Jumat, 20 Mei 2011

[daarut-tauhiid] "Kembalikan Pancasila dalam Kurikulum": Menjernihkan Tafsir Pancasila

"*Kembalikan Pancasila dalam Kurikulum"*

*Menjernihkan Tafsir Pancasila*


*Dr. Adian Husaini***

* **
*HARIAN Republika, Rabu (11/5) menurunkan berita berjudul: "*Kembalikan
Pancasila dalam Kurikulum". *Berita itu mengungkap pernyataan Ketua Umum
Partai Golkar Aburizal Bakrie yang mempertanyakan mengapa Pendidikan
Pancasila hilang di kurikulum pendidikan. Kata Aburizal, Pancasila tidak
boleh dikerdilkan dengan hanya menjadi bagian dari pendidikan
kewarganegaraan.

"Sikap Partai Golkar jelas, kembalikan materi pendidikan Pancasila menjadi
bagian dari kurikulum pendidikan secara khusus, karena materinya harus
diajarkan secara tersendiri," kata Aburizal Bakrie.

Menurut Aburizal Bakrie, penghapusan pendidikan Pancasila adalah sebuah
upaya memotong anak bangsa ini dari akar budayanya sendiri. Pancasila adalah
pintu gerbang masuk pelajaran tentang semangat nasionalisme, gotong royong,
budi pekerti, nilai-nilai kemanusiaan, kerukunan, dan toleransi beragama.

Demikian seruan Partai Golkar tentang Pancasila sebagaimana disampaikan oleh
Ketua Umumnya. Akhir-akhir ini kita sering mendengar seruan berbagai pihak
tentang Pancasila. Tentu saja, ini bukan hal baru. Berbagai seminar,
diskusi, dan konferensi telah digelar untuk mengangkat kembali "nasib
Pancasila" yang terpuruk, bersama dengan berakhirnya rezim Orde Baru, yang
sangat rajin mengucapkan Pancasila.

Partai Golkar atau siapa pun yang menginginkan diterapkannya di Pancasila,
seyogyanya bersedia belajar dari sejarah; bagaimana Pancasila dijadikan
sebagai slogan di masa Orde Lama dan Orde Baru, dan kemudian berakhir dengan
tragis. Sejak tahun 1945, Pancasila telah diletakkan dalam perspektif
sekular, yang lepas dari perspektif pandangan alam Islam (*Islamic worldview
*). Padahal, sejak kelahirannya, Pancasila – yang merupakan bagian dari
Pembukaan UUD 1945 – sangat kental dengan nuansa Islamic worldview.

Contoh terkenal dari tafsir sekular Pancasila, misalnya, dilakukan oleh
konsep Ali Moertopo, ketua kehormatan CSIS yang sempat berpengaruh besar
dalam penataan kebijakan politik dan ideologi di masa-masa awal Orde Baru.
Mayjen TNI (Purn) Ali Moertopo yang pernah menjadi asisten khusus Presiden
Soeharto merumuskan Pancasila sebagai "Ideologi Negara Kesatuan Republik
Indonesia". Tentang Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, Ali Moertopo
merumuskan, bahwa diantara makna sila pertama Pancasila adalah hak untuk
pindah agama. "Bagi para warganegara hak untuk memilih, memeluk atau pindah
agama adalah hak yang paling asasi, dan hak ini tidak diberikan oleh negara,
maka dari itu negara RI tidak mewajibkan atau memaksakan atau melarang siapa
saja untuk memilih, memeluk atau pindah agama apa saja."

Tokoh Katolik di era Orde Lama dan Orde Baru, Pater Beek S.J., juga
merumuskan makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep yang netral
agama, dan tidak condong pada satu agama. Ia menggariskan tentang masalah
ini:

"Barang siapa beranggapan Sila Ketuhanan ini juga meliputi anggapan bahwa
Tuhan itu tidak ada, atheisme (materialisme); atau bahwa Tuhan berjumlah
banyak (politeisme), maka ia tidak lagi berdiri di atas Pancasila. Pun pula
jika orang beranggapan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya tepat bagi
kepercayaan Islam atau Yahudi saja, misalnya, maka orang semacam itu pada
hakikatnya juga tidak lagi berdiri di atas Pancasila." (J.B. Soedarmanta,
Pater Beek S.J., *Larut tetapi Tidak Hanyut*).

Tetapi, sebagian kalangan ada juga yang memahami, bahwa sila Ketuhanan Yang
Maha Esa juga menjamin orang untuk tidak beragama. Drs. R.M. S.S. Mardanus
S.Hn., dalam bukunya, *"Pendidikan—Pembinaan Djiwa Pantja Sila", *(1968),
menulis: *"Begitu pula kita harus mengetahui, bahwa orang yang ber-Tuhan
tidak sekaligus harus menganut suatu agama. Bisa saja orang itu ber-Tuhan,
yaitu percaya dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tetapi tidak memeluk suatu
agama, karena ia merasa tidak cocok dengan ajaran-ajaran dan dogma-dogma
agama tertentu. Orang yang ber-Tuhan tetapi tidak beragama bukanlah seorang
ateis. Pengertian ini sebaiknya jangan dikaburkan."*

Pastor J.O.H. Padmaseputra, dalam bukunya,* "Ketuhanan di
Indonesia"*(Semarang, 1968), menulis: "Apakah orang yang tidak
beragama harus dipandang
ateis? Tidak. Karena amat mungkin dan memang ada orang tidak sedikit yang
percaya akan Tuhan, tetapi tidak menganut agama yang tertentu." (Dikutip
dari buku Pantjasila dan Agama Konfusius karya RimbaDjohar, (Semarang:
Indonezia Esperanto-Instituto, MCMLXIX), hal. 34-35).

Padahal, jika dicermati dengan jujur, rumusan sila Ketuhanan Yang Maha Esa
ada kaitannya dengan pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta: Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Bung
Hatta yang aktif melobi tokoh-tokoh Islam agar rela menerima pencoretan
tujuh kata itu, menjelaskan, bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah, tidak
lain kecuali Allah. Sebagai saksi sejarah, Prof. Kasman Singodimedjo,
menegaskan: "Dan segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik
tafsiran menurut historisnya maupun menurut artinya dan pengertiannya sesuai
betul dengan tafsiran yang diberikan oleh Islam." (Lihat, *Hidup Itu
Berjuang, *Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal.
123-125.)

Lebih jelas lagi adalah keterangan Ki Bagus Hadikusuma, ketua Muhammadiyah,
yang akhirnya bersedia menerima penghapusan "tujuh kata" setelah diyakinkan
bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid. Dan itu juga dibenarkan
oleh Teuku Mohammad Hasan, anggota PPKI yang diminta jasanya oleh Hatta
untuk melunakkan hati Ki Bagus. (Siswanto Masruri, *Ki Bagus
Hadikusuma, *(Yogyakarta:
Pilar Media, 2005).

Sebenarnya, sebagaimana dituturkan Kasman Singodimedjo, Ki Bagus sangat alot
dalam mempertahankan rumusan "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Sebab, rumusan itu dihasilkan dengan
susah payah. Dalam sidang-sidang BPUPK, Ki Bagus dan sejumlah tokoh Islam
lainnya juga masih menyimpan ketidakpuasan terhadap rumusan itu. Ia,
misalnya, setuju agar kata "bagi pemeluk-pemeluknya" dihapuskan. Tapi,
karena dalam sidang PPKI tersebut, sampai dua kali dilakukan lobi, dan
Soekarno juga menjanjikan, bahwa semua itu masih bersifat sementara. Di
dalam sidang MPR berikutnya, umat Islam bisa memperjuangkan kembali masuknya
tujuh kata tersebut. Di samping itu, Ki Bagus juga mau menerima rumusan
tersebut, dengan catatan, kata Ketuhanan ditambahkan dengan Yang Maha Esa,
bukan sekedar "Ketuhanan", sebagaimana diusulkan Soekarno pada pidato
tanggal 1 Juni 1945 di BPUPK. Pengertian inilah yang sebenarnya lebih masuk
akal dibandingkan dengan pengertian yang diajukan berbagai kalangan. (Ibid).

Dalam bukunya, "*Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi
Terpimpin" (*1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Prof. Dr. Ahmad
Syafii Maarif juga mencatat, bahwa pada 18 Agustus 1945, Soekarno sebenarnya
sangat kewalahan menghadapi Ki Bagus. Akhirnya melalui Hatta yang
menggunakan jasa Teuku Mohammad Hasan, Ki Bagus dapat dilunakkan sikapnya,
dan setuju mengganti "tujuh kata" dengan "Yang Maha Esa". Syafii Maarif
selanjutnya menulis: "Dengan fakta ini, tidak diragukan lagi bahwa atribut
Yang Maha Esa bagi sila Ketuhanan adalah sebagai ganti dari tujuh kata atau
delapan perkataan yang dicoret, disamping juga melambangkan ajaran tauhid
(monoteisme), pusat seluruh sistem kepercayaan dalam Islam." Namun tidak
berarti bahwa pemeluk agama lain tidak punya kebebasan dalam menafsirkan
sila pertama menurut agama mereka masing-masing. (hal. 31).

Tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa identik dengan Tauhid, juga ditegaskan
oleh tokoh NU KH Achmad Siddiq. Dalam satu makalahnya yang berjudul *"Hubungan
Agama dan Pancasila" *yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan
Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985, Rais
Aam NU, KH Achmad Siddiq, menyatakan:

"Kata "Yang Maha Esa" pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan
imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula.
Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata "Yang Maha Esa"
merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan "Ketuhanan Yang
Maha Esa" itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut
akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat
menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa." (Dikutip dari buku Kajian
Agama dan Masyarakat, 15 Tahun Badan Penelitian dan Pengembangan Agama
1975-1990, disunting oleh Sudjangi (Jakarta: Balitbang Departemen Agama,
1991-1992).

Jika para tokoh Islam di Indonesia memahami makna sila pertama dengan
Tauhid, tentu ada baiknya para politisi Muslim seperti Aburizal Bakrie dan
sebagainya berani menegaskan, bahwa tafsir Ketuhanan Yang Maha Esa yang
tepat adalah bermakna Tauhid. Itu artinya, di Indonesia, *haram
hukumnya *disebarkan
paham-paham yang bertentangan dengan nilai-nilai Tauhid. Tauhid maknanya,
men-SATU-kan Allah. Yang SATU itu harus Allah, nama dan sifat-sifat-Nya.
Allah dalam makna yang dijelaskan dalam konsepsi Islam, yakni Allah yang
satu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan; bukan Allah seperti dalam
konsep kaum Musyrik Arab, atau dalam konsep lainnya.

Kata "Allah" juga muncul di alinea ketiga Pembukaan UUD 1945: "Atas berkat
rahmat Allah….". Sulit dibayangkan, bahwa konsepsi Allah di situ bukan
konsep Allah seperti yang dijelaskan dalam al-Quran. Karena itu, tidak salah
sama sekali jika para cendekiawan dan politisi Muslim berani menyatakan,
bahwa sila pertama Pancasila bermakna Tauhid sebagaimana dalam konsepsi
Islam. Rumusan dan penafsiran sila pertama Pancasila jelas tidak bisa
dipisahkan dari konteks sejarah munculnya rumusan tersebut.

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa
Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983 memutuskan sebuah "Deklarasi
tentang Hubungan Pancasila dengan Islam", yang antara lain menegaskan: (1)
Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah
agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk
menggantikan kedudukan agama. (2) Sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai
dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar
(UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut
pengertian keimanan dalam Islam. (3) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah
akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan
hubungan antarmanusia. (4) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan
perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat
agamanya. (5) Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban
mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang
murni dan konsekuen oleh semua pihak. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa
Bisri berjudul "Pancasila Kembali" untuk buku As'ad Said Ali, Negara
Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009).

Kaum Muslim perlu mencermati kemungkinan adanya upaya sebagian kalangan
untuk menjadikan Pancasila sebagai alat penindas hak konsotistusional umat
Islam, sehingga setiap upaya penerapan ajaran Islam di bumi Indonesia
dianggap sebagai usaha untuk menghancurkan NKRI. Dalam ceramahnya saat
Peringatan Nuzulul Quran, Mei 1954, Natsir sudah mengingatkan agar tidak
terburu-buru memberikan vonis kepada umat Islam, seolah-olah umat Islam
akan menghapuskan Pancasila. Atau seolah-olah umat Islam tidak setia pada
Proklamasi. "Yang demikian itu sudah berada dalam lapangan agitasi yang sama
sekali tidak beralasan logika dan kejujuran lagi," kata Natsir. Lebih jauh
Natsir menyampaikan, "Setia kepada Proklamasi itu bukan berarti bahwa harus
menindas dan menahan perkembangan dan terciptanya cita-cita dan kaidah Islam
dalam kehidupan bangsa dan negara kita"

Natsir juga meminta agar Pancasila dalam perjalannya tidak diisi dengan
ajaran-ajaran yang menentang al-Quran, wahyu Ilahi yang semenjak
berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar bangsa
Indonesia. (M. Natsir, Capita Selecta 2).

Contoh penyimpangan penafsiran Pancasila pernah dilakukan dengan proyek
indoktrinasi melalui Program P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila). Pancasila bukan hanya dijadikan sebagai dasar Negara. Tetapi,
lebih dari itu, Pancasila dijadikan landasan moral yang seharusnya menjadi
wilayah agama. Penempatan Pancasila semacam ini sudah berlebihan. Di
Majalah Panji Masyarakat edisi 328/1981, mantan anggota DPR dari PPP,
Ridwan Saidi pernah menulis kolom berjudul "Gejala Perongrongan Agama".
Sejarawan dan budayawan Betawi ini mengupas dengan tajam pemikiran Prof.
Dardji Darmodiharjo, salah satu konseptor P-4.

"Saya memandang sosok tubuhnya pertama kali adalah pada kwartal terakhir
tahun 1977 pada Sidang Paripurna Badan Pekerja MPR, waktu itu Prof. Dardji
menyampaikan pidato pemandangan umumnya mewakili Fraksi Utusan Daerah.
Pidatonya menguraikan tentang falsafah Pancasila. Sudah barang tentu
uraiannya itu bertitik tolak dari pandangan diri pribadinya belaka. Dan
sempat pula pada kesempatan itu Prof. Dardji menyampaikan kejengkelannya
ketika katanya pada suatu kesempatan dia selesai ceramah tentang sikap hidup
Pancasila, seorang hadirin bertanya padanya bagaimana cara gosok gigi
Pancasila."

Kuatnya pengaruh *Islamic worldview *dalam penyusunan Pembukaan UUD 1945 –
termasuk Pancasila – terlihat jelas dalam sila kedua: Kemanusiaan yang adil
dan beradab. Manusia Indonesia harus bersikap adil dan beradab. Adil dan
adab merupakan dua kosa kata pokok dalam Islam yang memiliki makna penting.
Salah satu makna adab adalah pengakuan terhadap Allah sebagai satu-satunya
Tuhan dan Muhammad saw sebagai Nabi, utusan Allah. Menserikatkan Allah
dengan makhluk – dalam pandangan Muslim – bukanlah tindakan yang beradab.

*Meletakkan manusia biasa lebih tinggi kedudukannya dibandingkan utusan
Allah SWT tentu juga tidak beradab. Menempatkan pezina dan penjahat lebih
tinggi kedudukannya dibandingkan dengan orang yang bertaqwa, jelas sangat
tidak beradab. *

Jadi, jika Golkar atau siapa pun bersungguh-sungguh menegakkan Pancasila di
Indonesia, siapkah Golkar menegakkan Tauhid dan adab di bumi
Indonesia? *Wallahu
a'lam bil-sahawab.**

Paparan lebih lengkap tentang Pancasila bisa dilihat dalam buku: Adian
Husaini, *"Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat
Islam"*(Jakarta: GIP, 2010).

*Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini bekerjasama dengan Radio Dakta 107
FM *

Red: Cholis Akbar

http://hidayatullah.com/read/17026/16/05/2011/%E2%80%9Cmenjernihkan-tafsir-pancasila%E2%80%9D.html


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: