SalamRekan-rekan milister sekalianSaya ingin sedikit berbagi cerita. Semoga bermanfaat ya....=====
Rujak Budaya
Duh, betapa malunya seorang teman mahasiswa asal Aceh ketika ada yang memanggilnya dengan sebutan "kak". Apalagi di situ ada kawan-kawannya sedaerah. Sontak mereka langsung senyum-senyum dan menertawakannya. Segera teman saya ini berujar "Dek, saya ini Abang, bukan Kakak" Yang ditegur malah bingung dan diam tak mengerti.
Sebab memang sebutan Abang dan Kakak adalah sesuatu yang berbeda dalam panggilan untuk orang lebih tua di ranah Aceh. Seperti panggilan Mas dan Mbak di tanah Jawa. Yang pertama adalah panggilan untuk saudara laki-laki yang lebih tua
(atau sebagai bentuk penghormatan kepada laki laki) sementara yang kedua untuk saudara perempuan yang lebih tua (atau sebagai bentuk penghormatan kepada perempuan). Seperti juga panggilan Akang dan Teteh di Sunda, Uda dan Uni di Padang atau Kaka dan Tata di Gorontalo.
Memanggil kawan laki laki dari Aceh dengan sebutan kakak sama saja seperti memanggilnya dengan sebutan mbak atau teteh.
Perpaduan budaya Indonesia ini memang menghasilkan kekayaan, keunikan, juga kelucuan. Pengalaman tinggal serumah dan bergaul dengan kawan banyak komunitas orang memberikan saya banyak tambahan pelajaran.
Dalam persoalan bahasa, kadang-kadang satu kata artinya berbeda antara satu daerah dengan yang lain. Saya banyak mendengar orang yang mengatakan, pantaslah orang-orang NTB itu suka pedas karena memang ibukotanya Lombok. Lombok ya pedas. Padahal bagi orang NTB, lombok (dengan sedikit tekanan di
bagian akhir kata) berarti lurus. Kata 'Boi' untuk orang Sumatera Selatan dan beberapa daerah sekitar adalah panggilan keakraban untuk orang sebaya. Tapi tolong jangan panggil orang Gorontalo dengan sebutan itu. Sebab di sini, Boi itu berarti Babi..! Sebutan Tuan Guru Bajang di Nusa Tenggara Barat adalah panggilan yang mulia, yang berarti tuan guru muda.Tapi jangan panggil orang medan dengan panggilan itu. Sebab kata "Bajang" itu konotasinya tidak baik di sana.
Dan sekali lagi tidak perlu kaget kalau mendengar orang-orang timur bertanya, "Kopi Mana?" lalu kawannya menjawab "Sapi Mandi." Apa hubungannya "Kopi" dan "Sapi"?Padahal kawan itu tidak sedang bertanya tentang kopi yang berupa minuman. Kalimat itu adalah singkatan dari "Kamu pergi kemana?" Jawabannya: Sapi Mandi, "Saya Pergi Mandi"
Itu baru soal bahasa. Belum lagi soal kehidupan dan kebiasaan. Ketika di
awal perkenalan dengan orang-orang lain daerah, saya pernah mengeluh dalam hati: kok kawan ini bicaranya mirip perempuan. Padahal ia sedang berbicara dengan amat lembutnya. Sama juga dengan kawan dari Sunda mengira saya sedang tidak stabil karena bicara yang mungkin baginya terlalu keras dan terkesan kasar. Padahal saya biasa saja.
Ditambah dengan selera masakan yang kontradiktif antara manis dan pedas. Maka ketika piket masak, biasanya bisa ditebak siapa yang memasak hari ini, menilik citarasa masakannya.
Cuaca dominan panas atau dingin tiap-tiap daerah ternyata memberi pengaruh yang lain juga bagi jiwa. Orang yang tinggal di kawasan panas akan cenderung selalu ceria dan riang gembira, suka berkawan, spontan dan tidak suka berpikir panjang. Kalau terlalu panas, ia menjadi pemarah dan emosional, seperti di Irak. Sementara yang tinggal di tempat dingin suka dihancui kecemasan, perhitungan dan penuh
kewaspadaan. Kadang-kadang lebih mengarah kepada kecemasan tak terbatas sampai membawa bunuh diri, seperti di Norway. Untunglah kita tinggal di kawasan tropis seperti Indonesia yang cuacanya stabil, namun lebih dekat ke panas. Tentang karakteristik warna kulit ini banyak dibahas Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimahnya.
Kembali ke soal panggilan, kawan-kawan aceh kadang merasa heran dengan kawan yang memanggil saya dengan sebutan "Kak Muma". Abang ini kok dipanggil kakak. Atau ketika ada yang bilang: saya tinggal dengan kak Muma, ada yang refleks menjawab "heh, kamu tinggal serumah dengan perempuan ya?" hahaha.. padahal saya ini adalah Abang sekaligus kakak. Di Aceh Abang, di Gorontalo Kakak.
Hidup di kawasan dengan budaya yang merujak seperti ini sering membuat orang cepat menilai dengan sekedar melihat keadaan beberap kawan-kawan dan orang -orang yang ada di dekatnya. "Oh ternyata, orang Jawa
Timur begini, ternyata orang Medan begini, ternyata orang Gorontalo begini" Ujungnya-ujungnya adalah menggeneralisir.
Kita tentunya tidak bisa mengendalikan penilaian dan gerak hati seseorang. Apa yang dia lihat itulah yang dia nilai, walaupun penglihatannya terbatas. Yang bisa dilakukan adalah menjadi duta dan promosi yang baik bagi diri sendiri, juga bagi daerah asal. Kalau dalam skup lebih luas, setiap warga membawa nama baik bangsanya. Ketika ia baik, maka yang ikut harum tidak hanya namanya, tapi kampung asalnya, dan bangsanya. Ketika buruk, buruk pulalah citranya dan citra kampung dan bangsanya yang menempel pada dirinya.
Lebih-lebih dengan kondisi dunia semakin mengecil ini. Ke dalam kita perlu untuk meningkatkan pengertian, ke luar kita terus berbenah membawa nama baik.
sumber:http://sosbud.
Salam
Umarulfaruq Abubakar
http://buanacita.
http://www.kompasia
[Non-text portions of this message have been removed]
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar