Jumat, 20 November 2009

[daarut-tauhiid] Fwd: [...] Hidup Mulia, dan atau Mati Mulia?

---------- Forwarded message ----------
From: usamah


Menjawab artikel Dr. M. Syafi'i Anwar

Dzikrullah W. Pramudya*

Di penghujung film The Last Samurai, Kaisar Jepang yang masih belia bertanya
kepada Kapten Nathan Algren tentang kematian gurunya, Samurai Katsumoto,
"Ceritakan kepadaku bagaimana dia mati."

Algren menjawab, "Akan kuceritakan kepadamu bagaimana dia hidup."

Katsumoto adalah pemimpin samurai yang mengakhiri 900 tahun tradisi ksatria
spiritual pengawal kekaisaran. Dia dan pasukannya memang mati ditembus timah
panas senjata bikinan Amerika Serikat. Tetapi yang sebenarnya membunuhnya
adalah kerakusan Omura, perdana menteri yang juga saudagar yang mengeruk
keuntungan finansial dari proses westernisasi dan sekularisasi Jepang, namun
ditentang hebat oleh Katsumoto.

Hidupnya mulia, matinya pun mulia, setidaknya di mata pembuat film itu.
Sayangnya, Katsumoto bukan Muslim. Meskipun secara kemanusiaan dia hidup dan
mati secara mulia, dia tidak mati syahid. Karena mati syahid mensyaratkan
syahadah, kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah
utusan Allah yang diikuti tuntunan hidupnya.

Kalau saja cara Dr. M. Syafi'i Anwar menjelaskan doktrin "Isy Kariman au Mut
Syahidan" seindah film itu, tentu artikel beliau akan jauh lebih bisa
dinikmati daripada dipenuhi oleh kecemasan-kecemasan dari awal sampai
akhirnya.

Satu-satunya kalimat yang relevan dengan inti pembahasan dan layak untuk
diambil sebagai hikmah dari artikel Dr. Syafi'i adalah kalimat terakhir yang
berbunyi, "Wallahu A'lam bish-Shawab (Dan Allahlah yang lebih mengetahui
sebenar-benarnya)."

Kenapa?

Karena kalimat "Isy Kariman au Mut Syahidan" yang berarti "Hidup Mulia atau
Mati Syahid" berasal dari Allah dan diformulasikan oleh para Sahabat
terdekat Muhammad Saw, utusan Allah, sebagai tafsir terhadap kalimat Allah
di dalam Al-Quran yang memerintahkan semua orang beriman –termasuk Dr.
Syafi'i-- untuk memilih Ihdal Husnayain, "salah satu dari dua kebaikan".

Begini terjemahan lengkap firman Allah Ta'ala, "Katakanlah: 'Tidak ada yang
kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan (Ihdal
Husnayain). Dan kami menunggu-nunggu bagi kamu (orang-orang kafir yang
memusuhi Islam) bahwa Allah akan menimpakan kepadamu azab (yang besar) dari
sisi-Nya, atau (azab) dengan tangan kami. Sebab itu tunggulah sesungguhnya
kami menunggu-nunggu bersamamu." (Al-Quran surah At-Taubah: 52)

Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa ulama-ulama yang secara disiplin mengikuti
manhaj (metode) Rasulullah Saw seperti 'Abdullah Ibn 'Abbas, Mujahid,
Qatadah menegaskan, "salah satu dari dua kebaikan" yang dimaksud adalah
kehidupan mulia berupa kemenangan atau mati syahid (Isy Kariman au Mut
Syahidan). Tentu saja yang dimaksud dengan kehidupan mulia di sini adalah
Al-Islam dan perjuangan menebarkan rahmatnya di muka bumi. Kalau ada yang
mengancam perjuangan ini lalu membunuh para pejuangnya, maka Mut Syahidan
lah, mati syahidlah mereka.

Justru, di sepanjang artikelnya, Dr. Syafi'i telah melakukan reduksi yang
memerlukan pelurusan. Meskipun ajakan "dekonstruksi" (penghancuran) yang
diserukan Dr. Syafi'i hanya mengarah kepada tafsir atas doktrin itu, kesan
umum yang ditekankan berkali-kali adalah, bahwa doktrin "Isy Kariman au Mut
Syahidan" merupakan anjuran untuk mati yang berakar dari sikap fatalistik.

Jika diletakkan dalam ajaran dan sejarah Islam yang panjang dan agung,
teriakan Dr. Syafi'i ini ibarat orang yang berteriak kepada seluruh jama'ah
haji di Masjidil Haram, "Wahai para jama'ah haji, jangan menyembah Ka'bah
karena itu cuma bangunan batu, sembahlah Allah saja!" Tentu saja teriakan
ini absurd dan jenaka, karena semua orang yang hadir di Masjidil Haram tahu,
bahwa mereka sedang menyembah Allah, bukan Ka'bahnya.

Kalau orang membaca ayat Al-Quran tentang Ihdal Husnayain, serta menelaah
dengan baik tafsir ayat itu, orang segera faham bahwa perintah Allah untuk
memilih Ihdal Husnayain sama sekali tidak mengandung perintah untuk hidup
fatal dan mencari gara-gara untuk cepat mati.

Kalau pun benar, ada orang yang meledakkan dirinya karena doktrin ini
(sayang kita tidak bisa mewawancarai mayat-mayatnya), pun kecemasan Dr. M.
Syafi'i Anwar masih bisa diibaratkan orang yang meributkan kotak korek api
yang terbakar, padahal sudah ada lima rumah yang hangus karena korsleting
listrik.

Kenapa? Karena jumlah manusia yang dibunuh oleh manusia lain yang tidak
menganut doktrin "Isy Kariman au Mut Syahidan" jauh lebih banyak, daripada
yang sudah dibunuh (kalau benar, Allah Yang Maha Tahu kejadian sesungguhnya)
oleh pelaku peledakan yang mengaku terinspirasi doktrin itu.

Presiden Harry S. Truman tidak kenal doktrin "Isy Kariman au Mut Syahidan"
tapi tega secara resmi membunuh jutaan warga sipil Hiroshima dan Nagasaki
dengan bom atom. Lyndon B. Johnson tidak pernah baca surat At-Taubah, tapi
tega membunuh jutaan rakyat sipil Vietnam dengan bom napalm dan bom fosfor.

Adolf Hitler tidak pernah jadi anggota organisasi Islam, bahkan di lehernya
ada salib, tapi tega membunuh puluhan juta orang baik Yahudi maupun
non-Yahudi di seantero Eropa.

Cornelis de Houtman tidak pernah jadi Muslim "militan", tapi begitu teguh
memulai 350 tahun penjajahan, penjarahan, pemerkosaan, pembodohan dan
pembunuhan di bumi nusantara yang kemudian merdeka sebagai Indonesia ini.

Di depan semua itu, kecemasan Dr. M. Syafi'i Anwar hampir setaraf dengan
mengada-ada. Karena ayat 52 surah At-Taubah itu dibaca oleh jutaan kaum
Muslimin Indonesia dan jutaan lebih banyak lagi kaum Muslimin di seluruh
dunia, dari Maroko sampai Merauke, dari New York sampai Gadog.

Kalau benar tafsir itu segitu berbahayanya, maka 1,6 miliar Muslimin dunia
yang setiap hari baca Al-Quran sejak Dr Syafi'i belum lahir sudah jadi
teroris semua. Jadi apanya yang perlu didekonstruksi? Apakah Dr. Syafi'i
pernah mengkampanyekan "dekonstruksi" ideologi maut Harry S. Truman dan
presiden Amerika Serikat yang lain. Tunggu bukti apa lagi sesudah Vietnam,
Afghanistan, Iraq, Palestina dan sederet korban invasi AS lainnya.

Sebagai sesama saudara Muslim, kita khawatir, jangan-jangan kecemasan Dr.
Syafi'i adalah kecemasan orang yang terlalu banyak bergaul dengan lingkungan
imperialistik anti-agama yang menginginkan Islam berubah menjadi agama yang
sama mandulnya dengan agama-agama lain, yang sudah berhasil dimandulkan oleh
faham agnosisme yang dikemas rapi sebagai faham "Islam substantif".

Dari pada sibuk dengan PR baru dari Dr. Syafi'i untuk "mendekonstruksi"
tafsir dan ayat Al-Quran tentang Ihdal Husnayain, lebih baik para ulama
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah diserukan untuk meneruskan pekerjaan berat
dan mulia, membimbing umat Islam Indonesia menjadi umat yang berwibawa, yang
kelak dari keislamannya lahir istilah-istilah dan kosakata yang memperbaiki
cara hidup bangsa Indonesia.

Bukan sebaliknya, dari waktu ke waktu umat Islam selalu dipaksa
mematut-matut diri supaya tidak ditempeli istilah-istilah baru yang tidak
berasal dari Islam seperti "militan", "hermeneutika", "teologi maut",
"fatalistik", "parokial" yang, it goes without saying, semua istilah itu
memang bukan berasal dari khazanah Islam. Sehingga seharusnya kita tidak
perlu dibuat sibuk olehnya.

Dari pada sibuk mengurusi istilah-istilah itu, lebih baik para ulama NU dan
Muhammadiyah diserukan agar semakin menyibukkan diri membimbing bangsa ini
menjadi bangsa yang aqidahnya bersih, ikhlas, taat dan patuh sepenuhnya
hanya kepada Allah, tidak mengagungkan simbol-simbol lain selain Allah.

Agar para ulama ini tetap sabar berdiri di tengah rakyat yang kebanyakan
miskin (sambil menggandeng para orang kayanya) dan mengajak mereka untuk
semakin gigih beramal dan berjihad mengorbankan harta, waktu dan nyawa untuk
da'wah dan jihad fii Sabilillah, supaya bangsa ini tidak tergolong menjadi
bangsa pembangkang yang "Maghdhub" (dimurkai Allah) dan bukan juga menjadi
bangsa yang "Dhalal" (sesat).

Jauh lebih produktif kalau para cendekiawan seperti Dr. Syafi'i lebih
berkonsentrasi pada kerja keras menjadikan kehidupan bangsa ini menjadi "Isy
Kariman" hidup yang mulia, dan memastikan bahwa bangsa ini menuju kematian
yang baik di jalan Allah, "Mut Syahidan", daripada mengkampanyekan
"dekonstruksi" untuk hal-hal yang hanya merupakan isu-isu politik-keamanan
sesaat, yang timbul tenggelam sesuai berjalannya waktu.

Al-Islam dan seluruh cabang ajaran tauhidnya di dalamnya sudah ada jauh
sebelum NU, Muhammadiyah dan Indonesia ada, dan akan terus ada sesudah NU,
Muhammadiyah dan Indonesia tiada. Mudah-mudahan Allah memasukkan kita ke
dalam golongan orang-orang yang hidup mulia dan mati syahid di jalan Allah,
"Isy Kariman au Mut Syahidan".


* Wartawan dan guru madrasah

[Non-text portions of this message have been removed]

--
Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang.
now surely by Allah's remembrance are the hearts set at rest.
N'est-ce point par l'évocation d'Allah que se tranquillisent les coeurs.
im Gedenken Allahs ist's, daß Herzen Trost finden können.
>> al-Ra'd [13]: 28


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: