Kamis, 05 November 2009

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2870

Messages In This Digest (1 Message)

1.
[Kelana Lebaran] Lebaran Kali Ini From: febty febriani

Message

1.

[Kelana Lebaran] Lebaran Kali Ini

Posted by: "febty febriani" inga_fety@yahoo.com   inga_fety

Wed Nov 4, 2009 8:09 pm (PST)



Cerita tentang Lebaran kemarin :)

#####

Lebaran Kali Ini
Febty
Febriani

Seperti
apakah Lebaranmu kali ini, kawan? Adakah yang istimewa di hari
spesial setahun sekali ini? Bagiku, Lebaran kali ini begitu istimewa.
Ada riak-riak kegembiraan menyelusup dalam ruang hati. Pernahkah
engkau merasakan sejuknya setetes air yang membasahi tenggrorokan
kala berbuka puasa? Atau saat aliran-aliran putih bening itu engkau
reguk saat engkau sangat kehausan kala panas matahari siang membakar
bumi? Atau juga saat pertama kali butiran-butiran hujan membasahi
bumi yang kering setelah musim panas berlalu? Perasaan itulah yang
kurasakan saat menyambut Lebaran kali ini.

Bahagia.

Maka,
saat gema takbir memenuhi apartemen kecil kami dari sebuah laptop
hitam mungil yang selalu berada di ruang keluarga, kebahagiaan itu
semakin berlipat. Juga saat aku bersama suami mengumandangkan
tasbih, tahmid dan takbir kepada Sang Khalik sehabis sholat Isya dan
Subuh berjamaah, bahagia itu mencapai puncaknya.

Engkau
mungkin akan bertanya, bukankah sebuah bahagia mempunyai alasan untuk
hadir?

Ada,
teman. Ini untukku.

Aku
yang sejak dulu sering merasakan berlebaran sendiri di tanah rantau,
sudah lama tidak merasakan hadirnya airmata saat gema takbir itu
bergema di seluruh penjuru negeri Indonesia. Bahkan sejak pertama aku
berlebaran jauh dari keluarga tercinta, ketika aku memilih
melanjutkan sekolah di Yogyakarta. Ketiadaan dana untuk pulang ke
tanah kelahiranlah yang menjadi alasan kuat untuk tetap berlebaran di
Yogyakarta saat itu. Tapi, tidak dengan Lebaran 1429 H, entah
mengapa, di kedua pelupuk mata aliran bening itu hadir. Deras sekali.
Bahkan sejak Ramadhan 1429 H memulai hari-harinya.

Apakah
seperti ini rasanya ketiadaaan seseorang yang terkasih di samping
kita, saat hari istimewa itu hadir? Itu pikirku saat itu. Aku tergugu
bersamaan dengan gema takbir Idul Fitri 1429 H. Di setiap kesempatan
berada di beberapa masjid di negeri sakura, aku berdoa kepada Allah,
semoga ada kesempatan bersama suami untuk bisa menunaikan sholat
berjamaah di setiap masjid yang kukunjungi itu.

Maka,
Lebaran 1430 H adalah puncak bahagia itu. Merayakan hari spesial ini
bersama suami, hanya berdua, di apartemen mungil kami.

Dan
inilah cerita Lebaran pertamaku bersama suami, di negeri sakura.

Seusai
menunaikan sholat Subuh berjamaah di hari bahagia itu, aku mulai
mempersiapkan soto ayam, menu Lebaran kami. Kusiapkan juga sewadah
soto, untuk buah tangan, karena sehabis sholat hari raya, kami akan
bersilahturahim ke rumah seorang teman.

Pukul
7.15, bersama dengan beberapa keluarga, kami berjanji untuk bertemu
di stasiun dekat kampusku. Udara cukup dingin saat itu. Hampir
terlambat dari waktu janjian saat aku dan suami meninggalkan
apartemen kami, maka mengayuh sepeda kami secepat mungkin, diteruskan
dengan berlari bak seorang sprinter dari
tempat parkiran sepeda menuju platformstasiun adalah solusi terbaik untuk tepat waktu bertemu dengan
teman-teman.

Kami
akan sholat Idul Fitri di masjid Pakistan yang letaknya kira-kira
setengah jam menggunakan kereta dari stasiun terdekat dengan
apartemen kami. Hira Mosque,
namanya. Komunitas muslim di dekat tempat kami tinggal hanya
menyelenggarakan sholat Idul Fitri untuk kaum Adam saja. Keterbatasan
luas mushala yang terletak di dekat apartemen kami itulah yang
menjadi penyebabnya.

Tahun lalu, aku sholat Idul Fitri di Sekolah Rakyat Indonesia Tokyo
(SRIT), yang terletak di dekat kedutaan Indonesia di Tokyo. Saat itu,
suami masih berada di Indonesia. Awalnya, Lebaran tahun inipun, aku
dan suami akan sholat Idul Fitri di tempat yang sama. Apalagi,
kegiatan halal bi halal, tentu dengan segudang jenis makanan
Indonesia yang disajikan di halaman rumah duta besar Indonesia,
sehabis sholat Idul Fitri juga menarik minatku bersama suami untuk
hadir di sana.

Namun,
saat seorang teman mengajak sholat di masjid Pakistan, timbullah ide, ah mengapa tidak mencoba berbaur dengan komunitas muslim
yang lain. Tentu ada banyak
pelajaran-pelajaran yang bisa dijumput dari mereka.

Aku
dan suami juga mesti ke Tokyo di Lebaran kedua, keesokan harinya. Ada
sebuah perjamuan kecil ala kami, mahasiswa Indonesia yang menerima
beasiswa INPEX (Indonesia Petroleum Exploration),
untuk Nakamura-san dan Andoh-san, orang-orang
yang sudah membantu kami dengan segala tetek bengek tentang
kehidupan di Jepang sejak pertama kali kami menginjakkan kaki di
negeri sakura ini. Tahun ini beliau berdua pensiun dari INPEX.

Kami ingin memberikan sebuah perpisahan yang berkesan untuk beliau
berdua. Aku dan teman-temanku memilih menjamu beliau berdua di sebuah
restoran Indonesia yang terletak di Tokyo. Perjamuan ini sengaja
dipilih saat tibanya Lebaran tahun ini. Kami ingin membagi
kebahagiaan Idul Fitri kami, bersama beliau berdua.

Walaupun
beliau berdua memang ditugaskan oleh INPEX untuk membantuku dan tiga
orang mahasiswa Indonesia lainnya, tapi tetap saja wajah ketulusan
hadir di wajah mereka, saat kami menemukan begitu banyak perbedaan
budaya antara Indonesia dan Jepang. Maka, mendengar nasehat dan saran
dari beliau berdua adalah pondasi mengapa hingga ini aku bisa
bersosialisasi dengan masyarakat Jepang.

Karena
itulah saat hadir lagi sebuah pertanyaan, mengapa kami
tidak memilih tempat yang lain saja untuk sholat Idul Fitri berjamaah
kali ini?Maka, akhirnya, aku
dan suami sepakat untuk mengiyakan ajakan temanku itu, menunaikan
sholat Idul Fitri di masjid Pakistan.
Ada sebuah perasaan terkejut saat beberapa langkah lagi kami
menginjakkan kaki di masjid itu. Suara tasbih, tahmid dan takbir
menggema, terdengar sampai di luar masjid. Sekelompok muslim dan anak
laki-laki sedang bertasbih, bertahmid dan bertakbir di taman di
depan masjid. Beralaskan karpet plastik biru. Terharu melihat suasana
itu. Aku teringat akan suasana Lebaran di kampung halaman. Persis. Di
tanah kelahiranku, jika tidak hujan, sholat Idul Fitri juga
diselenggarakan di lapangan.

Bangunan Hira Mosque mirip seperti ruko, bertingkat dua. Yang
menjadi pembeda adalah adanya menara yang menjulang di atas bangunan
tingkat dua. Menara itu adalah penanda kalau bangunan tersubut adalah
masjid, tempat beribadah umat Islam. Di hari-hari biasa, lantai satu
diperuntukkan bagi kaum muslimah sedangkan bapak-bapak menempati
bangunan lantai dua.

Di sekitar area masjid Pakistan itu, ternyata komunitas muslim sudah
mendapat tempat di hati masyarakat Jepang sekitar masjid. Khusus hari
raya Idul Fitri dan Idul Adha, mereka bisa memperdengarkan suara
takbir agak lebih keras. Saudara-saudara yang muslim juga bisa
menunaikan sholat jamaah hari raya di taman di depan masjid,
sehingga area di dalam masjid yang bertingkat dua itu bisa seluruhnya
diperuntukkan untuk kaum muslimah dan anak-anak.

Memang ada sedikit perbedaan saat menunaikan sholat Idul Fitri kali
ini. Otakku, yang sudah terbiasa dengan tata cara sholat Idul Fitri
di Indonesia yang menganut mazhab Imam Syafi'i, cukup terkejut ketika
di rakaat kedua ternyata ucapan tasbih, tahmid dan takbir dilakukan
setelah membaca surat Al-Fathihah dan surat lainnya.

Ternyata,
cara itu memang sudah disosialisasikan sebelum sholat Idul Fitri
dimulai. Juga ada khutbah dalam bahasa Inggris sebelum sholat Idul
Fitri dimulai. Karena khutbah utama, setelah sholat Idul Fitri, akan
disampaikan dalam bahasa Arab.

Itu cerita suamiku, saat perjalanan pulang ketika langkah-langkah
kaki kami mulai meninggalkan teras masjid itu. Suara ibu-ibu yang
bergembira dan tawa riang anak-anak yang berlarian di lantai dua
masjid Pakistan itu ternyata mengalahkan suara apapun dari pengeras
suara yang tersambung dari mikrofon yang terletak di taman di depan
masjid, termasuk pengumuman tata cara shalat dan khutbah Idul Fitri.
Maka, wajar mengapa aku tidak mendengar pengumuman itu juga khutbah
hari raya Idul Fitri kali ini.

Itulah Islam. Ada banyak perbedaan. Tapi, bukankah perbedaan adalah
rahmat? Dan saudara-saudara muslim Pakistan tidak menganut mazhab
Imam Syafi'i untuk tata cara ibadah mereka. Maka, hari itu, aku
menemukan sebuah rahmat yang lain di bumi sakura. Begitu indahnya
perbedaan. Tidak harus disikapi dengan perang mulut, bahkan perang
senjata.

Setelah shalat hari raya usai, aku bersalam-salaman dengan saudara
semuslimah dari Pakistan. Ternyata juga ada muslimah Jepang. Terlihat
juga muslimah dari negara-negara Asia dan Timur Tengah lainnya.
Nampak juga muslimah dari Afrika. Ciri fisik berupa wajah dan mata
cukup sebagai penanda kekhasan asal negara masing-masing
saudari-saudariku. Sambil bersalaman, kami tersenyum. Aku merasakan
ukhuwah itu, meskipun kami tidak saling mengetahui nama. Tapi, senyum
adalah pembahagia jiwa. Bukankah senyum juga adalah ungkapan hati?
Maka, cukuplah senyum yang mewakili perasaan hati kami masing-masing;
bahwa kami semua bahagia dengan pertemuan sesaat di hari yang mulia
itu.

Lebaran kali ini, sehabis sholat Idul Fitri, bersama teman-teman,
kami sempatkan mencicipi nasi kare India di sebuah restoran India di
dekat masjid Pakistan. Inilah Lebaran ala kami. Tidak ada opor ayam,
ketupat sayur atau lontong sayur, kare India pun tidak mengapa.

Rasanya? Hmm, enak dan sangat mengenyangkan perut. Maklumlah, porsi
nasi kare India selalu lebih banyak dari kapasitas perutku. Tapi,
tidak mengapa, paling tidak tetap ada makanan enak yang menyentuh
perutku dan suami di hari pertama ketika kami tidak berpuasa Ramadhan
lagi di tahun ini. Lagipula, berlarian dan bermain perosotan bersama
dua orang balita, anak tercinta dari dua orang temanku, cukup
menguras energi. Aku dan teman-temanku memang harus menunggu sekitar
satu jam, sebelum jam buka restoran India itu. Akhirnya, kami bermain
di sebuah taman yang terletak di samping restoran India itu.

Ketika teman-temanku menghabiskan hari pertama Lebaran 1430 H itu
dengan mengunjungi sebuah objek wisata di dekat masjid Pakistan, aku
dan suami memisahkan diri. Ada janji kunjungan yang harus dipenuhi.

Maka, kegembiraan hari pertama Idul Fitri 1430 H kali ini ditutup
dengan kegembiraan bertemu dengan teman-teman Indonesia lainnya.
Berlebaran saat menjelang sore di rumah sang teman, benar-benar
menemukan lebaran khas ala Indonesia. Mulai dari bahasa, percakapan,
gurauan dan makanan. Semuanya khas Indonesia. Temanku yang
bersuamikan orang Jepang menjamu kami, teman-teman Indonesianya,
dengan ala Indonesia. Begitu banyak makanan Indonesia yang tersaji.

Setelah
menunaikan sholat Ashar berjamaah di rumah temanku, aku dan suami
berpamitan pulang. Temanku membekali kami dengan seplastik besar buah
tangan sajian makanan Indonesia. Untuk bekal malamku
bersama suami, katanya. Tentu
tidak kutolak. Walaupun perutku dan suami sudah sangat kenyang. Tapi,
bukankah masih bisa dimakan esok harinya? Kubawa pulang buah tangan
itu dengan riang gembira. Perut yang kenyang dengan badan yang cukup
lelah membuat mata kami mulai mengantuk saat kaki menapakkan kaki di
bis yang akan membawa kami ke stasiun terdekat dari rumah temanku.
Maka, terbayanglah akan bisa tidur pulas di kereta di sepanjang
perjalanan pulang menuju apartemen sederhana kami. Bagiku, waktu
perjalanan pulang sekitar satu jam itu cukup menebus rasa kantukku.

Ah, indahnya Idul Fitri. Semoga Idul Fitriku di tahun depan akan
lebih indah dan bermakna dibandingkan tahun ini. Rasanya tidak sabar
untuk menunggu hadirnya Ramadhan di tahun depan. Bukankah sehabis
Ramadhan akan kujumpai lagi Idul Fitri itu? InsyaAllah.

@lab, Autumn, November 2009

~ http://ingafety.wordpress.com ~

Recent Activity
Visit Your Group
Biz Resources

Y! Small Business

Articles, tools,

forms, and more.

Yahoo! Groups

Mom Power

Just for moms

Join the discussion

Y! Groups blog

The place to go

to stay informed

on Groups news!

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: