Rabu, 21 April 2010

[daarut-tauhiid] Tebar Benih, Berdoa, Dan Terimalah Taqdir

http://www.dakwatuna.com

Tebar Benih, Berdoa, Dan Terimalah Taqdir

Oleh: Asfuri Bahri, Lc
________________________________


dakwatuna.com – Tidak ada makhluk melata di muka bumi ini kecuali
jatah penghidupannya telah dijamin Allah (Hud: 6). Terlebih lagi
manusia dengan kapasitasnya sebagai pemakmur bumi dan makhluk paling
mulia. Yang demikian itu agar kehidupan ini senantiasa berjalan
seperti yang dikehendaki Sang Pencipta. Meski demikian, jatah rezki
itu tidak serta-serta mendatangi makhluk tersebut tanpa ada upaya
untuk meraihnya. Maka berupaya untuk mendapatkan jatah penghidupannya
menjadi suatu keniscayaan. Perlu ada upaya dan sebab meraih bagian
itu. Jika ingin mendapatkan ikan, perlu menebar jala atau memasang
kail.

Dalam Islam, kemuliaan seseorang tidak hanya diukur dari sejumlah
ibadah yang dipersembahkan kepada Allah. Seberapa hitam tanda di
keningnya karena lama dan seringnya bersujud. Dan seberapa lama ia
berdiam di pojok masjid dengan tasbih yang dimainkan oleh jemarinya
dan mulut yang tak henti-henti mengumumkan kalimat-kalimat pujian
kepada Sang Pencipta. Seseorang berupaya mendapatkan jatah rezki itu
termasuk perbuatan mulia. Semakin berat seseorang berupaya, semakin
mulia dia dan semakin disukai Allah. Yang paling penting dalam hal ini
adalah proses mendapatkannya. Sebaliknya, bermalas-malasan dalam
mengoptimalkan potensi demi mendapatkan karunia Allah tersebut adalah
perbuatan hina dan tidak disukai Allah.

Kemuliaan Berusaha

Al-Qur'an dan hadits Nabi banyak menyampaikan anjuran bahkan pujian
bagi orang yang berusaha mendapatkan rezki.

Allah berfirman, "Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah
kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung." (Al-Jum'ah: 10).

"Inilah konsep tawazun yang ditegaskan oleh manhaj Islam. Tawazun di
antara tuntutan hidup di muka bumi ini. Di antara kerja, aktivitas,
upaya, dan mencari nafkah pada suatu saat dan pada saat yang lain
mengisolasi ruh dan hati dari semua kesibukan itu dalam kekhusyukan
dzikir kepada Allah…" demikian Penulis tafsir "Fii Zhilalil Qur'an",
Sayyid Quthb, mengomentari ayat tersebut. (Fii Zhilalil Qur'an)

Jika seseorang dapat menghidupi dirinya sendiri dan tanpa
menggantungkannya kepada orang lain. Apatah lagi melalui usahanya
banyak orang bergantung kepadanya. sabda Rasulullah saw.,

عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ الْمِقْدَامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا
أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ
يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ
يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

Khalid bin Ma'dan meriwayatkan dari Miqdam ra. dan dari Rasulullah
saw. Beliau bersabda, "Tidak ada seorang yang memakan makanan yang
lebih baik daripada seseorang yang makan dari hasil kerja tangannya
sendiri. Dan nabi Daud as. makan dari hasil kerja tangannya."
(Bukhari).

Bisa jadi seseorang dianggap hina oleh kaca mata dunia karena
profesinya, namun sesungguhnya menurut parameter akhirat ia sangat
mulia, bahkan lebih mulia ketimbang mereka yang memiliki status sosial
tinggi karena melimpahnya kekayaan bumi namun bukan dari perasan
peluhnya sendiri. Rasulullah membandingkan kemuliaan orang yang
mencari kayu bakar dengan yang hanya meminta-minta kepada manusia.
Tentu saja jika sebuah usaha dibingkai dengan bingkai ibadah kepada
Allah.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ ثُمَّ يَغْدُوَ
أَحْسِبُهُ قَالَ إِلَى الْجَبَلِ فَيَحْتَطِبَ فَيَبِيعَ فَيَأْكُلَ
وَيَتَصَدَّقَ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ

"Sekiranya salah seorang di antara kalian mengambil talinya lalu
berangkat (perawi: saya kira beliau mengatakan) ke gunung kemudian
mengumpulkan kayu bakar lalu menjualnya dan memakan (dari hasilnya)
serta menyedekahkannya, itu lebih baik daripada ia meminta-minta
orang." (Bukhari).

Abu Hamid Al-Ghazi menyebutkan dalam Ihya'-nya, bahwa Rasulullah
pernah duduk-duduk bersama para sahabatnya pada suatu hari. Tiba-tiba
mereka melihat seorang pemuda yang berkulit kasar dan kuat. Pagi-pagi
ia bekerja. Mereka (para sahabat) berkomentar, "Sayang sekali orang
ini, kalau saja masa mudanya dan kekerasan tubuhnya itu berada di
jalan Allah." Rasulullah bersabda, "Jangan berkata seperti itu, sebab
jika ia berusaha untuk menjaga dirinya agar tidak meminta-minta serta
mencukupkan dirinya dari orang lain, maka ia berada di jalan Allah.
Atau jika ia bekerja untuk kedua orang tua yang lemah dan keluarga
yang lemah untuk membuat mereka kaya dan cukup, maka ia berada di
jalan Allah. Namun kalau ia bekerja untuk berbangga diri dan
berbanyak-banyak harta, maka ia berada di jalan setan."

Namun, peran manusia dalam masalah rezki hanya sebatas berusaha dan
mengoptimalkan potensi yang Allah berikan kepadanya. Menggerakkan
semua kemampuan dan menjadikan pengalaman sebagai bekal untuk
menghadapi liku-liku di dunia usahanya. Menyusun strategi yang baik
dan menutupi berbagai kekurangan yang mungkin menjadi kendala. Juga
mengevaluasi kinerja yang mungkin menjadi penyebab kegagalan.

Hasil dari usahanya tidak dapat dipastikan dengan kalkulasi
manusiawinya. Itu merupakan hak prerogatif Allah yang memberikan jatah
kepada masing-masing hamba. Dan selalu ada hikmah di balik setiap
kuantitas jatah itu. Hal ini sangat terkait dengan kedudukan harta
benda sebagai ujian. Diberikan dan ditahannya harta kepada seseorang
pasti demi kebaikan hamba tersebut. Barangkali seseorang, karena
ketidaktahuannya, mengira bahwa dirinya layak mendapatkan jatah lebih
dari orang lain. Namun Allah yang lebih tahu tentang hamba-Nya lebih
tahu pula seberapa banyak jatah yang dibutuhkan masing-masing hamba.

Perlu digaris-bawahi di sini, bahwa persoalan jatah adalah perkara
gaib dan manusia tidak dibebankan untuk mengetahui sebelum jatah itu
benar-benar berada dalam genggaman tangannya. Maka manusia diberi
kebebasan untuk memasang target dunia yang ingin digapainya dan diberi
keleluasaan berupaya mengejar target itu, tentu saja dengan cara dan
etika yang telah ditetapkan panduannya oleh syariah.

Karena kegaiban hasil dari sebuah usaha itulah seorang hamba wajib
berharap dan berdoa kepada Allah. Tidak layak baginya untuk
menyandarkan hasil kepada jerih payahnya semata. Betapa banyak manusia
menetapkan strategi untuk mencapai target yang telah ditetapkannya,
namun tangan-tangan taqdir menghalanginya sehingga ia terhalang untuk
mencapai target tersebut.

Sebagai implementasi dari surat Al-Jumuah ayat 10 tadi, seorang
sahabat Nabi saw., 'Arak bin Malik ra, setiap kali usai shalat Jum'at,
ia keluar dan berhenti di pintu masjid seraya berdoa, "Ya Allah, aku
telah menyambut seruan-Mu, shalat melaksanakan kewajiban-Mu, lalu aku
menyebar sebagaimana perintah-Mu. Maka berilah rezki dari karunia-Mu
karena Engkaulah sebaik-baik pemberi rezki." (Ibnu Katsir).

Doa setelah atau ketika bekerja adalah representasi seorang hamba
terhadap keterbatasan dirinya sekaligus pengakuannya akan kekuasaan
Rabbnya. Sebagai bentuk pengesaan Rububiyah Allah. Bahwa Allah-lah Zat
yang memberi rezki. Di tangan-Nya segala kebaikan. Allah berhak
memberikannya kepada siapa yang dikehendaki dan menahannya dari siapa
yang dikehendaki.

Doa dan Taqdir

Mungkin ada terusik oleh sebuah pertanyaan, apakah doa yang
dipanjatkan seseorang ketika ia bekerja akan mengubah jatah rezkinya
yang merupakan taqdir dari Allah?

Di kitabnya, Ad-Daa' wa Ad-Dawa', Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah menjawab,
"Taqdir itu ditentukan Allah melalui beberapa sebab. Dan di antara
sebabnya adalah doa. Allah tidak mentaqdirkan sesuatu tanpa sebab.
Allah juga menentukan sebab itu. Manakala seorang hamba melakukan
sebab itu, maka taqdir itu pun terjadi. Seperti halnya taqdir kenyang
dan hilangnya dahaga dengan makan dan minum. Taqdir lahirnya seorang
anak melalui proses perkawinan. Taqdir makan daging binatang dengan
menyembalihnya terlebih dahulu. Termasuk taqdir masuk surga dengan
amal perbuatan dan masuk neraka dengan amal perbuatan. Maka, doa
merupakan sebab paling penting untuk menggapai taqdir."

Doa adalah ibadah yang disyariatkan Allah kepada hamba agar dalam
berinteraksi dengan Allah, perasaan harap dan keinginan kuat untuk
mendapatkan apa yang diinginkannya tertancap di dalam dirinya. Dan
jika seseorang mempunyai keinginan kuat untuk mendapatkan dambaannya
serta takut kehilangan dambaan tersebut, tentu hal itu akan semakin
menggerakkannya untuk berbuat dan mengoptimalkan usahanya.

Hasil yang dicapai tidak selamanya berbanding luruh dengan usaha. Dan
keimanan seseorang kepada taqdir membuatnya menerima hasil dari semua
usahanya, baik sesuai dengan keinginannya atau tidak.

Keimanan kepada taqdir yang berlaku bagi dirinya setelah melakukan
ikhtiar manusiawi adalah puncak keimanan. Kebaikan dan keburukan yang
menimpa tidak membuatnya berpaling dari menempuh jalan positif menuju
kebaikan. Memilih taqdir baik adalah bagian dari ikhtiar yang
dianjurkan dalam Islam.

Suatu ketika Umar bin Khatthab menginstruksikan pasukannya yang sedang
melaksanakan operasi militer agar berpindah dari tempat yang
diindikasikan terkena epidemi kolera menuju tempat lain. Salah seorang
pasukan berkomentar, "Apakah Anda ingin berlari dari taqdir Allah,
wahai Umar?" Khalifah kedua ini menjawab, "Ya, kita berlari dari
taqdir Allah menuju taqdir Allah."

Sangat sejalan dengan apa yang dianjurkan Rasulullah saw.,

عَنْ عِمْرَانَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فِيمَا يَعْمَلُ
الْعَامِلُونَ قَالَ كُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ

Imran bertanya, "Ya Rasulullah, untuk orang-orang beramal?" Beliau
menjawab, 'Masing-masing orang akan dipermudah menuju taqdirnya."
(Muttafaq Alaihi)

Ali ra. berkata, "Sesungguhnya salah seorang di antara kalian tidak
bersih keimanan di dalam hatinya sampai dia yakin seyakin yakinnya dan
tidak ragu sedikit pun, bahwa apa yang menimpa dirinya bukan karena
kesalahan yang dilakukannya dan kesalahan yang dilakukan tidak
menyebabkannya tertimpa musibah serta meyakini semua takdir yang
terjadi."

Dus, ketika benih telah disemai, air telah disiramkan, pupuk telah
ditebar, berdoalah. Lalu apapun yang dihasilkan, terimalah dengan
penuh ketulusan sebagai karunia Zat yang mengeluarkan buah dari
bunganya. Wallahu A'lam

http://www.dakwatuna.com/2007/tebar-benihnya-berdoa-dan-terimalah-taqdir/


------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: