Rabu, 13 Maret 2013

[daarut-tauhiid] Peran Islam Banyak Dipinggirkan Dalam Penulisan Sejarah di Indonesia

 

Peran Islam Banyak Dipinggirkan Dalam Penulisan Sejarah di Indonesia

*Muslimdaily.net -* Mencermati peminggiran peran Islam dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara dewasa ini mendorong Adab Institute Jogja, sebuah
lembaga pengkajian ilmiah non-profit yang berdedikasi kepada umat dalam
bidang dakwah dan penelitian khazanah pemikiran dan peradaban Islam dari
perspektif framework pemikiran Islam yang tidak terkontaminasi dengan
paradigma liberal-sekuler, mengadakan seminar bertajuk "Pendidikan Sejarah
Nasional Indonesia dalam Perspektif Islam". Bekerjasama dengan Lembaga
Pendidikan Bahasa Arab & Studi Islam Ma'had Ali bin Abi Thalib Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), acara yang dihelat di Ruang Sidang Fakultas
Teknik UMY ini menghadirkan pakar sejarah Islam, yang juga peneliti Insist
Jakarta dan ketua umum Pimpinan Pusat Pemuda Persis, Tiar Anwar Bachtiar,
M.A.

Dalam sambutannya, Direktur Adab Institute Jogja, Fathurraham Kamal,
menegaskan, di antara problem penting yang dihadapi oleh umat Islam saat
ini adalah pudarnya semangat mengkaji, memahami dan menyadari kejayaan masa
lalu Islam yang gemilang, khusunya di nusantara. Generasi muda kehilangan
kesadaran yang baik dan kebanggaan tentang sejarahnya sendiri, yang
kemudian menimbulkan sikap inferiority complex dalam mengaktualisasikan
peran keIndonesiaan mereka. Menyitir pandangan Mohammad Asad, (Leopold
Weiss) dalam bukunya, Islam at the Crossroads,: "Tidak ada peradaban yang
bisa makmur - atau bahkan eksis, setelah kehilangan kebanggaan dan hubungan
dengan masa lalu mereka sendiri" (No civilization can prosper – or even
exist, after having lost this pride and the connection with its own past…).

Kegalauan kesejarahan ini dimanfaatkan betul oleh pihak-pihak yang tidak
menyukai Islam melalui upaya pendistorsian sejarah perjuangan umat Islam.
Untuk konteks Indonesia, wacana digiring kepada "Islam merupakan pendatang
yang seharusnya harus menyesuaikan diri dengan 'budaya asli' bangsa
Indonesia. Ingat, Nusantara dan Republik ini eksis meraih kemerdekaannya
karena cucuran keringat dan banjir darah para syuhada'!", ungkap alumni
Fakultas Dakwah & Ushuluddin Universitas Islam Madinah Saudi Arabia ini.

Alih-alih melakukan konsolidasi, para aktivis Islam baik yang di dataran
elite maupun para mahasiswa masih sibuk dengan kampanye membesarkan
kelompoknya masing-masing. "Sehingga diperlukan perubahan mendasar untuk
menyatukan umat Islam Indonesia dalam konsep keummatan yang tidak cukup
dengan jalinan psikologis-emosional silaturahim semata, tapi harus
mengedepankan jalinan keilmuan, silatul 'ilmi." tutur Fathurrahman.

Tampil sebagai pembicara tunggal, Tiar Anwar Bachtiar, M.A. memulai
presentasinya dengan menampilkan foto Candi Borobudur. Sudah menjadi
kemahfuman bagi masyarakat internasional bahwa Indonesia adalah negara
dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. "Tetapi ikon yang ditonjolkan dan
selalu ditampilkan ke luar negeri adalah Candi Borobudur?" kritik kandidat
doktor bidang Sejarah Universitas Indonesia ini.

Keindonesiaan yang direpresentasikan melalui Borobudur termasuk satu
kesadaran sejarah yang dipaksakan. Padahal banyak bangunan lain yang bisa
ditampilkan. Banyak masjid-masjid kuno dengan arsitektur berfilosofi tinggi
yang bisa dijadikan ikon dan juga dibuat oleh "nenek moyang orang
Indonesia".

Situasi ini bukan sekedar karena Borobudur telah diakui sebagai salah satu
keajaiban dunia, tetapi ada kolonialisasi paradigma dimana peran umat Islam
yang begitu besar coba untuk dihilangkan. "Banyak yang terjadi di masa
lalu. Tidak semua bisa dituliskan. Sejarawan memilihkan untuk kita, mana
yang perlu diingat dan mana yang dilupakan. Sebagaimana Voltaire menukil,
yang menang peranglah yang menulis sejarah," ujar Tiar.

Riset yang dilakukan oleh Tiar terhadap konten Buku Pelajaran Sejarah
Nasional Indonesia, untuk siswa-siswi SMA mempertegas penegasian peran umat
Islam dan bahkan Islam ditempatkan sebagai pemecah belah.
Salah satunya adalah teks yang menyatakan Kerajaan Majapahit sebagai
pemersatu Indonesia. Majapahit dianggap memainkan peran dalam menyatukan
Indonesia, baik secara politik maupun ekonomi. "Sumpah Palapa" yang
diikrarkan Patih Gadjah Mada disebut sebagai tonggak bersejarah penyatuan
Nusantara.

"Seharusnya kita mempertanyakan, apakah yang dilakukan Majapahit menjajah
atau mempersatukan? Jika kemudian proses 'penyatuan' itu dilakukan dengan
peperangan dan bersimbah darah, kemudian daerah yang mampu ditaklukkan
diwajibkan memberikan upeti dan dijadikan daerah koloni, apakah masih
rasional jika kita mengatakan Majapahit sebagai pemersatu?", timpal Tiar.

Tidak sampai hanya di situ. Islam juga dikambing-hitamkan sebagai penyebab
keruntuhan Majapahit. "Setelah Wikramawardhana meninggal (1429) takhtanya
digantikan oleh Suhita yang memerintah hingga 1447. Sampai dengan akhir
abad ke-15 masih ada raja-raja yang memerintah sebagai keturunan Majapahit
, namun telah suram karena tidak ada persatuan dan kesatuan sehingga
daerah-daerah jajahan satu demi satu melepaskan diri. Para bupati di pantai
utara Jawa, seperi Demak, Gresik, dan Tuban telah menganut agama Islam
sehingga satu per satu memisahkan diri dari Majapahit," kutip Tiar.

Tudingan kedua yang implisit dalam buku ajar itu adalah kerajaan-kerajaan
Islam terutama Kerajaan Mataram disebut berkembang atas pandangan
sinkretisme, bukan atas dasar prinsip ajaran Islam. Kebudayaan Kejawen yang
merupakan akulturasi antara kebudayan Jawa, Hindu, Buddha dengan Islam
ditempatkan sebagai "budaya adiluhung Jawa". Padahal upacara-upacara dan
penanggalan Jawa Islam yang dilakukan Sultan Agung bukan proses
sinkretisasi tapi Islamisasi.

"Peminggiran peran umat Islam dalam penulisan buku-buku ajar Sejarah
Indonesia terus berlanjut kepada porsi halaman yang tidak proporsional,
ketika membahas organisasi pergerakan Islam seperti Muhammadiyah, NU,
Persis, SI, dan sebagainya. Bayangkan saja, Muhammadiyah yang berperan
besar dalam perjalanan sejarah bangsa ditulis tak sampai 1 halaman," ungkap
Tiar yang juga Ketua Pemuda Persatuan Islam ini.
Tak dapat dipungkiri penulisan buku-buku sejarah di Indonesia sangat
bergantung kepada literatur-literatur yang ditulis oleh ilmuan imperialis
yang membawa misi pelanggengan penjajahan. Maka tak mengherankan jika
kemudian peran Islam tak banyak disebut atau dikaburkan sehingga terkesan
sebagai pendatang yang menyebabkan kehancuran kebudayaan yang lebih dulu
eksis.

"Namun, hal itu tidak membuat kita apatis dan elergi dengan buku-buku yang
ditulis oleh sejarawan Barat. Ada banyak fakta-fakta yang bisa diambil
untuk kemudian disusun kembali. Selain itu, masih ada 90% naskah-naskah
kuno Nusantara yang belum serius diteliti. Jika naskah-naskah itu bisa
dimaksimalkan sejarawan Muslim, maka harapan melahirkan buku-buku sejarah
yang menempatkan Islam secara proporsional bisa diwujudkan," Jelas Tiar.

Menanggapi pertanyaan dari salah seorang audiens terkait Buku Aliran Syiʼah
di Nusantara karangan Prof. Abu Bakar Atjeh yang mengatakan Islam Syi'ah
yang masuk pertama kali di Nusantara dengan bersandarkan kepada keberadaan
Kerajaan Perlak (840 - 1292 M) yang bermahzab Syiah dan keberadaan makam
Fatimah binti Maimun, di desa Leran, Manyar, Gresik yang batu nisannya
bertuliskan tanggal wafat 7 Rajab 475 Hijriyah (2 Desember 1082 M), Tiar
mengungkapkan bahwa pandangan Prof. Abu Bakar Atjeh sudah banyak dikritisi
oleh para sejawaran. Mahzab Syi'ah baru tampil sebagai mahzab negara lewat
kehadiran Kerajaan Safawi yang berdiri pada awal abad ke-13. Sehingga
sangat kecil kemungkinan Mahzab Syiah adalah pembawa Islam pertama di
Indonesia. Bahkan HAMKA berpendapat bahwa Islam sudah masuk ke Nusantara
pada awal abad ke-7 dengan bukti sebuah naskah Tiongkok yang menceritakan
keberadaan kelompok bangsa Arab yang telah bermukim di pantai Barat
Sumatera (Barus) kala itu.

Di akhir presentasinya, Tiar mengajak para aktivis Islam untuk tidak
memutus jalur keilmuan dengan mengabaikan peran para ulama-ulama Nusantara
dan para tokoh-tokoh pejuang Islam Indonesia. "Sanad pembelajaran Islam
yang terputus hanya akan membuat kita semakin jauh dari ulama kita sendiri.
Ujungnya adalah kesalahan dalam mendakwahkan Islam di tengah-tengah
masyarakat Indonesia. Kita punya ulama-ulama besar sekaliber Nuruddin
Al-Raniri yang karya-karyanya menjadi kajian ilmuan dunia, Syaikh Nawawi
al-Bantani,Mahfudz At Tirmasi, dan Syaikh Achmad Chatib Al Minangkabawi
yang pernah menjadi Imam Mahzab Syafi'i di Makkah, HAMKA yang dianugerahi
gelar Doktor oleh Universitas Al Azhar Mesir, serta Natsir yang keilmuannya
dikagumi oleh berbagai tokoh dunia," tutup Tiar. (Anggun Gunawan-Adab
Institute Jogja)

http://muslimdaily.net/artikel/studiislam/peran-islam-banyak-dipinggirkan-dalam-penulisan-sejarah-di-indonesia.html#.UT-qsVdKxdI

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: