Kamis, 26 Mei 2011

[daarut-tauhiid] Kebohongan Wartawan Jawa Pos Meliput Teroris

Kebohongan Wartawan Jawa Pos Meliput Teroris

*Jakarta (voa-islam) - *Pada edisi 3 Oktober 2005, dua hari setelah tiga
rangkaian bom meluluhlantahkan sejumlah restoran di Jimbaran dan Kuta,
Bali, Harian Jawa Pos mempublikasikan sebuah artikel berjudul: "Kasihan,
Warga Tak Berdosa Jadi Korban". Artikel itu dibuat berdasarkan wawancaran
koran itu dengan Nur Aini, istri dari buron tersangka diduga teroris, Dr.
Azahari.

Hal itu terungkap dalam diskusi dan bedah buku "Panduan Jurnalis Meliput
Terorisme" yang diterbitkan oleh Tim AJI (Aliansi Jurnalis Independen)
Jakarta.

Wawancara itu dilakukan via telepon melalui telepon oleh jurnalis Jawa Pos
Rizal Husen, mengingat Nur Aini ada di Johor, Malaysia. Koran itu juga
menambahi keterangan dengan wawancaranya itu merupakan wawancara secara
eksklusif.

Satu bulan kemudian, Jawa Pos kembali mempublikasikan wawancaranya dengan
Nur Aini. Artikel itu dimuat pada 10 November 2005, beberapa hari setelah
Azahari dilaporkan tewas dalam operasi penyergapan polisi di Villa
Flamboyan, Batu, Jawa Timur. Judul artikelnya "Istri Doakan Azahatri Mati
Syahid", juga diklaimnya dari hasil wawancara wartawan yang sama (Rizal
Husen) dengan istri Azahari. Suara perempuan Malaysia itu juga digambarkan
sesekali seperti terisak menahan tangis. Koran itu juga menggambarkan dialek
Nur Aini kental dengan logat Melayu.

Ada sebuah fakta penting yang mempertanyakan wawancara Rizal Husein, sang
wartawan Jawa Pos yang katanya pernah mewawancarai narasumbernya. Ternyata
faktanya, Nur Aini sama sekali tidak bisa bicara. Sejak beberapa tahun
sebelumnya, perempuan itu menderita penyakit kanker *thyroid, *yang membuat
pita suara di tenggorokannya terganggu. Kebohongan telah terungkap dari
seorang jurnalis Jawa Pos yang membuat berita bohong, fiktif dan rekayasa.

Kebohongan Rizal makin terang benderang, ketika beberapa saat kemudian,
stasiun televisi Trans TV menayangkan wawancara langsung dengan Nur Aini.
Dalam tayangan Trans TV itu, Nur hanya bisa berkomunukasi lewat tulisan
tangan.

Kebohongan Rizal terungkap, ketika tidak adanya catatan data percakapan
telepon dari nomor telepon yang digunakan sang wartawan tersebut dipangkalan
data (database) Telkom. Meningat ia mengaku mewawancarai Nuraini via
telepon.

Dewan Redaksi Jawa Pos pun langsung mengkonfirmasi Rizal. Benar saja, Rizal
sama sekali tidak menghubungi perempuan itu. Alhasil, Rizal pun dipecat, dan
tak termaafkan.Kepada Dewan Redaksi Jawa Pos, Rizal Husein mengaku tidak
punya itikad jahat. Dia hanya ingin Jawa Pos menjadi media terdepan dalam
liputan terorisme.

Dewan Redaksi Jawa Pos pun langsung mengkonfirmasi Rizal. Benar saja, Rizal
sama sekali tidak menghubungi perempuan itu. Alhasil, Rizal pun dipecat, dan
tak termaafkan.Kepada Dewan Redaksi Jawa Pos, Rizal Husein mengaku tidak
punya itikad jahat. Dia hanya ingin Jawa Pos menjadi media terdepan dalam
liputan terorisme.

Ternyata bukan hanya wartawan Jawa Pos yang pernah membuat berita bohong.
Seorang jurnalis *The Washington Post*, Janet Leslie Cooke, pernah membuat
feature dramatis tentang seorang anak kecil berkulit hitam berumur 8 tahun
yang menjadi pecandu berat narkotika. Anak itu tinggal bersama ibu dan ayah
tirinya yang pengedar narkoba. Ayahnya, bahkan ikut menyuntikan narkotik
kepada anaknya jika sedang kecanduan.

Berkat tulisannya itu, Janet kemudian mendapat hadiah jurnalistik tertinggi
di Amerika Serikat, Pulitzer. Namun belakangan, Janet tak bisa menunjukkan
keberadaan si anak malang dalam beritanya. Ketika tersingkap cerita
mengharukan anak itu ternyata hanya isapan jempol belaka alias fiktif.
Jurnalis pembohong itu tanpa ampun dipecat dari *The Washington Pos, *tempatnya
bekerja.

*Jurnalis dan Program Deradikalisasi*

Yang menjadi kemuakan jurnalis Islam di lapangan adalah kenapa setiap kali
diadakan diskusi, seminar, workshop dan berbagai forum lainnya, selalu
menampilkan narasumber yang tidak berimbang. Narasumbernya tak jauh dari
Ansyad Mbai (Kepala BNPT), Hendropriyono (mantan BIN), Nasir Abas (mantan
JI) pengamat asing seperti Sydney Jones (ICG) dan pengamat intelijen lokal
lainnya yang pro polisi.

Ketika itulah, jurnalis menjadi bagian dari peserta yang mengikuti program
deradikalisasi ala BNPT yang sarat dengan brandwashing (cuci otak).
Akibatnya, jurnalis terjebak dengan narasumber yang punya banyak motif
kepentingan.

Sementara itu, pembaca tak suka dengan keseragaman. Mereka memerlukan bacaan
alternatif dengan analisis yang berbeda dan mencerahkan. Begitu juga saat
wartawan dipaksa untuk hanya memiliki satu akses saja di kepolisian. Begitu
ada kasus pengeboman atau terbunuhnya seseorang, maka wartawan merasa sudah
cukup nongkrong di Mabes atu Polda untuk mendengar keterangan dari Humas
Polri.

Wartawan itu, bisa karena malas, lelah, jenuh, atau enggan untuk melakukan
verifikasi tentang korban tersebut, apakah benar sebagai pelaku atau cuma
fiktif atau rekayasa polisi saja. Di zaman Munir, Kontras adalah lembaga
yang menjadi penyeimbang dari informasi yang disampaikan penguasa. Tapi,
kini Kontras tak segarang Munir memimpin dulu. Boleh jadi karena ada
tekanan-tekanan dari pihak aparat.

Dalam liputan terorisme, banyak jurnalis tergelincir menjadi corong salah
satu pihak. Ada juga yang terjebak sensasi. Ada banyak motif dibalik
kesilapan itu. Sebagian terjadi murni sebagai kelalaian. Namun ada juga yang
didorong nafsu jurnalis untuk menghasilkan liputan terbaik, tercepat maupun
terbaru.

Terkadang, dorongan untuk menghasilkan liputan eksklusif membuat jurnalis
gelap mata dan mengabaikan etika jurnalistik. Apalagi, jika dorongan
mengejar eksklusivitas itu didasari oleh manajemen keredaksian yang selalu
menanamkan kompetisi dengan media-media pesaing di lapangan. Akibatnya
menjadi sikut-sikutan untuk menjadi yang pertama mengabarkan. Faktor lain,
juga disebabkan, kelelahan atau kejenuhan sang jurnalis di lapangan sehingga
mengabaikan kode etik jurnalistik saat bertugas di lapangan.

Menurut AJI (Aliansi Jurnalis Independen), ada sembilan dosa jurnalis dalam
meliput kasus terorisme, yakni: mengandalkan satu narasumber resmi, lalai
melakukan verifikasi, malas menggali informasi di lapangan, lalai memahami
konteks, terlalu mendramatisasi peristiwa, tidak berempati pada narasumber,
menonjolkan kekerasan, tidak memperhatikan keamanan dan keselamatan diri,
dan menyiarkan berita bohong.

Seringkali terjadi, jurnalis memperlakukan narasumber seperti tertuduh dan
tersangka. Disadari atau tidak, wartawan yang bersangkutan kerap memojokkan
narasumer dihadapan audiens. *Desastian*

http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/05/24/14908/kebohongan-wartawan-jawa-pos-meliput-teroris/


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: