Jumat, 29 Maret 2013

[daarut-tauhiid] Al-Ghazali dan Pendidikan Anti-Korupsi

 

Al-Ghazali dan Pendidikan Anti-Korupsi

Oleh: *Dr. Syamsuddin Arif

HAMPIR *setiap hari sejak beberapa bulan terakhir, kita dibombardir berita
korupsi dari kelas kakap hingga kelas teri. Dari tingkat pusat sampai level
kelurahan. Dari pegawai biasa hingga pejabat tinggi. Dari pengusaha hingga
politisi. Tak terkecuali jaksa, hakim, dan polisi, bahkan menteri.
Sepanjang tahun 2004 hingga 2012 saja, data dari Kemendagri mencatat, ada
2.976 anggota DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II terlibat tindakan
kriminal, dimana 33,2 persen atau 349 kasus adalah korupsi. Umumnya kasus
manipulasi anggaran atau mark-up biaya pengadaan barang, fasilitas dan
jasa. Juga pemungutan biaya ilegal atas layanan publik, pemberian suap
alias gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang atau jabatan untuk
kepentingan dan keuntungan pribadi maupun relasi.

Di satu sisi, berita-berita tersebut justru menimbulkan frustasi ketimbang
harapan. Kepercayaan masyarakat jadi makin surut pada institusi-institusi
di negeri ini. Alih-alih prihatin atau malu, publik maupun pelaku kini
sama-sama menjadikan korupsi sebagai bahan guyonan, karena kritik dan
sindiran setajam apapun tak lagi mempan. Seperti seloroh*Mbah *Kartolo di
TIM Jakarta: "Paling enak numpak motor, paling aman numpak sepur. Paling
aman dadi koruptor, nek konangan ya ndek Singapur". Maksudnya: paling
nyaman naik motor, paling aman naik kereta. Paling aman jadi koruptor,
kalau ketahuan kabur ke Singapur(a). Maka muncul di sisi lain tanda tanya
besar dalam benak kita: Apakah sebab ini semua dan adakah obatnya?

*Tiga Teori*

Secara umum, penjelasan para ahli mengenai korupsi dapat dikelompokkan
menjadi tiga.

*Pertama, *teori kesempitan yang mengatakan bahwa orang korupsi karena
gajinya kecil, pendapatannya rendah, hidupnya susah, kebutuhan banyak. Maka
solusinya, menurut teori ini, kesejahteraan perlu ditingkatkan dan gaji
dinaikkan. Namun masalahnya, jika teori kesempitan ini benar, mengapa
banyak pelaku korupsi itu ternyata orang-orang yang kehidupannya makmur?
Maka disodorkanlah dua tipe korupsi: yaitu korupsi karena kesempitan hidup (
*corruption out of need*) dan korupsi karena rakus (*corruption out of greed
*). Seperti hasil penelitian Vito Tanzi (1998, hlm. 572), kenaikan gaji dan
kecukupan tidak menjamin orang berhenti atau enggan korupsi.

*Teori kedua *boleh kita namakan teori kesempatan. Menurut teori ini, orang
korupsi karena adanya kesempatan, kendati awalnya mungkin tidak punya
keinginan atau rencana sama sekali. Namun teori ini pun bermasalah juga.
Apakah semua orang yang punya kesempatan pasti korupsi? Bukankah pada
kenyataannya tidak sedikit orang berkesempatan korupsi tetapi tidak
melakukannya? Teori yang berpijak pada asumsi keliru ini menganggap manusia
itu cenderung berbuat jahat. Maka dari itu semua pintu korupsi hendaklah
dikunci rapat-rapat. Jangan sekali-sekali memberi ruang atau peluang walau
sedikit atau sekecil apapun.

Namun lagi-lagi masalahnya seperti kata Iwan Fals (1986), "Otak tikus
memang bukan otak udang." Otak koruptor tidak sama dengan otak komputer.
Jika sudah niat korupsi, ada atau tidak ada kesempatan itu bukanlah
persoalan. Kesempatan bisa dicari, bahkan diciptakan. Dimana ada kemauan,
disitu ada jalan.

Adapun *yang ketiga *adalah teori kelemahan. Pendukung teori ini percaya
bahwa tindak korupsi merebak akibat lemahnya tata kelola pemerintahan (*poor
governance*), lemahnya sarana penegakan hukum (*weak legal infrastructure*),
dan lemahnya mekanisme pengawasan (*weak monitoring system*). Namun, teori
ini pada gilirannya terjebak dalam logika 'muter-muter' alias circular *
reasoning. *Bahwasanya korupsi disebabkan oleh pemerintahan yang lemah, dan
pemerintahan yang lemah disebabkan oleh korupsi. Pemerintahan mesti kuat
agar korupsi lenyap, dan korupsi baru lenyap bila pemerintahan kuat.
Jadilah pertanyaannya sekarang bagaimana memutus lingkaran setan ini.

*Perspektif Agama*

Karena korupsi adalah tindakan curang untuk mendapatkan uang ataupun
keuntungan dengan cara menyalahi, melangkahi, dan mengakali aturan hukum
dan undang-undang negara, maka termasuk tindak korupsi itu memberi dan
menerima suap (*bribery*), mencuri (*theft*) atau menggelapkan (*
embezzlement*), melakukan pemalsuan (*fraud*), pemerasan (extortion), dan
menyalahgunakan wewenang atau jabatan (*graft*). Semua praktek ini hukumnya
jelas haram. Agama melarang keras perbuatan korupsi segala bentuk:
*ghisysy*(menipu),
mencuri (*sariqah*), menggelapkan (*ghulul*), menyuap (*rasywah*), dan
menerima atau meminta suap (*irtisya'*).

*"Siapa bertindak curang [yakni korupsi] niscaya datang dengan
kecurangannya itu pada hari kiamat kelak",*firman Allah dalam al-Qur'an
(3:161).

Menurut Imam ar-Razi, curang di sini maksudnya mengambil hak [milik negara]
secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi (*at-Tafsir al-Kabir, *cetakan
Beirut 2005, jilid 3, juz. 9, hlm. 62).

Kanjeng Nabi Muhammad pun telah bersabda: *"Wahai manusia, siapapun yang
menjalankan tugas untuk kami, lalu dia menyembunyikan dari kami barang
sekecil jarum atau lebih, maka apa yang disembunyikannya itu adalah
kecurangan [yakni korupsi] yang kelak dibawanya pada hari kiamat"*,
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Ahmad.

Bahkan dalam hadits lain, *"Seutas tali sekalipun akan menjadi api neraka
atau dua utas talipun akan menjadi api neraka [seandainya tidak
dikembalikan]." (*HR: Imām al-Bukhārī).

Kalau secara normatif agama begitu gamblang hukumnya, lantas mengapa
faktanya kejahatan korupsi begitu sukar untuk dihentikan? Apabila kita
cermati secara mendalam, niscaya jelas bahwa korupsi itu nyaris tidak ada
hubungannya dengan status agama pelakunya.

Tindakan korupsi lebih erat kaitannya dengan soal mentalitas daripada
identitas agama. Sebagaimana halnya kebersihan, kedisiplinan dan
kerja-keras lebih banyak ditentukan oleh sikap dan watak individu ketimbang
afiliasi ideologinya.

Nabi mengatakan, "Manusia itu ibarat logam. Kalau aslinya emas, maka apapun
bentuknya –cincin, kalung, ataupun gelang– tetap emas." Jika seseorang itu
dasarnya baik, rajin dan jujur, maka dia akan menjadi Muslim, Kristen,
Yahudi, Hindu, Buddha yang baik, rajin dan jujur. Sebaliknya jika wataknya
buruk, licik, dan pemalas, maka apapun agamanya akan tetap jahat dan buruk
perangainya.

Memang betul, manusia bukanlah logam. Manusia lahir asalnya bersih, *kullu
mawlūdin yūladu 'alal fitrah,*kata Kanjeng Nabi. Tidak ada bayi baru lahir
langsung jadi koruptor. Kejahatan dan sifat-sifat tercela seperti halnya
akhlak terpuji diperoleh dari lingkungan sosial dan intelektualnya. Jadi
tak salah kalau disimpulkan bahwa korupsi itu hasil pembelajaran,
pergaulan, dan pendidikan.

Di sinilah langkah kongkrit pemerintah (Kemendiknas) bersama KPK
memperkenalkan mata pelajaran dan mata kuliah anti-korupsi di
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi patut dipuji dan didukung sepenuh hati.

Betapa besar pengaruh pendidikan terhadap korupsi telah lama disinyalir
oleh Ibn Khaldun, pakar sosiologi dan sejarawan Muslim klasik. Masyarakat
yang sekian lama mengalami penindasan dan kekerasan biasanya akan menjadi
bangsa yang korup. Kezaliman dan penindasan menyempitkan jiwa, menguras
semangat, dan akhirnya membuat mereka jadi bangsa pemalas, pembohong dan
licik. Meski berlawanan dengan hati nurani, hal itu dilakukan jua demi
menghindari penindasan yang lebih berat dari penguasa. Lama-kelamaan,
berbuat jahat dan menipu melekat jadi kebiasaan dan karakter mereka (*Students,
slaves, and servants who are brought up with injustice and tyranny are
overcome by it. It makes them feel oppressed and causes them to lose their
energy. It makes them lazy and induces them to lie and behave viciously.
They contradict their conscience for fear of suffering further oppression.
Thus they learn deceit and trickery).*Demikian tulisnya dalam kitab '*
al-Muqaddimah' *yang diterjemahkan oleh Franz Rosenthal (1967).

Namun, disamping langkah-langkah legal, politis dan edukatif, pencegahan
korupsi juga perlu menggunakan pendekatan spiritual agama. Kalau Anda
puasa, jangankan yang haram, sedang yang halal pun tidak Anda makan.
Sementara yang tidak puasa punya pilihan memakan yang halal saja, yang *
syubhat*(belum tentu halal dan boleh jadi haram), atau bahkan yang haram.

Pada akhirnya semua ini kembali pada sikap. Menurut Imam al-Ghazālī, paling
utama sikap orang sholeh dan *wara' *yang menjauhi semua kategori karena *
zuhud. *Yang pertengahan itu sikap orang bertaqwa yang menghindari *syubhat
*dan menolak yang haram. Yang paling rendah adalah sikap tidak peduli halal
haram dan sebagainya. Inilah resep Imam al-Ghazali untuk pendidikan
anti-korupsi.*

*Peneliti INSISTS dan Dosen ISID Gontor
*
*
*
*sumber:*
*
http://www.hidayatullah.com/read/27868/26/03/2013/al-ghazali-dan-pendidikan-anti-korupsi.html
*

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: