Kamis, 16 Juli 2009

[daarut-tauhiid] Petualangan Lima Santri

 


Petualangan Lima Santri

1.Perkenalan Yang Aneh

Semuanya sama saja, pergerakan waktu satu tahun bukanlah ukuran yang cukup ideal untuk sebuah perubahan, apalagi untuk sebuah infrastruktur milik sah pemerintah dibawah wewenang direktorat jendral trasportasi. Tolong jangan di hitung jumlah jiwa dan harta yang telah menjadi korban kelalaian sistem dalam meremajakan segala perkakas dan perabotan dirjen yang kita cintai tersebut yang sering kita tumpangi sebagai sarana angkutan, dari rakyat dan untuk rakyat. PT. Kereta Api Indonesia. Salman tidak ambil perduli dengan semuanya, matanya masih menerawang semua sudut , sunyi diantara hiruk pikuk penumpang dan pedagang di stasiun kereta.

Tangannya masih menggenggam lipatan kertas hafalan hadist yang menjadi tugas selama berlibur. Ya memang tidak ada waktu libur untuk belajar, karena belajar bisa dimana saja dan dari mana saja. Pengalaman hidup yang banyak menyumbangkan pelajaran sering didapati bukan di bangku sekolah tetapi bisa saja di rumah, lingkungan dan dimanapun tempat kita berinteraksi satu sama lain. Tentu saja hal ini bukan tentang matematika dan fisika, tapi etika dan ahlakul karimah. Salman membuka lipatan kertas tadi tertera hadist yang di riwayatkan oleh Tirmidzi

Peliharalah (perintah dan larangan) Allah, niscaya kamu akan selalu merasakan kehadiran-Nya. Kenalilah Allah waktu kamu senang, niscaya Allah akan mengenalimu waktu kamu dalam kesulitan. Ketahuilah, apa yang luput dari kamu adalah sesuatu yang pasti tidak mengenaimu dan apa yang akan mengenaimu pasti tidak akan meleset dari kamu. Kemenangan (keberhasilan) hanya dapat dicapai dengan kesabaran. Kelonggaran bersamaan dengan kesusahan dan datangnya kesulitan bersamaan dengan kemudahan. (HR. Tirmidzi)

Hadist itu sejalan dengan surat alam nasyrah, yang memerintahkan kita untuk tidak pernah menyerah menghadapi suatu masalah. Tidak ada manusia yang terhindar dari masalah, karena masalah adalah bagian dari hidup yang harus diperjuangkan dan dipertanggung jawabkan. masalah pula yang bisa membentuk karakter seseorang untuk menjadi orang yang bersabar, namun apapun itu Allah SWT telah berjanji bahwa di balik segala kesulitan selalu ada kemudahan.

Diantara bangku-bangku kosong yang belum di tempati. Salman menatap jauh keluar jendela menembus waktu, tidak lama kemudian matanya terpejam, di pejamkan lebih tepatnya bukan karena sedang mentransfer hadist tadi kekepalanya tetapi membayangkan kejadian satu tahun yang lalu ketika akan berangkat ke pesantren sebagai pilihan tanpa alternatif dari orang tuanya. Demokrasi tidak berlaku dalam urusan keluarga Salman karena demokrasi memang tidak pernah menjadi pilihan dalam pemerintahan Islam. Walaupun telah lama eksis tetapi demokrasi adalah produk baru bagi umat Islam dan produk itu tidak di yakini di rumah Salman.

Salman Fahri adalah anak ke tiga dari lima bersaudara. Ihsan Hakim, adalah Kakaknya yang pertama dan sekarang sedang kuliah di Universitas Islam tertua didunia yaitu Al Azhar , mengambil jurusan Ushuluddin yang sekarang telah menginjak tahun ke empat setelah terakhir kali bertemu dengannya. Kakaknya tidak pernah pulang karena dia memang telah berjanji tidak akan pulang sebelum mendapat predikat cumlaude atau lebih dari sekedar jayyid.

" Yang kakak cari disana sertifikat ke ilmuan atau sertifikat ketakwaan, karena kalau cuma pengen jadi orang yang bertaqwa kenapa harus jauh-jauh kesana " ledek Salman kepada kakaknya yang hendak berangkat. " Kakak mencari sertifikat untuk bisa mengajak orang untuk menjadi orang yang bertaqwa seperti kamu itu yang hanya bisa membantah melulu dan untuk bisa mengajak orang lain itu harus memakai ilmu, ngerti gak dek " jawab kakaknya dengan enteng dan tersenyum dengan keingintahuan adiknya. Didalam keluarga, walaupun masih muda tetapi Salman terkenal dengan sifatnya yang kritis tetapi terkadang suka overdosis karena memang secara hukum alam dia tetaplah seorang anak-anak yang menginjak usia remaja.

Di banding kedua kakaknya dia termasuk yang di beri sedikit kebebasan dalam bergaul. Kedua kakaknya sejak bangku sekolah dasar telah di masukan kepesantren oleh ayahnya sedangkan Salman memilih untuk sekolah didekat rumah. Kakaknya yang nomor dua bernama Abdurrahman Malik kuliah di Universitas Islam Negeri Jakarta di bidang syariah Islam. Antara Salman dan kakaknya yang nomor dua terpaut cukup jauh, hampir enam tahun tetapi dia sangat dekat dengan kakaknya yang nomor dua itu karena dia masih tinggal bersama orang tua mereka di Jakarta. Berbeda dengan kakaknya yang tertua Ihsan, yang sejak sekolah dasar sampai aliyah di pondok pesantren kemudian melanjutkan kuliah setelah mendapatkan beasiswa di universitas Al Azhar , Cairo Mesir. Praktis mereka bertemu hanya sewaktu kakaknya libur dan itupun tidak lama.

Apapun segala kejadian pasti mempunyai suatu alasan sebagai penyebab. Semua alasan yang kita terima atau yang diberikan kepada orang lain belum tentu bisa menjadi jawaban yang memuaskan, sehingga secara singkat bisa dikatakan bahwa kejadian apapun yang berlangsung tidak membutuhkan alasan yang bisa memuaskan semua orang. Dan memang tidak ada satupun alasan yang bisa memuaskan Salman atas keputusan orang tuanya yang memasung semua kegemarannya bermain bola dengan para fans jakmania atau bermain musik dengan band kampung tempatnya tinggal.

Pengirimannya ke pesantren di tempat terpencil merupakan suatu keterpaksaan bagi Salman. Mempelajari ilmu agama bisa dimana saja apalagi pada jaman moderen seperti sekarang dimana buku-buku mengenai agama bisa di jumpai di internet dalam bentuk ebook, disisi lain juga tidak ada jaminan bahwa seseorang yang ahli agama akan masuk syurga karena syurga hanya bisa dimasuki oleh orang yang beribadah dan bermuamalah dengan ahlakul karimah bukan seberapa banyak dia mengkonsumsi ilmu agama pikir Salman terus mencari pembenaran dari penolakannya.

Kereta api terus berjalan dengan pongah tanpa ada yang bisa menghentikan. Paman Dion yang menemani telah tertidur dari tadi memanfaatkan keterpakuan kondisi pada bangku yang tersusun rapi. Mata Salman menatap keluar jendela yang menghidangkan hamparan sawah dan kelebatan pohon seperti berlari meningalkan kereta. Pikirannya terus melayang menembus arah berlawanan menuju rumahnya.

"Kira-kira berapa kilometer perjam kecepatan kereta api ini yah " sahut seorang anak, mungkin dia seusia dengan Salman yang berada di bangku seberang sejajar dengan bangku milik Salman dan pamannya. Salman bingung dengan pertanyaan anak tersebut yang jelas di tujukan untuk dirinya, tapi untuk apa dia bertanya seperti itu , pikir Salman. "Mana saya tahu " jawab Salman seadanya tanpa memalingkan kepala kearah anak tersebut, belagak masa bodoh. " Jika sesuatu yang bisa diukur seperti ini saja kamu tidak mampu gimana bisa mengukur ketinggian langit dan kedalaman bumi " sahut anak diseberang bangku tersebut dengan nada sombong.

Siapa anak ini dan mengapa dia memojokan Salman dengan pertanyaannya padahal dia belum pernah bertemu sebelumnya apalagi bertegur sapa dan apa pula maksud dari pertanyaan yang diajukan, apakah hanya sekedar iseng atau memang serius mau mengajak debat. Berbagai lintasan pikiran berkecamuk dikepala Salman. Tiba-tiba Salman bertanya balik kepada anak tersebut " Simpan saja jawaban kamu itu dan saya tambahkan dengan pertanyaan baru yaitu bagaimana jika kamu berlari diatas kereta ini dengan kecepatan sepuluh kilo meter perjam, jadi berapa kecepatan kereta api ini setelah ditambah dengan kecepatan lari kamu ?"

Anak tersebut tertawa seolah hendak mengejek Salman yang mukanya masih memerah " Kamu ini licik atau mengira saya bodoh, kalo saya jawab tentu kamu bisa menerka kecepatan kereta ini karena hasilnya hanya mengurangi jawaban saya dengan kecepatan berlari saya yang telah kamu tetapkan sepuluh kilo meter perjam", Salman hanya tersenyum merasa jebakannya telah termakan lawan " kalo gak bisa ngaku saja, jadi poin kita kan sama, satu-satu" ejek Salman sambil membetulkan cara duduknya seperti orang hendak mau tidur. Pikiranya kembali melayang ke rumah tanpa mengacuhkan anak yang tadi mengganggu lamunannya. Wajah teman-temannya muncul satu persatu mengucapkan salam takzim sebagai tanda perpisahan, padahal seminggu lagi akan ada pertandingan sepak bola melawan sekolah tetangga, pembelaan terakhir untuk sekolah dasar tempat dia menuntut ilmu yang akan di tinggalkan menuju bangku sekolah menengah tingkat pertama. Salman sangat menginginkan di terima di SMP 1 karena sekolah tersebut sering juara sepak bola, olah raga kesayangannya, sebuah alasan yang tidak akan bisa di terima oleh keluarganya, jika saja sekolah tersebut sering juara antar pelajar atau sering masuk nominasi olimpiade mungkin cerita bisa berkata lain, tapi itu juga baru kemungkinan.

" Kau tahu bahwa kecepatan kereta api dunia saat ini hampir lima ratus kilo meter perjam, sedangkan kecepatan kereta api ukuran Indonesia hanya sekitar duaratus limapuluh sampai tigaratus dua puluh kilometer perjam. Jika kita asumsikan kereta api yang kita tumpangi saat ini memakai standard minimal duaratus limapuluh kilo meter perjam maka ditambah kecepatan berlari saya, maka kecepatannya menjadi dua ratus enam puluh kilometer perjam" sahut anak tadi kembali memecah lamunan Salman. " eh dek, bapaknya kerja di jawatan kereta api yah, sampai mau menghitung kereta yang lagi jalan atau berlari " celetuk Salman merasa kesal dengan tingkah anak itu seperti berusaha mencari perhatian Salman. " Enak saja, emang aku adekmu, trus kalau setiap kegemaran atau pengetahuan dikaitkan dengan keturunan berarti bapakmu penjaga gawang ya atau tukang buat bola ?" seru anak itu sambil melotot pada tas Salman yang terlihat bejolan sebesar bola kaki. Memang Salman sangat mencintai sepak bola sehingga bola kesayangannyapun turut di bawa serta ketempat dia kelak bermukim disalah satu pesantren kenalan dekat ayahnya di Pekalongan Jawa Tengah.

"Ya udah deh , tadikan saya tanya kecepatan kereta api ini setelah ditambah kecepatan berlari kamu dan bukan sebaliknya, jadi saya justru malah kembali nanya memang berpengaruh kecepatan lari kamu terhadap daya dorong kereta ini. jika kamu anggap berpengaruh maka seandainya seratus penumpang yang ada disini berlari sama dengan kecepatan lari kamu maka kereta api ini bisa jadi yang tercepat didunia dong hehehehe." Salman terus tersenyum sinis merasa jebakannya termakan oleh lawan. sementara anak tadi hanya tersenyum kecut. Tiba-tiba anak itu berdiri kedekat Salman " Kenalkan namaku Hendri, tadi di stasiun gambir sebelum berangkat saya sempat berbincang dengan pamanmu , om Dion dan ternyata tujuan kita sama sebab pamanmu akan membawamu mendaftar di pesantren tempat ku mondok. Walaupun badanku lebih kecil dari kamu tapi paling tidak aku lebih tua satu tingkat dari kamu. Aku baru saja pulang berlibur jadi artinya kita nanti sama-sama mulai pelajaran baru" kata anak itu panjang lebar. Salman hanya terperangah mendengarkan " tapi memulai kenalan dengan bertanya kecepatan kereta adalah cara yang aneh" sahut Salman acuh tak acuh. " Gaklah cuma mau memastikan bahwa aku tidak berkenalan dengan anak yang bodoh" jawab anak tersebut sambil kembali duduk di bangkunya.

Hendri adalah anak kelahiran Jakarta. Kakeknya berasal dari Medan yang merantau ke Jakarta kemudian menikah dengan neneknya yang berasal dari Padang, Sumatera Barat. Ayahnya adalah perpaduan suku batak dan minang, walaupun begitu keduanya masih dalam pulau yang sama yaitu Sumatera. Ayahnya lahir dan besar di Jakarta. Setelah menamatkan kuliah dan bekerja Ayahnya menikah dengan teman kuliahnya yang berasal dari Surabaya. Ibunya memang berasal dari lingkungan pesantren. Ayah dari Ibunya atau kakeknya Hendri adalah pengasuh pondok pesantren tradisional di Jawa Timur, tetapi setelah meninggal dunia, pesantren tersebut di tutup karena tidak ada yang mau meneruskan, disamping itu pesantren yang tergolong sangat tradisional tersebut kalah saingan dengan pesantren besar seperti Gontor dan Tebu Ireng di Jombang. Namun demikian semangat untuk menggali dan mempelajari nilai-nilai Islam telah merasuk kedada Hendri. Mungkin gen ibunya lebih mendominasi di setiap sel darahnya, sehingga setelah menamatkan sekolah dasar di Jakarta dia berkeinginan meneruskan ke sekolah madrasah Tsnawiyah di salah satu pesantren di Pekalongan Jawa Tengah tidak jauh dari tempat pamannya yang merupakan kakak kandung ibunya bermukim.

Jangkar kebodohan adalah kemalasan, seperti perahu yang enggan mengibarkan layarnya mengejar mimpi, jangkar tersebutlah yang memastikan perahu tersebut tidak bergerak kemanapun walaupun tawarannya adalah angin perubahan. Terlalu lama kita menyalahkan gelombang airlaut sebagai penghambat laju perahu, padahal seindah apapun perubahan yang dibawa oleh angin, terpaannya selalu menghasilkan riak yang tidak kecil. Gelombang itulah yang berusaha di arungi Salman selama di pondok pesantren dan tidak ada teman yang paling setia menemani selain waktu. Hembusan angin dari luar jendela meyadarkan Salman dari kenangannya satu tahun yang lalu pada kereta yang sama namun dengan arah yang berbeda, arah pulang, arah yang diharapkanya satu tahun yang lalu.

Bersambung............

David.S

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Recent Activity
Visit Your Group
Give Back

Yahoo! for Good

Get inspired

by a good cause.

Y! Toolbar

Get it Free!

easy 1-click access

to your groups.

Yahoo! Groups

Start a group

in 3 easy steps.

Connect with others.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: