Kamis, 26 November 2009

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2894

sekolah-kehidupan

Messages In This Digest (13 Messages)

Messages

1a.

Re: (Catatan Kecil) PAPA

Posted by: "rahma dewi" rachma_dewod1981@yahoo.com   rachma_dewod1981

Wed Nov 25, 2009 6:09 am (PST)



air mata ku berlinang membaca nya.. thanks ya..

--- On Tue, 11/24/09, Novi Khansa <novi_ningsih@yahoo.com> wrote:

From: Novi Khansa <novi_ningsih@yahoo.com>
Subject: [sekolah-kehidupan] Re: (Catatan Kecil) PAPA
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Date: Tuesday, November 24, 2009, 10:37 PM

 

Pernah baca, tapi tetap... T_T

Makin ganti tahun makin besar rasa kangen pada beliau... tanpa terasa hampir enam tahun...

Masih ingat ketika wisuda 6 tahun lalu, ternyata itu jadi momen membanggakan terakhir dihadiri bapak.

Ingat juga gimana bapak sedemikian berhati-hatinya menasehati atau memberi tahu sesuatu ketika kami sudah beranjak dewasa. T_T

TFS, bun...

salam,

Novi

--- In sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com, Elisa Koraag <elisa201165@ ....> wrote:

>

>

>

> Note: Dari kiriman seorang teman.

>  

> PAPA

>  

> Biasanya, bagi seorang anak perempuan yang sudah dewasa, yang sedang bekerja diperantauan, yang ikut suaminya merantau di luar kota atau luar negeri, yang sedang bersekolah atau kuliah jauh dari kedua orang tuanya.....

>  

> Akan sering merasa kangen sekali dengan Mamanya.

> Lalu bagaimana dengan Papa? Mungkin karena Mama lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaanmu setiap hari,tapi tahukah kamu, jika ternyata Papa-lah yang mengingatkan Mama untuk menelponmu?

>  

> Mungkin dulu sewaktu kamu kecil, Mama-lah yang lebih sering mengajakmu bercerita atau berdongeng,

> tapi tahukah kamu, bahwa sepulang Papa bekerja dan dengan wajah lelah Papa selalu menanyakan pada Mama tentang kabarmu dan apa yang kau lakukan seharian?

>  

> Pada saat dirimu masih seorang anak perempuan kecil......

> Papa biasanya mengajari putri kecilnya naik sepeda.

> Dan setelah Papa mengganggapmu bisa, Papa akan melepaskan roda bantu di sepedamu...

> Kemudian Mama bilang : "Jangan dulu Papa, jangan dilepas dulu roda bantunya" ,

> Mama takut putri manisnya terjatuh lalu terluka....

> Tapi sadarkah kamu?

> Bahwa Papa dengan yakin akan membiarkanmu, menatapmu, dan menjagamu mengayuh sepeda dengan seksama karena dia tahu putri kecilnya PASTI BISA.

>  

> Pada saat kamu menangis merengek meminta boneka atau mainan yang baru, Mama menatapmu iba.

> Tetapi Papa akan mengatakan dengan tegas : "Boleh, kita beli nanti, tapi tidak sekarang"

> Tahukah kamu, Papa melakukan itu karena Papa tidak ingin kamu menjadi anak yang manja dengan semua tuntutan yang selalu dapat dipenuhi?

>  

> Saat kamu sakit pilek, Papa yang terlalu khawatir sampai kadang sedikit membentak dengan berkata :

> "Sudah di bilang! kamu jangan minum air dingin!".

> Berbeda dengan Mama yang memperhatikan dan menasihatimu dengan lembut.

> Ketahuilah, saat itu Papa benar-benar mengkhawatirkan keadaanmu.

>  

> Ketika kamu sudah beranjak remaja....

> Kamu mulai menuntut pada Papa untuk dapat izin keluar malam, dan Papa bersikap tegas dan mengatakan: "Tidak boleh!".

> Tahukah kamu, bahwa Papa melakukan itu untuk menjagamu?

> Karena bagi Papa, kamu adalah sesuatu yang sangat - sangat luar biasa berharga..

> Setelah itu kamu marah pada Papa, dan masuk ke kamar sambil membanting pintu...

> Dan yang datang mengetok pintu dan membujukmu agar tidak marah adalah Mama....

> Tahukah kamu, bahwa saat itu Papa memejamkan matanya dan menahan gejolak dalam batinnya,

> Bahwa Papa sangat ingin mengikuti keinginanmu, Tapi lagi-lagi dia HARUS menjagamu?

>  

> Ketika saat seorang cowok mulai sering menelponmu, atau bahkan datang ke rumah untuk menemuimu, Papa akan memasang wajah paling cool sedunia.... :')

> Papa sesekali menguping atau mengintip saat kamu sedang ngobrol berdua di ruang tamu..

> Sadarkah kamu, kalau hati Papa merasa cemburu?

>  

> Saat kamu mulai lebih dipercaya, dan Papa melonggarkan sedikit peraturan untuk keluar rumah untukmu, kamu akan memaksa untuk melanggar jam malamnya.

> Maka yang dilakukan Papa adalah duduk di ruang tamu, dan menunggumu pulang dengan hati yang sangat khawatir...

> Dan setelah perasaan khawatir itu berlarut - larut...

> Ketika melihat putri kecilnya pulang larut malam hati Papa akan mengeras dan Papa memarahimu.. .

> Sadarkah kamu, bahwa ini karena hal yang di sangat ditakuti Papa akan segera datang?

> "Bahwa putri kecilnya akan segera pergi meninggalkan Papa"

>  

> Setelah lulus SMA, Papa akan sedikit memaksamu untuk menjadi seorang Dokter atau Insinyur.

> Ketahuilah, bahwa seluruh paksaan yang dilakukan Papa itu semata - mata hanya karena memikirkan masa depanmu nanti....

> Tapi toh Papa tetap tersenyum dan mendukungmu saat pilihanmu tidak sesuai dengan keinginan Papa

> Ketika kamu menjadi gadis dewasa....

> Dan kamu harus pergi kuliah dikota lain...

> Papa harus melepasmu di bandara.

> Tahukah kamu bahwa badan Papa terasa kaku untuk memelukmu?

> Papa hanya tersenyum sambil memberi nasehat ini - itu, dan menyuruhmu untuk berhati-hati. .

> Padahal Papa ingin sekali menangis seperti Mama dan memelukmu erat-erat.

> Yang Papa lakukan hanya menghapus sedikit air mata di sudut matanya, dan menepuk pundakmu berkata "Jaga dirimu baik-baik ya sayang".

> Papa melakukan itu semua agar kamu KUAT...kuat untuk pergi dan menjadi dewasa.

>  

> Disaat kamu butuh uang untuk membiayai uang semester dan kehidupanmu, orang pertama yang mengerutkan kening adalah Papa.

> Papa pasti berusaha keras mencari jalan agar anaknya bisa merasa sama dengan teman-temannya yang lain. Ketika permintaanmu bukan lagi sekedar meminta boneka baru, dan Papa tahu ia tidak bisa memberikan yang kamu inginkan....

> Kata-kata yang keluar dari mulut Papa adalah : "Tidak..... Tidak bisa!"

> Padahal dalam batin Papa, Ia sangat ingin mengatakan "Iya sayang, nanti Papa belikan untukmu".

> Tahukah kamu bahwa pada saat itu Papa merasa gagal membuat anaknya tersenyum?

>  

> Saatnya kamu diwisuda sebagai seorang sarjana.

> Papa adalah orang pertama yang berdiri dan memberi tepuk tangan untukmu.

> Papa akan tersenyum dengan bangga dan puas melihat "putri kecilnya yang tidak manja berhasil tumbuh dewasa, dan telah menjadi seseorang"

>  

> Sampai saat seorang teman Lelakimu datang ke rumah dan meminta izin pada Papa untuk mengambilmu darinya.

> Papa akan sangat berhati-hati memberikan izin..

> Karena Papa tahu.....

> Bahwa lelaki itulah yang akan menggantikan posisinya nanti.

> Dan akhirnya....

> Saat Papa melihatmu duduk di Panggung Pelaminan bersama seseorang Lelaki yang di anggapnya pantas menggantikannya, Papa pun tersenyum bahagia....

> Apakah kamu mengetahui, di hari yang bahagia itu Papa pergi kebelakang panggung sebentar, dan menangis?

>  

> Papa menangis karena papa sangat berbahagia, kemudian Papa berdoa....

> Dalam lirih doanya kepada Tuhan, Papa berkata: "Ya Allah tugasku telah selesai dengan baik....

> Putri kecilku yang lucu dan kucintai telah menjadi wanita yang cantik.....

> Bahagiakanlah ia bersama suaminya..."

> Setelah itu Papa hanya bisa menunggu kedatanganmu bersama cucu-cucunya yang sesekali datang untuk menjenguk...

> Dengan rambut yang telah dan semakin memutih....

> Dan badan serta lengan yang tak lagi kuat untuk menjagamu dari bahaya.....

> Papa telah menyelesaikan tugasnya....

>  

> Papa, Ayah, Bapak, atau Abah kita...

> Adalah sosok yang harus selalu terlihat kuat...

> Bahkan ketika dia tidak kuat untuk tidak menangis...

> Dia harus terlihat tegas bahkan saat dia ingin memanjakanmu. .

> Dan dia adalah yang orang pertama yang selalu yakin bahwa "KAMU BISA" dalam segala hal..  

>  

> (Icha yang sedang mengenang almarhum papa yang ultah 18 Nov)

>

2a.

Re: [KELANA LEBARAN] Blitar, Setelah Delapan Tahun Kutinggalkan

Posted by: "mbakyun38@yahoo.co.id" mbakyun38@yahoo.co.id   mbakyun38

Wed Nov 25, 2009 6:11 am (PST)



Senang sekali email saya dapat tanggapan, trimakasih mas Kahar. Beberapa hari yang lalu saya juga mengirimkan kelana lebaran mengenai Papua, asyiknya cara berlebaran di Papua, mungkin blm banyak yang membaca artikel saya, ok nanti saya kirim kembali. Papua skrg sdh ramai, banyak suku pendatang termasuk Jawa. Penjual bakso dorong, mie ayam, kripik singkong, pecel, gado2. Jadi hampir 7 thn saya di Papua bahasa yg saya gunakan ya bhs jawa krn kebetulan disekeliling saya rata2 orang Jawa meski saya juga bergaul dengan penduduk asli Papua. Untuk makanan khasnya adlh papeda, sagu dicampur dg ikan ekor kuning di kuah kuning, ditambah kangkung rebus atau oseng2 bunga pepaya dan sambal wah muantap...kalau dikirim takut kuahnya bocor hehehe...kapan2 saya tulis artikel tentang Papua.

Salam
Yuni
Powered by Telkomsel BlackBerry�

-----Original Message-----
From: "dhimaskahar" <dhimaskahar@yahoo.com>
Date: Wed, 25 Nov 2009 02:34:38
To: <sekolah-kehidupan@yahoogroups.com>
Subject: [sekolah-kehidupan] Re: [KELANA LEBARAN] Blitar, Setelah Delapan Tahun Kutinggalkan

Senang berkenalan dengan mbak Yuni. Papua? Waduh, tentu banyak cerita yang bisa dirangkai dari sana. Kira-kira makanan khas Papua apa ya, soalnya saya jarang sekali mendengar. hehe..., ngarep dapat kiriman.

Salam kembali;
Kahar


3.

word create world: Prinsip Pertama Appreciative Inquiry

Posted by: "Budi Setiawan" bukik_psi@yahoo.com   bukik_psi

Wed Nov 25, 2009 6:12 am (PST)



Prinsip Pertama Appreciative Inquiry:
Social Constructionist

Proposisi :
Realitas dikonstruksikan secara sosial melalui interaksi dan komunikasi

Penjelasan:
Setelah saya memikirkan tentang arti penting bahasa dan bagaimana manusia berinteraksi dengan dunia, timbul pemikiran saya bahwa dalam banyak hal, perkembangan bahasa mirip dengan penemuan api—sungguh merupakan sebuah kekuatan purbawi yang luar biasa. Saya selalu berpikir bahwa kita menggunakan bahasa untuk melukiskan dunia—sekarang saya tahu bukan itu persoalannya. Sebaliknya, melalui bahasa lah kita menciptakan dunia, karena tidak sesuatupun ada sampai kita memberikan gambaran tentangnya. Dan ketika kita menggambarkannya, maka berarti kita menciptakan pembeda-pembeda untuk mengatur tindakan kita. Dengan kata lain, kita tidak menggambarkan dunia yang kita lihat, tetapi kita melihat dunia yang kita gambarkan (Joseph Jaworski, American Leadership Forum)

Contoh: 
Baju atau alat makan yang kita makan menjadi sebagaimana yang anda lihat sekarang melalui proses desain yang melibatkan banyak pihak yang berinteraksi dan berkomunikasi
Kinerja sebuah perusahaan merupakan konstruksi seluruh elemen organisasi, dunia sosial perusahaan tersebut. Tidak semata-mata konstribusi personal.

Cerita:
Awalnya seorang manajer, sebut saja Agus, berjalan melintas ruangan bawahannya dan melihat salah satu bawahannya yaitu Si Budi sedang bermain games komputer. Langsung muncul dalam benaknya "dasar karyawan malas". Agus memanggil Budi ke ruangannya. Agus memberi peringatan kepada Budi untuk tidak lagi bermain games ketika jam kerja. 
Hari berikutnya ketika ada pekerjaan yang harus diselesaikan, Agus menimbang apakah akan diserahkan kepada Budi atau Iwan, bawahannya yang lain. Coba tebak kepada siapa? Yup. Pekerjaan diserahkan kepada Iwan, yang lebih bisa diandalkan daripada karyawan malas seperti Budi.
Apa yang terjadi? Iwan semakin mendapat pekerjaan (formula kantor: semakin baik kau bekerja maka akan mendapat hadiah: tambahan pekerjaan). Sementara, Si Budi hanya mendapat pekerjaan sekedarnya, sebatas pekerjaan yang memang harus dikerjakan Budi. 
Si Budi sendiri sudah berusaha meminta pekerjaan kepada rekan kerjanya. Akan tetapi, karena kejadian Budi dimarahin sang manajer karena kemalasannya, rekan kerjanya menjadi enggan mempercayakan pekerjaan kepada Budi. Jadi, karena tidak ada pekerjaan maka tidak ada salahnya nganggur di jam kerja pikir Budi. 
Kenyataan tersebut membuat Si Manajer melihat bahwa Budi memang benar-benar malas. Tidak bekerja. Banyak nganggurnya. Itulah spiral negatif yang menjadi proses utama dalam konstruksi sosial.

Aplikasi:
1. Kreasikan julukan atau nama project yang positif 
2. Ajak semua orang terlibat dalam proses menciptakan "nama" dari suatu insiatif
3. Bangun interaksi dan komunikasi yang positif. Ajukan pertanyaan positif untuk mengawali pertemuan

Sumber:http://bukik.org
muda, beda dan berbahaya

Menambah banyak teman sangatlah mudah dan cepat. Undang teman dari Hotmail, Gmail ke Yahoo! Messenger sekarang! http://id.messenger.yahoo.com/invite/
4a.

(Catatan Kecil) Papa---Papanya Icha

Posted by: "Elisa Koraag" elisa201165@yahoo.com   elisa201165

Wed Nov 25, 2009 6:40 pm (PST)



PAPANYA ICHA
(Icha Koraag)
 
Dear guys.
Tulisan Papa, memang tulisan lama yang aku dapatkan dari seorang kawan. Aku sebarkan lagi. Aku  teringat papaku yang sudah almarhum. Beliau tidak sempat melihatku wisuda. Saat wisuda aku hanya di dampingi mama dan kakakku. Beliau meninggal saat aku baru semester 3.
 
Aku orang yang sangat kehilangan, selain mama dan saudara-saudaraku yang lain. Aku gamang. Hari pertama hingga sebulan sepeninggal papa, aku masih merasa papa tugas keluar kota. Tapi ketiga 3 bulan lewat, baru terasa ada kekosongan di hati ini. Walau waktu itu aku sudah duduk diperguruan tinggi Papa yang selalu  setiap aku pulang kuliah mereview apa yang aku pelajari hari itu.
 
Kehilangan papa sempat membuatku marah pada Tuhan. Kenapa papaku? (Pertanyaan basi !) Ketika lulus SMA dan masuk perguruan tinggi, semua urusan administrasi aku di bantu papa. Bahkan seminggu pertama kuliah, aku diantar papa. Persoalannya sepele. Sejak SD hingga SMA, letak sekolahanku sangat dekat dari rumah, hanya di tempuh 15 menit dengan jalan kaki. Ketika kuliah, jaraknya harus kutempuh dengan berganti bis kota 3 x.
 
Papa yang setia mengantarkanku dan menjelaskan bis-bis mana yang harus kunaiki. Termasuk berprilaku seperti apa di terminal, didalam bis atau bersikap  bagaimana bila berhadapan dengan "orang iseng/jahat". Aku sempat pulang kuliah menangis. Suatu hari saat pulang kuliah dan duduk di bis. Entah angin apa yang membuat hari itu aku ingin berpenampilan feminim. Jadi aku memakai blouse dan rok.
 
Karena aku mengambil jam kuliah sore, maka sekitar pukul 19.30 aku sudah diatas bis kota untuk pulang. Aku sudah berganti bis ke 3, Kira-kira jarak kerumahku tinggal 2 Km. Ketika penumpang sebelahku seorang ibu-ibu turun dan diganti seorang laki-laki. Penampilannya seperti karyawan. Memakai kemeja lengan panjang, digulung hingga ke batas siku dan membawa map. rasanya kurang dari 10 menit ketika aku merasa ada yang gak beres. Ya, laki-laki itu berusaha menyingkap rokku dengan tangannya. Aku tersentak kaget dan menepis tangannya.
 
Jujur aku benci dengan sikapku pada waktu itu. Aku gemeter, takut, marah, malu mau nangis. Aku minta bis dihentikan. Lalu aku mendorong laki-laki itu dan turun. Begitu kakiku nejejak ke tanah. Tangisku pecah. Saat itu umurku menjelang 18 tahun. Aku tidak berbuat apa-apa, hanya menangis dan menangis. Sampai seorang abang becak mendekatiku dan menawariku naik ke becaknya.
 
Saat itu aku merasa sangat tidak nyaman. Dan tidak tahu harus berbuat apa. Sempat mogok kuliah karena takur saat pulangnya. Akhirnya aku menceritakan hal itu pada papa. Papa menghiburku dan mengatakan tidak usah takut. Besok papa akan patroli di bis itu. Perkataan papa sangat menghiburku dan aku percaya papa akan melakukan patroli. padahal kalau aku ingat sekarang, siapa lah papaku. Mana mungkin papa patroli di bis- bis.
 
Papa mengajariku untuk memegang pensil atau bolpoint bila akan naik bis kota. Bila ada laki-laki iseng, tusukkan saja pinsil atau bolpoint itu ke tubuhnya. Anggap sebagai gerakan reflek melindungi diri. Ajaran yang sama yang ku dapat dari suamiku. Padahal masalahnya adalah apakah aku berani menggerakkan tangan dan menusukkan pinsil atau bolpoint itu?
 
Saat di tahun ajaran baru, Aku menjadi mahasiswa yang tengah mengikuti Penataran P4. Pedoman Pengahayatan dan pengamalan pancasila. Terbagi dalam kelompok Nusa, Bangsa dan Bahasa. (Era Soeharto). Tahun ajaran baru di mulai Agustus, dan tepat 17 Agustus, aku dan beberapa kawan terpilih untuk mengkoordinasi upacara. Aku ambil bagian dalam pengibaran bendera.
 
Ceritanya mau gaya-gayaan seperti Paskibra di istana merdeka. Pakai putih-putih dan kain segitiga merah di leher. Aku berniat menyediakan kain segitiga merah sebanyak 10 buah dan meminta papa menjahitkannya.  Papaku punya ketrampilan menjahit, seragam sekolah kami selalu di jahit papa. Maka pulang kuliah aku mampir membeli kain merah. Tiba di rumah sudah jam 21.00 lewat. Papaku sudah tidur. Aku menuliskan catatan di sepotong kertas dan beserta kain yang ku beli lalu kutinggalkan di mesin jahit.
 
Jam 5.30 saat ku bangun. Lagi-lagi ku dapati papa masih tidur. Tapi di mesin jahit. Kain segitiga merah sudah terjahit dan di lipat rapi beserta tulisan di kertas. "Tugas sudah dilaksanakan!" Penuh semangat aku mengikuti upacara 17 Agustus di Kampus. Itu upacara pertama dan satu-satunya upacar 17 Agustus yang aku ikuti selama di Perguruan Tinggi.
 
Mengenang papa, adalah mengenang sukacita dan kekecewaan. Sukacita karena beliau maha hebat bagiku. Sedangkakn kekecewaan, karena aku tak sempat membuatnya bahagia (menurutku).
 
Papa adalah hansip yang menjaga tidur malam kami.
Setiap satu jam sekali ia akan mengecek jendela kamar dari luar.
Papa juga menjadi penjaga parkiran
ketika malam minggu  remaja-remaja lelaki mulai mengunjungi kami.
Yang mengingatkan parkiran kalau sudah 2 jam.
 
Papa adalah komandan militer
yang memeriksa kerapihan dan kelengkapan keperluan kami
saat akan berangkat sekolah.
 
Papa adalah koki yang handal
terutama menu nasi goreng, tempe goreng dan sambel petis.
 
Papa adalah disigner,
yang mendisign dan menjahit seragam sekolah, baju main dan baju pergi.
 
Papa adalah sahabat terbaik
yang mau bercanda dan mengerti kami.
Tapi juga yang galaknya minta ampun,
kalau kami pulang terlambat atau pergi tak minta izin.
 
(Jadi mau nagis ah..)
Pokoknya Papaku adalah segalanya.
 
Di TMP Kalibata ia terbaring
Di nisannya terulis tempat karirnya terakhir
Kodam XIII Meredeka Menado.
Rasanya gak percaya
Karena aku gak pernah melihatnya dalam pakaian militer
kecuali di foto. Itupun foto yang mengiringi iring-iringan jenazah.
 
Foto sebagai simbolik ketika mama menyerahkan papa ke negara.
Foto itu yang diterima sang komandan upacara.
Papa berjuang untuk kemerdekaan negara
dan negara menerima serta mengantarnya ke peristirahatn terakhir.
 
kalau mama dan kami rela menyerahkan papa kembali ke negara di akhir hayatnya
karena itulah secuil kebangaan yang kami punya.
Baktinya akan terus diingat hingga ke anak cucu.
 
Buat semua yang masih memiliki papa.
Hormati, cintai dan kasihi papa masing-masing
sebesar cinta dan kasih sayang untuk mama.
 
(HO Bintaro, 26 Nov 2009)
 
 

4b.

Bls: [sekolah-kehidupan] (Catatan Kecil) Papa---Papanya Icha

Posted by: "teha sugiyo" sinarning_rat@yahoo.co.id   sinarning_rat

Wed Nov 25, 2009 9:20 pm (PST)



selamat. semoga karangan kembang yang tak kunjung layu, disertai secawan doa dalam keikhlasan, mengiringi kepulangan papa menghadap Sang Khalik dalam kebahagiaan abadi.

--- Pada Kam, 26/11/09, Elisa Koraag <elisa201165@yahoo.com> menulis:

Dari: Elisa Koraag <elisa201165@yahoo.com>
Judul: [sekolah-kehidupan] (Catatan Kecil) Papa---Papanya Icha
Kepada: novi_ningsih@yahoo.com
Cc: "Sekolah Kehidupan" <sekolah-kehidupan@yahoogroups.com>, "vanenbas" <vanenbas@bundagaul.multiply.com>, rumahkitabersama@yahoogroups.com
Tanggal: Kamis, 26 November, 2009, 9:39 AM

 

PAPANYA ICHA
(Icha Koraag)
 
Dear guys.
Tulisan Papa, memang tulisan lama yang aku dapatkan dari seorang kawan. Aku sebarkan lagi. Aku  teringat papaku yang sudah almarhum. Beliau tidak sempat melihatku wisuda. Saat wisuda aku hanya di dampingi mama dan kakakku. Beliau meninggal saat aku baru semester 3.
 
Aku orang yang sangat kehilangan, selain mama dan saudara-saudaraku yang lain. Aku gamang. Hari pertama hingga sebulan sepeninggal papa, aku masih merasa papa tugas keluar kota. Tapi ketiga 3 bulan lewat, baru terasa ada kekosongan di hati ini. Walau waktu itu aku sudah duduk diperguruan tinggi Papa yang selalu  setiap aku pulang kuliah mereview apa yang aku pelajari hari itu.
 
Kehilangan papa sempat membuatku marah pada Tuhan. Kenapa papaku? (Pertanyaan basi !) Ketika lulus SMA dan masuk perguruan tinggi, semua urusan administrasi aku di bantu papa. Bahkan seminggu pertama kuliah, aku diantar papa. Persoalannya sepele. Sejak SD hingga SMA, letak sekolahanku sangat dekat dari rumah, hanya di tempuh 15 menit dengan jalan kaki. Ketika kuliah, jaraknya harus kutempuh dengan berganti bis kota 3 x.
 
Papa yang setia mengantarkanku dan menjelaskan bis-bis mana yang harus kunaiki. Termasuk berprilaku seperti apa di terminal, didalam bis atau bersikap  bagaimana bila berhadapan dengan "orang iseng/jahat" . Aku sempat pulang kuliah menangis. Suatu hari saat pulang kuliah dan duduk di bis. Entah angin apa yang membuat hari itu aku ingin berpenampilan feminim. Jadi aku memakai blouse dan rok.
 
Karena aku mengambil jam kuliah sore, maka sekitar pukul 19.30 aku sudah diatas bis kota untuk pulang. Aku sudah berganti bis ke 3, Kira-kira jarak kerumahku tinggal 2 Km. Ketika penumpang sebelahku seorang ibu-ibu turun dan diganti seorang laki-laki. Penampilannya seperti karyawan. Memakai kemeja lengan panjang, digulung hingga ke batas siku dan membawa map. rasanya kurang dari 10 menit ketika aku merasa ada yang gak beres. Ya, laki-laki itu berusaha menyingkap rokku dengan tangannya. Aku tersentak kaget dan menepis tangannya.
 
Jujur aku benci dengan sikapku pada waktu itu. Aku gemeter, takut, marah, malu mau nangis. Aku minta bis dihentikan. Lalu aku mendorong laki-laki itu dan turun. Begitu kakiku nejejak ke tanah. Tangisku pecah. Saat itu umurku menjelang 18 tahun. Aku tidak berbuat apa-apa, hanya menangis dan menangis. Sampai seorang abang becak mendekatiku dan menawariku naik ke becaknya.
 
Saat itu aku merasa sangat tidak nyaman. Dan tidak tahu harus berbuat apa. Sempat mogok kuliah karena takur saat pulangnya. Akhirnya aku menceritakan hal itu pada papa. Papa menghiburku dan mengatakan tidak usah takut. Besok papa akan patroli di bis itu. Perkataan papa sangat menghiburku dan aku percaya papa akan melakukan patroli. padahal kalau aku ingat sekarang, siapa lah papaku. Mana mungkin papa patroli di bis- bis.
 
Papa mengajariku untuk memegang pensil atau bolpoint bila akan naik bis kota. Bila ada laki-laki iseng, tusukkan saja pinsil atau bolpoint itu ke tubuhnya. Anggap sebagai gerakan reflek melindungi diri. Ajaran yang sama yang ku dapat dari suamiku. Padahal masalahnya adalah apakah aku berani menggerakkan tangan dan menusukkan pinsil atau bolpoint itu?
 
Saat di tahun ajaran baru, Aku menjadi mahasiswa yang tengah mengikuti Penataran P4. Pedoman Pengahayatan dan pengamalan pancasila. Terbagi dalam kelompok Nusa, Bangsa dan Bahasa. (Era Soeharto). Tahun ajaran baru di mulai Agustus, dan tepat 17 Agustus, aku dan beberapa kawan terpilih untuk mengkoordinasi upacara. Aku ambil bagian dalam pengibaran bendera.
 
Ceritanya mau gaya-gayaan seperti Paskibra di istana merdeka. Pakai putih-putih dan kain segitiga merah di leher. Aku berniat menyediakan kain segitiga merah sebanyak 10 buah dan meminta papa menjahitkannya.  Papaku punya ketrampilan menjahit, seragam sekolah kami selalu di jahit papa. Maka pulang kuliah aku mampir membeli kain merah. Tiba di rumah sudah jam 21.00 lewat. Papaku sudah tidur. Aku menuliskan catatan di sepotong kertas dan beserta kain yang ku beli lalu kutinggalkan di mesin jahit.
 
Jam 5.30 saat ku bangun. Lagi-lagi ku dapati papa masih tidur. Tapi di mesin jahit. Kain segitiga merah sudah terjahit dan di lipat rapi beserta tulisan di kertas. "Tugas sudah dilaksanakan! " Penuh semangat aku mengikuti upacara 17 Agustus di Kampus. Itu upacara pertama dan satu-satunya upacar 17 Agustus yang aku ikuti selama di Perguruan Tinggi.
 
Mengenang papa, adalah mengenang sukacita dan kekecewaan. Sukacita karena beliau maha hebat bagiku. Sedangkakn kekecewaan, karena aku tak sempat membuatnya bahagia (menurutku).
 
Papa adalah hansip yang menjaga tidur malam kami.
Setiap satu jam sekali ia akan mengecek jendela kamar dari luar.
Papa juga menjadi penjaga parkiran
ketika malam minggu  remaja-remaja lelaki mulai mengunjungi kami.
Yang mengingatkan parkiran kalau sudah 2 jam.
 
Papa adalah komandan militer
yang memeriksa kerapihan dan kelengkapan keperluan kami
saat akan berangkat sekolah.
 
Papa adalah koki yang handal
terutama menu nasi goreng, tempe goreng dan sambel petis.
 
Papa adalah disigner,
yang mendisign dan menjahit seragam sekolah, baju main dan baju pergi.
 
Papa adalah sahabat terbaik
yang mau bercanda dan mengerti kami.
Tapi juga yang galaknya minta ampun,
kalau kami pulang terlambat atau pergi tak minta izin.
 
(Jadi mau nagis ah..)
Pokoknya Papaku adalah segalanya.
 
Di TMP Kalibata ia terbaring
Di nisannya terulis tempat karirnya terakhir
Kodam XIII Meredeka Menado.
Rasanya gak percaya
Karena aku gak pernah melihatnya dalam pakaian militer
kecuali di foto. Itupun foto yang mengiringi iring-iringan jenazah.
 
Foto sebagai simbolik ketika mama menyerahkan papa ke negara.
Foto itu yang diterima sang komandan upacara.
Papa berjuang untuk kemerdekaan negara
dan negara menerima serta mengantarnya ke peristirahatn terakhir.
 
kalau mama dan kami rela menyerahkan papa kembali ke negara di akhir hayatnya
karena itulah secuil kebangaan yang kami punya.
Baktinya akan terus diingat hingga ke anak cucu.
 
Buat semua yang masih memiliki papa.
Hormati, cintai dan kasihi papa masing-masing
sebesar cinta dan kasih sayang untuk mama.
 
(HO Bintaro, 26 Nov 2009)
 
 

Lebih Bersih, Lebih Baik, Lebih Cepat - Rasakan Yahoo! Mail baru yang Lebih Cepat hari ini! http://id.mail.yahoo.com
5.

Perjuangan Telah Berhasil (Pengumuman Kuis Ma Yan)

Posted by: "bentang Pustaka" pustakabentang@yahoo.com   pustakabentang

Wed Nov 25, 2009 7:17 pm (PST)




Perjuangan Telah Berakhir (Pengumuman Kuis Ma Yan)

Perjuangan telah berhasil dan citapun telah tercapai. Bentang Pustaka mengucapkan banyak terima kasih kepada semua teman Bentang yang telah setia menemani Ma Yan dalam memperjuangkan cita-citanya untuk tetap bersekolah. Dari sekian banyak peserta, hanya 3 review yang mencerminkan perjuangan Ma Yan.

Pemenang paket buku Bentang Pustaka
- Sinta Nisfuanna
- Dchuex Ajie
- Ray NevraLone

Para pemenang tidak dipungut biaya apa pun dalam kompetisi ini. Mohon masing-masing pemenang mengonfirmasi alamat pengiriman hadiah melalui bentangpustaka@yahoo.com

PT BENTANG PUSTAKA Jl. Pandega Padma No. 19 Yogyakarta 55284 Indonesia Phone 62-274-517373 Fax 62-274-541441 www.mizan.com www.klub-sastra-bentang.blogspot.com www.cpublishing.blogspot.com

6a.

Salam Kenal baru bergabung

Posted by: "Adi Prasetya" adidamar2002@yahoo.com   adidamar2002

Wed Nov 25, 2009 7:31 pm (PST)



Dear All,

Salam kenal kepada para member senior maupun junior yang ada di milis sekolah kehidupan, saya berharap agar kita semua mendapatkan manfaat untuk lebih/semakin paham, sadar, bijak dan smart dalam menyikapi kehidupan dan semoga kita dapat apa yang kita inginkan masing-masing.

salam
adp

New Email names for you!
Get the Email name you&#39;ve always wanted on the new @ymail and @rocketmail.
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/
6b.

Re: Salam Kenal baru bergabung

Posted by: "rahma dewi" rachma_dewod1981@yahoo.com   rachma_dewod1981

Wed Nov 25, 2009 8:21 pm (PST)



salam kenal juga pak adi. silahkan masih ada bangku kosong di pojok..

--- On Wed, 11/25/09, Adi Prasetya <adidamar2002@yahoo.com> wrote:

From: Adi Prasetya <adidamar2002@yahoo.com>
Subject: [sekolah-kehidupan] Salam Kenal baru bergabung
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Date: Wednesday, November 25, 2009, 7:58 PM

 

Dear All,

Salam kenal kepada para member senior maupun junior yang ada di milis sekolah kehidupan, saya berharap agar kita semua mendapatkan manfaat untuk lebih/semakin paham, sadar, bijak dan smart dalam menyikapi kehidupan dan semoga kita dapat apa yang kita inginkan masing-masing.

salam
adp

Get your preferred Email name!

Now you can @ymail.com and @rocketmail. com.

6c.

Re: Salam Kenal baru bergabung

Posted by: "salman al muhandis" abdul_azis80@yahoo.com   abdul_azis80

Wed Nov 25, 2009 11:25 pm (PST)



Salam kenal pak...

Kami juga anak baru

Salam hangat dari KELUARGA PEMBELAJAR
www.cahayarumah.multiply.com

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Adi Prasetya <adidamar2002@...> wrote:
>
> Dear All,
>
> Salam kenal kepada para member senior maupun junior yang ada di milis sekolah kehidupan, saya berharap agar kita semua mendapatkan manfaat untuk lebih/semakin paham, sadar, bijak dan smart dalam menyikapi kehidupan dan semoga kita dapat apa yang kita inginkan masing-masing.
>
> salam
> adp
>
>
>
>
> New Email names for you!
> Get the Email name you&#39;ve always wanted on the new @ymail and @rocketmail.
> Hurry before someone else does!
> http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/
>

7.

(sekolah-kehidupan) Lebaran Penuh Kejutan Sepanjang Perjalanan

Posted by: "eka natasha" ikkens_fikriansyah@yahoo.com   ikkens_fikriansyah

Wed Nov 25, 2009 7:31 pm (PST)



(sekolah-kehidupan) Lebaran Penuh Kejutan Sepanjang Perjalanan (Medan-Batu-Malang-Solo-Yogyakarta-Madiun-Jombang-Mojokerto)
Yihaaa…
Bismillahiromanirrohim,
akhirnya mudik juga lebaran tahun ini. Ini adalah kejutan yang kuperoleh dari
suamiku tercinta. Sebelumnya dia pernah bilang, karena Februari tahun ini kami
sudah pulang ke Malang karena acara pernikahan adikku dan jalan-jalan ke Bali
di bulan Agustus maka kami akan berlebaran di Medan saja yang telah kami tinggali
sejak 6,5 tahun yang lalu.
Mudik, yes !
Tiket untuk empat
orang telah didapat dan ada diskon 50% untuk mudik keluarga setahun sekali. Ya,
suamiku yang berprofesi sebagai ATC (air traffic controller) di Bandara Polonia, Medan mendapatkan
kemudahan. Memang urusan tiket meniket ini termasuk ribet. Administrasi yang berjenjang mulai dari pengajuan ijin ke
KaDin-nya, KaDiv, tembusan ke KaCab baru dikirim ke kantor pusat di Jakarta lalu menunggu balasan surat persetujuan. Surat inilah yang harus dibawa ke kantor perwakilan PT Lion Air dan lagi-lagi menunggu surat 'terbit
tiket' dari SMnya. Alhamdulillah lumayan-lah---kelihatannya suamiku walaupun
deg-degan, dia biasa-bisa saja. Dia selalu menekankan padaku bahwa kalau memang
ada rejeki dan Allah berkehendak maka insya Allah kami mudik.
Beberapa hari
menjelang mudik, suami memberitahu aku bahwa dia ditugaskan untuk 'familirization flight' di kokpit pesawat
Garuda. Ini berarti aku harus mudik belakangan bersama kedua anakku. Aku tidak
keberatan sama sekali karena sudah terbiasa menerima kejutan model begini.
Syukurnya, suamiku bertugas di flight
destination Medan-Surabaya jadi bisa sekalian mudik. Aw-aw-aw. Allah SWT
yang mengatur semua ini untuk keluarga kecilku yang selama ini 'terdampar'
tanpa keluarga dan saudara di Medan.
Bawaanku satu
koper besar, satu koper kecil dan dua tas ransel. Aku dan anak-anakku berangkat
dengan pesawat Lion Air menuju Surabaya,
disambung dengan perjalanan darat selama 3 jam untuk sampai di Batu-Malang.
Zidan dan Nasya sangat antusias dan tak lupa membawa bantal kecil mereka sendiri sebagai
'teman' perjalanan.
Kami sampai juga di
rumah orang tuaku di Batu. Daerah yang berada di kaki gunung yang berhawa
dingin dan berkabut di pagi hari. Sungguh indah Gunung Arjuno, Welirang, Semeru
dan Panderman yang mengelilingi kota asalku. Kami sempat ke pemandian Selecta yang sekarang sudah ada fasilitas mini water boom dan out bound-nya.
Seru !
Suamiku adalah
anak terakhir dari enam bersaudara yang kesemuanya adalah lelaki. Mertuaku
berasal dari Banjarmasin telah memutuskan bahwa
tahun ini kami berlebaran di Malang,
di rumah yang telah didiami selama belasan tahun. Sedangkan rumah kayu Ulin
yang di Banjarmasin ditinggali oleh salah anak mereka. Alhamdulillah semua saudara kandung suamiku
memutuskan untuk berlebaran di Malang.
Musim lebaran, rumah mertua yang besar itu bisa memuat semua anggota keluarga
lengkap yang berjumlah 30 orang orang tua, anak, menantu dan cucu. Beberapa
hari sebelum keberangkatan, biasanya kami semua saling 'memesan' kamar. Kamar
depan, kamar dekat dapur, kamar belakang, kamar bawah dst. Favoritku adalah
yang dekat dapur karena dekat juga dengan meja makan dan kamar mandi. Sip kan? Keseruan dimulai
pagi hari saat mengantri mandi, di kamar mandi atas, bawah dan belakang,
tinggal pilih. Belum selesai yang satu mandi, sudah ada yang menunggu, belum
lagi anak-anak yang ingin buru-buru buang air. Menyiapkan makanan untuk banyak
orang dengan berbagai selera adalah tantangan selanjutnya. Ada tiga menantu berasal dari Malang, satu blasteran
Jawa-Banjarmasin, satu dari Brebes dan satu lagi dari Palu, Sulawesi.
Biasanya kami menyerah dengan menerima apa yang tersaji di meja karena ini juga
kesempatan terbaik untuk menikmati hidangan daerah Banjarmasin,
yang nyaman banar dan jajan kuliner Malang sing uenakk, Rek.
Aku sudah cukup
lihai membuat soto Banjar tapi rasanya saat makan bersama puluhan orang menjadi
lebih enak. Makanan teraneh yang pernah kulihat adalah yang Mandai, terbuat
dari kulit pelepah buah nangka yang terlebih dulu diasinkan, digoreng dan
dimakan sebagai lauk ! Kedua, telur penyu rebus yang walaupun 'katanya' enak
aku tidak sanggup untuk memakannya. Makanan khas Banjarmasin lainnya yaitu ikan pakasam dan
ikan Seluang goreng. Keluarga mertua di jaman dahulu sering pindah-pindah untuk
mengikuti tugas Abah mertua, sehingga masakan Riau, ayam goreng ala Purwakarta
dan Kaledo (sup tulang sumsum khas daerah Sulawesi) juga menjadi menu andalan.
Ibu mertua pasti memasak sampai sepanci besar dan anak-anaknya yang juga
berpostur besar-besar itu akan memakan daging yang menempel di tulang dan
menyedot sumsum sapi, SLURP… seakan-akan rasanya sangat nikmat. Aku cuma berani
makan kuahnya saja, itupun agak eneg karena sangat kental kaldunya.
Saat lebaran
Lebaran di rumah
mertua sangat ramai. Sepulang sholat Id di lapangan rektorat Universitas
Brawijaya yang terletak di belakang rumah persis, semua pulang dan menantikan
acara yang bakal mengharukan sekaligus menyenangkan. Ada Om, adik bungsu Abah
mertua yang juga berdomisili di Malang datang bersama istri dan ketujuh anak mereka. Plus satu keponakan Abah.

Pertama, Abah dan
Ibu mertua duduk di permadani khusus yang hanya 'dikeluarkan' saat hari
istimewa itu. Lalu memberikan wejangan dan ceramah singkat dan dilanjutkan
dengan sungkeman. Sedu sedan tangis akan tumpah disini. Tidak lengkap bila
tanpa ada tangis. Anak-anak banyak yang menangis bingung melihat orang tua dan
Kai-Nini (kakek-nenek) mereka menangis.
Acara selanjutnya
adalah ang paling ditunggu-tunggu. Pembagian THR dari semua orang dewasa untuk
anak-anak.
"Ayo, yang bagi angpau difoto,"
ujarku.
"Ambil dompet…." Sahut Kak Wawan.
Iparku yang satu ini selalu memberi angpau dalam besaran yang paling besar.
Pastinya tidak hanya keponakannya yang ikut tapi termasuk suami dan ipar-iparku
yang lain ikut mengantri, ha ha ha. Semua mengantri sambil duduk berbaris
mengular. Bayipun ikut mengantri !
"Laris-manis-laris," kata Kak Wawan
sambil mengipas-ngipaskan uang Rp. 100.000,00-an itu di hadapan kami. Disusul
dengan Kak Yuyus, kakak sulung suamiku yang membagikan Rp. 20.000,00-an dan
terakhir, aku membagikan masing-masing 6 lembar uang Rp. 2000,00-an. Yah,
walaupun tidak seberapa tetap riuh rendah berebutan uang baru. Alhamdulillah.
"…baris-baris, siapa mau ayo…"
teriak Kak Wawan lagi.
"Om,
bagi-bagi angpau lagi-kah? Ulun handak lagi Om-ai (aku mau lagi)," kata Nisa,
keponakanku.
"Ayuha, ikam baris (ayo, kamu
baris)," kata Kak Wawan.
"Tapi barisnya duduk berjejer
semua-an, kaki di hadapan," lanjutnya. Ada-ada saja Kak Wawan ini. Keponakanku
yang sudah SMP dan SMA tersenyum geli, mereka telah mengalami trik tipuan itu
dulu. Semua keponakan yang masih SD dan TK mengikuti 'perintah' Om Wawan-nya. Lalu setelah terkumpul 6 orang, barulah Kak
Wawan bernyanyi, "Ampar-ampar pisang, pisangku balum masak…" sambil memegang
kaki-kaki kecil mereka berurutan. Wah-wah, itu sih main 'ampar-ampar pisang'.
Barisan segera bubar dan digantikan oleh suara tawa 'kena tipu' yang lama
sekali terdengar hingga Kai dan Nini keluar dari kamar. Terbit rasa iba mereka
sehingga mengadakan bagi-bagi angpau (lagi) susulan.
Pagi itu aku
melihat suamiku berbicara serius dengan Kak Dedet dan mertuaku. Aku menebak,
mungkin suamiku akan mengajakku untuk 'dolan' ke Madiun. Tebakanku benar, suami
mengajak ke Madiun. Aku mempersiapkan barang-barang bawaan termasuk pakaian
anak-anak, susu dan snack untuk di perjalanan. Rencananya kami membawa mobil Kak
Dedet untuk berangkat lebih dulu ke Madiun dan Kak Dedet pulang dengan mobil
Kai. Sekembalinya dari Madiun kami yang memakai mobil mertuaku itu.
"Ka, jar ikam
handak bejalanan ke Yogya, bujur-kah?" Kak Upi menanyakan apakah betul kami
akan berjalan-jalan ke Yogyakarta. Jujur aku
menjawab setahuku kami hanya akan ke Madiun saja.
"Kadak, jar Upik handak ke
Yogya-an. Ikam balum tahu-kah (kata Upik-nama suamiku--kamu mau jalan-jalan ke
Yogya?)?" lanjutnya.
Aku
jadi deg-deg-an. Pasti suamiku sedang mempersiapkan kejutannya. Aku pura-pura
tidak tahu saja tapi aku menambahkan beberapa helai pakaian untuk dimasukkan
dalam travel bag, peta Jawa yang kupinjam dari Papaku dan buku-buku traveling
ke Yogya yang kudapatkan dari kontes di MP Mbak Shanty. Uhui… berarti kejutan
lagi nih. Suamiku memang rajanya kejutan. Aku suka itu !
Perjalanan ke 'Madiun'
Alhamdulillah
anak-anakku juga suka acara jalan-jalan begini. Tak pernah rewel dan menyusahkan.
Mereka bisa mencari kesibukan sendiri selama di mobil. Zidan kulihat
mempersiapkan sendiri sebuah 'sarang' untuk tidur siang di belakang. Mengalasi
travel bag dan beberapa kardus minuman sari apel oleh-oleh dengan dua lembar
sajadah, dua lipatan sarung dan mengganjal 'lubang' dengan bantal-bantal kecil
yang tersimpan di mobil, lalu tidur di atasnya. Nasya masih asyik
bernyanyi-nyanyi kecil sambil sesekal bertanya pada kami.
"Kita mau kemana, Bah?" tanyanya
pada suamiku.
"Jalan-jalan," jawabnya.
"Kemana?" Tanya Nasya lagi.
" Ke rumah Om Dedet," jawab
suamiku.
"Kita sudah mau sampai, Bah?"
berulang kali bertanya dan akhirnya dia tertidur.
Melewati jalan
yang sudah dekat dengan rumah Kak Dedet, suamiku terus memacu mobilnya dan
tidak berbelok ke rumah Kak Dedet. Dia melirikku---menunggu aku 'berbicara'.
"Anu Mas, aku udah tahu. Kita mau
ke Yogya 'kan?"
ucapku padanya.
"Iya…heheh," katanya.
"Tadi aku tahu dari Kak Upi,"
jelasku padanya.
"Makasih kejutannya ya Mas.
Alhamdulillah kita bisa jalan-jalan," sambungku.
"Iya, Mas sayang Adek,ya…" katanya
padaku uhui…Memang kata-kata itu sangat jarang diucapkannya. Kejutan demi
kejutan di sepanjang pernikahan kami adalah siratan sayangnya padaku.
Hari sudah gelap
saat kami menuju Yogyakarta. Kami memutuskan
menginap di hotel di kota Solo, setelah usulanku untuk istirahat di mobil di depan masjid seperti pemudik
lainnya ditolaknya. Masya Allah, ternyata mencari hotel tidak semudah yang
kubayangkan. Waktu itu pukul 21.00 dan kami telah menyinggahi 4 hotel kelas 2
dan 3 yang kesemuanya penuh. Alternatif lain yaitu hotel kelas 1 dan atau
penginapan. Informasi yang kami peroleh dari beberapa teman menyebutkan banyak
penginapan di sekitar stasiun Solo Balapan dan terminal---hanya saja kami harus
benar-benar jeli karena banyak hotel 'short
time'-tahu maksudku 'kan? Mobil parkir di tepi jalan. Kami pergi ke arah
yang berlawanan. Suami membawa Nasya dan aku bersama Zidan mencari keluar masuk
penginapan kami mendapat 'penolakan' secara halus. Mungkin melihat aku yang
berjilbab dan membawa anak pula. Benar saja !
"Disini bukan hotel keluarga,
mbak,"
"Disini nggak pakai AC dan nggak
ada kipas anginnya, lho,"
"Bawa anak ya Mbak?"
Aku memutuskan untuk kembali ke
mobil. Suamikupun geleng-geleng kepala, dia tidak 'dapat' juga. Sepuluh menit
berlalu percuma dan aku mendapat 'feeling'
bahwa kami sebaiknya kembali ke salah satu hotel bagus 'Grand Setiakawan' yang
ada di jalan raya Solo-Yogyakarta yang
tadi fully booked. Alhamdulillah,
kami mendapatkan kamar. Sabar adalah kata kunci—tentu saja kami tidak keberatan
saat harus menunggu agak lama sampai tamu tersebut check out dan kamar dibersihkan. Fiuh…
Anak-anak sangat
senang dan masih saja bersemangat padahal saat itu sudah pukul 21.30. Malah
Zidan masih menantang kami untuk keliling Solo mencari 'makanan khas Solo'.
Memang di sepanjang jalan menuju hotel aku melihat banyak warung tenda yang
menjual susu segar dsb tapi aku tidak meluluskan permintaan Zidan karena
pagi-pagi harus melanjutkan perjalanan. "Yaaa … Abah gitu," ujarnya kecewa. Suamiku
pamit, katanya ke resepsionis untuk memberitahukan agar sarapan pagi kami
diantar ke kamar pukul 05.30 esok hari. Zidan dan Nasya belum mau tidur dan
melanjutkan acara mereka, lompat-lompatan di kasur, senang sekali.
Alhamdulillah, mereka tetap sehat dan bersemangat. Suamiku balik ke kamar
membawa bungkusan yang ternyata adalah nasi kucing ala Solo. Aw-aw-aw, kejutan
lagi ! Kami menikmatinya dengan dada mengembang dengan rasa syukur berebutan tempe bacem. Porsi nasi
kucing sangat sedikit dan sebenarnya sejujurnya aku rasa-rasanya baru akan
kenyang di bungkus yang ketiga atau keempat. Hahaha.
Pagi hari
anak-anak mandi dan berniat main air lama-lama di kamar mandi hotel. Membujuk
mereka untuk cepat-cepat agak susah karena mereka suka main air. Melepaskan
tawa di antara kecipak-kecipuk air. Ya, aku sendiri juga agak kecewa, tidak
sempat mandi berendam di bath tub.
Kejutan selanjutnya
Teman kuliahku, Michelia tiba-tiba
nongol di depan pintu. Semalam kami sms-an. Senangnya ketemu teman lama,
menemukan kembali kepingan kenangan di file lama. Dia mengajar di salah satu
SMU di Solo. Aku agak pangling melihatnya lebih kurus dari saat kuliah dulu.
Dan dia lebih heboh melongo melihatku yang tetap kurus-langsing dengan dua
anak. Hehe… Saying goodbye is never an
easy thing. Rasanya waktu setengah jam itu terlalu sebentar untuk sekedar
mengobrol tentang 'siaran langsung' kabar dan kegiatan kami selama ini. Tapi
kami harus berpisah. Di mobil, baru 200 m dari hotel, suamiku melontarkan satu
ide, yaitu mengajak serta Michel temanku---…"sebagai penunjuk jalan juga, Dek,"
katanya. Oh yeah… It's a deal. Kutelepon Michel dan dia mau ikut jalan-jalan
bersamaku. Alhamdulillah.
Wisata sejarah
Tujuan pertama
adalah Candi Borobudur di Magelang. Kami sengaja pagi-pagi kesana karena
menurut buku traveling Yogya yang kupunya, siang hari akan sangat panas dan
kasihan anak-anak. Sampai disana Subhanallah, ramainya eui… Tiket masuk di peak season jadi 'mahal', Rp. 22.500,00
per orang. Kami semua berjalan menuju 'kereta kelinci' Rp. 5.000,00 per
orang---daripada berjalan jauh juga sih. Kasihan suamiku mungkin capek menyetir
mobil dan masih harus siap sedia menggendong Nasya. Michel beberapa kali
bertindak sebagai fotografer. Zidan menginginkan wisata ini, dia bertanya ini
dan itu. Nasya asyik berjalan sambil menyentuhkan tangannya di badan candi dan
berhenti jika dia melihat relief yang baginya menarik, "Ini batu semua, Ma?
Bagus ya, Ma, yang gambar gajah kita bawa pulang, yuk," katanya.
Candi
Mendut pun ramai, kami sempat berfoto di depannya. Lalu segera meluncur ke
Candi Prambanan di Klaten. Guess what,
it's been a quite very happy traveling. Tak sekalipun anak-anakku
rewel dan menangis. Mereka sangat menikmati perjalanan dan makanan kecil dan
susu UHT yang kubawa Alhamdulillah bisa menyumbangkan cukup energi. Dan
ternyata sari apel yang kubawa dari Malang segar sekali diminum saat panas terik di perjalanan.
Siang
itu setelah makan siang di Gudeg Yu Joem yang memang enak sekali, lokasinya
dekat UGM, Gudegnya kering dan murah ! Kami mengelilingi kota Yogya dan perjalanan dilanjutkan ke
jalan Malioboro. Turun dari mobil enak dan ber-AC dingin, kami langsung
disambut dengan terik matahari dan udara kering Yogyakarta.
Suami dan anak-anakku terlihat kepanasan dan hampir bad mood. Keringat berlimpah Abahnya anak-anak makin membanjir di
kening dan membasahi kausnya. Ini pertanda aku tidak boleh lama-lama. Kami
masuk ke toko Mirota. Baru saja masuk, Zidan sudah minta keluar karena dia
memang tidak menyukai segala bau-bauan, apalagi bau dupa kemenyan yang memenuhi
ruangan itu. Ho ho ho.
Emperan Malioboro
penuh sesak dengan manusia. Segitu banyak orang dan semuanya berbelanja ! Aneka
kerajinan tangan semuanya murah. Aku membelikan Zidan, Nasya dan Abah mereka
kaus gambar becak dan vespa bercorak batik, total hanya Rp. 50.000,00. Sebuah
tas laptop seharga Rp. 15.000,00 saja, untukku. Belum cukup puas sih melihat-lihat keunikan Yogya tapi…We'll be back some day….Amin.
Berjam-jam
kemudian Madiun menyongsong di depan mata dan kami sempat menginap sehari
disana. Di perjalanan, adikku yang di Jombang menelpon dan mengundangku untuk
menginap. Berkoordinasi dengan orang tuaku yang akhirnya mereka memilih
menunggu pertemuan kami di POM bensin di daerah Kandangan. Suamiku harus langsung
kembali ke Malang karena mobil akan dipakai mertuaku. Yes ! Aku dan anak-anak bertravelling ke Jombang dengan Mbah dan
Titi mereka. Mobil gagah 'Cevrolet Trooper' Papaku itu ACnya sedang mati. Zidan
dan Nasya tidak sempat protes karena sebelum mereka mulai berkomentar, Papaku
telah terlebih dahulu menyanjung mobilnya yang keren, nyaman, mulus dan tinggi
besar itu---he he. Sampai di Jombang dan beristirahat beberapa waktu, kami
semua ke Water Park Mojokerto sore itu … segarnya.
Alhamdulillah,
seluruh perjalanan hidupku penuh kejutan. Mulai dari takdir menikah dengan
suami yang baru beberapa kali kutemui, seringlong distance love, tidak
jadi ke Papua malah suami mendadak ditugaskan ke Medan, perjalanan kejutan dari
suami ke Jakarta, Bandung, Banjarmasin, Bali, Kalimantan Tengah, Batam dan
Nangroe Aceh Darussalam dan kota-kota lainnya.
Aku sangat percaya
bahwa kata-kata yang baik adalah do'a dan keyakinan terhadap kehendak Allah-lah
yang selalu membuatku optimis. Aku berharap di antaranya semoga keluargaku selalu
sehat, suamiku sayang lancar dalam tugasnya, murah rejeki, anak-anakku menjadi
anak yang sholeh dan sebelum anak-anakku dewasa kami telah keliling Indonesia
mengagumi semua keindahanNya, ber-umrah bersama dan aku berkesempatan
menuliskan dan mendokumentasikan semua perjalanan kami tersebut. Perkenankanlah
do'a dan keinginanku Ya Allah. Amin.
********

Maaf, foto-foto traveling lebaran
menyusul, belum berhasil meng-up load.

Assalamu'alaikum warrohmatullohi
wabarrokatuh
Saya IRT sejati dan suka menulis, permisi pengen juga
ikutan lomba ini…
Nama : Eka Natassa Sumantri
Alamat : Jl. Karya Kasih Komp. Bukit Johor Mas Blok
C – 14
Medan Johor – Medan SumUt 20413
E mail : ikkens_fikriansyah@yahoo.com
HP :
085830094006

Wassalam,
Eka NS/ Ikkens.multiply.com

8.

Trs: TEKS KHUTBAH IEDUL ADHA 1430 H

Posted by: "arya noor amarsyah arya" arnabgaizir@yahoo.co.id   arnabgaizir

Wed Nov 25, 2009 10:49 pm (PST)





arnabgaizir.blogspot.com
arnab20.multiply.com

--- Pada Kam, 26/11/09, bobby herwibowo <bobby_hero77@yahoo.com> menulis:

Dari: bobby herwibowo <bobby_hero77@yahoo.com>
Judul: TEKS KHUTBAH IEDUL ADHA 1430 H
Kepada: "habib kuwais" <habib_kuwais@yahoo.com>
Cc: "yusuf kuwais" <myshandy77@yahoo.com>, "arya noor amarsyah arya" <arnabgaizir@yahoo.co.id>
Tanggal: Kamis, 26 November, 2009, 11:07 AM

KHUTBAH PERTAMA

Allahu Akbar 3x Allahu Akbar wa Lillahil Hamd....

Ma'asyiral muslimin  yang dirahmati Allah Swt,
Hari ini setiap mukmin bertakbir. Mereka menyebut & mengagungkan asma Allah Swt. Takbir yang menggema ke seantero penjuru alam. Dengan kekhusyukan dan kerendahan hati mereka membesarkan nama Allah Yang Mulia.

Allahu Akbar 3x Allahu Akbar wa lillahil hamd...

Hari ini kita sama memperingati hari kemenangan. Kemenangan manusia atas nafsu diri pribadi. Kemenangan atas tipu daya setan dan dunia yang melenakan. Kemenangan manusia saat  ia kembali menemukan cinta sejati kepada Allah Sang Maha Pencipta.
Kemenangan itulah yang menyebabkan manusia di Iedul Adha memanjangkan takbir mereka bukan hanya pada hari raya Iedul Adha, namun hingga 3 hari setelahnya yang disebut dengan hari tasyriq. Padahal usai
berpuasa Ramadhan selama 1 bulan saja, manusia di hari Iedul Fitri hanya bertakbir selama sehari semalam.
Inilah makna Iedul Adha & Iedul Qurban yang diajarkan oleh Rasulullah Saw sebagai tanda bahwa manusia mendapatkan kemenangan kembali usai menjalankan pertempuran hebat melawan nafsu diri, tipu daya setan dan dunia yang melenakan.

Allahu Akbar 3x Allahu Akbar wa lillahil hamd...

Ribuan tahun yang lalu seorang manusia pilihan bernama Ibrahim memiliki cinta yang luar biasa kepada Rabbnya. Ia rela terusir dari keluarganya. Dikucilkan di masyarakatnya. Terusir dari kampung halamannya. Bahkan disiksa, dianiaya dan dimasukkan  ke dalam api yang menyala.
Itu semua dilakukan oleh Ibrahim hanya demi mencari keridhaan dan kecintaan kepada Allah Swt Tuhan alam semesta.
Kecintaan itu ia pupuk  dan bina hingga ia beristri dan beranak. Ibrahim menikah dengan Sarah yang memberi keturunan Ishak baginya. Lalu ia pun menikah
dengan Hajar yang memberikannya keturunan bernama Ismail.
Saat itu sebagai seorang manusia naluri pun menyuruhnya untuk mencintai istri dan anak keturunannya.Namun bagaimana cinta Ibrahim kepada Tuhannya?
Meski sudah beranak-istri,Ibrahim masih menuruti perintah Tuhannya untuk membawa Hajar dan Ismail ke sebuah tempat yang jauh dari rumahnya. Tempat yang amat gersang, penuh dengan pasir dan bebatuan dan tidak ada sedikit pun tetumbuhan. Dengan menggunakan tunggangan Ibrahim membawa keluarganya ke tempat yang kemudian bernama Mekkah itu tanpa sedikitpun bertanya 'mengapa' kepada Tuhannya.
Inilah salah satu bukti ketundukan dan kepatuhan Ibrahim kepada Tuhannya.

Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia tidaklah termasuk orang musyrik. (QS. Ali Imran [3] : 95)

Sesampainya di tempat yang tiada tumbuhannya itu, Ibrahim lagi-lagi diperintahkan oleh Allah Swt untuk meninggalkan anak istrinya. Sebuah perintah yang menjadi ujian
yang amat berat bagi seorang kepala keluarga. Ayah mana yang sanggup melakukan hal itu?! Bapak mana yang tega melakukannya?!
Namun karena ketundukan dan kepatuhan kepada Allah Swt membuat Ibrahim mampu melakukan itu.
Meski hati sedih & perasaan hancur karena harus berpisah dengan orang-orang terkasih, Ibrahim masih menuruti perintah Tuhannya.
Maka dengan berat hati ia pun berdoa kepada Tuhannya dengan doa indah yang diabadikan dalam Al Quran:

Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (QS. Ibrahim [14] : 37)

Namun tidak ada ketaatan kepada Allah Swt yang membawa hasil sia-sia. Tidak ada kerugian yang diderita bagi
hamba Allah yang ikhlas. Siapa yang bertawakkal dan berserah diri kepada Allah Swt maka pasti semua urusannya akan tercukupi.

Maka sepeninggal Ibrahim, tanah gersang bernama Mekkah menjadi makmur. Hajar & Ismail pun hidup dalam kecukupan karena pertolongan Allah Swt.

Allahu Akbar 3x Allahu Akbar wa lillahil hamd...

Hingga akhirnya saat Ibrahim sedang rindu kepada istri dan anaknya yang berada di Mekkah, datanglah ia kesana untuk melihat Ismail putranya yang kini beranjak remaja. Betapa bangga, betapa cinta Ibrahim kepada putranya yang bernama Ismail.
Baru beberapa hari Ibrahim berada di sana, maka setiap malam ia mendapatkan wahyu dari Allah Swt berupa mimpi bahwa ia diperintahkan untuk menyembelih anak kesayangannya tersebut.
Sekali lagi ini adalah ujian keimanan yang amat berat bagi seorang ayah bernama Ibrahim.
Namun dengan keteguhan hati dan ingin membuktikan kecintaan kepada Allah  melebihi kecintaan atas
apapun, maka Ibrahim pun mengambil keputusan untuk melakukan penyembelihan atas nama kecintaan kepada Allah Swt. Tidak hanya Ibrahim yang menunjukkan kecintaan kepada Allah Swt ini, namun Ismail putranya dan Hajar istrinya dengan hati besar dan tunduk patuh rela menerima perintah itu.!

Allahu Akbar 3x Allahu Akbar wa Lillahil Hamd...

Itulah gambaran kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya. Ia rela mempertaruhkan apapun yang ia miliki bahkan anak yang ia cintai. Maka kejadian inipun di kemudian hari dikenang oleh manusia sepanjang zaman sebagai pengorbanan cinta yang paling tinggi antara seorang hamba dengan Tuhannya.

Itulah cinta seorang hamba yang amat dikagumi  oleh sang pencipta, cinta yang melebihi segala-gala bentuk kecintaan yang berbentuk materi keduniawian.

Katakanlah, "Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu
khawatirkan kerugiannya, dan rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (QS.At Taubah [9]:24)

Barakallahu li wa lakum fil qur'anil kariim. Wa nafa'ani  wa iyyakum bima fiihi minal ayaati wa dzikril hakim....

KHUTBAH KEDUA

Allahu Akbar 3x Allahu Akbar wa Lillahil Hamd...,

Iedul Adha dan Qurban adalah sebuah ritual kaum beriman yang dilakukan manusia selama ribuan tahun. Di dalamnya terkenang berbagai macam ritual semisal tawaf, sa'i, jumrah, wukuf di Arafah , mabit di Muzddalifah & Mina serta menyembelih qurban. Dan semua ritual tersebut hanyalah demi mengenang seorang sosok manusia yang Allah Swt kagumi bernama Ibrahim As. Dialah manusia yang selalu memberi terbaik untuk Rabbnya. Dia memberikan segenap dirinya, jiwanya, hartanya, bahkan
keturunannya untuk Allah Swt.
Maka Iedul Adha & Qurban ini mengajak manusia untuk kembali menjadi hamba Allah Swt sebenarnya mengikuti jejak Ibrahim As, Khalilullah Sang Kekasih Allah.

Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia tidaklah termasuk orang musyrik. (QS. Ali Imran [3] : 95)

Tahun 1994, seorang pria bernama Kasim asal Malang Jawa Timur saat itu  tengah berdiri di hadapan Multazam, pintu Ka'bah. Inilah saat terakhir dimana ia berada di rumah Allah dalam ritual yang bernama Tawaf Wada (Tawaf perpisahan).
Kasim menengadahkan tangan bermunajat dan menyampaikan segala hajatnya kepada Allah Swt. Belasan menit lamanya ia berdoa dan meminta kepada Tuhannya. Pada waktu yang sama jutaan manusia di rumah Allah Swt tersebut juga melakukan hal yang sama, yaitu meminta kepada Allah Swt.
Namun doa yang ia rapalkan berhenti sejenak. Maksud hati Kasim masih ingin berdoa dan meminta kepada Tuhannya. Tangan masih berada di
atas kepala namun kepalanya menunduk memikirkan, "Apalagi yang harus saya minta kepada Allah?"
Namun hatinya berbisik, "Masak bisanya minta terus kepada Allah, kapan kamu berniat untuk memberi kepadanya?!"
Menyadari bisikan itu, maka ia tengadahkan lagi wajahnya ke langit dan ia sampaikan sebuah kalimat  doa yang begitu dahsyat kepada Tuhannya. Dengan kesungguhan Kasim berkata kepada Tuhannya di hadapan Kabah,
"Ya Allah..., telah banyak karunia yang Engkau berikan kepadaku selama ini. Engkau telah cukupkan segala kebutuhanku. Engkau curahkan begitu banyak rahmat kepadaku. Namun selama ini aku akui bahwa aku hanya bisa meminta dan berharap kepada-Mu.... Karenanya ya Allah.... di saat ini, di hadapan rumah-Mu, aku berjanji akan memberikan 1000 hari terbaikku kepada-Mu. Dan selama itu aku tidak akan meminta pamrih dari seorang manusiapun kecuali kepada-Mu."

Itulah nazar yang diucapkan Kasim kepada Tuhannya. Ia ingin
memberikan hal terbaik yang ia mampu untuk Tuhannya. Sebuah bukti pengorbanan dan cinta kasih yang amat suci dan tinggi.

Allahu Akbar 3x Allahu Akbar wa Lillahil Hamd...

Tidak seorangpun yang bertaqarrub kepada Allah Swt akan mendapatkan hasil sia-sia. Sebab Allah Swt berfirman dalam hadits qudsi:

"Jika seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku satu jengkal, maka Aku akan menghampirinya satu hasta... Jika ia datang berjalan menghampiri-Ku, maka Aku akan datang menghampirinya sambil berlari." HR. Bukhari & Muslim

Usai berdoa terakhir di hadapan Ka' bah maka Kasim pun pergi meninggalkan Mekkah untuk pulang kembali ke rumah.
Beberapa belas jam setelah itu ia kini tiba kembali di rumah. Kedatangannya disambut keluarga, tetangga, sahabat dan famili. Dalam kesempatan hari pertama dari 1000 hari yang ingin ia persembahkan unntuk Allah Swt, maka datanglah seorang tetangganya yang terserang penyakit stroke.
Tetangga itu
datang berjalan dengan dipapah. Langkahnya terseret sebab separuh badannya telah mati sebelah.
Tetangga tersebut duduk dihadapan Kasim dengan kaki kanan tidak bisa terlipat. Ia berkata kepada Kasim agar ia didoakan untuk kembali sembuh seperti sediakala.
Kasim bukan guru, ustadz apalagi kyai. Namun karena ia dimintakan untuk berdoa maka ia pun berdoa untuk tetangganya yang sakit tadi. Tak lupa ia meminta segelas air zamzam sebagai wasilah doa. Usai berdoa, maka air zamzam pun disorongkan kepada si tetangga.
Usai minum air zamzam, Kasim meminta kepada anak-anak tetangganya tersebut agar melipat celana bagian kaki kanan ayah mereka.
Begitu celana tersebut tersingkap, Subhanallah... Kasim terkejut dengan kemampuan penglihatan yang ia miliki!
Setiap urat syaraf dan aliran darah pada kaki tetangga tadi dapat terlihat dengan jelas oleh mata Kasim tanpa bantuan alat apapun. Masih dalam kekaguman tersebut, tiba-tiba entah apa yang menggerakkan
jari telunjuk kanan Kasim untuk menyentuh bagian syaraf dan aliran darah yang bermasalah. Ya, hanya dengan sentuhan bukan pijit!

Hanya dalam tempo beberapa menit, sang tetangga usai ditangani Kasim langsung berujar, "Terima kasih haji Kasim, rasanya kok lebih enak dari sebelumnya!"

Atas izin Allah Swt maka setelah beberapa kali ditangani Kasim tetangga tersebut berhasil sembuh. Tidak hanya tetangga itu, dalam tempo 1000 hari yang Kasim nazarkan untuk Allah Swt, maka telah ribuan manusia yang datang ke rumahnya untuk berobat termasuk 2 orang presiden RI.!

Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar!

Itulah cerminan dan refleksi dari hasil memberi yang terbaik untuk Allah Swt. Maka di hari ini kita berkumpul untuk melakukan shalat Iedul Adha. Kita menyembelih hewan qurban. Kita bertakbir hingga hari Tasyriq terakhir. Semua itu kita lakukan hanya ingin membuktikan kepada Allah Swt bahwa kita ingin
melakukan yang terbaik untuk-Nya dan meraih keridhaan-Nya.

DOA

Lebih Bersih, Lebih Baik, Lebih Cepat - Rasakan Yahoo! Mail baru yang Lebih Cepat hari ini! http://id.mail.yahoo.com
9.

[Catcil] Apakah kamu Lelaki seperti ini?

Posted by: "Seorang Sahabat" abdul_azis80@yahoo.com   abdul_azis80

Wed Nov 25, 2009 11:34 pm (PST)



seorangayah.wp.com, Selasa, 19 Mei 2009, Ehm…cuaca agak mendung, "mending naik bus ah… ke kantornya" ucap bathinku…

Walaupun cuaca agak mendung, tapi tidak membuat hati ini mendung
juga, karena bidadari kecilku yang cantik –QORI– begitu cerah dipagi
hari ini, aktifitas paginya, menyapa tetangga, pepohonan dan burung
pipit tetangga yang sedang berkicau ia lakukan dengan menunjuk-nunjuk
ke kandang burungnya tentunya dengan bahasa yang hanya di pahami dia
dan tuhan saja. Ehm…bidadari kecilku…Senyummu itu loh…

Akhirnya, setelah menunggu hampir 1 (satu) jam menunggu, bus yang
dinanti datang juga, Yup, patas PPD 45 jurusan Tangerang-Blok M, sebuah
patas yang boleh dibilang lebih tua daripada aku dan begitulah bus yang
sudah "lanjut usia" tapi gak tau pakai dukun apa, teuteup aja
peminatnya banyak…gak percaya, coba aja klo mau ke blok M dari
Tangerang naik Patas PPD 45 atau dari Jakarta (Blok M-Slipi) mau ke
Tangerang naik Patas PPD 45 pasti akan 'bertarung' untuk mendapatkan
kursi, bisa-bisa. sikut sana, sikut sini…nah loh kok jadi mbahas Patas
PPD 45…
, Nah, karena banyak Fans-nya, peluang untuk duduk sangat kecil jika
menunggu di daerah Kavling Pemda Tangerang, dan akhirnya akupun berdiri…

Perlahan tapi pasti Patas PPD 45 bergerak menuju pintu tol, satu
persatu (dan sepertinya terpaksa) para penumpang masuk ke bus tersebut
guna segera sampai ke tempat kerja/kantornya. Sementara waktu
menunjukkan pukul 07.30 pagi… "Ehm…waktu ideal untuk macet gumamku"

Penumpang tidak terlalu penuh, namun yang berdiri sekitar belasan
orang termasuk ibu-ibu yang kebetulan berdiri disampingku, sepertinya
beliau bekerja di Kejaksaan di Blok M, dari bajunya yang coklat
tersebut aku kenali, maklum, selama 3 tahun pernah bolak-balik terminal
blok M-Tangerang, usia ibu itu sekitar 40-50 tahunan, di samping ibu
itu ada seorang anak sekolah perempuan dan seorang ibu lagi dengan
pakaian bebas, yang juga berdiri dan sebagian besar yang berdiri adalah
bapak-bapak.

Dan ternyata sebagian yang duduk juga adalah bapak-bapak, ada yang
benar-benar sudah ke alam lain (tidur maksudnya) ada yang sibuk main
hape, ada yang asyik menikmati pemandangan jalan tol, ada yang
pura-pura tidur dan aku membaca buku sambil berdiri…sementara pak sopir
khusyu menyupir sambil sesekali menghisap rokoknya.
Sampailah kita di KM 7 Tol Tangerang-Jakarta, bus yang kami naiki
perlahan mulai "merayap" ibu yang memakai baju coklat, yang memang
sejak satu jam lalu setia menemani aku berdiri, mulai batuk-batuk, gak
tau apakah memang tiba-tiba batuk, atau mencoba menarik perhatian kaum
lelaki yang duduk untuk segera memberi tempat duduknya kepada ibu
tersebut, dan gak tau sudah berapa banyak dia batuk, kaum lelaki yang
duduk, tetap aja asyik dengan aktifitasnya (atau budek kali
ya….astaghfirullah kok suudzhon seh)

Ya…bapak-bapak yang gantengnya ga jauh dengan aku, badannya lebih
besar dua kali dari aku apalagi tingginya itu..CUEK BEBEK dengan
penderitaan yang dialami para ibu-ibu yang sudah berdiri hampir 20 KM
tersebut…

Aku gak tau mereka punya HATI atau tidak, atau mereka punya istri
atau tidak, atau mereka punya ibu atau tidak…Jika mereka punya,
harusnya mereka juga merasakan, apa yang dirasakan saat macet, panas
dan berdiri pula…"Huh DASAR LAKI-LAKI GAK TAU DIRI" teriak bathinku…
Ya, aku hanya bisa membathin dan teriak dalam bathin…

Bus terus bergerak dan sampailah di SLIPI JAYA, dan akhirnya ibu
yang bekerja di Kejaksaan itu duduk setelah di beri tempat duduk oleh
wanita lain…Ups…jad yang ngasih duduk juga wanita?
Astaghfirullah…Laki-lakinya ke mana neh…

Kejadian ini mungkin terjadi di banyak daerah di Indonesia, yang
kemudian menambah inventarisiasi betapa 'rasa peduli terhadap sesama'
kian berkurang…

Ehm…apakah wanita lebih peduli dari pada laki-laki…???
Apakah wanita lebih punya perasaan dari pada laki-laki…???
Atau kepedulian tidak terkait dengan JENDER????Apakah ini wajah dari masyarakat kita yang kian hari kian PEDULI
DENGAN DIRINYA SENDIRI ???? dan TIDAK PEDULI DENGAN ORANG LAIN???

Moga Allah ijinkan diri kita menjadi orang-orang yang selalu
menyayangi makhluk Allah SWT dimuka bumi, tanpa memandang warna kulit,
agama dan suku…

"Orang yang pengasih akan di kasihi Dzat yang Maha Pengasih, kasihilah yang di bumi, maka yang di langit akan mengasihimu." (HR. Tirmidzi)

Selatan Jakarta…
Dalam Kegundahan Hati dan Keterbatasan Kemampuan
~seorangayah~

Sumber :www.seorangayah.wordpress.com

=============================
Dibutuhkan senyum untuk hidup...
Semangat untuk bergerak...
Iman untuk berjuang dan
Sahabat untuk saling mengingatkan...
=============================
Abdul Azis, S.Pd
PT.  JARING DATA INTERAKTIF
Qtv | SwaraChannel
e.mail : azis@qchannel.tv
Ph. +6221-52900303 | Fax. +6221-52900301
www.abdulazis.com
www.cahayarumah.multiply.com
=============================

10a.

Re: [Catcil] Tiga Tanda Cinta

Posted by: "diva p" diifaa_03@yahoo.com   diifaa_03

Thu Nov 26, 2009 12:01 am (PST)



terharu membacanya dan aku seakan ikut terseret di dalamnya.tulisan ini memberi sebuah pelajaran yang berharga bahwa hidup ini memang perjuangan dan tak selamanya indah, tetapi dengan tetap bersyukur dengan apa yang kita miliki akan membuat kita tetap bahagia. thanks ya mas atas seringnya.

tetap zemangad !

salam

Wiwik Khafidzoh, penghuni ESKA JATIM

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Nursalam AR <nursalam.ar@...> wrote:
>
> *Tiga Tanda Cinta*
>
> *Oleh Nursalam AR*
>
>
>
> Ada tiga torehan tanda cinta yang `kukenang dalam hidupku
> sekaligus menjadi penyemangat diri dalam hidupku selama ini.
>
> * *
>
> *Sebagai Ayah*
>
> *"Bakat terbentuk dalam kesunyian, watak terpupuk dalam riak besar
> kehidupan." (Goethe)*
>
> Menjadi ayah, bagiku, adalah kegembiraan dan juga salah satu riak besar
> kehidupan. Kegembiraan akan datangnya sang buah cinta dan darah daging
> adalah hal wajar. Namun pada saat yang sama riak besar kehidupan mungkin
> tidak selalu menyertai perjuangan setiap calon ayah. Buatku ini sebuah ujian
> kehidupan untuk menggembleng watak. Barangkali aku patut bersyukur
> semestinya. Karena sepertinya, setelah sepekan pertama menjadi ayah, Allah
> memberikan gelombang riak besar jelang kelahiran bayiku sebagai ujian agar
> kuat bertahan dalam gelombang-gelombang besar berikutnya. *Pre-test*,
> barangkali maksud-Nya demikian.
>
> Jelang kelahiran bayiku, permohonan kasbon sebulan gaji ditolak *boss*.
> Padahal sudah sejak sebulan sebelumnya ia sudah mengulur-ulur dengan
> berbagai alasan seperti kondisi keuangan kantor yang tidak memungkinkan dll
> – kendati aku tahu betul kegemarannya *dugem* yang menghabiskan jutaan
> rupiah tiap malam. Tapi saat kedatanganku ke ruangannya terakhir kali itu,
> sang *boss* mungkin tidak menyadari bahwa – sedetik setelah penolakannya –
> aku akan mengambil keputusan keluar dari kantor (pada saat yang tepat).
> Kembali menjadi "orang bebas" seperti tiga tahun sebelumnya.
>
> Menjelang pernikahanku dua tahun lalu pada 2007, demi memenuhi keinginan ibu
> mertua, aku memang bekerja kantoran. Masih sebagai penerjemah *legal English
> * (dokumen hukum dan bisnis) di agensi atau biro penerjemahan. Ini juga
> berpindah-pindah. Dari agensi penerjemahan di Jakarta Timur aku hanya
> bertahan lima bulan. Ada persoalan ketidakberesan gaji dan perlakuan yang
> tidak manusiawi. Setelah pindah ke biro yang lain – yang ini karena sang *
> boss* adalah sahabat lamaku dan ada beberapa kompromi termasuk gaji, di mana
> aku lebih mengalah, dibuat – aku juga tak bertahan lama.
>
> Per Desember 2008 aku resmi berhenti bekerja kantoran. Membuka bisnis agensi
> penerjemahan sendiri. Meski, dilihat dari kesiapan infrastruktur dan modal,
> lebih cocok untuk disebut "penerjemah *freelance*". Bayangkan saja kantor
> agensi penerjemahan tanpa fasilitas printer, koneksi internet, faksimili dan
> sambungan telepon rumah. Ruangannya pun menyatu dengan sebuah kamar – yang
> aku, istri dan anakku tempati – yang menumpang pada rumah ibu mertuaku.
> Lebih persis lagi, kantorku adalah seperangkat komputer – yang,
> alhamdulillah, sudah lunas -- kreditan. *That's it!*
>
> Gila! Mungkin ada yang menyebut demikian. Termasuk beberapa kawan dan
> kerabat yang menyayangkan mengapa aku berhenti bekerja justru di saat baru
> memiliki anak. Sementara istriku juga sudah berhenti bekerja sejak
> mengandung dua bulan. Tapi aku yakin Allah Maha Pemurah. Bagi manusia, tanpa
> pandang kualitas ibadah atau agamanya, pasti ada rejeki masing-masing asal
> berani menjemput. Termasuk, yang aku yakini juga, ada bagian rejeki yang
> sudah dicatatkan-Nya di *lauhul Mahfuz* di atas sana untuk anakku yang kini
> sedang lucu-lucunya di usianya yang tiga bulan.
>
> Ya, aku sedang belajar menjadi ayah. Pelajaran pertama yang kucatat, saat
> permohonan kasbonku ditolak *boss* yang notabene sahabat sendiri, adalah *hanya
> Allah yang sesungguhnya dan selayaknya menjadi tempat bergantung*. Sedekat
> apapun manusia, mereka punya keterbatasan dan tak bisa selalu diharapkan.
>
> Ketika kasbon ditolak sementara dokter sudah menvonis istriku harus
> dioperasi caesar beberapa pekan lagi, datang tawaran dua order besar – yang
> terbilang jarang aku dapat--kepadaku. Aku ajukan kesanggupan dan minta
> klien-klienku tersebut setor uang muka (DP, *down payment*) terlebih dulu.
> Kendati itu harus aku tebus dengan bekerja dobel keras karena selepas *
> ngantor* aku harus begadang hingga dini hari untuk menyelesaikan kedua order
> tersebut hingga sebulan lebih. Tapi dengan itulah aku dapat mencukupi biaya
> operasi caesar istriku. Alhamdulillah, anakku lahir dengan selamat.
> Laki-laki. Muhammad Alham Navid namanya.
>
> Empat puluh hari pertama bagi seorang ayah baru sepertiku sungguh tak
> terlupakan. Sementara berjuang bermalam-malam menyelesaikan dua order
> terjemahan tersebut, aku juga harus membantu istriku mengganti popok bayi
> atau menidurkannya. Frekuensi menyusui dan buang air (kecil dan besar) bayi
> dalam 40 hari pertama sungguh dahsyat. Rata-rata nyaris seperempat jam
> sekali. Alhasil, meski sudah dibantu ibu mertua dalam merawat bayi kami, aku
> ambruk dan sempat jatuh sakit. Cukup parah hingga seminggu tidak *ngantor*.
> Dan aku pikir itulah saat yang tepat untuk *resign*, berhenti bekerja.
> Setelah agak membaik, aku pamit baik-baik dari kantor.
>
> Rasanya sudah cukup aku memperkaya sahabatku itu -- hingga tubuhku bobrok
> -- yang tak peduli dengan kondisiku yang notabene pegawainya sendiri. Di
> kantorku tersebut hanya ada dua orang tenaga penerjemah termasuk aku.
> Sehingga aku tahu betul – semestinya – posisi tawar kami. Namun hidup memang
> keras. Dan barangkali itu yang harus dijalani.
>
> Aku bukan *super daddy*, ayah super dan juga tak ingin menjadi seperti itu.
> Aku hanya ingin jadi ayah yang baik, yang mampu memberikan kehidupan dan
> penghidupan yang layak bagi anaknya. Jalan terbaik, yang ada di pikiranku
> saat itu, adalah mencoba mandiri, berusaha sendiri. Jatuh bangun, aku pikir
> sudah biasa, niscaya akan mendewasakanku.
>
> Tak urung aku *shock* juga ketika riak-riak besar yang lain menghantam. Dua
> klienku yang sebelumnya itu -- ketika pekerjaan sudah aku serahkan -- lari
> dengan meninggalkan sisa tagihan tak terbayar. Jumlahnya mencapai enam
> setengah juta rupiah. Lebih terpukul lagi ketika, saat malam berhujan lebat
> dan dingin menyengat, dada kiriku nyeri dan aku terbatuk-batuk hebat di
> kamar mandi. Ketika aku meludah, ludahku merah seperti bekas ludah nenekku
> dahulu yang suka makan sirih. Merah darah. Berkali-kali aku meludah, hal
> yang sama berulang. Juga di hari-hari berikutnya. *Ya Allah, cobaan apalagi
> ini?*
>
> Bukan itu saja. Sebagian kawan tak percaya waktu aku bilang hidup satu atap
> bersama mertua tidaklah mudah. Mereka mengajukan argumentasi soal
> penghematan biaya hidup dan kemudahan saat mengurus anak yang masih bayi.
> Aku tertawa. Aku dan kawan-kawan itu tak punya definisi yang sama soal
> "tinggal di wisma mertua indah". Setiap definisi, seumum apapun cakupannya,
> tentu tak sanggup mencakup sesuatu yang di luar kelaziman. Nah, itulah yang
> aku jalani. Buktinya barangkali bisa ditanyakan pada mas kawin pernikahan
> kami yang rajin "disekolahkan" di pegadaian. Barangkali saat ini mereka
> sudah pintar mengajari kami – aku dan istriku – soal perjuangan hidup.
>
> Aku selalu menghibur istriku, setelah sholat malam dan di berbagai
> kesempatan, bahwa roda senantiasa akan berputar asalkan kita tak kenal lelah
> untuk memutarnya. Sebagai ayah, aku belajar mempersiapkan mental baja agar
> anakku nanti tak lemah. Sepeninggalku, jika sampai waktuku, aku tak ingin
> meninggalkan keturunan yang lemah, yang hanya bergantung pada orangtua
> bahkan hingga mereka dewasa dan saatnya menikah. Bukankah anak singa takkan
> lahir dari seekor kambing?
>
> Sesungguhnya penghiburan terutama bagi kami – yang penat dengan jungkir
> balik kehidupan terutama pasca aku berhenti *ngantor* – adalah sang putera
> tersayang, Alham. Beratnya yang pada usia tiga bulan mencapai lima kilo
> lebih dengan pipi gembul dan perawakan jangkung membuatnya tampak lebih
> besar dari bayi-bayi seusianya. Ocehannya yang banyak, terutama selepas
> disusui, kerap membuatku sadar bahwa banyak hal yang patut disyukuri
> ketimbang disesali dalam hidup ini.
>
> *"Mencintai seseorang akan membuatmu berani, dan dicintai seseorang akan
> membuatmu kuat,"* demikian kata Lao Tze, sang filsuf dari Tiongkok kuno. Itu
> pelajaran kedua bagiku sebagai ayah. Berani berhutang, bentuk praktisnya.
>
> Saat orderan terjemahan sepi, sementara aku mengisi waktu dengan menulis
> untuk koran, dan kami berhari-hari bertahan hidup dengan mie instan plus
> telur dan tak jarang hanya nasi goreng tanpa lauk – tanpa mertua dan kakak
> ipar tahu – aku tak tega membiarkan anakku yang masih menyusui hanya dapat
> asupan ASI yang alakadarnya. Selain menerjemahkan dan menulis, aktivitasku
> sebagai *trainer* penulisan untuk anak-anak *dhuafa* sama sekali – dan
> memang bukan tujuan – tidak dapat diandalkan untuk tambahan pendapatan.
> Solusi kuno yang termudah, sejak awal peradaban manusia, untuk kekurangan
> pendapatan adalah berhutang meski salah satu hadis Rasullulah SAW mengatakan
> bahwa itu sebagian dari tanda-tanda kehinaan.
>
> Mata anakku yang bening dan besar saat menatapku, kerapkali saat aku gendong
> untuk menidurkan atau membuatnya bersendawa, seakan bertanya kepadaku,"Abi
> ngutang lagi ya?"
>
> "Iya nih," jawabku dengan mimik dibuat lucu untuk mencandainya. Biasanya ia
> yang murah senyum akan tertawa terkekeh-kekeh. Terlebih lagi jika aku dengan
> gokil menirukan gaya tangannya yang khas seperti gaya orang menyetir mobil
> atau seperti gaya Superman terbang – dengan satu tangan teracung lurus ke
> depan.
>
> "Nanti Alham sekolah yang tinggi ya. Biar jadi orang kuat," pesanku. Entah
> mengerti atau tidak, ia tersenyum lebar. Tampak lucu menggemaskan dengan
> penampakan gusi kosong dan binaran mata kelerengnya. Semoga saja harapan
> ayahnya ini terpatri di alam bawah sadarnya kelak saat dewasa.
>
> Ya, menjadi orang kuat – dalam pengertian fisik, keimanan, ilmu, finansial
> dan kedudukan – adalah syarat seorang pejuang, nama "Alham" adalah salah
> satu nama penulis-pejuang yang aku kagumi, dalam apapun bentuk perjuangan
> yang ditekuninya.
>
> Jika ada tangga menuju kesuksesan di masa depan yang harus didaki anakku ini
> maka aku rela jadi anak tangga terbawah untuk ia pijak menuju pijakan
> berikutnya. Ketika banyak orang maupun tetangga memuji-mujinya sebagai anak
> yang "pintar" atau "responsif", aku termimpi-mimpi Alham berkuliah di luar
> negeri. *Ah, mimpi yang indah*.
>
> Sayang aku lekas terbangun di dini hari itu. Entahlah apakah ini juga obsesi
> masa laluku yang tak sampai ketika seorang dosen menawariku beasiswa S-2 ke
> Jerman bahkan ketika aku masih di semester lima. Sayang S-1 pun tak mampu
> aku tamatkan. Kekurangan biaya, alasannya. Klise memang.
>
> Belajar menjadi ayah memang perlu waktu panjang. Aku rasa aku masih di tahap
> teramat dini di usia anakku belumlah genap setahun. Namun pelajaran ketiga
> yang utama yang aku dapatkan di tiga bulan menjadi ayah adalah: *jika ada
> kemauan pasti ada jalan*. Dengan kondisi menjadi ayah dan suami
> berpenghasilan tak menentu yang pernah tertipu orang, terlilit hutang dan
> kehabisan tabungan – yang merupakan ujian Allah agar emas terpisah dari
> loyang – aku belajar mengendalikan emosi, lebih menghargai istri dan belajar
> mensyukuri yang ada serta lebih gesit mengejar peluang.
>
> Di titik inilah aku merasakan dengan makna sejati-jatinya bahwa pernikahan –
> termasuk keberadaan anak --mendewasakan orang. Saat beberapa teman lajang
> curhat kepadaku tentang susahnya hidup melajang dan mereka berangan-angan
> tentang (melulu) indahnya pernikahan, aku tersenyum. Aku hanya berdoa semoga
> kelak, dengan harapan semuluk itu, mereka tidak menyesal menikah.
>
> Karena sebenarnya ungkapan lama "sengsara membawa nikmat" dari Tulis Sutan
> Sati – penulis Melayu angkatan Balai Pustaka – dalam konteks pernikahan
> dapat terbolak-balik letaknya. Dan cinta tak selalu semakna dengan bisikan
> mesra atau tatapan sayang. Cinta sejati lebih merupakan perjuangan yang tak
> jarang berlumur peluh dan air mata.
>
> Itulah kisah di bulan-bulan awal lahirnya putera pertamaku. Satu tanda
> cintaku untuk puteraku terkasih.
>
> Namun tak lengkap hidupku ini yang bagai mozaik jika hanya mengungkap satu
> sisi saja. Jauh menapaktilasi sejarah hidupku, ada kenangan terselip di
> lipatan waktu dalam neuron otakku. Sebuah kenangan untuk tanda cintaku bagi
> sang guru.
>
>
>
> *Sebagai Murid*
>
> *"....Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa, dan tidak ada yang
> dapat menambah umur kecuali amal kebaikan." (Hadis Riwayat Ahmad, Nasa'i dan
> Ibnu Majah)*
>
> "Berangkat, Bu?" sapaku pada seorang ibu tua berjilbab yang sedang berjalan
> tertatih-tatih menuju halte bus. Ia menggunakan tangkai payung panjang
> sebagai tongkat.
>
> Wajah tuanya terperangah. Kacamata minusnya masih seperti dulu. Hanya
> bertambah tebal. Di tengah kebingungannya berusaha mengenaliku, aku
> menjumput lengan keriputnya dan mencium tangannya. Penghormatan untuk
> guruku. Ibu guru spesialku.
>
> Keberkahan dan panjangnya umur, itulah yang aku pohonkan kepada Allah untuk
> ibu yang satu ini. Di manapun ia berada saat ini. Ia bukan ibuku. Bukan juga
> saudara atau kerabatku. Namun ia, dalam salah satu fase perjalanan hidupku,
> sangat berarti. Dan tidaklah hidupku yang sekarang ini lengkap -- atau
> bahkan mungkin aku tidak akan seperti sekarang ini -- jika tanpa amal
> kebaikannya untukku. Yang ia lakukan dua puluh enam tahun lalu saat aku
> masih di bangku Sekolah Dasar.**
>
> Bu Satimah, demikian kami memanggilnya. Ia guru kelas satu SD. Orang pertama
> yang mengajariku baca tulis. Tentu itu memang tugas setiap guru kelas satu,
> yang barangkali terasa wajar dan tidak istimewa. Barangkali demikian. Dan
> memang amal kebaikan Bu Satimah – tanpa mengecilkan jasanya yang satu itu –
> yang teramat istimewa padaku bukanlah saat ia memosisikan diri khusus
> sebagai guru. Justru ketika ia memosisikan diri sebagai ibu, sebagai manusia
> yang punya kepekaan dan nurani. Di situlah ia menjadi sangat berarti dan tak
> tertandingi.
>
> *****
>
> Sewaktu kecil, aku menderita penyakit kencing batu sejak usia 4 tahun. Konon
> sebabnya karena aku terlalu banyak mengonsumsi makanan dan minuman yang
> manis-manis. Sakitku itu terus berlanjut ke tahun-tahun berikutnya hingga
> sukses mengubahku yang semula bayi montok yang aktif menjadi balita yang
> kuyu dan penyakitan.
>
> Pada usia 5 tahun, aku dikhitan. Anak-anak Betawi seusiaku memang lazim
> dikhitan atau disunat pada usia dini. Bahkan ada yang sudah dikhitan sejak
> masih seminggu setelah dilahirkan – dengan mencontoh Kanjeng Nabi Muhammad
> SAW. Namun, khusus untukku, orangtuaku mengkhitankanku – dengan menumpang,
> karena pertimbangan biaya, pada saat perayaan khitanan sepupuku – terutama
> agar aku lekas sembuh dari penyakitku itu. Mereka tentu saja, yang sangat
> aku yakin, tak tega melihat anak ke-8 mereka menjerit kesakitan tiapkali
> buang air kecil dan tak bisa bermain leluasa seperti anak-anak sebayanya.
> Tubuhku pun saat itu kurus, lesu dan bungkuk.
>
> Untuk yang terakhir itu karena, untuk menahan rasa sakit, aku sering
> menempelkan perutku ke bagian paha. Menahan sekuat-kuatnya rasa sakit yang
> mendera. Rasa sakitnya memang tak tertahankan. Karena urine harus berjuang
> keras melewati gumpalan batu mengeras di kandung kemih. Serasa ada puluhan
> pisau tajam mengiris bagian dalam kelaminku. Pernah saking putus asanya, aku
> berdoa memohon kematian kepada Allah. Ya, aku ingin mati di usia muda agar
> tak merepotkan orangtuaku lebih lama.
>
> Di usia semuda itu aku tahu betapa bingungnya kedua orangtuaku mencari biaya
> ke dokter atau berobat alternatif. Mereka tahu satu-satunya jalan adalah
> operasi. Namun, untuk memberi makan keenam anaknya yang hidup dari 12 anak
> yang terlahir, mereka berjuang susah payah. Jadi, opsi operasi sungguh suatu
> kemewahan. Dan untuk menggapainya dibutuhkan keajaiban.
>
> Solusi realistis, menurut saran-saran tetangga, adalah aku harus dikhitan.
> Barangkali karena niat baik tersebut penyakitku mereda. Aku tak lagi sepayah
> tahun-tahun sebelumnya kendati masih harus rutin mengonsumsi jamu-jamu dan
> rebusan daun kumis kucing. Saat itu, era 1980-an, memang belum ada pil
> praktis atau obat instan seperti saat ini yang dapat menghancurkan batu
> dalam kandung kemih. Operasi laser, tanpa harus melalui pembedahan, untuk
> pasien kencing batu juga belum dikenal.
>
> Bagi kami, aku dan keluargaku terutama kedua orangtuaku, sekedar mereda pun
> sudah merupakan nikmat Allah yang patut disyukuri. Setidaknya aku dapat
> bersekolah seperti anak-anak kebanyakan. Meski untuk aktivitas permainan
> remeh temeh yang umumnya saat itu lazim dikuasai anak-anak sebayaku –
> seperti bermain layang-layang dan bersepeda -- aku sangat tertinggal.
> Penyakitku memang memaksaku tak boleh kelelahan dan harus banyak berdiam di
> rumah. Aku baru bisa belajar bersepeda saat kelas 5 SD.
>
> ***
>
> Tahun 1983, saat usiaku 6 tahun, aku dimasukkan ke sebuah sekolah dasar
> negeri di dekat rumahku di bilangan Jakarta Selatan. Bu Satimah adalah
> guruku di kelas satu. Sebagaimana umumnya guru-guru kelas satu, ia *welas
> asih*, penyayang, ramah dan baik hati. Satu hal yang paling mengesankan
> bagiku adalah saat ia menunjukkan pendiriannya dan kepeduliannya.
>
> "Kamu harus tetap sekolah," ujarnya padaku. "Salam harus ikut testing," ia
> tegaskan itu di depanku dan ibuku serta di hadapan guru-guru lain di ruang
> kepala sekolah. "Meskipun testingnya di rumah."
>
> "Siapa yang bertanggung jawab? Siapa yang bisa jamin?" tanya seorang guru
> perempuan, dengan nada sinis.
>
> Bu Satimah menatap tegar. "Saya yang jamin. Saya yang bertanggung jawab."
>
> Saat itu, di akhir kelas satu, kembali penyakitku bertambah buruk. Aku tak
> bisa keluar rumah. Ibuku pun meminta kebijaksanaan dari sekolah agar aku
> diberikan dispensasi untuk mengikuti testing di rumah. Itu memang di luar
> kebiasaan dan peraturan umum sekolah. Terlebih lagi kami sebagai pihak yang
> mengajukan bukanlah orang yang berkecukupan, bahkan serba kekurangan. Itu
> jelas, bagi pihak sekolah, sebuah permintaan yang luar biasa – jika tidak
> bisa dibilang mengherankan.
>
> Pandangan tersebut tercermin jelas dalam rapat dewan guru yang dipimpin
> kepala sekolah. Sebagian melecehkan bahkan menyinggung hal-hal lain yang tak
> relevan dengan permohonan dari ibuku. Aku dan ibuku duduk mengikuti rapat
> tersebut dengan berdebar. Aku merasa bagai pesakitan atau terdakwa saat itu.
>
>
> Tapi saat itu aku merasakan betapa ibuku – yang hanya berpendidikan kelas 4
> SD – punya keberanian besar, yang jelas didorong cinta, agar anaknya tetap
> dapat bersekolah. Seburuk apapun kondisinya. Aku makin cinta ibuku yang
> duduk terdiam di sampingku. Ia yang lugu tampak bersahaja dengan kerudung
> dan kebaya yang dikenakannya. Aku tahu dalam diamnya ia berdoa untukku. Dan
> aku tahu aku merasakan cintaku untuknya makin besar semenjak itu.
>
> Ternyata dalam ruangan itu tak hanya ada satu cinta untukku. Dukungan yang
> diberikan Bu Satimah dengan tegas untuk kelanjutan sekolahku memapas
> pelecehan dan pesimisme pihak sekolah. Meski aku tahu beberapa guru seakan
> bersungut-sungut, tapi sang malaikat penyelamat itu – dengan rambut ikal
> pendeknya dan kacamata minusnya – bersiteguh dengan argumentasinya yang
> cerdas. Wajahnya memang terkesan keras. Konon ia kelahiran Jawa Timur. Namun
> hari itu ia menunjukkan kelembutan sayap-sayap hatinya. *My teacher, I love
> you!*
>
> Bukan itu saja yang membuatku kian salut kepadanya. Setelah perjuangannya
> yang keras di depanku, ia memberikan kepercayaan yang besar kepadaku dan
> keluargaku. Semestinya, dengan saran kepala sekolah, Bu Satimah harus selalu
> mengawasi aku ketika sedang mengerjakan soal testing di rumah. Namun ia
> sepenuhnya memercayakan pengawasan itu kepada kedua orangtuaku. Selama pekan
> testing, ia hanya mengantarkan bahan testing ke rumahku dan mengambilnya
> selepas jam sekolah.
>
> "Saya percaya kok bapak ibu orang jujur. Salam juga anak jujur. Jadi saya
> percaya saja," demikian jelasnya. Kedua orangtuaku yang terharu dengan
> kepercayaan tersebut menjaga betul amanah tersebut. Bahkan ayahku tak
> segan-segan menjewer salah satu kakakku yang mencoba membantuku mengerjakan
> soal testing. Kepercayaan memang barang mahal.
>
> *Alhamdulillah*, dengan prosedur testing yang `di luar kebiasaan' tersebut,
> aku dinyatakan berhak naik kelas ke kelas dua. Namun sakitku yang bertambah
> parah, dan ketiadaan dana orangtuaku, aku pun cuti dari sekolah. *Bedrest*.
> Lagi-lagi di luar kebiasaan. Setahun kemudian – setelah menjalani operasi
> pada 1984 dengan biaya pinjaman dari kerabat – aku melanjutkan ke kelas dua.
> Teman-teman seangkatanku sendiri sudah berada di kelas tiga.
>
> Bu Satimah juga yang mengusulkan gagasan cuti tersebut. Dan, lagi-lagi,
> dengan gemilang ia membelaku di hadapan para rekan sejawatnya. Sungguh,
> bagiku, ia malaikat. Siapa pula yang saat itu – mungkin hingga kini -- mau
> membela murid miskin sakit-sakitan tanpa bayaran? Di tahun-tahun belakangan,
> setelah memahami realitas kehidupan, aku semakin menganggapnya malaikatku.
>
> Sayang tahun-tahun berlalu membawa sekaligus melipat segala kenangan
> termasuk kebaikan. Waktu memang paling ampuh memunahkan segalanya. Ditakar
> dengan besarnya jasa Bu Satimah, balasanku atas kebaikannya sangat tak
> sepadan. Aku hanya satu dua kali berkunjung ke rumahnya. Itu pun semasa aku
> bersekolah di SD. Selepas SD, aku sama sekali melupakannya. Kendati ibuku,
> yang merasa amat berhutang budi kepada Bu Satimah, selalu memintaku
> mengunjungi sang ibu guru yang hidup sederhana di bantaran Kali Ciliwung
> yang selalu kebanjiran dari tahun ke tahun.
>
> Yang aku tahu, untuk beberapa belas tahun kemudian, Bu Satimah masih
> mengajar kelas satu di almamaterku itu. Dengan penampilan fisik yang menua
> dan gaya jalan yang tak lagi gagah dan cepat seperti dulu. Tapi, lagi-lagi
> hanya berdasarkan kabar, di usia menjelang pensiun ia masih melanjutkan
> kuliah S-1 di IKIP Jakarta. Guru-guru SD seangkatannya – dan yang menjadi
> para guruku di SD – memang lulusan SPG, sebuah sekolah pendidikan guru
> tingkat menengah yang telah dibubarkan pemerintah.
>
> Hingga terjadilah pertemuan saat itu antara si Malin Kundang ini dengan sang
> malaikat penyelamatnya – yang ironisnya telah dilupakannya bertahun-tahun.
>
> "Sudah SMP kamu, Lam?" Bu Satimah akhirnya mengenaliku. Pandangannya
> menelisik dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku yang masih kelas tiga SMP
> saat itu merasa risih juga dengan bulu kakiku yang mulai tumbuh lebat.
>
> "Makin jangkung aja!" Ia tersenyum. "Belajar yang bener ya!" Ia
> menepuk-nepuk bahuku yang kini jauh lebih tinggi darinya. Malaikat berhati
> emas ini memang berukuran tak seberapa tinggi namun – dalam kenanganku –
> nyalinya dan kepeduliannya jauh melebihi tinggi fisik tubuhnya.
>
> Teramat sayang saat pertemuan itu – mungkin karena gumpalan perasaan yang
> campur baur di hatiku – aku tak banyak berkata-kata. Bertemu dengannya –
> setelah aku lama melupakannya – bagaikan bertemu dengan seorang pemberi
> hutang yang sama sekali tak menagih hutang dan bersikap seakan-akan kita tak
> punya hutang kepadanya. Hanya saja sang pengutang, dalam hal ini aku, yang
> merasa kikuk bukan kepalang.
>
> Di akhir pertemuan singkat itu, Bu Satimah menawariku berkunjung ke
> rumahnya. Dengan gaya polos ABG, aku jawab,"Iya, Bu, kapan-kapan." Aku lupa
> mengucapkan "Insya Allah". Dan memang bertahun-tahun setelahnya aku tak
> pernah mampir ke rumahnya yang terletak di daerah Cawang. Hanya beberapa
> kilometer dari rumahku. Hanya dibatasi Kali Ciliwung yang kecoklatan airnya.
>
> Sewaktu kuliah, aku pun mendapat kabar ia tak lagi tinggal di situ. Tak
> seorang pun di sekitar rumah lamanya itu yang tahu kemana sang malaikat itu
> berada.
>
> Aku kian merasa sebagai Malin Kundang. Bahkan hingga saat ini, detik ini.
>
> Namun lebih jauh ke belakang ada kenangan mengharukan lain yang juga
> membuatku merasa sebagai anak durhaka, si Malin Kundang. Kenangan yang
> merupakan tanda cinta yang lain, untuk kedua orang tuaku.
>
>
>
> *Sebagai Anak*
>
> Lebaran selalu identik dengan baju baru. Sudah lazim orang bertanya di
> penghujung Ramadhan,"Eh, sudah beli baju baru belum?" Entahlah, sejak kapan
> tradisi membeli baju baru untuk Lebaran ini berawal. Padahal Nabi Muhammad
> SAW dalam salah satu hadisnya dalam Shahih Bukhari hanya memerintahkan kita
> mengenakan "pakaian yang terbaik" pada hari raya Idul Fitri. Tapi "terbaik"
> di sini selalu dimaknai sebagai sesuatu yang "baru".
>
> Di zaman penjajahan dulu saat kehidupan sehari-hari susah termasuk untuk
> makan apalagi untuk beli baju, hal tersebut dapat dipahami. Tidak ada
> pakaian sehari-hari yang "layak" atau "terbaik" dipakai pada hari raya. *
> Wong*, ada yang sampai bikin celana dari karung goni atau karung beras kok.
> Bila dari kain belacu, itu sudah lumayan, demikian cerita almarhum ayahku.
> Maka wajarlah bila yang terbaik dimaknai sebagai sesuatu yang baru. Tapi di
> zaman saat ini, anehnya, tradisi itu terus berlangsung. Meski saat ini
> banyak orang sanggup beli baju tiap bulan, bahkan setiap momen khusus, entah
> pesta ulang tahun atau piknik.
>
> Namun sewaktu aku kanak-kanak, pikiran bijak tersebut sama sekali jauh dari
> pikiran. Yang aku tahu adalah jika aku tak punya baju baru berarti aku
> berbeda dari teman-teman sepermainanku. Dan aku malu karenanya. Itu saja.
> Sebetulnya kondisi ekonomi keluargaku tahun 80-an itu juga memprihatinkan.
>
> Saat itu keluargaku masih lengkap. Sangat lengkap, ada ayah dan ibu dan enam
> anak-anaknya. Aku sendiri anak kelima dari enam bersaudara. Empat laki-laki
> dan dua perempuan. Semuanya bersekolah, dan belum ada yang bekerja saat itu.
> Suatu kondisi yang lumayan berat bagi ayahku (kami biasa memanggilnya *aba*)
> yang hanya montir mobil panggilan. Ibu hanya ibu rumah tangga biasa, yang
> coba membantu *aba* dengan membuat kue yang dititipkannya di warung-warung
> di dekat rumah.
>
> Ada juga tambahan penghasilan dari beberapa petak rumah kontrakan yang baru
> dirintis *aba* yang sayangnya tak cukup menutupi kebutuhan keluarga. Maklum,
> rumah kontrakan kami kecil dan tidak terlalu bagus sehingga *aba* tak
> terlalu tega untuk mengenakan harga sewa yang tinggi. Apalagi harga sewa
> rumah kontrakan saat itu tidak setinggi sekarang.
>
> Aku ingat betul waktu itu seminggu lagi Lebaran. Aku kelas tiga SD, sembilan
> tahun usiaku. Agak telat memang. Karena di kelas satu SD aku sempat cuti
> sekolah karena sakit kencing batu. Baru kemudian atas jasa baik Bu
> Satimah—guruku di kelas satu—aku dapat melanjutkan sekolah di kelas dua di
> sekolah yang sama tanpa harus membayar biaya tambahan.
>
> Ya, sakit yang mengharuskan aku istirahat selama setahun di rumah itu
> sangat membebani keluarga untuk ongkos pengobatan kesana-kemari. Atas izin
> Allah, *alhamdulillah*, aku sembuh setelah batu sebesar kepalan tangan bayi
> itu berhasil diangkat dari kandung kemihku melalui operasi bedah. Waktu itu
> belum dikenal teknologi bedah laser sehingga aku harus mendapat beberapa
> jahitan. Biaya operasinya tiga ratus ribu rupiah (ingat saat itu tahun
> 1984!), hasil berhutang dari salah seorang pemilik warung tempat ibuku biasa
> menitipkan dagangan kuenya.
>
> Alhasil persoalan baju baru adalah persoalan istimewa bagiku. Tidak setiap
> bulan aku bisa punya baju baru. Sering juga memang langganan kerja
> *aba*—kebanyakan
> etnis Cina di kawasan Jakarta Barat—memberikan pakaian bekas mereka—yang
> menurutku bekas hanya karena jarang sekali dipakai atau tertumpuk di lemari
> pakaian—yang masih bagus-bagus sebagai bonus atas kerjanya yang dianggap
> memuaskan ketika memperbaiki mobil mereka. Tapi ya tetap saja judulnya baju
> bekas, bukan baju baru ya *to*?
>
> "Lam, lo udah punya baju baru belom?" tanya salah seorang temanku. Kami
> sedang bermain *gundu* alias kelereng menunggu beduk berbuka puasa.
>
> Aku pura-pura sibuk membersihkan kelereng-kelerengku yang berdebu. Tanah
> tempat kami bermain memang berdebu. Waktu itu kemarau.
>
> "Gue sih udah punya dua. Satu baju koko, satu kaos!" tukas temanku yang lain
> berbangga. Senyumnya cerah. Bagiku itu senyum mengejek.
>
> Obrolan pun beralih ke topik baju baru. Ah, panas sekali telingaku. Aku juga
> saat itu bingung kenapa ibu belum juga mengajakku ke pasar. Biasanya dua
> pekan sebelum Lebaran ibu mengajakku—karena adikku masih dianggap terlalu
> kecil—berbelanja baju Lebaran di Pasar Jatinegara. Pasar yang padat dan
> sumpek di tepi lapangan Jenderal Oerip Soemohardjo, Jakarta Timur. Tapi aku
> ingat betul betapa harumnya bau baju-baju baru yang tergantung di kios-kios
> pedagang maupun emperan kaki lima. Tak peduli peluh dan lelah karena
> seringkali ibu harus bolak-balik masuk toko mencari barang terbaik dengan
> harga termurah. Tapi aku senang-senang saja. Itulah ritual menjelang
> Lebaran.
>
> Ketika aku pulang ke rumah pun, *aba* dan ibu sama sekali tak membahas soal
> baju baru. Kakak-kakakku yang lain juga bersikap biasa-biasa saja. Kakakku
> yang terdekat perempuan, selisih usia kami tiga tahun. Mungkin ia sudah
> cukup paham. Tapi itu dia, bukan aku.
>
> Malam harinya selepas sholat Tarawih, aku bergegas sampai ke rumah paling
> awal. Ketika ibu baru merapikan mukenah dan sajadahnya dari masjid, aku
> langsung merajuk meminta. Ibu cuma bilang,"Nanti juga dibeliin. Sabar!" Aku
> tak puas. Aku dekati *aba* yang sedang asyik merokok di ruang depan.
> Jawabnya pun sama,"Sabar ye…"
>
> Aku pun pupuk kesabaran hingga beberapa hari. Tinggal tiga hari menjelang
> Lebaran. Ibu sudah sibuk membuat kue Lebaran. Sebagian pesanan tetangga.
> Tapi ada yang kurang. Baju baru. Anehnya kakak-kakakku masih tenang-tenang
> saja. Entahlah apakah ibu sudah berhasil memenangkan mereka. Adikku sendiri
> yang selisih usia empat tahun di bawahku, anehnya, tak seribut aku. Rasanya
> di hari-hari menjelang Lebaran jantungku kian berdebar. Tiap malam saat
> keluarga berkumpul menonton TV—saat itu masih hitam putih 14 inci—aku
> berharap ibu akan berkata,"Lam, besok ke pasar yuk!"
>
> Namun ucapan itu tak kunjung keluar dari bibirnya. *Aba* pun ketika
> `kudesak-desak kembali hanya membentak dengan mata mendelik,"Tanya ibu lo
> sono!" Ah, rasanya kesabaranku habis. Tangisku meledak. Esoknya, dua hari
> menjelang Lebaran, aku tidak bermain keluar rumah. Sekolah memang sudah
> libur. Aku berdiam saja di rumah. Tidak kemana-mana. Hanya mendekam di
> kolong tempat tidur. Aku sedang protes!
>
> *Aba* dan ibu membujuk. Kakak-kakakku mengiming-imingi janji beli permen
> atau penganan. Semuanya membujuk agar aku mau keluar dari kolong tempat
> tidur. Cukup lama aku bertahan, sambil sesekali berteriak dan menangis. Aku
> tak peduli meski salah satu kakakku bilang puasaku batal karena aku
> menangis.
>
> Ubin lantai di kolong tempat tidur dingin dan agak berdebu. Kerongkonganku
> lelah berteriak. Dada juga sakit dan leher pegal karena tak bisa tegak. Aku
> pun terbatuk-batuk hebat. Tapi biarlah. Aku lebih rela begini daripada malu
> tak punya baju baru, pikirku.
>
> Menjelang azan Ashar, ibu menyerah. Beliau janji mengajakku ke pasar
> keesokan harinya. Wah, hilang sudah pegal, dingin dan batukku! Terbayang aku
> bisa sholat Ied, berkunjung ke rumah kerabat, dan paling penting bisa
> beramai-ramai bersama teman-temanku berbaris meminta *angpao *dari para
> tetangga. Itu momen-momen terindah saat Lebaran. Dan itu mustahil tanpa baju
> baru.
>
> Alhasil, sehari menjelang Lebaran itu, jadilah aku punya baju baru. Seharian
> ibu mengajakku berbelanja baju. Ternyata termasuk baju Lebaran untuk
> kakak-kakakku. Mungkin *aba* dan ibu sebenarnya sudah punya uang untuk beli
> baju. Tapi tunggu waktu yang tepat, batinku. Ah, yang penting hatiku gembira
> sekali saat itu.
>
> Malamnya malam Takbiran. Selepas takbiran bersama di masjid, aku lekas
> pulang ke rumah. Mengepaskan baju baruku di depan cermin. Ya, baju yang
> didapat dengan perjuangan keras. Keras betul, menurutku. Anehnya, meski film
> terakhir di TV—saat itu paling malam siaran TVRI berakhir pukul dua belas
> dengan acara terakhir film Barat. Itu pun hanya satu film sepanjang hari—aku
> tak merasa mengantuk sama sekali.
>
> Lamat-lamat kudengar *aba* dan ibu berbincang-bincang di kamarnya.
>
> "Pinjem duit siape buat belanje tadi?" Suara *aba* terdengar bertanya.
>
> Terdengar tarikan nafas berat ibu. "Nunung kasih pinjem. Kapan aje
> gantiinnye katenye." Nunung adalah adik tiri *aba*. Suaminya, Om Misdi,
> seorang pematung yang sering dapat orderan dari luar daerah. Kehidupan
> mereka memang lebih berada daripada kami.
>
> Tarikan nafas berat *aba* menyusul. "Gak enak juga ye minjem mulu ame die."
>
> "Ye, gak pape deh. Tadi juga ditahan-tahanin malunye. Namenye juga buat
> anak."
>
> Sunyi. Sesunyi perasaanku malam itu. Kegembiraan malam itu terasa berkurang.
> Ya, demi anak. Duh, *aba*, ibu, maafkan aku. Peristiwa malam Takbiran itu
> sangat membekas. Seingatku, itulah terakhir kalinya aku merengek minta baju
> baru untuk Lebaran. Toh, tanpa aku merengek pun, tahun-tahun berikutnya
> kedua orangtuaku tak pernah lupa membelikan kami baju baru untuk Lebaran.
> Entah, barangkali dengan uang tabungan atau kembali berhutang, aku tak tega
> menanyakannya. Cukuplah mereka hanya tahu kami gembira menerimanya.
>
> Sayang ibuku keburu wafat pada 1997 saat aku baru menginjak tahun pertama
> kuliah di Universitas Indonesia (UI). Aku belum bisa membelikannya baju baru
> untuk Lebaran. Namun, setidaknya untuk beberapa tahun kemarin--ketika aku
> sudah punya penghasilan sendiri--aku sempat membelikan baju Lebaran untuk *
> aba*: baju koko, peci dan sarung untuk sholat Ied. Tidak mahal-mahal sekali,
> tapi itu pun sudah bagus sekali, kata *aba* sambil berucap terima kasih.
> Binar riang matanya dan senyum bangganya ketika berterima kasih padaku sudah
> cukup melegakanku. Moga itu bisa menebus rasa susah hatinya saat aku protes
> sambil *ngumpet *di kolong tempat tidur dulu. Orang tua manapun pasti pusing
> jika anak merengek minta baju baru sementara tak ada uang di saku. Mungkin
> aku juga begitu jika kelak menjadi orang tua, Insya Allah..
>
> Di tahun 2006, sebetulnya aku berencana memberikan baju koko dan sarung
> terbaik buat *aba*. Namun Allah berkehendak lain. *Aba* berpulang ke
> rahmatullah pada usianya ke-73 tepat *nisfu sya'ban*, lima belas hari
> menjelang Ramadhan tahun itu. Tepat *ba'da* Maghrib 8 September 2006. Duhai,
> betapa sunyinya Ramadhan saat itu tanpa kedua orang tua. Baju baru memang
> bukan masalah lagi, tapi apalah artinya tanpa kedua orang tua di hari raya
> nan fitri?
>
> Ah, aku teringat sebuah perkataan bijak dalam salah satu buku yang pernah
> kubaca,"Kasih sayang anak ketika merawat orang tua takkan pernah dapat
> menebus kasih sayang orang tua terhadap anak. Orang tua merawat anak ketika
> kecil hingga dewasa tanpa tahu bagaimana akhirnya kelak apakah sang anak
> akan membalas budinya atau justru mendurhakainya. Sementara anak merawat
> orang tua dengan sebuah akhir yang diketahuinya bahwa orang tuanya akan
> wafat di hari tua." Jadi jelas nilainya sangat berbeda. Kasih orang tua
> sepanjang hayat, kasih anak sepanjang galah.
>
> Dalam hati aku berdoa,"Ya Allah, pakaikan kedua orang tuaku baju baru di
> surga-Mu." *Amien yaa robbal `alamien*.
>
> Ya, "amin" adalah ucapan penutup yang indah untuk semua kenangan dan
> harapan. Bagiku, ketiga kenangan tersebut adalah tiga tanda cinta yang
> memancarkan keindahan dengan caranya masing-masing. Keindahan yang tak
> sekadar jadi bahan nostalgia bertahun-tahun kemudian namun menumbuhkan élan
> vital dalam diriku bahwa aku telah berdiri di atas bahu-bahu raksasa ayah
> dan ibuku serta guruku untuk menopang puteraku melihat lebih jauh, melompat
> lebih tinggi dariku nantinya. *****
>
>
>
>
>
>
> --
> "There is no life without risks"
> Nursalam AR
> Translator - Writer - Trainer
> 0813-10040723
> 021-92727391
> Facebook: www.facebook.com/nursalam.ar
> Blog: www.nursalam.multiply.com
>

Recent Activity
Visit Your Group
Sell Online

Start selling with

our award-winning

e-commerce tools.

Yahoo! Groups

Auto Enthusiast Zone

Auto Enthusiast Zone

Car groups and more!

Celebrity Parents

Spotlight on Kids

Hollywood families

share stories

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: