punya persamaan, saya di SMP 3 Blitar, heghegheg... cuma beda nama tempatnya aja. Di SMP 3 ini dulunya saya juga salah satu pengggiat jurnalistik, nama majalahnya KRISTAL, dimulai dari SMP inilah saya bersentuhan dengan dunia tulis menulis.

Selamat berkarya...

Salam,

-VyTha W. Hanifah-
Indonesian Centre for Agriculture Technology and Assessment Development (ICATAD)
Indonesian Agency for Agriculture Research and Development (IAARD)
Department of Agriculture
INDONESIA
+62 251 350 277 ext. 107
+62 812 8182 931
YM: invy13@yahoo.com

________________________________
From: dhimaskahar <dhimaskahar@yahoo.com>
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Sent: Tuesday, November 24, 2009 13:41:53
Subject: [sekolah-kehidupan] Re: [KELANA LEBARAN] Blitar, Setelah Delapan Tahun Kutinggalkan

Senang ketemu orang Blitar disini. Mudah-mudahan silaturahmi kita bisa saling memberikan motivasi untuk terus berkarya. Sampaikan salam saya untuk keluarga....

SMA 1 dan SMK 1 tidak jauh beda bukan? Jelas beda! Saya juga pernah ke sekolah jenengan untuk sebuah diskusi Jurnalistik (saya lupa nama majalah sekolah SMA 1). So, mengingatkan kembali saat menjadi pelajar di Kota Patria, hehe... Saya di SMP 3 WLingi, yang ini juga beda...

Anda di Bogor? Saya di Banten. Rupanya kita tetap sebelahan ya?

Salam....

--- In sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com, vytha wahyu <invy13@...> wrote:
>
> halo pak dhimas, saya juga blitarian, 8 tahun yang lalu juga saya meninggalkan kota tercinta untuk menuntut ilmu di bogor, dan sampai sekarang saya masih mencari nafkah di bogor...
>
> membaca cerita njenengan di bawah ini, saya jadi ingat kembali kenangan lebaran kmrn di blitar juga...
>
> ternyata kita bukan teman satu SMA karena njenengan di SMK, saya di SMA 1, tapi mungkinkah kita teman SMP?
> heghegheg... . bukan hal yang mustahil khan, karena seperti kata banyak orang, dunia ini ternyata sempit saat kita tidak sengaja bertemu dgn teman lama...
>
>
> salam blitarian soekarnoensis [nama keluarga besar blitar di kampus IPB]
>
>
>
> -VyTha W. Hanifah-
> Indonesian Centre for Agriculture Technology and Assessment Development (ICATAD)
> Indonesian Agency for Agriculture Research and Development (IAARD)
> Department of Agriculture
> INDONESIA
> +62 251 350 277 ext. 107
> +62 812 8182 931
> YM: invy13@...
>
>
>
>
> ____________ _________ _________ __
> From: dhimaskahar <dhimaskahar@ ...>
> To: sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com
> Sent: Monday, November 23, 2009 7:29:12
> Subject: [sekolah-kehidupan] [KELANA LEBARAN] Blitar, Setelah Delapan Tahun Kutinggalkan
>
>
> Oleh: Kahar S. Cahyono
>
> Lebaran tahun ini kami memutuskan untuk mudik ke rumah orang tua di Blitar. Memang, ada berjanjian tidak tertulis antara saya dan Maimunah, istri saya, bahwa prosesi mudik dilakukan bergantian setiap tahun. Tahun lalu, dengan alasan anak kedua saya baru lahir, saya menghabiskan waktu lebaran di Serang, Banten. Sementara pada lebaran sebelumnya, kami mudik ke Palembang, kampung halaman istri.
>
> Beginilah serunya bila menikah dengan orang berbeda pulau. Saya berasal dari Blitar, Jawa Timur. Sedangkan istri asli orang Palembang, Sumatera Selatan. Dengan profesi sebagai karyawan swasta yang bergaji pas-pasan, jelas merupakan hal yang sulit jika kami harus mudik di dua Provinsi itu secara bersamaan. Setiap tahun.
>
> TERTINGGAL
>
> Selepas shalat Jum`at, kami meluncur ke agen bus. Saat itu tanggal 18 September 2009. Menurut informasi yang kami dengar di televisi, hari ini adalah puncak arus mudik. Apalagi, lebaran jatuh pada tanggal 20 September, maju satu hari, sebagaimana yang tertulis di dalam kalender. Bayangan peluk hangat emak dan bapak ketika menyambut kedatangan kami terus memanggil-manggil agar cepat sampai.
>
> Senang saja membayangkan suasana pedesaan tempat saya bermain-main diwaktu kecil. Tentang hamparan padi yang menguning, juga sungai yang mengalir dengan jernih hingga terlihat bebatuan aneka warna di dasarnya. Apalagi kali ini ada yang special, dimana untuk yang bertamakalinya kami mudik bersama anak kedua saya. Auriza Haya Satifa, yang masih berumur 16 bulan.
>
> Sedang asyik-asyiknya membaca buku, istri tampak panik ketika menghampiri saya. â€Å"Pa, ATM-nya ketinggalan…,� suaranya tertahan.
> Saya berusaha tenang, dan memintanya untuk mengecek kembali. Sia-sia, ATM itu tetap saja tidak ditemukan. Padahal waktu sudah menujukkan pukul 14.35, sedangkan 25 menit lagi mobil dijadwalkan berangkat. Untuk alasan keamanan, kami memang sengaja membawa uang tunai secukupnya selama perjalanan. Sehingga ketinggalan ATM, sama artinya melakukan perjalanan hanya dengan berbekal pakaian.
>
> Tidak ada pilihan lain, saya kembali pulang ke rumah setelah terlebih dahulu bernegosiasi dengan pihak bus agar bersedia menunggu jika saya terlambat datang. Tanpa terduga sebelumnya, di jalan, saya satu angkot dengan Tini, teman satu pabrik. Dari gadis berambut sebahu itu saya mengetahui kalau Ahmad Toing, salah satu Yunior Supervisor di tempat kami bekerja meninggal dunia. Ahmad Toing tertabrak pengendara motor yang hendak mudik ke Lampung.
>
> â€Å"Sekarang saya mau melayat kesana,� ujar Tini.
>
> Cerita Tini cukup mengejutkan, karena saya kenal baik dengan Ahmad Toing. Tetapi tetap saja, berita duka itu tidak bisa mengalihkan kegalauan hati saya akibat ketinggalan ATM. Juga kegalauan membayangkan suara protes orang satu bus, karena saya terlambat datang.
>
> Sampai dirumah, saya langsung membuka laci dimana ATM biasa disimpan. Tidak ada. Saya telpon istri, kalau-kalau ATM-nya sudah dipindahkan ke tempat lain. Namun istri menjawab bahwa ATM itu masih di tempat biasanya. Ia tidak merasa memindahkan. Penasaran dengan penglihatan saya, saya keluarkan isi laci itu satu persatu. Beberapa kosmetik yang tersimpan disana saya pindahkan dengan kasar. Sebagaian bahkan saya banting. Kesal.
>
> Masih tidak ada!
>
> Pada titik inilah, kaki saya terasa lemas. Menyadari bahwa saya harus pulang ke Blitar tanpa uang saku, yang berarti harus kembali ke Banten dengan meminta agar tiket dibelikan orang tua. Dalam hati saya berdo`a, agar keajaiban segera tiba.
> Dan benar saja. pada saat yang bersamaan, handphone saya berbunyi. Dari istri, â€Å"Pa, ATM-nya ternyata enggak ketinggalan. Terselip di tas, dibawah tumpukan baju,� ujar Maimunah sambil meminta maaf. Lega rasanya mendengar kabar itu. Kini tinggal satu persoalan, bagaimana caranya agar cepat kembali ke agen bus agar tidak ketinggalan.
>
> 17 JAM DI PANTURA
>
> Hari ini puncak arus mudik, ini sudah saya katakan tadi. Kemacetan panjang terjadi di jalur pantura. Untuk menggambarkan bagaimana kondisi malam puncak arus mudik saat itu, cukuplah saya katakan bahwa kami terjebak dalam kemacetan selama 17 jam. Semalaman kami terkurung dalam lautan kendaraan, yang berebut ingin lebih awal sampai ke tempat tujuan. Bahkan ketika adzan subuh terdengar perlahan dari sebuah masjid yang terletak dipinggir jalan, kami masih belum keluar dari jalur yang terkenal rawan macet itu.
>
> Suasana semakin tidak nyaman manakala anak-anak kecil mulai menangis. Meski mobil yang kami tumpangi ber-AC, namun tetap saja kami merasa gerah manakala mengetahui mobil kami tidak bergerak sama sekali.
> Tanggal 19 September 2009, pukul 12 siang, kami beristirahat di sebuah rumah makan di Cirebon. Jam segini baru sampai di Cirebon? Gila! Padahal dalam waktu normal, kami sudah sampai di perbatasan Jawa Timur.
>
> Sambil menggendong Fadlan, anak saya yang pertama, saya menatap langit terik siang itu dengan penuh dendam. Berjanji dalam hati, untuk bekerja lebih giat agar lebaran tahun depan bisa mudik dengan mobil pribadi. Tidak perlu lagi berdesakan di dalam bus yang penuh sesak, tidak perlu lagi membeli tiket yang harganya melonjak tiga kali lipat.
>
> â€Å"Papa, kapan sampai ke Blitar,� suara anak saya kembali terdengar. Mungkin pertanyaan ini sudah yang ke-30 kali diucapkannya. Mungkin juga lebih.
>
> TAKBIR IDUL FITRI, DI TERMINAL PURBAYA
>
> 20 September 2009, Pukul 01.00 dinihari, kami sampai di Terminal Purbaya, Madiun. Dari terminal ini kami harus berganti kendaraan agar bisa sampai ke Blitar. Sambil menunggu kendaraan yang membawa kami ke kota kelahiran, sayup-sayup terdengar suara takbir idul fitri dari sebuah masjid yang terletak tidak jauh dari terminal. Saya melihat wajah istri berkaca-kaca, sambil menggendong Haya, yang tertidur lelap di gendongannya. Sementara di pangkuan saya, Fadlan juga sedang tertidur pulas.
>
> Sebuah perasaan haru tiba-tiba menyeruak kedalam kalbu, ‘hari kemenangan’ ini harus kami rayakan di tengah perjalanan. Saat mata kami bertemu, tak kuasa saya menahan air mata. Lebaran telah tiba, sementara bus jurusan Madiun â€" Blitar belum tersedia.
> Dua jam menunggu, bus yang kami tumpangi mulai bergerak meninggalkan terminal. Kendati jalur Madiun â€" Blitar relatif lancar, tetap saja kami sampai ke rumah keesokan harinya, bersamaan dengan orang-orang pulang dari sholat Idul Fitri.
>
> Begitu kami sampai di rumah, yang disambut dengan peluk hangat dan linangan air mata orang tua, keharuan itu pun tumpah. Kerinduan menemukan obatnya. Rasa letih dan lelah selama perjalanan mendadak hilang. Inilah barangkali yang disebut orang sebagai sugesti mudik. Yang membuat mereka rela menghabiskan THR dan uang tabungan agar bisa sampai ke kampung halaman. Yang membuat mereka rela terjebak dalam kemacetan, setiap kali waktu mudik tiba. Bahkan, janji di hati kecil saya untuk tidak lagi mudik jika belum memiliki mobil pribadi, dengan sendirinya hilang dari ingatan. Sekarang yang ada adalah luapan rasa bahagia. Bertemu orang tua, handai taulan, dan mantan pacar.
>
> BLITAR IN MEMORIAN
>
> Liburan kali ini saya mengajak istri dan anak-anak menyempatkan diri untuk menyusuri kembali jalan-jalan yang pernah saya jejakkan saat masih remaja. Tahun-tahun sebelumnya, setiap kali ke Blitar, kami tidak sempat berjalan-berjalan. Dan sekarang, setelah delapan tahun menunggu, akhirnya kesempatan itu datang juga. Tempat yang pertama kami kunjungi adalah SMKN 1 Blitar di Jalan Kenari, tempat dimana saya pernah menuntut ilmu. Senang saja menunjukkan kepada istri dan anak-anak, bahwa delapan tahun yang lalu saya pernah bersekolah disini.
>
> Memandangi tower air yang menjulang tinggi ke angkasa, sebagai ciri khasnya, membuat saya teringat kembali masa-masa berseragam abu-abu putih. Terutama dengan teman-teman yang tergabung dalam Journalistic Technical High School, yang senantiasa dalam kekompakan mencari jati diri. Yang tidak pernah bosan menuangkan gagasan dan pemikiran-pemikiran nya melalui Majalah Arsitek, majalah resmi sekolah kami.
>
> Dari Jalan Kenari, saya melanjutkan perjalanan ke alun-alun Blitar melalui Jalan Veteran. Jalan ini memiliki kenangan tersendiri buat saya, karena saya pernah menabrak mobil di tempat ini. Ceritanya, saat malam minggu, berboncengan dengan sahabat saya, Santon, kami hendak ‘wakuncar’. Saya sebenarnya melihat kalau ada mobil sedang berputar arah, sudah berusaha menginjak rem motor, tetapi motor tetap melaju dan menghantam bagian samping mobil. Orang-orang di pinggir jalan berteriak dan segera menolong kami, dan dalam sekejap, ‘wakuncar’ yang kami rencanakan gagal total. Pelajaran berharga yang bisa dipetik, berhati-hatilah selama perjalanan, pikiran jangan melayang kemana-mana!
>
> Dari alun-alun, kami meluncur ke Istana Gebang (Ndalem Gebang), rumah tempat tinggal Orang tua Bung Karno. Rumah ini terletaknya di jalan Sultan Agung No. 69 Kota Blitar. Di rumah inilah Sang Proklamator pernah tinggal ketika remaja. Ketika masih bersekolah di Blitar dan menjadi Pimred Majalah Arsitek, saya sering datang ke tempat ini sepulang sekolah dengan berjalan kaki. Sekedar mencari inspirasi, dan sesekali melengkapinya dengan mengamati dari kejauhan muda-mudi yang asyik berpacaran didalam Kebon Rojo, taman kota. Ach, ini merupkan kenakalan saya saat remaja. Meski, sebagai pembenaran, saya mengatakan ini adalah bagian dari proses kreatif seorang penulis….
>
> Dalam bayangan saya saat itu, saya mengandaikan diri seperti Bung Karno. Kebiasaan beliau pada sore hari adalah ber jalan-jalan di Kebon Rojo dan ke luar masuk kampung di Bendogerit. Sepanjang perjalanan, Bung Karno selalu diikuti anak-anak dan remaja. Acara santai demikian biasanya diakhiri sampai di ndalem Gebang menjelang matahari terbenam.
>
> Ketika memasuki ndalem Gebang, buku autobiografi Bung Karno yang ditulis Cindy Adams benar-benar membakar jiwa muda saya. Dalam buku itu disampaikan, bawah Bung Karno merupakan salah satu tokoh kunci yang sebelumnya mengetahui akan terjadinya sebuah pemberontakan oleh Laskar Pejuang PETA di Blitar pada 14 pebruari 1945. Di ndalem Gebang inilah, sekelompok pemuda yang dipimpin oleh Sudancho Supriyadi berdiskusi dengan Bung Karno perihal rencana Pemberontakan tersebut. Kenyataannya, Bung Karno sendiri memang lebih memilih berjuang melawan penjajahan Jepang lewat jalur kooperatif.
>
> Itulah sebabnya, ketika beberapa waktu lalu kabar bahwa rumah keluarga Bung Karno ini akan dijual, saya ikut gusar. Apalagi alasan dari rencana penjualan rumah bersejarah itu adalah karena ahli waris yang terdiri dari 11 cucu Soekarmini tidak memiliki cukup dana untuk merawat rumah yang menyimpan benda dan barang kenangan terkait Bung Karno itu. Beruntung, Pemerintah Kota Blitar, memastikan akan membeli Istana Gebang, sehingga cagar budaya itu tidak jatuh ke tangan orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
>
> Dari sini kami mampir ke pusat oleh-oleh khas Blitar, Wajik Kletik Bu Prayitno. Tadinya ingin membeli beberapa bungkus untuk oleh-oleh saat kembali ke Banten nanti. Namun karena uang yang kami bawa pas-pasan, niat itu kami batalkan.
>
> Setelah makan siang, di sebuah warung yang terletak di pinggir jalan, kami melanjutkan traveling ke Candi Penataran. Lokasi candi ini terletak di lereng barat-daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter dpl (di atas permukaan air laut), di desa yang juga bernama Panataran, Kecamatan Nglegok, Blitar. Hanya membutuhkan waktu setengah jam dari Istana Gebang untuk sampai ke tempat ini.
>
> Memasuki areal Candi, di pintu utama kami disambut dua buah arca penjaga pintu atau disebut dengan Dwaraphala yang dikalangan masyarakat Blitar terkenal dengan sebutan "Mba Bodo". Yang menarik dari arca penjaga ini bukan karena arcanya yang besar, namun karena wajahnya yang menakutkan (Daemonis). Pahatan angka yang tertera pada lapik arca tertulis dalam huruf Jawa Kuno : tahun 1242 Saka atau kalau dijadikan Masehi menjadi tahun 1320 Masehi. Berdasarkan pahatan angka yang terdapat pada kedua lapik arca, bahwa bangunan suci palah (nama lain untuk Candi Panataran) diresmikan menjadi kuil negara (state-temple) baru pada jaman Raja Jayanegara dari Majapahit yang memerintah pada tahun 1309-1328 Masehi.
>
> Hari sudah senja ketika kami memutuskan untuk meninggalkan Candi Penataran. Waktu terasa berjalan lebih cepat dari biasanya. Padahal kami masih belum puas menjelajahi setiap tempat wisata kota kenangan ini. Mengagumi keindahannya. Belajar dari pesan sejarah yang terkandung di dalamnya.
>
> Kemacetan selama 17 jam di pantura terbayar tunai disini. Selalu ada yang harus dibayar untuk mendapatkan kebahagiaan. Orang bijak mengatakan, berakit-rakit ke hulu, bersenang-senang kemudian. Menyadari akan hal itu, kami memang sengaja tidak menunggu mudik tahun berikutnya untuk melakukan rekreasi.
>
> Saya menyadari kenangan itu tersimpan disini, di dalam hati. Itulah sebabnya, saya berharap, catatan ini bisa dikenang kembali oleh Fadlan dan Haya saat ia sudah bisa ‘memahami’ dunia. (*)
>
>
>
>
>
> New Email names for you!
> Get the Email name you&#39;ve always wanted on the new @ymail and @rocketmail.
> Hurry before someone else does!
> http://mail. promotions. yahoo.com/ newdomains/ aa/
>

Get your preferred Email name!
Now you can @ymail.com and @rocketmail.com.
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/
2d.

Re: [KELANA LEBARAN] Blitar, Setelah Delapan Tahun Kutinggalkan

Posted by: "dhimaskahar" dhimaskahar@yahoo.com   dhimaskahar

Tue Nov 24, 2009 11:03 pm (PST)



Senang berkenalan dengan mbak Yuni. Papua? Waduh, tentu banyak cerita yang bisa dirangkai dari sana. Kira-kira makanan khas Papua apa ya, soalnya saya jarang sekali mendengar. hehe..., ngarep dapat kiriman.

Salam kembali;
Kahar

3.

(Catcil) Diary Lebaran - Part 2

Posted by: "interaktif" diifaa_03@yahoo.com   diifaa_03

Tue Nov 24, 2009 3:14 am (PST)





2 Syawal 1430 H

Hore… waktunya bepergian dengan keluarga untuk mengunjungi
sanak family nan jauh di sana. Momen ini sangat penting bagiku. Aku
dilahirkan dengan banyak saudara, meski kami sering bertemu dalam acara bulanan
untuk berdo'a bersama tetapi untuk berkumpul dengan keluarga yang lengkap dan
bepergian dengan saudara adalah momen 
yang langka dan itu ada ketika hari raya idul fitri. Di tambah dengan
hadirnya anak – anak kecil yang tidak lain adalah keponakanku menambah daftar
keceriaan di antara kami.

Bermobil dengan ditambah sepeda tidak masalah, semangat itu
akan tetap membara untuk meyambung tali persaudaraan dengan keluarga jauh.
Indah memang idul fitri, Allah sekan memberikan kesempatan pada hambanya untuk
memperat persaudaraaan dan menambah kebahagiaan bagi hambanya.

Di satu rumah yang aku kunjungi, terlihat seorang perempuan
dengan pakaian seadanya dan mungkin tidak layak lagi. Dia adalah saudara
perempuan tiri ayah. Rumah yang sebenarnya harusnya bersih dan indah karena bangunan
itu sudah lebih dari cukup untuk di huni daripada orang – orang yang tak
berpunya yang aku kenal. Rumah itu berdindingkan  batu bata dan warna yang tidak begitu
mengecewakan dari luarnya. Lantainya terbuat dari keramik seperti rumah – rumah
pada umumnya sekarang. Namun ketika pintu itu dibuka, bau menyengat itu
berdesakan memenuhi hidung ini, dan barang – barang yang harusnya berada di
gudang kini berserakan manis di ruang depan. Masya Allah, sungguh mengenaskan
hidupnya.

Dia sebenarnya mempunyai dua anak,  lelaki dan perempuan. Ketika
anaknya yang pertama masih berusia Sembilan tahun, mantan pacarnya mengguna –
gunai dia sehingga dia bertingkah agak aneh. Hal itu menimbulkan rasa sesal
dalam benak suaminya hingga dia memutuskan untuk menikah lagi. Peristiwa itu
membuat dia semakin tak tahu arah. Tekanan hidup semakin melandanya. Dan tak
bisa dihindari lagi kegilaan pun hinggap dalam tubuhnya. Sampai kini dia
terasing di dalam rumahnya, hidup sendiri di dalam hiruk pikuk dirinya dan
rumah yang dia huni.  
Terbersit
Tanya  dalam diri mengapa orang sekitarnya
tak menganggapnya, dia tidak hanya perlu dicukupi materi tetapi dia butuh teman
bicara agar stress tidak melandanya. Hanya rasa syukur yang terucap dari hati
yang rapuh karena masih diberi hidup yang normal.

Perjalanan pun kami teruskan ke Pandan di lereng gunung.
Meski panas menyengat tetapi angin selalu mampu memberikan alasan bagi kami
untuk tetap bisa menikmati kesegaran. Dua orang lelaki dan perempuan   bersaudara duduk di atas kursi dengan
kecemasan di wajahnya ketika melihat
kami. Beberapa anak kecil yang bermain tidak perduli membuat keramain
tersendiri. Ternyata keduanya masih menunggu kedua orang tuanya yang masih
dalam perjalanan setelah bersilatuhrahim. Keduanya tidak bisa masuk ke rumah
karena kunci rumah di bawa mereka.

Waktu beranjak meninggal kami, seperempat jam kemudian
keduanya muncul dengan sepeda motor yang dikendarainya. Tersungging senyum di
bibirnya. Dengan tergopoh mereka merogoh tasnya untuk mengambil kunci rumah,
tetapi mereka tak juga menemukan. Panik mulai mengakrabi mereka, adegan saling
menyalahkan pun terhidang di hadapan kami. Alhasil kami bertamu dengan duduk di
atas lantai teras rumah, namun tidak masalah bagi kami karena itu bukan perkara
yang besar. Untunglah si tuan rumah mempunyai toko di depan rumahnya, akhirnya
mereka menjamu kami dengan makanan dari barang dagangannya.

Tak di sangka bahwa salah satu dari anak kecil yang ada
teras si tuan rumah bukanlah cucu ataupun anak bagi mereka. Dia lelaki yang
tingginya hanya seratus tiga puluh centi meter, kulitnya sawo matang namun
terlihat kusam dan tidak terawat. Tak banyak rambut yang menghuni kepalanya.
Pakaian yang sedikit kumal dan kotor melekat di badannya. Dia berusia kira –
kira baru sepuluh tahun.

Dia dalah anak yang tak berayah dan beribu. Ayah meninggal
dan tidak lama kemudian ibunya menyusul kepergiannya. Jadilah dia anak yatim
piatu, tinggal bersama neneknya yang renta dan adiknya yang masih kecil.
Sebenarnya banyak orang yang ingin mengadopsi dia, tetapi dia tidak menghiraukannya.
Entahlah apa yang sedang dipikirkannya. Setiap hari dia berjalan ke sana ke
mari untuk mendapatkan belas kasihan dari penduduk desa, mengharap orang lain
membari uang untuk uang saku adiknya dan memberi makan neneknya.

 Ya Allah… betapa
hinanya aku jika kemudian tak juga ada rasa syukur dalam diri dengan
kehidupanku yang serba kecukupan dan bahkan 
berlebihan sedangkan di sisi lain dari bumimu ada anak yang dengan keceriaan
hidup tanpa kasih sayang dari ayah dan ibunya.

Sungguh itu adalah dua pelajaran yang sangat berharga untuk
lebih mensyukuri hidup ini.

salam 
Wiwik Hafidzoh

New Email addresses available on Yahoo!
Get the Email name you&#39;ve always wanted on the new @ymail and @rocketmail.
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/
4a.

JANGAN PUAS(A) MENULIS

Posted by: "radinal88" radinal88@yahoo.co.id   radinal88

Tue Nov 24, 2009 6:09 am (PST)



Semakin sering orang menulis dan semakin sering pula orang memikirkan (membaca) tulisannya, semakin bagus jualah karyanya. DEAN KOONTZ

Kata-kata motivasi diatas saya baca dari salah satu catatan facebook Pak Hernowo, penulis Mengikat Makna Update, yang mengingatkan saya pada komitmen dalam menulis. Hal ini sangat berkaitan erat dengan apa yang pernah saya tulis di AndrieWongso.Com ; Namun sadarkah kita, apa pun definisi yang telah kita buat tentang kesuksesan, kesuksesan tersebut tetaplah dipengaruhi oleh diri kita sendiri. Ya diri kita sendiri. Bukan orang lain. Bukan pemimpin. Bukan rekan sejawat. Bukan perusahaan. Tapi diri kita sendirilah yang menentukan apakah kita akan sukses, akan bahagia, akan tenang dan lain sebagainya.

Dan, saya pun, sebagaimana sering dilakukan Pak Hernowo dalam bukunya Mengikat Makna Update, ingin menambahkan kata "dalam menulis" setelah kata kesuksesan. Sehingga kita akan mendapatkan kesimpulan bahwa apa pun definisi yang telah kita buat tentang kesuksesan dalam menulis, kesuksesan (dalam menulis) tersebut tetaplah dipengaruhi oleh diri kita sendiri. Ya diri kita sendiri. Bukan orang lain. Bukan pemimpin. Bukan rekan sejawat. Bukan perusahaan. Tapi diri kita sendirilah yang menentukan apakah kita akan sukses dalam menulis, akan bahagia, akan tenang dan lain sebagainya.

Sehingga tepatlah kiranya saya berkomentar mengenai tulisan Pak Hernowo tersebut dengan mengatakan bahwa Para ahli, hanya dapat memberikan perbaikan struktur kata, kalimat bahkan bahasa. Tapi tidak dapat masuk kepada rasa yang diinginkan oleh penulis itu sendiri.

Berkaitan dengan hal tersebut, yaitu komitmen dalam menulis, saya kira puas dan puasa, sebagaimana tulisan ini saya beri judul, adalah dua hal yang berpotensi besar untuk menghancurkan komitmen tersebut.

Puas dalam menulis; saya artikan sebagai kegiatan bahagia dalam menulis sehingga ia TIDAK MENULIS KEMBALI. Padahal, diakui atau tidak, sebagaimana Pak Bambang Trim menuliskan dalam catatan facebook nya bahwa karier kepenulisan kagak ada matinye! Artinya, tidak ada kata PUAS dalam menulis!

Puasa dalam menulis; saya artikan sebagai kegiatan berhenti menulis. Baik itu karena mengalami kebuntuan atau pun ide yang belum matang. Dalam hal ini kebuntuan, solusi yang ditawarkan Pak Andrias Harefa dalam catatan facebooknya yang berjudul Bekal Penulis , sangat dapat dipraktekkan. Sebagaimana Pak Hernowo, Pak Andrias, sebagaimana diakuinya terinspirasi dari bukunya Pak Bambang Trim, meletakkan membaca sebagai salah satu bekal utama seorang penulis. saya mengatasi berbagai kebuntuan ide dengan membaca, sehingga terpicu lagi untuk menulis, tulis beliau.

Ada pun dalam hal ide yang belum matang, beternak ide-nya Pak Nursalam Ar mungkin bisa menjadi solusi. Dalam catatan facebooknya yang berjudul 7 langkah menulis fiksi, beliau menerangkan hal ini di point nomor dua. Beliau menuliskan empat jurus beternak ide; kandangkan, beri makan, kembang biakkan dan jual!

Sebagai kesimpulan, Janganlahlah berhenti menulis, baik karena puas maupun puasa. Teruslah, sebagaimana tulisan Pak Edy Zaques dalam catatan facebooknya, pertahankan semangat menulis untuk meningkatkan branding. Karena membaca tanpa menulis, dalam hal ini Pak Jufran Helmi yang menulis di catatan beliau, seperti orang yang terus makan tetapi tidak pernah membuang air. Hasilnya adalah penyakit!

;Catatan 'Mengikat Makna' catatan facebook
Radinal Mukhtar Harahap

http://kumpulan-q.blogspot.com
http://be-excellent-santri.blogspot.com

4b.

Re: JANGAN PUAS(A) MENULIS

Posted by: "Bang Aswi" bangaswi@yahoo.com   bangaswi

Tue Nov 24, 2009 5:14 pm (PST)



Menulis memang pekerjaan seumur hidup. Ketika pekerjaan lain ada istilah masa pensiun, menulis tidak. Masa pensiun menulis adalah ketika penulisnya mengembuskan napas terakhirnya. Sama halnya seperti Rendra yang meninggalkan puisi terakhirnya. Jadi, teruslah menulis sampai ajal menjemput kita semua....

Bang Aswi - Pekerja Buku
Blog: http://bangaswi.com
YM: bangaswi

--- On Tue, 11/24/09, radinal88 <radinal88@yahoo.co.id> wrote:

From: radinal88 <radinal88@yahoo.co.id>
Subject: [sekolah-kehidupan] JANGAN PUAS(A) MENULIS
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Date: Tuesday, November 24, 2009, 3:38 AM

 

Semakin sering orang menulis dan semakin sering pula orang memikirkan (membaca) tulisannya, semakin bagus jualah karyanya. DEAN KOONTZ

Kata-kata motivasi diatas saya baca dari salah satu catatan facebook Pak Hernowo, penulis Mengikat Makna Update, yang mengingatkan saya pada komitmen dalam menulis. Hal ini sangat berkaitan erat dengan apa yang pernah saya tulis di AndrieWongso. Com ; Namun sadarkah kita, apa pun definisi yang telah kita buat tentang kesuksesan, kesuksesan tersebut tetaplah dipengaruhi oleh diri kita sendiri. Ya diri kita sendiri. Bukan orang lain. Bukan pemimpin. Bukan rekan sejawat. Bukan perusahaan. Tapi diri kita sendirilah yang menentukan apakah kita akan sukses, akan bahagia, akan tenang dan lain sebagainya.

Dan, saya pun, sebagaimana sering dilakukan Pak Hernowo dalam bukunya Mengikat Makna Update, ingin menambahkan kata "dalam menulis" setelah kata kesuksesan. Sehingga kita akan mendapatkan kesimpulan bahwa apa pun definisi yang telah kita buat tentang kesuksesan dalam menulis, kesuksesan (dalam menulis) tersebut tetaplah dipengaruhi oleh diri kita sendiri. Ya diri kita sendiri. Bukan orang lain. Bukan pemimpin. Bukan rekan sejawat. Bukan perusahaan. Tapi diri kita sendirilah yang menentukan apakah kita akan sukses dalam menulis, akan bahagia, akan tenang dan lain sebagainya.

Sehingga tepatlah kiranya saya berkomentar mengenai tulisan Pak Hernowo tersebut dengan mengatakan bahwa Para ahli, hanya dapat memberikan perbaikan struktur kata, kalimat bahkan bahasa. Tapi tidak dapat masuk kepada rasa yang diinginkan oleh penulis itu sendiri.

Berkaitan dengan hal tersebut, yaitu komitmen dalam menulis, saya kira puas dan puasa, sebagaimana tulisan ini saya beri judul, adalah dua hal yang berpotensi besar untuk menghancurkan komitmen tersebut.

Puas dalam menulis; saya artikan sebagai kegiatan bahagia dalam menulis sehingga ia TIDAK MENULIS KEMBALI. Padahal, diakui atau tidak, sebagaimana Pak Bambang Trim menuliskan dalam catatan facebook nya bahwa karier kepenulisan kagak ada matinye! Artinya, tidak ada kata PUAS dalam menulis!

Puasa dalam menulis; saya artikan sebagai kegiatan berhenti menulis. Baik itu karena mengalami kebuntuan atau pun ide yang belum matang. Dalam hal ini kebuntuan, solusi yang ditawarkan Pak Andrias Harefa dalam catatan facebooknya yang berjudul Bekal Penulis , sangat dapat dipraktekkan. Sebagaimana Pak Hernowo, Pak Andrias, sebagaimana diakuinya terinspirasi dari bukunya Pak Bambang Trim, meletakkan membaca sebagai salah satu bekal utama seorang penulis. saya mengatasi berbagai kebuntuan ide dengan membaca, sehingga terpicu lagi untuk menulis, tulis beliau.

Ada pun dalam hal ide yang belum matang, beternak ide-nya Pak Nursalam Ar mungkin bisa menjadi solusi. Dalam catatan facebooknya yang berjudul 7 langkah menulis fiksi, beliau menerangkan hal ini di point nomor dua. Beliau menuliskan empat jurus beternak ide; kandangkan, beri makan, kembang biakkan dan jual!

Sebagai kesimpulan, Janganlahlah berhenti menulis, baik karena puas maupun puasa. Teruslah, sebagaimana tulisan Pak Edy Zaques dalam catatan facebooknya, pertahankan semangat menulis untuk meningkatkan branding. Karena membaca tanpa menulis, dalam hal ini Pak Jufran Helmi yang menulis di catatan beliau, seperti orang yang terus makan tetapi tidak pernah membuang air. Hasilnya adalah penyakit!

;Catatan 'Mengikat Makna' catatan facebook

Radinal Mukhtar Harahap

http://kumpulan- q.blogspot. com

http://be-excellent -santri.blogspot .com

5a.

[Catcil] Tiga Tanda Cinta

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Tue Nov 24, 2009 1:23 pm (PST)



*Tiga Tanda Cinta*

*Oleh Nursalam AR*

Ada tiga torehan tanda cinta yang �kukenang dalam hidupku
sekaligus menjadi penyemangat diri dalam hidupku selama ini.

* *

*Sebagai Ayah*

*�Bakat terbentuk dalam kesunyian, watak terpupuk dalam riak besar
kehidupan.� (Goethe)*

Menjadi ayah, bagiku, adalah kegembiraan dan juga salah satu riak besar
kehidupan. Kegembiraan akan datangnya sang buah cinta dan darah daging
adalah hal wajar. Namun pada saat yang sama riak besar kehidupan mungkin
tidak selalu menyertai perjuangan setiap calon ayah. Buatku ini sebuah ujian
kehidupan untuk menggembleng watak. Barangkali aku patut bersyukur
semestinya. Karena sepertinya, setelah sepekan pertama menjadi ayah, Allah
memberikan gelombang riak besar jelang kelahiran bayiku sebagai ujian agar
kuat bertahan dalam gelombang-gelombang besar berikutnya. *Pre-test*,
barangkali maksud-Nya demikian.

Jelang kelahiran bayiku, permohonan kasbon sebulan gaji ditolak *boss*.
Padahal sudah sejak sebulan sebelumnya ia sudah mengulur-ulur dengan
berbagai alasan seperti kondisi keuangan kantor yang tidak memungkinkan dll
� kendati aku tahu betul kegemarannya *dugem* yang menghabiskan jutaan
rupiah tiap malam. Tapi saat kedatanganku ke ruangannya terakhir kali itu,
sang *boss* mungkin tidak menyadari bahwa � sedetik setelah penolakannya �
aku akan mengambil keputusan keluar dari kantor (pada saat yang tepat).
Kembali menjadi �orang bebas� seperti tiga tahun sebelumnya.

Menjelang pernikahanku dua tahun lalu pada 2007, demi memenuhi keinginan ibu
mertua, aku memang bekerja kantoran. Masih sebagai penerjemah *legal English
* (dokumen hukum dan bisnis) di agensi atau biro penerjemahan. Ini juga
berpindah-pindah. Dari agensi penerjemahan di Jakarta Timur aku hanya
bertahan lima bulan. Ada persoalan ketidakberesan gaji dan perlakuan yang
tidak manusiawi. Setelah pindah ke biro yang lain � yang ini karena sang *
boss* adalah sahabat lamaku dan ada beberapa kompromi termasuk gaji, di mana
aku lebih mengalah, dibuat � aku juga tak bertahan lama.

Per Desember 2008 aku resmi berhenti bekerja kantoran. Membuka bisnis agensi
penerjemahan sendiri. Meski, dilihat dari kesiapan infrastruktur dan modal,
lebih cocok untuk disebut �penerjemah *freelance*�. Bayangkan saja kantor
agensi penerjemahan tanpa fasilitas printer, koneksi internet, faksimili dan
sambungan telepon rumah. Ruangannya pun menyatu dengan sebuah kamar � yang
aku, istri dan anakku tempati � yang menumpang pada rumah ibu mertuaku.
Lebih persis lagi, kantorku adalah seperangkat komputer � yang,
alhamdulillah, sudah lunas -- kreditan. *That�s it!*

Gila! Mungkin ada yang menyebut demikian. Termasuk beberapa kawan dan
kerabat yang menyayangkan mengapa aku berhenti bekerja justru di saat baru
memiliki anak. Sementara istriku juga sudah berhenti bekerja sejak
mengandung dua bulan. Tapi aku yakin Allah Maha Pemurah. Bagi manusia, tanpa
pandang kualitas ibadah atau agamanya, pasti ada rejeki masing-masing asal
berani menjemput. Termasuk, yang aku yakini juga, ada bagian rejeki yang
sudah dicatatkan-Nya di *lauhul Mahfuz* di atas sana untuk anakku yang kini
sedang lucu-lucunya di usianya yang tiga bulan.

Ya, aku sedang belajar menjadi ayah. Pelajaran pertama yang kucatat, saat
permohonan kasbonku ditolak *boss* yang notabene sahabat sendiri, adalah *hanya
Allah yang sesungguhnya dan selayaknya menjadi tempat bergantung*. Sedekat
apapun manusia, mereka punya keterbatasan dan tak bisa selalu diharapkan.

Ketika kasbon ditolak sementara dokter sudah menvonis istriku harus
dioperasi caesar beberapa pekan lagi, datang tawaran dua order besar � yang
terbilang jarang aku dapat--kepadaku. Aku ajukan kesanggupan dan minta
klien-klienku tersebut setor uang muka (DP, *down payment*) terlebih dulu.
Kendati itu harus aku tebus dengan bekerja dobel keras karena selepas *
ngantor* aku harus begadang hingga dini hari untuk menyelesaikan kedua order
tersebut hingga sebulan lebih. Tapi dengan itulah aku dapat mencukupi biaya
operasi caesar istriku. Alhamdulillah, anakku lahir dengan selamat.
Laki-laki. Muhammad Alham Navid namanya.

Empat puluh hari pertama bagi seorang ayah baru sepertiku sungguh tak
terlupakan. Sementara berjuang bermalam-malam menyelesaikan dua order
terjemahan tersebut, aku juga harus membantu istriku mengganti popok bayi
atau menidurkannya. Frekuensi menyusui dan buang air (kecil dan besar) bayi
dalam 40 hari pertama sungguh dahsyat. Rata-rata nyaris seperempat jam
sekali. Alhasil, meski sudah dibantu ibu mertua dalam merawat bayi kami, aku
ambruk dan sempat jatuh sakit. Cukup parah hingga seminggu tidak *ngantor*.
Dan aku pikir itulah saat yang tepat untuk *resign*, berhenti bekerja.
Setelah agak membaik, aku pamit baik-baik dari kantor.

Rasanya sudah cukup aku memperkaya sahabatku itu -- hingga tubuhku bobrok
-- yang tak peduli dengan kondisiku yang notabene pegawainya sendiri. Di
kantorku tersebut hanya ada dua orang tenaga penerjemah termasuk aku.
Sehingga aku tahu betul � semestinya � posisi tawar kami. Namun hidup memang
keras. Dan barangkali itu yang harus dijalani.

Aku bukan *super daddy*, ayah super dan juga tak ingin menjadi seperti itu.
Aku hanya ingin jadi ayah yang baik, yang mampu memberikan kehidupan dan
penghidupan yang layak bagi anaknya. Jalan terbaik, yang ada di pikiranku
saat itu, adalah mencoba mandiri, berusaha sendiri. Jatuh bangun, aku pikir
sudah biasa, niscaya akan mendewasakanku.

Tak urung aku *shock* juga ketika riak-riak besar yang lain menghantam. Dua
klienku yang sebelumnya itu -- ketika pekerjaan sudah aku serahkan -- lari
dengan meninggalkan sisa tagihan tak terbayar. Jumlahnya mencapai enam
setengah juta rupiah. Lebih terpukul lagi ketika, saat malam berhujan lebat
dan dingin menyengat, dada kiriku nyeri dan aku terbatuk-batuk hebat di
kamar mandi. Ketika aku meludah, ludahku merah seperti bekas ludah nenekku
dahulu yang suka makan sirih. Merah darah. Berkali-kali aku meludah, hal
yang sama berulang. Juga di hari-hari berikutnya. *Ya Allah, cobaan apalagi
ini?*

Bukan itu saja. Sebagian kawan tak percaya waktu aku bilang hidup satu atap
bersama mertua tidaklah mudah. Mereka mengajukan argumentasi soal
penghematan biaya hidup dan kemudahan saat mengurus anak yang masih bayi.
Aku tertawa. Aku dan kawan-kawan itu tak punya definisi yang sama soal
�tinggal di wisma mertua indah�. Setiap definisi, seumum apapun cakupannya,
tentu tak sanggup mencakup sesuatu yang di luar kelaziman. Nah, itulah yang
aku jalani. Buktinya barangkali bisa ditanyakan pada mas kawin pernikahan
kami yang rajin �disekolahkan� di pegadaian. Barangkali saat ini mereka
sudah pintar mengajari kami � aku dan istriku � soal perjuangan hidup.

Aku selalu menghibur istriku, setelah sholat malam dan di berbagai
kesempatan, bahwa roda senantiasa akan berputar asalkan kita tak kenal lelah
untuk memutarnya. Sebagai ayah, aku belajar mempersiapkan mental baja agar
anakku nanti tak lemah. Sepeninggalku, jika sampai waktuku, aku tak ingin
meninggalkan keturunan yang lemah, yang hanya bergantung pada orangtua
bahkan hingga mereka dewasa dan saatnya menikah. Bukankah anak singa takkan
lahir dari seekor kambing?

Sesungguhnya penghiburan terutama bagi kami � yang penat dengan jungkir
balik kehidupan terutama pasca aku berhenti *ngantor* � adalah sang putera
tersayang, Alham. Beratnya yang pada usia tiga bulan mencapai lima kilo
lebih dengan pipi gembul dan perawakan jangkung membuatnya tampak lebih
besar dari bayi-bayi seusianya. Ocehannya yang banyak, terutama selepas
disusui, kerap membuatku sadar bahwa banyak hal yang patut disyukuri
ketimbang disesali dalam hidup ini.

*�Mencintai seseorang akan membuatmu berani, dan dicintai seseorang akan
membuatmu kuat,�* demikian kata Lao Tze, sang filsuf dari Tiongkok kuno. Itu
pelajaran kedua bagiku sebagai ayah. Berani berhutang, bentuk praktisnya.

Saat orderan terjemahan sepi, sementara aku mengisi waktu dengan menulis
untuk koran, dan kami berhari-hari bertahan hidup dengan mie instan plus
telur dan tak jarang hanya nasi goreng tanpa lauk � tanpa mertua dan kakak
ipar tahu � aku tak tega membiarkan anakku yang masih menyusui hanya dapat
asupan ASI yang alakadarnya. Selain menerjemahkan dan menulis, aktivitasku
sebagai *trainer* penulisan untuk anak-anak *dhuafa* sama sekali � dan
memang bukan tujuan � tidak dapat diandalkan untuk tambahan pendapatan.
Solusi kuno yang termudah, sejak awal peradaban manusia, untuk kekurangan
pendapatan adalah berhutang meski salah satu hadis Rasullulah SAW mengatakan
bahwa itu sebagian dari tanda-tanda kehinaan.

Mata anakku yang bening dan besar saat menatapku, kerapkali saat aku gendong
untuk menidurkan atau membuatnya bersendawa, seakan bertanya kepadaku,�Abi
ngutang lagi ya?�

�Iya nih,� jawabku dengan mimik dibuat lucu untuk mencandainya. Biasanya ia
yang murah senyum akan tertawa terkekeh-kekeh. Terlebih lagi jika aku dengan
gokil menirukan gaya tangannya yang khas seperti gaya orang menyetir mobil
atau seperti gaya Superman terbang � dengan satu tangan teracung lurus ke
depan.

�Nanti Alham sekolah yang tinggi ya. Biar jadi orang kuat,� pesanku. Entah
mengerti atau tidak, ia tersenyum lebar. Tampak lucu menggemaskan dengan
penampakan gusi kosong dan binaran mata kelerengnya. Semoga saja harapan
ayahnya ini terpatri di alam bawah sadarnya kelak saat dewasa.

Ya, menjadi orang kuat � dalam pengertian fisik, keimanan, ilmu, finansial
dan kedudukan � adalah syarat seorang pejuang, nama �Alham� adalah salah
satu nama penulis-pejuang yang aku kagumi, dalam apapun bentuk perjuangan
yang ditekuninya.

Jika ada tangga menuju kesuksesan di masa depan yang harus didaki anakku ini
maka aku rela jadi anak tangga terbawah untuk ia pijak menuju pijakan
berikutnya. Ketika banyak orang maupun tetangga memuji-mujinya sebagai anak
yang �pintar� atau �responsif�, aku termimpi-mimpi Alham berkuliah di luar
negeri. *Ah, mimpi yang indah*.

Sayang aku lekas terbangun di dini hari itu. Entahlah apakah ini juga obsesi
masa laluku yang tak sampai ketika seorang dosen menawariku beasiswa S-2 ke
Jerman bahkan ketika aku masih di semester lima. Sayang S-1 pun tak mampu
aku tamatkan. Kekurangan biaya, alasannya. Klise memang.

Belajar menjadi ayah memang perlu waktu panjang. Aku rasa aku masih di tahap
teramat dini di usia anakku belumlah genap setahun. Namun pelajaran ketiga
yang utama yang aku dapatkan di tiga bulan menjadi ayah adalah: *jika ada
kemauan pasti ada jalan*. Dengan kondisi menjadi ayah dan suami
berpenghasilan tak menentu yang pernah tertipu orang, terlilit hutang dan
kehabisan tabungan � yang merupakan ujian Allah agar emas terpisah dari
loyang � aku belajar mengendalikan emosi, lebih menghargai istri dan belajar
mensyukuri yang ada serta lebih gesit mengejar peluang.

Di titik inilah aku merasakan dengan makna sejati-jatinya bahwa pernikahan �
termasuk keberadaan anak --mendewasakan orang. Saat beberapa teman lajang
curhat kepadaku tentang susahnya hidup melajang dan mereka berangan-angan
tentang (melulu) indahnya pernikahan, aku tersenyum. Aku hanya berdoa semoga
kelak, dengan harapan semuluk itu, mereka tidak menyesal menikah.

Karena sebenarnya ungkapan lama �sengsara membawa nikmat� dari Tulis Sutan
Sati � penulis Melayu angkatan Balai Pustaka � dalam konteks pernikahan
dapat terbolak-balik letaknya. Dan cinta tak selalu semakna dengan bisikan
mesra atau tatapan sayang. Cinta sejati lebih merupakan perjuangan yang tak
jarang berlumur peluh dan air mata.

Itulah kisah di bulan-bulan awal lahirnya putera pertamaku. Satu tanda
cintaku untuk puteraku terkasih.

Namun tak lengkap hidupku ini yang bagai mozaik jika hanya mengungkap satu
sisi saja. Jauh menapaktilasi sejarah hidupku, ada kenangan terselip di
lipatan waktu dalam neuron otakku. Sebuah kenangan untuk tanda cintaku bagi
sang guru.

*Sebagai Murid*

*�....Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa, dan tidak ada yang
dapat menambah umur kecuali amal kebaikan.� (Hadis Riwayat Ahmad, Nasa�i dan
Ibnu Majah)*

�Berangkat, Bu?� sapaku pada seorang ibu tua berjilbab yang sedang berjalan
tertatih-tatih menuju halte bus. Ia menggunakan tangkai payung panjang
sebagai tongkat.

Wajah tuanya terperangah. Kacamata minusnya masih seperti dulu. Hanya
bertambah tebal. Di tengah kebingungannya berusaha mengenaliku, aku
menjumput lengan keriputnya dan mencium tangannya. Penghormatan untuk
guruku. Ibu guru spesialku.

Keberkahan dan panjangnya umur, itulah yang aku pohonkan kepada Allah untuk
ibu yang satu ini. Di manapun ia berada saat ini. Ia bukan ibuku. Bukan juga
saudara atau kerabatku. Namun ia, dalam salah satu fase perjalanan hidupku,
sangat berarti. Dan tidaklah hidupku yang sekarang ini lengkap -- atau
bahkan mungkin aku tidak akan seperti sekarang ini -- jika tanpa amal
kebaikannya untukku. Yang ia lakukan dua puluh enam tahun lalu saat aku
masih di bangku Sekolah Dasar.**

Bu Satimah, demikian kami memanggilnya. Ia guru kelas satu SD. Orang pertama
yang mengajariku baca tulis. Tentu itu memang tugas setiap guru kelas satu,
yang barangkali terasa wajar dan tidak istimewa. Barangkali demikian. Dan
memang amal kebaikan Bu Satimah � tanpa mengecilkan jasanya yang satu itu �
yang teramat istimewa padaku bukanlah saat ia memosisikan diri khusus
sebagai guru. Justru ketika ia memosisikan diri sebagai ibu, sebagai manusia
yang punya kepekaan dan nurani. Di situlah ia menjadi sangat berarti dan tak
tertandingi.

*****

Sewaktu kecil, aku menderita penyakit kencing batu sejak usia 4 tahun. Konon
sebabnya karena aku terlalu banyak mengonsumsi makanan dan minuman yang
manis-manis. Sakitku itu terus berlanjut ke tahun-tahun berikutnya hingga
sukses mengubahku yang semula bayi montok yang aktif menjadi balita yang
kuyu dan penyakitan.

Pada usia 5 tahun, aku dikhitan. Anak-anak Betawi seusiaku memang lazim
dikhitan atau disunat pada usia dini. Bahkan ada yang sudah dikhitan sejak
masih seminggu setelah dilahirkan � dengan mencontoh Kanjeng Nabi Muhammad
SAW. Namun, khusus untukku, orangtuaku mengkhitankanku � dengan menumpang,
karena pertimbangan biaya, pada saat perayaan khitanan sepupuku � terutama
agar aku lekas sembuh dari penyakitku itu. Mereka tentu saja, yang sangat
aku yakin, tak tega melihat anak ke-8 mereka menjerit kesakitan tiapkali
buang air kecil dan tak bisa bermain leluasa seperti anak-anak sebayanya.
Tubuhku pun saat itu kurus, lesu dan bungkuk.

Untuk yang terakhir itu karena, untuk menahan rasa sakit, aku sering
menempelkan perutku ke bagian paha. Menahan sekuat-kuatnya rasa sakit yang
mendera. Rasa sakitnya memang tak tertahankan. Karena urine harus berjuang
keras melewati gumpalan batu mengeras di kandung kemih. Serasa ada puluhan
pisau tajam mengiris bagian dalam kelaminku. Pernah saking putus asanya, aku
berdoa memohon kematian kepada Allah. Ya, aku ingin mati di usia muda agar
tak merepotkan orangtuaku lebih lama.

Di usia semuda itu aku tahu betapa bingungnya kedua orangtuaku mencari biaya
ke dokter atau berobat alternatif. Mereka tahu satu-satunya jalan adalah
operasi. Namun, untuk memberi makan keenam anaknya yang hidup dari 12 anak
yang terlahir, mereka berjuang susah payah. Jadi, opsi operasi sungguh suatu
kemewahan. Dan untuk menggapainya dibutuhkan keajaiban.

Solusi realistis, menurut saran-saran tetangga, adalah aku harus dikhitan.
Barangkali karena niat baik tersebut penyakitku mereda. Aku tak lagi sepayah
tahun-tahun sebelumnya kendati masih harus rutin mengonsumsi jamu-jamu dan
rebusan daun kumis kucing. Saat itu, era 1980-an, memang belum ada pil
praktis atau obat instan seperti saat ini yang dapat menghancurkan batu
dalam kandung kemih. Operasi laser, tanpa harus melalui pembedahan, untuk
pasien kencing batu juga belum dikenal.

Bagi kami, aku dan keluargaku terutama kedua orangtuaku, sekedar mereda pun
sudah merupakan nikmat Allah yang patut disyukuri. Setidaknya aku dapat
bersekolah seperti anak-anak kebanyakan. Meski untuk aktivitas permainan
remeh temeh yang umumnya saat itu lazim dikuasai anak-anak sebayaku �
seperti bermain layang-layang dan bersepeda -- aku sangat tertinggal.
Penyakitku memang memaksaku tak boleh kelelahan dan harus banyak berdiam di
rumah. Aku baru bisa belajar bersepeda saat kelas 5 SD.

***

Tahun 1983, saat usiaku 6 tahun, aku dimasukkan ke sebuah sekolah dasar
negeri di dekat rumahku di bilangan Jakarta Selatan. Bu Satimah adalah
guruku di kelas satu. Sebagaimana umumnya guru-guru kelas satu, ia *welas
asih*, penyayang, ramah dan baik hati. Satu hal yang paling mengesankan
bagiku adalah saat ia menunjukkan pendiriannya dan kepeduliannya.

�Kamu harus tetap sekolah,� ujarnya padaku. �Salam harus ikut testing,� ia
tegaskan itu di depanku dan ibuku serta di hadapan guru-guru lain di ruang
kepala sekolah. �Meskipun testingnya di rumah.�

�Siapa yang bertanggung jawab? Siapa yang bisa jamin?� tanya seorang guru
perempuan, dengan nada sinis.

Bu Satimah menatap tegar. �Saya yang jamin. Saya yang bertanggung jawab.�

Saat itu, di akhir kelas satu, kembali penyakitku bertambah buruk. Aku tak
bisa keluar rumah. Ibuku pun meminta kebijaksanaan dari sekolah agar aku
diberikan dispensasi untuk mengikuti testing di rumah. Itu memang di luar
kebiasaan dan peraturan umum sekolah. Terlebih lagi kami sebagai pihak yang
mengajukan bukanlah orang yang berkecukupan, bahkan serba kekurangan. Itu
jelas, bagi pihak sekolah, sebuah permintaan yang luar biasa � jika tidak
bisa dibilang mengherankan.

Pandangan tersebut tercermin jelas dalam rapat dewan guru yang dipimpin
kepala sekolah. Sebagian melecehkan bahkan menyinggung hal-hal lain yang tak
relevan dengan permohonan dari ibuku. Aku dan ibuku duduk mengikuti rapat
tersebut dengan berdebar. Aku merasa bagai pesakitan atau terdakwa saat itu.

Tapi saat itu aku merasakan betapa ibuku � yang hanya berpendidikan kelas 4
SD � punya keberanian besar, yang jelas didorong cinta, agar anaknya tetap
dapat bersekolah. Seburuk apapun kondisinya. Aku makin cinta ibuku yang
duduk terdiam di sampingku. Ia yang lugu tampak bersahaja dengan kerudung
dan kebaya yang dikenakannya. Aku tahu dalam diamnya ia berdoa untukku. Dan
aku tahu aku merasakan cintaku untuknya makin besar semenjak itu.

Ternyata dalam ruangan itu tak hanya ada satu cinta untukku. Dukungan yang
diberikan Bu Satimah dengan tegas untuk kelanjutan sekolahku memapas
pelecehan dan pesimisme pihak sekolah. Meski aku tahu beberapa guru seakan
bersungut-sungut, tapi sang malaikat penyelamat itu � dengan rambut ikal
pendeknya dan kacamata minusnya � bersiteguh dengan argumentasinya yang
cerdas. Wajahnya memang terkesan keras. Konon ia kelahiran Jawa Timur. Namun
hari itu ia menunjukkan kelembutan sayap-sayap hatinya. *My teacher, I love
you!*

Bukan itu saja yang membuatku kian salut kepadanya. Setelah perjuangannya
yang keras di depanku, ia memberikan kepercayaan yang besar kepadaku dan
keluargaku. Semestinya, dengan saran kepala sekolah, Bu Satimah harus selalu
mengawasi aku ketika sedang mengerjakan soal testing di rumah. Namun ia
sepenuhnya memercayakan pengawasan itu kepada kedua orangtuaku. Selama pekan
testing, ia hanya mengantarkan bahan testing ke rumahku dan mengambilnya
selepas jam sekolah.

�Saya percaya kok bapak ibu orang jujur. Salam juga anak jujur. Jadi saya
percaya saja,� demikian jelasnya. Kedua orangtuaku yang terharu dengan
kepercayaan tersebut menjaga betul amanah tersebut. Bahkan ayahku tak
segan-segan menjewer salah satu kakakku yang mencoba membantuku mengerjakan
soal testing. Kepercayaan memang barang mahal.

*Alhamdulillah*, dengan prosedur testing yang �di luar kebiasaan� tersebut,
aku dinyatakan berhak naik kelas ke kelas dua. Namun sakitku yang bertambah
parah, dan ketiadaan dana orangtuaku, aku pun cuti dari sekolah. *Bedrest*.
Lagi-lagi di luar kebiasaan. Setahun kemudian � setelah menjalani operasi
pada 1984 dengan biaya pinjaman dari kerabat � aku melanjutkan ke kelas dua.
Teman-teman seangkatanku sendiri sudah berada di kelas tiga.

Bu Satimah juga yang mengusulkan gagasan cuti tersebut. Dan, lagi-lagi,
dengan gemilang ia membelaku di hadapan para rekan sejawatnya. Sungguh,
bagiku, ia malaikat. Siapa pula yang saat itu � mungkin hingga kini -- mau
membela murid miskin sakit-sakitan tanpa bayaran? Di tahun-tahun belakangan,
setelah memahami realitas kehidupan, aku semakin menganggapnya malaikatku.

Sayang tahun-tahun berlalu membawa sekaligus melipat segala kenangan
termasuk kebaikan. Waktu memang paling ampuh memunahkan segalanya. Ditakar
dengan besarnya jasa Bu Satimah, balasanku atas kebaikannya sangat tak
sepadan. Aku hanya satu dua kali berkunjung ke rumahnya. Itu pun semasa aku
bersekolah di SD. Selepas SD, aku sama sekali melupakannya. Kendati ibuku,
yang merasa amat berhutang budi kepada Bu Satimah, selalu memintaku
mengunjungi sang ibu guru yang hidup sederhana di bantaran Kali Ciliwung
yang selalu kebanjiran dari tahun ke tahun.

Yang aku tahu, untuk beberapa belas tahun kemudian, Bu Satimah masih
mengajar kelas satu di almamaterku itu. Dengan penampilan fisik yang menua
dan gaya jalan yang tak lagi gagah dan cepat seperti dulu. Tapi, lagi-lagi
hanya berdasarkan kabar, di usia menjelang pensiun ia masih melanjutkan
kuliah S-1 di IKIP Jakarta. Guru-guru SD seangkatannya � dan yang menjadi
para guruku di SD � memang lulusan SPG, sebuah sekolah pendidikan guru
tingkat menengah yang telah dibubarkan pemerintah.

Hingga terjadilah pertemuan saat itu antara si Malin Kundang ini dengan sang
malaikat penyelamatnya � yang ironisnya telah dilupakannya bertahun-tahun.

�Sudah SMP kamu, Lam?� Bu Satimah akhirnya mengenaliku. Pandangannya
menelisik dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku yang masih kelas tiga SMP
saat itu merasa risih juga dengan bulu kakiku yang mulai tumbuh lebat.

�Makin jangkung aja!� Ia tersenyum. �Belajar yang bener ya!� Ia
menepuk-nepuk bahuku yang kini jauh lebih tinggi darinya. Malaikat berhati
emas ini memang berukuran tak seberapa tinggi namun � dalam kenanganku �
nyalinya dan kepeduliannya jauh melebihi tinggi fisik tubuhnya.

Teramat sayang saat pertemuan itu � mungkin karena gumpalan perasaan yang
campur baur di hatiku � aku tak banyak berkata-kata. Bertemu dengannya �
setelah aku lama melupakannya � bagaikan bertemu dengan seorang pemberi
hutang yang sama sekali tak menagih hutang dan bersikap seakan-akan kita tak
punya hutang kepadanya. Hanya saja sang pengutang, dalam hal ini aku, yang
merasa kikuk bukan kepalang.

Di akhir pertemuan singkat itu, Bu Satimah menawariku berkunjung ke
rumahnya. Dengan gaya polos ABG, aku jawab,�Iya, Bu, kapan-kapan.� Aku lupa
mengucapkan �Insya Allah�. Dan memang bertahun-tahun setelahnya aku tak
pernah mampir ke rumahnya yang terletak di daerah Cawang. Hanya beberapa
kilometer dari rumahku. Hanya dibatasi Kali Ciliwung yang kecoklatan airnya.

Sewaktu kuliah, aku pun mendapat kabar ia tak lagi tinggal di situ. Tak
seorang pun di sekitar rumah lamanya itu yang tahu kemana sang malaikat itu
berada.

Aku kian merasa sebagai Malin Kundang. Bahkan hingga saat ini, detik ini.

Namun lebih jauh ke belakang ada kenangan mengharukan lain yang juga
membuatku merasa sebagai anak durhaka, si Malin Kundang. Kenangan yang
merupakan tanda cinta yang lain, untuk kedua orang tuaku.

*Sebagai Anak*

Lebaran selalu identik dengan baju baru. Sudah lazim orang bertanya di
penghujung Ramadhan,�Eh, sudah beli baju baru belum?� Entahlah, sejak kapan
tradisi membeli baju baru untuk Lebaran ini berawal. Padahal Nabi Muhammad
SAW dalam salah satu hadisnya dalam Shahih Bukhari hanya memerintahkan kita
mengenakan �pakaian yang terbaik� pada hari raya Idul Fitri. Tapi �terbaik�
di sini selalu dimaknai sebagai sesuatu yang �baru�.

Di zaman penjajahan dulu saat kehidupan sehari-hari susah termasuk untuk
makan apalagi untuk beli baju, hal tersebut dapat dipahami. Tidak ada
pakaian sehari-hari yang �layak� atau �terbaik� dipakai pada hari raya. *
Wong*, ada yang sampai bikin celana dari karung goni atau karung beras kok.
Bila dari kain belacu, itu sudah lumayan, demikian cerita almarhum ayahku.
Maka wajarlah bila yang terbaik dimaknai sebagai sesuatu yang baru. Tapi di
zaman saat ini, anehnya, tradisi itu terus berlangsung. Meski saat ini
banyak orang sanggup beli baju tiap bulan, bahkan setiap momen khusus, entah
pesta ulang tahun atau piknik.

Namun sewaktu aku kanak-kanak, pikiran bijak tersebut sama sekali jauh dari
pikiran. Yang aku tahu adalah jika aku tak punya baju baru berarti aku
berbeda dari teman-teman sepermainanku. Dan aku malu karenanya. Itu saja.
Sebetulnya kondisi ekonomi keluargaku tahun 80-an itu juga memprihatinkan.

Saat itu keluargaku masih lengkap. Sangat lengkap, ada ayah dan ibu dan enam
anak-anaknya. Aku sendiri anak kelima dari enam bersaudara. Empat laki-laki
dan dua perempuan. Semuanya bersekolah, dan belum ada yang bekerja saat itu.
Suatu kondisi yang lumayan berat bagi ayahku (kami biasa memanggilnya *aba*)
yang hanya montir mobil panggilan. Ibu hanya ibu rumah tangga biasa, yang
coba membantu *aba* dengan membuat kue yang dititipkannya di warung-warung
di dekat rumah.

Ada juga tambahan penghasilan dari beberapa petak rumah kontrakan yang baru
dirintis *aba* yang sayangnya tak cukup menutupi kebutuhan keluarga. Maklum,
rumah kontrakan kami kecil dan tidak terlalu bagus sehingga *aba* tak
terlalu tega untuk mengenakan harga sewa yang tinggi. Apalagi harga sewa
rumah kontrakan saat itu tidak setinggi sekarang.

Aku ingat betul waktu itu seminggu lagi Lebaran. Aku kelas tiga SD, sembilan
tahun usiaku. Agak telat memang. Karena di kelas satu SD aku sempat cuti
sekolah karena sakit kencing batu. Baru kemudian atas jasa baik Bu
Satimah�guruku di kelas satu�aku dapat melanjutkan sekolah di kelas dua di
sekolah yang sama tanpa harus membayar biaya tambahan.

Ya, sakit yang mengharuskan aku istirahat selama setahun di rumah itu
sangat membebani keluarga untuk ongkos pengobatan kesana-kemari. Atas izin
Allah, *alhamdulillah*, aku sembuh setelah batu sebesar kepalan tangan bayi
itu berhasil diangkat dari kandung kemihku melalui operasi bedah. Waktu itu
belum dikenal teknologi bedah laser sehingga aku harus mendapat beberapa
jahitan. Biaya operasinya tiga ratus ribu rupiah (ingat saat itu tahun
1984!), hasil berhutang dari salah seorang pemilik warung tempat ibuku biasa
menitipkan dagangan kuenya.

Alhasil persoalan baju baru adalah persoalan istimewa bagiku. Tidak setiap
bulan aku bisa punya baju baru. Sering juga memang langganan kerja
*aba*�kebanyakan
etnis Cina di kawasan Jakarta Barat�memberikan pakaian bekas mereka�yang
menurutku bekas hanya karena jarang sekali dipakai atau tertumpuk di lemari
pakaian�yang masih bagus-bagus sebagai bonus atas kerjanya yang dianggap
memuaskan ketika memperbaiki mobil mereka. Tapi ya tetap saja judulnya baju
bekas, bukan baju baru ya *to*?

�Lam, lo udah punya baju baru belom?� tanya salah seorang temanku. Kami
sedang bermain *gundu* alias kelereng menunggu beduk berbuka puasa.

Aku pura-pura sibuk membersihkan kelereng-kelerengku yang berdebu. Tanah
tempat kami bermain memang berdebu. Waktu itu kemarau.

�Gue sih udah punya dua. Satu baju koko, satu kaos!� tukas temanku yang lain
berbangga. Senyumnya cerah. Bagiku itu senyum mengejek.

Obrolan pun beralih ke topik baju baru. Ah, panas sekali telingaku. Aku juga
saat itu bingung kenapa ibu belum juga mengajakku ke pasar. Biasanya dua
pekan sebelum Lebaran ibu mengajakku�karena adikku masih dianggap terlalu
kecil�berbelanja baju Lebaran di Pasar Jatinegara. Pasar yang padat dan
sumpek di tepi lapangan Jenderal Oerip Soemohardjo, Jakarta Timur. Tapi aku
ingat betul betapa harumnya bau baju-baju baru yang tergantung di kios-kios
pedagang maupun emperan kaki lima. Tak peduli peluh dan lelah karena
seringkali ibu harus bolak-balik masuk toko mencari barang terbaik dengan
harga termurah. Tapi aku senang-senang saja. Itulah ritual menjelang
Lebaran.

Ketika aku pulang ke rumah pun, *aba* dan ibu sama sekali tak membahas soal
baju baru. Kakak-kakakku yang lain juga bersikap biasa-biasa saja. Kakakku
yang terdekat perempuan, selisih usia kami tiga tahun. Mungkin ia sudah
cukup paham. Tapi itu dia, bukan aku.

Malam harinya selepas sholat Tarawih, aku bergegas sampai ke rumah paling
awal. Ketika ibu baru merapikan mukenah dan sajadahnya dari masjid, aku
langsung merajuk meminta. Ibu cuma bilang,�Nanti juga dibeliin. Sabar!� Aku
tak puas. Aku dekati *aba* yang sedang asyik merokok di ruang depan.
Jawabnya pun sama,�Sabar ye��

Aku pun pupuk kesabaran hingga beberapa hari. Tinggal tiga hari menjelang
Lebaran. Ibu sudah sibuk membuat kue Lebaran. Sebagian pesanan tetangga.
Tapi ada yang kurang. Baju baru. Anehnya kakak-kakakku masih tenang-tenang
saja. Entahlah apakah ibu sudah berhasil memenangkan mereka. Adikku sendiri
yang selisih usia empat tahun di bawahku, anehnya, tak seribut aku. Rasanya
di hari-hari menjelang Lebaran jantungku kian berdebar. Tiap malam saat
keluarga berkumpul menonton TV�saat itu masih hitam putih 14 inci�aku
berharap ibu akan berkata,�Lam, besok ke pasar yuk!�

Namun ucapan itu tak kunjung keluar dari bibirnya. *Aba* pun ketika
�kudesak-desak kembali hanya membentak dengan mata mendelik,�Tanya ibu lo
sono!� Ah, rasanya kesabaranku habis. Tangisku meledak. Esoknya, dua hari
menjelang Lebaran, aku tidak bermain keluar rumah. Sekolah memang sudah
libur. Aku berdiam saja di rumah. Tidak kemana-mana. Hanya mendekam di
kolong tempat tidur. Aku sedang protes!

*Aba* dan ibu membujuk. Kakak-kakakku mengiming-imingi janji beli permen
atau penganan. Semuanya membujuk agar aku mau keluar dari kolong tempat
tidur. Cukup lama aku bertahan, sambil sesekali berteriak dan menangis. Aku
tak peduli meski salah satu kakakku bilang puasaku batal karena aku
menangis.

Ubin lantai di kolong tempat tidur dingin dan agak berdebu. Kerongkonganku
lelah berteriak. Dada juga sakit dan leher pegal karena tak bisa tegak. Aku
pun terbatuk-batuk hebat. Tapi biarlah. Aku lebih rela begini daripada malu
tak punya baju baru, pikirku.

Menjelang azan Ashar, ibu menyerah. Beliau janji mengajakku ke pasar
keesokan harinya. Wah, hilang sudah pegal, dingin dan batukku! Terbayang aku
bisa sholat Ied, berkunjung ke rumah kerabat, dan paling penting bisa
beramai-ramai bersama teman-temanku berbaris meminta *angpao *dari para
tetangga. Itu momen-momen terindah saat Lebaran. Dan itu mustahil tanpa baju
baru.

Alhasil, sehari menjelang Lebaran itu, jadilah aku punya baju baru. Seharian
ibu mengajakku berbelanja baju. Ternyata termasuk baju Lebaran untuk
kakak-kakakku. Mungkin *aba* dan ibu sebenarnya sudah punya uang untuk beli
baju. Tapi tunggu waktu yang tepat, batinku. Ah, yang penting hatiku gembira
sekali saat itu.

Malamnya malam Takbiran. Selepas takbiran bersama di masjid, aku lekas
pulang ke rumah. Mengepaskan baju baruku di depan cermin. Ya, baju yang
didapat dengan perjuangan keras. Keras betul, menurutku. Anehnya, meski film
terakhir di TV�saat itu paling malam siaran TVRI berakhir pukul dua belas
dengan acara terakhir film Barat. Itu pun hanya satu film sepanjang hari�aku
tak merasa mengantuk sama sekali.

Lamat-lamat kudengar *aba* dan ibu berbincang-bincang di kamarnya.

�Pinjem duit siape buat belanje tadi?� Suara *aba* terdengar bertanya.

Terdengar tarikan nafas berat ibu. �Nunung kasih pinjem. Kapan aje
gantiinnye katenye.� Nunung adalah adik tiri *aba*. Suaminya, Om Misdi,
seorang pematung yang sering dapat orderan dari luar daerah. Kehidupan
mereka memang lebih berada daripada kami.

Tarikan nafas berat *aba* menyusul. �Gak enak juga ye minjem mulu ame die.�

�Ye, gak pape deh. Tadi juga ditahan-tahanin malunye. Namenye juga buat
anak.�

Sunyi. Sesunyi perasaanku malam itu. Kegembiraan malam itu terasa berkurang.
Ya, demi anak. Duh, *aba*, ibu, maafkan aku. Peristiwa malam Takbiran itu
sangat membekas. Seingatku, itulah terakhir kalinya aku merengek minta baju
baru untuk Lebaran. Toh, tanpa aku merengek pun, tahun-tahun berikutnya
kedua orangtuaku tak pernah lupa membelikan kami baju baru untuk Lebaran.
Entah, barangkali dengan uang tabungan atau kembali berhutang, aku tak tega
menanyakannya. Cukuplah mereka hanya tahu kami gembira menerimanya.

Sayang ibuku keburu wafat pada 1997 saat aku baru menginjak tahun pertama
kuliah di Universitas Indonesia (UI). Aku belum bisa membelikannya baju baru
untuk Lebaran. Namun, setidaknya untuk beberapa tahun kemarin--ketika aku
sudah punya penghasilan sendiri--aku sempat membelikan baju Lebaran untuk *
aba*: baju koko, peci dan sarung untuk sholat Ied. Tidak mahal-mahal sekali,
tapi itu pun sudah bagus sekali, kata *aba* sambil berucap terima kasih.
Binar riang matanya dan senyum bangganya ketika berterima kasih padaku sudah
cukup melegakanku. Moga itu bisa menebus rasa susah hatinya saat aku protes
sambil *ngumpet *di kolong tempat tidur dulu. Orang tua manapun pasti pusing
jika anak merengek minta baju baru sementara tak ada uang di saku. Mungkin
aku juga begitu jika kelak menjadi orang tua, Insya Allah..

Di tahun 2006, sebetulnya aku berencana memberikan baju koko dan sarung
terbaik buat *aba*. Namun Allah berkehendak lain. *Aba* berpulang ke
rahmatullah pada usianya ke-73 tepat *nisfu sya�ban*, lima belas hari
menjelang Ramadhan tahun itu. Tepat *ba�da* Maghrib 8 September 2006. Duhai,
betapa sunyinya Ramadhan saat itu tanpa kedua orang tua. Baju baru memang
bukan masalah lagi, tapi apalah artinya tanpa kedua orang tua di hari raya
nan fitri?

Ah, aku teringat sebuah perkataan bijak dalam salah satu buku yang pernah
kubaca,�Kasih sayang anak ketika merawat orang tua takkan pernah dapat
menebus kasih sayang orang tua terhadap anak. Orang tua merawat anak ketika
kecil hingga dewasa tanpa tahu bagaimana akhirnya kelak apakah sang anak
akan membalas budinya atau justru mendurhakainya. Sementara anak merawat
orang tua dengan sebuah akhir yang diketahuinya bahwa orang tuanya akan
wafat di hari tua.� Jadi jelas nilainya sangat berbeda. Kasih orang tua
sepanjang hayat, kasih anak sepanjang galah.

Dalam hati aku berdoa,�Ya Allah, pakaikan kedua orang tuaku baju baru di
surga-Mu.� *Amien yaa robbal �alamien*.

Ya, �amin� adalah ucapan penutup yang indah untuk semua kenangan dan
harapan. Bagiku, ketiga kenangan tersebut adalah tiga tanda cinta yang
memancarkan keindahan dengan caranya masing-masing. Keindahan yang tak
sekadar jadi bahan nostalgia bertahun-tahun kemudian namun menumbuhkan �lan
vital dalam diriku bahwa aku telah berdiri di atas bahu-bahu raksasa ayah
dan ibuku serta guruku untuk menopang puteraku melihat lebih jauh, melompat
lebih tinggi dariku nantinya. *****

--
"There is no life without risks"
Nursalam AR
Translator - Writer - Trainer
0813-10040723
021-92727391
Facebook: www.facebook.com/nursalam.ar
Blog: www.nursalam.multiply.com
5b.

Re: [penulisbestseller] [Catcil] Tiga Tanda Cinta

Posted by: "indah ip" indahip@gmail.com   iip01

Tue Nov 24, 2009 5:15 pm (PST)



Pagi-pagi baca email yang menginspirasi begini, really made my day!

Quote favoritku dalam tulisan mas Nursalam:

*�Mencintai seseorang akan membuatmu berani, dan dicintai seseorang akan
membuatmu kuat,� Lao Tze

**"Cinta Sejati merupakan perjuangan"*

Makasih untuk sharingnya, ya mas Nursalam. Membuatku merenung, "Maka nikmat
Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?"

Tulisannya sungguh inspiratif.

Salam,
Indah IP
www.kiraziya.blogspot.com

2009/11/25 Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com>

>
>
> *Tiga Tanda Cinta*
>
> *Oleh Nursalam AR*
>
>
>
> Ada tiga torehan tanda cinta yang �kukenang dalam hidupku
> sekaligus menjadi penyemangat diri dalam hidupku selama ini.
>
> * *
>
> *Sebagai Ayah*
>
> *Sebagai Murid*
>
> *Sebagai Anak*
>
5c.

Re: [penulisbestseller] [Catcil] Tiga Tanda Cinta

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Tue Nov 24, 2009 6:23 pm (PST)



Alhamdulillah, jika tulisan sederhana tersebut bermanfaat, setidaknya
membuat Mbak Indah terinspirasi:). Yah, sekadar berbagi kisah nyata,
renungan dan pengalaman hidupan dengan harapan dapat bershodaqoh kata untuk
sobat milis semua.

Makasih ya sudah membaca dan berkomentar:)

Tabik,

*Nursalam AR*

2009/11/25 indah ip <indahip@gmail.com>

>
>
>
> Pagi-pagi baca email yang menginspirasi begini, really made my day!
>
> Quote favoritku dalam tulisan mas Nursalam:
>
> *�Mencintai seseorang akan membuatmu berani, dan dicintai seseorang akan
> membuatmu kuat,�� Lao Tze
>
> **"Cinta Sejati merupakan perjuangan"*
>
> Makasih untuk sharingnya, ya mas Nursalam. Membuatku merenung, "Maka nikmat
> Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?"
>
> Tulisannya sungguh inspiratif.
>
> Salam,
> Indah IP
> www.kiraziya.blogspot.com
>
>

--
"There is no life without risks"
Nursalam AR
Translator - Writer - Trainer
0813-10040723
021-92727391
Facebook: www.facebook.com/nursalam.ar
Blog: www.nursalam.multiply.com
5d.

Re: [Catcil] Tiga Tanda Cinta

Posted by: "anty th" anty_th@yahoo.com   anty_th

Tue Nov 24, 2009 6:40 pm (PST)



Sangat menyentuh ^_^

Sebagai AYAH :
Alham dan istri tercinta pasti bangga punya imam seperti mas salam

Sebagai MURID :
Ibu guru yang punya hati mulia itu akan bangga memiliki anak didik seorang pejuang sejati. jangan lupa selalu menyelipkan nama beliau di dalam doa

Sebagai ANAK :
Orang tua mas Salam pasti sangat bahagia memiliki anak soleh dan berbakti, walau tak harus berupa materi berlimpah.
Kekuatan doa anak ibarat deposito yang takkan henti mengalir ^_^

Akhirnya .....
TFS ya Mas...
anty banyak belajar dari tulisan indah ini ^_^

salam
anty

5e.

Re: [Catcil] Tiga Tanda Cinta

Posted by: "Novi Khansa" novi_ningsih@yahoo.com   novi_ningsih

Tue Nov 24, 2009 7:13 pm (PST)



TFS...
mengingatkan aku kembali untuk selalu bersyukur...
mengingat orang tua, kakak-kakak, guru, sahabat... yang penuh cinta...

salam,

Novi

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Nursalam AR <nursalam.ar@...> wrote:
>
> *Tiga Tanda Cinta*
>
> *Oleh Nursalam AR*
>
>
>
> Ada tiga torehan tanda cinta yang `kukenang dalam hidupku
> sekaligus menjadi penyemangat diri dalam hidupku selama ini.
>
> * *
>
> *Sebagai Ayah*
>
> *"Bakat terbentuk dalam kesunyian, watak terpupuk dalam riak besar
> kehidupan." (Goethe)*
>
> Menjadi ayah, bagiku, adalah kegembiraan dan juga salah satu riak besar
> kehidupan. Kegembiraan akan datangnya sang buah cinta dan darah daging
> adalah hal wajar. Namun pada saat yang sama riak besar kehidupan mungkin
> tidak selalu menyertai perjuangan setiap calon ayah. Buatku ini sebuah ujian
> kehidupan untuk menggembleng watak. Barangkali aku patut bersyukur
> semestinya. Karena sepertinya, setelah sepekan pertama menjadi ayah, Allah
> memberikan gelombang riak besar jelang kelahiran bayiku sebagai ujian agar
> kuat bertahan dalam gelombang-gelombang besar berikutnya. *Pre-test*,
> barangkali maksud-Nya demikian.
>
> Jelang kelahiran bayiku, permohonan kasbon sebulan gaji ditolak *boss*.
> Padahal sudah sejak sebulan sebelumnya ia sudah mengulur-ulur dengan
> berbagai alasan seperti kondisi keuangan kantor yang tidak memungkinkan dll
> – kendati aku tahu betul kegemarannya *dugem* yang menghabiskan jutaan
> rupiah tiap malam. Tapi saat kedatanganku ke ruangannya terakhir kali itu,
> sang *boss* mungkin tidak menyadari bahwa – sedetik setelah penolakannya –
> aku akan mengambil keputusan keluar dari kantor (pada saat yang tepat).
> Kembali menjadi "orang bebas" seperti tiga tahun sebelumnya.
>
> Menjelang pernikahanku dua tahun lalu pada 2007, demi memenuhi keinginan ibu
> mertua, aku memang bekerja kantoran. Masih sebagai penerjemah *legal English
> * (dokumen hukum dan bisnis) di agensi atau biro penerjemahan. Ini juga
> berpindah-pindah. Dari agensi penerjemahan di Jakarta Timur aku hanya
> bertahan lima bulan. Ada persoalan ketidakberesan gaji dan perlakuan yang
> tidak manusiawi. Setelah pindah ke biro yang lain – yang ini karena sang *
> boss* adalah sahabat lamaku dan ada beberapa kompromi termasuk gaji, di mana
> aku lebih mengalah, dibuat – aku juga tak bertahan lama.
>
> Per Desember 2008 aku resmi berhenti bekerja kantoran. Membuka bisnis agensi
> penerjemahan sendiri. Meski, dilihat dari kesiapan infrastruktur dan modal,
> lebih cocok untuk disebut "penerjemah *freelance*". Bayangkan saja kantor
> agensi penerjemahan tanpa fasilitas printer, koneksi internet, faksimili dan
> sambungan telepon rumah. Ruangannya pun menyatu dengan sebuah kamar – yang
> aku, istri dan anakku tempati – yang menumpang pada rumah ibu mertuaku.
> Lebih persis lagi, kantorku adalah seperangkat komputer – yang,
> alhamdulillah, sudah lunas -- kreditan. *That's it!*
>
> Gila! Mungkin ada yang menyebut demikian. Termasuk beberapa kawan dan
> kerabat yang menyayangkan mengapa aku berhenti bekerja justru di saat baru
> memiliki anak. Sementara istriku juga sudah berhenti bekerja sejak
> mengandung dua bulan. Tapi aku yakin Allah Maha Pemurah. Bagi manusia, tanpa
> pandang kualitas ibadah atau agamanya, pasti ada rejeki masing-masing asal
> berani menjemput. Termasuk, yang aku yakini juga, ada bagian rejeki yang
> sudah dicatatkan-Nya di *lauhul Mahfuz* di atas sana untuk anakku yang kini
> sedang lucu-lucunya di usianya yang tiga bulan.
>
> Ya, aku sedang belajar menjadi ayah. Pelajaran pertama yang kucatat, saat
> permohonan kasbonku ditolak *boss* yang notabene sahabat sendiri, adalah *hanya
> Allah yang sesungguhnya dan selayaknya menjadi tempat bergantung*. Sedekat
> apapun manusia, mereka punya keterbatasan dan tak bisa selalu diharapkan.
>
> Ketika kasbon ditolak sementara dokter sudah menvonis istriku harus
> dioperasi caesar beberapa pekan lagi, datang tawaran dua order besar – yang
> terbilang jarang aku dapat--kepadaku. Aku ajukan kesanggupan dan minta
> klien-klienku tersebut setor uang muka (DP, *down payment*) terlebih dulu.
> Kendati itu harus aku tebus dengan bekerja dobel keras karena selepas *
> ngantor* aku harus begadang hingga dini hari untuk menyelesaikan kedua order
> tersebut hingga sebulan lebih. Tapi dengan itulah aku dapat mencukupi biaya
> operasi caesar istriku. Alhamdulillah, anakku lahir dengan selamat.
> Laki-laki. Muhammad Alham Navid namanya.
>
> Empat puluh hari pertama bagi seorang ayah baru sepertiku sungguh tak
> terlupakan. Sementara berjuang bermalam-malam menyelesaikan dua order
> terjemahan tersebut, aku juga harus membantu istriku mengganti popok bayi
> atau menidurkannya. Frekuensi menyusui dan buang air (kecil dan besar) bayi
> dalam 40 hari pertama sungguh dahsyat. Rata-rata nyaris seperempat jam
> sekali. Alhasil, meski sudah dibantu ibu mertua dalam merawat bayi kami, aku
> ambruk dan sempat jatuh sakit. Cukup parah hingga seminggu tidak *ngantor*.
> Dan aku pikir itulah saat yang tepat untuk *resign*, berhenti bekerja.
> Setelah agak membaik, aku pamit baik-baik dari kantor.
>
> Rasanya sudah cukup aku memperkaya sahabatku itu -- hingga tubuhku bobrok
> -- yang tak peduli dengan kondisiku yang notabene pegawainya sendiri. Di
> kantorku tersebut hanya ada dua orang tenaga penerjemah termasuk aku.
> Sehingga aku tahu betul – semestinya – posisi tawar kami. Namun hidup memang
> keras. Dan barangkali itu yang harus dijalani.
>
> Aku bukan *super daddy*, ayah super dan juga tak ingin menjadi seperti itu.
> Aku hanya ingin jadi ayah yang baik, yang mampu memberikan kehidupan dan
> penghidupan yang layak bagi anaknya. Jalan terbaik, yang ada di pikiranku
> saat itu, adalah mencoba mandiri, berusaha sendiri. Jatuh bangun, aku pikir
> sudah biasa, niscaya akan mendewasakanku.
>
> Tak urung aku *shock* juga ketika riak-riak besar yang lain menghantam. Dua
> klienku yang sebelumnya itu -- ketika pekerjaan sudah aku serahkan -- lari
> dengan meninggalkan sisa tagihan tak terbayar. Jumlahnya mencapai enam
> setengah juta rupiah. Lebih terpukul lagi ketika, saat malam berhujan lebat
> dan dingin menyengat, dada kiriku nyeri dan aku terbatuk-batuk hebat di
> kamar mandi. Ketika aku meludah, ludahku merah seperti bekas ludah nenekku
> dahulu yang suka makan sirih. Merah darah. Berkali-kali aku meludah, hal
> yang sama berulang. Juga di hari-hari berikutnya. *Ya Allah, cobaan apalagi
> ini?*
>
> Bukan itu saja. Sebagian kawan tak percaya waktu aku bilang hidup satu atap
> bersama mertua tidaklah mudah. Mereka mengajukan argumentasi soal
> penghematan biaya hidup dan kemudahan saat mengurus anak yang masih bayi.
> Aku tertawa. Aku dan kawan-kawan itu tak punya definisi yang sama soal
> "tinggal di wisma mertua indah". Setiap definisi, seumum apapun cakupannya,
> tentu tak sanggup mencakup sesuatu yang di luar kelaziman. Nah, itulah yang
> aku jalani. Buktinya barangkali bisa ditanyakan pada mas kawin pernikahan
> kami yang rajin "disekolahkan" di pegadaian. Barangkali saat ini mereka
> sudah pintar mengajari kami – aku dan istriku – soal perjuangan hidup.
>
> Aku selalu menghibur istriku, setelah sholat malam dan di berbagai
> kesempatan, bahwa roda senantiasa akan berputar asalkan kita tak kenal lelah
> untuk memutarnya. Sebagai ayah, aku belajar mempersiapkan mental baja agar
> anakku nanti tak lemah. Sepeninggalku, jika sampai waktuku, aku tak ingin
> meninggalkan keturunan yang lemah, yang hanya bergantung pada orangtua
> bahkan hingga mereka dewasa dan saatnya menikah. Bukankah anak singa takkan
> lahir dari seekor kambing?
>
> Sesungguhnya penghiburan terutama bagi kami – yang penat dengan jungkir
> balik kehidupan terutama pasca aku berhenti *ngantor* – adalah sang putera
> tersayang, Alham. Beratnya yang pada usia tiga bulan mencapai lima kilo
> lebih dengan pipi gembul dan perawakan jangkung membuatnya tampak lebih
> besar dari bayi-bayi seusianya. Ocehannya yang banyak, terutama selepas
> disusui, kerap membuatku sadar bahwa banyak hal yang patut disyukuri
> ketimbang disesali dalam hidup ini.
>
> *"Mencintai seseorang akan membuatmu berani, dan dicintai seseorang akan
> membuatmu kuat,"* demikian kata Lao Tze, sang filsuf dari Tiongkok kuno. Itu
> pelajaran kedua bagiku sebagai ayah. Berani berhutang, bentuk praktisnya.
>
> Saat orderan terjemahan sepi, sementara aku mengisi waktu dengan menulis
> untuk koran, dan kami berhari-hari bertahan hidup dengan mie instan plus
> telur dan tak jarang hanya nasi goreng tanpa lauk – tanpa mertua dan kakak
> ipar tahu – aku tak tega membiarkan anakku yang masih menyusui hanya dapat
> asupan ASI yang alakadarnya. Selain menerjemahkan dan menulis, aktivitasku
> sebagai *trainer* penulisan untuk anak-anak *dhuafa* sama sekali – dan
> memang bukan tujuan – tidak dapat diandalkan untuk tambahan pendapatan.
> Solusi kuno yang termudah, sejak awal peradaban manusia, untuk kekurangan
> pendapatan adalah berhutang meski salah satu hadis Rasullulah SAW mengatakan
> bahwa itu sebagian dari tanda-tanda kehinaan.
>
> Mata anakku yang bening dan besar saat menatapku, kerapkali saat aku gendong
> untuk menidurkan atau membuatnya bersendawa, seakan bertanya kepadaku,"Abi
> ngutang lagi ya?"
>
> "Iya nih," jawabku dengan mimik dibuat lucu untuk mencandainya. Biasanya ia
> yang murah senyum akan tertawa terkekeh-kekeh. Terlebih lagi jika aku dengan
> gokil menirukan gaya tangannya yang khas seperti gaya orang menyetir mobil
> atau seperti gaya Superman terbang – dengan satu tangan teracung lurus ke
> depan.
>
> "Nanti Alham sekolah yang tinggi ya. Biar jadi orang kuat," pesanku. Entah
> mengerti atau tidak, ia tersenyum lebar. Tampak lucu menggemaskan dengan
> penampakan gusi kosong dan binaran mata kelerengnya. Semoga saja harapan
> ayahnya ini terpatri di alam bawah sadarnya kelak saat dewasa.
>
> Ya, menjadi orang kuat – dalam pengertian fisik, keimanan, ilmu, finansial
> dan kedudukan – adalah syarat seorang pejuang, nama "Alham" adalah salah
> satu nama penulis-pejuang yang aku kagumi, dalam apapun bentuk perjuangan
> yang ditekuninya.
>
> Jika ada tangga menuju kesuksesan di masa depan yang harus didaki anakku ini
> maka aku rela jadi anak tangga terbawah untuk ia pijak menuju pijakan
> berikutnya. Ketika banyak orang maupun tetangga memuji-mujinya sebagai anak
> yang "pintar" atau "responsif", aku termimpi-mimpi Alham berkuliah di luar
> negeri. *Ah, mimpi yang indah*.
>
> Sayang aku lekas terbangun di dini hari itu. Entahlah apakah ini juga obsesi
> masa laluku yang tak sampai ketika seorang dosen menawariku beasiswa S-2 ke
> Jerman bahkan ketika aku masih di semester lima. Sayang S-1 pun tak mampu
> aku tamatkan. Kekurangan biaya, alasannya. Klise memang.
>
> Belajar menjadi ayah memang perlu waktu panjang. Aku rasa aku masih di tahap
> teramat dini di usia anakku belumlah genap setahun. Namun pelajaran ketiga
> yang utama yang aku dapatkan di tiga bulan menjadi ayah adalah: *jika ada
> kemauan pasti ada jalan*. Dengan kondisi menjadi ayah dan suami
> berpenghasilan tak menentu yang pernah tertipu orang, terlilit hutang dan
> kehabisan tabungan – yang merupakan ujian Allah agar emas terpisah dari
> loyang – aku belajar mengendalikan emosi, lebih menghargai istri dan belajar
> mensyukuri yang ada serta lebih gesit mengejar peluang.
>
> Di titik inilah aku merasakan dengan makna sejati-jatinya bahwa pernikahan –
> termasuk keberadaan anak --mendewasakan orang. Saat beberapa teman lajang
> curhat kepadaku tentang susahnya hidup melajang dan mereka berangan-angan
> tentang (melulu) indahnya pernikahan, aku tersenyum. Aku hanya berdoa semoga
> kelak, dengan harapan semuluk itu, mereka tidak menyesal menikah.
>
> Karena sebenarnya ungkapan lama "sengsara membawa nikmat" dari Tulis Sutan
> Sati – penulis Melayu angkatan Balai Pustaka – dalam konteks pernikahan
> dapat terbolak-balik letaknya. Dan cinta tak selalu semakna dengan bisikan
> mesra atau tatapan sayang. Cinta sejati lebih merupakan perjuangan yang tak
> jarang berlumur peluh dan air mata.
>
> Itulah kisah di bulan-bulan awal lahirnya putera pertamaku. Satu tanda
> cintaku untuk puteraku terkasih.
>
> Namun tak lengkap hidupku ini yang bagai mozaik jika hanya mengungkap satu
> sisi saja. Jauh menapaktilasi sejarah hidupku, ada kenangan terselip di
> lipatan waktu dalam neuron otakku. Sebuah kenangan untuk tanda cintaku bagi
> sang guru.
>
>
>
> *Sebagai Murid*
>
> *"....Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa, dan tidak ada yang
> dapat menambah umur kecuali amal kebaikan." (Hadis Riwayat Ahmad, Nasa'i dan
> Ibnu Majah)*
>
> "Berangkat, Bu?" sapaku pada seorang ibu tua berjilbab yang sedang berjalan
> tertatih-tatih menuju halte bus. Ia menggunakan tangkai payung panjang
> sebagai tongkat.
>
> Wajah tuanya terperangah. Kacamata minusnya masih seperti dulu. Hanya
> bertambah tebal. Di tengah kebingungannya berusaha mengenaliku, aku
> menjumput lengan keriputnya dan mencium tangannya. Penghormatan untuk
> guruku. Ibu guru spesialku.
>
> Keberkahan dan panjangnya umur, itulah yang aku pohonkan kepada Allah untuk
> ibu yang satu ini. Di manapun ia berada saat ini. Ia bukan ibuku. Bukan juga
> saudara atau kerabatku. Namun ia, dalam salah satu fase perjalanan hidupku,
> sangat berarti. Dan tidaklah hidupku yang sekarang ini lengkap -- atau
> bahkan mungkin aku tidak akan seperti sekarang ini -- jika tanpa amal
> kebaikannya untukku. Yang ia lakukan dua puluh enam tahun lalu saat aku
> masih di bangku Sekolah Dasar.**
>
> Bu Satimah, demikian kami memanggilnya. Ia guru kelas satu SD. Orang pertama
> yang mengajariku baca tulis. Tentu itu memang tugas setiap guru kelas satu,
> yang barangkali terasa wajar dan tidak istimewa. Barangkali demikian. Dan
> memang amal kebaikan Bu Satimah – tanpa mengecilkan jasanya yang satu itu –
> yang teramat istimewa padaku bukanlah saat ia memosisikan diri khusus
> sebagai guru. Justru ketika ia memosisikan diri sebagai ibu, sebagai manusia
> yang punya kepekaan dan nurani. Di situlah ia menjadi sangat berarti dan tak
> tertandingi.
>
> *****
>
> Sewaktu kecil, aku menderita penyakit kencing batu sejak usia 4 tahun. Konon
> sebabnya karena aku terlalu banyak mengonsumsi makanan dan minuman yang
> manis-manis. Sakitku itu terus berlanjut ke tahun-tahun berikutnya hingga
> sukses mengubahku yang semula bayi montok yang aktif menjadi balita yang
> kuyu dan penyakitan.
>
> Pada usia 5 tahun, aku dikhitan. Anak-anak Betawi seusiaku memang lazim
> dikhitan atau disunat pada usia dini. Bahkan ada yang sudah dikhitan sejak
> masih seminggu setelah dilahirkan – dengan mencontoh Kanjeng Nabi Muhammad
> SAW. Namun, khusus untukku, orangtuaku mengkhitankanku – dengan menumpang,
> karena pertimbangan biaya, pada saat perayaan khitanan sepupuku – terutama
> agar aku lekas sembuh dari penyakitku itu. Mereka tentu saja, yang sangat
> aku yakin, tak tega melihat anak ke-8 mereka menjerit kesakitan tiapkali
> buang air kecil dan tak bisa bermain leluasa seperti anak-anak sebayanya.
> Tubuhku pun saat itu kurus, lesu dan bungkuk.
>
> Untuk yang terakhir itu karena, untuk menahan rasa sakit, aku sering
> menempelkan perutku ke bagian paha. Menahan sekuat-kuatnya rasa sakit yang
> mendera. Rasa sakitnya memang tak tertahankan. Karena urine harus berjuang
> keras melewati gumpalan batu mengeras di kandung kemih. Serasa ada puluhan
> pisau tajam mengiris bagian dalam kelaminku. Pernah saking putus asanya, aku
> berdoa memohon kematian kepada Allah. Ya, aku ingin mati di usia muda agar
> tak merepotkan orangtuaku lebih lama.
>
> Di usia semuda itu aku tahu betapa bingungnya kedua orangtuaku mencari biaya
> ke dokter atau berobat alternatif. Mereka tahu satu-satunya jalan adalah
> operasi. Namun, untuk memberi makan keenam anaknya yang hidup dari 12 anak
> yang terlahir, mereka berjuang susah payah. Jadi, opsi operasi sungguh suatu
> kemewahan. Dan untuk menggapainya dibutuhkan keajaiban.
>
> Solusi realistis, menurut saran-saran tetangga, adalah aku harus dikhitan.
> Barangkali karena niat baik tersebut penyakitku mereda. Aku tak lagi sepayah
> tahun-tahun sebelumnya kendati masih harus rutin mengonsumsi jamu-jamu dan
> rebusan daun kumis kucing. Saat itu, era 1980-an, memang belum ada pil
> praktis atau obat instan seperti saat ini yang dapat menghancurkan batu
> dalam kandung kemih. Operasi laser, tanpa harus melalui pembedahan, untuk
> pasien kencing batu juga belum dikenal.
>
> Bagi kami, aku dan keluargaku terutama kedua orangtuaku, sekedar mereda pun
> sudah merupakan nikmat Allah yang patut disyukuri. Setidaknya aku dapat
> bersekolah seperti anak-anak kebanyakan. Meski untuk aktivitas permainan
> remeh temeh yang umumnya saat itu lazim dikuasai anak-anak sebayaku –
> seperti bermain layang-layang dan bersepeda -- aku sangat tertinggal.
> Penyakitku memang memaksaku tak boleh kelelahan dan harus banyak berdiam di
> rumah. Aku baru bisa belajar bersepeda saat kelas 5 SD.
>
> ***
>
> Tahun 1983, saat usiaku 6 tahun, aku dimasukkan ke sebuah sekolah dasar
> negeri di dekat rumahku di bilangan Jakarta Selatan. Bu Satimah adalah
> guruku di kelas satu. Sebagaimana umumnya guru-guru kelas satu, ia *welas
> asih*, penyayang, ramah dan baik hati. Satu hal yang paling mengesankan
> bagiku adalah saat ia menunjukkan pendiriannya dan kepeduliannya.
>
> "Kamu harus tetap sekolah," ujarnya padaku. "Salam harus ikut testing," ia
> tegaskan itu di depanku dan ibuku serta di hadapan guru-guru lain di ruang
> kepala sekolah. "Meskipun testingnya di rumah."
>
> "Siapa yang bertanggung jawab? Siapa yang bisa jamin?" tanya seorang guru
> perempuan, dengan nada sinis.
>
> Bu Satimah menatap tegar. "Saya yang jamin. Saya yang bertanggung jawab."
>
> Saat itu, di akhir kelas satu, kembali penyakitku bertambah buruk. Aku tak
> bisa keluar rumah. Ibuku pun meminta kebijaksanaan dari sekolah agar aku
> diberikan dispensasi untuk mengikuti testing di rumah. Itu memang di luar
> kebiasaan dan peraturan umum sekolah. Terlebih lagi kami sebagai pihak yang
> mengajukan bukanlah orang yang berkecukupan, bahkan serba kekurangan. Itu
> jelas, bagi pihak sekolah, sebuah permintaan yang luar biasa – jika tidak
> bisa dibilang mengherankan.
>
> Pandangan tersebut tercermin jelas dalam rapat dewan guru yang dipimpin
> kepala sekolah. Sebagian melecehkan bahkan menyinggung hal-hal lain yang tak
> relevan dengan permohonan dari ibuku. Aku dan ibuku duduk mengikuti rapat
> tersebut dengan berdebar. Aku merasa bagai pesakitan atau terdakwa saat itu.
>
>
> Tapi saat itu aku merasakan betapa ibuku – yang hanya berpendidikan kelas 4
> SD – punya keberanian besar, yang jelas didorong cinta, agar anaknya tetap
> dapat bersekolah. Seburuk apapun kondisinya. Aku makin cinta ibuku yang
> duduk terdiam di sampingku. Ia yang lugu tampak bersahaja dengan kerudung
> dan kebaya yang dikenakannya. Aku tahu dalam diamnya ia berdoa untukku. Dan
> aku tahu aku merasakan cintaku untuknya makin besar semenjak itu.
>
> Ternyata dalam ruangan itu tak hanya ada satu cinta untukku. Dukungan yang
> diberikan Bu Satimah dengan tegas untuk kelanjutan sekolahku memapas
> pelecehan dan pesimisme pihak sekolah. Meski aku tahu beberapa guru seakan
> bersungut-sungut, tapi sang malaikat penyelamat itu – dengan rambut ikal
> pendeknya dan kacamata minusnya – bersiteguh dengan argumentasinya yang
> cerdas. Wajahnya memang terkesan keras. Konon ia kelahiran Jawa Timur. Namun
> hari itu ia menunjukkan kelembutan sayap-sayap hatinya. *My teacher, I love
> you!*
>
> Bukan itu saja yang membuatku kian salut kepadanya. Setelah perjuangannya
> yang keras di depanku, ia memberikan kepercayaan yang besar kepadaku dan
> keluargaku. Semestinya, dengan saran kepala sekolah, Bu Satimah harus selalu
> mengawasi aku ketika sedang mengerjakan soal testing di rumah. Namun ia
> sepenuhnya memercayakan pengawasan itu kepada kedua orangtuaku. Selama pekan
> testing, ia hanya mengantarkan bahan testing ke rumahku dan mengambilnya
> selepas jam sekolah.
>
> "Saya percaya kok bapak ibu orang jujur. Salam juga anak jujur. Jadi saya
> percaya saja," demikian jelasnya. Kedua orangtuaku yang terharu dengan
> kepercayaan tersebut menjaga betul amanah tersebut. Bahkan ayahku tak
> segan-segan menjewer salah satu kakakku yang mencoba membantuku mengerjakan
> soal testing. Kepercayaan memang barang mahal.
>
> *Alhamdulillah*, dengan prosedur testing yang `di luar kebiasaan' tersebut,
> aku dinyatakan berhak naik kelas ke kelas dua. Namun sakitku yang bertambah
> parah, dan ketiadaan dana orangtuaku, aku pun cuti dari sekolah. *Bedrest*.
> Lagi-lagi di luar kebiasaan. Setahun kemudian – setelah menjalani operasi
> pada 1984 dengan biaya pinjaman dari kerabat – aku melanjutkan ke kelas dua.
> Teman-teman seangkatanku sendiri sudah berada di kelas tiga.
>
> Bu Satimah juga yang mengusulkan gagasan cuti tersebut. Dan, lagi-lagi,
> dengan gemilang ia membelaku di hadapan para rekan sejawatnya. Sungguh,
> bagiku, ia malaikat. Siapa pula yang saat itu – mungkin hingga kini -- mau
> membela murid miskin sakit-sakitan tanpa bayaran? Di tahun-tahun belakangan,
> setelah memahami realitas kehidupan, aku semakin menganggapnya malaikatku.
>
> Sayang tahun-tahun berlalu membawa sekaligus melipat segala kenangan
> termasuk kebaikan. Waktu memang paling ampuh memunahkan segalanya. Ditakar
> dengan besarnya jasa Bu Satimah, balasanku atas kebaikannya sangat tak
> sepadan. Aku hanya satu dua kali berkunjung ke rumahnya. Itu pun semasa aku
> bersekolah di SD. Selepas SD, aku sama sekali melupakannya. Kendati ibuku,
> yang merasa amat berhutang budi kepada Bu Satimah, selalu memintaku
> mengunjungi sang ibu guru yang hidup sederhana di bantaran Kali Ciliwung
> yang selalu kebanjiran dari tahun ke tahun.
>
> Yang aku tahu, untuk beberapa belas tahun kemudian, Bu Satimah masih
> mengajar kelas satu di almamaterku itu. Dengan penampilan fisik yang menua
> dan gaya jalan yang tak lagi gagah dan cepat seperti dulu. Tapi, lagi-lagi
> hanya berdasarkan kabar, di usia menjelang pensiun ia masih melanjutkan
> kuliah S-1 di IKIP Jakarta. Guru-guru SD seangkatannya – dan yang menjadi
> para guruku di SD – memang lulusan SPG, sebuah sekolah pendidikan guru
> tingkat menengah yang telah dibubarkan pemerintah.
>
> Hingga terjadilah pertemuan saat itu antara si Malin Kundang ini dengan sang
> malaikat penyelamatnya – yang ironisnya telah dilupakannya bertahun-tahun.
>
> "Sudah SMP kamu, Lam?" Bu Satimah akhirnya mengenaliku. Pandangannya
> menelisik dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku yang masih kelas tiga SMP
> saat itu merasa risih juga dengan bulu kakiku yang mulai tumbuh lebat.
>
> "Makin jangkung aja!" Ia tersenyum. "Belajar yang bener ya!" Ia
> menepuk-nepuk bahuku yang kini jauh lebih tinggi darinya. Malaikat berhati
> emas ini memang berukuran tak seberapa tinggi namun – dalam kenanganku –
> nyalinya dan kepeduliannya jauh melebihi tinggi fisik tubuhnya.
>
> Teramat sayang saat pertemuan itu – mungkin karena gumpalan perasaan yang
> campur baur di hatiku – aku tak banyak berkata-kata. Bertemu dengannya –
> setelah aku lama melupakannya – bagaikan bertemu dengan seorang pemberi
> hutang yang sama sekali tak menagih hutang dan bersikap seakan-akan kita tak
> punya hutang kepadanya. Hanya saja sang pengutang, dalam hal ini aku, yang
> merasa kikuk bukan kepalang.
>
> Di akhir pertemuan singkat itu, Bu Satimah menawariku berkunjung ke
> rumahnya. Dengan gaya polos ABG, aku jawab,"Iya, Bu, kapan-kapan." Aku lupa
> mengucapkan "Insya Allah". Dan memang bertahun-tahun setelahnya aku tak
> pernah mampir ke rumahnya yang terletak di daerah Cawang. Hanya beberapa
> kilometer dari rumahku. Hanya dibatasi Kali Ciliwung yang kecoklatan airnya.
>
> Sewaktu kuliah, aku pun mendapat kabar ia tak lagi tinggal di situ. Tak
> seorang pun di sekitar rumah lamanya itu yang tahu kemana sang malaikat itu
> berada.
>
> Aku kian merasa sebagai Malin Kundang. Bahkan hingga saat ini, detik ini.
>
> Namun lebih jauh ke belakang ada kenangan mengharukan lain yang juga
> membuatku merasa sebagai anak durhaka, si Malin Kundang. Kenangan yang
> merupakan tanda cinta yang lain, untuk kedua orang tuaku.
>
>
>
> *Sebagai Anak*
>
> Lebaran selalu identik dengan baju baru. Sudah lazim orang bertanya di
> penghujung Ramadhan,"Eh, sudah beli baju baru belum?" Entahlah, sejak kapan
> tradisi membeli baju baru untuk Lebaran ini berawal. Padahal Nabi Muhammad
> SAW dalam salah satu hadisnya dalam Shahih Bukhari hanya memerintahkan kita
> mengenakan "pakaian yang terbaik" pada hari raya Idul Fitri. Tapi "terbaik"
> di sini selalu dimaknai sebagai sesuatu yang "baru".
>
> Di zaman penjajahan dulu saat kehidupan sehari-hari susah termasuk untuk
> makan apalagi untuk beli baju, hal tersebut dapat dipahami. Tidak ada
> pakaian sehari-hari yang "layak" atau "terbaik" dipakai pada hari raya. *
> Wong*, ada yang sampai bikin celana dari karung goni atau karung beras kok.
> Bila dari kain belacu, itu sudah lumayan, demikian cerita almarhum ayahku.
> Maka wajarlah bila yang terbaik dimaknai sebagai sesuatu yang baru. Tapi di
> zaman saat ini, anehnya, tradisi itu terus berlangsung. Meski saat ini
> banyak orang sanggup beli baju tiap bulan, bahkan setiap momen khusus, entah
> pesta ulang tahun atau piknik.
>
> Namun sewaktu aku kanak-kanak, pikiran bijak tersebut sama sekali jauh dari
> pikiran. Yang aku tahu adalah jika aku tak punya baju baru berarti aku
> berbeda dari teman-teman sepermainanku. Dan aku malu karenanya. Itu saja.
> Sebetulnya kondisi ekonomi keluargaku tahun 80-an itu juga memprihatinkan.
>
> Saat itu keluargaku masih lengkap. Sangat lengkap, ada ayah dan ibu dan enam
> anak-anaknya. Aku sendiri anak kelima dari enam bersaudara. Empat laki-laki
> dan dua perempuan. Semuanya bersekolah, dan belum ada yang bekerja saat itu.
> Suatu kondisi yang lumayan berat bagi ayahku (kami biasa memanggilnya *aba*)
> yang hanya montir mobil panggilan. Ibu hanya ibu rumah tangga biasa, yang
> coba membantu *aba* dengan membuat kue yang dititipkannya di warung-warung
> di dekat rumah.
>
> Ada juga tambahan penghasilan dari beberapa petak rumah kontrakan yang baru
> dirintis *aba* yang sayangnya tak cukup menutupi kebutuhan keluarga. Maklum,
> rumah kontrakan kami kecil dan tidak terlalu bagus sehingga *aba* tak
> terlalu tega untuk mengenakan harga sewa yang tinggi. Apalagi harga sewa
> rumah kontrakan saat itu tidak setinggi sekarang.
>
> Aku ingat betul waktu itu seminggu lagi Lebaran. Aku kelas tiga SD, sembilan
> tahun usiaku. Agak telat memang. Karena di kelas satu SD aku sempat cuti
> sekolah karena sakit kencing batu. Baru kemudian atas jasa baik Bu
> Satimah—guruku di kelas satu—aku dapat melanjutkan sekolah di kelas dua di
> sekolah yang sama tanpa harus membayar biaya tambahan.
>
> Ya, sakit yang mengharuskan aku istirahat selama setahun di rumah itu
> sangat membebani keluarga untuk ongkos pengobatan kesana-kemari. Atas izin
> Allah, *alhamdulillah*, aku sembuh setelah batu sebesar kepalan tangan bayi
> itu berhasil diangkat dari kandung kemihku melalui operasi bedah. Waktu itu
> belum dikenal teknologi bedah laser sehingga aku harus mendapat beberapa
> jahitan. Biaya operasinya tiga ratus ribu rupiah (ingat saat itu tahun
> 1984!), hasil berhutang dari salah seorang pemilik warung tempat ibuku biasa
> menitipkan dagangan kuenya.
>
> Alhasil persoalan baju baru adalah persoalan istimewa bagiku. Tidak setiap
> bulan aku bisa punya baju baru. Sering juga memang langganan kerja
> *aba*—kebanyakan
> etnis Cina di kawasan Jakarta Barat—memberikan pakaian bekas mereka—yang
> menurutku bekas hanya karena jarang sekali dipakai atau tertumpuk di lemari
> pakaian—yang masih bagus-bagus sebagai bonus atas kerjanya yang dianggap
> memuaskan ketika memperbaiki mobil mereka. Tapi ya tetap saja judulnya baju
> bekas, bukan baju baru ya *to*?
>
> "Lam, lo udah punya baju baru belom?" tanya salah seorang temanku. Kami
> sedang bermain *gundu* alias kelereng menunggu beduk berbuka puasa.
>
> Aku pura-pura sibuk membersihkan kelereng-kelerengku yang berdebu. Tanah
> tempat kami bermain memang berdebu. Waktu itu kemarau.
>
> "Gue sih udah punya dua. Satu baju koko, satu kaos!" tukas temanku yang lain
> berbangga. Senyumnya cerah. Bagiku itu senyum mengejek.
>
> Obrolan pun beralih ke topik baju baru. Ah, panas sekali telingaku. Aku juga
> saat itu bingung kenapa ibu belum juga mengajakku ke pasar. Biasanya dua
> pekan sebelum Lebaran ibu mengajakku—karena adikku masih dianggap terlalu
> kecil—berbelanja baju Lebaran di Pasar Jatinegara. Pasar yang padat dan
> sumpek di tepi lapangan Jenderal Oerip Soemohardjo, Jakarta Timur. Tapi aku
> ingat betul betapa harumnya bau baju-baju baru yang tergantung di kios-kios
> pedagang maupun emperan kaki lima. Tak peduli peluh dan lelah karena
> seringkali ibu harus bolak-balik masuk toko mencari barang terbaik dengan
> harga termurah. Tapi aku senang-senang saja. Itulah ritual menjelang
> Lebaran.
>
> Ketika aku pulang ke rumah pun, *aba* dan ibu sama sekali tak membahas soal
> baju baru. Kakak-kakakku yang lain juga bersikap biasa-biasa saja. Kakakku
> yang terdekat perempuan, selisih usia kami tiga tahun. Mungkin ia sudah
> cukup paham. Tapi itu dia, bukan aku.
>
> Malam harinya selepas sholat Tarawih, aku bergegas sampai ke rumah paling
> awal. Ketika ibu baru merapikan mukenah dan sajadahnya dari masjid, aku
> langsung merajuk meminta. Ibu cuma bilang,"Nanti juga dibeliin. Sabar!" Aku
> tak puas. Aku dekati *aba* yang sedang asyik merokok di ruang depan.
> Jawabnya pun sama,"Sabar ye…"
>
> Aku pun pupuk kesabaran hingga beberapa hari. Tinggal tiga hari menjelang
> Lebaran. Ibu sudah sibuk membuat kue Lebaran. Sebagian pesanan tetangga.
> Tapi ada yang kurang. Baju baru. Anehnya kakak-kakakku masih tenang-tenang
> saja. Entahlah apakah ibu sudah berhasil memenangkan mereka. Adikku sendiri
> yang selisih usia empat tahun di bawahku, anehnya, tak seribut aku. Rasanya
> di hari-hari menjelang Lebaran jantungku kian berdebar. Tiap malam saat
> keluarga berkumpul menonton TV—saat itu masih hitam putih 14 inci—aku
> berharap ibu akan berkata,"Lam, besok ke pasar yuk!"
>
> Namun ucapan itu tak kunjung keluar dari bibirnya. *Aba* pun ketika
> `kudesak-desak kembali hanya membentak dengan mata mendelik,"Tanya ibu lo
> sono!" Ah, rasanya kesabaranku habis. Tangisku meledak. Esoknya, dua hari
> menjelang Lebaran, aku tidak bermain keluar rumah. Sekolah memang sudah
> libur. Aku berdiam saja di rumah. Tidak kemana-mana. Hanya mendekam di
> kolong tempat tidur. Aku sedang protes!
>
> *Aba* dan ibu membujuk. Kakak-kakakku mengiming-imingi janji beli permen
> atau penganan. Semuanya membujuk agar aku mau keluar dari kolong tempat
> tidur. Cukup lama aku bertahan, sambil sesekali berteriak dan menangis. Aku
> tak peduli meski salah satu kakakku bilang puasaku batal karena aku
> menangis.
>
> Ubin lantai di kolong tempat tidur dingin dan agak berdebu. Kerongkonganku
> lelah berteriak. Dada juga sakit dan leher pegal karena tak bisa tegak. Aku
> pun terbatuk-batuk hebat. Tapi biarlah. Aku lebih rela begini daripada malu
> tak punya baju baru, pikirku.
>
> Menjelang azan Ashar, ibu menyerah. Beliau janji mengajakku ke pasar
> keesokan harinya. Wah, hilang sudah pegal, dingin dan batukku! Terbayang aku
> bisa sholat Ied, berkunjung ke rumah kerabat, dan paling penting bisa
> beramai-ramai bersama teman-temanku berbaris meminta *angpao *dari para
> tetangga. Itu momen-momen terindah saat Lebaran. Dan itu mustahil tanpa baju
> baru.
>
> Alhasil, sehari menjelang Lebaran itu, jadilah aku punya baju baru. Seharian
> ibu mengajakku berbelanja baju. Ternyata termasuk baju Lebaran untuk
> kakak-kakakku. Mungkin *aba* dan ibu sebenarnya sudah punya uang untuk beli
> baju. Tapi tunggu waktu yang tepat, batinku. Ah, yang penting hatiku gembira
> sekali saat itu.
>
> Malamnya malam Takbiran. Selepas takbiran bersama di masjid, aku lekas
> pulang ke rumah. Mengepaskan baju baruku di depan cermin. Ya, baju yang
> didapat dengan perjuangan keras. Keras betul, menurutku. Anehnya, meski film
> terakhir di TV—saat itu paling malam siaran TVRI berakhir pukul dua belas
> dengan acara terakhir film Barat. Itu pun hanya satu film sepanjang hari—aku
> tak merasa mengantuk sama sekali.
>
> Lamat-lamat kudengar *aba* dan ibu berbincang-bincang di kamarnya.
>
> "Pinjem duit siape buat belanje tadi?" Suara *aba* terdengar bertanya.
>
> Terdengar tarikan nafas berat ibu. "Nunung kasih pinjem. Kapan aje
> gantiinnye katenye." Nunung adalah adik tiri *aba*. Suaminya, Om Misdi,
> seorang pematung yang sering dapat orderan dari luar daerah. Kehidupan
> mereka memang lebih berada daripada kami.
>
> Tarikan nafas berat *aba* menyusul. "Gak enak juga ye minjem mulu ame die."
>
> "Ye, gak pape deh. Tadi juga ditahan-tahanin malunye. Namenye juga buat
> anak."
>
> Sunyi. Sesunyi perasaanku malam itu. Kegembiraan malam itu terasa berkurang.
> Ya, demi anak. Duh, *aba*, ibu, maafkan aku. Peristiwa malam Takbiran itu
> sangat membekas. Seingatku, itulah terakhir kalinya aku merengek minta baju
> baru untuk Lebaran. Toh, tanpa aku merengek pun, tahun-tahun berikutnya
> kedua orangtuaku tak pernah lupa membelikan kami baju baru untuk Lebaran.
> Entah, barangkali dengan uang tabungan atau kembali berhutang, aku tak tega
> menanyakannya. Cukuplah mereka hanya tahu kami gembira menerimanya.
>
> Sayang ibuku keburu wafat pada 1997 saat aku baru menginjak tahun pertama
> kuliah di Universitas Indonesia (UI). Aku belum bisa membelikannya baju baru
> untuk Lebaran. Namun, setidaknya untuk beberapa tahun kemarin--ketika aku
> sudah punya penghasilan sendiri--aku sempat membelikan baju Lebaran untuk *
> aba*: baju koko, peci dan sarung untuk sholat Ied. Tidak mahal-mahal sekali,
> tapi itu pun sudah bagus sekali, kata *aba* sambil berucap terima kasih.
> Binar riang matanya dan senyum bangganya ketika berterima kasih padaku sudah
> cukup melegakanku. Moga itu bisa menebus rasa susah hatinya saat aku protes
> sambil *ngumpet *di kolong tempat tidur dulu. Orang tua manapun pasti pusing
> jika anak merengek minta baju baru sementara tak ada uang di saku. Mungkin
> aku juga begitu jika kelak menjadi orang tua, Insya Allah..
>
> Di tahun 2006, sebetulnya aku berencana memberikan baju koko dan sarung
> terbaik buat *aba*. Namun Allah berkehendak lain. *Aba* berpulang ke
> rahmatullah pada usianya ke-73 tepat *nisfu sya'ban*, lima belas hari
> menjelang Ramadhan tahun itu. Tepat *ba'da* Maghrib 8 September 2006. Duhai,
> betapa sunyinya Ramadhan saat itu tanpa kedua orang tua. Baju baru memang
> bukan masalah lagi, tapi apalah artinya tanpa kedua orang tua di hari raya
> nan fitri?
>
> Ah, aku teringat sebuah perkataan bijak dalam salah satu buku yang pernah
> kubaca,"Kasih sayang anak ketika merawat orang tua takkan pernah dapat
> menebus kasih sayang orang tua terhadap anak. Orang tua merawat anak ketika
> kecil hingga dewasa tanpa tahu bagaimana akhirnya kelak apakah sang anak
> akan membalas budinya atau justru mendurhakainya. Sementara anak merawat
> orang tua dengan sebuah akhir yang diketahuinya bahwa orang tuanya akan
> wafat di hari tua." Jadi jelas nilainya sangat berbeda. Kasih orang tua
> sepanjang hayat, kasih anak sepanjang galah.
>
> Dalam hati aku berdoa,"Ya Allah, pakaikan kedua orang tuaku baju baru di
> surga-Mu." *Amien yaa robbal `alamien*.
>
> Ya, "amin" adalah ucapan penutup yang indah untuk semua kenangan dan
> harapan. Bagiku, ketiga kenangan tersebut adalah tiga tanda cinta yang
> memancarkan keindahan dengan caranya masing-masing. Keindahan yang tak
> sekadar jadi bahan nostalgia bertahun-tahun kemudian namun menumbuhkan élan
> vital dalam diriku bahwa aku telah berdiri di atas bahu-bahu raksasa ayah
> dan ibuku serta guruku untuk menopang puteraku melihat lebih jauh, melompat
> lebih tinggi dariku nantinya. *****
>
>
>
>
>
>
> --
> "There is no life without risks"
> Nursalam AR
> Translator - Writer - Trainer
> 0813-10040723
> 021-92727391
> Facebook: www.facebook.com/nursalam.ar
> Blog: www.nursalam.multiply.com
>

5f.

Re: [Catcil] Tiga Tanda Cinta

Posted by: "Mimin" minehaway@gmail.com   mine_haway

Tue Nov 24, 2009 10:58 pm (PST)



TFS,
Waw...saya terharu baca kisah hidup Bang Salam
Pas istirahat tadi sempat baca sampai habis, mataku meleleh hiks..
Saya selalu salut dan kagum dengan sosok pejuang di samudera kehidupan
Salam sayang buat Alham, moga impian Abah nya agar bisa kuliah di LN menjadi
kenyataan.

--
http://minesweet.co.cc
http://minehaway.com
6a.

Re: Utk para moderator

Posted by: "anty th" anty_th@yahoo.com   anty_th

Tue Nov 24, 2009 5:23 pm (PST)



Huss ... di larang nge gossipin emak nya Novi
Sedang flu plus batuk nih, hehehe
doain cepat sembuh ya

buat Nia ... bisa d telusuri koq ^_^
converence yuk ........

O iya ... besok mbak lia mau ke Medan
ada yang mau nitip oleh2 buatku kah?
hehehe

salam
anty

7a.

Re: (Catatan Kecil) PAPA

Posted by: "Novi Khansa" novi_ningsih@yahoo.com   novi_ningsih

Tue Nov 24, 2009 7:38 pm (PST)



Pernah baca, tapi tetap... T_T
Makin ganti tahun makin besar rasa kangen pada beliau... tanpa terasa hampir enam tahun...

Masih ingat ketika wisuda 6 tahun lalu, ternyata itu jadi momen membanggakan terakhir dihadiri bapak.

Ingat juga gimana bapak sedemikian berhati-hatinya menasehati atau memberi tahu sesuatu ketika kami sudah beranjak dewasa. T_T

TFS, bun...

salam,

Novi

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Elisa Koraag <elisa201165@...> wrote:
>
>
>
> Note: Dari kiriman seorang teman.
>  
> PAPA
>  
> Biasanya, bagi seorang anak perempuan yang sudah dewasa, yang sedang bekerja diperantauan, yang ikut suaminya merantau di luar kota atau luar negeri, yang sedang bersekolah atau kuliah jauh dari kedua orang tuanya.....
>  
> Akan sering merasa kangen sekali dengan Mamanya.
> Lalu bagaimana dengan Papa? Mungkin karena Mama lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaanmu setiap hari,tapi tahukah kamu, jika ternyata Papa-lah yang mengingatkan Mama untuk menelponmu?
>  
> Mungkin dulu sewaktu kamu kecil, Mama-lah yang lebih sering mengajakmu bercerita atau berdongeng,
> tapi tahukah kamu, bahwa sepulang Papa bekerja dan dengan wajah lelah Papa selalu menanyakan pada Mama tentang kabarmu dan apa yang kau lakukan seharian?
>  
> Pada saat dirimu masih seorang anak perempuan kecil......
> Papa biasanya mengajari putri kecilnya naik sepeda.
> Dan setelah Papa mengganggapmu bisa, Papa akan melepaskan roda bantu di sepedamu...
> Kemudian Mama bilang : "Jangan dulu Papa, jangan dilepas dulu roda bantunya" ,
> Mama takut putri manisnya terjatuh lalu terluka....
> Tapi sadarkah kamu?
> Bahwa Papa dengan yakin akan membiarkanmu, menatapmu, dan menjagamu mengayuh sepeda dengan seksama karena dia tahu putri kecilnya PASTI BISA.
>  
> Pada saat kamu menangis merengek meminta boneka atau mainan yang baru, Mama menatapmu iba.
> Tetapi Papa akan mengatakan dengan tegas : "Boleh, kita beli nanti, tapi tidak sekarang"
> Tahukah kamu, Papa melakukan itu karena Papa tidak ingin kamu menjadi anak yang manja dengan semua tuntutan yang selalu dapat dipenuhi?
>  
> Saat kamu sakit pilek, Papa yang terlalu khawatir sampai kadang sedikit membentak dengan berkata :
> "Sudah di bilang! kamu jangan minum air dingin!".
> Berbeda dengan Mama yang memperhatikan dan menasihatimu dengan lembut.
> Ketahuilah, saat itu Papa benar-benar mengkhawatirkan keadaanmu.
>  
> Ketika kamu sudah beranjak remaja....
> Kamu mulai menuntut pada Papa untuk dapat izin keluar malam, dan Papa bersikap tegas dan mengatakan: "Tidak boleh!".
> Tahukah kamu, bahwa Papa melakukan itu untuk menjagamu?
> Karena bagi Papa, kamu adalah sesuatu yang sangat - sangat luar biasa berharga..
> Setelah itu kamu marah pada Papa, dan masuk ke kamar sambil membanting pintu...
> Dan yang datang mengetok pintu dan membujukmu agar tidak marah adalah Mama....
> Tahukah kamu, bahwa saat itu Papa memejamkan matanya dan menahan gejolak dalam batinnya,
> Bahwa Papa sangat ingin mengikuti keinginanmu, Tapi lagi-lagi dia HARUS menjagamu?
>  
> Ketika saat seorang cowok mulai sering menelponmu, atau bahkan datang ke rumah untuk menemuimu, Papa akan memasang wajah paling cool sedunia.... :')
> Papa sesekali menguping atau mengintip saat kamu sedang ngobrol berdua di ruang tamu..
> Sadarkah kamu, kalau hati Papa merasa cemburu?
>  
> Saat kamu mulai lebih dipercaya, dan Papa melonggarkan sedikit peraturan untuk keluar rumah untukmu, kamu akan memaksa untuk melanggar jam malamnya.
> Maka yang dilakukan Papa adalah duduk di ruang tamu, dan menunggumu pulang dengan hati yang sangat khawatir...
> Dan setelah perasaan khawatir itu berlarut - larut...
> Ketika melihat putri kecilnya pulang larut malam hati Papa akan mengeras dan Papa memarahimu.. .
> Sadarkah kamu, bahwa ini karena hal yang di sangat ditakuti Papa akan segera datang?
> "Bahwa putri kecilnya akan segera pergi meninggalkan Papa"
>  
> Setelah lulus SMA, Papa akan sedikit memaksamu untuk menjadi seorang Dokter atau Insinyur.
> Ketahuilah, bahwa seluruh paksaan yang dilakukan Papa itu semata - mata hanya karena memikirkan masa depanmu nanti....
> Tapi toh Papa tetap tersenyum dan mendukungmu saat pilihanmu tidak sesuai dengan keinginan Papa
> Ketika kamu menjadi gadis dewasa....
> Dan kamu harus pergi kuliah dikota lain...
> Papa harus melepasmu di bandara.
> Tahukah kamu bahwa badan Papa terasa kaku untuk memelukmu?
> Papa hanya tersenyum sambil memberi nasehat ini - itu, dan menyuruhmu untuk berhati-hati. .
> Padahal Papa ingin sekali menangis seperti Mama dan memelukmu erat-erat.
> Yang Papa lakukan hanya menghapus sedikit air mata di sudut matanya, dan menepuk pundakmu berkata "Jaga dirimu baik-baik ya sayang".
> Papa melakukan itu semua agar kamu KUAT...kuat untuk pergi dan menjadi dewasa.
>  
> Disaat kamu butuh uang untuk membiayai uang semester dan kehidupanmu, orang pertama yang mengerutkan kening adalah Papa.
> Papa pasti berusaha keras mencari jalan agar anaknya bisa merasa sama dengan teman-temannya yang lain. Ketika permintaanmu bukan lagi sekedar meminta boneka baru, dan Papa tahu ia tidak bisa memberikan yang kamu inginkan...
> Kata-kata yang keluar dari mulut Papa adalah : "Tidak..... Tidak bisa!"
> Padahal dalam batin Papa, Ia sangat ingin mengatakan "Iya sayang, nanti Papa belikan untukmu".
> Tahukah kamu bahwa pada saat itu Papa merasa gagal membuat anaknya tersenyum?
>  
> Saatnya kamu diwisuda sebagai seorang sarjana.
> Papa adalah orang pertama yang berdiri dan memberi tepuk tangan untukmu.
> Papa akan tersenyum dengan bangga dan puas melihat "putri kecilnya yang tidak manja berhasil tumbuh dewasa, dan telah menjadi seseorang"
>  
> Sampai saat seorang teman Lelakimu datang ke rumah dan meminta izin pada Papa untuk mengambilmu darinya.
> Papa akan sangat berhati-hati memberikan izin..
> Karena Papa tahu.....
> Bahwa lelaki itulah yang akan menggantikan posisinya nanti.
> Dan akhirnya....
> Saat Papa melihatmu duduk di Panggung Pelaminan bersama seseorang Lelaki yang di anggapnya pantas menggantikannya, Papa pun tersenyum bahagia....
> Apakah kamu mengetahui, di hari yang bahagia itu Papa pergi kebelakang panggung sebentar, dan menangis?
>  
> Papa menangis karena papa sangat berbahagia, kemudian Papa berdoa....
> Dalam lirih doanya kepada Tuhan, Papa berkata: "Ya Allah tugasku telah selesai dengan baik....
> Putri kecilku yang lucu dan kucintai telah menjadi wanita yang cantik....
> Bahagiakanlah ia bersama suaminya..."
> Setelah itu Papa hanya bisa menunggu kedatanganmu bersama cucu-cucunya yang sesekali datang untuk menjenguk...
> Dengan rambut yang telah dan semakin memutih....
> Dan badan serta lengan yang tak lagi kuat untuk menjagamu dari bahaya....
> Papa telah menyelesaikan tugasnya....
>  
> Papa, Ayah, Bapak, atau Abah kita...
> Adalah sosok yang harus selalu terlihat kuat...
> Bahkan ketika dia tidak kuat untuk tidak menangis...
> Dia harus terlihat tegas bahkan saat dia ingin memanjakanmu. .
> Dan dia adalah yang orang pertama yang selalu yakin bahwa "KAMU BISA" dalam segala hal..  
>  
> (Icha yang sedang mengenang almarhum papa yang ultah 18 Nov)
>

8a.

Re: (cerpen) :  Wanita Kedua

Posted by: "anty th" anty_th@yahoo.com   anty_th

Tue Nov 24, 2009 8:17 pm (PST)



Tidak sedikit yang terjebak dalam keadaan seperti ini
ada bersikap seperti RUM
namun ada juga yang tidak

benar kata Dewi, harus ada instropeksi diri bagi kaum hawa

namun dari sisi kaum adam pun harus punya kesadaran untuk tak memudah - mudahkan urusan ke "adil" an, hanya dengan alasan sunnah Rasul.

sehingga ketika ada sesuatu yg di anggap tak sesuai lantas mencari kesempurnaan dari yang lain

intinya adalah pengendalian diri ^_^

*ini dlu komentarnya ya wi *
^_*

tulisan sederhana yg cukup menggugah mbak asmah
tfs ^_^

salam
anty

9a.

Artikel: Makan siang terbaik

Posted by: "Nurhadi" hadynur@gmail.com   hadynur

Tue Nov 24, 2009 10:01 pm (PST)



Alhamdulillah...bisa menulis kembali. Mudah-mudahan waktu yang saya
gunakan ini tidak mendzholimi waktu di kantor...karena saya lakukan
pas jam istirahat makan siang. InsyaAlloh...

Ya. Topiknya tentang makan siang.

Kebetulan, kantor tidak memberikan jatah makan siang secara khusus.
Jatah berupa tunjangan dimasukan ke account akhir bulan. Tetapi, ini
ada untungnya bagi kami:

1. BISA PULANG KE RUMAH
Alhamdulillah, dengan pola seperti ini, saya selalu menyempatkan diri
makan siang di rumah. Jadilah, secara otomatis waktu berkumpul dengan
keluarga lebih banyak. Sekali lagi..alhamdulillah.

2. BISA LEBIH BERVARIASI
Artinya, kami bisa makan di mana saja. Dengan menu pilihan terserah
apa kata kami. Bahkan dengan pola seperti ini, saya berusaha untuk
menjalin komunikasi dengan divisi lain dan berkata "Pak, makan dimana
hari ini? Bagaimana kalo kita makan di warung .....masakannya enak
lho..!"

Dan..alhamdulillah..dengan cara demikian, kebekuan bisa cair. Anda
bisa mencobanya juga lho.

TETAPI, tidak semua perusahaan memiliki pola kebijakan seperti ini.
Banyak perusahaan yang memberikan jatah makan siang khusus di kantin
bagi pekerjanya. Dan memang, dengan cara demikian kita tidak punya
banyak pilihan.

Sayangnya, tidak semua menerapkan konsep HIGIENES dan KELAYAKAN LAUK
PAUK yang wajar. Saya, kerap kali mendapatkan cerita dari kolega yang
mengeluhkan kurangnya kebersihan kantin atau menu yang itu-itu saja.

Ketika masih bekerja di salah satu perusahaan manufaktur multinasional
di Batam, saya sering berkelakar:

"hari ini apa ya menunya...paling-paling ya itu-itu saja...mending
beli roti saja ! haa...ha.."

Bagi pekerja, yang diharapkan bukanlah menu yang mewah, tetapi saya
kira hanya : LAYAK, BERSIH dan MENGEYANGKAN

Nah, ini PR besar buat Anda yang bekerja di bagian HRD. Makan siang,
meskipun terkesan sepele bisa mencerminkan seberapa care perusahaan
Anda terhadap para pekerjanya. Dan boleh jadi, dengan hanya melihat
bagaimana kantin Anda, seorang customer bisa menentukan untuk
melanjutkan bisnis atau cukup berhenti disini saja !

Jadi, berikan makan siang layak mulai dari sekarang !

Have a lunch !

Dimuat: http://hadynur.multiply.com/journal/item/66/Makan_siang_terbaik

--
Best regards,
Nurhadi

[Blog] http://hadynur.multiply.com
[XeeSM]http://xeesm.com/Nurhadi

9b.

Re: Artikel: Makan siang terbaik

Posted by: "salman al muhandis" abdul_azis80@yahoo.com   abdul_azis80

Wed Nov 25, 2009 1:31 am (PST)



Ehm....

Jadi ingat saat silaturrahim ke kantor salah satu rekan di sekitar kuningan Jakarta, secara kebetulan saat itu saya di LSM.

Saya lupa hari apa yang pasti saya datang saat jam-nya makan siang, tapi kantor teman saya itu tidak seperti kantor lain yang saat makan siang semuanya keluar ruangan, mengapa? karena mereka ada Pantry yang kebetulan posisinya dekat dengan Meja Receptionist dan secara tidak langsung saya lihat dong, orang bolak-balik keluar masuk ruangan itu.

Kedatangan pertama kali cuma dapat memperhatikan saja dan gak tau juga saat kedatangan yang keberapa kali, saya di ajak masuk dan diminta langsung mengambil piring..wah jadi enak neh...

Menunya...lebih higienis dan bergizi di bandingkan kantin yang saya biasa makan...

Dan sekarang saya kerja di sekitar Gatsu...kantor baru ini tidak menyediakan lunch, sama seperti kantor pertama...
Dan Alhamdulillah, dapat juga kantin yang lezat, sehat dan sesuai dengan kantong saya harganya...

www.seorangayah.eordpress.com

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Nurhadi <hadynur@...> wrote:
>
> Alhamdulillah...bisa menulis kembali. Mudah-mudahan waktu yang saya
> gunakan ini tidak mendzholimi waktu di kantor...karena saya lakukan
> pas jam istirahat makan siang. InsyaAlloh...
>
> Ya. Topiknya tentang makan siang.
>
> Kebetulan, kantor tidak memberikan jatah makan siang secara khusus.
> Jatah berupa tunjangan dimasukan ke account akhir bulan. Tetapi, ini
> ada untungnya bagi kami:
>
> 1. BISA PULANG KE RUMAH
> Alhamdulillah, dengan pola seperti ini, saya selalu menyempatkan diri
> makan siang di rumah. Jadilah, secara otomatis waktu berkumpul dengan
> keluarga lebih banyak. Sekali lagi..alhamdulillah.
>
> 2. BISA LEBIH BERVARIASI
> Artinya, kami bisa makan di mana saja. Dengan menu pilihan terserah
> apa kata kami. Bahkan dengan pola seperti ini, saya berusaha untuk
> menjalin komunikasi dengan divisi lain dan berkata "Pak, makan dimana
> hari ini? Bagaimana kalo kita makan di warung .....masakannya enak
> lho..!"
>
> Dan..alhamdulillah..dengan cara demikian, kebekuan bisa cair. Anda
> bisa mencobanya juga lho.
>
> TETAPI, tidak semua perusahaan memiliki pola kebijakan seperti ini.
> Banyak perusahaan yang memberikan jatah makan siang khusus di kantin
> bagi pekerjanya. Dan memang, dengan cara demikian kita tidak punya
> banyak pilihan.
>
> Sayangnya, tidak semua menerapkan konsep HIGIENES dan KELAYAKAN LAUK
> PAUK yang wajar. Saya, kerap kali mendapatkan cerita dari kolega yang
> mengeluhkan kurangnya kebersihan kantin atau menu yang itu-itu saja.
>
> Ketika masih bekerja di salah satu perusahaan manufaktur multinasional
> di Batam, saya sering berkelakar:
>
> "hari ini apa ya menunya...paling-paling ya itu-itu saja...mending
> beli roti saja ! haa...ha.."
>
> Bagi pekerja, yang diharapkan bukanlah menu yang mewah, tetapi saya
> kira hanya : LAYAK, BERSIH dan MENGEYANGKAN
>
> Nah, ini PR besar buat Anda yang bekerja di bagian HRD. Makan siang,
> meskipun terkesan sepele bisa mencerminkan seberapa care perusahaan
> Anda terhadap para pekerjanya. Dan boleh jadi, dengan hanya melihat
> bagaimana kantin Anda, seorang customer bisa menentukan untuk
> melanjutkan bisnis atau cukup berhenti disini saja !
>
> Jadi, berikan makan siang layak mulai dari sekarang !
>
> Have a lunch !
>
> Dimuat: http://hadynur.multiply.com/journal/item/66/Makan_siang_terbaik
>
> --
> Best regards,
> Nurhadi
>
> [Blog] http://hadynur.multiply.com
> [XeeSM]http://xeesm.com/Nurhadi
>

10.

Berbicara positif

Posted by: "DR.Puspitasari" d.puspitasari@ymail.com   paketcantik

Tue Nov 24, 2009 11:00 pm (PST)




Berbicara positif :

Coba perhatikan dua ucapan di bawah ini. keduanya mengekspresikan
ketidakhadiran pada sebuah acara pertemuan yang diusulkan.
"Maaf pak, besok saya tidak bisa ikut menghadiri pertemuan dengan Anda,
karena sudah ada acara lain yang sudah terjadwal. Apakah pertemuan bisa
kita
jadwal ulang?"
"Pak, saya bisa menyediakan waktu khusus untuk pertemuan dengan bapak,
pada hari Rabu atau Jum'at. Bagaimana dengan Bapak? Apakah bapak bisa
bertemu hari Rabu atau Jum'at?"
Ucapan pertama terlihat lebih fokus pada diri sendiri, dan menomorduakan
orang
lain. Sedangkan ungkapan kedua terdengar lebih positif, karena lebih
fokus
perhatian pada lawan bicara, sehingga lawan bicara lebih merasa
dihargai.
Hasilnya, tentunya lebih positif yang kedua. Jadi, dengan berpikir
positif, kita juga
terdorong untuk berbicara positif. Kita termotivasi untuk tulus
menyampaikan dan
mengekspresikan emosi positif kita pada orang-orang sekitar, sehingga
merekapun merasa nyaman berada didekat kita karena terhibur dengan kata-
kata positif tersebut.

http://www.paketcantik.com <http://www.paketcantik.com>

11.

[CATATAN KECIL] Blitar, Setelah Delapan Tahun Kutinggalkan

Posted by: "dhimaskahar" dhimaskahar@yahoo.com   dhimaskahar

Tue Nov 24, 2009 11:02 pm (PST)



Pada awalnya, artikel dengan judul di atas saya tulis sebagai bentuk partisipasi saya dalam lomba Kelana Lebaran. Senang saja bila kemudian ada anggota milis ini yang memberikan tanggapannya. Apalagi, ketika cerita tersebut dianggap mengingatkan kembali pada kampung halaman. Mudah-mudahan cerita ini bisa menjadi obat rindu, setelah sekian lama tidak bertemu dengan orang-orang yang kita cintai di bumi Penataran.

Saya sendiri baru bergabung di milis Sekolah Kehidupan. Namun, mengikuti postingan demi postingan yang ada, membuat saya merasa bukan sebagai orang baru. Nuansa kekeluargaannya serasa dekat. Semua saling berbagi, tanpa bermaksud menggurui. Itu juga yang membuat saya merasa seperti sudah lama berada dalam komunitas ini.

Blitar, Setelah Delapan Tahun Kutinggalkan, menyadarkan saya betapa banyak warga kota patria itu yang menjadi perantau. Ini bukan sekedar membangga-banggakan daerah sendiri. Sebab, sebagaimana lazimnya, selalu ada perasaan senasib bila kita merantau ke daerah lain dan bertemu dengan teman satu daerah. Itu juga yang saya rasakan bersama kawan, Vytha di Bogor dan kawan Yuni di Papua. Meski, itupun hanya bertemu di dunia maya.

Apapun itu, kita menaruh harapan besar untuk bisa saling belajar, meski hanya melalui kata-kata. Sebab semua akan berakhir, dan mudah-mudahan apa yang ditulis bisa membuat orang lain mengenang kita lebih lama dari usia kita. Salam hangat saya untuk semua yang telah bekernan membaca….

Salam;
Kahar S. Cahyono

12a.

Memperingati hari guru

Posted by: "suryana wijaya" jaya547@yahoo.co.id   jaya547

Tue Nov 24, 2009 11:04 pm (PST)



sosok guru selalu mengingatkan ku pada seseorang yang tulus ikhlas mendidik, membina dan mengajarkan ku pada sesuatu. Kehadiran mereka sangatlah berarti bagiku. Guruku orangtua ku.
Sejak kecil aku telah terbiasa berada di dunia pendidikan. Ibuku adalah seorang guru SD di sebuah ibukota kabupaten bengkulu utara. Ibu benar-benar profesional menjalankan yugasnya. Kendati berperan ganda bagiku, ibu tahu kapan harus bertindak sebagai ibu kandung dan kapan harus bertindak sebagai guru. Bila dirumah, ibu adalah ibu rumah tangga yang baik. Selalu memperhatikan keadaan dan perkembangan anak-anaknya. Ibu juga memberikan kasih sayangnya secara utuh kepada kami, anak-anaknya. Namun, bila disekolah, ibu adalah guru dikelasku. Jika sedang berada dikelas, ibu adalah guruku dan aku adalah muridnya. tak ada perlakuan khusu bagi ku. Ibu memberikan reward jika aku berprestasi dan ibu tak segan-segan memarahiku didepan teman-teman ku yang lain jika aku salah. Sama dengan perlakuan ibu ke teman-temanku yang lain.
Ku merasa sangat bersyukur karena pernah diajar oleh ibuku di sekolah. Terlihat sekali kesabaran, kasih sayang dan dedikasi beliau ketika mengajar kan kami, murid-murid bengalnya, yang pada saat itu belum bisa baca tulis.
Di rumah, ibu mendidik kami dengan penuh kelembutan. samapai sekarang belum pernah ada tindakan kasar yang dilakukan ibu kepada ku. ibu tidak pernah memukul, tidak pernah menghukum secara fisik. Aku mengerti kenapa demikian, karena bila anak diajarkan dengan kelembutan maka anak juga akan meniru perilaku yang telah diajarkan tersebut. Hal ini lah yang membutaku sangat sayang dengan ibuku. kendati sangat sibuk, ibu tak pernah melalaikan keluarganya.
Penilaian anak-anak murid ibu juga sama sepertiku. Mereka sangat suka bila diajar oleh ibuku. Mereka berpendapat ibu ku adalah guru yang sangat sayang pada murid-muridnya. ibuku mengajar dengan penuh suka cita dan berusaha membangun suasana ceria disaat kegiatan belajar mengajar (KBM).
tak hanya itu, ibu juga sangat giat dalam berusaha. Ibu sangat semangat mengikuti lomba-lomba karya tulis dan sejenisnya. Ibu sudah sangat senang walau hanya sebagai partisipan. Namun tak jarang, beberapa lomba yang diikuti beliau keluar sebagai juara.
Wajar saja, banyak murid-murid yang menangis ketika ibu harus dipindahtugaskan. Para guru dan murid seakan tak rela kehilangan ibu di SD itu. Sosok yang berkesan bagi semua. Namun apa hendak dikata, keputusan itu tak dapat diganggu gugat. Tangis dan derai air mata mewarnai perpisahan itu. Ibuku dipindahkan ke sebuah sekolah yang lumayan jauh dari pusat kota. Ibu mendapat jabatan sebagai kepala sekolah disana.
Perjuangan ibu memang luar biasa. Jarak rumah dan Sekolah yang jauh tak membuat semangat nya kendur. Justru beliau bertambah semangat untuk membangun dan memajukan sekolah itu. Keuletan, kerajinan dan kesabran beliau berbuah hasil. dalam beberapa tahun setelah beliau menjabat disana beliau berhasil membawa sekolah itu berprestasi. Beberapa perlombaan tingkat SD berhasil dimenangkan. Tak hanya prestasi, ibu juga berhasil memperjuangkan sekolah tersebut untuk mendapatkan rehabilitasi bangunan, sehingga sekola itu sekarang tampak lebih elok dan indah.
Beberapa waktu yang lalu, ibu menelfonku. Beliau memberi kabar bahwa sekolah ya berhasil memenagkan "sekolah sehat " tingkat kabupaten. "Mohon do'anya ya dek, moga sekolah ibu dapat juara satu di tingkat provinsi" begitu lah ucpan ibu kemarin.
Kesuksesan ibu tidak hanya sekedar urusan prestasi dan gedung sekolah saja. Ibu memang punya sifat kepemimpinan yang baik. Ibu tak pernah pilih kasih kepada bawahannya, selalu adil. Dengan masyarakat sekitar sekolah, Ibu juga sangat dekat. Ibu melakukan pendekatan dengan warga-warga disekitar sekolah, sehingga setiap ibu minta bantuan mereka untuk kerja bakti di sekolah, mereka melakukannya dengan senang hati.  sampai-sampai ada pegawai dari Dinas pendidikan yang mengatakan bahwa ibu ku adalah "bu muslimahnya" argamakmur.
Ada satu perkataan yang selalu ku ingat dari ibu. Ibu mengajarkan ku untuk selalu sholat malam. Walaupun ibu terkadang harus tidur larut malam karena mengerjakan pekerjaan dar sekolah, beliau selalu menyempatkan diri untuk bangun sejenak dan melakukan sholat tahajjud.
"BU, I LOVE  U VERY MUCH"
AND SELAMAT HARI GURU...............
MOGA GURU_GURU DI INDONESIA MAKIN BERKUALITAS

Lebih aman saat online. Upgrade ke Internet Explorer 8 baru dan lebih cepat yang dioptimalkan untuk Yahoo! agar Anda merasa lebih aman. Gratis. Dapatkan IE8 di sini!
http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer/
13.

[catcil] Guru, Penentu Kualitas Sekolah

Posted by: "Syafaatus Syarifah" syarifah@gratika.co.id   sya4215

Wed Nov 25, 2009 12:37 am (PST)



Guru adalah kunci kualitas sebuah sekolah ~~ Munif Chatib

Beberapa minggu ini saya dan suami disibukkan dengan kegiatan survey ke beberapa sekolah dasar di wilayah Depok. Saya berencana memasukkan anak sulung kami di tahun ajaran 2010-2011 nanti. Dari survey yang kami lakukan itu, kami menemukan beberapa sekolah bagus yang sesuai dengan apa yang kami harapkan.

Beberapa variabel yang kami jadikan sebagai bahan penilaian terhadap kualitas sekolah yang kami survey adalah : kurikulumnya, metode pendidikan yang digunakan, lokasinya, fasilitas sekolahnya dan mutu guru atau pendidiknya. Dan variabel terakhir inilah yang di mata saya paling penting di antara yang lainnya.

Mutu suatu sekolah ditentukan oleh kualitas guru yang profesional. Dan guru yang profesioanla adalah guru yang tidak pernah berhenti untuk belajar. Ilmu pengetahuan itu berkembang, maka sebagai pendidik, seorang guru juga harus selalu meng-update ilmunya sebagai modal dasarnya dalam mendidik muridnya. Makanya, saya selalu menanyakan ke pihak sekolah yang saya survey apakah guru-guru di sana sering diikutsertakan ke dalam pelatihan baik itu pelatihan umum maupun pelatihan khusus yang terkait dengan pendidikan secara kontinu atau tidak. Ini yang saya jadikan sebagai indikasi bahwa sekolah itu menganggap guru sebagai aset paling berharga, sehingga mereka di fasilitasi untuk terus mengupdate pengetahuannya.

Proses belajar mengajar adalah proses yang seharusnya berjalan dua arah. Ada guru sebagai penyaji materi dan ada murid sebagai yang diajari, kedua belah pihak seharusnya saling terlibat satu sama lain untuk mencapai kondisi belajar yang ideal. Sudah tidak jamannya lagi sekarang ini menerapkan metode belajar yang tradisional-ortodok, yaitu ketika murid hanya dibatasi oleh ruang berukurang 5 x 6 meter dan hanya dibiarkan mendengar seorang guru berceramah satu arah, atau lebih parah lagi hanya disuruh membaca tulisan tangan guru di papan tulis yang menjiplak persis dari text book.

Tentang yang terakhir itu, saya menjadi teringat kepada salah seorang guru saya di waktu SMA dulu. Ada seorang guru wanita, katakanlah namanya Ibu Nita. Dia adalah guru mata pelajaran Geografi di sekolah kami. Sebuah SMA Negeri yang cukup favorit di kotaku kala itu. Ibu Nita ini pembawaannya sangat lemah lembut. Suaranya hampir tak bisa didengar oleh muridnya yang duduk di jajaran bangku tengah dan bangku belakang. Sepertinya dia menyadari kelemahannya itu, makanya dia mengembangkan cara pengajaran sendiri yang menurut kami justru menjadikan pelajaran ini begitu membosankan. Bayangkan saja bila cara dia mengajar adalah seperti ini : Setiap masuk ke kelas, dia akan datang lalu mengucap salam, setelah itu dia akan mengambil text book lalu menyalinnya persis "plek" ke dalam papan tulis (padahal kebanyakan murid sudah memiliki text book tersebut). Lama sekali dia asyik menulis di papan tulis, sementara itu murid-murid akan asyik ngobrol, bercanda bahkan ada yang sampai lempar-lemparan kertas segala. Dan itu semua didiamkan oleh Ibu Nita. Baru ketika dia selesai menyalin materi ke papan tulis itu, dia akan membacakannya di hadapan para siswa, lagi-lagi sama "plek" . Duh. betapa membosankannya pelajaran geografi waktu itu..!!

Anak-anak akan segera bersorak sorai bila pelajaran itu sudah selesai.. :))

Duh.. kira-kira masih ada nggak ya guru semacam ini di jaman sekarang ini? Guru tradisional yang text book habis dan tidak tahu dan mungkin memang tak mau tahu bagaimana caranya menyampaikan materi pelajaran pada muridnya agar bisa sampai ke otak muridnya dengan cara yang benar.

Pembelajaran adalah sebuah proses transfer ilmu dua arah, antara guru sebagai pemberi informasi dan siswa sebagai penerima informasi. Dua proses yang berbeda itu adalah :

- guru mengajar atau presentasi (proses a)

- siswa belajar atau beraktivitas (proses b)

Prosentase ideal antara kedua proses itu adalah 30% untuk proses a dan 70% untuk proses b. Jadi sebaiknya kegiatan transfer ilmu ini lebih difokuskan kepada para murid agar lebih banyak beraktivitas. Dengan demikian, diyakini bahwa murid akan terlibat untuk belajar, bukan cuma untuk datang ke kelas lalu tidurrr..hehehe

Harapan saya di hari guru ini, semoga para pendidik di seluruh Indonesia sudah mulai menyadari akan pentingnya selalu mengupdate ilmu, karena itulah modal dasarnya untuk mendidik para generasi bangsa kita tercinta ini.

Selamat Hari Guru , jayalah selalu guru-guru Indonesia ! :))
14a.

[Catcil] Ini Hari Guru, Bu

Posted by: "Rini" rinurbad@yahoo.com   rinurbad

Wed Nov 25, 2009 12:56 am (PST)



Sudah dua puluh tahun berselang, Bu.

Namun masih menggelegar di telingaku, suaramu dalam kesenyapan kelas. Tak bosan-bosan menegaskan, "Yesterday dan today, jangan dikawinkan jadi yestoday!"

Aku ingat tongkat kayu panjang yang kau gunakan untuk mengetuk-ngetuk papan tulis. Betapa giatmu di awal pelajaran, menanyakan konjugasi dalam berbagai kala. Hanya engkau, Bu, yang membuatku gemar duduk di teras memeluk buku pegangan sambil komat-kamit, "Drink drank drunk..ring rang rung..bring brought brought.." padahal untuk mata pelajaran lain, aku lebih suka melemparkan buku ke sudut kamar, menggambari diary dan..tidur.

Aku masih ingat peraturanmu, setiap anak perempuan berambut panjang harus mengikatnya dalam kelasmu. Supaya tidak ribet, supaya lebih fokus pada pelajaran. Dan aku bolak-balik menghapalkan Pancasila dalam bahasa Inggris. Katamu, setiap kali berjumpa di luar sekolah pasti akan ditanya itu. [Namun..kita tak pernah jumpa, selepasku dari seragam putih-biru sekalipun].

Aku pernah duduk di ruangan rumahmu yang mungil, bersama teman-teman les yang lain. Banyak nasihat kau curahkan, termasuk kisah kehidupanmu yang mengandung nada getir. Pesanmu waktu itu, "Telepon saya jangan pada jam 6-7 malam, itu saat-saat saya dengan Tuhan."

Ibu, aku rindu. Aku gemetar ketika menjalani hari perdana sebagai guru. Aku tak mewarisi barang separuh ketegasanmu. Atau kesabaranmu. Aku kerap mencoret sadis tugas-tugas mahasiswaku, atau malah tergoda mengerjakan PR murid privatku.

Aku. Sungguh. Malu.

Bu, meski masa-masa indah itu telah berlalu..betapa lekat peranmu dalam hidupku. [Dan memang takdir Tuhan, aku menikah dengan anak seorang guru]

Segores kenangan untuk guru bahasa Inggrisku terkasih..

tanpa menampik kemuliaan dan ilmu yang telah diberikan para guru lainnya.

Peace,
Rinurbad

14b.

Re: [Catcil] Ini Hari Guru, Bu

Posted by: "salman al muhandis" abdul_azis80@yahoo.com   abdul_azis80

Wed Nov 25, 2009 1:36 am (PST)



Selamat hari guru ya mba...

Ehm...jadi terkenang masa sekolah dahulu...

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "Rini" <rinurbad@...> wrote:
>
> Sudah dua puluh tahun berselang, Bu.
>
> Namun masih menggelegar di telingaku, suaramu dalam kesenyapan kelas. Tak bosan-bosan menegaskan, "Yesterday dan today, jangan dikawinkan jadi yestoday!"
>
> Aku ingat tongkat kayu panjang yang kau gunakan untuk mengetuk-ngetuk papan tulis. Betapa giatmu di awal pelajaran, menanyakan konjugasi dalam berbagai kala. Hanya engkau, Bu, yang membuatku gemar duduk di teras memeluk buku pegangan sambil komat-kamit, "Drink drank drunk..ring rang rung..bring brought brought.." padahal untuk mata pelajaran lain, aku lebih suka melemparkan buku ke sudut kamar, menggambari diary dan..tidur.
>
> Aku masih ingat peraturanmu, setiap anak perempuan berambut panjang harus mengikatnya dalam kelasmu. Supaya tidak ribet, supaya lebih fokus pada pelajaran. Dan aku bolak-balik menghapalkan Pancasila dalam bahasa Inggris. Katamu, setiap kali berjumpa di luar sekolah pasti akan ditanya itu. [Namun..kita tak pernah jumpa, selepasku dari seragam putih-biru sekalipun].
>
> Aku pernah duduk di ruangan rumahmu yang mungil, bersama teman-teman les yang lain. Banyak nasihat kau curahkan, termasuk kisah kehidupanmu yang mengandung nada getir. Pesanmu waktu itu, "Telepon saya jangan pada jam 6-7 malam, itu saat-saat saya dengan Tuhan."
>
> Ibu, aku rindu. Aku gemetar ketika menjalani hari perdana sebagai guru. Aku tak mewarisi barang separuh ketegasanmu. Atau kesabaranmu. Aku kerap mencoret sadis tugas-tugas mahasiswaku, atau malah tergoda mengerjakan PR murid privatku.
>
> Aku. Sungguh. Malu.
>
> Bu, meski masa-masa indah itu telah berlalu..betapa lekat peranmu dalam hidupku. [Dan memang takdir Tuhan, aku menikah dengan anak seorang guru]
>
> Segores kenangan untuk guru bahasa Inggrisku terkasih..
>
> tanpa menampik kemuliaan dan ilmu yang telah diberikan para guru lainnya.
>
> Peace,
> Rinurbad
>

Recent Activity
Visit Your Group
Biz Resources

Y! Small Business

Articles, tools,

forms, and more.

Group Charity

Give a laptop

Get a laptop: One

laptop per child

Celebrity Parents

Spotlight on Kids

Hollywood families

share stories

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: