Jumat, 08 Maret 2013

[daarut-tauhiid] Runtuhnya Uang Kertas

 

NB: mana yang lebih "berasa" sesuai fitrah? Melihat tumpukan uang kertas
atau melihat kilauan emas & perak? Hasil dari membanting tulang & memeras
keringat bertahun-tahun dari bekerja...

Runtuhnya Uang Kertas
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara

Pernyataan ini mengacu pada sistem uang kertas, yang telah menggantikan
uang emas (Dinar) dan uang perak (Dirham), yang kini memperlihatkan
keruntuhannya. Hadis ini mendapatkan realitasnya dalam kurun empat puluh
tahun terakhir ini.

Runtuhnya uang kertas terjadi pada hakekatnya yakni nilainya yang semakin
susut. Uang kertas adalah pengkhianatan atas takaran nilai atau harga, yang
diwujudkan sebagai alat tukar, dari fitrahnya semula berupa komoditas
bernilai menjadi semata-mata simbol numerik. Akibatnya transaksi yang
semula tunai bukan saja jadi tertunda tapi juga menggelembung semu.
Keduanya, penundaan dan penggelembungan, adalah dua pilar riba. Dalam
Qur'an sudah ditegaskan "Allah, subhanahu wa ta'ala akan meruntuhkan riba."

* Metamorfosa Uang Kertas*
Untuk memahami substansi dan posisi hukumnya sebagai riba perlu dimengerti
asal muasal uang kertas. Untuk sampai pada bentuk yang kita kenal hari ini
uang kertas bermetamorfosa seiring zaman. Setidaknya ada tiga tahap.

Pertama, uang kertas lahir sebagai kuitansi (bukti utang), yang dikeluarkan
para pandai emas dan perak, dan dapat ditebuskan kembali oleh pemiliknya.
Dalam syariat Islam janji utang ini dikenal sebagai *dayn*, yang haram
dipakai sebagai alat jual-beli, karena pembayaran dengannya berarti tidak
kontan. Pada satu titik pemerintah memberikan hak monopoli penerbitan surat
utang itu kepada satu pihak saja yaitu bank sentral. Maka, janji utang yang
semula bersifat privat (antara pemilik harta dan pihak yang dititipinya)
kini menjadi publik, dan dipaksakan berlaku umum. Ini terjadi pada abad
ke-17.

Kedua, para bankir yang sekarang memonopoli itu secara sepihak mengubah
uang kertas tadi dari janji utang (promissory note) menjadi bank note,
yaitu uang kertas tadi tidak lagi bisa ditebuskan jadi koin emas atau perak
oleh pemiliknya. Meski setiap kali mencetaknya para bankir tetap
menjaminnya dengan emas atau perak batangan. Ini disebut sebagai sistem
standar emas, berlaku pada abad ke-20.

Di Amerika perubahan itu terjadi pada 1933, pasca depresi hebat. Rakyat
Amerika dilarang memiliki emas dan harus menyerahkannya kepada The Federal
Reserve, perusahaan swasta pemegang monopoli dolar AS. Rakyat boleh kembali
memiliki emas dengan cara membelinya sebagai batangan, tapi dengan harga
lebih mahal. Ketika dirampas oleh bank sentral AS (1933) emas dibeli 20
dolar AS/oz, setelah uang kertas dolar AS yang baru diterbitkan (1934),
hanya bisa dimiliki kembali seharga 35 dolar AS/oz. Artinya dolar AS
didevaluasi (40%). Emas tak lagi sebagai uang, tapi jadi komoditi.

Kemudian sejak 1944 Sistem Bretton Wood berhasil dipaksakan sebagai sistem
internasioal. Intinya satu-satunya uang kertas yang didukung emas hanya
dolar AS (kurs 35 dolar AS/oz), seluruh mata uang kertas lain dikurs tetap
terhadap dolar AS. Perubahan kurs hanya bisa dilakukan oleh pemerintah
nasional atas izin IMF (international Monetary Fund) yang didirikan bersama
berlakunya sistem ini. Ini juga bermakna dolar AS ditetapkan sebagai
standar dan berlaku internasional. Ini berlangsung sampai 1971.

Ketiga, pada Agustus 1971, Richard Nixon, Presiden AS yang hampir bangkrut
karena Perang Vietnam, secara sepihak mengakhiri Bretton Wood, mencabut
ikatan emas atas dolar AS. Maka, bank sentral dapat mencetak uang kertas
sekehendaknya. Uang kertas bernilai dan diterima sebagai alat tukar
sepenuhnya atas dasar paksaan undang-undang. Kurs antarauang kertas pun
tidak lagi ditetapkan oleh pemerintah, melainkan oleh para pedagang uang.
Uang kertas jadi komoditas dan seluruh sistem moneter sepenuhnya
dikendalikan oleh spekulan.

* Kisah Rupiah*
Lahir sebagai negara fiskal baru, 1946, Republik Indonesia mengadopsi model
yang sama. BNI 46 ditetapkan sebagai Bank Sentral, menerbitkan Oeang
Repoeblik Indonesia (ORI), dengan janji tiap Rp 2 bernilai satu gram emas.
Bankir internasonal menolaknya. Setelah menyerah dalam Konferensi Meja
Bundar (1949), sebagai syarat pengakuan atas RI, BNI 46 diganti oleh De
Javasche Bank (mulai 1951 diubah jadi Bank Indonesia), ORI diganti dengan
UBI (Uang Bank Indonesia).

Begitu diakui (1949) rupiah dipatok Rp 3.8 per dolar AS. Saat ORI jadi UBI
(1952) rupiah melorot ke Rp 11.4 per dolar. Sepanjang waktu kemudian rupiah
terus melorot sampai Rp 45 (1959), sempat melesat ke Rp 0,25 (1965), berkat
sanering (Rp 1000 menjadi Rp 1) oleh Presiden Soekarno. Selama Orde Baru
atas order IMF dan Bank Dunia rupiah berkali-kali didevaluasi. Pada 1970
jadi Rp 378, 1971 jadi Rp 415, 1978 merosot lagi 55%, jadi Rp 625;
didevaluasi lagi pada September 1983, 45%, jadi Rp 970 per dolar AS. Pada
1986 bertengger di Rp 1.660/dolar AS.

Dari waktu ke waktu nilai tukar rupiah terus terdepresiasi, mencapai Rp
2.200 per dolar AS sebelum "Krismon" 1997. Rupiah kemudian "terjun bebas"
pertengahan 1997, dan sejak itu terus terombang-ambing � lagi-lagi atas
kemauan IMF dan Bank Dunia - dalam sistem kurs mengambang, dengan titik
terendah Rp 16.000, awal 1998. Saat ini fluktuatif di Rp 9.500-Rp 10.000.
Sementara dolar AS sendiri, yang berlaku sebagai jangkar, telah kehilangan
lebih dari 95 persen daya belinya sejak berlaku pada 1913. Rupiah telah
kehilangan 99 persen daya belinya sejak 1946.

Belakangan para bankir menemukan teknik baru, bukan untuk menghentikan,
tapi menyembunyikan, proses keruntuhan uang kertas. Namanya redenominasi.
Pembuangan beberapa angka 0 adalah untuk memberi efek psikologis masyarakat
untuk tidak merasakan semakin miskin. Realitas sejatinya tidak bisa
dikelabui. Dalam rentang dua tahun terakhir saja sejak isu redenominasi
dilontarkan 2010 lalu, diukur dengan nilai telor ayam saja, rupiah telah
kehilangan lebih dari 25% daya belinya. Dua tahun lalu Rp 100.000 dapat 7
kg telor ayam, hari ini cuma dapat 5 kg. Tidak ada bedanya rupiah diberi
lima angka 0 (Rp 100.000) atau digunduli hanya dengan dua angka 0 (Rp 100).
Daya belinya sudah tergerus 25%.

Redenominasi bukan solusi. Solusinya adalah ikutilah Nabi, kembali kepada
Dirham perak dan Dinar emas, yang sudah terbukti bebas dari inflasi.
*Dibaca : 616 kali
http://www.wakalanusantara.com/detilurl/Runtuhnya.Uang.Kertas../1401/id
*

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: