Selasa, 19 Maret 2013

[sekolah-kehidupan] Digest Number 3699

2 New Messages

Digest #3699
1a
1b

Messages

Mon Mar 18, 2013 5:57 pm (PDT) . Posted by:

"Yons Achmad" freelance_corp

Forum Pemimpin Redaksi, Dibeli Penguasa?
Ditulis tanggal : 19 - 03 - 2013 | 07:53:37

Sore itu, 18 Juli 2012 di Hotel Atlet Century Forum Pemimpin Redaksi
dideklarasikan. Sekira 55 pemimpin redaksi media baik cetak, online maupun
elektronik bersepakat membangun kelompok kepentingan tersebut. Tujuannya
cukup mulia, mempersatukan seluruh pemimpin redaksi media untuk memajukan
dunia pers di Indonesia. Didaulat sebagai Ketua, Wahyu Muryadi dari Majalah
Tempo.

Dari tujuan umum itu, setidaknya ada beberapa tujuan yang lebih riil yang
diinginkan dengan pembentukan forum tersebut. Diantaranya misalnya untuk
mengakomodir semua kebutuhan yang diperlukan anggotanya yang berstatus
sebagai pemimpin redaksi. Bila ada pemimpin redaksi yang independensinya
terancam, maka forum tersebut akan membantu proses penyelesaiannya. Begitu
juga ketika ada reporter yang mengadukan atas perlakuan pemimpin redaksi
yang otoriter, forum tersebut juga akan menjembatani penyelesaiannya.

Dalam waktu dekat ini (Juni-Juli 2013) akan ada puncak pertemuan pemimpin
redaksi di Nusa Dua Bali. Setidaknya, akan ada beberapa hal yang dibahas.
Dalam pertemuan puncak itu katanya akan dibicarakan soal independensi
pemimpin redaksi, menyoal kepemilikan, anti kriminalisasi terhadap pers,
freedom of the press. Juga, tak kalah penting, akan dibahas bagaimana
perlawanan para pemimpin redaksi dalam soal konglomerasi media. Melihat
wacana yang muncul di atas, kita bisa melihat bagaimana semangat dan
cita-cita mulia para pemimpin redaksi itu.

Tapi, terlepas dari semua itu, publik juga bebas mengajukan pertanyaan,
apakah semangat dan cita-cita itu bakal benar-benar terlaksana, kemana
arahnya? apa manfaat forum itu bagi publik, bagaimana relasi forum itu
dengan pihak yang selama ini berkuasa? Pertanyaan-pertanyaan ini saya kira
cukup menggelitik untuk dicari tahu apa jawabannya. Atau, tak ada salahnya
publik menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan itu.

*Pertama, arah forum pemimpin redaksi media.* Kalau boleh berpikir positif,
bahwa tujuan pembentukan forum itu demi memajukan dunia pers di tanah air,
tentu yang demikian perlu kita sambut dengan apresiasi dan angkat topi.
Layaknya sebuah forum, tentu ide dasarnya adalah mencukupi kebutuhan
bersama dari masing-masing anggotanya. Yang demikian sah-sah saja. Tapi,
tentu saja tidak bisa berdiri sendiri, artinya forum ini pasti terkait
dengan publik. Forum pemimpin redaksi bebas menentukan kemana arah
geraknya. Tapi, bagaimanapun juga publik juga berhak mengajukan kritik
ketika arahnya menuju ke jalan yang salah.

*Kedua, apa manfaatnya bagi publik.* Sejauh ini, saya kira publik belum
mendapatkan manfaat apapun dari forum media tersebut. Dan memang, publik
rasa-rasanya memang tak begitu ambil pusing dengan pembentukan forum
tersebut, toh pembentukan sejauh ini masih berurusan dengan mengakomodir
kepentingan para anggotanya. Cita-cita memajukan dunia pers yang seperti
apa, kita (publik) belum mendapatkan jawabannya.

*Ketiga, bagaimana relasinya dengan penguasa (kekuasaan).* Nah, ini yang
sebenarnya paling mengusik pemikiran saya. Apakah forum tersebut ada
relasinya dengan penguasa? Saya kira jelas arahnya. Forum pemimpin redaksi
media boleh-boleh saja mengklaim dan mengatakan bahwa forum tersebut
independen dalam soal sikap, begitu juga independen dalam soal finansial
(Misalnya dana organisasi didapatkan dari iuran anggota sebesar Rp 12
juga/tahun). Tapi saya kira, tentu ada kepentingan politik di dalamnya.
Termasuk kemungkinan bagaimana penguasa melakukaan hegemoni bahkan kooptasi
terhadap kumpulan para pemimpin redaksi media ini.

Pikiran sempitnya begini, ketika SBY mau mengundang tokoh dan pemimpin
media, tak perlu satu persatu diundang. Cukup kontak Wahyu Muryadi (Ketua),
maka semua urusan beres. Dan bisa kongkow-kongkow di istana. Tak hanya itu,
forum-forum pertemuan antara pimpinan media dan penguasa (Presiden) saya
kira juga semacam membangun kedekatan. Semua berujung pada siapa
memanfaatkan siapa. Dan relasi demikian saya kira sangat berbahaya.

Relasi demikian bisa kita baca dengan meminjam pisau analisis dari Lous
Althuser seorang filsuf Prancis. Althuser pernah mengajukan konsep
Repressive State Aparatus (RSA) dan Ideological State Aparatus (ISA). Yang
pertama adalah konsep dimana pemerintah melakukan kekerasan dan hegemoni
melalui aparat-aparatnya dengan perantara polisi, intel, pengadilan,
militer, penjara dsb. Sementara yang kedua adalah dengan melakukan
pendekatan-pendekatan yang lebih "lunak' Salah satunya adalah dengan
melakukan pendekatan dengan media (awak media).

Nah, pada titik inilah dapat kita baca bagaimana saya kira, di satu sisi
Forum Pemimpin Redaksi bermain dengan kepentingannya, disisi lain kekuasaan
juga memainkan peran politiknya. Hasilnya apa? Yang paling bisa dilihat
adalah bagaimana kedekatan para pemimpin redaksi dengan penguasa menjadikan
mereka tidak kritis terhadap penguasa dan bahkan cenderung memberitakan
kabar baik dari sang penguasa. Apakah ini hanya hanya sebatas opini, atau
dugaan berlebihan yang tidak berdasar? Coba kita lihat faktanya.

Detik.com (Senin, 04/02/2013 21:33 WIB ) menurunkan berita berjudul
"Laporan dari Jeddah SBY: Saya & Keluarga Laporkan Pajak Sesuai Ketentuan,
Tak Ada Penyimpangan"*. **Sebuah tulisan tak biasa, tulisan panjang yang
ditulis oleh petinggi (Pimred) media itu.** Biasanya tulisan Detik.com
pendek-pendek saja.** *Penulisnya Arifin Ashydad. Tulisan yang isinya
adalah semacam "Press Release" untuk melakukan klarifikasi atas dugaan
skandal pajak keluarga istana yang ditulis The Jakarta Post sebelumnya.
Tulisan aneh yang juga tak biasa, ya, forum komentar yang biasanya ada di
Detikcom juga dimatikan alias tidak bisa dikomentari. Saat saya menanyakan
perihal siapa penulis berita itu pada seorang teman wartawan, dijawab
"Petinggi media dia, lagi umroh sama SBY tuh". Melihat fakta demikian saya
maklum.

Lain lagi di Republika, Sabtu 16 Maret 2013 menurunkan berita tentang
pertemuan pemimpin redaksi dan SBY dengan judul "Nasi Goreng dan Rujak
Cingur untuk Para Pemimpin Redaksi . Berisi cerita tentang bagaimana nasi
goreng suguhannya yang sederhana. Ditulis oleh Nasihin Masha (Pimred
Republika) *"Saya ini lahir dari keluarga miskin. Jadi bumbu nasi gorengnya
sederhana," kata Susilo Bambang Yudhoyono.** Artikel itu bercerita
bagaimana *nasi goreng itu hanya berbumbu bawang merah dan bawang putih.
Sekitar 75 persen nasi biasa dan 25 persen lagi tiwul. "Rasanya krispi,"
katanya. Asal diracik dengan komposisi yang pas, ia menjanjikan nasi goreng
buatannya akan enak. Tiwul adalah singkong yang dipotong tipis dan
kecil-kecil. Setelah dijemur sampai kering baru dimasak
Tak hanya itu, ia juga berjanji akan membuatkan rujak cingur. Kuliner
jajanan khas Jawa Timur. Maklum SBY berasal dari Pacitan. Sekali lagi ia
menjelaskan macam-macam bumbunya. "Ada tujuh macam," katanya sambil
menghitung dengan menggerakkan jarinya dan menyebut jenis bumbunya. Terasi,
petis, gula, garam, asam, pisang batu, dan kacang tanah. Berita yang
ditulis itu juga bercerita bagaimana SBY mengaku setiap hari menerima 200
SMS dan harus ia jawab sendiri. Ia juga menerima tamu hingga pukul 01.30
dinihari.

Sebagai publik, tentu saya khawatir dengan cara para pemimpin redaksi itu
memuji-muji dan bersikap tidak kritis kepada penguasa. Tidak menulis
dengan lantang bagaimana kebobrokan pemerintahan SBY. Saya tak tahu, kenapa
yang demikian tidak dilakukan. Barangkali memang benar bahwa dalam kasus
ini, justru SBY telah berhasil memainkan apa yang dinamakan dengan
"Ideological State Aparatus (ISA) itu. Bagaimana SBY memainkan "rangkulan
politik" agar media "Tidak macam-macam". Kalau ini sudah terjadi, maka
rakyat tentu akan memilih jalannya sendiri. (Yons Achmad/Penikmat Media).

Mon Mar 18, 2013 5:59 pm (PDT) . Posted by:

"Yons Achmad" freelance_corp

Forum Pemimpin Redaksi, Dibeli Penguasa?
Ditulis tanggal : 19 - 03 - 2013 | 07:53:37

Sore itu, 18 Juli 2012 di Hotel Atlet Century Forum Pemimpin Redaksi
dideklarasikan. Sekira 55 pemimpin redaksi media baik cetak, online maupun
elektronik bersepakat membangun kelompok kepentingan tersebut. Tujuannya
cukup mulia, mempersatukan seluruh pemimpin redaksi media untuk memajukan
dunia pers di Indonesia. Didaulat sebagai Ketua, Wahyu Muryadi dari Majalah
Tempo.

Dari tujuan umum itu, setidaknya ada beberapa tujuan yang lebih riil yang
diinginkan dengan pembentukan forum tersebut. Diantaranya misalnya untuk
mengakomodir semua kebutuhan yang diperlukan anggotanya yang berstatus
sebagai pemimpin redaksi. Bila ada pemimpin redaksi yang independensinya
terancam, maka forum tersebut akan membantu proses penyelesaiannya. Begitu
juga ketika ada reporter yang mengadukan atas perlakuan pemimpin redaksi
yang otoriter, forum tersebut juga akan menjembatani penyelesaiannya.

Dalam waktu dekat ini (Juni-Juli 2013) akan ada puncak pertemuan pemimpin
redaksi di Nusa Dua Bali. Setidaknya, akan ada beberapa hal yang dibahas.
Dalam pertemuan puncak itu katanya akan dibicarakan soal independensi
pemimpin redaksi, menyoal kepemilikan, anti kriminalisasi terhadap pers,
freedom of the press. Juga, tak kalah penting, akan dibahas bagaimana
perlawanan para pemimpin redaksi dalam soal konglomerasi media. Melihat
wacana yang muncul di atas, kita bisa melihat bagaimana semangat dan
cita-cita mulia para pemimpin redaksi itu.

Tapi, terlepas dari semua itu, publik juga bebas mengajukan pertanyaan,
apakah semangat dan cita-cita itu bakal benar-benar terlaksana, kemana
arahnya? apa manfaat forum itu bagi publik, bagaimana relasi forum itu
dengan pihak yang selama ini berkuasa? Pertanyaan-pertanyaan ini saya kira
cukup menggelitik untuk dicari tahu apa jawabannya. Atau, tak ada salahnya
publik menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan itu.

*Pertama, arah forum pemimpin redaksi media.* Kalau boleh berpikir positif,
bahwa tujuan pembentukan forum itu demi memajukan dunia pers di tanah air,
tentu yang demikian perlu kita sambut dengan apresiasi dan angkat topi.
Layaknya sebuah forum, tentu ide dasarnya adalah mencukupi kebutuhan
bersama dari masing-masing anggotanya. Yang demikian sah-sah saja. Tapi,
tentu saja tidak bisa berdiri sendiri, artinya forum ini pasti terkait
dengan publik. Forum pemimpin redaksi bebas menentukan kemana arah
geraknya. Tapi, bagaimanapun juga publik juga berhak mengajukan kritik
ketika arahnya menuju ke jalan yang salah.

*Kedua, apa manfaatnya bagi publik.* Sejauh ini, saya kira publik belum
mendapatkan manfaat apapun dari forum media tersebut. Dan memang, publik
rasa-rasanya memang tak begitu ambil pusing dengan pembentukan forum
tersebut, toh pembentukan sejauh ini masih berurusan dengan mengakomodir
kepentingan para anggotanya. Cita-cita memajukan dunia pers yang seperti
apa, kita (publik) belum mendapatkan jawabannya.

*Ketiga, bagaimana relasinya dengan penguasa (kekuasaan).* Nah, ini yang
sebenarnya paling mengusik pemikiran saya. Apakah forum tersebut ada
relasinya dengan penguasa? Saya kira jelas arahnya. Forum pemimpin redaksi
media boleh-boleh saja mengklaim dan mengatakan bahwa forum tersebut
independen dalam soal sikap, begitu juga independen dalam soal finansial
(Misalnya dana organisasi didapatkan dari iuran anggota sebesar Rp 12
juga/tahun). Tapi saya kira, tentu ada kepentingan politik di dalamnya.
Termasuk kemungkinan bagaimana penguasa melakukaan hegemoni bahkan kooptasi
terhadap kumpulan para pemimpin redaksi media ini.

Pikiran sempitnya begini, ketika SBY mau mengundang tokoh dan pemimpin
media, tak perlu satu persatu diundang. Cukup kontak Wahyu Muryadi (Ketua),
maka semua urusan beres. Dan bisa kongkow-kongkow di istana. Tak hanya itu,
forum-forum pertemuan antara pimpinan media dan penguasa (Presiden) saya
kira juga semacam membangun kedekatan. Semua berujung pada siapa
memanfaatkan siapa. Dan relasi demikian saya kira sangat berbahaya.

Relasi demikian bisa kita baca dengan meminjam pisau analisis dari Lous
Althuser seorang filsuf Prancis. Althuser pernah mengajukan konsep
Repressive State Aparatus (RSA) dan Ideological State Aparatus (ISA). Yang
pertama adalah konsep dimana pemerintah melakukan kekerasan dan hegemoni
melalui aparat-aparatnya dengan perantara polisi, intel, pengadilan,
militer, penjara dsb. Sementara yang kedua adalah dengan melakukan
pendekatan-pendekatan yang lebih "lunak' Salah satunya adalah dengan
melakukan pendekatan dengan media (awak media).

Nah, pada titik inilah dapat kita baca bagaimana saya kira, di satu sisi
Forum Pemimpin Redaksi bermain dengan kepentingannya, disisi lain kekuasaan
juga memainkan peran politiknya. Hasilnya apa? Yang paling bisa dilihat
adalah bagaimana kedekatan para pemimpin redaksi dengan penguasa menjadikan
mereka tidak kritis terhadap penguasa dan bahkan cenderung memberitakan
kabar baik dari sang penguasa. Apakah ini hanya hanya sebatas opini, atau
dugaan berlebihan yang tidak berdasar? Coba kita lihat faktanya.

Detik.com (Senin, 04/02/2013 21:33 WIB ) menurunkan berita berjudul
"Laporan dari Jeddah SBY: Saya & Keluarga Laporkan Pajak Sesuai Ketentuan,
Tak Ada Penyimpangan"*. **Sebuah tulisan tak biasa, tulisan panjang yang
ditulis oleh petinggi (Pimred) media itu.** Biasanya tulisan Detik.com
pendek-pendek saja.** *Penulisnya Arifin Ashydad. Tulisan yang isinya
adalah semacam "Press Release" untuk melakukan klarifikasi atas dugaan
skandal pajak keluarga istana yang ditulis The Jakarta Post sebelumnya.
Tulisan aneh yang juga tak biasa, ya, forum komentar yang biasanya ada di
Detikcom juga dimatikan alias tidak bisa dikomentari. Saat saya menanyakan
perihal siapa penulis berita itu pada seorang teman wartawan, dijawab
"Petinggi media dia, lagi umroh sama SBY tuh". Melihat fakta demikian saya
maklum.

Lain lagi di Republika, Sabtu 16 Maret 2013 menurunkan berita tentang
pertemuan pemimpin redaksi dan SBY dengan judul "Nasi Goreng dan Rujak
Cingur untuk Para Pemimpin Redaksi . Berisi cerita tentang bagaimana nasi
goreng suguhannya yang sederhana. Ditulis oleh Nasihin Masha (Pimred
Republika) *"Saya ini lahir dari keluarga miskin. Jadi bumbu nasi gorengnya
sederhana," kata Susilo Bambang Yudhoyono.** Artikel itu bercerita
bagaimana *nasi goreng itu hanya berbumbu bawang merah dan bawang putih.
Sekitar 75 persen nasi biasa dan 25 persen lagi tiwul. "Rasanya krispi,"
katanya. Asal diracik dengan komposisi yang pas, ia menjanjikan nasi goreng
buatannya akan enak. Tiwul adalah singkong yang dipotong tipis dan
kecil-kecil. Setelah dijemur sampai kering baru dimasak
Tak hanya itu, ia juga berjanji akan membuatkan rujak cingur. Kuliner
jajanan khas Jawa Timur. Maklum SBY berasal dari Pacitan. Sekali lagi ia
menjelaskan macam-macam bumbunya. "Ada tujuh macam," katanya sambil
menghitung dengan menggerakkan jarinya dan menyebut jenis bumbunya. Terasi,
petis, gula, garam, asam, pisang batu, dan kacang tanah. Berita yang
ditulis itu juga bercerita bagaimana SBY mengaku setiap hari menerima 200
SMS dan harus ia jawab sendiri. Ia juga menerima tamu hingga pukul 01.30
dinihari.

Sebagai publik, tentu saya khawatir dengan cara para pemimpin redaksi itu
memuji-muji dan bersikap tidak kritis kepada penguasa. Tidak menulis
dengan lantang bagaimana kebobrokan pemerintahan SBY. Saya tak tahu, kenapa
yang demikian tidak dilakukan. Barangkali memang benar bahwa dalam kasus
ini, justru SBY telah berhasil memainkan apa yang dinamakan dengan
"Ideological State Aparatus (ISA) itu. Bagaimana SBY memainkan "rangkulan
politik" agar media "Tidak macam-macam". Kalau ini sudah terjadi, maka
rakyat tentu akan memilih jalannya sendiri. (Yons Achmad/Penikmat Media).

Sumber Foto: Republika.co.id

http://kanetmedia.com/artikel/read/forum-pemimpin-redaksi--dibeli-penguasa/

Tidak ada komentar: